Anda di halaman 1dari 28

Peran Kiai Terdahulu Dalam Upaya Mengembangkan

Kemajuan Pondok Pesantren Bahrul Ulum


Tambakberas Jombang

Paper
Diajukan Untuk Memenuhi Penugasan Ujian Sekolah
SMA NU 1 Kradenan

Oleh:

Najiburrohman As-Syafii

NISN 0067675597

XII IPS 1

SMA NU 1 Kradenan

Jalan Raya Peting-Menden KM 2,6

Desa Sumber Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora (58383)


Email: smanu1Kradenan@gmail.com

Tahun Pelajaran 2023/2024

i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO
“Belajar dari kemarin, hidup untuk hari ini, berharap untuk besok”
“Kehidupan adalah petualangan yang harus dijalani”

“Hidup adalah seni menghadapi masalah”

PERSEMBAHAN
Paper ini Saya persembahkan kepada:
Semua pihak yang secara langsung
maupun tak langsung ikut andil dalam
merampungkan paper ini. Semua orang
yang telah mengapresiasi dan telah
memberi motivasi. Semua orang yang
peduli akan kemajuan dan kesuksesan diri di
masa mendatang.

ii
HALAMAN PENGESAHAN
Kami Kepala SMA NU 1 Kradenan beserta pembimbing dalam
penyusunan paper ini setelah mengadakan perbaikan dan penelitian seperlunya
kepada:

Nama : Najiburrohman As-Syafii

NISN : 0067675597

Kelas : XII/IPS 1

Tanggal : 19 Maret 2024

Judul Paper : Peran Kiai Dalam Upaya Mengembangkan Kemajuan


Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

Kami menerima dan mengesahkan Paper tersebut, untuk memenuhi penugasan


ujian sekolah pada SMANU 1 Kradenan Tahun Pelajaran 2023/2024

Kradenan, 19 Maret 2024

Guru Pembimbing 1 Guru Pembimbing 2

(Muminatus Sholihah, S.Pd) (Sukandar, S.Pd)


Mengetahui,

Guru Bahasa Indonesia Kepala SMA NU 1 Kradenan

(Dewi Widayanti, S.Pd) (Sudiro, S.Pd.I.)

iii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan nikmat-Nya


serta mengizinkan Saya dalam menyelesaikan paper yang berjudul “Peran Kiai
Terdahulu Dalam Upaya Mengembangkan Kemajuan Pondok Pesantren Bahrul
Ulum Tambakberas Jombang” dengan lancar tanpa adanya halangan yang berarti
guna memenuhi penugasan ujian sekolah.
Tak lupa Saya sampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang terkait.
Khususnya:
1. Bapak Sudiro, S.Pdi. selaku kepala SMANU 1 Kradenan.
2. Bapak Edi Saputra, S.Pd selaku walikelas XII IPS 1
3. Ibu Dewi Widayanti, S.Pd. selaku guru Bahasa Indonesia.
4. Bapak/Ibu selaku guru pembimbing paper.
5. Segenap Bapak/Ibu guru di SMANU 1 Kradenan, serta
6. Semua pihak yang tidak dapat Saya sebutkan satu per satu.
Selanjutnya Saya mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam paper
yang Saya buat. Maka dari itu, kritik dan saran dari pembaca sangat Saya
harapkan guna tercapai prestasi di masa yang akan datang.
Semoga paper ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Penyusun

(Najiburrohman As-Syafii)

iv
DAFTAR ISI

MOTTO DAN PERSEMBAHAN...........................................................................ii


HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iv
DAFTAR ISI............................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................5
C. Tujuan Masalah........................................................................................5
D. Manfaat....................................................................................................5
E. Metode Penelitian....................................................................................6
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................7
A. Tokoh Penting Kiai Terdahulu Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak
beras Jombang.....................................................................................................7
B. Sejarah Perkembangan Kemajuan Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang......................................................................................15
C. Peran Kiai Terdahulu Terhadap Perkembangan Kemajuan Pondok
Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang................................................18
BAB III PENUTUP................................................................................................22
A. Kesimpulan............................................................................................22
B. Saran.......................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................23

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pondok Pesantren secara Terminologi berasal dari pendefinisian atas asrama-
asrama para santri yang disebut pondok, atau tempat tinggal. Atau, berasal dari bahasa
Arab “fundug” yang berarti hotel atau asrama sedangkan pesantren berasal dari kata
“santri” dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat Para santri.
Sementara menurut Nurcholish Madjid, terdapat dua pendapat mengenai arti kata
“santri” tersebut. Pertama, pendapat yang menyebut berasal dari kata shantri, yaitu
bahasa Sanskerta yang berarti “melek huruf”. Kedua, pendapat yang menyebut bahwa
kata tersebut berasal dari bahasa Jawa, cantrik, yang berarti seseorang yang selalu
mengikuti seorang guru ke mana pun guru itu pergi menetap. “Pesantren” sering kali
dikaitkan dengan kata “santri” yang mirip dengan bahasa India, shantri, yang berarti
orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu atau orang yang ahli kitab suci.
Selanjutnya, kata “pondok” dan “pesantren” digabung sehingga membentuk pondok
pesantren. Pondok pesantren, menurut Arifin, adalah suatu lembaga pendidikan agama
Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar dengan sistem asrama
(kompleks) tempat santri-santri menerima pendidikan agama Islam melalui sistem
pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership,
pondok pesantren adalah tempat murid-murid (disebut santri) mengaji agama Islam dan
sekaligus diasramakan di tempat tersebut. Pada dasarnya, pesantren merupakan
perwujudan dari dua keinginan yang bertemu. Keinginan orang-orang yang ingin
menimba ilmu sebagai bekal hidup (santri), dan keinginan orang yang secara ikhlas
mengajarkan ilmu serta pengalamannya kepada umat (kiai). Sehingga, secara fisik,
pondok pesantren adalah lembaga yang memadukan dua keinginan tersebut. Di pondok
pesantren terdapat santri yang tidak menginap di pondok atau asrama, tetapi mereka
pulang dan berangkat kembali kalau sudah ada jadwal mengaji. Mereka inilah yang
disebut santri desa atau santri kalong.

1
Pondok pesantren, awal mulanya, diidentifikasi sebagai “gejala desa”. Artinya,
pondok pesantren merupakan institusi pendidikan islam tradisional yang kehadirannya
bukan untuk menyiapkan pemenuhan tenaga kerja (skilled) atau profesional,
sebagaimana tuntutan masyarakat modern. Pondok pesantren didirikan oleh perorangan,
yakni kiai. Lembaga pendidikan ini dimaksudkan untuk mengajari para santri belajar
agama mulai tingkat dasar sampai Tingkat lanjut. Maka dari itu, merupakan hal yang
salah jika ada yang mengatakan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang mencetak skill atau lulusan yang kompeten. Karena pondok pesantren
merupakan institusi pendidikan Islam yang digunakan sebagai tempat memperdalam
ilmu agama Islam, walaupun dalam perkembangannya tidak menutup kemungkinan
terdapat pesantren yang mengadopsi kurikulum tertentu untuk Mengembangkan skill
santri.

Sedangkan Pengertian Pondok Pesantren secara Tipologi dikemukakan oleh


Zamahsyari Dhofier dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pesantren. Menurutnya,
pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral
keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Sistem pendidikan pesantren
menggunakan pendekatan holistik. Para pengasuh pesantren memandang kegiatan
belajar mengajar lebur dalam totalitas hidup seharihari. Bagi warga pesantren, belajar di
pesantren tidak mengenal hitungan waktu (full time). Idealnya pengembangan
kepribadian yang dituju ialah kepribadian muslim yang kaffah. Secara garis besar,
karakter utama pesantren meliputi tiga hal. Pertama, pesantren didirikan sebagai bagian
dan atas dukungan masyarakat. Kedua, pesantren menerapkan kesetaraan dan
kesederhanaan santri dalam penyelenggaraan pendidikan, tidak membedakan status dan
tingkat kekayaan orang tua. Ketiga, pesantren mengembangkan misi “menghilangkan
kebodohan”, khususnya tafaqquh fi al-din dan menyiarkan agama Islam. Secara umum,
tipologi pesantren dapat diklasifikasikan atas dua jenis, yaitu pesantren salafiyah dan
pesantren khalafiyah. Pesantren salafiyah ialah pesantren tradisional yang hanya
mengajarkan keagamaan dan lembaga pendidikan madrasah. Sedangkan pesantren
khalafiyah ialah pesantren modern yang mengajarkan pengetahuan keagamaan,
madrasah, dan keterampilan praktis. Sebagai lembaga pendidikan, dakwah, sosial, dan
budaya.

2
Pesantren telah memberikan corak khas bagi arah pendidikan di Nusantara.
Kehadirannya mengikuti perkembangan masyarakat; selalu tampil untuk menjawab
tantangan yang dihadapi masyarakat sekitar, sehingga kehidupan pesantren selalu
dinamis. Dari berbagai tingkat konsistensi dengan sistem lama dan Keterpengaruhan
oleh sistem modern, secara garis besar pondok pesantren dapat dikategorikan ke dalam
tiga bentuk. Pertama, Pesantren salafiyah. Sesuai dengan namanya, salaf berarti lama,
pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan Pembelajaran
dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal
pertumbuhannya. Pesantren salafiyah menyelenggarakan pendidikan dengan
menggunakan kitab kuning dengan sistem pengajaran yang ditetapkan oleh kiai atau
pengasuh. Kedua, pesantren khalafiyah. Khalaf berarti “kemudian” atau “belakang”
atau “modern”. Pesantren khalafiyah berarti pondok pesantren yang menyelenggarakan
kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern, melalui satuan pendidikan formal,
baik berupa Madrasah (MI, MTs, MA atau MAK) maupun sekolah/kampus. Pesantren
khalaf menerima hal-hal yang baru yang dinilai baik, sembari tetap mempertahankan
tradisi lama yang baik. Pesantren jenis ini mengajarkan pelajaran umum di madrasah
dengan sistem klasikal, dan membuka sekolah/kampus umum di lingkungan pesantren.
Dengan alasan itu, masyarakat menyebutnya sebagai pesantren modern atau khalafiyah.
Ketiga, pesantren campuran/kombinasi. Sebagian besar pondok pesantren yang ada
sekarang ialah pondok pesantren yang berada di antara rentang dua pengertian salaf dan
khalaf. Sebagian pondok pesantren yang mengaku atau yang menamakan diri salafiyah,
umumnya juga menyelenggarakan pendidikan secara klasikal dan berjenjang, walaupun
tidak dengan nama madrasah atau sekolah/kampus. Demikian juga pesantren khalafiyah
yang umumnya juga menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan pengajian kitab
klasik, karena sistem mengaji kitab itulah yang selama ini diakui sebagai salah satu
identitas pondok pesantren.

Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian


muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama islam dan menanamkan rasa keagamaan
tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang
berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.

3
Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut:
• Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang
bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan
dan sehat lahir batin sebagai warga negara yang berpancasila;
• Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia muslim selaku kaderkader ulama
dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan
sejarah islam secara utuh dan dinamis;
• Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat
kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusiamanusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan
negara;
• Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional
(pedesaan/masyarakat lingkungannya);
• Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor
pembangunan, khususnya pembangunan mentalspiritual;
• Mendidik siswa/santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial
masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.
Rumusan tujuan ini adalah yang paling rinci bagi penulis, dan untuk
memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupa-nya kandas. Kiai-kiai
pesantren tidak mentransfer rumusan tersebut secara tertulis sebagai tujuan baku bagi
pesantrennya kendati orientasi pesantren tidak jauh berbeda dengan kehendak tujuan
tersebut. Semua tujuan yang dirumuskan melalui perkiraan (asumsi), wawancara
maupun keputusan musyawarah/lokakarya hanya menyinggung tujuan dalam tataran
institusional. Jika tujuan institusional saja belum diformulasikan secara tertulis, apalagi
tujuan kurikuler dan tujuan instruksional baik umum maupun khusus. Dari beberapa
tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk
kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran islam dan mengamalkannya,
sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan negara. Dengan adanya latar
belakang yang meliputi dari definisi serta tujuan pondok pesantren yang telah
dikemukakan, disini penulis akan membahas peran kiai terdahulu dalam upaya-nya

4
untuk mengembangkan kemajuan pondok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas
Jombang.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh penting kiai terdahulu Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang?
2. Bagaimana sejarah perkembangan kemajuan Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang?
3. Bagaimana peran kiai terdahulu terhadap perkembangan kemajuan Pondok
Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui siapa saja tokoh penting kiai terdahulu Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang.

2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan kemajuan Pondok Pesantren


Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

3. Untuk mengetahui peran kiai terdahulu terhadap perkembangan kemajuan Pondok


Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

D. Manfaat
• Peningkatan Pengetahuan: Meneliti dan menulis tentang sejarah dan peran kiai
dalam upaya mengembangkan kemajuan pondok pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang akan meningkatkan pemahaman penulis tentang budaya,
sejarah, dan agama Islam.
• Pendidikan dan Pemahaman: Pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih
baik tentang peran kiai dalam upaya mengembangkan kemajuan pondok pesantren
Bahrul Ulum Tambakberas Jombang dan sejarah pondok pesantren tersebut.
• Materi Pelajaran: Materi ini dapat digunakan sebagai sumber belajar atau materi
pelajaran dalam kurikulum yang membahas sejarah, agama, dan budaya pondok
pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

