Anda di halaman 1dari 21

Departemen Keperawatan Gawat Darurat

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR


RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO

OLEH
Rabiyatul Awaliyah
70900123013

CI INSTITUSI CI LAHAN

(Ns.Nurul Husnul Khotimah,M.Kep.,Sp.KMB) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XXIII


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023/2024
BAB I
KONSEP DASAR MEDIS
A. Defenisi
Fraktur adalah patah tulang dimana terjadi integritas tulang dan gangguan penuh atau
sebagian pada kontuinitas struktur tulang, fraktur terjadi karena hantaman langsung sehingga
tekanan lebih besar dari pada yang bisa diserap. Ketika tulang mengalami fraktur maka
struktur sekitarnya akan terganggu.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, fraktur terjadi ketika tekanan yang kuat
diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang pada tulang yang terkena penyakit,
misalnya osteoporosis (Muttaqin, A. 2020).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak,
dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan
terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi
sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat
mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang
(Wijaya, Putri dkk. 2021).
B. Etiologi
1. Cedera traumatic
Cedera traumatic pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
seacara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur, seperti :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali atau progresif
b. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran
(Putri, C. M., Rahayu, & Sidharta, B. 2021).
C. Klasifikasi
1. Klasifikasi etiologis
a. Fraktur traumatic, yaitu patah atau serpihan tulang menjadi lebih dari dua bagian
karena kekuatan dan energi yang cukup dapat memecah tulang, jenis patah tulang ini
terjadi setelah trauma seperti kecelakaan kendaraan
b. Fraktur patologis, yaitu fraktur yang terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
menjadi lemah oleh karena tumor atau proses patologik lainnya (infeksi dan kelainan
bawaan) dan dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan
c. Fraktur Beban (Kelelahan), yaitu fraktur yang terjadi pada orangorang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas merka atau karena adanya stress yang kecil dan
berulang-ulang pada daerah tulang yang menopang berat badan.
2. Klasifikasi klinis
a. Fraktur tertutup (closed fracture) adalah fraktur dengan kulit yang tidak tembus oleh
fregmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan
b. Fraktur terbuka (open fracture) adalah fraktur dengan kulit ekstremitas yang terlibat
telah ditembus, dan terdapat hubungan antara fregmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlakuan kulit. Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat yaitu:
1) Grade 1 : Sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit
a) Luka < 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
c) Fraktur sederhana, transversal, atau kominutif ringan
d) Kontaminasi minimal
2) Ggrade 2 : Fraktur terbuka dan sedikit kerusakan kulit
a) Laserasi < 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak dan tidak luas
c) Fraktur kominutif sedang
d) Kontaminasi sedang
3) Grade 3 : Terdapat banyak jejas kerusakn kulit, otot jaringan saraf dan pembuluh
darah serta luka sebesar 6-8 cm.
(Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. 2021).
D. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu
tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak
disekitar tulang tersebut, jaringan lunak yang biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat di sekitar fraktur. Sel-sel darah putih dan sel-sel anast
berkamulasi mengakibatkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktifitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baruamatir yang disebut callus. Bekuan fibrin di reabsorbsi
dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi
pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstermitas dan mengakibatkan
kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusa darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
compartment (Muttaqin, A. 2020).
E. Manifestasi Klinis
Beberapa tanda dan gejala terjadinya fraktur yaitu:
1. Deformitas akibat dari kehilangan kelurusan (alignment) yang dialami
2. Pembengkakan dapat muncul segera sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada
lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar
3. Memar terjadi karena perdarahan pada lokasi fraktur
4. Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan karena cedera yang terjadi
5. Gerakan abnormal dan krepitasi
6. Syok karena fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah
7. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. tanda ini terjadi setelah beberapa jam atau beberapa
hari
8. Spasme otot
9. Nyeri
(Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2021).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
a. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur
b. CT Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan : peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan
b. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang
c. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang
d. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Asparat Amino
Transferase (AST), Aldolase meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lainnya
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas dilakukan pada kondisi
fraktur dengan komplikasi seperti kondisi infeksi
b. Biopsi tulang dan otot, pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
mikroorganisme tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi
c. Elektromiografi, terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur
d. Artroskopi, didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan
e. Indium imaging, pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang
f. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
g. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau cedera
hati
h. MRI, menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Wijaya, Putri dkk. 2021).
G. Komplikasi
Secara umum komplikasi dibagi menjadi 2 yaitu komplikasi awal dan komplikasi lama.
1. Komplikasi awal
a. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.Hal ini biasanya terjadi pada
fraktur.pada beberapa kondisi tertentu, syok neurogenic sering terjadi pada fraktur
femur karena rasa sakit yang hebat pada pasien.
b. Emboli lemak
Sindrom emboli lemak (Fat Embolism Syndrome-FES) adalah komplikasi serius
yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabklan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernapasan, takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam
c. Cedera arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh : tidak adanya nadi, CRT
(capillary refill time) menurun, sianosis bagian disteal, hematoma yang lebar, serta
dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi pembidaian,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Hal ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan
lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF) atau plat.
e. Avascular nekrosis
Avascular nekrosis (AVN) terjaadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi di mana terjadi terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan
dari edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Kondisi
sindrom kompartemen akibat komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur yang
dekat dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang. Tanda khas
untuk sindrom kompartemen adalah 5P, yaitu : pain (nyeri lokal), paralysis
(kelumpuhan tungkai), pallor (pucat bagian distal), parestesia (tidak ada sensasi) dan
pulseness(tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak baik, dan CRT
>3 detik pada bagian distal kaki).
2. Komplikasi lama
a. Mal union (penyatuan tulang yang tidak bagus)
Mal-union adalah kegagalan di mana fraktur pada saatnya, tetapi terdapat
deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, pemendekan, atau menyilang,
misalnya pada fraktur radius-ulna.
b. Nonunion (tulang yang tidak menyatu)
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu 6-8 bulan dan tidak
terjadi konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis
dapat terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi yang disebut
sebagai infected pseudoarthrosis.
c. Delayed union (fraktur yang tidak mengalami penyembuhan secara utuh)
Delayed union merupakan kegagalan frktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau tersambung dengan baik. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulaang. Delayed union adalah fraktur yang tidak
sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (tiga bulan untuk aanggota gerak atas dan
lima bulan untuk anggota gerak bawah).
(Putri, C. M., Rahayu, & Sidharta, B. 2021).
H. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan 4R yaitu:
1. Rekognisi
Pengenalan terhadap fraktur melalui penegakan berbagai diagnosis yang mungkin
untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang fraktur, sehingga diharapkan
dapat membantu dalam penanganan fraktur
2. Reduksi
Tindakan mengembalikan posisi fragmen-fragmen tulang yang mengalami fraktur
seoptimal mungkin ke keadaan semula
3. Retensi
Mempertahankan kondisi reduksi selama masa penyembuhan seperti pemasangan
gips yang pemasangannya harus melewati sendi di atas fraktur dan di bawah fraktur
4. Rehabilitasi
Pengobatan dan penyembuhan fraktur bertujuan untuk mengembalikan kondisi
tulang yang patah ke keadaan normal dan tanpa mengganggu proses fiksasi.
(Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. 2021).
Penatalaksanaan medis pada pasien fraktur menurut (Pusbankes 118. 2019) yaitu:
1. Tindakan konseratif
a. Imobilisasi
Adalah mempertahankan reposisi selama masa penyembuhan patah tulang misalnya
pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan
yang baik
b. Rehabilitasi
Adalah proses pemulihan kembali fungsi tulang yang dapat dilakukan dengan
fisiotherapy aktif dan pasif.
c. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Gips merupakan alat imobilisasi eksternal yang kaku yang dicetak sesuai kontur
tubuh dimana gips ini dipasang. Tujuan pemakaian gips adalah untuk
mengimobilisasi bagian tubuh dalam posisi tertentu dan memberikan tekanan yang
merata pada jaringan lunak yang terdapat didalamnya.
d. Reposisi dengan traksi
Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan
terdislokasi kembali di dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang
kuat, misalnya fraktur femur.
2. Tindakan operatif
a. ORIF (Open Reduction with Internal Fixation)
Merupakan tindakan insisi pada tempat yang mengalami cedera dan ditentukan
sepanjang bidang anatomic menuju tempat yang mengalami fraktur. Keuntungannya
yaitu reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar. Indikasi dari ORIF:
1) Fraktur yanmg tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misal:
fraktur talus, fraktur collom femur
2) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup, misal: fraktur avulasi, fraktur
dislokasi
3) Fraktur yang dapat direposisi sulit dipertahankan, misal: fraktur pergelangan kaki
4) Fraktur intra-articuler, misal: fraktur patella.
b. OREF (Open Reduction with Eksternal Fixation)
Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksternal dengan mempergunakan kanselosa
screw dengan metil metaklirat (akrilik gigi) atau fiksasi eksternal dengan jenis-jenis
lain misalnya dengan mempergunakan screw schanz. Keuntungannya yaitu darah
sedikit yang hilang, mudah membersihkan luka, sesegera mungkin ambulasi dan
latihan tubuh yang nyeri.
Indikasi dari OREF yaitu fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang
yang hebat, fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartrosisi, fraktur yang miskin
jaringan ikat.
I. Prognosis
Prognosis pada fraktur tergantung dari tingkat keparahan cedera, semakin tinggi
derajat keparahan cedera semakin tinggi risiko infeksi dan komplikasi lain. Penundaan
operasi juga akan meningkatkan risiko infeksi dan memperburuk prognosis pasien.
Prognosis fraktur tergantung pada derajat fraktur terbuka. Semakin tinggi derajat
fraktur semakin buruk prognosisnya. Risiko infeksi juga tergantung pada derajat fraktur
terbuka dimana pada fraktur terbuka derajat I, memiliki risiko infeksi 0-2%, derajat II 2-
10%, dan derajat III 10-50% (Putri, C. M., Rahayu, & Sidharta, B. 2021).
J. Penyimpangan KDM
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian

1. Identitas Klien dan Keluarga (Penanggung Jawab) Nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, status perkawinan, alamat, dll.
2. Pengkajian Primary Survay
a. Airway
Pasien dengan post op craniotomy akan terpasang ventilator sebagai penunjang alat
pemafasan serta juga terpasang ETT, OPA. Pada jalan akan tertumpuk secret karena
terjadi penurunan kesadaran.
b. Breathing
Terpasang ventilator. Suara nafas ronchi. Pernafasan pada pasien dengan post op
craniotomy tidak teratur dan kedalamannya juga tidak teratur.
c. Circulation
Pasien dengan post op craniotomy tekanan darahnya tidak menentu. Akralnya
dingin, warna kulitnya pucat karena ketika operasi banyak menghabiskan darah dan
menyebabkan Hb nya menjadi renda.
d. Disability
Kesadaran akan menurun karena telah di lakukan pembedahan pada otak. Besar
pupil normal (+2 mm). Reflek terhadap cahaya ada. Semua aktifitas di bantu karena
mengalami penurunan kesadaran serta harus bedrest total.
3. Pengkajian Secondary Survey
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Sekarang Biasanya pasien dengan post op craniotomy mengalami penurunan
kesadaran atau masih d bawah pengaruh obat (GCS <15), lemah, terdapat luka di
daerah kepala, terdapat secret pada saluran pernafasan kadang juga kejang.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat kesehatan dahulu harus diketahui baik berhubungan dengan system
persarafan maupun riwayat penyakit sistematik lainnya. Biasanya pasien
mempunyai riwayat penyakit seperti kepala terbentur atau jatuh, riwayat hipertensi
dan stroke
c. Riwayat kesehatan Keluarga
Pasien dengan post op craniotomy mempunyai riwayat keturunan seperti penyakit
hipertensi dan stroke.
4. Pengkajian Fokus B6
a. B1 Breathing
Hal yang perlu dikaji diantaranya:
1) Adakah sumbatan jalan karena penumpukan sputum dan kehilangan reflek
batuk
2) Adakah tanda-tanda lidah jatuh ke belakang
3) Adakah suara nafas tambahan dengan cara melakukan auskultasi suara nafas
4) Catat jumlah dan irama nafas
b. B2 (Blood/sirkulasi)
Kaji adanya tanda-tanda peningkatan TIK yaitu peningkatan tekanan darah disertai
dengan pelebaran nadi dan penurunan jumlah nadi.
c. B3 (Brain/persarafan otak)
1) Kaji adanya keluhan nyeri kepala hebat, periksa adanya pupil unilateral dan
observasi tingkat kesadaran
2) Kaji status mental Observasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi
wajah dan aktifitas motoric
3) Kaji fungsi intelektual Observasi adanya penurunan dalam ingatan dan
4) Memori baik jangka pendek maupun jangka panjang serta penurunan
kemampuan berhitung dan kalkulasi
5) Kaji kemampuan bahasa Kaji adanya disfasia baik disfasia reseptif maupun
disfasia ekspresif, disartria dan apraksia
6) Kaji Lobus Frontal Kaji adanya kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
seperti kesulitan dalam pemahaman, mudah lupa, kurang motivasi, frustasi dan
depresi.
7) Hemisfer Stroke hemisfer kiri didapatkan hemiparase pada sisi sebelah kanan
dan sebaliknya.
d. B4 (Bladder/Perkemihan)
Kaji adanya tanda-tanda inkontinensia uri akibat ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena adanya kerusakan kontrol motorik dan
postural
e. B5 (Bowel/Pencernaan)
Kaji adanya kesulitannya menelan, nafsu makan menurun, mual muntah &
konstipasi
f. B6 (Bone/Tulang dan integumen)
g. Kaji adanya kelumpuhan atau kelemahan, kaji adanya dekubitus, warna kulit dan
turgor.
5. Pemeriksaan Fisik : Data Fokus
a. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Kesadaran: compos mentis, klien tampak lemah
2) Observasi tanda – tanda vital
a) Suhu tubuh
b) Tekanan darah
c) Nadi
d) Pernapasan
e) Skala nyeri
f) Tinggi badan
g) Berat badan
3) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala : Pasien dengan post op craniotomy tampak luka bekas operasi
pada kepala klien dan terpasang drain, tidak terdapat pembengkakan pada
kepala
b) Mata : Pasien dengan post op craniotomy akan terjadi pengeluaran darah
yang berlebih jadi conjuntiva pucat, ukuran pupil (2 mm). Reaksi terhadap
cahaya ada, tidak ada edema pada palpebra, palpebra tertutup, sklera tidak
ikterik.
c) Hidung : Pasien akan terpasang NGT untuk pemenuhan nutrisi, hidung
bersih, tidak ada perdahan pada hidung. Tidak ada pembengkakan pada
daerah hidung.
d) Mulut : Mukosa bibir tampak kering, pasien akan terpasang ETT dan
OPA, mulut. Tidak ada pembengkakan di sekitar mulut.
e) Leher : Pasien dengan post op craniotomy tidak mengalami kelainan pada
leher.
f) Dada
Inspeksi: Dada tampak simetris, gerkan sama kiri dan kanan, tidak ada
tampak luka atau lesi, tampak terpasang elektroda kardiogram.
Palpasi: Tidak ada pembengkakan
Perkusi: Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi Suara nafas ronchi karena penumpukan secret pada jalan jafas,
irama tidak teratur
g) Kardiovaskuler
Inspeksi: Arteri carotis normal, tidak terdapat ditensi vena jungularis, ictus
cordis tidak terlihat.
Palpasi: Ictus cordis teraba di SIC V 2 cm medial lateral mid clavicula
sinistra
Perkusi: Letak jantung normal yaitu batas atas jantung: ICS II parastemali
sinistra, batas kanan jantung: linea parasternal dextra, batas kiri jantung:
midclavicula sinistra
Auskultasi : tidak mengalami kelainan pada suara jantung: S1 dan S2
normal reguler, tidak ada suara jantung tambahan seperti gallop kecuali
pasien mengalami riwayat penyakit jantung.
h) Abdomen
Inspeksi: Perut datar, tidak ada lesi pada abdomen
Auskultasi: Bising usus

B. Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan mobilitas fisik
2. Nyeri akut
3. Risiko gangguan integritas kulit
4. Risiko infeksi
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosis Intervensi Rasional


Keperawatan

1 Gangguan Dukungan Mobilisasi Observasi:


mobilitas fisik Observasi
- Untuk mengurangi cedera
- Identifikasi adanya
pada bagian tubuh lain
nyeri atau keluhan fisik
- Untuk meminimalkan
lainnya
gerakan pada bagian
- Identifikasi toleransi
tersebut
fisik melalui
- Untuk mengidentifikasi
pergerakan
faktor risiko terkena
- Monitor frekuensi
penyakit lain
jantung dan tekanan
- Untuk menghindari
darah sebelum memulai
terjadinya komplikasi
mobilisasi
Terapeutik:
- Monitor kondisi umum
- Untuk memudahkan proses
selama melakukan
mobilisasi
mobilisasi
- Agar memudahkan
Terapeutik:
melakukan pergerakan
- Fasilitasi aktivitas
- Untuk mengedukasi dan
mobilisasi dengan alat
membantu proses mobilisasi
bantu
tersebut
- Fasilitasi melakukan
Edukasi:
pergerakan, jika perlu
- Agar pasien paham
- Libatkan keluarga
mengenai prosedur tindakan
untuk membantu pasien
yang diberikan
meningkatkan
- Agar pasien dan keluarga
pergerakan
dapat melakukannya dengan
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan mandir
prosedur mobilisasi - Untuk meminimalisir
- Anjurkan melakukan pergerakan mobilisasi yang
mobilisasi dini bahaya

- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan
2 Nyeri akut Manajemen Nyeri Observasi:
Observasi:
- Agar mengetahui lokasi,
- Identifikasi lokasi,
derajat dan tingkat nyeri
karakteristik, durasi,
yang dialami dan dapat
frekuensi, kualitas,
melakukan intervensi
intensitas nyeri
selanjutnya
- Identifikasi skala nyeri - Untuk mengidentifikasi
- Monitor efek samping skala nyeri
pemberian analgetik - Untuk mengetahui reaksi
Terapeutik: analgetik yang diberikan
- Berikan teknik Terapeutik:
nonfarmakologis untuk - Untuk menurunkan atau
mengurangi rasa nyeri mengalihkan perhatian klien
- Berikan posisi nyaman dari nyerinya

Edukasi: - Untuk menunjang

- Jelaskan penyebab, penurunan nyeri

periode, dan pemicu Edukasi:


nyeri - Agar pasien dapat

- Jelaskan strategi mengontrol nyerinya

meredakan nyeri - Pendidikan kesehatan dapat


Kolaborasi: meningkatkan pemahaman
- Kolaborasi pemberian klien sehingga klien
mengetahui strategi yang
analgetik, jika perlu diberikan
- Untuk mempercepat proses
penyembuhan
Kolaborasi:
- Obat analgetik dapat
mengurangi/meminimalisir
rasa nyeri
3 Risiko gangguan Perawatan Integritas Observasi:
integritas kulit Kulit - Untuk mengetahui
Observasi: penyebab dari masalah
- Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
gangguan integritas kulit klien
(misal perubahan Terapeutik:
sirkulasi, perubahan
- Untuk melembapkan kulit
status nutrisi, penurunan
dan dan memberikan
kelembapan, suhu
sensasi lembut saat
lingkungan ekstrem,
bersentuhan dengan kulit
penurunan mobilitas)
Edukasi:
Terapeutik:
- Untuk melembapkan kulit
- Gunakan produk
- Untuk menjaga elastisitas
berbahan ringan/alami
dan hipoalergik pada dan kelembapan kulit

kulit sensitif - Meminimalkan penggunaan

Edukasi: bahan kimia pada kulit

- Anjurkan menggunakan untuk mencegah iritasi

pelembap (mis. lotion)


- Anjurkan minum air
yang cukup
- Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
meningkatkan asupan
cairan
4 Risiko infeksi Pencegahan Infeksi Observasi:
Obeservasi: - Untuk mengetahui tindakan
- Monitor tanda dan gejala intervensi yang akan
infeksi lokal dan diberikan
sistemik Terapeutik:
Terapeutik: - Untuk menghindari adanya
- Batasi jumlah kontaminasi antara klien
pengunjung dan pengunjung
- Berikan perawatan kulit - Untuk mengurangi edema
pada area edema pada area kulit
- Cuci tangan sebelum - Untuk menghindari
dan sesudah kontak terjadinya penyebaran
dengan klien dan patogen
lingkungan klien Edukasi:
Edukasi: - Mencegah potensi resistensi
- Ajarkan cara mencuci antimikroba
tangan yang benar - Menurunkan risiko infeksi
- Anjurkan akibat mal nutrisi
meningkatkan asupan - Asupan cairan yang
nutrisi tepenuhi membuat
- Anjurkan permukaan kulit menjadi
meningkatkan asupan lembab sehingga
cairan menurunkan risiko infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. (2021). At a Glance Ilmu Bedah. Alih Bahasa dr. Vidia
Umami. Editor Amalia S. Edisi 3. Jakarta: Erlangga.
Muttaqin, A. (2020). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Muskuloskeletal.
Jakarta:EGC.
Putri, C. M., Rahayu, & Sidharta, B. (2021). Hubungan Antara Cedera Kepala
Dan Terjadinya Vertigo Di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan.
Jurnal Fakultas Kedokteran, 1-6.
Pusbankes 118. (2019). Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD). Yogyakarta: Tim
Pusbankes 118 – PERSI DIY.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (2021). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Internal Publishing.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta:
DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan
2. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan 2.
Jakarta: DPP PPNI.
Wijaya, Putri dkk. (2021). Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa Teori dan
Contoh Askep. Yogyakarta: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai