Anda di halaman 1dari 14

Permintaan Maaf

Tiga hari, dua belas jam, dua puluh menit, lima puluh
lima detik. Mile Phakphum terus menghitung. Meresapi
waktu yang merayap amat lambat. Terhitung sejak malam di
mana suaminya terakhir kali bicara. Dalam arti, mengobrol
dengan kapasitas percakapan yang panjang-panjang, bukan
cuma satu-dua patah kata yang terkesan acuh tak acuh
macam; “nanti aku balik sore”, atau “berangkat duluan aja,
aku bawa mobil sendiri”. Dan satu hal yang paling membikin
pedih ialah di mana Mile harus menghadapi fakta bahwa Apo
masih melayaninya dengan baik. Menyiapkan setelan jasnya
tiap pagi, memasak seabrek makanan jika jadwalnya tak
padat, mengisi bak mandi dengan air hangat saat Mile
pulang kelewat larut. Mile harusnya bersyukur untuk itu,
namun Mile tak biasa diabaikan. Apo Nattawin bahkan tidur
dengan membalik punggung ketika mereka berada di atas
ranjang, tidak membiarkan Mile memeluk. Menyentuhnya.
Kejengkelan yang terus menerus dipendam membuat Mile
tak peduli dengan keadaan diri. Cambang, janggut, serta
kumisnya dibiarkan tumbuh, ia jadi sering bolos dari kantor,
tak bersemangat untuk aktivitas di luar rumah. Dan
herannya lagi, bagaimana bisa seorang Mile Phakphum abai
akan profesionalitas dan berubah lalai hanya karena tak
diindahkan Apo?
Mile itu sebal.
Ia ingin diperhatikan namun tak sanggup menurunkan
ego untuk meminta maaf. Dan barangkali, cuma hal itulah
yang perlu Mile lakukan agar perhatian Apo kembali utuh
tertuju hanya untuk dirinya. Isi kepala Mile saat ini layak
disebut pasar malam. Ia merengut, membuang napas kasar,
menatap langit-langit kamar dan melamun memikirkan Apo.
Belum lagi perkara Jantera yang tak kembali jua⸺tidak,
selesaikan dengan Apo dulu, baru cari jalan keluar untuk
berbaikan dengan anak. Biasanya kalau pikiran sedang
riuh, aku cuma butuh satu pelukan panjang dari Apo dan
semuanya beres, ia tak ubahnya pengisi nyawa. Dan ke
mana ia harus mencari jika sang sumber tak mengindahkan
keberadaaannya? Mile tak sanggup beradu lama-lama
menantang penderitaan ini. Ia tahu dan mengaku salah, tapi
butuh dongkrak emosional yang ekstra jika ingin meminta
maaf. Tapi persetan perihal egoisme yang selama ini ia
pelihara. Mile akan mememperbaiki segalanya malam ini.
Mile bangun dan beranjak melepas busana yang
dipakai kerja sehari penuh lantas bergegas menumpuknya
dalam keranjang pakaian kotor, bertelanjang dada dan
melilitkan handuk pada pinggang, ia bahkan mengurus beres
beberapa helai pakaian yang lupa dicuci Apo; membiarkan
mesin cuci menyala dengan satu harapan mulia; semoga aku
bisa meringankan beban suami (alasan sebetulnya: ingin
menciptakan impresi pada Apo nanti ketika ia masuk
rumah). Mula-mula, hal yang harus ia lakukan adalah mandi
dan bercukur. Tentu saja supaya ganteng. Supaya suaminya
naksir ulang, untuk yang kesekian kalinya. Atau jika
dihampiri hoki, bisa saja membuat Apo kembali bicara tanpa
harus meminta maaf. Tak lupa Mile menurunkan suhu
ruangan kamar mereka, sedikit beres-beres pada kerutan
ranjang agar rapi, siapa tahu suaminya lelah dan ingin
merebah langsung, berhubung Apo hari ini punya jadwal
pemotretan hingga jam sembilan malam, dan sekarang
sudah pukul sembilan tiga puluh.

“Apo pulang⸺”
Mile yang sedang menata bantal sedikit memekik
karena ia terkejut bukan main. Segala rencana itu, upayanya
untuk jadi menawan. Sirna sudah, berakhir dan membusuk
dalam angan. Ia bahkan belum mandi dan barangkali
keringatnya sudah tercium seperti bau mujair. Oh, Mile
Phakphum, betapa menyedihkan.
“Hai, Po. Selamat datang,” kecanggungan ini begitu
kentara, aku pusing. Mile mengusap wajah dan rambutnya,
duduk di pinggir ranjang. Siap atau tidak, perang ini harus ia
hadapi. “So yeah, Po. Ini⸺aku mau minta maaf.”
Kesunyian menyambut, hanya ada suara yang
dihasilkan alat pendingin udara. Mile menganalisa kegiatan
Apo yang sedang berbenah dan mendadak terhenti. Entah
karena kegugupan atau karena dinginnya ruangan, keringat
yang mengalir pada tengkuk membuat Mile meremang. “Ini
sepenuhnya salah aku, bikin kamu sakit. Hati aku gelap dan
otak aku waktu itu nggak jernih. Dan yang lebih parah lagi,
aku pukul kamu dan bikin anak kita pergi. Aku betul-betul
minta maaf, Po. Rasanya ingin memaki kalau ingat ekspresi
kamu waktu itu. Terus terang, aku bahkan kesal karena
nggak dihiraukan sama kamu. But I deserve it, kamu kalau
mau lanjut marahnya, sila. Aku nggak apa-apa, emang butuh
waktu buat maafin aku. Tapi jangan lama-lama, ya? Aku
kangen nong Po.”
Dengan ucapan yang telah ia utarakan, tak terasa ada
iringan lega yang muncul, merasuki sekujur tubuh Mile
hingga ia punya keberanian untuk menatap Apo tepat pada
irisnya. Membuat kakinya seringan bulu sampai ia tak butuh
waktu lama untuk berjalan masuk kamar mandi. Ia hendak
berbenah supaya badannya segar, pikirannya rileks,
penampilannya bagus. Kali ini bukan untuk siapa-siapa lagi,
pun bukan pula untuk Apo Nattawin, melainkan untuk
kebaikan dirinya sendiri.

Mile menatap refleksi yang terpantul dalam cermin,


bangga akan dirinya karena telah melakukan hal sederhana;
hal yang dapat menjungkir-balikkan persepsi tentang
permintaan maaf yang selama ini selalu ia asosiasikan
sebagai ucapan manusia lemah. Dalam senandung rendah, ia
mengambil pisau silet dan memasangnya dengan telaten
pada razor. Manakala ia hendak mencukur janggut,
gerakannya terhenti karena ia diamati pantulan sosok lain
yang tahu-tahu muncul dalam cermin; Apo Nattawin, berdiri
pada daun pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan
dada. Mile seketika mematung ketika Apo bergerak ke
arahnya dengan mengenakan kemeja putih yang terlalu tipis
dan ketat; membuat dadanya mencuat meski empat kancing
teratas (sengaja) tak dipasang, betul-betul nihil guna.
Celananya berwarna hijau, kelewat pendek seperti akal sehat
Mile Phakphum. Sama sekali tidak pantas untuk
dilihat⸺Tuhan, bahkan seluruh pahanya terpampang jelas
hampir mengekspos bokong. Mile tidak tahu hendak
berucap apa, hanya melongo, membiarkan Apo naik ke atas
kabinet marmer dan duduk dengan paha yang terbuka
menghadap dirinya.
“Nattawin, permainan macam apa⸺”
“Sini pisau cukurnya, khun Phakphum. Po bantu.”
Dan pada saat itulah rasionalitas menguap secara
perlahan dari otak. Tepat ketika Apo menjalinkan lengan
kirinya pada tengkuk Mile, ia menarik tubuh Mile rapat
hampir-hampir berciuman. Dan tentu saja Mile secara
otomatis ikut memerangkap pinggang suaminya yang kecil
dan digilai banyak manusia dengan kedua tangan, memeluk.
Ia memposisikan diri di antara kaki-kaki Apo yang jenjang
terlingkar, teritorial, membuat Mile tak bisa kabur ke mana-
mana, dan apapun yang hendak Apo lakukan terhadap
dirinya saat ini, Mile pasti bakal berkata iya-iya saja. Sama
sekali tak keberatan.
“Kamu ganteng kalau ada ini,” Apo mengelus kumis
tipis, janggut, serta cambang pada pipi Mile, menangkupkan
tangannya di situ, “Tapi dicukur, ya? Jangan dibiarin
tumbuh, Mile. Gantengnya Mile Phakphum kalau belum
cukuran cuma buat Po aja.”
“Kamu udah maafin aku?”
Pertanyaan Mile terjawab oleh kekehan Apo yang
membalurkan shaving cream. “Nggak perlu minta maaf juga
udah aku maafin. Aku bisa berantem, Mile. Po bisa ngehajar
kamu sewaktu-waktu. Tapi aku bangga lho kamu minta
maaf. Asal jangan sakiti anak kita lagi. Po nggak suka lihat
phi Mile marah-marah begitu ke anak. Apalagi sampai
bentak-bentak dia, kasihan.”
Mile mengangguk, “Nggak lagi-lagi, memang salah
aku. Besok aku bakal minta maaf dan bawa anak kita pulang.
Aku janji. Tapi nong Po jangan cuekin aku lagi, ya?”
“Diem, nanti dagu kamu kegores silet. Manja.”
“Manja itu termasuk bukti cinta, Po. Jangan salah.”
Apo menggigit puncak hidung Mile, gemas. Baru
beberapa hari tak bicara dengan Mile namun terasa seperti
satu eon lamanya. Ketika busa-busa telah terbasmi habis
dari wajah Mile, Apo melepaskannya. “Sana, basuh dulu.”
Dan Mile menurut, iya-iya saja. Seketika terbentang
pemandangan punggung bidang Mile yang seluas surga.
Terpampang jelas karena ia musti menunduk ke arah
wastafel untuk cuci muka. Dan Apo tertangkap basah,
memperhatikan. Mile kembali ke posisi semula, menjejalkan
diri di antara dua kaki Apo.
“Sudah ganteng lagi, tapi belum mandi.”
“Po juga kangen Mile. Rindu sekali, tapi aku gengsi
buat deketin kamu sebelum minta maaf.” Apo mulai
melakukan tindak berbahaya. Ia menghujani permukaan
wajah Mile dengan kecup, menjilat-jilat sambil
mengeluarkan suara erangan yang dalam persis kucing ingin
kawin.
“Masih bau, sayang. Jangan cium-cium dulu. Belum
mandi.” Mile mencoba untuk tetap berdiri. Kakinya yang
sudah lemas bukan main mencoba untuk tetap berpijak.
“Po minta maaf sama phi Mile. Sudah jahat juga, biarin
kamu ngerasa sendirian. Ditinggalkan. Aku nggak baik jadi
suami.” Yang menjadi sasaran kali ini adalah perpotongan
leher Mile. Gerakan Apo betul-betul tak bisa ia terjemahkan.
Apo menggelincirkan tangannya pada otot dada Mile,
memijat bahu, meremas lengan, meraba perut, dilakukannya
secara perlahan sembari terus menghisap—membubuhkan
tanda.
“Kamu sadar nggak, Po? Percakapan kita dari tadi
nggak nyambung.” Dan Mile pada akhirnya memulai.
Mengambil langkah pertama dengan membuka kancing
kemeja Apo yang masih terkait. Hanya dua biji saja. Tidak
perlu waktu lama. Dan jari jemari Mile sudah berhasil
melakukan gerilya. Satu sasaran spesifik, puting suaminya.
Sudah lama ia mendamba ini, satu minggu Mile tak
menjamah Apo, dan malam ini ia tak punya alasan lagi untuk
menahan diri. Pada bagian dada Apo, Mile mencerup,
menghirup aroma tubuh Apo yang entah mengapa tercium
seperti bau roti karamel. Ditambah dengan warna kulitnya
yang kecoklatan, segalanya sempurna.
“Rakus—Mile. Apo heran, kenapa kamu lapar sekali?”
Tak ada tanggapan, Mile saat ini terlalu fokus
menghadapi kudapan. Paha Apo habis dicubiti; baik bagian
dalam maupun bagian luarnya. Dan karena terpicu oleh
bulu-bulu halus pada wajah Mile setelah bercukur, Apo
membusungkan dada. Agar Mile merasa diberi lebih,
disayang kembali, menghadiahkan suaminya akses serta
menambah initimasi dengan mengacak surai Mile yang
tebal.
“You’re appealing, Apo. Aku nggak punya alasan lain
buat nggak makan kamu. Dan iya, aku lapar.” Mile mengatur
napas, baru dua kali hembusan namun bibirnya langsung
dilahap Apo. Mile mengerti, Apo membutuhkannya
sebagaimana ia membutuhkan Apo. Ciuman itu basah,
becek. Tak ada yang ingin menyerahkan dominasi. Gerakan
keduanya seolah mengindikasikan satu kalimat; akulah
alpha dalam permainan kita. Baik Mile maupun Apo,
keduanya sama-sama unggul. Mereka bahkan mengobrak-
abrik isi mulut satu sama lain hingga ludah mereka tercecer
ke mana-mana. Dunia mereka berdua mendadak sempit,
dan ciuman itu terlepas karena saluran pernapasan mereka
butuh pasokan udara.
“Aku mau kamu malam ini, bisa?” Mile menatap Apo,
ia memohon. Mendongak dengan mata yang digelapi nafsu.
“Percakapan kita nggak nyambung.”
“Tapi tetap sampai pada satu kesimpulan, kan?”
Apo melepaskan kemejanya, ia memutuskan untuk tak
menjawab perkataan Mile dan kembali melempar senyum
yang membuat Mile jatuh cinta lagi, berkali-kali, untuk yang
kesejuta kali, miliaran, or maybe he lost count.
“Phi Mile mau kamu malam ini, Po. Boleh?”
“Dan percakapan kita memang sampai pada satu
kesimpulan, Mile Phakphum sayang—” Apo memotong
kalimat dan menggigit bibirnya sensual, “kesimpulan yang
tak terucap tapi berarti banyak.” Dan begitulah Apo
mengakhiri kalimatnya, diiringi dengan remasan-remasan
kuat pada kejantanan suaminya yang telah lama menegang
di balik handuk.
“Ini kan, kesimpulannya?”
Mile Phakphum tak mau berbasa-basi lagi, kembali ia
melahap labium Apo dalam pergumulan intens, seolah
ciuman itu adalah satu-satunya pegangan agar ia tetap hidup
di dunia. Tak lupa meringkus Apo seketika dalam
gendongan. Beberapa langkah selepasnya, Mile membanting
Apo ke atas ranjang. Dua insan itu jelas sedang diliputi
birahi. Dan malam ini akan jadi simbol di mana rumah
tangga mereka akan menemui titik kedamaian, juga akan
menjadi malam yang dilalui dengan rintihan-rintihan
panjang.

Apo yang berada dalam puncak energinya berhasil


membuat Mile berbaring, bertukar posisi. Ia begitu bangga
akan dirinya yang berada di atas, menduduki perut suaminya
dan berbuat apa saja sesuka hati. Malam ini Apo banyak
tertawa, dan Mile rela membayar apa saja agar tawa tersebut
terpelihara hingga lama-lama.
“Po boleh minta tolong?” Mile terkekeh, membiarkan
Apo menggoyangkan pinggulnya sensual.
“Apa nong? Mau minta tolong apa?”
“Po mau phi Mile bukakan celana Po, ya?” Dan Mile tak
perlu berpikir dua kali, ia seketika mengangkat tubuh Apo
dalam satu kali gerakan, menarik celananya yang membuat
Mile sinting dan meletakkan tangan pada kedua pantat Apo
yang sejak tadi menggoda dan berbuat tak senonoh pada
bagian privat Mile yang tak terlindungi apa-apa, handuknya
bahkan sudah dilucuti sejak tadi. Dibuang oleh Apo entah ke
mana.
“Pantat kamu bagus, nong. It deserves more love and
affection.”
Apo kembali tergelak lepas, merengkuh leher Mile dan
memberinya kecupan panjang di dahi, namun tetap berbuat
nakal, “khun Phakphum suka Apo mainin kayak gini?” dan
Apo menggesekkan belah bokongnya pada penis Mile,
bahkan dengan tidak tahu malu meremas testisnya sesekali.
“Kamu bersih?” Jika pertanyaan ini telah dilontarkan,
Apo mengerti bahwa Mile ingin dirinya bersiap untuk
disiapkan.
“Aku udah douching. Dan nggak makan aneh-aneh tiga
hari terakhir. Supaya kondisi Po oke, kapan pun kamu mau.
Kapan pun kita baikan.”
Apo beranjak mengambil cairan pelumas pada nakas
di samping mereka, memberikannya pada Mile dengan
tatapan yang sulit diartikan. Mile mendorong bahunya
pelan, sebuah gestur untuk menyuruh Apo berbaring.
“Buka paha kamu, sayang. Aku siapin pakai jari,
aight?” Dengan patuh, Apo telah tunduk dalam kepasrahan.
Mile memperlakukannya dengan begitu baik. Dengan begitu
hati-hati. Tatkala Mile telah mengungkung badannya dalam
keperkasaan, ada suatu hal aneh dalam raga Apo yang
meletup-letup, seluruh bagian tubuhnya berdenyut minta
dijamah. Dan kedua pergelangan tangan Apo secara naluriah
terlingkar pada leher Mile; suaminya. Orang yang akan
menggagahi dirinya dengan penghambaan suci. Satu persatu
dirasakannya jemari Mile memasuki anus.
Satu. Apo Nattawin kehilangan fokus, matanya sudah
mulai berkunang-kunang.
Dua. Mile menyadari bahwa Apo sedang menikmati, ia
terus melakukan tugasnya dengan gerak menggunting,
dirasakannya refleks tubuh Apo yang mulai menjepit jemari,
“Po, sayang, belum apa-apa, hei.”
Tiga. Bahunya dicengkeram oleh Apo luar biasa kuat.
“Mile ah—”
“Kenapa, Nattawin Romsaithong? Baru diusilin
sedikit, kok sudah basah? Mau bercanda aja sampai akhir?”
Mile kini mempertemukan lidahnya dengan telinga Apo,
membisikkan kalimat-kalimat seduktif dalam suara rendah
hampir mirip bisikan sembari menunggu Freud (nama
spesial pemberian Apo untuk kejantanannya) ditangani.
Nattawin adalah rekan menyenangkan yang kooperatif, atau
barangkali ia terlalu hapal bagaimana cara mengatasi Mile
Phakphum.
“I'll bring the heaven to you, be ready, Po.” Apo
mengangguk, merasakan telapak Mile yang besar mengelus
selangkangannya beberapa kali lantas ia membuka jalan
untuk Mile, menahan diafragmanya selama beberapa detik
agar Mile tak begitu susah untuk memasuki lingkaran Apo
yang suci. Titik di mana dua anak manusia melakukan
pergumulan atas nama cinta. Menemukan jantera bianglala
yang akan membawa mereka melibat pemandangan
menakjubkan pada puncak. Di titik udara paling tinggi.
“Aku milikmu, Nattawin. Aku bakal selalu pulang ke
kamu. Selamanya, akan selalu begitu.” dan bisikan Mile
seolah menjelma mantra sebelum Apo berserah.
“Dan Po akan selalu jadi rumahmu, Mile. Selamanya,
akan selalu begitu.”
Dan pada saat itulah ritual dimulai, sebuah sakramen
perkawinan yang menciptakan getaran serupa gempa kecil di
dalam tubuh masing-masing. Teriring dengan nyanyian
kudus maha merdu bernama desah, Apo seketika berperan
sebagai penuntun titinada dan tempo dalam sebuah ranjang
orkestra.
“Iya, Mile—enak, begitu.”
“Mile, lebih cepat sayang. Apo, ah—sakit,”
“Harder, Mile, di situ. Tuhanku—”
Apo merintih, sekalipun ia adalah pemimpin dalam
rangsangan suara, tapi Mile adalah pengendali segala
instrumen. Mile paham betul instruksi yang diberi Apo.
Lebih cepat, lebih lambat, lebih keras—Apo akan selalu
meminta dan akan selalu menuruti. Bukan pekerjaan sulit
bagi Mile untuk menemukan manis pada rumah Nattawin.
Mile akan menghunjam prostat Apo dibarengi penjagaan
pada pinggang bagian belakang Apo yang melengkung
berkali-kali serupa busur panah.
“Apo, sayang. Enak banget, ya? Berarti sekali lagi
boleh?”
“Iya phi Mile, enak banget. Po mau lagi, jangan
berhenti.”
Apo meminta untuk tak berhenti, dan Mile menyukai
apa yang ia lihat. Apo Nattawin yang berantakan dan kacau
karena dirinya. Dilumuri keringat, rambutnya carut marut
dan bercak hasil cubitan serta ciuman mereka terpampang
jelas di atas tubuh. Namun terlepas dari itu semua, Apo
memang tak ubahnya dewa. Makhluk eter pahatan pasir
surga, dan Mile adalah bajingan beruntung yang tentu tahu
cara berterima kasih.
“Phi Mile— Po nggak kuat, tolongin. Mau keluar.”
“Mau keluar? Jangan ditahan sayang, keluarin. Nggak
apa-apa.” ketika Apo meminta tolong, Mile memimpin.
Mempercepat tempo serta dorongan tubuhnya agar Apo tak
terlalu lama menunggu. Dan terbitlah senyum pada wajah
suaminya ketika air mani itu muncul perlahan, malu-malu.
Diikuti sperma yang membanjir di atas perut Apo beberapa
saat berikutnya.
“Kamu ganteng—cantik, Po. Indah. Aku sebentar lagi
keluar. Sabar, ya? Sedikit lagi.” Mile mengusap peluh pada
dahi Apo, mencium keningnya dalam. Apo hanya
mengangguk, menikmati paras suaminya yang menjemput
kenikmatan hakiki. Dirasakannya penis Mile mengalami
ejakulasi dan Apo terlena sampai-sampai jantungnya
berdegup sedemikian kencang.
“I’m coming, Po sayang. Di luar?”
Buru-buru apo menyempitkan anal, tidak mau Mile
pergi. “Jangan, di dalam, Mile. Dipenuhi. Po mau diisi,
tolong.” dan begitulah Mile mencapai puncaknya, karena
satu stimulus kejut yang dilontarkan Apo. Perpaduan antara
permohonan serta keinginan. Dipandangnya Apo yang kini
sama-sama mengatur napas dengan dirinya. Tersenyum
berbarengan seolah peristiwa barusan itu adalah salah satu
seks terhebat yang pernah mereka lakukan. Tanpa
memisahkan tautan badan, Mile dan Apo kembali berciuman
panjang, memeluk satu sama lain. Berguling-guling hingga
Apo mendapatkan kembali posisi favoritnya; berada di atas
Mile.
“That’s great. Apo suka, tapi masih kangen Mile. Kamu
diem, ya? I wanna ride you, may i?”
Dan Mile hanya mengangguk, iya-iya saja.
Membiarkan Apo melenggak-lenggok, menjepit, ia hanya
memegang pinggang Apo dan meremas-remas bokongnya
sensual. Menjaga persenggamaan mereka tetap jalan, tetap
memuskan. Hingga mereka berakhir dua jam setelahnya,
bergelung di dalam selimut dengan hari esok yang tetap tak
dapat diprediksi namun akan lebih mudah jika dijalani
sama-sama. Beriringan.
“Aku sayang kamu, Po.”
“Aku juga, cintaku lebih besar dari yang selama ini
kamu bayangkan.”
Mile tersenyum, mengelus surai Apo lembut, “tidur,
besok kita jemput Tera ke Kalasin.”
Dan yang menjadi jawaban adalah suara dengkuran
halus Apo. Ia meringkuk seperti anak kucing dalam pelukan
Mile. Apo bahkan belum membersihkan diri namun Mile
mengerti, malam ini melelahkan baginya. Satu kecupan
dibubuhkan Mile pada bibir Apo, pada keningnya lama.
Membisikkan doa-doa agar suaminya dapat tertidur nyenyak
dan terlindung dari mimpi buruk.
“Good night, Nattawin Romsaithong. Mimpi indah.”

[adekapo]

Anda mungkin juga menyukai