Anda di halaman 1dari 4

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/363479697

Memaafkan Berdasarkan Sudut Pandang Psikologi

Article · September 2022

CITATIONS READS
0 163

2 authors:

Winda Hasanah Riana Sahrani


Tarumanagara University Tarumanagara University
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS 77 PUBLICATIONS 128 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Riana Sahrani on 12 September 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Memaafkan Berdasarkan Sudut Pandang Psikologi

Oleh: Winda Widya Hasanah (Mahasiswa Magister Psikologi, Universitas Tarumanagara) dan
Riana Sahrani (Dosen Magister Psikologi, Universitas Tarumanagara)

Hari raya idul fitri atau biasa kita sebut lebaran merupakan hari kemenangan dan penuh berkah
khususnya untuk umat muslim. Setelah beberapa tahun terakhir situasi pandemi menyebabkan
masyarakat harus membatasi interaksi sosial dan tidak bisa merayakan lebaran seperti biasanya,
namun pada hari lebaran tahun 2022 ini akhirnya masyarakat dapat kembali mudik ke kampung
halamannya masing-masing dan berkumpul dengan kerabat terdekat. Pada hari lebaran, tradisi
‘halalbihalal’ pasti akan dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Halalbihalal merupakan sebuah tradisi yang dilakukan pada hari lebaran, serta biasanya orang
saling mengunjungi kerabat terdekatnya, atau sekedar mengirim ucapan dan mengucapkan
permintaan maaf pada satu sama lain. Tradisi masyarakat Indonesia untuk saling meminta maaf
merupakan simbol kemenangan umat Islam setelah sebulan berpuasa dan berusaha untuk
kembali suci dengan memaafkan satu sama lain. Demi menjadikan tradisi saling memaafkan ini
menjadi perilaku yang benar-benar kita terapkan dalam kehidupan, mari kita pahami apakah
memaafkan itu, dan bagaimana manfaatnya.

Jika kita coba lihat memaafkan dalam sudut pandang ilmiah, topik memaafkan atau dalam
literatur lebih sering disebutkan dalam istilah forgiveness. Topik ini mulai marak sejak tahun
1998, yang menjadikan penelitian tentang bagaimana forgiveness dan spiritualitas berhubungan
satu sama lain, telah berkembang belakangan ini. Lawler pada tahun 2005 dalam Journal of
Behavioral Medicine, mendefinisikan forgiveness sebagai respons kognitif, emosional, dan
perilaku terhadap konflik interpersonal dan telah dikaitkan dengan indeks kesehatan mental dan
fisik.

Menurut Davis pada tahun 2012 dalam jurnal Psychology of Religion and Spirituality,
forgiveness terjadi karena individu percaya bahwa jika mereka tidak memaafkan, maka hal ini
akan merusak hubungannya dengan Tuhan, atau hal ini merupakan salah satu perintah agama.
Lijo pada tahun 2018 dalam journal of psychology & psychotherapy menyebutkan bahwa ketika
individu mendapatkan perilaku tidak adil atau tidak menyenangkan dari orang lain, individu akan
mengembangkan berbagai tanggapan dalam menghadapi masalah interpersonal tersebut dengan
pembalasan aktif atau pasif, dan menyimpan dendam. Reaksi negatif terhadap pelaku dan
menolak untuk memaafkan juga mungkin dipelajari sebagai bagian dari kebutuhan bertahan
hidup atau kebutuhan kekuatan manusia.

Forgiveness adalah kualitas individu yang mencari pertumbuhan untuk dirinya sendiri. Individu
sebagai manusia memiliki kapasitas untuk memilih forgiveness, bukan reaksi negatif terhadap
pelaku yang berbuat salah. Pargament dan Rye pada tahun 2022 dalam jurnal American
Psychological Association menyebutkan forgiveness merupakan strategi koping religius
transformasional yang dapat menawarkan alternatif yang menarik dan efektif untuk menghadapi
peristiwa tidak adil yang terjadi dalam hidup.

Forgiveness melibatkan kesediaan untuk mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku negatif
terhadap pelaku, sehingga menjadi perspektif yang lebih damai, yang mencakup kemanusiaan,
berempati, dan menilai kembali. Setelah diperlakukan tidak adil oleh orang lain, individu sering
mengalami perasaan marah, sakit hati, atau takut terhadap pelaku. Perasaan seperti itu bisa
adaptif ketika dapat memotivasi individu untuk mengambil tindakan saat melindungi diri mereka
dari bahaya di masa depan atau untuk mencari keadilan pada kehidupannya. Namun, perasaan
negatif terhadap pelaku tersebut juga dapat menambah penderitaan individu, jauh setelah
peristiwa tersebut terjadi. Sehingga pada akhirnya permusuhan menjadi fokus utama kehidupan
individu yang berdampak negatif pada kesehatannya.

