TUGAS UTS
1. JELASKAN DEFINISI ADVOKATUR ?
3. Legal Consultant (non litigasi) Yang dimaksudkan adalah dengan memberikan konsultasi hukum. dalam
pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa jasa yang diberikan advokat adalah memberikan konsultasi hukum,
sebagai berikut : “jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien.
4. Legal Opinion ( litigasi dan non litigasi) Advokat sebagai ahli hukum atau sarjana hukum sangatlah
wajar membuat pendapatnya sebagai suatu peristiwa hukum bahkan atas hukum itu sendiri. Seorang
advokat bukan hanya berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, namun juga memiliki sejumlah
pengalaman hukum yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Disinilah perbedaan mendasar sehingga
mengapa seorang advokat ketika memberikan pendapat hukumnya (Legal Opinion) dianggap sebagai
pendapat yang resmi dan harus dipertimbangkan.
5. Legal Drafting (non litigasi) Dalam hal ini adalah menyusun kontrak-kontrak atau penawaran akan
sesuatu (Legal Drafting). Bagian segala perjanjian-perjanjian antarlembaga, perusahaan, antarbadan hukum
harus melewati telaah hukum sekaligus membuat redaksi yang sesuai dengan hukum. tujuannya agar
tempat dimana ia bekerja atau yang memerlukan jasa hukum tidak dirugikan dalam setiap apa yang
dilakukannya.
3. JELASKAN LANDASAN YURIDIS LEMBAGA BANTUAN HUKUM ?
JAWABAN : Sebelum ditetapkannya UU Nomor 16 Tahun 2011, terdapat beberapa peraturan terkait dengan bantuan
hukum, yaitu:
1. Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (Staatsblad Tahun
1927 Nomor 227);
2. Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44);
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
4. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
5. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
6. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 Tentang Peradilan Umum;
7. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama;
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
9. SEMA 10 Tahun 2010 tentang tentang Pedoman Pelaksanaan Bantuan Hukum di lingkungan peradilan.
Mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak punya penasihat
hukum sendiri.
Bantuan Hukum menurut UU 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Bantuan hukum dalam UU ini merupakan salah satu bentuk dari jasa hukum yang diberikan oleh advokat selain jasa lainnya
seperti konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum klien.[11] Sedangkan maksud dari bantuan hukum sendiri dalam pasal 1 angka 9 adalah jasa hukum yang
diberikan advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa, maksud dari
bantuan hukum di UU Advokat dengan maksud dari bantuan hukum yang dijelaskan pada KUHAP sebelumnya berbeda satu
dengan lainnya walaupun pada KUHAP dengan syarat tertentu bantuan hukum juga dapat diberikan secara cuma-cuma.
Menurut UU ini, advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Adapun ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kemudian diatur dalam
PP No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma. Dalam PP tersebut
yang dimaksud dengan bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima
pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.[12]
Pada dasarnya jika melihat pengertian dalam UU 18 Tahun 2003, Bantuan Hukum merupakan jasa hukum yang diberikan
advokat secara cuma-cuma sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Namun jika melihat judul Bab VI yang berbunyi Bantuan
Hukum cuma-cuma, maka menimbulkan inkonsistensi pengertian dalam UU tersebut. Hal ini dikarenakan bantuan hukum
sudah merupakan jasa konsultasi yang diberikan cuma-cuma, sehingga seharusnya judul bab tersebut tidak perlu
menggunakan tambahan cuma-cuma. Dikhawatirkan inkonsistensi tersebut menimbulkan penafsiran lainnya bahwa bantuan
hukum ada yang tidak secara cuma-cuma diberikan.
Kemudian, jika melihat UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat serta PP No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma, maka dalam memberikan bantuan hukum seorang advokat tidak boleh
meminta imbalan jasa atas pekerjaannya. Padahal dalam melaksanakan pekerjaannya terdapat biaya-biaya yang timbul seperti
biaya legalisasi surat kuasa, leges bukti, materai, pendaftaran gugatan, permohonan banding kasasi (jika perlu), permohonan
eksekusi, permohonan sidang ditempat hingga mengambil putusan. [13]Hal inilah yang kemudian dikritisi oleh beberapa
pihak karena diperlukan bantuan dari pemerintah juga untuk mengalokasikan anggaran bantuan hukum dalam APBN yang
tepat sasaran, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Bantuan Hukum menurut UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pengertian mengenai bantuan hukum dalam UU ini terdapat pada penjelasan Pasal 56 ayat (1) yang menyatakan,
bantuanhukum adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-cuma) yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan (yang tidak
mampu). Bantuan hukum tersebut merupakan hak bagi setiap orang.[14] Pada pelaksanaannya, setiap pengadilan negeri
dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.[15] Bantuan
hukum tersebut diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.[16]
Bantuan hukum serta pos bantuan hukum sebagaimana disebutkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Bantuan Hukum di lingkungan peradilan.
SEMA ini mengatur mengenai tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana dan perdata di
lingkungan peradilan umum (tercantum dalam lampiran A); perkara perdata dan jinayat di lingkungan peradilan agama
(tercantum dalam lampiran B); serta perkara tata usaha negara di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara (tercantum
dalam lampiran A). Dari kedua peraturan tersebut dapat dilihat bahwa negara juga mempunyai peran dalam pelaksanaan
bantuan hukum. Berbeda dengan ketentuan yang ada di UU 18 Tahun 2003 serta PP No. 83 Tahun 2008, dimana tidak
terdapat alokasi peran negara dalam pelaksanaan bantuan hukum. Dalam hal ini, negara hanya berperan sebagai regulator
saja. Peran negara salah satunya adalah menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Adapun
mengenai penggunaan biayanya diatur lebih lanjut di SEMA yang telah dijelaskan disebelumnya.
4. JELASKAN DEFINISI OFFICIUM NOBILE ?
JAWABAN : Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (selanjutnya KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah
suatu profesi terhormat (officium nobile). Kata ”nobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang
terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal ”noblesse oblige”, yaitu
kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki
oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berprilaku jujur
dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilaku
demikian.
Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat
sebagai seorang advokat dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang
menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (nobile officium), dengan
hak eksklusif:
(b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan
Akan tetapi jangan dilupakan bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban advokat kepada
masyarakat, yaitu:
1. menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan
profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta,
2. oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini
(to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty)
Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas, dalam asas-asas etika (canons of ethics) American Bar
Association (1954; selanjutnya ABA) termasuk dalam asas mengenai ”Menjunjung Kehormatan Profesi” (upholding the
honor of the profession), di mana dikatakan (terjemahan bebas) bahwa advokat itu harus selalu berusaha menjunjung
kehormatan dan menjaga wibawa profesi dan berusaha untuk tidak saja menyempurnakan hukum namun juga
penyelenggaraan sistem peradilannya (the administration of justice).
Lebih lanjut lagi disebutkan olehnya Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa
hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan bahwa seorang advokat
”tidak dapat menolak dengan alasan…kedudukan sosial” orang yang memerlukan jasa hukum tersebut dan juga di Pasal 4
kalimat: ”mengurus perkara cuma-cuma” telah tersirat kewajiban ini.
Dan asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8: ”…..kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-
cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu”. Asas etika ini dalam ABA dikenal sebagai ”Kewajiban Mewakili Orang
Miskin” (duty to represent the indigent). Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok
ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro Bantuan Hukum
(BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap
harus diutamakan oleh profesi terhormat ini. Mengurus perkara ”cuma-cuma” tidak saja untuk perkara pidana (criminal legal
aid) tetapi juga untuk perkara perdata (civil legal aid). Dengan adanya di indonesia lingkungan peradilan tata usaha negara,
lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer, maka tentunya bantuan hukum ini harus juga mencakup
perkara mempergunakan media massa untuk mencari publisitas. Tetapi contoh di atas untuk ”contempt of court” adalah
berbeda. Kesimpulannya adalah bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan adanya pelecehan terhadap pengadilan yang
dilakukan seorang advokat dengan mempengaruhi pengadilan melalui media massa (obstruction of justice).
Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22 menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang
pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan ”keterbukaan” (candor, frankness) dan ”kejujuran” (fairness).
Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive) terhadap (majelis) hakim dan advokat
lawannya. Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi : dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga
wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah ”the duty of fidelity” kepada
kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang ”hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan
tersebut di atas adalah ”the duty of good faith” dan ”the duty of honorable dealing”. Menurut pendapat saya KEAI juga harus
menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI
KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.
Melakukan pidana yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih;
Mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak punya penasihat
hukum sendiri.