5
E. Metode Penelitian
Penelitian kajian literatur adalah metode penelitian yang fokus pada analisis
sumber-sumber tertulis atau literatur yang telah ada. Beberapa aspek utama dalam
penelitian kajian literatur meliputi:
• Identifikasi Sumber: Aspek pertama adalah mengidentifikasi sumbersumber
literatur yang relevan dengan topik penelitian. Ini termasuk buku, artikel jurnal,
tesis, makalah konferensi, dan sumber-sumber tertulis lainnya.
• Pengumpulan Data: Peneliti mengumpulkan sumber-sumber literatur yang relevan
untuk dikaji. Data ini bisa dalam bentuk cetak atau digital.
• Evaluasi Sumber: Peneliti harus mengevaluasi kualitas sumber-sumber literatur
yang digunakan. Ini mencakup penilaian terhadap metodologi penelitian,
kredibilitas penulis, dan relevansi dengan topik penelitian.
• Analisis dan Sintesis: Aspek penting dalam penelitian kajian literatur adalah
analisis dan sintesis data. Peneliti menganalisis isu-isu, temuan, dan pendekatan
dalam sumber-sumber literatur tersebut. Kemudian, mereka mensintesis hasil
analisis untuk menyusun pemahaman yang lebih lengkap tentang topik penelitian.
• Penentuan Kesimpulan: Penelitian kajian literatur seringkali mencapai
kesimpulan yang berdasarkan sintesis literatur yang telah dilakukan. Kesimpulan
ini bisa berupa temuan atau penilaian terhadap isu tertentu.
• Identifikasi Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Penelitian kajian literatur juga dapat
mengidentifikasi kebutuhan untuk penelitian lanjutan atau perkembangan teoritis
dalam bidang yang diteliti.
• Penyusunan Referensi: Penting untuk mencatat dan merujuk sumbersumber
literatur dengan benar dalam dokumen penelitian.
• Penyusunan Laporan Penelitian: Hasil penelitian kajian literatur dapat disusun
dalam laporan penelitian atau ulasan literatur yang mencakup semua aspek
penelitian.
Penelitian kajian literatur berguna dalam menyusun landasan teoritis,
mengidentifikasi perkembangan dan tren dalam suatu bidang, serta menyediakan
panduan bagi penelitian lebih lanjut.

6
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tokoh Penting Kiai Terdahulu Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak beras
Jombang
Pada pembahasan awal kali ini penulis akan memaparkan beberapa tokoh terdahulu
serta biografinya terkait perjuangannya terhadap perkembangan kemajuan sampai
upaya mengembangkan kemajuan pondok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas

Jombang oleh para tokoh. Beberapa tokoh tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mbah Abdus Salam


Berawal dari kisah Mbah Abdus Salam (Mbah Sehah/Shoichah) yang kala
itu menjadi panglima perang pasukan Diponegoro wilayah Tegalrejo Magelang
untuk melakukan observasi tempat yang akan dijadikan basis pasukan Diponegoro
jika suatu saat nanti mengalami kekalahan dalam Perang Jawa. Mbah Abdus Salam
melakukan observasi pada kisaran tahun 1825 M akhirnya menemukan satu lokasi
yang pas setelah Mbah Abdus Salam menelusuri aliran sungai dihutan Wonosalam
Jombang. Pada mulanya Mbah Abdus Salam hanya membuat gubuk persinggahan
untuk tempat sholat sebagai pertanda. Orang biasa menyebutnya sebagai petilasan.
Mbah Sehah dalam kesehariannya lebih banyak melakukan tirakat atau riyadloh.
Lelaku tersebut selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, juga berguna untuk
olah jiwa dan olah keprihatinan agar tangguh. Hal itu bisa dibuktikan kalau malam
hari beliau jarang tidur. Beliau lebih suka pergi ke sungai dan naik ke atas pohon
yang dekat sungai. Dengan cara demikian, tentu Mbah Sehah harus lebih waspada
agar tidak mengantuk ketika uzlah. Mbah Sehah juga menggembleng dan melatih
Perutnya agar tidak mudah gemar makanan. Sangat mungkin karena perilaku
tersebut, beliau mempunyai kesaktian seperti suaranya bak halilintar bagi
musuhnya. Yang dapat dipetik dari lelakon beliau di atas ini adalah kapanpun, dan
di manapun, olah diri untuk menempa mental dan jiwa kita supaya tangguh. Pribadi
yang kuat jiwa dan mentalnya itulah yang akan sukses dalam menjalani hidup.
Pada Observasi beliau kala itu, selama 13 tahun beliau membangun alas Gedang
merubah hutan belantara menjadi sebuah per-kampungan, hingga akhirnya beliau

7
mendirikan padepokan yang kemudian hari terkenal dengan sebutan pondok
selawe. Karena hanya 25 orang yang menetap di padepokan tersebut, ada juga yang
menyebut pondok “telu” karena padepokan hanya memiliki tiga kamar.

2. Mbah Said Chasbullah


Beliau adalah putra dari KH. Syamsuddin. Kalau merujuk kepada riwayat
silsilah dari Mbah Mundir Kediri, KH. Syamsuddin adalah putra dari Kiai Nur
Kholifah bin Kiai Isa bin Kiai Abdul Wahid bin Kiai Sholeh bin Kiai Abdurrahman
atau Sultan Pajang. Kiai Said semasa mudanya nyantri ke Kiai Sehah. Mbah Said
di nikahkan dengan putri Kiai Sehah yang bernama Fatimah. Mbah Said
mengembangkan pondoknya ke sebelah selatan sekitar 200 meter dari pondok
selawe-nya Mbah Sehah. Masyarakat menyebut pondok Mbah Said ini dengan
sebutan ngGedang kulon. Kemudian hari, dari penyebutan pesantren Mbah Said ini
disebut Tambakberas. Di lokasi inilah akhirnya pondok Tambakberas berkembang
sampai sekarang. Ndalem kasepuhan yang ditempati Mbah Said hingga saat ini
masih berdiri kokoh. Rumah ini berada persis sebelah utara masjid, sebelah barat
dari ndalem Mbah Said ini adalah ndalemnya Mbah Wahab. Setelah Mbah Said
Wafat, tongkat estafet pondok dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kiai
Hasbullah. Kiai Hasbullah inilah yang kemudian membangun Masjid Jami’
Tambakberas.

3. Mbah Hasbullah Said


Beliau merupakan ayah kandung dari Mbah Wahab, Mbah Hamid, Mbah
Nyai Khodijah, Mbah Abdurrohim dan Mbah Nyai Fatimah. KH. Hasbulloh Said
dikenal sebagai Kiai yang kaya raya, berjiwa saudagar dan sangat dermawan.
Konon, tanah, sawah, dan pekarangannya terbentang mulai desa Sidomulyo,
Megaluh, Tembelang, dan hampir seluruh desa Tambakrejo hingga Denanyar.
Seluruhnya berada di tiga kecamatan. Setiap musim panen tiba, sawahnya
menghasilkan berton-ton beras dan ditimbun di gudang untuk keperluan makan
keluarga, tamu-tamu, santri dan masyarakat sekitar. Mbah Hasbulloh Said
merupakan sosok yang mempunyai rahasia atau lelakon sehingga putra putrinya
menjadi orang hebat dan bermanfaat. Beliau adalah pribadi yang sabar dan kuat
dalam tirakat. Meskipun sebagian besar riwayat mengatakan beliau termasuk orang

8
mapan dari sisi ekonomi akan tetapi kemapanannya tidak menghalangi beliau
menjalani dunia sufi. Dalam sebuah riwayat, di antara saudara-saudaranya yang
lain, beliau bahkan termasuk dedel (tidak begitu pandai). Namun demikian
saudaranya juga mengakui jika Mbah Hasbulloh adalah sosok yang paling kuat dan
sabar dalam menjalani amalan dan tirakatan. Karena kelebihannya beliau di segani.
Mbah Hasbulloh Said dalam buku Drs. Choirul Anam, “Pertumbuhan dan
Perkembangan NU” wafat bertepatan dengan kongres Al-Islam kelima di Bandung
tahun 1926.

4. Mbah Yai Wahab Chasbullah


KH. Abdul Wahab lahir dari pasangan Kiai Hasbulloh Said dan Nyai
Lathifah pada tahun 1887 M di Tambakberas, Jombang. Wahab kecil mendapatkan
pendidikan Al-Qur’an, Ilmu Tauhid, Bahasa Arab langsung dari orang tuanya.
Beranjak usia 13 tahun, Kiai Said berniat untuk mengirimkan ke pesantren, dan
pesantren pertama tempat Wahab kecil menimba ilmu adalah Pesantren Langitan.
Selepas belajar di Pesantren Langitan, Wahab muda terus keliling dari pondok ke
pondok. Hal yang lumrah karena (biasanya), jika seorang santri dipandang cukup
mengusai ilmu di pondok tertentu, sang kiai memanggilnya dan menganjurkan
meneruskan ke pondok A atau B yang memiliki disiplin ilmu berbeda. Santri
Wahab mempunyai keinginan kuat untuk menguasai berbagai disiplin ilmu yang
diajarkan di pesantren.

Beberapa pondok pesantren yang pernah disinggahi antara lain:


1. Pondok Langitan, di bawah asuhan Kiai Ahmad.

2. Pondok Mojosari Nganjuk, di bawah asuhan Kiai Zainuddin. Dari Kiai


Zainuddin iniah Mbah Wahab memperoleh pelajaran ilmu fiqh yang cukup
mendalam, terutama dari kitab Fathul Mu’in.

3. Pondok Cepoko Nganjuk.

9
4. Pondok Tawangsari Sepanjang, di bawah asuhan Kiai Mas Ali (saudara ibu
kandungnya sendiri) untuk memperdalam lagi ilmu fiqh. Sedangkan ilmu
tajwid diperoleh dari Kiai Mas Abdullah, kakak dari Kiai Mas Ali.

5. Pondok Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai


Waliyullah Muhammad Cholil. Di sini Mbah Wahab memperdalam ilmu yang
berkaitan dengan bahasa Arab, antara lain dari kitab-kitab karangan Ibnu
Malik dan Ibnu Aqil, yakni Alfiyah dan syarah-syarahnya.

6. Pondok Bronggahan, Kediri, di bawah asuhan Kiai Fakihuddin. Di pondok


ini banyak kitab penting yang dilajinya seperti tafsir Al-Qur’an , Tauhid dan
Tasawuf, Sejarah Islam serta kitab-kitab fiqh dari madzhab Syafi’i seperti
Fathul Wahab.

7. Pondok Tebuireng Jombang, di bawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari.

Dari beberapa pondok pesantren itulah, Mbah Wahab memperdalam ilmu


agama. Kemudian di saat usia 23 tahun, beliau dikirim Ke Makkah oleh Kiai
Hasbullah Said pada tahun 1909 M untuk memperdalam ilmu hukum, tasawuf dan
usulh-fiqh kepada Kiai Mahfudz Al-Turmusi. Selanjutnya kepada Kiai Muchtarom
Banyumas dan menamatkan Fathul Wahab. Kepada Syaikh Sa’id AlYamani dan
Syaikh Ahmad bin Bakry Syatha beliau menamatkan ilmu Nahwu (Usymuni), juga
berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, yang waktu itu menjadi
mufti Syafi’i di Makkah, terutama dalam ilmu fiqh. Kepada Kiai Baqir asal Yogya,
mengenai ilmu mantiq dan kepada kepada Kiai Asy’ari asal Bawean, Mbah Wahab
memperdalam ilmu hisab. Selanjutnya beliau berhuru kepada Syaikh Abdul Karim
Ad-Daghestany untuk menamatkan kitab Tuhfah. Lalu kepada Syaikh Abdul
Hamid Kudus mengenai ilmu ‘Arudh dan Ma’ani, dan Syaikh Umar Bajened
dalam ilmu fiah. Dari gurunya, Kiai Mahfudz Termas dan Syaikh Sa’id Al-Yamani,
Mbah Wahab mendapatkan ijazah istimewa. Selain berguru, Mbah Wahab ternyata
juga menjadi guru untuk kawan-kawannya. Kegemaran berdebat juga mendapat
saluran yang tepat. Di Makkah Mbah Wahab bertemu guru mujadalah yang
menguasai ilmu perdebatan, yaitu Kiai Muchith asal Panji, Sidoarjo. Mbah Wahab
juga berguru berguru kepada Kiai Asy’ari asal Pasuruan untuk memperdalam ilmu
hisab di Makkah. Kegemaran Mbah Wahab saat muda mengunjungi orang-orang

10
alim, tempat-tempat suci, mempelajari bahasa dan kesusastraan Arab, juga tak
pernah kendor. Sehingga, banyak syair yang dikarang oleh penyair zaman
permulaan Islam dihafalnya. Kegemaran lain yang tak kalah penting adalah
olahraga. Sebelum berangkat ke Makkah, Mbah Wahab semasa mudanya sudah
dikenal sebagai pendekar. Olahraga yang paling digemari adalah pencak silat.
Ternyata, ketika di Makkah, Mbah Wahab mengumpulkan teman-temannya untuk
membuat perguruan “Pencak Timur” dan mendapatkan dukungan antara lain oleh
Mahfudz dari Bogor, Abbas dan Mansur dari Cirebon, dan Mas Aly Sidoresmo,
Surabaya. Kiai Wahab wafat pada hari Rabu, 12 Dzulqadah 1391 H / 29 Desember
1971 M dalam usia 83 tahun, dimakamkan di Pemakaman Keluarga Pesantren
Bahrul Ulum, Tambakberas Jombang.

5. Mbah Hamid Chasbullah


KH. Abdul Hamid Chasbullah dilahirkan di dusun Tambakberas, Desa
Tambakrejo, Jombang, tepatnya di Pesantren Tambakberas. Beliau merupakan
Putra kedua dari delapan bersaudara (Abdul Wahab, Abdul Hamid, Khodijah,
Abdur Rohim, Fatimah, Sholihah, Zuhriyah dan Aminatur Rokhiyah) dari pasangan
KH. Hasbullah Said dengan Nyai Latifah. Masa kecil Mbah Hamid dihabiskan
untuk mondok dari pesantren ke pesantren, diantaranya pesantren Bangkalan
Madura yang diasuh oleh Mbah Cholil, pesantren Langitan Tuban, pesantren
Tebuireng dibawah bimbingan KH. Hasyim Asy’ari, pesantren Krapyak Yogyakarta
dibimbing langsung oleh Mbah Kiai Munawwir. Selanjtnya Mbah Hamid menuntut
ilmu di Makkah Al Mukaromah. Mbah Hamid Hasbulloh terkenal sebagai sosok
kiai yang zuhud, wira’i, sederhana, daimul wudhu, dan istiqomah dalam
berkhidmat di pesantren. Beliau lulusan terbaik ilmu Al-Qur’an di pesantren
Krapyak. Kitab yang sering dibaca beliau antara lain kitab Sahih Bukhori, Sahih
Muslim dan Tafsir Al-Qur’an, dalam bidang Al-Qur’an Mbah Hamid termasuk
sosok yang diakui kepakarannya, salah satu peninggalan beliau beliau adalah
mushaf Al-Qur’an 30 juz dengan tulisan tangan beliau sendiri. Dalam
kesehariannya, beliau sangatlah sederhana, bahkan hanya untuk memenuhi
kebutuhan dapur tidak jarang beliau mengalami kesulitan. Namun demikian
hambatan itu tidak menyurutkan pengabdian dan keikhlasannya mengayomi dan
ngopeni para santri, baik santri yang di pesantren Tambakberas maupun yang di

11
pesantren Sambong, sekaligus menemani istri ketiga beliau yang mukim di
Pesantren Sambong, pembagian waktu mengaji ini dilakukann Mbah Hamid setiap
hari senin pagi sampai selasa sore. Beliau juga mempunyai rutinan ngaji dan
istighosah di desa Kalijaring. Jemaahnya adalah para orang tua dan kiaikiai
kampung yang biasa dilaksanakan setiap hari kamis malam Jum’at, yang biasanya
dilaksanakan di atas jam 10 malam. Suatu hari pada tanggal 8 Ramadhan tahun
1956 M, seperti biasa Mbah Hamid istiqomah ngaji wethonan kitab, saat mengaji
beliau kemudian mengambil air wudhu dan meneruskan pengajiannya, tak lama
setelah itu beliau seperti orang tertidur sambil memegang kitab di hadapan para
santri. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun... ternyata beliau menghembuskan nafas
terakhirnya

6. Mbah Yai Abdurrochim Chasbullah


KH. Abdurrochim adalah putra ke 4 dari 8 bersaudara pasangan KH.
Chasbullah Said dan Nyai Lathifah. Orang tua yang melahirkan dan membesarkan
KH. Wahab Chasbullah beserta adik-adiknya di Dusun Tambakberas. Sebagaimana
saudara-saudaranya yang lain, beliau lahir dan besar di Tambakberas Jombang dan
melewati masa pendidikannya di beberapa pesantren, diantaranya di Pondok
Pesantren Termas Pacitan dan Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk. Pada usia 30
tahun, Mbah Abdurrochim menikahi Nyimas Wardliyah yang baru berusia 14
tahun. Walau masih muda, Nyimas adalah murid yang cerdas dari Nyai Hj. Zainab,
tokoh pendidik kaum perempuan di kauman Yogyakarta. Nyai Zainab sendiri
pernah mengenyam ilmu di Makkah saat mengikuti suaminya. KH. Abdurrochim
senantiasa membantu KH. Hamid untuk mengurusi pondok saat KH. Wahab larut
dalam perjuangan NU dan aktivitas Nasional. Beliau mengurusi Madrasah dan KH.
Hamid konsentrasi merawat pondok dan masjid. Mereka berdua saling melengkapi
dan bahu membahu, dibantu asatidz dan keponakannya yang masih muda, Abdul
Fattah, meringankan tugas KH. Wahab yang sudah menjadi milik umat. Seperti
dikisahkan oleh Nyai Sa’diyah Wahab, tak jarang KH. Abdurrochim diperintah KH.
Wahab untuk menyiapkan berkas-berkas dan kitab-kitab yang dibutuhkan pada saat
Batsul Masa’il, maupun diskusi, di antara dinamika kegiatan KH. Wahab dalam
organisasi. KH. Abdurrochim wafat pada usia yang relatif muda, usia 43 tahun pada
tahun 1942. Beliau meninggalkan putra-putri yang masih kecil. Si sulung, Ahmad

12
Al Fatih AR masih berusia 13 tahun saat ayahnya meninggal. KH. Fattah Hasyim
kemudian dipanggil KH. Wahab dan KH. Hamid mengendalikan dinamika
madrasah.

7. Mbah Yai Fattah Hasyim


Mbah Yai Abdul Fattah Hasyim memiliki nama asli Abdullah Marwan.
Sedangkan panggilan nama Abdul Fattah adalah hadiah dari perjalanan ibadah haji.
Beliau dilahirkan di Desa Kapas, Peterongan, Jombang, Dari pasangan KH.
Hasyim Idris dan Nyai Fatimah Hasbullah pada tahun 1911 M, Atau menurut Kiai
Abdul Nasir Fattah, Fattah dilahirkan tahun 1914 M. Silsilah keturunan KH. Abdul
Fattah Hasyim dari ayah maupun ibu mempunyai jalur kenasaban sampai pada
Pangeran Benowo. Dari Pangeran Benowo ke atas jalur keturunan bertemu
langsung sampai pada Sayyid Abdurrahman alias Joko Tingkir 1570-1587 M.
Dalam perjalanan intelektualnya, diawali dari gemblengan secara intensif dari Sang
Ayah, yakni Kiai Hasyim Idris. Dari Ayahandanya tersebut, beliau mendapatkan
pendidikan dasar ilmu-ilmu agama dan pelajaran Al-Quran. Pola pendidikan yang
diterapkan oleh Sang Ayah sangatlah disiplin dan ketat, tidak jarang KH. Abdul
Fattah mendapatkan takdiran dan hukuman berupa campukan dan jeweran ketika
tidak bisa memahami pelajaran yang diajarkan kepadanya. Disamping
mendapatkan pendidikan dari Ayahnya sendiri, Kiai Fattah juga mendapatkan
tambahan pendidikan dasar-dasar ilmu agama di Madrasah Ibtidaiyah Tambakberas
yang pada saat itu beliau seangkatan dengan KH. Muhammad Wahid Wahab
sampai kelas 6 Shifir. Setelah menginjak remaja, dengan berbekal dasar ilmu
agama yang telah dikuasai, Kiai Fatah melanjutkan perjalanan intelektual ke
beberapa pondok pesantren di Pulau Jawa. Pondok pesantren pertama kali yang
dituju oleh Kiai Fattah menurut sebagian pendapat adalah pondok pesantren
Mojosari, Nganjuk, kemudian diteruskan menuju pondok pesantren Siwalan Panji
Buduran Sidoarjo di bawah asuhan KH. Khozin. Di pesantren ini beliau mendalami
ilmu tata bahasa Arab (Gramatika Arab) yang meliputi Shorof, Nahwu (Alfiyyah
Ibnu Malik) dan Balaghoh. Setelah beberapa lama menimba ilmu di pesantren
Siwalan Panji, Kiai Fattah belum merasa puas sehingga pada akhirnya beliau

13
memutuskan untuk melakukan perjalanan intelektual di pesantren Tebuhireng,
Jombang, di bawah bimbingan dan asuhan Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Terdapat perbedaan pendapat yang menyatakan tentang perjalanan pertama kali
KH. Abdul Fattah Hasyim dalam menuntut ilmu pasca penggemblengan ayahnya.
Versi lain menyatakan bahwa pondok pertama yang dituju oleh KH Abdul Fattah
Hasyim adalah pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Saat usianya sudah
menginjak dewasa, tepatnya pada 1938, KH. Abdul Fattah dinikahkan dengan Nyai
Musharrafah, Putri KH. Bishri Syansuri, pengasuh pondok pesantren Denanyar
Jombang. KH. Abdul Fattah Hasyim dikenal sebagai seorang yang memiliki
kepribadian yang kuat, kedisiplinan yang tinggi, dan istiqomah terhadap hal-hal
yang terkait dengan muamalah, pendidikan, dan ibadah. Dalam urusan jamaah
sholat lima waktu, Kiai Abdul Fattah sebagaimana yang dituturkan oleh putrinya,
yakni Ibu Nyai Hj. Nafisah, tidak pernah absen, bahkan menjelang wafatnya di saat
mengalami sakit parah, beliau masih menanyakan orang yang menyertai
jamaahnya. Hampir setiap subuh sekitar pukul 03.30 pagi dengan sangat telaten,
beliau membangunkan para santri dari kamar per kamar untuk sholat jamaah subuh,
mengomando dengan meniup trompet di depan rumahnya. Setengah jam sebelum
dimulai jamaah sholat, beliau, Kiai Abdul Fattah, sebagaimana yang dikatakan oleh
Kiai Hasan, beliau sudah siap dengan pakaian sholat yang lengkap dengan imamah
di kepala dan sajadah di pundaknya, Seperempat jam sebelum jamaah dimulai,
beliau sudah mengerjakan i’tikaf di masjid. Di usia yang ke-60 tahun, akibat sakit
yang diderita, dari hari ke hari kondisi kesehatan beliau semakin memburuk. Tepat
pada malam Jum’at tanggal 27 April pukul 22.15, minggu tenang menjelang pemilu
tahun 1977, beliau menghadap keharibaan sang Kholiq. Pada Jum’at pagi, beliau
dimakamkan di pemakaman keluarga sesuai dengan wasiat beliau yang
menginginkan untuk dimakamkan di sebelah selatan gedung Madrasah Mu’alimin.
Harapan beliau dengan dimakamkan di tempat tersebut ketika beliau sudah di alam
Baqa’, beliau masih bisa mendengarkan santri-santri yang membaca kitab,
melantunkan bait-bait alfiyyah dan ayat-ayat suci Al-Qur’an

14
B. Sejarah Perkembangan Kemajuan Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang
1. Asal Usul Nama Bahrul Ulum
Sejarah pondok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas ini, sejak awal rintisannya
oleh Kiai Sehah, dikenal dengan nama pondok selawe atau pondok telu. Kiai Sehah
bukan hanya seorang ulama, beliau juga seorang pemimpin pasukan Diponegoro
sekaligus seorang pendekar sakti. Setelah Diponegoro ditangkap Belanda pada tahun
1830, Kiai Abdussalam memindahkan basis perlawanan dari Tegalerjo ke arah timur
hingga sampai di alas Wonomerto, Wonosalam. Dan kemudian menetap di alas Gedang,
utara Wonosalam. Pilihan alas Gedang dijadikan basis oleh Kiai Abdussalam karena
jauh sebelumnya (1825), beliau sudah melakukan observasi dan membuka lahan
sebagai persiapan tempat pelarian guna menyusun dan menggalang kekuatan kembali
melawan kolonialis Belanda. Selama 13 tahun beliau membangun alas Gedang merubah
hutan Belantara menjadi sebuah perkampungan, hingga akhirnya beliau mendirikan
sebuah padepokan yang kemudian sehari dikenal dengan sebutan Padepokan Selawe
karena hanya 25 santri yang menetap di padepokan tersebut. Ada juga yang menyebut
Pondok telu karena padepokan hanya memiliki 3 kamar. Setelah itu, pada masa Kiai
Hasbullah, pondok pesantren ini dikenal dengan sebutan pondok tambakberas. Sehingga
pada masa Kiai Abdul Wahab Hasbullah, tepatnya pada tahun 1965, empat orang santri
dipanggil menghadap beliau. Mereka adalah Ahmad Junaidi (Bangil), M. Masrur
Dimyati (Dawar Blandong Mojokerto), Abdullah Yazid Sulaiman (Keboan Kudu
Jombang), dan Muhammad Shamsul Huda (Denanyar Jombang). Waktu itu, yang
menjabat sebagai sekretaris pondok adalah Ahmad Taufik dari Pulo Gedang. Keempat
santri beliau ini ditugasi mengajukan pilihan nama pondok pesantren. Keempat santri
ini mengajukan tiga nama alternatif yaitu Bahrul Ulum, Darul Hikmah, dan Mamba’ul
Ulum. Dari ketiga nama yang diajukan, hasil istikhoroh Kiai Abdul Wahab memilih
nama Bahrul Ulum yang artinya “Lautan Ilmu” yang kelak diharapkan Pesantren
Tambakberas benar-benar menjadi lautan ilmu.

15
2. Masjid Tambakberas
Masjid Tambakberas punya ciri khas yang unik sekaligus menarik dikaji. Pada
awalnya bangunan masjid dan menara terpisah dari sisi jarak. Lalu bentuk menara
masjid yang antik terkadang memunculkan makna tersendiri bagi orangorang yang
iseng menafsiri. Kekhasan ini juga yang membuat para alumni Bahrul Ulum selalu
menanyakan hal yang sama ketika bicara pesantren tempat belajarnya dulu. “Piye
menoroe...? Jek pancet lanang kan...?” itulah pertanyaan mereka. Dalam sejarahnya,
masjid ini dibangun pada periode Mbah Chasbullah Said, demikian menurut penuturan
Mbah Kaji Ma’rufah bibik Ansori Sehah. Adapun pimpinan pembangunan dipercayakan
kepada Mbah Syukur yang tak lain adalah putra Mbah Abdus Salam. Sedang Mbah
Hasbullah yang saat itu berperan sebagai tukang ukur yang berjalan ke sana kemari
sambil membawa tali dadung (tali yang terbuat dari serat pohon yang dikeringkan)
mengukur kepastian luas dan lebar bangunan masjid. K.H Hasbullah dalam catatan
sejarah meninggal pada tahun 1926 M. Satu pertanyaan yang muncul kemudian adalah
tahun berapa dimulainya pembangunan? Berapa tahun bangunan masjid ini tuntas
terselesaikan? Siapa arsitek dan muadzin pertama masjid tersebut? Fakta sejarah hanya
menemukan tulisan tahun terpahat di dinding luar pengimaman masjid 13-6-1371 H
( 9 Maret 1952). Belum jelas apa makna tulisan tahun tersebut. Kemungkinan tulisan itu
merujuk pada tahun selesainya renovasi masjid atau selesainya renovasi pengimaman.
Sementara nama arsitek masjid sampai saat ini masih tertutup rapat dalam tumpukan
sejarah. Tersimpan rapat dan belum terkuak. Bagaimana dengan menaranya? Sebagian
besar mengatakan bahwa menara masjid Tambakberas dibangun pada era Mbah Hamid
(Kiai Abdul Hamid adik Kiai Wahab Chasbullah). Bahkan menurut pak suroso,
pembangunan menara melalui proses empat tahap. Memang faktanya menara masjid
terdiri dari empat tingkat. Kiai Nashir Abdul Fattah menguatkan cerita Pak Suroso,
dengan melengkapi keterangan, mengatakan bahwa bahan yang dipakai penguat pilar
menara adalah bambu-bambu kecil yang diikat jadi satu kemudian diselipkan di antara
tumpukan batu bata. Seperti halnya tulisan di masjid. Di menara ini terdapat pahatan
yang belum terungkap maknanya. Tertulis di dinding menara sebelah barat angka 1367
H (1948 M), sementara di sisi selatan terukit pahatan huruf arab ‫ح ر ت م‬. Menurut
cerita Kiai Nashir, muadzin pertama masjid Tambakberas adalah Pak Burhan
(Burhanuddin mertua dari Pak Suroso). Walaupun Pak Burhan punya kekurangan dari

16
sisi fisik, namun suaranya lembut dan jernih. Semenjak berdirinya menara, jika sudah
waktunya adzan pak Burhan selalu naik sampai puncak menara sambil membawa
corong yang dipergunakan sebagai pengeras suara adzan. Saat mengumandangkan
adzan, pak Burhan tidak hanya mengaharap ke satu arah, akan tetapi keliling ke emat
penjuru. Suara adzan seakan mengalir terbagi secara naluriah seiring langkah kaki pak
Burhan. Begitu adzan selesai, pak Burhan turun dari menara lantas berjalan menuju
pengimaman. Semenit kemudian masih dengan suaranya yang lembut dan jernih beliau
melanjutkan dengan membaca puji-pujian.

17
C. Peran Kiai Terdahulu Terhadap Perkembangan Kemajuan Pondok Pesantren
Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Ada satu kisah ketika Kiai Najib Wahab yang kala itu selaku pemegang estafet
kepemimpinan Pesantren Tambakberas setelah wafatnya Kiai Fattah Hasyim tahun
1977, pada saat itu Kiai Najib Wahab mengungkapkan keresahannya kepada Kiai
Nahrullah. Beliau sedih melihat banyaknya santri baru yang telah berumur dewasa,
lulusan tingkat SMA namun dengan pemahaman agama tingkat ibtidaiyah. Banyak di
antara mereka yang mengurungkan niatnya belajar di pesantren karena harus
mengulang lagi di tingkat MI, karena memang pemahaman mereka masih pada tingkat
dasar. Beliau berdiskusi dan akhirnya mendorong Kiai Nashrul yang kala itu mengajar
di Madrasah Mu’allimin untuk mendirikan sebuah sekolah persiapan bagi santri yang
berlatar belakang demikian. Berawal dari situlah, maka Kiai Nashrul merintis Sekolah
Persiapan
(SP) bagi mereka yang hendak melanjutkan ke jenjang Mu’allimin. Pesantren harus
menjawab kebutuhan masyarakat dan tentang zaman. Begitu pemikiran Kiai Najib Dan
Kiai Nashrul.
Adapun Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 6 Tahun Bahrul Ulum Tambakberas
Jombang didirikan pada tahun 1953, sebagai kelanjutan dari Madrasah Ibtidaiyah
Islamiyah Tambakberas. Madrasah Mu’allimin awalnya ditempuh selama 4 tahun dan
khusus siswa putra. Lima tahun kemudian (tahun 1958), menjadi Madrasah Mu’allimin
Mu’allimat dengan masa belajar 4 tahun. Kurikulum yang digunakan mengacu pada
kurikulum sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun. Pada tanggal 1 Juli 2011,
kepemimpinan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat oleh K.H Abdul Nashir Fattah.
Kemudian pada tanggal 22 Juli 2011 Madrasah Mu’allimin Mu’allimat meningkatkan
kualitas dan mempertahankan status Akreditasi Madrasah dengan hasil terakreditasi B
oleh Badan Akreditasi Provinsi. Sebelum itu, pada Tahun 1982 berdiri Sekolah
Persiapan Mu’allimin Mu’allimat (SP MMA) atau Madrasah Idadiyah Lil Mu’allimin

18
Wal Mu’allimat yang ditempuh dalam dua tahun yang terdiri dari kelas 1 dan kelas 2.
Dan rintisan sejarah Sekolah Persiapan ini telah dipaparkan oleh bab sebelumnya.
Kemudian Madrasah Mubdil Fan dirintis Mbah Wahab yang merubah
pendidikan weton menjadi klasikal. Saat awal berdirinya, ayah Mbah Wahab, yakni Kiai
Hasbullah Said tidak setuju dengan model pendidikan klasikal Mubdil Fan.
Ketidaksetujuannya diwujudkan dengan lemparan bata merah saat kegiatan
pembelajaran di Madrasah Mubdil Fan. Seiring berjalannya waktu, setelah
memperhatikan keseriusan dan kegigihan Mbah Wahab mengelola Madrasah Mubdil
Fan, Mbah Hasbullah pun luluh. Kemudian Mbah Hasbullah membangun sebuah
gedung untuk Madrasah Mubdil Fan. Lokasi pertama Mubdil Fan ada di sekitar pondok
induk, kemudian pindah ke brangkulon (seberang barat sungai), selanjutnya pindah lagi
ke tempat yang sekarang menjadi kantor yayasan pondok pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas. Kemudian pada tahun 1943 Mubdil Fan diganti nama menjadi Madrasah
Ibtidaiyah.
Selain itu, Kiai Abdul Wahab Hasbullah telah mendirikan dua buah madrasah,
yakni Nahdlatul Wathan dan Taswirul Afkar. Kedua Madrasah ini sejak didirikan telah
menggunakan sistem klasikal dengan kurikulum seratus persen agama. Pada tahun 1929
misalnya, Nahdlatul Wathan dan Taswirul Afkar, membuka enam jenjang kelas. Kelas
pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, para murid sifir awal dididik
untuk bisa menulis Arab, menyusun kalimat Arab dan membaca Al-Qur’an. Untuk
tahun berikutnya mereka bisa menjadi sifir tsani, dengan mata pelajaran sama dengan
sifir awal tapi lebih mendalam. Sedangkan murid sifir tsani dipersiapkan untuk
memasuki madrasah empat tahun berikutnya, mulai dari kelas satu sampai kelas empat
(tamat). Selain madrasah dengan enam jenjang kelas tersebut, madrasah Nahdlatul
Wathan dan Taswirul Afkar juga membuka kelas yang sama, tetapi aktivitasnya pada
sore hari. Madrasah ini khusus untuk anak-anak orang miskin dan anak yatim.
Dalam perkembangannya, Model Ma’had Aly sebagai Situs Perguruan Tinggi
Pertama di Tambakberas yang Saat ini ada 3 Perguruan Tinggi yang berdiri di
Tambakberas. Semua berada di lingkungan pondok pesantren Bahrul Ulum. Rupanya
komitmen keilmuan ara dzuriyah Mbah Sehah ini demikian kuat sehingga tidak hanya
madrasah saja yang bertebaran, tapi Pendidikan Tinggi pun tak cukup satu. Di samping
konsentrasi pendidikan kesehatan yang diwadahi STIKES BU dan pendidikan Agama
Islam di bawah IAIBAFA, ada Unwaha yang menjadi perguruan tinggi paling tua di

19
Tambakberas. Unwaha ini merupakan sebutan baru bagi sebagian alumni. Dulu
perguruan tinggi ini disebut dengan nama ABA, STAI, STAI, dan sempat berdiri
STMIK sebagai embrio berdirinya Universitas Wahab Hasbullah. Semua ini berawal
dari kedatangan pak Harto ke Tambakberas tahun 1969. Pak Harto yang masih baru
dikukuhkan sebagai Presiden RI ini menawarkan bantuan untuk pendirian pendidikan
tinggi yang kelak dinamai Ma’had Aly. Bantuan senilai Rp. 14 juta itu turun pada tahun
1970 setelah Kiai Wahab mengiyakan tawaran tersebut. Bantuan itu digunakan untuk
pendirian gedung di pinggir jalan raya. Sekarang menjadi gedung bersama. Sekarang
menjadi gedung bersama yang dipakai kelas oleh unit Pendidikan MTs BU, MAI, dan
MABU. Tapi Ma’had Aly saat itu belum sempat terwujud sebagai pusat pendidikan.
Bahkan karena mangkrak beberapa lama, gedung itu pun difungsikan sebagai kelas bagi
lembaga pendidikan lain yang baru lahir, yaitu MTsN dan MAN pasca penegerian
madrasah. Pengalihfungsian itu tidak lepas dari ultimatum pemerintah yang mencam
akan mengambil alih gedung jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Setelah
wafatnya Kiai Wahab bulan Desember 1971, Ma’had Aly tersebut akhirnya diwujudkan
oleh Kiai Fattah Hasyim pada tahun 1974 dengan pendirian fakultas tarbiyah. Tapi
sayang hanya berumur setengah tahun. Setelah itu vakum tanpa kegiatan hingga
wafatnya Kiai Fattah tahun 1977. Sekembalinya putra kKiai Wahab Hasbullah, yaitu
Kiai Najib Wahab dari tugasnya sebagai anggota MPR RI di Jakarta, ide menghidupkan
lagi Perguruan Tinggi kembali menghangat. Ketika Kiai Najib menjadi pengasuh utama
Bahrul Ulum, sekitar tahun 1983, beliau mendirikan ABA (Akademi Bahasa Arab)
sebagai Perguruan Tinggi milik Bahrul Ulum. Perkuliahan pun berjalan kembali dengan
lancar. Setelah Kiai Najib, perguruan Tinggi ini tak pernah lagi mati suri, walau harus
berubah beberapa kali untuk mengadaptasikan diri dalam perkembangan zaman.
Persoalan muncul saat nama ABA mengemuka. Drs. Marsekan, rektor IAIN Sunan
Ampel sekaligus Ketua Kopertais menentang konsep ABA karena dianggap tidak
memiliki kurikulum standar. Akhirnya dirubahlah ABA menjadi Fakultas Tarbiyah
jurusan Bahasa Arab. Lokasinya tetap di gedung yang sama, gedung yang dulu disebut
nama Ma’had Aly. Pengalihan nama ini dirasa lebih tepat secara konsideran, sehingga
ketika diadakan vitasi tahun 1985 oleh kopertais, kampus ini mendapat izin operasional
dengan nama STIT (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah) jurusan Bahasa Arab. Ketua
Sekolah Tingginya adalah Kiai Najib sendiri sekaligus sebagai dosen Ilmu Tafsir
sedangkan Kepala TU-nya adalah Bapak Anshori Sehah. Setahun berikutnya, STIT

20
mendapat status terakreditasi dari Kemenag. Namun tingkatannya masih Sarjana Muda
(BA) dengan masa tempuh Pendidikan 3 tahun dan statusnya masih tercatat. Baru
setelah tahun 1986, dengan proses akreditasi STIT naik statusnya menjadi terakreditasi.
Status ini penting bagi keleluasaan STIT untuk mengembangkan diri hingga tahun
1990, STIT resmi menjadi Perguruan Tinggi Strata Satu (S1). Sejak pindah ke Barat
sungai tahun 1994 dari hasil tanah yang dibeli oleh yayasan yang saat itu di bawah
kepemimpinan Kiai Alfatih dibantu Drs. Syamsul Huda, pelan tapi pasti STIT
berkembang, hingga resmi menjadi STAI tahun 1996 dengan menambah jurusan baru
yaitu PAI. Hingga saat ini STAI tetap eksis berdiri sekalipun telah muncul kampus baru
yaitu UNWAHA (Universitas Wahab Hasbullah) di sampingnya. UNWAHA sendiri
mempunyai sejarah yang berbeda saat didirikan. Dari embrionya yakni STMIK
( Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komunikasi), Unwaha makin menapaki
eksistensinya dengan membuka banyak jurusan baru.

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Mengenali para tokoh pendahulu pondok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas
khususnya Mbah Abdus Salam, Mbah Said Chasbullah, Mbah Hasbullah Said,
Mbah Yai Wahab Chasbullah, Mbah Hamid
Chasbullah, Mbah Yai Abdurrochim Chasbullah, Mbah Yai Fattah Hasyim
2. Mengetahui asal usul nama Bahrul Ulum dan sejarah berdirinya masjid
Tambakberas
3. Upaya yang dilakukan para-Kiai Terdahulu dalam pendidikan agama dengan
karakter islam dengan membangun Madrasah Mu’allimin Mu’allimat, Madrasah
Mubdil Fan, dan membuat sistem klasikal dalam Madrasah Diniyah
B. Saran
Disarankan kepada segenap siswa untuk dapat mempelajari dari tokoh pendahulu
serta asal mula terbentuknya Bahrul Ulum. Juga tidak kalah dari upaya yang dilakukan
oleh para-Kiai untuk menciptakan dalam perkembangan kemajuan pondok pesantren
Tambakberas Jombang

22
DAFTAR PUSTAKA

Fahham, A. M. (2020). Pendidikan Pesantren: Pola Pengasuhan, Pembentukan Karakter


dan Perlindungan Anak. Diakses pada 20 Oktober 2023 dari
https://books.google.co.id/books?
id=BCsDEAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=Pondok+pesantren&hl=id&newbk
s=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_search&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKE
wjEntuGyNaBAxVbxTgGHXDfBjwQ6wF6BAgMEAU#v=onepage&q=Pondok
%20pesantren&f=false
Tim Sejarah Tambakberas (2017). Tambakberas: menelisik Sejarah, memetik uswah.
Pustaka Bahrul Ulum

23

Anda mungkin juga menyukai