SKRIPSI
Oleh :
IBNU E ABAS SAIRUN
NIM : 18011119
SKRIPSI
Oleh:
Ibnu E Abas Sairun
NIM : 18011119
Pembimbing
ii
واجبات القيادة في سورة ص 26
بحث مقدم
لتكملة الشروط للحصول على الدرجة األولى ()S.Ag
إعداد :
ابن عباس سيرون
رقم التسجيل 18011119
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
NIM : 18011119
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya adalah benar merupakan hasil karya
sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.) di Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Darul Hikmah
Bekasi. Adapun kutipan yang ada dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sumber kutipannya dalam skripsi. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini
sebagian atau seluruhnya bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari
karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Sekolah
Tinggi Ilmu Ushuluddin Darul Hikmah.
Materai
10000
iv
PENGESAHAN SIDANG
Skripsi dengan judul Kewajiban Pemimpin dalam surah Shaad ayat 26 yang
disusun oleh Ibnu E Abbas Sairun dengan NIM 18011119 telah diperiksa dan
disetujui untuk diujikan dalam sidang munaqasyah pada jurusan Ilmu Al-Quran
dan Tafsir, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darul Hikmah. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama
(S.Ag)
Sidang Munaqasyah
1 Ketua Sidang
2 Sekretaris
Sidang
v
vi
MOTTO
vii
PERSEMBAHAN
Puja dan puji terhadap Allah SWT. Dia lah Rabb yang maha kuasa atas segala
sesuatu yang ada di dunia dan akhirat. Yang telah berikan beribu-ribu nikmat dan
anugrah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai
waktu yang telah ditentukan. Maka dari itu, izinkan penulis mempersembahkan
skripsi ini untuk:
1. Terutama untuk orang yang paling spesial kedua orang tua, Ayahanda
Waly A.R Sairun dan Ibunda Endang Rosinggin yang senantiasa
mendoakan kelancaran studi penulisan.
3. Seluruh jajaran dan staf dosen pengajar Stiu Darul Hikmah Bekasi, yang
memberikan ilmu serta fasilitas kampus kepada penulis selama dibangku
kuliah.
Penulis hanya mampu mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada semua pihak
yang penulis sebutkan di atas “jazakumullah Khairan” semoga Allah balas
kebaikan kalian, dan penulis memohon maaf apabila penulis banyak merepotkan.
viii
ABSTRAK
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan karunia dan rahmatnya.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
Rasulullah SAW, beserta seluruh keluarga dan para sahabat, serta orang-orang
yang senantiasa berjuang untuk tetap istiqomah hingga hari akhir.
Penelitian ini ditulis sebagai upaya untuk sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
2. Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, M.A. sebagai Ketua Senat STIU Darul Hikmah
Bekasi.
3. Dr. Ali Fikri Noor, M.A. sebagai Ketua STIU Darul Hikmah Bekasi.
4. Dr. Zulkarnain Muhammad Ali, M.Si, Ust. Ali Junifar, M.A, Ust.Maftuh
Asmuni, Lc, Ust. M. Siddiq, Lc. sebagai Wakil Ketua I, II, III STIU Darul
Hikmah yang telah memberikan kesempatan dan arahan selama pendidikan,
penelitian dan penulisan skripsi ini.
5. Dr. Hari Susanto, L.c., M.A. sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penulisan skripsi ini.
6. Dr. Muqoddam Cholil, M.A sebagai Ketua Penguji yang telah memberikan
banyak masukan kepada penulis dalam penyempurnaan proses penulisan
skripsi.
7. Abdul Haris M.Pd. sebagai Penguji anggota yang telah memberikan banyak
masukan kepada penulis dalam penyempurnaan proses penulisan skripsi.
8. Ust. Umar Farouq, M.A., Ust Hasan Al-Bana, S.Thi sebagai Ketua dan
Sekretaris Prodi yang telah memberikan arahan selama pendidikan, penelitian
dan penulisan skripsi ini.
x
9. Seluruh Dosen STIU Darul Hikmah Bekasi yang telah mencurahkan ilmu
yang sangat bermanfaat kepada penulis sejak awal menjadi mahasiswaa,
beserta staf dan karyawan di kampus tercinta.
10. Keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan dan do’a serta memotivasi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi
pengembangan Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir di masa depan.
xi
DAFTAR ISI
xii
3.2.1 Ayat dan Terjemah..............................................................................25
3.2.2 Munasabah Ayat 26 Dengan Ayat 25..................................................25
3.3 TAFSIR PARA ULAMA................................................................................
3.3.1 Tafsir Al Munir ...................................................................................27
3.3.2 Tafsir Qurthubi....................................................................................28
3.3.3 Tafsir Ibnu Katsir.................................................................................31
3.3.4 Tafsir Fi Zhilali Qur’a n......................................................................32
3.3.5 Tafsir Al-Azhar....................................................................................33
BAB Ⅳ...........................................................................................................................
4.1 KEWAJIBAN KEWAJIBAN PEMIMPIN.....................................................
4.1.1 Adil Kunci Seorang Pemimpin ...........................................................36
4.1.2 Bahaya Mengikuti Hawa Nafsu ..........................................................41
BAB Ⅴ............................................................................................................................
5.1 KESIMPULAN...............................................................................................
5.2 SARAN............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
xiii
BAB Ⅰ
PENDAHULUAN
Pemimpin adalah individu manusia yang menjadi titik pusat pada suatu
kelompok (kumpulan manusia) dan memiliki kelebihan dan kemampuan untuk
mempengaruhi kelompok tersebut dalam bekerjasama untuk mencapai tujuan
bersama yang telah di tentukan. Sedangkan kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi aktivitas-aktivitas di dalam kelompok untuk mencapai tujuan dan
juga bisa diartikan kemampuan untuk berhubungan seorang pemimpin ke orang
yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama.
xiv
negara itu sendiri maupun bahaya yang datang dari luar. Maka sangatlah urgent
atau penting untuk mengangkat seorang pemimpin, kepala negara, yang
mengelola negara, memimpin rakyat.2
Belum lama ini Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, melontarkan
pernyataan yang menimbulkan perdebatan. Ia mengatakan pemerintah harus hati-
hati dengan isu ketidakadilan dalam kepemimpinan di masyarakat sebab
berpotensi menimbulkan kerusuhan politik seperti yang pernah terjadi pada era
1998.
Perlakukan negeri ini dan masyarakatnya secara adil. Jangan lupa begitu
presiden dan wakil presiden terpilih, dia harus bersumpah akan melaksanakan
konstitusi dan semua undang-undang serta melaksanakan pemerintahan sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya. Siapa pun yang terpilih. Karena kalau tidak adil, bakal
menimbulkan begitu banyak permasalahan dan konflik dalam negeri ini. 3
2
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam,
(Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama Erlangga, 2008), hlm. 96.
xv
Sikap adil adalah sifat utama bagi setiap pemimpin maupaun manusia,
lawan sifat adil adalah sifat dzalim. Adil adalah memberi suatu putusan yang
benar, memperlakukan suatu perkara sesuai tempat, waktu, cara ukuran secara
perfesional sebagaimana Allah telah tetapkan
3
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/587287/pemimpin-tidak-adil-akan-timbulkan-
masalah
4
https://kumparan.com/aji-muttaqin/konsep-pemimpin-didalam-al-qur-an-oleh-aji-muttaqin/4
xvi
1. Peranan dan fungsi seorang pemimpin dalam surah Shaad.
3. Ketaatan yang tinggi terhadap apa yang ditetapkan oleh Allah dalam
surat Shaad ayat 26.
xvii
1. Skripsi yang disusun oleh Muhammad Amin yang berjudul Kepemimpinan
Dalam Prespektif Al-Qur’an pada 4 November tahun 2015 mahasiswa
PTIQ jakarta. Pada penelitian tersebut penulis mengambil penafsiran yang
lebih cenderung ke pemikiran Said Hawwa yang berbicara kepemimpinan
dalam pemerintahan seperti karya Al-Asas fi al tafsirad trilogi karyannya
2. Jurnal nasional yang disusun oleh Sukatin. Heru Setiawan dan Mashudi
Hariyanto pada tahun 2021 dengan judul Hak Dan Kewajiban Pemimpin
Dalam Bingkai Menejemen Pendidikan Islam pada kajian tersebut
peneliti mengamati dari beberapa penafsiran yang membahas tentang
kepemimpinan dan pemimpin dalam Al-Qur’an. Metodologi dalam
penelitian tersebut berjenis penelitian kuantitatif, dengan sumber data primer
dan skunder, Teknik pengumpulan data mengunakan Teknik Studi Pustaka
(library research) serta dianalisis dengan Teknik deskritif hasil penelitian
menunjukan hanya menafsirkan ayat dengan penafsiran saja. Namun
penelitian tersebut belum membahas secara jelas dan mendalam tentang
makna pemimpin
3. Skripsi yang disusun oleh Jeanudin yang berjudul Hak Dan Kewajiban
Kepala Negara Menurut Hukum Islam. Penelitian ini berbicara tentang
kepala negara atau khalifah, seorang kepala negara atau khalifah kedudukan
kepala negara merupakan hak dari setiap orang yang memiliki kemampuan
untuk menjabatnya, ia tidak menjadi monopoli sekelompok orang, suku,
ataupun bangsa tertentu. Hasil penelitian lebih focus ke konsep khlifah dan
kepala negara agar masyarakat lebih tau tentang konsep-konsep berkepala
negara maupun khalifah, namun peneliti belum terlalu membahas tentang
kewajiban dan hak-hak pemimpin dalam Al-Qur’an. Metodologi dalam
penelitian tersebut berjenis penelitian kualitatif, dengan sumber datd literatur
dan emperis teknik pengumpulan data searching engine serta dianalisis
dengan teknik kualitatif grounded theory.
5. Jurnal ini disusun oleh Kurniawan, Defri Nof Putra, Afdal Zikri, Nurkamelia
Mukhtar dari fakultas tarbiah keguruan universitas islam negeri imam bonjol
padang dan universitas islam sultan syarif riau yang berjudul Konsep
Pemimpin Dalam Islam penelitian ini juga berbicara tentang cara-cara
xviii
pemimpin dalam islam, ada banyak kesamaan dan perbedaan mengenai
penelitian ini dan penulisan saya, penelitian ini berbicara tentang
kepemimpinan dalam islam dan banyak mengambil dalil-dalil dari Al-
Qur’an dan hadits maupun penafsiran dan masih banyak mengambil
perkataan-perkataan para sahabat dan ulama-ulama terkenal yang berarti
penelitian ini sangat luas, maupun penulisan yang akan di buat oleh saya
sendiri lebih condong ke kewajiban pemimpin dalam surah Shaad ayat 26
1. Jenis Penelitian
2. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data utama atau data pokok yang digunakan dalam
penelitian. Data pokok dapat dideskripsikan sebagai jenis data yang
diperoleh langsung dari tangan pertama subjek penelitian atau responden
atau informan. Adapun data primer dari penelitian ini adalah al-Qur’an
b. Data Skunder
xix
3. Teknik Pengumpulan Data
BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan diuraikan dari latar belakang
masalah sehingga perlu dan penting untuk dibahas, batasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, penelitian sebelumnya,
kerangka pemikiran dan terakhir sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas secara mendalam tentang
teori-teori yang mendukung proses penelitian ini. Definisi, konsep, kriteria,
urgensi, dan lain sebagainya yang diambil dari berbagai sumber, sehingga dapat
dikatakan bahwa bagian dari bab ini yaitu landasan teori, kajian pustaka, dan
kerangka berpikir.
BAB III KAJIAN ayat-ayat Al-Qur’an tentang kewajiaban pemimpin. Pada bab
ini akan dibahas secara mendalam tentang kajian surat, keutamaannya,
kandungannya. Kemudian akan dibahas tentang kajian ayat, teks ayat & kosakata,
asbabun nuzul, munasabah, keutamaan, kandungan ayat secara spesifik. Serta
yang terakhir adalah pembahasan tafsir menurut Imam Ibnu Katsir dan Mufasir
xx
kontemporer yaitu adabi ijtimai’ yang akan dibahas baik persamaan dan
perbedaannya.
BAB IV PEMBAHASAN. Pada bab ini penulis akan menyajikan data-data dan
temuan-temuan penelitian serta memastikan permasalahan utama penelitian
terjawab, didukung oleh pendapat para mufassir dan para ulama, penelitian-
penelitian terdahulu (menguatkan / bertentangan), kemudian penulis memberikan
analisis, argumentasi dan pemikirannya dari hasil temuan tersebut dengan
mengkorelasikan dengan teori-teori, penelitian-penelitian sebelumnya, baik yang
menguatkan maupun yang bertolak belakang.
Bab V PENUTUP. Pada bab ini akan dipaparkan beberapa kesimpulan yang
dihasilkan untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini,
kemudian penulis memberikan saran-saran baik untuk kepentingan masyarakat,
kepentingan akademik dan kepentingan pemerintah.
xxi
BAB Ⅱ
KAJIAN TEORI KEWAJIBAN PEMIMPIN
1. Beriman
5
Sjadzali, Munawir, Menjadi Pemimpin yang Berhasil dalam Islam. (Bandung 2017: Penerbit
Mizan) hlmn 45
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, halaman 1041.
7
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah sistem pemerintahan khalifah islam, (Bogor 1 Januari
2015 : Penerbit Qithi Press) hlm. 7
xxii
Kriteria beriman dipahami dari QS. al-Anbiya: 73 yang menggunakan
istilah " ةDD "األئمdan QS. Fātir: 39 dan QS. al-Hadid: 7 yang menggunakan
derivasi istilah " ةDD "خلیف. Khusus istilah " ةDD (”األئمal-aimmah) sebagaimana
yang telah disinggung asal kata aslinya adalah al-imam.
Penjelasan Taba'taba'i di atas tentu saja sesuai dengan redaksi awal ayat
QS. Al Anbiya:73 yakni yang artinya “Dan kami menjadikan mereka itu
sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk” kata mana di " َ
" َّيْه ُد ْو َنdi sini mengandung arti "mereka diberi hidayah". Kemudian lebih
diperjelas lagi kriteria lain orang beriman dalam susunan ayat tersebut,
yakni ( اْلَخ ْيٰر ِت ِفْع َلsenantiasa berbuat baik), ( الَّص ٰل وِة َو ِاَق اَمshalat menegakkan)
ِۚة ِا ِب ِد
الَّزٰك و َو ْيَت ۤاَءdan (zakat mengeluarkan)َ ( ٰع ْيَن َلَن ا َو َك اُنْو اmereka mengabdikan
dirinya kepada Allah semata). Inilah kriteria seorang pemimpin yang harus
dipenuhi.
2. Adil
Adil adalah kriteria pemimpin yang ditemukan dalam QS. Shad: 26. Ayat
ini menerangkan tentang jabatan khalifah yang diembang oleh Nabi
Dawud, di mana beliau diperintahkan oleh Allah swt menetapkan
keputusan secara adil di tengah-tengah masyarakat, umat manusia yang
dipimpinnya.
Redaksi QS. Shād: 26 yang menjadi acuan utama kriteria keadilan bagi
seorang pemimpin
ٰيَد اوُٗد ِاَّنا َجَعْلٰن َك َخ ِلْيَفًة ىِف اَاْلْر ِض َفاْح ُك ْم َبَنْي الَّناِس ِباَحْلِّق َو اَل َتَّتِبِع اَهْلٰو ى َفُيِض َّلَك َعْن َس ِبْيِل الّٰلِهۗ ِاَّن
اَّلِذ ْي ِض ُّل َن َع ِبْيِل الّٰلِه ُهَل َعَذ اٌب َش ِدْيٌد ۢ َمِبا َن ا اِحْل اِب
ُس ْو َيْو َم َس ْم َن َي ْو ْن َس
xxiii
ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena
mereka melupakan hari perhitungan”.
ِاَّن الّٰل َه َيْأُمُر ُك ْم َاْن ُتَؤ ُّدوا اَاْلٰم ٰن ِت ِآٰلى َاْه ِلَه ۙا َو ِاَذا َح َك ْم ُتْم َبَنْي الَّناِس َاْن ْحَتُك ُمْو ا ِباْلَعْد ِل ۗ ِاَّن الّٰل َه ِنِعَّم ا
َيِعُظُك ْم ِبهٖۗ ِاَّن الّٰل َه َك اَن ِمَس ْيًعۢا َبِص ْيًر ا
3. Amanah
Sebagai pemimpin yang baik maka ia juga harus memiliki sifat amanah,
dan hal ini disebut bersamaan dengan term adil dalam QS. al-Nisā: 58
yang telah di kutip tadi. Amanah dalam pandangan Al-Maragi adalah
sebuah tanggung jawab yang terbagi atas tiga, yakni
9
Abdul Muin Salim. Fiqh Siyasah; Konsepsi Politik dalam Al-Qur'an, Jakarta 2012: PT. Raja
Grafindo Persada, hlm. 212
10
Al-Maraghi, Ahmad Mustāfa. Tafsir al-Marāgi, juz 5, Mustafa al-Babi al-Halab wa Awladuh,
hlm. 70
xxiv
4. Syura (musyawarah)
َو اَّلِذ ْيَن اْس َتَج اُبْو ا ِلَر ِهِّبْم َو َاَقاُموا الَّصٰل وَۖة َو َاْم ُر ُه ْم ُش ْو ٰر ى َبْيَنُه ْۖم َو َّمِما َر َز ْقٰنُه ْم ُيْنِف ُقْو َن
Amr ma’ruf nahi munkar, yaitu “suruhan untuk berbuat baik serta
mencegah dari perbuatan jahat.” Istilah itu diperlakukan dalam satu
kesatuan istilah, dan satu kesatuan arti pula, seolah-olah keduanya tidak
dapat dipisahkan. Ma’ruf diartikan sebagai segala perbuatan yang
mendekatkan diri kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan
yang menjauhkan dari pada-Nya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
prinsip kepemimpinan amr ma’ruf dan nahi munkar sangat ditekankan
oleh Allah karena dari prinsip ini akan melahirkan hal-hal yang akan
membawa kebaikan pada suatu kepemimpinan. Sebagaimana dalam QS.
al-Hajj: 41
xxv
1. Kata yang langsung mengunakan lafal a’immah (pemimpin-pemimpin)
dan seakar dengannya. Misal firman Allah:
َو َجَعْلٰنُه ْم َإِى َّم ًة َّيْه ُد ْو َن ِبَاْم ِر َنا َو َاْو َح ْيَنٓا ِاَلْيِه ْم ِفْع َل اَخْلْيٰر ِت َو ِاَقاَم الَّص ٰل وِة َو ِاْيَتۤاَء الَّزٰك وِۚة َو َك اُنْو ا َلَنا
ِبِد
ٰع ْيَن
ٰيَد اوُٗد ِاَّنا َجَعْلٰن َك َخ ِلْيَفًة ىِف اَاْلْر ِض َفاْح ُك ْم َبَنْي الَّناِس ِباَحْلِّق َو اَل َتَّتِبِع اَهْلٰو ى َفُيِض َّلَك َعْن َس ِبْيِل الّٰلِهۗ ِاَّن
اَّلِذ ْي ِض ُّل َن َع ِبْيِل الّٰلِه ُهَل َعَذ اٌب َش ِدْيٌد ۢ َمِبا َن ا اِحْل اِب
ُس ْو َيْو َم َس ْم َن َي ْو ْن َس
Artinya: “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah
(penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan
menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat
dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan
hari perhitungan” (QS: Shaad:26)
3. Mengunaka lafal ulil amr yang juga bisa diartikan sebagai pemimpin,
seperti firman Allah:
xxvi
2.1.5 Syarat-Syarat Menjadi Pemimpin
Prinsip dasar pemimpin tersebut sebagaimana yang digariskan dalam al-
Qur’an dan Sunnah Nabi, dalam perkembangannya mengalami perluasan arti dan
pemahaman. Bahkan tak jarang mengalami pembiasan yang jauh dari prinsip
dasar yang sesungguhnya. Hal ini tak lepas dari “hiruk pikuk” kepentingan politik
dan kepentingan kelompok atau golongan.
Konsekuensi dari kondisi tersebut pada akhirnya berpengaruh pada
penentuan syarat-syarat seorang pemimpin yang dirumuskan oleh para ulama dan
fuqaha. Pendapat dan ijtihad mereka sangat tergantung dan ditentukan oleh situasi
dan kondisi yang mengitarinya. Seperti pendapat para ulama dan fuqaha.
Para ulama menetapkan tujuh syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang
dicalonkan dan dinominasikan menjadi pemimpin atau wazir. Syarat-syarat itu
harus tetap terpenuhi selama ia menjadi pemimpin atau wazir (syarat-syarat
menjadi pemimpin dan keberlangsungan kepemimpinannya). Ketujuh syarat
tersebut adalah sebagai berikut.11
1. Ia memiliki kompetensi dan kapasitas yang sempurna, yaitu seorang
muslim, merdeka, laki-laki, baligh, dan berakal.
Adapun persyaratan islam adalah karena ia bertugas menjaga dan
memelihara agama dan dunia. Jika islam adalah syarat bolehnya kesaksian,
islam juga merupakan syarat dalam setiap bentuk otoritas umum. Allah
berfirman,
َو َلْن ْجَّيَعَل الّٰل ُه ِلْلٰك ِف ِر ْيَن َعَلى اْلُم ْؤ ِمِنَنْي َس ِبْياًل
“….Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk
mengalahkan orang-orang yang beriman.” (an-Nisaa; 141)
Adapun persyaratan merdeka bukan budak ini karena merdeka adalah sifat
kesempurnaan. Tidaklah masuk akal jika pemegang otoritas dan kekuasaan
itu lebih rendah derajatnya daripada orang yang berada di bawah otoritas
dan kekuasaannya. Al-Mawardi mengatakan bahwa dalam hal ini,
disyaratkan harus merdeka karena seorang budak tidak memilki otoritas
dan wewenang atas dirinya sendiri sehingga itu menjadi penghalang
dirinya untuk memiliki otoritas dan wewenang atas diri orang lain. Juga,
karena jika status budak menjadikan seseorang terhalang dari diterima
kesaksiannya, secara prioritas, status budak juga menjadi penghalang
berlaku efektifnya pemerintahan dan bentuknya kekuasaan dan otoritas
bagi seorang.12
11
Dr. Wahbah arZuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 8, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 306.
12
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah sistem pemerintahan khalifah islam, (Bogor 1 Januari
2015 : Penerbit Qithi Press) hlm, 61.
xxvii
Adapun persyaratan laki-laki, ini karena beban jabatan ini menuntut
kemampuan dan kekuatan besar yang biasanya itu tidak mampu dipikul
oleh seorang perempuan. Seorang perempuan tidak mampu memikul
beban tanggung jawab tugas ini ketika daam keadaan damai, perang, dan
situasi-situasi berat, genting, dan krusial. Rasulullah bersabda,
ِل
اْم َر َأة َأْم َر ُه ُم َو َّلْو ا َقْو ٌم ُيْف َح َلْن
“…. Tidak akan bisa sukses suatu kaum yang menguasakan urusan mereka
kepada seorang perempuan.” 13
Karena itu, fuqaha berijma bahwa imam adalah harus seorang laki-laki.
Adapun persyaratan balig, itu sudah menjadi keniscayaan. Ini karena anak
kecil tidak memiliki kapabilitas dan kompetensi untuk memikul tugas dan
tanggung jawab yang besar seperti ini, karena anak kecil tidak bisa
dimintai pertanggungjawaban atas tindakan dan perbuatannya dan tidak
ada suatu hukum tertentu yang terkait dengan tindakannya
Adapun persyaratan berakal sehat, itu sudah memang menjadi tuntutan
keabsahan setiap tindakan khusus maupun umum. Di sini, tidak cukup
sekedar berakal sehat dalam batas minimal yang menjadi syarat seseorang
sudah terkena tuntutan berbagi pentaklifan syar’i, seperti shalat, puasa, dan
sebagainya, tetapi juga harus memiliki daya pikir dan gaya pandang yang
kuat, yaitu ia haruslah orang yang memiliki kemampuan menyeleksi dan
melihat secara baik, cerdas, jauh dari ganguan lupa, lalai, dan lengah, yang
dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia mampu mengungkap hal-hal yang
rumit dan menyelesaikan hal-hal yang sulit, sebagaimana yang dikatakan
oleh al-Mawardi.
2. Al-adaalah, yakni integritas keagamaan dan moral. Ini adalah syarat yang
diperhitungkan dalam setiap wewenang dan otoritas, yaitu ia adalah orang
yang jujur katanya, nyata sifat amanahnya, menjauhkan diri dari
keharaman-keharaman, berhati-hati dan waspada terhadap perbuatan-
perbuatan dosa, jauh dari kecurigaan, tetap terjaga kredibilitasnya, baik
ketika dalam keadaan senang maupun marah, menjaga muruah (harga
diri), dan kewibawaannya sesuai dengan posisi dan status, baik dalam
keagamaan maupun keduniawiannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-
Mawardi.14 Secara garis besarnya, al-adaalah adalah komitmen terhadap
kewajiban-kewajiban syar’i serta menjauhi kemungkaran dan
kemaksiatan-kemaksiatan yang diharamkan dalam agama15
13
HR al-Bukhari, Ahmad, an-Nasai, dan at-Tirmidzi dari Abu Bakar r.a. Hadits ini dimasukkan ke
dalam kategori hadits shahih oleh at-Tirmidzi. Takhrij hadits ini telah disebutkan pada kajian
seputar peradilan.
14
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah sistem pemerintahan khalifah islam, (Bogor 1 Januari
2015 : Penerbit Qithi Press) hlm, 61-62
15
Dr. Wahbah arZuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 8, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm 307.
xxviii
3. Memiliki kompetensi, kapabilitas, dan kapasitas keilmuan, yaitu memiliki
ilmu pengetahuan yang memadai yang bisa digunakan untuk melakukan
ijtihad ketika menghadapi berbagai kejadian atau mengali hukum-hukum
syara’ dan yang lainnya berupa hal-hal yang berkaitan dengan siyaasah
syar’iyyah. Ini adalah syarat yang sudah menjadi kesepakatan ulama.
Seorang alim belum dikatakan sebagai mujtahid kecuali jika ia mengetahui
hukum-hukum syara dan tata cara atau mekanisme pengambilan serta
penggaliannya dari sumber-sumber syar’inya yang berjumlah empat, yaitu
Al-Qur’an, Sunnah, ijmak, dan qiyas. Ia juga harus mampu menangkap
dan memahami situasi serta kondisi zaman berikut berbagi perubahan dan
perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang terjadi
didalamnya.
xxix
diklasifikasi menjadi tiga,19 yaitu kekurangan indra, kekurangan pada
anggota tubuh, dan kekurangan yang terjadi pada pen-tasharuf-an
(tindakan).
7. Syarat pemimpin yang ketujuh adalah nasab, yaitu calon pemimpin adalah
keturunan Quraisy.
Syarat ketujuh ini masih diperselisihkan, 20 namun enam syarat yang lain di
atas secara garis besar telah menjadi kesepakatan. Akan tetapi, perlu
digarisbawahi di sini bahwa fuqaha yang memiliki pandagan bahwa nasab
adalah salah satu syarat kepemimpinan dan pandangan bahwa nasab
adalah salah satu syarat dalam beberapa hukum khusus seperti al-kafaa’ah
(sukufu, sepadan)
Disadari oleh Ibnu Khaldun cacat fisik dan mental berpengaruh terhadap
aktivitas fisik dan berpikir serta menjalankan tugas yang semestinya
diemban. Sekiranya cacat sebagian saja, tetap mengurangi kesempurnaan
sebagai seorang pemimpin yang tingkat mobilitasnya tinggi. Maka Ibnu
Khaldun tetap pada pendirinya yaitu memandang kurang memenuhi syarat
bagi mereka yang mempunyai cacat fisik untuk menjadi seorang
pemimpin.
Berdasar pada pendapat-pendapat para ulama dan fuqaha tentang syarat
seorang imam sebagaimana dipaparkan diatas, bila dikaji lebih mendalam
menunjukkan bahwa persyaratan-persyaratan tersebut sangat ditentukan
oleh situasi dan kondisi politik dimana para ulama dan fuqaha berada. Dan
juga sejauhmana kedekatan ulama dan penguasa pada saat itu. Sehingga
fatwa yang disampaikan sangat diwarnai oleh kondisi politik yang
mengitarinya.
Suatu contoh persyaratan fisik yang cukup ketat yang dikemukakan oleh
Ibnu Khaldun, tak lepas dari kemajuan dan tingginya mobilitas yang
dilakukan pemimpin pada saat itu sebagai cermin dari masyarakat yang
maju. Demikian pula persyaratan tentang orang Quraisy, yang
dikemukakan oleh Ibnu Hisyam, al- Baqilani dan al-Mawardi tak lepas
dari keberadaan mereka di Jazirah Arabia khususnya dan Timur Tengah
pada umumnya. Sehingga fatwa-fatwa yang mereka sampaikan sangat
kontekstual.
Namun demikian bila ditarik batas merah pemikiran mereka,
sesungguhnya ada kesamaan diantara para ulama dan fuqaha. Kesamaan
itu lebih bersifat mayor dari pada minor, yaitu;
19
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah sistem pemerintahan khalifah islam, (Bogor 1 Januari
2015 : Penerbit Qithi Press) hlm, 11 dan juga dikutip oleh Imam Ibnu Khaldun pada bukunya
Muqodimmah Ibnu Khaldun, (Jakarta Timur, cetakan pertama Maret 2011 : Penerbit Pustaka Al-
Kuatsar). Hlm, 161.
20
Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 4; Muqodimmah Ibnu Khaldun, hlm. 162, pasal
26. Dan juga di nukil oleh al Mawaqif, jilid. 8. Hlm. 392.
xxx
a. Persyaratan yang bersifat fisik. Artinya, pemimpin harus
memiliki fisik yang prima, sehat, dan kuat. Sebagai ikhtiar
untuk mendukung tugas dan tanggungjawabnya. Sehingga
mobilitasnya berjalan dengan normal, lancar dan tidak
terganggu oleh fisik,
21
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Jakarta Timur, cetakan pertama Maret 2011:
Penerbit Pustaka Al-Kuatsar). Hlm, 342-343.
22
https://dalamislam.com/akhlaq/amalan-shaleh/keutamaan-menjadi-pemimpin
xxxi
ِاْذ َقاَل ُّبَك ِلْل ٰۤلِٕىَك ِة ِا َج اِع ىِف اَاْلْر ِض َخ ِلْيَفًةۗ َقاُلْٓو ا َاْجَتَع ِفْيَه ا ُّيْف ِس ُد ِفْيَه ا ِف ُك الِّد َم ۤاَۚء
َو َيْس َمْن ُل ْيِّن ٌل َم َر َو
ِا ِد
َو ْحَنُن ُنَس ِّبُح َحِبْم َك َو ُنَق ِّد ُس َلَك ۗ َقاَل ِّن َاْع َلُم َم ا اَل َتْع َلُمْو َن
Artinya: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al Baqarah: 30).
2. Mengikuti Teladan Rasul
اَاْل ِر ِم ْنُك ْۚم َفِاْن َناَزْعُت َش ٍء ُّد ِاىَل الّٰلِه ٰٓيَاُّيَه ا اَّلِذْي ٰاَمُنْٓو ا َاِط ْيُعوا الّٰل َه َاِط ْيُعوا الَّر َل ُاوىِل
َت ْم ْيِف ْي َفُر ْو ُه ْم ُسْو َو َو َن
ِل ِم ِا
َخ ْيٌر َّو َاْح َسُن َتْأِو ْياًل َو الَّر ُسْو ِل ْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِبالّٰلِه َو اْلَيْو اٰاْلِخ ِۗر ٰذ َك
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 59).
Jelas dari firman tersebut bahwa Rasulullah pada jaman dahulu juga
memimpin umat islam dan mengajak orang orang untuk beriman, ajakan
tersebut ialah dalam arti yang luas, seperti ajakan untuk menjalankan
setiap aspek kehidupan sesuai dengan syariat islam, ajakan untuk selalu
saling mengingatkan dalam kebaikan, serta ajakan untuk memberi teladan
baik pada orang lain seperti keutamaan sahabat Rasulullah yang senantiasa
mengikuti ajaran Rasul.
3. Penegak Kebijakan
َو َجَعْلٰنُه ْم َإِى َّم ًة َّيْه ُد ْو َن ِبَاْم ِر َنا َو َاْو َح ْيَنٓا ِاَلْيِه ْم ِفْع َل اَخْلْيٰر ِت َو ِاَقاَم الَّص ٰل وِة َو ِاْيَتۤاَء الَّزٰك وِۚة َو َك اُنْو ا َلَنا
ِبِد
ٰع ْيَن
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan
kepada mereka untuk mengerjakan kebajikan dimana mereka berada,
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah
mereka selalu menyembah”. (Al-Anbiya’:73).
xxxii
Pemimpin yang baik akan mampu mengajak rakyat atau orang orang yang
dipimpinnya pada jalan kebajikan yang dimana digariskan Allah dan ia
memiliki keutamaan jujur dalam islam.
4. Mendapat Petunjuk Bagi yang Sabar
Pemimpin yang sabar dalam menjalankan tanggung jawabnya dan tetap
menjalankan amanahnya sesuai syariat dan hukum islam maka baginya
adalah petunjuk dan ketenagan hati di setiap arah dan langkahnya karena
selalu menerapkan keutamaan sabar dalam islam seperti firman Allah.
َو َجَعْلَنا ِم ْنُه ْم َإِى َّم ًة َّيْه ُد ْو َن ِبَاْم ِر َنا َلَّم ا َص َبُر ْو ۗا َو َك اُنْو ا ِبٰاٰيِتَنا ُيْو ِقُنْو َن
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (As-Sajdah: 24).
5. Berperan Dalam Keadilan
Pemimpin memiliki keutamaan sebagai orang yang mampu menegakkan
keadilan. Pemimpin harus mampu melawan atau menegur yang salah serta
membela yang lemah dan yang benar sebagaimana Allah dalam
firmannya.
ِا ِل ٰٓل ِس ِلّٰلِه ِم ِب ِق ِط ِذ ٰٓي
َاُّيَه ا اَّل ْيَن ٰاَم ُنْو ا ُك ْو ُنْو ا َقَّو ا َنْي اْل ْس ُش َه َد ۤاَء َو َلْو َع ى َاْنُف ُك ْم َاِو اْلَو ا َد ْيِن َو اَاْل ْقَر ِبَنْي ۚ ْن َّيُك ْن
َغِنًّيا َاْو َفِق ْيًر اَفالّٰل ُه َاْو ىٰل ِهِبَم ۗا َفاَل َتَّتِبُعوااَهْلٰٓو ى َاْن َتْع ِد ُلْو اۚ َو ِاْن َتْلو َاْو ُتْع ِر ُضْو ا َفِاَّن الّٰل َه َك اَن َمِبا َتْع َم ُلْو َن
َخ ِبرْي
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau bapak ibu dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau
miskin, Allah lebih mengetahui kemaslahatan keduanya”. (Qs. An-Nisa;
135).
6. Menegakkan Kebenaran
Pemimpin yang menegakkan kebenaran adalah salah satu jalan keutamaan
yang didapatnya, menegakkan kebenaran merupakan perintah Allah yang
digariskan Allah melalui para pemimpin yang sholeh. “Hai orang-orang
yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan
janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena itu lebih dekat dengan taqwa…” (Q.s. Al-Maidah 8).
xxxiii
ٰٓيَاُّي ا اَّلِذ ٰا ا ُك ا َّو اِم ِلّٰلِه َد ۤا ِباْلِق ِۖط اَل ِر َّنُك ٰاُن ٍم ٰٓلى َااَّل ِدُل اۗ ِا ِد ُل ۗا
َتْع ْو ْع ْو َه ْيَن َم ُنْو ْو ُنْو َق َنْي ُش َه َء ْس َو ْجَي َم ْم َشَن َقْو َع
ُه َو َاْقَر ُب ِللَّتْقٰو ۖى
7. Ujian Keimanan
“Demi Allah wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan
matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku (Rasulullah)
agar aku meninggalkan tugas suci ku, maka aku tidak akan
meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur
karena-Nya……”. (HR Muslim). seorang pemimpin tentu memiliki banyak
ujian yang berhubungan dengan kesenangan duniawi, jika ia mampu
mengalahkan ujian tersebut maka baginya adalah kebaikan dan ridho
Allah.
xxxiv
BAB Ⅲ
23
Prof, Dr,H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), Tafsir Al-Azhar, Jilid 7, Jakarta:
Gema Insani, 2013, hlm 527
xxxv
Salah satu cerita penting yang disampaikan dalam Surat Shaad adalah
kisah nabi Daud (David) dan Sulaiman (Solomon). Nabi Daud adalah seorang raja
yang diberikan kekuasaan dan kebijaksanaan oleh Allah. Dia diberikan
kemampuan untuk memahami bahasa burung, dan Allah menguji keimanan dan
kesabaran Daud melalui beberapa ujian dan cobaan yang berat. Dalam kisah ini,
Surat Shaad mengajarkan bahwa kesabaran dan ketekunan dalam menghadapi
kesulitan adalah sikap yang dianugerahkan oleh Allah dan akan dihargai-nya.
Surat Shaad juga menggambarkan penghakiman Allah terhadap kaum
Tsamud yang telah menolak kebenaran dan mengikuti kesesatan. Kaum Tsamud
dikenal karena kekufuran dan kesombongan mereka. Mereka tidak mengikuti
perintah Allah dan menentang nabi mereka, Saleh. Akibatnya, mereka
menghadapi hukuman Allah yang dahsyat dalam bentuk gempa bumi yang
menghancurkan mereka.
Selain itu, Surat Shaad juga menyinggung tentang kehidupan akhirat dan
hari kebangkitan. Allah menegaskan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan
manusia akan dihitung dan dihisab di hari penghakiman. Orang-orang yang
beriman dan melakukan amal saleh akan mendapat pahala yang besar, sedangkan
orang-orang kafir dan durhaka akan menerima siksaan yang adil.
Surat Shaad menunjukkan urgensi dan pentingnya menerima wahyu dan
petunjuk Allah. Surat ini mengajak umat manusia untuk mempelajari pelajaran
dari kisah-kisah masa lalu dan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Tujuan utama Surat Shaad adalah untuk menyadarkan manusia akan
kebesaran Allah, menguatkan iman mereka, dan mengingatkan mereka tentang
akhirat serta konsekuensi tindakan mereka di dunia ini.
3.1.3 Penamaan Surah Shaad
Surah ini dinamakan Shaad karena dibuka dengan salah satu huruf hijaiyah
(alfabet Arab) yang berjumlah dua puluh delapan, shaad. Surah ini dibuka dengan
huruf shad untuk menunjukkan bahwa Al-Qur'an tersusun dari alfabet Arab.
Meskipun demikian, orang-orang Arab yang pandai bahasa tidak mampu
membuat semisal dengan satu surah terpendek dari Al-Qur'an. Surah ini sama
seperti surah-surah lainnya yang diawali dengan huruf hijaiyah untuk menantang
orang Arab dan menegaskan mukjizat Al-Qur'an.
3.1.4 Persesuaian Surah lni Dengan Surah Sebelumnya
Surah ini dengan surah sebelumnya memiliki dua korelasi sebagai berikut.
1. Di akhir Surah ash-Shaaffaat, Allah menceritakan ucapan orang-orang
kafir; "Sekiranya di sisi kami ada sebuah kitab dari (kitab-kitab yang
diturunkan) kepada orang-orang dahulu." "tentu kami akan menjadi hamba
Allah yang disucikan dari dosa." (ash-Shaaffaat:168-169) kemudian
mereka mengafirkannya. Surah Shaad diawali dengan sumpah demi Al
xxxvi
Qur'an yang mempunyai adz-zzikr, untuk menjelaskan secara global
bagian akhir Surah ash-Shaaffaat.
2. Surah ini berada setelah Surah ash-Shaaffaat seperti letak Surah an-Naml
setelah Surah asy-Syu'araa', letak Surah Thaahaa dan Surah al-Anbiyaa'
setelah Surah Maryam, dan seperti letak Surah Yuusuf setelah Surah
Huud, yaitu melanjutkan pemaparan kisah para nabi yang belum
disebutkan dalam surah sebelumnya, seperti kisah Nabi Dawud, Sulaiman,
Ayyub, dan Adam, serta menyinggung beberapa nabi yang telah
disebutkan.24
3.1.5 Isi Kandungan Surah Shaad
Tema surah ini sebagaimana surah-surah Makkiyyah lainnya, menjelaskan
pokok-pokok aqidah lslam; tauhid, kenabian, dan ba'ts melalui sanggahan
terhadap aqidah orang-orang musyrik yang bertolak belakang dengan pokok-
pokok aqidah Islam, pemaparan kisah para nabi untuk pelajaran dan nasihat,
penjelasan keadaan orang-orang kafir dan musyrik pada hari Kiamat, deskripsi
tentang adzab penghuni neraka, dan nikmat penghuni surga. Surah ini diawali
dengan deskripsi sifat orang-orang musyrik yang sombong, menolak kebenaran,
dan berpaling darinya disertai dengan pembahasan nasib yang menimpa umat-
umat terdahulu yang menyimpang dari kebenaran, sehingga membinasakan
mereka. Seperti, kaum Nuh, Aad, Fir'aun, Tsamud, Luth, dan penduduk Aikah.
Di antara sifat orang-orang musyrik yang paling penting ada tiga;
mengingkari keesaan Tuhan, mengingkari kenabian Muhammad saw., dan
mengingkari ba'rs dan hisab. Kemudian, surah ini memaparkan kisah Dawud,
Sulaiman, dan Ayyub secara detail. Sedangkan kisah lbrahim, Ishaq, Ya'qub,
Isma'il, Ilyasa', dan Dzulkifli dikisahkan secara global.
Pembicaraan selanjutnya berpindah ke topik yang menjelaskan tujuan
terbesar; penegasan ba'ts dan hisab, deskripsi nikmat penduduk surga, dan adzab
penduduk neraka. Surah ini kemudian dimahkotai dengan awal kisah penciptaan;
kisah Adam. sujudnya malaikat kepada Adam. kecuali lblis, pengusiran lblis dari
surga, ditumpahkannya laknat atas Iblis sampai hari Kiamat, dan mengancam
akan memenuhi neraka dengan Iblis beserta para pengikutnya.
Surah ini ditutup dengan penegasan keikhlasan Nabi Muhammad. dalam
menyampaikan risalah tanpa upah sebagai bukti atas kenabian beliau, deklarasi
status Al Qur'an sebagai risalah bagi bangsa manusia dan jin, dan orang-orang
musyrik setelah mati akan mengetahui hakikat Al-Qur'an.25
24
Dr. Wahbah arZuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 12, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm 154
25
Dr. Wahbah arZuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 12, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm 154-155
xxxvii
3.2 Kajian Tafsir Surah Shaad
Pada bagian ini penulis akan membahas tentang arti mufrodat ayat,
munasabah atau hubungan antara ayat yang sedang dikaji dan ayat sebelumnya,
dan sebab turunnya ayat, surat Shaad ayat: 26, tentang kewajiban pemimpin dalam
al Qur’an.
3.2.1 Ayat dan Terjemah
Allah subhanahu wataala berfirman :
xxxviii
mengisahkan Dawud menurut cerita para pendongeng, aku akan menderanya
seratus enam puluh kali." Ini adalah hadd atas kebohongan dan fitnah terhadap
para nabi.
Sedangkan Ar Razi menyanggah cerita dusta tersebut dengan tiga
argumentasi yang intinya.
Pertama, hikayat tersebut, seandainya dituduhkan kepada orang yang
paling fasik sekalipun, ia akan menolaknya mentah-mentah.
Kedua, inti hikayat tersebut ada dua, usaha membunuh seorang Muslim
tanpa hak dan ambisi merebut istrinya. Keduanya adalah mungkar.
Ketiga, sebelum menyebutkan kisah Dawud, Allah mendeskripsikannya
dengan sepuluh sifat, lalu setelah penyebutan kisah ini, Allah mendeskripsikan
Dawud dengan banyak sifat yang lain. Semua sifat ini memastikan bahwa tidak
mungkin dirinya melakukan perbuatan mungkar dan perilaku buruk seperti itu.
Riwayat yang shahih untuk hikayat tersebut adalah, Dawud membagi
waktu mingguannya menjadi tiga. Sepertiga urusan kerajaan, sepertiga
menjalankan sidang peradilan, dan sepertiganya lagi untuk berkhalwat, beribadah,
dan membaca Zaburdi dalam mihrab. Lalu ada dua pihak yang berperkara
melanggar aturan waktu tersebut dengan memaksa menemui Dawud dengan
memaniat dinding untuk meminta putusan hukum. Dawud pun kaget, ia mengira
keduanya ingin membunuhnya, sementara ia sendirian di dalam mihrab untuk
beribadah kepada Tuhan. Kedua orang yang sedang berperkara ini adalah
manusia, bukan malaikat yang menjelma. Maksudnya adalah binatang ternak
bukan perempuan.
Hanya saja, waktu itu Dawud tergesa-gesa memutuskan hukum sebelum
mendengarkan keterangan dari pihak yang satunya lagi. Oleh karenanya, Allah
menegurnya dan mengingatkan bahwa sebelum memutuskan, seorang hakim
haruslah cermat dan mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak yang
sedang berperkara. Di bagian berikut, kami akan menjelaskan bahwa riwayat ini
perlu ditinjau kembali, karena tidak masuk akal, Dawud begitu saja memutuskan
hukum sebelum mendengar keterangan dari pihak satunya. Sebab, mendengarkan
keterangan kedua belah pihak adalah prinsip dasar peradilan yang tidak boleh
ditinggalkan.26
3.3 Tafsir Para Ulama
Dalam tafsir ulama ini penulis mengetengahkan empat tafsir yang berbeda
keadaan dan waktu. Yaitu: Tafsir Ath-Thabari, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Tafsir Al Munir, Tafsir Al-Azhar.
26
Dr. Wahbah arZuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 12, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm 155-157
xxxix
3.3.1 Tafsir Al Munir 27
Kisah Dawud dalam surah ini memuat tiga tema.
Pertama, menjelaskan beberapa sifat yang dianugerahkan Allah
kepadanya sehingga menjadikannya memiliki kualifikasi untuk meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedua, putusan hukum terhadap dua orang yang sedang berperkara.
Ketiga, Allah meniadikannya sebagai penerus kerajaan setelah kejadian tersebut.
ٰي َد اوُد ِاَّن ا َجَعْلٰن َك َخ ِلْيَف ًة ِفى اَاْلْر ِضAllah menunjuk Dawud sebagai penerus
kekuasaan dan menjadi hakim di antara manusia di muka bumi. Ia memiliki
kekuasaan dan pemerintahan, kewajiban manusia adalah tunduk dan patuh.
Kemudian, Allah SWT menjelaskan kepada Dawud prinsip-prinsip hukum yang
harus diajarkan kepada
Pertama: Firman Allah, " ِاَّن ا َجَعْلٰن َك َخ ِلْيَف ًة ِفى اَاْلْر ِضSesungguhaya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi," yakni Kami menjadikan
kamu seorang raja agar kamu memerintahkan kebaikan dan menghapuskan
kemungkaran serta menyiapkan kader-kader orang-orang shalih setelahmu.
27
Wahbah bin Mustafa al-Zuhaili, beliau dilahirkan pada 6 Maret 1932 M/1351 H, bertempat di
Dair ‘Atiyyah di kecamatan Faiha, Propinsi Damaskus, Syria. Dilahirkan dari seorang ayah
bernama Mustafa al-Zuhaili dan Hajjah Fatimah binti Mustafa Sa’adah.
28
Dr. Wahbah arZuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 12, Jakarta: Gema Insani, 2013 hlm 171-173
29
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshoriy alKhazrajiy al-
Andalusiy al-Qurtubi al-Mufassir, atau yang dikenal dengan panggilan Al-Qurtubi. Al-Qurtubiy
sendiri adalah nama suatu daerah di Andalusia (sekarang Spanyol), yaitu Cordoba, yang di-nisbah-
kan kepada alImam Abu Abdillah Muhammad
xl
Pembahasan tentang kekhalifahan dan hukun-hukumnya telah dilakukan
sebelumnya dengan panjang lebar pada surah Al Baqarah.
Kedua: Fiman Allah, " َف اْح ُك ْم َبْيَن الَّن اِس ِب اْلَح قMaka berilah kaputusan
(perkara) di antara manusia dengan benar," yaknii bi al adl dengan adil. Perintah
ini bersifat wajib, dan wajibnya berkaitan dengan kisah sebelumnya, sebab apa
yang telah diputuskan Nabi Daud itu bukanlah putusan hukum yang adil, Karena
itu dikatakan kapadanya setelah itu. “Maka berilah kaputusan perkara) di antara
manusia dengan benar” “ َو اَل َتَّتِب ِع اْلَه ٰو ىDan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu," yakni jangan jadikan hawa nafsumu teladan yang kau ikuti yang tentunya
akan bertentangan dengan perintah Allah, “ َفُيِض َّلَك َعْن َس ِبْيِل الّٰل ِهkarena akan
menyesatkan engkau dari jalan Allah” yakni dari jalan menuju surga, ۗ ِاَّن اَّلِذ ْيَن َيِض ُّلْو َن
ِب ِل الّٰل ِه
“ َعْن َس ْيSungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah” yakni
menyimpang darinya dan meninggalkannya, “ َلُه ْم َع َذ اٌب َش ِد ْيٌدakan mendapat azab
yang berat” di dalam neraka ۢ “ ِبَم ا َنُس ْو ا َيْو َم اْلِح َس اِبkarena mereka melupakan hari
perhitungan” yakni karna mereka meninggalkan jalan untuk sampai kepada
Allah.30
30
Syaikh Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 15, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009 hlm 428
31
Qs. Al Maa`idal: 49.
32
Qs. An_Nisaa: 105
33
Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 15, Jakarta: Pustaka Azzam, hlm 429-430
xli
Keempat: Ibnu Abbas RA berkata tentang fiman-nya ٰي َد اوُد ِاَّن ا َجَعْلٰن َك َخ ِلْيَف ًة ِفى
الَّناِس ِب اْل ِّق اَل َّتِب ِع اْل ٰو ى ِض َّلَك َع ِب ِل الّٰل ِه
ْن َس ْي َح َو َت َه َفُي “ ۗ اَاْلْر ِض َفاْح ُك ْم َبْيَنWahai Dawud! Sesungguhnya
engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa
nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” (seakan Allah:
berfiman), "Aku mengirim dua orang yang berseteru kepadamu dan agaknya kanu
lebih condong kapada salah seorang dari keduanya. Di dalam dirimu tidak ada
semangat dalam menegakkan kebenaran sehingga kaputusan hukumnya
menguntungkan salah seorang dari yang lainnya. Jika kamu berbuat demikian,
maka Aku hapus namamu dari daftar para Rasul-Ku. Setelah itu, kamu bukan apa-
apa di mata-Ku; bukan wakil-Ku di muka bumi dan bukan kekeramatan-Ku."
Ayat ini merupakan dalil temtang wajibnya berhukum dengan benar dan
adil. Hendaknya sebuah kaputusan hukum tidak condong kepada salah seorang
dari dua orang yang berseteru disebabkan kekerabatan atau keuntungan yang
didapat, atau sebab-sebab halnnya saperti persahabatan dan semisalnya yang
menyebabkan lahirnya keputusan timpang.
Ibnu Abbas juga berkata, "Sulainan bin Daud menerima ujian, sebab
ketika dua orang yang berseteru datang kapadanya untuk meminta keadilan dia
condong untuk membenarkan salah seorang dari keduanya.
Abdul Aziz bin Abi Rawwed berkata, "Sebuah riwayat sampai kapada
saya bahwa seorang hakim di zaman Bangsa Israel, pada puncak usahanya
menbuat kaputusan hukum dengan benar dia memohon kapada Allah agar diberi
tanda dari-nya, tanda benar jika dia memutuskan dengan benar dan tanda salah
jika dia memutuskan dengan salah. Dikatakan kapadanya: masukalah ke
kamarmu. Ulurkan tangarmu ke dinding, dan ukurlah sehingga jemarimu sampai
menyentuh dinding. Setelah itu buatlah garis dengan jemarimu tersebut. Jika kami
selesai memberikan keputusan hukun, kembalilah ke kamarmu dan ulurkan tangan
ke arah garis di dinding tersebut. Jika keputusanm benar, maka kamu akan mampu
menyentuhnya. Jika putusanmu salah, rnaka kamu tidak akan manpu
menyentuhnya.
Dcmikianlah, keesokan harinya dia berangkat untuk memberikan
kaputusan. Hakim bangsa Isreal ini dikenal adil dan benar dalam memberikan
kaputusan hukum. Setiap kali selesai memberikan keputusan hukum, dia tidak
akan menyentuh makanan dan minuman serta bertemu keluarganya kecuali
terlebih dahulu pergi ke kanamya dengan maksud garis di dinding tersebut. Jika
tangannya berhasil menyentuh garis di dinding tersebut, maka setelah itu dia akan
beraktifitas sesuai dengan yang dihalalkan Allah, saperti makan, mimin, dan
berhubungan dengan istrinya.
Pada suatu hari, ketika dia duduk di meja sidangnya, dua orang datang
menghadapnya. Di dalam hatinya berkata bahwa dua orang ini datang karena
perseteruan dan kini meminta putusan hukumnya. Kebetulan, salah seorang dari
xlii
dua orang yang berseteru tersebut adalah temannya. Tinbul di hatinya niat untuk
membela dan membenarkan sahabatnya tersebut. Setelah keduanya saling
mengajukan tuntutan dan alasannya, dia pun memberikan keputusan hukum sesuai
dengan niatnya tersebut. Lalu, kembalilah dia ke kamarnya sebagaimana biasanya
jika selesai memberikan keputusan hakumnya.
Sesampainya di kamarnya dan tangannya hendak menjangkau garis
dimaksud, garis tersebut bergerak dan berpindah ke langit-langit kamar. Setelah
sadar tangannya tidak mampu menjangkau garis tersebut, seketika itu dia
menyungkurkan diri bersujud, seraya berkata: Ya, Allah aku tidak mengerti apa
yang terjadi ini, jelaskanlah kapadaku.
Maka dikatakan kapadanya, "apakah kamu menyangkah bahwa Allah
tidak mengetahui isi hatimu. Bukankah kamu condong untuk memenangkan
perkara sahabatmu dengan memberikan keputusan hakum terhadapnya? Kamu
memang menginginkan demikian dan Allah telah mengembalikan kebenaran
hukum kepada yang berhak dan hamu tidak menyukainya."
Diriwayatkan dari Laits, dia berkata: Dua orang yang berseteru datang
kepada Umar bin Khaththab. Setelah masing-masing dari keduanya mengajukan
tuntutan dan alasannya, Umar menyuruh keduanya pulang. Kemudian keduanya
kembali. Sebagaimana semula, Umar memerintahkan keduanya pulang. Keesokan
harinya, Ketika keduanya datang kembali, Umar memberikan keputusannya.
Umar ditanya tentang alasan perbuatannya tersebut. Umar menjawab, "Keduanya
datang kepadaku dengan perkaranya. Aku merasa condong kepada salah
seorangnya dan tidak menyukai yang demikian itu, maka aku enggan menetapkan
hukumnya.” Esoknya keduanya datang kembali, dan saya masih merasakan hal
serupa. Esoknya lagi keduanya datang kembali dan rasa tersebut telah hilang,
maka saya bisa memberikan keputusan hukumnya.34
Asy-Sya'bi berkata, “Terjadi pertengkaran antara Umar dan Ubai.
Keduanya datang meminta ketetapan hukum Zaid bin Tsabit. Manakala keduanya
masuk menemuinya, Zaid bin Tsabit mengisyaratkan kapada Umar agar duduk
pada alas duduknya. Umar berkata, Ini pertanda kezhalimanmu yang pertama.
Dudukkan saya dan Ubai pada tempat duduk yang sama. Zaid pun mendudukkan
keduanya di hadapannya."
kelima: Ayat ini merupakan dalil tentang tidak diperbolehkannya seorang
hakim mengeluarkan keputusan hukumya berdasarkan ilmunya, sebab jika para
hakim memberikan keputusan hukumnya berdasarkan ilmunya, maka dia akan
lebih condong untuk memenangkan kawannya dan menghancurkan musuhnya
berdasarkan ilmunya tersebut. Semakna dengan ini apa yang diriwayatkan dari
Abu Bakar, dia berkata, "Jika saya melihat seseorang melanggar batasan yang
telah ditetapkan AIlah, maka saya tidak akan menghukumnya sehingga ada bukti
yang menguatkan tersebut."
34
Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 15, Jakarta: Pustaka Azzam, hlm 432
xliii
Diriwayatkan bahwa seorang wanita datang menemui Umar bin
Khaththab. Dia berkata kepada Umar, "Berikan keputusan hukun terhadap saya
atas seseorang, sebab engkau mengetahui apa yang terjadi antara saya
dengannya." Umar berkata, "Jika kamu mau saya bersaksi untukmu, maka saya
akan lakukan, tetapi, jika memberikan keputusan hukum maka saya tidak mau."
Di dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah
memberikan kaputusan hukum dengan adanya sunpah dan saksi35.
Diriwayatkan juga dari Rasulullah bahwa beliau membeli seekor kuda, dan
penjualnya menyangkalnya. Dalan hal itu, Rasulullah tidak segera mengeluarkan
hukumnya, bahkan berkata, "Siapakah yang menyaksikan jual beli saya ini"
Khuzaimah bangkit bersaksi dan Rasulullah mengeluarkan hukumnya. Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Daud dan ulama ahli hadits lairmya, dan telah dibahas
sebelumnya pada surah AI Baqarah.36
3.3.3 Tafsir Ibnu Katsir 37
ِب ّٰلِه ِا َّلِذ ِض ِب ِب ِل ىِف ِا
َخ ْيَفًة اَاْلْر ِض َفاْح ُك ْم َبَنْي الَّناِس اَحْلِّق َو اَل َتَّت ِع اَهْلٰو ى َفُي َّلَك َعْن َس ْيِل ال ۗ َّن ا ْيَن ٰيَد اوُٗد َّنا َجَعْلٰن َك
الّٰلِه ُهَل َعَذ اٌب َش ِد ْيٌد ۢ َمِبا َن ا اِحْل اِب َيِض ُّلْو َن َعْن َس ِبْيِل
ُس ْو َيْو َم َس ْم
Artinya: “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah
(penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan
adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan
engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”
(QS:Shaad 26)
Ini adalah wasiat dari Allah kepada para penguasa untuk menerapkan
hukum kepada manusia sesuai dengan kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah
Tabaraaka wa Ta'ala, serta tidak berpaling darinya, hingga mereka sesat dari
jalan Allah. Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta'ala mengancam orang yang
sesat dari jalan-nya serta melupakan hari hisab dengan ancaman yang keras dan
adzab yang pedih.
'Ikrimah berkata: “ َلُه ْم َع َذ اٌب َش ِد ْيٌد ۢ ِبَم ا َنُس ْو ا َيْو َم اْلِح َس اِبSungguh, orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan” ini bentuk muqaddam (yang didahulukan} dan
muakhkhar {yang diakhirkan}, yakni mereka akan mendapatkan adzab yang pedih
pada hari hisab dengan sebab apa yang mereka lupakan."38
35
Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 15, Jakarta: Pustaka Azzam, hlm 433
36
Tafsir Surat, Al Baqarah, Ayat 282
37
Nama lengkapnya adalah Syeikh al-Imam al-Hafiz Abul Fida’ ‘Imaduddin Ismail bin Umar
Katsir Dha’u bin Katsir Al-Quraisyi ad-Dimasyqi. Lahir di desa Mijdal dalam wilayah Bushra
(Bashrah), tahun 700 H./ 1301 M. Oleh itu ia mendapat predikat al-Bushrawi (orang Bushra)
38
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 7, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Cetakan Pertama
2004, hlm 63
xliv
As-Suddi berkata: "Mereka mendapatkan adzab yang pedih dikarenakan
apa yang mereka tinggalkan, yaitu beramal untuk hari hisab." Pendapat ini lebih
sesuai dengan zhahir ayat ini. Semoga Allah memberikan taufiq ke arah
kebenaran.
3.3.4 Tafsir Fi Zhilali Qur’an 39
Kekhalifahan di muka bumi, memutuskan hukum di antara manusia
dengan benar, dan tidak mengikuti hawa nafsu. Dan mengikuti hawa nafsu-yang
berkaitan dengan Nabi bermakna terpengaruh emosi yang pertama setelah
mendengar kata-kata pihak pertama yang melaporkan kasusnya kepadanya,
dengan tidak mencari cari dan menyelidiki kebenaran yang sesungguhnya.
Sehingga, mengantarkannya terseret dalam masalah itu hingga sampai kepada
kesesatan. Sedangkan, setelah ayat yang menggambarkan akibat dari kesesatan
adalah tentang hukum yang umum dan mutlak atas hasil hasil kesesatan dari jalan
Allah. Yaitu, Allah tidak mengacuhkannya dan orang itu pun mendapatkan azab
yang pedih pada hari perhitungan.
Salah satu bentuk perhatian Allah terhadap Nabi Dawud adalah Dia
mengingatkannya pada kesempatan yang pertama. Juga mengembalikannya ke
jalan yang benar, segera setelah ada tanda kecenderungan menyimpang pada
dirinya. Lalu memperingatkannya akan akhir yang jauh. Sementara ia belum
melangkah satu langkah pun ke arah sesuatu yang terlarang itu! Itu merupakan
anugerah Allah bagi orang-orang yang terpilih dari sekian hambanya. Mereka itu
dengan sifat kemanusiaannya bisa saja langkah mereka terbentuk sesuatu
rintangan. Tapi Allah segera mengampuninya dosa dan menyelamatkannya,
mengajarkannya, memberikannya taufik untuk bertobat, menerima tobatnya, dan
memberikannya pelbagai anugerah, setelah cobaan.
Ketika menjelaskan prinsip kebenaran dalam kekhilafahan bumi, dan
dalam memutuskan hukum di antara manusia dan sebelum kisah Dawud sampai
ke akhirnya dalam redaksi Al-Qur'an ini maka kebenaran ini dikembalikan kepada
asalnya yang besar. Asal yang di atasnya berdiri langit dan bumi beserta apa yang
ada di antara keduanya. Asalnya yang agung dalam bangun alam semesta ini
seluruhnya. Dan, ia lebih mencakup dari kekhalifahan bumi dan dari tugas
memutuskan hukum di antara manusia. Ia lebih besar dari bumi ini. Ia juga lebih
jauh jaraknya dari kehidupan dunia. Karena ia mencakup inti alam semesta
sebagaimana mencakup kehidupan akhirat. Darinya dan di atasnya berdiri risalah
yang terakhir. Dan, datang Kitab Suci yang menjadi penjelas bagi kebenaran yang
menyeluruh dan besar ini.40
3.3.5 Tafsir Al-Azhar 41
39
Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain Syadzili. Lahir pada tanggal 09 Oktober
1906 di desa Mausyah, dekat kota Asyut, Mesir. Sayyid Quthb adalah seorang kritikus sastra,
novelis, pujangga, pemikiran Islam dan aktivis Islam Mesir paling terkenal pada abad ke-20.
40
Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilali Qur’an, Jilid 5, Jakarta: Gema Insani, Cetakan Pertama 2003,
hlmn
xlv
Dalam surah Shaad ayat 26 bahwa nabi daud di angkat oleh Allah menjadi
khalifah di muka bumi, memegang kekuasaan atas orang banyak, supaya
menghukum dengan kebenaran dan jangan memperturutkan hawa nafsu dalam
menjatuhkan hukum. Karna hukum yang dijatukan menurut kehendak hawa nafsu
akan membawa sesat menusia dari jalan Allah. Dan kalau sekali telah sesat dari
jalan Allah, adzab siksaan yang pedihlah yang akan diderita di hari perhitungan
kelak.
Pada kisah kedua nabi, rasul, dan raja bapak dan anak ini ditunjukkan pula
bagaimana beratnya memerintah dan betapa besar dan banyaknya percobaan
hidup, namun kedua raja itu sanggup menghadapinya dan mendapatkan pujian
yang tinggi dari Allah, diakui sebagai hamba-hamba Allah yang selalu
mendekatkan diri kepada Allah dan selalu sabar bahwa perjalanan hidup ini
hendaklah dikembalikan kepada Allah.
Pangkal ayat 26
Tentang arti dan makna khalifah sudah banyak kita temui di dalam kitab-
kitab tafsir, dan telah kita uraikan pula pada Tafsir Juz Pertama, seketika Allah
menyatakan kepada malaikat-malaikat bahwa Dia (Allah) hendak mengadakan
khalifah di muka bumi. Makna yang dekat dengan khalifah ialah pengganti atau
pelaksana.
Adam sebagai bapak pertama dari manusia dapatlah dianggap sebagai
khalifah Allah di muka bumi, untuk dengan akal budi yang dianugrahkan Allah
kepadanya, atau 42
Kepada manusia memperlihatkan bagaimana kekuasaan Ilahi melalui
wahyunya kepada Nabi-nabi dan ilhamnya kepada manusia yang berpikir,
sehingga muka bumi ini menjadi makmur karena perbuatan manusia. Adapun
Dawud sekarang ini, bolehlah dia diartikan menyambut tugas Adam jadi khalifah
dari Allah, atau khalifah dari generasi yang terdahulu dari dia. Sebab Dawud
adalah keturunan dari Ibrahim, dari Ishaq dan Ya'qub melalui Bani Israil. Menilik
kepada kedudukannya sebagai raja dari Bani Israil, kedudukannya jadi khalifah itu
sudah bukan semata-mata menjadi Rasul dan Nabi saja lagi, bahkan juga jadi
pemegang kekuasaan. Maka supaya jabatan jadi khalifah itu berjalan dengan baik,
mengisi fungsinya diberilah beberapa pesan oleh Allah. Pertama, "Maka
hukumlah di antara manusia dengan benar." Hukum yang benar ialah hukum yang
adil. Di antara kebenaran dengan keadilan adalah satu hal yang memakai nama
dua. Yang benar itu juga dan yang adil itu juga, kalau sudah benar pastilah dia
adil. Kalau sudah adil pastilah dia benar. "Dan janganlah engkau perturutkan
hawa." Hawa ialah kehendak hati sendiri yang terpengaruh oleh rasa marah atau
kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci. Dalam bahasa asing yang telah
41
Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), lahir di sungai Batang,
Meninjau-Sumatra Barat, pada tanggal 16 Februari 1908 M./13 Muharram 1326.
42
Prof, Dr,H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), Tafsir Al-Azhar, Jilid 7, Jakarta:
Gema Insani, 2013, hlm 548-549
xlvi
dipakai rata dalam bahasa kita bahwa hawa itu ialah emosi atau sentimen. Lalu
dilanjutkan bahaya yang akan mengancam jika seorang penguasa menjatuhkan
suatu hukum dipengaruhi oleh hawanya, "Niscaya dia akan menyesatkan engkau
dari jalan Allah." Artinya, kalau seorang penguasa, atau dia bergelar raja, sultan,
khalifah, presiden, atau yang lain tidaklah lagi menghukum dengan benar dan adil,
malahan sudah hawa yang jadi hakim, putuslah harapan orang banyak akan
mendapat perlindungan hukum dari yang berkuasa dan hilanglah keamanan jiwa
dalam negara.
Ujung ayat 26
Sungguh-sungguh kekuasaan itu suatu ujian yang berat. Kekuasaan bisa
saja menyebabkan orang lupa dari mana dia menerima kekuasaan itu, lalu dia
berbuat sewenang-wenang berkehendak hati. Sebab itu disalah-gunakannya
kekuasaan. Dalam hukum masyarakat di dunia ini batinnya akan disiksa oleh
kekuasaan itu sendiri. Diktator-diktator yang besar-besar ada yang jadi gila karena
kekuasaan. Di akhirat mereka akan diadzab. Sebab seseorang penguasa tidaklah
datang meningkat naik saja. Dia naik ialah karena menerima jabatan dari yang
digantikannya. Sebelum dia menggantikan, dia belum ada apa-apa. Setelah itu dia
akan mati. Sehari putus nyawa, kekuasaan tidak ada lagi. Yang ditunggu ialah
perhitungan di akhirat. Seorang raja, seorang menteri, seorang budak belian,
seorang hamba sahaya, sama saja martabatnya di muka Allah kelak. Di sana
martabat manusia hanya ditentukan oleh ketakwaannya.
Dikatakan bahwa orang yang telah menempuh jalan Allah itu lalu
menurutkan jalan hawa ialah karena mereka lupa hari perhitungan, hari Kiamat.
Kalau dia ingat itu tentu dia sediakan bekal untuk nanti, untuk keselamatan di hari
itu. Tidak ada artinya kemegahan dunia maya ini jika dibandingkan dengan hisab
di akhirat.
Maka tersebutlah dalam sejarah bahwa seorang Khalifah Bani Umayah,
yang Bernama al-Walid bin Abdul Malik, bertanya kepada ulama besar Abu
Zar'ah, "Apakah seorang khalifah akan dihisab juga di hari Kiamat? Engkau telah
banyak membaca kitab dulu-dulu, dan Al-Qur'an pun telah engkau selidik.
Bagaimana katanya di sana?"
Abu Zar'ah menyambut, "Ya Amirul Mu'minin, bolehkah aku bercakap?"
"Boleh. Bebas. Katakanlah terus-terang engkau aman." Jawab Amirul Mu'minin.
Berkata Abu Zar'ah, "Ya Amirul Mu'minin, andakah yang lebih mulia di
sisi Allah atau Nabi Dawud? Nabi Dawud berkumpul padanya nubuwwat dan
khilafat, namun dia diwajibkan oleh Allah menghukum kepada manusia dengan
benar dan jangan memperturutkan hawa, dan diancam bahwa orang yang
memperturutkan hawanya ialah orang yang lupa akan hari perhitungan."
Filsuf, ahli fiqih, dan ahli tafsir yang agung, Fakhruddin ar-Razi menulis
dalam tafsirnya, "Ketahuilah bahwa manusia telah ditakdirkan Allah suka akan
hidup yang lebih maju dan bergaul. Karena hidup seorang saja tidaklah mungkin
xlvii
mencapai apa yang diperlukan, padahal masyarakat bersama ada. Dengan
persamaan terjadi pembagian kerja, ini petani, itu menumbuk gandum, sana
membuat roti, yang lain menenun dan yang lain menjahit. Semua ada tugasny a
dan semua tugas penting, dan tersusun kerja semua untuk maslahat semua.
Bertambah jelas bahwa manusia hidup bermasyarakat.43
43
Prof, Dr,H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), Tafsir Al-Azhar, Jilid 7, Jakarta:
Gema Insani, 2013, hlm 550
xlviii
BAB Ⅳ
KEWAJIBAN PEMIMPIN DI DALAM AL QUR’AN
44
Aunurn Rofik, Artikel detik, Adil adalah kunci seorang pemimpin, Jum’at 28 mei, Jakarta 2021,
hlm 1.
xlix
Itulah petunjuk dalam menentukan suatu perkara dengan adil,
menyamaratakan semua golongan, sehingga hukum menjadi 'tajam' dirasakan
semua lapisan masyarakat. Al-Qur'an dan Sunnah adalah landasan berpijak dalam
memutuskan suatu perkara, dan peganglah hukum yang diridhai Allah. Seorang
pemimpin yang berpegang pada petunjuk ini akan dicintai dan dirindukan
rakyatnya.
Adil juga berlaku dalam pembagian pengelolaan sumber-sumber kekayaan
negara, berilah kesempatan agar masyarakat yang berkemampuan dapat
menciptakan nilai tambah. Penumpukkan pengelolaan sumber daya negara akan
menimbulkan kecemburuan, ini bisa berakibat adanya rasa tidak suka pada
golongan tertentu. Pemimpin yang menjadikan sebab itu akan menuai penurunan
popularitas. Namun, jika amanah tersebut menjadi landasan memimpin, in syaa
Allah keadilan akan terjaga dalam suasana yang harmonis.45
Pemimpin yang adil berfungsi untuk menegakkan sesuatu yang
menyeleweng, meluruskan semua yang bengkok, memperbaiki semua yang rusak,
sebagai pilar kekuatan bagi yang lemah, sebagai tempat perlindungan bagi yang
haknya dirampas dan keadilan bagi orang yang teraniaya. Adapun pemimpin yang
adil bagaikan :
1. Seorang ayah yang menyayangi anak-anaknya, menenuhi kebutuhan di
masa kecil, mengajarinya ketika sang anak membutuhkannya, bekerja
untuk anak-anak serta menabung sebagai cadangan masa depan.
3. Hati yang berfungsi terhadap semua anggota badan. Jika hati baik maka
baiklah seluruh anggota badan, dan jika hati lagi jelek maka jelek pula
seluruh anggota badan.
45
Aunurn Rofik, Artikel detik, Adil adalah kunci seorang pemimpin, Jum’at 28 mei, Jakarta 2021,
hlm 1-3.
l
Ini kisah yang patut diteladani. Ketika Khalid bin Walid memperoleh
kemenangan di Hirah. Sekitar tujuh ribu orang Kristen didalam kota, seribu orang
dibebaskan dari pembayaran jizya karena mereka dalam keadaan sakit. Keluarga
miskin juga dibebaskan. Kemudian Khalid menulis pada Amirul Mukminin
tentang pembebasan ini, agar tindakan ini mendapatkan persetujuan / pengesahan,
Khalid mengusulkan, "Saya akan membebaskan orang-orang zimmah yang miskin
dari Jizya, dan ia beserta keluarganya akan dibantu dari keuangan Negara selama
ia masih tinggal di wilayah Islam."
Adapun para budak belian orang-orang Kristen yang masuk Islam, kepada
pemiliknya diberikan ganti rugi sebesar nilai beliannya. Khalid mengijinkan
orang-orang Kristen Hirah untuk mengenakan pakaian apa saja asalkan mereka
tidak meniru pakaian orang-orang Islam. Ketentuan ini sangat cerdik untuk
mencegah timbulnya kesulitan akibat kemiripan macam pakaian itu.
Betapa nikmatnya bagi masyarakat yang dipimpin seorang seperti Khalid
bin Walid di masa Amirul Mukminin Abu Bakar. Oleh karena itu, para calon
pemimpin yang berniat ingin mendapatkan amanah dalam pilihan kepala daerah
maupun pilihan presiden, ingatlah menjadi pemimpin yang adil adalah
keniscayaan. Jadilah laksana seorang ayah dan ibu yang menyayangi anak-
anaknya, memelihara dan mengajarinya hingga menjadi orang yang mandiri.
4.1.2 Keadilan Dalam Prespektif Hadits
46
Fauzi Almubarok, “Keadilan Dalam Perspektif Islam,” Journal ISTIGHNA 1, no. 2 (2018): 115–
43, https://doi.org/10.33853/istighna.v1i2.6.
47
Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autensitas Dalam Dinamika Zaman (IRCiSoD, 2019). Hal. 173
li
ketidakbersamaan dan ketidakadilan” kedua hal tesebut memang sangat penting
untuk menjadi perhatian bersama bagaiaman pemerintah menjaga persatuan dan
kesatuan serta menjaga sikap adil dalam pemerintahannya. Belum lagi masalah
program vaksinasi untuk pencegahan Covid-19 yang sedang dijalankan
pemerintah sehingga tidak luput dari perhatian anggota dewan supaya program
vaksinasi covid-19 agar diawasi sehiingga tidak menimbulkan ketidak adilan
sosial.
Dari 45 hadis yang telah ditemukan maka penulis akan mengutip dan
membahas hadis yang paling relevan dengan tema yang diangkata yaitu Hadis
dalam kitab Sunan Ad-Darimi Nomor 2403:
ِم
َأْخ َبَر َنا َح َّج اُج ْبُن ْنَه اٍل َح َّد َثَنا َح َّم اُد ْبُن َس َلَم َة َعْن َيْحَيى ْبِن َس ِعيٍد َعْن َس ِعيِد ْبِن َيَس اٍر َعْن َأِبي ُه َر ْيَر َة َأَّن َنِبَّي الَّلِه َص َّلى الَّلُه
ٍة ِم ِم
َعَلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َم ا ْن َأ يِر َعَش َر ِإاَّل ُيْؤ َتى ِبِه َيْو َم اْلِق َياَم ِة َم ْغُلوَلٌة َيَد اُه ِإَلى ُعُنِقِه َأْطَلَق ه اْلَح ُّق َأْو َأْو َبَق ُه
lii
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Hajjaj bin Minhal telah
menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Yahya bin Sa'id dari Sa'id
bin Yasar dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidak ada seorang pemimpinpun yang memimpin sepuluh orang, kecuali ia akan
didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan tangannya terbelenggu ke lehernya,
tidak ada yang bisa melepasnya kecuali keadilan atau dia akan celaka karena
kezhaliman."
Adil merupakan sifat yang utama bagi setiap manusia, dan adil dapat
dilihat dari bagaiaman seorang pemimpin memutuskan sebuah hukum dengan
benar dan jujur, melakukan suatu perkara seuai tempat, waktu, cara, serta
ukurannya yang proporsional. Pemimpin yang adil merupakan salah satu dari
tujuh golongan yang mendapatkan “tiket khusus” masuk ke dalam naungan Allah,
hari di mana tiada naungan selain naunganNya. Ia layak mendapatkan jaminan
tiket khusus naungan dari Allah, karena kemampuannya menjadi tempat bernaung
dan berteduh bagi semua rakyat. Semua merasakan keteduhan dan kesejahteraan,
ketika bernaung di bawah kekuasaannya, lantaran tidak ada kedzaliman dan
kelaliman. Pemimipin adil adalah seorang pemimpin yang mampu menjaga
amanah, melaksanakan tugas, memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya,
menolong rakyat yang kesusahan serta menegakkan hukum dengan seadil adilnya.
Sejarah membuktikan bahwa banyak negara yang maju pada zamannya
dan bahkan banyak negara maju pada zaman moderen ini disebabkan karena
pemimpinnya yang adil. Dan begitu juga sebaliknya, negara akan hancur dan akan
terbelakang apabila pemimpinnya zhalim kepada rakyatnya. Oleh karena itu
penting untuk dibahas tentang penafsiran ulamam tentang hadis keadilan seorang
pemimpin.
A. Interpretasi Ulama hadis Syarah Hadis
Pemimpin yang adil bukanlah pemimpin yang bisa dilihat hanya dari jenis
kelaminnya atau sebatas pada tingkat pengatahuannya dalam memerintah.
Namun pemimpin disini yang dimaksud dalam hadis ini adalah pemimpin
dalam artian yang luas. Kata pemimppin juga sangat lekat dengan sifat
amanah, sehingga orang yang memipin ketika ia tidak adil maka ia adalah
termasuk pemimpin yang tidak amanah.
Menurut Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-
Maliki bahwa pemimpin itu bila diterjemahkan ke dalam pemaknaan yang
luas maka bisa berarti suami, istri, ayah, ibu, anak, guru, murid,
komandan, dan berbagai macam bentuk kepala bagian maupun bidang.
اإلمام العدل الحاکم العام التابع ألوامر اهلل تعالى فيضع کل شيء موضعه من غير إفراط وال تفريط فدخل في
ذلك األمير ونوابه والرجل في أهله والمرأة في بيتها والمدرس في فصله
liii
“Imam atau pemimpin yang adil pemerintah secara umum yang mengikuti
perintah Allah, ia menempatkan segala sesuatu di tempatnya tanpa
kelebihan dan tanpa kekurangan, kata pemerintah di sini mencakup
presiden dan aparatnya sampai yang terbawah, seorang di tengah istri dan
anak-anaknya, seorang istri di rumah, seorang guru di dalam kelas”
Dari keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Allah SWT.
mencitai para pemimpin yang berbuat adil serta mengapresiasinya dalam
artian pemimpin yang difahami dan didefinisikan secara luas mencakup
orang-orang yang mengemban amanah tertentu.
Pendapat ulama lain tentang kepemimpinan yaitu Imam Gazali berkata
“bahwa kelestarian dan kehancuran dunia sangat ditentungan oleh para
pemimpinnya”, dan beliau menjelaskan hal-hal yang dapat menumbuhkan
sikap adil bagi para pemimpin yaitu: mengetahui manfaat dan bahayanya
kekuasaan, meminta nasihat ulama, benci dengan segala macam
kedzaliman, menghindari sikap sombong, berempati kepada rakyatnya,
memperhatikan kebutuhan rakyat, menyukai kesederhanaan dalam
hidupnya, bersikap lemah lembut kepada siapapun, membuat rakyat
bahagia tanpa melanggar aturan agama, dan tidak menjual agama hanya
untuk merebut simpati rakyatnya.
Demikian juga dengan Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa keadilan
adalah merupakankeutamaan jiwa yang terkumpul menjadi satu kesatuan
dari tiga sifat utama manusia, yaitu kebijaksanaan, kehormatan, dan
keberanian. Dengan demikian bahwa kepemimpinan seorang pemimpin
harus mengedepankan kebijaksanaan dalam kepemimpinannya. Bijaksana
dalam memutuskan suatu keputusan dengan memperhatikan kemaslahan
dan kemudharata yang akan ditimbulkan dari keputusan tersebut.
Selanjutnya seorang pemimpin harus mejaga marwah dan kehormatannya
sebagai seorang pemimpin sehingga ia menjadi pemimpin yang disegani,
yang dihormati, dan yang didengar ucapannya karena ia mampu menjaga
kehormatannya. Dan yang terakhir adalah berani. Seorang pemimpin harus
mempunyai keberanian untuk mengatakan yang hak itu hak, dan yang bati
itu batil. Maka keberanian harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Apapun
tingkatan lembaga yang dipimpin, berapapun masyarakat yang ia pimpin,
maka seorang pemimpin tidak boleh takut untuk menegakkan keadilan.
B. Relevansi Keadilan Pemimpin dalam Lembaga Pendidikan Islam
liv
ِٖۗاَّن الّٰل َه َيْأُمُر ُك ْم َاْن ُتَؤ ُّدوا اَاْلٰم ٰن ِت ِآٰلى َاْه ِلَه ۙا َو ِاَذا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّناِس َاْن َتْح ُك ُمْو ا ِباْلَعْد ِل ۗ ِاَّن الّٰل َه ِنِعَّم ا َيِعُظُك ْم ِبه
ِاَّن الّٰل َه َك اَن َس ِم ْيًعۢا َبِص ْيًر ا
lv
Oleh karena itu, seorang pemimpin yang adil dalam memimpin sebuah
lembaga pendidikan harus peka terhadap persoalan-persoalan yang ada,
mempunyai hubungan yang responsif terhadap orang-orang yang
dipimpinnya, demikian juga orang-orang yang berada di lingkungan
sekelilingnya. Ia harus banyak terjunlansung untuk mengamati,
mendengar, melihat, dan kemudian ia merencanakan, mengorganisasikan,
dan segera melakukan tindakan yang sesuai dengan permasalahan yang ia
dapatkan di lapangan. Jika diamati kepemimpinan sebuah lembaga
pendidikan tidak semua pemimpinnya tidak mampu berlaku adil, dan
memang tidak mudah untuk berlakuk adil dengan sekian banyak
kebijakan, sekian banyak masyarakat, dan sekian banyak prosedur yang
dihadapi oelh seorang pemimpin.
Maka tepatlah hadis dalam sunan ad-darimi 2403 diatas menjadi pegangan
dan pengawasan bagi seorang pemimpin untuk berlaku adil dan tidak
berlaku zhalim. Hadis tersebut juga dapat menjadi peringatan keras bagi
para pemimpin, apapun lembaga yang ia pimpin, berapapun banyaknya
orang yang dia pimpin hendanya mengedepankan sikap adil sesuai dengan
ukuran adil masing-masing Individu. Secara konseptual memang banyak
bisa bisa dilakukan untuk menjadi pemimpin yang adil, namun dalam
praktinya sangat tidak mudah. Namun demikian apapun alasannya, kunci
keadilan itu ada pada diri pemimpin sendiri.
Orang yang mengikuti hawa nafsu tidak akan mementingkan agamanya dan tidak
mendahulukan ridha Allah dan Rasul-Nya. Dia akan selalu menjadikan hawa
nafsu menjadi tolok ukurnya.
Syaikhul Islam berkata, "Fondasi agama (Islam) adalah mencintai karena
Allah dan membenci karena Allah, mendukung karena Allah dan menjauhi karena
Allah, beribadah karena Allah, memohon pertolongan kepada Allah, takut kepada
Allah, berharap kepada Allah, memberi karena Allah, dan menghalangi karena
Allah. Ini hanya dapat dilakukan dengan mengikuti Rasulullah. Karena perintah
Rasulullah adalah perintah Allah, larangannya adalah larangan Allah,
memusuhinya berarti memusuhi Allah, mentaatinya sama dengan mentaati Allah
dan mendurhakainya sama dengan mendurhakai Allah.
Bahkan orang yang mengikuti hawa nafsunya telah dibuat buta dan tuli
oleh hawa nafsunya. Sehingga dia tidak bisa memperhatikan dan melaksanakan
apa yang menjadi hak Allah dan Rasul-Nya dalam hal itu, dan dia tidak
mencarinya. Dia tidak ridha karena ridha Allah dan Rasul-Nya, dia tidak marah
karena kemarahan Allah dan Rasul-Nya. Tetapi dia ridha jika mendapatkan apa
lvi
yang diridhai oleh hawa nafsunya, dan marah jika mendapatkan apa yang
membuat hawa nafsunya marah".48
Dengan demikian, maka mengikuti hawa nafsu akan menyeret pelaku
kepada kesesatan dan kerusakan. Sebab, timbulnya bid'ah adalah hawa nafsu,
sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam, "Permulaan bid'ah adalah mencela
Sunnah (ajaran Nabi) dengan dasar persangkaan dan hawa nafsu (sebagaimana
bibit kemunculan golongan Khawarij-pen), sebagaimana Iblis mencela perintah
Allah (saat diperintahkan sujud kepada Adam) dengan pikirannya dan hawa
nafsunya".
Nabi صلى هللا علي••ه وس••لمjuga sudah mengingatkan bahwa mengikuti hawa
nafsu akan membawa kehancuran. Beliau صلى هللا عليه وسلمbersabda:
ُش ٌّح َطاٌع ى َّت ِإْع ا الـ ِء ِب ْف ِس ِه: َفَأ ا َثَالٌث ْه ِلَك اٌت، َثَالٌث ْه ِلَك اٌت َثَالٌث ْنِج اٌت
ُم َو َه َو ُم َبٌع َو َج ُب َمْر َن ُم َم ُم َي َو ُم
َخ ْش َيُة اِهلل ِفي الِّسِّر َو العالِنيِة َو َقْص ُد ِفي اْلَفْق ِر َو اْلِغَنى َو اْلَعْد ُل ِفي اْلَغَض ِب َو الِّر َض ا: َو َثَالٌث ُمْنِج َياٌت
48
http://alquran.unissula.ac.id/previewartikel.php?idartikel=62
lvii
Amirul mukminin memberikan nasihat tidak bersikap membabi buta dan
dengki apalagi mengikuti hawa nafsu. Karena mengikuti hawa nafsu selalu akan
mengutaman kepentingan dunia yg fana, maka rugilah hidupmu. Siapakah yang
diberi nasihat? Dia adalah Gubernur dan Panglima di Bashrah, murid dan sahabat
Rasulullah Saw. yang berasal dari Yaman.
Sesungguhnya manusia diciptakan dengan potensi keinginan yang baik
(takwa) dan keinginan buruk (nafsu). Kedua keinginan tersebut menunjukkan sifat
keseimbangan (at-tawazun) dan kemanusiaan (al-basyariah) dalam diri manusia.
Oleh karena itu, nafsu adalah fitrah manusia, sebagaimana takwa juga adalah
fitrah. Hal ini yang ditegaskan dalam Al-Qur'an, yang artinya, "Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (QS asy-Syams: 7-8).
Sebagai bagian dari uijian Allah Swt. setiap jiwa manusia cenderung untuk
berbuat dosa dan maksiat. Jika manusia dihadapkan pada pilihan yang baik atau
pilihan yang buruk, ia lebih tertarik melakukan pilihan yang buruk.
Contohnya, jika ada pilihan, bekerja keras ataupun istirahat, pilihan
istirahat lebih menarik. Jika ada pilihan, shalat Tahajud atau istirahat, jiwa
manusia cenderung memilih istirahat. Hal ini sesuai dengan penegasan Al-Qur'an,
yang artinya, "Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang." (QS Yusuf: 53).
Nafsu tersebut jika dibiarkan atau tidak dikendalikan, setiap perilaku
manusia akan tidak baik. Berkata tidak jujur, berbuat fitnah, mengadu domba,
adalah sebagian kecil dari praktik memperturutkan nafsu.
Bisa dibayangkan, jika nafsu tersebut dibiarkan tanpa kendali, sosok
manusia yang diciptakan dengan sempurna itu-akan menjadi beringas, bahkan
digambarkan dalam Al-Qur'an, manusia menjadi buas seperti hewan. "Mereka
mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah Swt
) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah Swt), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
digunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah Swt). Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. "Mereka itulah orang-orang yang
lalai." (QS al-A'raf: 79).49
Jelaslah bahwa seorang pemimpin mutlak hendaknya bisa mengendalikan
hawa nafsunya. Pemimpin akan lulus dalam kendalikan hawa nafsu jika
mempunyai karakter yang diperkuat sbb :
1. Ketabahan, yang merupakan kemampuan bersifat kebiasaan dalam
menanggung dan mengatasi kesulitan, rasa sakit, tekanan dan bahaya.
49
Aunurn Rofik, Artikel detik, Keteladanan itu ciri kepemimpinan, Jum’at 28 mei, Jakarta 2021,
lviii
2. Upaya penjagaan diri ('iffah), merupakan kemampuan bersifat
kebiasaan dalam menahan godaan kesenangan sesaat yang bisa
mempengaruhi tujuan jangka Panjang
4. Kemampuan untuk melakukan atau meraih sesuatu secara tepat, benar dan
pada tempatnya.
Berikutnya adalah seruan pada menjalankan perintah Allah Swt. dan tidak
melakukan kegiatan kefasikan. In syaa Allah bagi pemimpin yang menjalankan
perintah-Nya dan menghindari tindakan kefasikan akan menjadikan dia seorang
pemimpin yang lemah lembut, bersyukur dan tawadhu'.50
Secara umum kewajiban kepala negara tidak bisa lepas dari tujuan dan fungsi
dari negara itu sendiri, karena seorang kepala negara memiliki kewajiban
untuk menegakkan dan melaksanakan dari tujuan negara itu. Tujuan negara itu
meliputi:
Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan
mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus
melaksanakan penertiban, dapat dikatakan bahwa negera bertindak sebagai
stabilisator.
lix
khilafah merupakan pertanggungjawaban yang dipikulkan kepada seseorang untuk
mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan
akherat. Karena semua persoalan keduniaan, menurut pandangan agama,
bermuara kepada kepentingan akherat. Pada hakikatnya pemegang khilafah
(kepala negara) adalah sebagai pengganti Rasul dalam menjaga agama dan
mengatur dunia.
Berdasarkan pandangan tersebut tujuan negara dalam Islam meliputi dua
tujuan utama, yang secara langsung juga merupakan tanggung jawab kepala
negara dalam merealisasikannya, kedua tujuan tersebut adalah:
Pertama, melaksanakan ketentuan agama sesuai dengan perintah Allah
dan Rasulnya dengan ikhlas serta patut, agar seluruh manusia dapat dengan baik
melakukan ketaatan kepada Allah.
Kedua, memperhatikan dan mengurus persoalan-persoalan duniawi,
misalnya menghimpun dana dari sumber-sumber yang sah dan menyalurkannya
kepada yang berhak, dan mencegah timbulnya kedhaliman
Kewajiban kepala negara dalam melaksanakan agama, tidak bisa lepas dari
tujuan syri‟ah yang paling utama yaitu terciptanya kemaslahatan bagi seluruh
umat manusia. Dalam konteks ini, tujuan tersebut tercakup dalam tujuan syariat
(maqâshid al-syari’ah) yang meliputi lima cakupan yang tetap bermuara kepada
terwujudnya kemaslahatan. Menurut al-Syatibi, kemaslahatan yang tercakup
dalam lima aspek tersebut meliputi pemeliharaan agama (hifz al-dîn),
pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs), pemeliharaan keturunan (hifz al-al-nasl),
pemeliharaan akal (hifz al-‘aql), dan pemeliharaan harta (hifz al-mâl). Kemudian
terbagi menjadi tiga tingkatan,52 yaitu:
1. Al-Dharûriyat
2. Al-Hâjiyat
3. Al-Tahsiniya
Kepala negara yang memiliki peran sebagai pengganti Nabi, baik dalam
otoritas politik maupun keagamaan, memiliki tanggung jawab menegakkan
syari‟ah, yang tujuan dari syari‟ah itu sendiri adalah kemaslahatan. Penegakkan
syari‟ah tidak bisa menjadi tanggung jawab individu atau ummat semata, tetapi
juga menjadi tang gung jawab kepala negara (khalifah) karena Islam tidak
mengenal pemisahan antara tanggung jawab politik dan tanggung jawab
penegakkan agama (syari‟ah) secara terpisah. Tentunya dalam aspek ini, kepala
negara memiliki tanggung jawab yang mencakup pemeliharaan agama, jiwa,
keturunan, akal dan harta. Kelima aspek yang menjadi tujuan syari‟ah ini,
52
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut Al-Syatibi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 1996), hlm. 71
lx
merupakan hak ummat yang penegakkannya menjadi tanggung jawab kepala
negara.
Kepemimpinan nabi Muhammad sebagai kepala negara merupakan contoh
terbaik dari seorang pemimpin, yang mampu melaksanakan fungsi
kepemimpinannya dengan sebaik mungkin, yang hak dan kewajibannya sebagai
seorang pemimpin mampu teraktualisasikan secara sempurna, antara tujuan agama
dan duniawi mampu terwujudkan secara maksimal. Ismail R. Al-Faruqi
mengambarkan bahwa, “Muhammad memiliki kapasitas (kepemimpinan) sampai
tingkatan yang sangat tinggi. Seandainya tak ada Islam, dia tetap merupakan
negarawan tercakap yang pernah dimiliki Makkah. Islam menambahkan
pandangan-dunia Islam sendiri sebagai tujuan baru, dan memperluas lingkup
kepemimpinan kepada umat manusia dan dunia”53
Gambaran nabi Muhammad sebagai pemimpin besar yang mampu
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, tampak dalam sikapnya yang mampu
berbuat adil dengan tanpa melebihkan satu kepala suku atau kabilah atas yang
lainnya, dia selalu hati-hati agar tak menuntut hak istimewa atas dirinya, dan dia
selalu memandang dirinya sama seperti yang lain.
Kenabian dan kedudukan Muhammad sebagai pemimpin negara, tidak
pernah menghalangi Muhammad untuk memperlakukan orang lain sama
kedudukannya. Dialah yang mengajarkan kaum Muslim agar makan di meja yang
sama bersama abdi dan budak mereka, memberi pakaian yang sama dengan yang
dikenakannya. Ketika suatu hari di pasar, seorang pedagang yang dilindungi oleh
Muhammad menarik tangan Muhammad lalu menciumnya. Muhammad menarik
balik tangannya seraya berkata, “Inilah yang dilakukan orang Persia terhadap raja
mereka. Aku bukanlah raja, dan engkau bukan orang Persia”. Begitu juga, ketika
kaum Muslim dikerahkan untuk menggali parit di bagian kota Madinah yang
rentan terhadap serangan, untuk dijadikan benteng terhadap serangan pasukan
berkuda, Muhammad bersikeras ikut bekerja bersama mereka. Contoh keteladan
Muhammad yang kemudian diikuti oleh para al-Khulafa al-Rasidun, menjadikan
sebuah pelajaran agung untuk diikuti oleh seluruh kaum Muslim terutama para
pemimpin tentang bagaimana seharusnya seorang Muslim memimpin
53
Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam (Menjelajah Khaanah
Peradaban Gemilang), terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 163.
lxi
BAB Ⅴ
PENUTUPAN
5.1 KESIMPULAN
Pemimpin adalah orang yang dapat menginspirasi, mempengaruhi pikiran,
perasaan, dan perilaku orang lain, baik berupa individu maupun kelompok untuk
mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan rakyat adalah orang yang berada dalam
suatu wilayah negara dan mempunyai tugas mematuhi dan mempertahankan
kekuasaan pemerintah. Dalam pandangan Islam, pemimpin memiliki beberapa
istilah, antara lain: Imam, Khalifah, dan Amir. Syarat menjadi seorang pemimpin
antara lain: beragama Islam, adil, amanah, kuat lahir dan batin, cinta kebenaran,
dan cerdas. Maka dari penjelasan tersebut diambil jawaban dari rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Kewajiban utama seorang pemimpin adalah menjalankan amanah dan
menegakkan hukum secara adil. Adapun ketaatan kepada Allah, Rasul, dan
Ulil Amri menjadi tolak ukur pelaksanaan amanah tersebut. Rakyat
melaksanakan ketaatan sebagai kewajibannya kepada pemimpin, dan
pemimpin menjalankan kewajibannya kepada rakyat dengan memenuhi segala
kebutuhan.
3. Kewajiban yang terkandung dalam surah Shaad ayat 26 tentang berlaku adil
dan larangan mengikuti hawa nafsu, kebanyakan para ulama fiqih dan para
ahli tafsir, mengwajibkan bagi para pemimpin untuk berlaku adil di segala
aspek menurut agama dan sangat melarang mengikuti hawa nafsu dan hal-hal
lain yang menjerumuskan kedzaliman.
Teori dasar kepemimpinan dalam Islam ini, saya harap menjadi modal
awal kita untuk memahami lebih dalam lagi samudra kepemimpinan dalam Islam,
sehingga kita lebih siap lagi mengemban amanah kepemimpinan di mana dan
kapan saja kita berada. Terus terang kita semua saat ini merindukan munculnya
lxii
pemimpin bertipe salafus shaleh, seperti Abu Bakar, Umar ibnu Khatthab, Usman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib RA. Berikut adalah kesimpulan dari penulisan
skripsi ini yang berisi tentang karakter pemimpin yang baik terhadap rakyatnya:
Sebagai seorang pemimpin hendaknya mengedapankan rasa syukur,
senantiasa mengingat Allah dan berdoa dalam segala tindakan. Bahwa ketika kita
memiliki kekuasaan yang besar, kekayaan yang banyak, jabatan yang tinggi, ilmu
yang mumpuni, kita harus selalu bersyukur.
Menciptakan kondisi nyaman agar bisa hidup berdampingan seiring dan
saling menghormati satu sama lain. Ketika kekuasaan sudah besar atau jabatan
tinggi, tidak seenaknya menginjak-nginjak orang yang berada di bawahnya.
Memberi perhatian yang lebih kepada rakyat yang dipimpinnya. Teliti dan
bersikap tegas kepada yang melanggar aturan. Tidak membeda-bedakan dalam
memimpin dan menerima pesan. Mampu berfikir visioner dan cerdas dalam
mengambil keputusan. Mengutamakan syura dalam mengambil keputusan. Suka
mendengar dan menghargai pendapat orang lain. Menciptakan kesempatan
beramal kepada rakyatnya. Menggunakan kekuasaan atau jabatan sebagai dakwah
Islam, ridha dan tawakkal dengan apapun yang terjadi. ini adalah sebagian dari
kewajiban pemimpin, masih banyak tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban
pemimpin yang harus ditunaikan sebagai seorang pemimpin.
a. SARAN
Dari skripsi ini, penulis memberi beberapa saran untuk pengembangan
lebih lanjut ke depan. Adapun saran yang bisa dikembangkan berhubungan
dengan
tema ini antara lain:
2. Sudut pandang tema lainnya bisa menjadi bahasan renyah tersendiri untuk
diulas, misalnya kehidupan keluarga, keadilan hukum, kearifan
sosial dan politik.
lxiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Al-Qur’an al-Karim
Abdul Muin Salim. Fiqh Siyasah; Konsepsi Politik dalam Al-Qur'an, Jakarta
2012: PT. Raja Grafindo Persada.
Abu’ Abdullah Syamsudin Muhammad Abu Bakr bin Ayub Bin Sa’ad. Mifthu
Dar Sa’adah. Ilmu dan Kemauan Serta Peran Dalam Mencapai
Kebahagiaan. Penerbit Akbar Media Eka Sarana. Jakarta 2004
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut Al-Syatibi (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 1996).
Atabik Lutfi. MA, Tafsir Tazkiyah, Jakarta: Gema Insani Press, 2009,
HR al-Bukhari, Ahmad, an-Nasai, dan at-Tirmidzi dari Abu Bakar r.a. Hadits ini
dimasukkan ke dalam kategori hadits shahih oleh at-Tirmidzi. Takhrij
hadits ini telah disebutkan pada kajian seputar peradilan.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Cetakan
Pertama 2004.
Inas Afifah Zahra, Marno, Basuki Wibawa, “ Jurnal Kewajiban Pemimpin dan
Rakyat Dalam Prespektif Al Qur’an Surah An Nisa Ayat 59.”
Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam (Menjelajah
Khaanah Peradaban Gemilang), terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan,
lxiv
1998).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat, Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008.
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, (Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama Erlangga, 2008)
Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema
Insani, 2013.
Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilali Qur’an, Jakarta: Gema Insani, Cetakan Pertama
2003.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2012.
Situs Web:
https://dalamislam.com
https://kumparan.com
lxv