Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

BANTUAN HUKUM DALAM GUGATAN PERDATA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
PUTRI NUR HASANAH 2230104157
SONIA NIKEN KASUMA 2230104158

DOSEN PENGAMPU :
SRI ASMITA, S.H.I.,MA.Hk

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2024
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bantuan Hukum


Bantuan hukum merupakan suatu media yang dapat digunakan
oleh semua orang dalam rangka menuntut haknya atas adanya perlakuan
yang tidak sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Hal ini didasari oleh
arti pentingnya perlindungan hukum bagi setiap manusia sebagai subyek
hukum guna menjamin adanya penegakan hukum. Di dalam bahasa asing
banyak istilah untuk bantuan hukum, di antaranya rechtshulp,
rechtsbijstand, legal aid, legal assistance, dan rechspeistaind. Di samping
itu terdapat pula istilah konsultasi, consultatie, consultation juga dikenal
istilah penyuluhan hukum dan legal information. Adapun istilah-istilah
yang lazim yang digunakan sekarang adalah advokat, pengacara,
pengacara praktik, dan penasihat hukum. Masing-masing lembaga bantuan
hukum tersebut kedudukan dan wewenangnya diatur tersendiri, para
pemberi bantuan hukum itu menetapkan kebijaksanaan sendiri-sendiri
dalam melaksanakan tugas-tugasnya antara satu sama lain tidak ada
koordinasinya.

Dalam perkembangan selanjutnya bantuan hukum itu terus


berkembang menjadi tanggung jawab sosial (social responbility) yang
diselesaikan tidak hanya masalah hukum yang litigasi tetapi juga non
litigasi. Seperti penyuluhan, penataran, pemeriksaan, penelitian, dan
konsultasi serta penasehatan. Sekarang pengertian bantuan hukum semakin
meluas yaitu mencakup pembelaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi,
dan budaya.

Profesi bantuan hukum pertama kali diatur dalam Reglement of de


Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie, (RO) Stb.
1842 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57 Bab VI Pasal 185-192 yang
mengatur tentang advocat dan procureurs. Dalam Hukum Acara Perdata
yang berlaku pada Pengadilan Negeri profesi bantuan hukum diatur dalam
Het Herziene Indonesich Reglement (HIR) Stb. 148 Nomor 16 jo. Stb.
1926 Nomor 559 dan Stb. 1941 Nomor 44. Selain dari itu ada peraturan
lagi tentang apa yang disebut “zaakwaarnemers” dalam Stb. 1927 Nomor
496 yang mengatur tentang bantuan hukum dan tata cara mewakili para
pihak dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 123
HIR dan Stb. 1927 Nomor 496 tersebut, setiap orang dapat menjadi kuasa
di Pengadilan Negeri dalam perkara perdata, jadi tidak ada persyaratan-
persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh seseorang apabila ia
berkehendak menjadi pemberi bantuan hukum di muka pengadilan.

B. Subjek yang Dapat Menerima Bantuan Hukum


Bantuan hukum di dalam negara hukum merupakan sebagian
sarana menegakkan hukum itu sendiri, terutama untuk memperoleh
kebenaran dan keadilan, di mana justisiablen akan mendapat perlindungan
dan kepastian hukum dalam beracara di pengadilan. Masalah bantuan
hukum tentu tidak bisa dilepaskan dengan lembaga peradilan, karena
proses peradilanlah yang menyebabkan dapat berperannya bantuan hukum
secara nyata. Proses peradilan ini berjalan dan dilakukan oleh pengadilan
dengan segala perangkatnya, proses ini diatur dalam suatu peraturan
hukum yang lazim disebut hukum acara.
Sehubungan dengan hal itu, maka ada empat subjek yang dapat
menerima kuasa untuk beracara dalam persidangan, yaitu advokat,
pengacara praktik, individu/perorangan, dan lembaga bantuan hukum pada
Fakultas Hukum.
a. Advokat atau Pengacara
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 istilah penasihat hukum dipergunakan untuk
orang yang profesinya memberi bantuan hukum di pengadilan.
Advokat atau pengacara merupakan seorang penasihat hukum yang
izin prakteknya dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman RI, sesudah
diangkat ia diwajibkan mengucapkan sumpah jabatan. Seorang
advokat atau pengacara dapat beracara di semua lingkungan peradilan,
misalnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Pengacara Praktik
Nama “zaakwaarnermer” yang dalam masyarakat disebut
pengacara praktik, yang diatur dalam Regeling van het bijstaan en
deverteger vordering voor portijen in burgerlijk zaken vopr de
landraaden, Staatsblad Nomor 496 Tahun 1927. Dalam Pasal 1
Staatsblad tersebut dikemukakan bahwa setiap orang berhak memiliki
atau mendampingi tiap-tiap pihak sebagai kuasa atau wakil atau juga
penasehat hukum di muka Pengadilan Negeri. Izin berpraktik setelah
mereka lulus ujian yang bidang litigasi. Di sisi lain, untuk dapat
diangkat sebagai Pengacara Praktik tersebut, terlebih dahulu harus
lulus ujian teknis hukum yang diselenggarakan oleh Pengadilan Negeri
setempat.
c. Individu atau Perseorangan
Pemberian kuasa kepada individu disebut juga sebagai Kuasa
Insidental. Dalam menjalankan pekerjaan sebagai Kuasa Hukum di
muka pengadilan, disyaratkan antara pemberi kuasa dengan penerima
kuasa harus ada terjalin hubungan keluarga dalam batas pengertian istri
dan suami, anak-anak yang belum berkeluarga dan orang tua dari
suami istri tersebut. Dan sebagai pemberi bantuan hukum dalam
menjalankan tugasnya tidak mengharapkan imbalan jasa dari pihak
yang memberi kuasa. Sebelum melaksanakan acara dimuka sidang,
pemberian kuasa yang bersifat individu ini harus meminta izin terlebih
dahulu kepada Ketua Pengadilan Agama.
Jika izin beracara dikabulkan maka pengadilan mendaftarkannya
dalam buku yang telah disediakan, pendaftaran pemberian kuasa
hukum yang bersifat individu itu penting dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama, guna mencegah terjadinya praktik yang berulang-ulang, pada
hakikatnya pemberi bantuan hukum yang sifatnya individu itu sangat
terbatas dalam satu tahun.
d. Lembaga Bantuan Hukum Pada Fakultas Hukum
Di Indonesia, Biro bantuan hukum atau Lembaga bantuan hukum
Fakultas Hukum dalam bentuk konsultasi hukum pertama kali
didirikan oleh Prof. Zeyle Maker tahun 1940 di Rechts Hoge School,
Jakarta. Adapun maksud dibentuknya Biro Konsultasi Hukum ini
adalah untuk memberi nasihat hukum kepada rakyat yang kurang
mampu dalam menuntut haknya di muka sidang pengadilan, di
samping itu juga dimaksudkan untuk mengajukan klinik hukum dalam
rangka membimbing para mahasiswa dalam melaksanakan praktik
hukum di pengadilan. Lembaga bantuan hukum hanya diperbolehkan
berpraktik dalam daerah hukum Pengadilan Negeri di mana Lembaga
bantuan hukum Fakultas Hukum itu terdaftar. Apabila mereka
bermaksud beracara di muka sidang pengadilan maka harus dibimbing
oleh minimal satu orang dosen senior sebagaimana yang telah
tercantum namanya dalam akta pendirian Lembaga bantuan hukum
tersebut. Di samping itu, Biro bantuan hukum dimaksudkan untuk
memberikan bantuan kepada orang yang memerlukannya tetapi
ekonomi mereka lemah sehingga apabila tidak dibantu akan
kehilangan haknya di muka persidangan pengadilan.

C. Kuasa Para Pihak dalam Berperkara

Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur bahwa pihak dalam


suatu perkara harus mewakilkan kepada orang lain. Orang yang langsung
berkepentingan dapat aktif bertindak sendiri sebagai pihak di muka sidang
pengadilan, baik sebagai Penggugat maupun sebagai Tergugat. Mereka ini
termasuk pihak materiil karena mempunyai kepentingan langsung dalam
perkara yang bersangkutan. Tetapi mereka sekaligus menjadi pihak formal
karena mereka sendirilah yang beracara di muka sidang pengadilan.
Mereka itu bertindak untuk dan atas namanya sendiri selaku yang
berkepentingan. Akan tetapi dalam keadaan tertentu para pihak yang
beperkara dapat mewakilkan kepada pihak lain untuk beracara di muka
sidang pengadilan, yaitu penerima kuasa (vertegenwoor diger, authorizee)
Tentang perwakilan ini diatur dalam Pasal 123 HIR atau Pasal 147 ayat (1)
R.Bg. Menurut ketentuan pasal ini, pihak-pihak yang beperkara dapat
menguasakan perkaranya kepada orang lain dengan surat kuasa khusus
(bijzondere schriftelijke machtiging, specially written authorization),
pemberian kuasa dapat juga dilaksanakan secara lisan dan ketua akan
mencatat atau menyuruh mencatatnya dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa
Khusus tidak diperlukan bagi seorang jaksa atau pegawai negeri yang
bertindak sebagai wakil negara dalam persidangan.

Menurut Pasal 1792 B.W., pemberian kuasa adalah suatu


persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang
lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan. Pemberian kuasa untuk beracara dalam persidangan dapat
dilakukan dengan tertulis yaitu pemberi kuasa menyerahkan kekuasaannya
itu dalam bentuk akta autentik (gewaarmerkt) dan dibukukan (geboekt)
Jika pemberian kuasa dilakukan secara lisan cukup dicatat dalam surat
gugat di depan petugas pengadilan atau surat jawaban dari pihak Tergugat,
biasanya kuasa lisan itu diberikan oleh pihak yang buta huruf.

Pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak (eenzaidige


overeenkomst). Itulah sebabnya pemberi kuasa secara sepihak dapat
sewaktu-waktu mencabut atau menarik kembali kuasa yang telah
diberikannya. Karena pemberian kuasa merupakan perbuatan hukum yang
sepihak, penerima kuasa dengan sendirinya dianggap diam-diam telah
menerima baik pemberian kuasa itu, dan terikat dalam perjanjian sepihak
tadi manakala ia mengerjakan hal yang telah disepakati atau telah
menerima upah untuk itu.
Karena pemberian kuasa itu merupakan perjanjian sepihak,
penerima kuasa tidak perlu ikut membubuhkan tanda tangannya di atas
surat kuasa itu, apabila penerima kuasa membubuhkan tanda tangannya
maka hal itu bertentangan dengan hakikat pemberian kuasa sebagai suatu
perbuatan hukum sepihak yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh
pemberi kuasa. Berbeda dengan perjanjian pada umumnya yang bersifat
perjanjian timbal balik (wederkerige overeenkomst) seperti jual beli, sewa
menyewa, dan pinjam meminjam yang melibatkan para pihak dan saling
berkepentingan. Perjanjian yang seperti ini harus ada persetujuan yang
jelas dan tegas dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, apabila perjanjian
dibuat secara tertulis maka harus ditandatangani oleh kedua belah pihak,
dan apabila salah satu pihak cedera janji maka pihak yang lain menuntut
ganti rugi ke pengadilan agar pihak tersebut dihukum untuk tetap
memenuhi perjanjian yang telah dibuatnya.

Apabila hakim ragu tentang isi surat kuasa yang diberikan kepada
penerima kuasa, hakim dapat memerintahkan si pemberi kuasa untuk hadir
sendiri ke muka sidang pengadilan dan menjelaskan apa isi yang
dikuasakan kepada penerima kuasa. Tindakan hakim yang demikian itu
sangat diperlukan guna mencegah perbuatan penerima kuasa yang
melampaui batas atau bertindak melebihi apa yang telah dikuasakan itu
sehingga pemberi kuasa dapat dirugikan. Apabila penerima kuasa
bertindak melebihi apa yang telah diberikan oleh pemberi kuasa, maka
pemberi kuasa dapat menuntut penerima kuasa supaya menghentikan
tindakan yang melebihi yang diberikan oleh pemberi kuasa itu. Tindakan
pemberi kuasa yang demikian itu disebut “Action en Desaveu”.

Dalam kaitannya dengan pemberi bantuan hukum, tidak ada


ketentuan perundang-undangan khusus yang menentukan bahwa seorang
pemberi bantuan hukum yang berpraktik di pengadilan Agama harus
beragama Islam, dan tidak ada ketentuan resmi yang melarang pemberi
bantuan hukum non-Muslim untuk melakukan praktik di Pengadilan
Agama. Tetapi perlu kiranya diperhatikan tentang kepentingan pencari
keadilan yang berurusan di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dikemukakan bahwa Pengadilan 19
Agama diperuntukkan untuk golongan tertentu yang beragama Islam
(personen gebied), yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara-
perkara tertentu (zaken gebied) yang termasuk dalam ruang lingkup
hukum Islam, yang semata-mata hanya dapat dilakukan oleh hakim-hakim
yang beragama Islam. Sehubungan dengan hal ini, sebaiknya pemberi
bantuan hukum di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh pihak
yang beragama Islam, yang selain memahami dan menguasai hukum Islam
juga menguasai hukum umum.

Yang dapat bertindak sebagai kuasa para pihak atau wakil dari
penggugat adalah seseorang yang memenuhi salah satu syarat sebagai
berikut yakni :

a. Harus mempunyai Surat Kuasa khusus sesuai dengan bunyi Pasal23


ayat (1) HIR dan pasal 147 ayat (1) R.Bg.
b. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila
gugatan diajukan secara lisan sebagaimana tersebut dalam Pasal 120
HIR atau pasal 144 R.Bg.
c. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat.
d. Ditunjuk penggugat sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 147 ayat
(1) R.Bg.
e. Memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan
Menteri Kehakiman Nomor 1/1965 tanggal 18 Mei 1965). Keputusan
Menteri Kehakiman Nomor JP 14/12/11 tanggal 7 Oktober 1965
tentang Pokrol.
f. Telah terdaftar sebagai advokat atau pengacara praktik.
Sedangkan yang dapat bertindak sebagai kuasa khusus atau wakil
dari Tergugat adalah seorang yang memenuhi salah satu syarat sebagai
berikut :

a. Mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi pasal123 ayat (1)
HIR atau pasal 147 ayat (1) R. Bg.
b. Ditunjuk oleh Tergugat sebagai kuasa atau wakil di dalam sidang
pengadilan, sebagaimana tersebut dalam Pasal 123 ayat (1) HIR atau
Pasal 147 ayat (1) R.Bg.
c. Memenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam Peraturan Menteri
Kehakiman No. 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965 jo. Keputusan
Menteri Kehakiman No J.P 14/12/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang
Pokrol.
d. Telah terdaftar sebagai advokat atau pengacara praktik.

Sedangkan yang bertindak sebagai kuasa atau wakil dari negara atau
pemerintah berdasarkan Stb 1882 No. 522 dan pasal 123 ayar (2) HIR
atau Pasal 147 ayar (2) R.Bg yaitu pengacara yang diangkat oleh
pemerintah, jaksa dan orang-orang tertentu atau pejabat-pejabat yang
diangkat atau ditunjuk oleh pemerintah.

D. Surat Kuasa Khusus


Setiap orang yang beperkara, apabila dikehendaki dapat
mewakilkan kepada seorang wakil sebagai kuasanya, guna tampil dan
beracara di muka sidang pengadilan mewakili pihak-pihak yang beperkara,
berdasarkan surat kuasa yang bersifat khusus, yang memberikan
kewenangan terbatas tentang suatu masalah. Sifat khusus terletak pada
nama, kualitas dan kedudukan pihak beperkara, tentang masalah tertentu,
nomor perkara atau nama lawan beperkara dan forum yang pasti.
Memberi kuasa kepada seseorang guna mengurus kepentingan
pemberi kuasa untuk mengajukan gugatan, bukti-bukti serta saksi-saksi
pada pengadilan, adalah bukan merupakan surat khusus, melainkan surat
kuasa umum sehingga gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Berdasarkan Hukum Acara Perdata dan yurisprudensi tetap, surat kuasa
umum tidak dapat dipergunakan dalam beracara di depan sidang
pengadilan.

Surat kuasa khusus hanya dapat dipergunakan dalam beracara


dalam satu perkara saja, tidak bisa dipergunakan untuk kepentingan lain di
luar perkara itu. Jadi, khusus hanya perkara yang telah ditentukan dalam
surat kuasa itu.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 31/P/169


M/1959 tanggal 19 Januari 1959, yang perlu dimuat dalam surat kuasa
khusus adalah :

a. Identitas pemberi dan penerima kuasa, yaitu nama lengkap. pekerjaan,


alamat atau tempat tinggal.
b. Nama forum atau pengadilan tempat beracara, misalnya Pengadilan
Agama Pekalongan, Semarang atau Jakarta Timur.
c. Apa yang menjadi pokok sengketa perdata. Hal ini menunjuk kepada
kekhususan perkara, misalnya perkara perdata tentang jual beli
sebidang tanah yang terletak di desa tertentu melawan pihak tertentu
pula (Tergugat atau Penggugat).
d. Penelaah isi kuasa yang diberikan. Ini menjelaskan tentang kekhususan
kuasa, dalam batas-batas tertentu, artinya apabila tidak disebut dalam
penelaah itu, penerima kuasa tidak berwenang melakukannya.
Pembatasan tersebut juga menjelaskan apakah kuasa itu berlaku di
muka Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama saja, atau juga
termasuk untuk naik banding atau termasuk juga untuk permohonan
kasasi.
e. Memuat hak substitusi. Hal ini perlu apabila penerima kuasa
berhalangan, ia dapat melimpahkan kuasa itu kepada pihak lain untuk
menjaga jangan sampai perkara itu macet karena berhalangannya
penerima kuasa.

Menurut Pasal 1813-1819 B.W, surat kuasa yang telah diberikan


kepada penerima kuasa dapat berakhir karena beberapa sebab, di antaranya
adalah sebagai berikut :

a. Ditarik kembali kuasa yang telah diberikan itu oleh pemberi kuasa
(bisa secara sepihak).
b. Pemberi atau penerima kuasa meninggal dunia, atau menjadi tidak
waras (gila). Sebab dengan meninggalnya pemberi atau penerima
kuasa yang tidak waras berarti syarat-syarat sahnya perjanjian tidak
terpenuhi lagi.
c. Dihentikannya pekerjaan yang dikuasakan, dengan hal tersebut
otomatis pemberian kuasa tidak bermanfaat lagi.
d. Penerima kuasa memutuskan sendiri perjanjian kuasa itu. Seorang
kuasa hukum dapat melimpahkan kuasa yang diterimanya dan
menyerahkan kepada kuasa pengganti, sebagaimana tersebut dalam
surat kuasa, baik untuk keseluruhan ataupun untuk sebagian saja.
Untuk keperluan ini harus dibuat surat kuasa khusus dengan menyebut
nama, kualitas dan kedudukan dalam perkara, dasar pelimpahan
wewenang, nama penerima kuasa limpahan, nama dan identitas lawan,
masalah yang dikuasakan, nomor perkara dan forum yang pasti.

Biasanya pelimpahan kuasa tersebut dinamakan Kuasa Substitusi.


Dalam praktik peradilan kuasa substitusi biasanya diberikan oleh kuasa
hukum kepada asisten atau asisten asistennya, dengan tujuan untuk
mendidik asisten atau asisten-asistennya itu berpraktik di muka sidang
pengadilan. Kuasa yang dilimpahkan itu hanya dalam hal tertentu saja,
misalnya hanya untuk menyerahkan atau menerima jawaban, replik, duplik
dan kesimpulan sidang, atau juga seluruh wewenang yang dimiliki oleh
penasihat hukum dilimpahkan kepada asistennya. Agar kuasa substitusi ini
diterima hakim, dalam surat kuasa khusus yang diberikan oleh kliennya itu
harus disebut dengan jelas dan tegas bahwa kuasa tersebut bisa dialihkan
kepada orang lain. Dengan adanya ketentuan tentang adanya hak substitusi
kepada orang lain, baru dapat/boleh hak tersebut dilimpahkan kepada
orang lain. Tanpa ada hak substitusi, kuasa tadi tidak bisa dilimpahkan
kepada orang lam Oleh karena itu, hakim dalam menerima kuasa substitusi
harus teliti memeriksa surat kuasa khusus, apakah dalam surat kuasa
khusus itu ada hak pelimpahan kepada orang lain, kalau tidak dicantumkan
hak pelimpahan kepada orang lain/tidak disebutkannya maka hakim harus
menolak kehadiran kuasa substitusi tersebut dalam persidangan yang
dilaksanakan di pengadilan.

Tentang cara memberikan kuasa khusus itu dapat dilakukan oleh


pemberi kuasa dengan akta yang dibuat di hadapan notaris, atau dapat juga
dibuat di hadapan panitera pengadilan yang berada dalam daerah hukum di
mana pemberi kuasa bertempat tinggal. Dapat juga dibuat dengan akta di
bawah tangan yang dilegalisir serta didaftar menurut ordonansi Stb.
Nomor 46 tahun 1916.

Meskipun pihak-pihak yang beperkara telah memberikan kuasanya


kepada orang lain, kalau dipandang perlu hakim berkuasa untuk
memerintahkan pihak-pihak yang beperkara untuk menghadap sendiri
secara langsung di muka sidang pengadilan sesuai Pasal 123 ayat (3) HIR
dan Pasal 147 ayat (4) R.Bg. Hal itu dimaksudkan agar hakim dapat
mendengar langsung tentang suatu persoalan yang dianggap penting untuk
dikemukakan dalam persidangan, sehingga hakim dapat mengambil
keputusan yang tepat dan adil, atau juga demi terwujudnya perdamaian
maka hakim memandang perlu mendamaikan langsung para pihak yang
beperkara.

Anda mungkin juga menyukai