Beck pada tahun 2011 dalam bukunya mengenai cognitive behavioral therapy menyebutkan cara
individu berpikir memengaruhi perasaannya, dan akhirnya hal ini berdampak pada perilaku kita
sehari-hari. Oleh karena itu, seperti yang disebutkan Rye sebelumnya, forgiveness dibutuhkan
untuk membantu individu merubah fokus kehidupannya dari pikiran-pikiran mengenai ingatan
ketidakadilan yang terjadi pada dirinya menjadi keinginan untuk mencari perdamaian.
Forgiveness merupakan proses yang memungkinkan individu untuk mengurangi reaksi emosi
dan perilaku yang negatif seperti kemarahan dan agresi pada orang lain.

Menurut Ercengiz, dkk pada tahun 2022 dalam jurnal current psychology, forgiveness dapat
membantu individu meningkatkan perasaan positif atau merasakan perasaan netral terhadap
pelaku perbuatan salah tersebut. Selain itu, forgiveness sangat penting untuk pemeliharaan dan
pengembangan hubungan individu dengan orang lain. Ehret pada tahun 2018 dalam dominicial
scholar membagikan metode yang dapat diterapkan untuk mengembangkan forgiveness for
healing ourself yaitu dengan empat elemen umum dalam membuat cerita forgiveness yang juga
dapat dituliskan untuk mempermudah prosesnya. Ketika empat elemen ini diterapkan dan
disatukan, maka hal ini memiliki dampak positif yang bertahan lama dan mendalam.

(1) Speak your truth; Beri nama pada perasaan yang dirasakan, akui rasa sakit atau kemarahan
atas peristiwa yang terjadi. Jujurlah dengan diri sendiri dan biarkan perasaan itu muncul. Kita
tidak mencoba terobsesi atau terhanyut pada emosi yang muncul, tetapi mengakui apa yang kita
rasakan. Biarkan energi dan perasaan bergerak keluar dari diri kita. Mengungkapkan kebenaran
tentang perasaan kita dapat membantu melalui perasaan sulit ini. Terus tanyakan pada diri Anda
pertanyaan "mengapa?" tentang kemarahan, kesedihan, rasa sakit, atau kesedihan Anda sampai
Anda mencapai inti jawaban mengapa anda merasa demikian. Perlu diingat bahwa ini bukan
pertanyaan mengapa situasi itu terjadi, melainkan, mengapa kita merasa seperti ini tentang apa
yang telah terjadi.

(2) Let Go of the Alternative Endings to the Story; ketika peristiwa menyulikan terjadi, kita
cenderung menafsirkan dalam pikiran kita sebuah cerita yang memiliki alternatif lain dari yang
sebenarnya kita alami. Tugas kita adalah untuk berhenti melakukan itu. Semakin mampu kita
menyelaraskan harapan kita dengan kenyataan hidup kita, semakin sedikit kita mengalami
perasaan tidak menyenangkan akan peristiwa yang terjadi. Apa yang terjadi, telah terjadi.
Forgiveness merupakan penerimaan apa adanya, dan pelepasan akhir alternatif. Kita berusaha
untuk memandang ke depan dengan wawasan dan kebijaksanaan yang telah diajarkan oleh
pengalaman tentang diri kita sendiri, tentang pelaku, dan kemauan untuk memulai cerita baru.

(3) Develop a Compassionate Story of the Other: Mengetahui, atau setidaknya mencoba untuk
melihat mengapa seseorang melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain, dan mengakui sisi
kemanusiaan mereka, membuat kita lebih mudah untuk melepas pikiran kebencian dan dendam
yang kita miliki. Kita bisa dan harus mulai dengan small forgiveness, misalnya, saat di jalan
pengendara lain menyalip kita. Saat hal itu terjadi, kita bisa berkata pada diri sendiri, “Wow!
Orang itu sangat terburu-buru. Saya bertanya-tanya apa yang terjadi dalam hidupnya yang
membuat dia membahayakan dirinya dan orang lain.” Semakin banyak kisah welas asih yang
dapat kita buat untuk lebih memahami mengapa atau bagaimana orang tersebut berperilaku,
semakin mudah untuk diri kita bereaksi positif pada peristiwa yang terjadi.

(4) Share Your Forgiveness Story As Appropriate; Membagikan atau menuliskan cerita
forgiveness adalah salah satu variasi dalam menciptakan kerangka positif dari peristiwa dan
keadaan yang merugikan yang kita rasakan. Tubuh kita dirancang untuk menghargai kita karena
mendengarkan dan berhubungan dengan cerita. Beberapa manfaat dari bercerita yaitu dari segi
biologis adanya sintesis oksitosin, bersifat internal, membuat peserta lebih bahagia, dan secara
eksternal, mempromosikan kerja sama dan perilaku prososial.

Tidak kalah penting adalah kita dapat memaafkan diri sendiri, forgiveness atau memberikan
pengampunan pada kesalahan dan kelemahan diri kita. Apabila kita dapat menerapkan semua ini
maka hidup kita menjadi lebih damai, yang terpancar dalam diri kita. Semoga.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai