Anda di halaman 1dari 10

1.

Pneumonia NAPZA pathogenesis


Antipsikotik yang bisa menyebabkan pneumonia, diantaranya dopamine D2,
kolinergik, dan reseptor histamine 1, yang menyebabkan efek samping ekstrapiramidal,
disfagia, dan sedasi. Gejala ekstrapiramidal yang paling penting berhubungan dengan risiko
pneumonia adalah tardive dyskinesia, yang ditandai dengan pergerakan bukolingual
involunter. Antipsikotik juga dihubungkan dengan disfagia orofaringeal. Antipsikotik
menyebabkan sedasi dengan menghambat reseptor antihistamin 1. Antipsikotik juga berefek
langsung atau tidak langsung ke sistem imun, yang dapat meningkatkan risiko infeksi
pneumonia.1
Benzodiazepin menimbulkan risiko sedasi dimana efek ini meningkatkan risiko
pneumonia aspirasi. Antidepresan antikolinergik menyebabkan mulut kering, yang dapat
membuat risiko pneumonia pada orang yang lebih tua. Kemudian, efek umum di SSRI dan
SNRI adalah mual dan muntah, hal ini juga merupakan potensi faktor risiko pneumonia
aspirasi. Selain itu, obat ini juga mungkin ada efek immunosupresan sehingga meningkatkan
risiko infeksi.2
Opioid merupakan zat narkotika yang dapat meningkatkan risiko pneumonia,
sebagian dari efek samping potensial depresi pernapasan, sedasi, dan peningkatan risiko
aspirasi. Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa opioid dapat mengganggu sistem
imun. Pada penelitian pada manusia dan hewan, opioid ditemukan dapat mengganggu
makrofag dan natular killer cell serta menurunkan migrasi makrofag dan neutrofil.3
Zat adiktif seperti rokok dapat meningkatkan risiko pneumonia. Merokok akan
mengganggu pembersihan mukosilier dengan meningkatkan produksi mukus dan silia
abnormal. Merokok juga memodifikasi permukaan epitel bukal yang meningkatkan
perlekatan bakteri pneumokokkal. Perlekatan yang lebih banyak bisa membuat kolonisasi
orofaringeal dan menyebabkan risiko berkembangya pneumonia komunitas.4
Zat adiktif lainnya seperti alkohol dapat meningkatkan pneumonia dengan beberapa
kemungkinan mekanisme. Alkohol memiliki efek sedasi yang dapat mengurangi tonus
orofaringeal dan meningkatkan risiko aspirasi mikroorganisme. Selain itu, tingginya
konsumsi alkohol dapat memodifikasi fungsi makrofag alveolar, dan menurunkan
perlindungan terhadap infeksi. Alkohol yang dikonsumsi berlebih berhubungan dengan
malnutrisi, karena berkaitan dengan metabolisme dan menyebabkan gangguan imun dan
risiko pneumonia komunitas meningkat.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Caraci F, Enna SJ, Zohar J, et al. A new nomenclature for classifying psychotropic drugs.
Br J Clin Pharmacol. 2017;83(8):1614-1616. doi:10.1111/bcp.13302
2. Rajamaki B, Hartikainen S, Tolppanen AM. Psychotropic Drug-Associated Pneumonia in
Older Adults. Drugs Aging. 2020;37(4):241-261. doi:10.1007/s40266-020-00754-1
3. Park YJ, Yo CH, Hsu WT, et al. Use of Opioids and Outcomes of Pneumonia: Results
From the US Nationwide Inpatient Sample. J Acute Med. 2021;11(4):113-128.
doi:10.6705/j.jacme.202112_11(4).0001
4. Baskaran V, Murray RL, Hunter A, Lim WS, McKeever TM. Effect of tobacco smoking
on the risk of developing community acquired pneumonia: A systematic review and meta-
analysis. PLoS One. 2019;14(7):e0220204. Published 2019 Jul 18.
doi:10.1371/journal.pone.0220204
5. Simou E, Britton J, Leonardi-Bee J. Alcohol and the risk of pneumonia: a systematic
review and meta-analysis. BMJ Open. 2018 Aug;8(8):e022344.
2. Spektrum atau manifestasi klinis Aspergillus fumigates di paru

Spektrum klinis Aspergillosis paru


Kanj A, Abdallah N, Soubani AO. The spectrum of pulmonary Aspergillosis. Respir med.
2018;141:121–31.

Allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA)


• ABPA adalah gangguan inflamasi paru yang disebabkan oleh hipersensitivitas
terhadap Aspergillus sp. ABPA ditandai dengan batuk kronis, mengi, infiltrat paru
berulang, dan bronkiektasis pada gambaran radiologis dada. Kondisi ABPA secara
eksklusif dilaporkan pada pasien dengan asma dan cystic fibrosis meskipun beberapa
kasus telah dilaporkan pada pasien dengan PPOK, riwayat TB, dan transplantasi paru.
• Gejala & Tanda : Batuk produktif, mengi, demam, nyeri dada, batuk darah, keringat
malam, penurunan berat badan, dan lendir berwarna coklat keemasan
• Radiografi Dada : Tremline shadows, opasitas finger-in-glove, toothpaste shadow &
paralel line shadows
• HRCT : Centrilobular nodule, pola tree-in-bud, atenuasi mosaic & impaksi mukus
• IgE : Pasien dengan total IgE > 1000 IU/mL
Algoritma diagnosis ABPA
Kanj A, Abdallah N, Soubani AO. The spectrum of pulmonary Aspergillosis. Respir med.
2018;141:121–31.

Chronic pulmonary aspergillosis (CPA)


• CPA adalah pola penyakit aspergillosis yang muncul pada individu imunokompeten
dengan penyakit paru yang mendasari.
• Penyakit paru yang paling sering yaitu lesi kavitas yang disebabkan oleh riwayat
tuberkulosis atau mikobakterium non-TB.
• Aspergillus nodule dan aspergilloma adalah manifestasi CPA yang paling sering
terjadi.
• Gejala & Tanda : Batuk, kelelahan, penurunan berat badan, keringat malam hari,
sesak nafas, demam & batuk darah.
• Aspirasi Transthoracic Rongga Perifer : Kultur Aspergillus sp. positif
• Bronchoalveolar Lavage (BAL) : Galactomanan pada BAL memiliki kinerja
diagnostik yang lebih baik daripada serum galactomanan dan dapat menjadi uji
diagnostik.
• Biopsi : Menunjukkan hifa Aspergillus sp.
• Serum IgG : IgG positif Aspergilus fumigatus
• Gambar 8. Algoritma diagnosis CPA.
• Sumber: Kanj A, Abdallah N, Soubani AO. The spectrum of pulmonary Aspergillosis.
Respir med. 2018;141:121–31.

Invasive pulmonary aspergillosis (IPA)


• IPA dianggap sebagai diagnosis banding infeksi yang terjadi pada pasien
immunocompromised (HIV, hematopoietic stem cells transplantation (HSCT), solid-
organ transplant (SOT), pasien yang dirawat di ICU). Pasien yang dirawat di ICU juga
rentan terhadap IPA. Terdapat kemungkinan hubungan antara COVID-19 yang
disebabkan oleh SARS-CoV-2 dan pengembangan IPA secara kritis pada pasien dengan
ARDS
• Gejala & Tanda : Batuk, sesak nafas, demam, nyeri dada pleuritik, batuk darah,
takikardi, takipneu & hipoksia.
• Kultur dahak: Kultur Aspergillus sp. positif
• HRCT : Nodul mikro dikelilingi gambaran ground glass appearance, halo sign,
konsolidasi, lesi kavitas, efusi pleura, air crescent sign.
• Histopatologi : Aspergillus sp. tampak sempit, berukuran 3-12 mikrometer, bersekat,
mempunyai hialin, berupa hifa bercabang sudut lancip dengan sudut 45 derajat.
Keberadaan kepala conidia adalah patognomonic untuk diagnosis aspergillosis meskipun
jarang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kanj A, Abdallah N, Soubani AO. The spectrum of pulmonary Aspergillosis. Respir med.
2018;141:121–31
Nama : Serafim Alfasunu
NIM : S602202010
Penguji : dr. Jatu Aphridasari, Sp.P(K), FISR

1. Mengapa pada pasien dengan imunokompeten tidak menghancurkan bakteri


Mycobacterium tuberculosis tetapi malah tetap keep dengan pembentukan granuloma?
Jawaban:
Patogen dapat mengembangkan strategi untuk mengecoh atau menekan mekanisme
sistem imun demi mempertahankan infeksi yang telah dijangkitnya. MTB memiliki
beberapa kemampuan dalam menghindari sistem imun tubuh. Ada beberapa mekanisme
penghindaran sistem imun yang dilakukan oleh MTB yaitu: penghambatan pematangan
fagolisosom, penghambatan pengasaman fagolisosom, penghambatan fungsi stres
oksidatif; fungsi oksigen reaktif; dan intermediate nitrogen reaktif, penghambatan
apoptosis bakteri, penghambatan autofagi, penginduksian apoptosis, penghambatan
apoptosis makrofag, penggunaan ion besi; hidrogen; dan kalsium dalam menghambat
pembentukan lisosom, dan pembentukan granuloma.1
Pembentukan granuloma merupakan mekanisme pertahanan inang utama untuk
menjaga agar bakteri tetap terkendali. Komponen granuloma terdiri dari kumpulan sel
imun termasuk limfosit di sekitar makrofag terinfeksi dan tidak terinfeksi, foamy
macrophages, sel epiteloid dan sel langerhans. Berbagai bentuk granuloma muncul dalam
keadaan infeksi yang berbeda. Granuloma klasik ditemukan pada penyakit aktif dan
infeksi laten, di tengah granuloma klasik terdapat area nekrotik yang terdiri dari makrofag
mati dan sel-sel lain. Granuloma non nekrosis muncul pada penyakit aktif dan jenis ini
terdiri dari makrofag dengan sedikit limfosit, granuloma neutrofilik nekrotik dan
granuloma fibrotik. Lesi fibrotik terutama muncul pada TB laten dan beberapa penyakit
aktif yang hampir seluruhnya terdiri dari fibroblas, dengan jumlah makrofag yang
minimal. MTB berada di zona hipoksia sentral pada infeksi laten dan MTB dapat
bereplikasi di daerah yang teroksigenasi perifer pada TB aktif. Beberapa MTB dapat
hidup tidak aktif dalam struktur granuloma untuk waktu yang lama sampai ada
kesempatan untuk reaktivasi dan penyebaran.2
Molekul MHC kelas II di membran plasma berfungsi dalam mengaktifkan sel T
untuk menghasilkan respons imun terhadap MTB. Interferon gamma mengaktifkan
fibroblast sehingga fibrioblas mengekspresikan MHC kelas II untuk 24 menyajikan
antigen ke sel T CD4+. Interferon gamma treated fibroblasts menghasilkan protein,
peptida, dan antigen yang diisolasi. Sel MTB-infected fibroblasts mengalami defisit dalam
presentasi antigen sehingga menunjukkan bahwa MTB dapat lolos dari pengawasan imun
T helper dengan menginfeksi fibroblast. Faktor lain yang berkontribusi adalah protein
effector polymorphic GC-rich-sequence 47 (PEPGRS47) MTB yang dapat menghambat
presentasi MHC class II-restricted antigen oleh DC yang terinfeksi MTB sehingga
menekan autofagi dan membantu MTB melarikan diri dari efek pembunuhan imunitas
bawaan dan adaptif.3

Gambar 1. Hubungan antara MHC kelas II dan penghindaran M. tuberculosis.


Keterangan: CD4+ = cluster of differentiation 4

Toll like receptor 2 memiliki peran protektif terhadap infeksi MTB tetapi juga
memiliki efek yang merugikan. Respon imun termasuk TLR2 dapat memperpanjang
waktu MTB dalam bertahan hidup di makrofag. Toll like receptor 2 meningkatkan
sintesis sitokin inflamasi dalam makrofag dan mengakumulasi sel imun dan menyebabkan
pembentukan granuloma. Bakteri MTB laten pada granuloma masih dapat mengatur
respon imun. Dalam granuloma matur, sinyal turunan TNF-α merekrut sel T efektor yang
sangat dinamis dan mempertahankan struktur granuloma.4
Bakteri MTB memiliki selubung khusus yang terdiri dari lipid unik yang terletak di
permukaan host-patogen dan berkontribusi pada immune escape. Fagosit MTB lolos ke
sitoplasma untuk menghindari pembunuhan lisosom. Untuk menghindari pembunuhan karena
munculnya mutasi struktural membentuk respons imun dengan mengubah pengenalan dan
memungkinkan patogen bertahan. Mutasi antigenik merupakan mekanisme yang sangat
penting.5

Daftar Pustaka
1. Chandra P, Grigsby SJ, Philips JA. Immune evasion and provocation by
mycobacterium tuberculosis. Nat Rev Microbiol. 2022;20(12):750–66.
2. Bekale RB, Plessis S Du, Hsu N, Sharma JR, Sampson SL, Jacobs M, et al.
Mycobacterium tuberculosis and interactions with the host immune system:
Opportunities for nanoparticle based immunotherapeutics and vaccines. Pharm Res.
2019;36(1):8–23.
3. Zhai W, Wu F, Zhang Y, Fu Y, Liu Z. The immune escape mechanisms of
mycobacterium tuberculosis. Int J Mol Sci Rev. 2019;20(2):340–58.
4. Ernst JD. Review mechanisms of m. tuberculosis immune evasion as challenges to TB
vaccine design. Cell Host Microbe. 2018;24(1):34–42.
5. Ernst JD. Antigenic variation and immune escape in the MTBC. Adv Exp Med Biol.
2017;10(19):171–90.

2. Mengapa pasien tuberculosis harus diberikan multidrug therapy bukan hanya satu jenis
obat?
Jawaban:
Ini lebih dikaitkan dengan replikasi pada Mycobacterium tuberculosis dimana ada istilah
"replication rate" yang sering diterapkan pada mycobacterium untuk menunjukkan laju
pembelahan basil individu; yaitu, waktu yang diperlukan untuk satu sel (induk) untuk
menghasilkan dua sel (anak). Meskipun tidak sepenuhnya akurat, karena alasan “replika”
basil menuntut agar hasil dari proses reproduksi mendekati identik. Untuk kromosom, ini
sebagian besar berlaku: replikasi genom dilakukan dengan ketelitian tinggi oleh kompleks
replisom dengan tingkat kesalahan yang sangat rendah. Sebaliknya, untuk seluruh
organisme, produk pembelahan sel—sel anak—umumnya akan gagal memenuhi kriteria
ini karena pembelahan sel yang tidak sama dan/atau distribusi konstituen seluler termasuk
makromolekul, metabolit, dan kofaktor. Akumulasi bukti ilmiah memperkuat interpretasi
ini dan implikasinya untuk memahami dinamika populasi M. tuberculosis dalam pejamu
yang terinfeksi: mycobacterium membelah secara asimetris, menghasilkan sel anakan
yang secara morfologis mirip tetapi panjangnya bervariasi (satu sel seringkali lebih
panjang), komposisi (distribusi "kutub sel lama” dan “baru” berarti bahwa beberapa sel
jauh lebih tua dari yang lain), dan konten seluler (makromolekul tidak terdistribusi secara
merata selama pembelahan). Sejumlah analisis sel tunggal telah menunjukkan bahwa
semua faktor ini dapat memiliki konsekuensi fisiologis dan kelangsungan hidup yang
signifikan, terutama dalam bentuk perbedaan kerentanan terhadap antibiotik. 1,2

Daftar Pustaka
1. Uhía I, Williams KJ, Shahrezaei V, Robertson BD. Mycobacterial growth. Cold
Spring Harb Perspect Med. 2015;5:a021097.

2. Hett EC, Rubin EJ. Bacterial growth and cell division: a mycobacterial
perspective. Microbiol Mol Biol Rev. 2008;72:126–156.

Anda mungkin juga menyukai