Anda di halaman 1dari 13

Slide 2 :

Untuk istilah HHF sendiri dalam klasifikasi ICD-10 menurut WHO dimasukkan
dalam kode huruf “i”11.0 untuk Hypertensive Heart Disease dengan Heart
Failure.

ICD-10  The International Statistical Classification of Diseases and Related


Health Problems-10th Revision (Di Indonesia, buku ini dikenal dengan nama
Klasifikasi Internasional Penyakit revisi ke-10 yang disingkat sebagai KIP/10).

Slide 3 :
HHF merupakan sindroma klinis atau kumpulan gejala yang ada akibat dari
hypertensions heart disease dan heart failure. Jadi, adanya HHD ini yang sudah
tidak terkontrol dan sudah kronis yang menyebabkan terjadinya HHF
(Hypertensive Heart Failure)

Slide 4 :
Penyakit jantung hipertensi  serangkaian dari adanya perubahan jantung pada
ventrikel kiri, atrium kiri, dan arteri koroner sebagai akibat dari peningkatan
tekanan darah kronis.

Hipertensi yang terjadi  meningkatkan beban kerja pada jantung yang


menyebabkan adanya perubahan struktural dan fungsional pada miokardium.
Salah satu perubahannya  hipertrofi ventrikel kiri  yang dapat berkembang
menjadi gagal jantung.

Pedoman American Cardiology Association/American Heart Association tahun


2017 saat ini mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sebagai tekanan
darah sistolik yang lebih tinggi dari 120 mmHg atau tekanan diastolik lebih dari
80 mmHg.

Gagal jantung (Heart Failure)  sindrom klinis yang terjadi pada pasien dengan
kelainan structural dan/atau fungsi jantung bawaan ataupun didapat  yang
mengakibatkan adanya penurunan curah jantung dan/atau peningkatan tekanan
intrakardiak  menimbulkan gejala klinis seperti dispnea dan kelelahan serta
tanda-tanda seperti edema dan ronki.

Gagal jantung (Heart Failure) merupakan keadaan dimana jantung tidak mampu
memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme
dengan kata lain, diperlukan peningkatan tekanan yang abnormal pada jantung
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan (Harrison & Saputra, 2013).
Slide 5 :

• Hipertensi  prevalensi global 26,4%  hanya 1 dari 5 orang yang


memiliki tekanan darah yang terkontrol dengan baik.
• Hipertensi kronis menyebabkan HF memiliki waktu rerata 14,1 tahun.
• Riskesdas (2018)  1,5% atau 29.550 orang menderita gagal jantung.

Slide 6 :

 Sebagian besar (90 hingga 95%) pasien hipertensi akan diklasifikasikan


memiliki hipertensi primer atau esensial.
 Untuk etiologi hipertensi primer sendiri masih belum banyak dipahami.
Namun, kemungkinan besar merupakan interaksi yang kompleks antara
faktor genetik dan lingkungan. Beberapa faktor risiko seperti
bertambahnya usia, riwayat keluarga, obesitas, diet tinggi natrium (lebih
dari 3 g/hari), kurang aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol yang
berlebihan memiliki korelasi yang kuat dan independen dengan
perkembangan hipertensi.

Slide 7 :

 Setiap adanya kondisi yang mengarah pada perubahan struktur atau fungsi
dari ventrikel kiri dapat menjadi predisposisi pasien untuk menjadi gagal
jantung.
 Pasien dengan AHF dapat menderita beberapa kondisi lain selain gagal
jantung, dimana dibagi menjadi kardiovaskular dan non-kardiovaskular.
 Hypertensive heart failure (HHF) memiliki faktor komorbid
kardiovaskular berupa hipertensi arteri dan arterosklerosis sekitar 70%
pasien dan CAD (Coronary Artery Disease) yang tercatat pada 50-60%
pasien

Slide 8 :

 Hipertensi akan meningkatkan afterload ventrikel kiri yang diperburuk


oleh tingkat keparahan tekanan darahnya dan resistensi pembuluh darah
sistemik  yang mengakibatkan remodelling ventrikel kiri.
 Lalu ada faktor-faktor lain berkontribusi yaitu neurohormonal, sitokin,
komorbiditas, ras, dan faktor genetik.
 kelainan struktural pada jantung hipertensi yang melebihi hipertrofi
tingkat miosit dan hipertrofi medial dari arteri koroner intramyocardial
dan deposisi kolagen, yang menyebabkan fibrosis jantung.
 Perubahan ini terjadi akibat tekanan yang berlebihan dan aktivasi
neurohormonal yang berkontribusi terhadap hipertensi.
 Gangguan coronary flow reserves juga terjadi pada jantung hipertrofi
dimana aliran darah koroner pada fase istirahat masih pada level yang
normal, tetapi cadangan aliran menjadi terganggu ketika massa miosit
melebihi suplai darah.
 Gangguan coronary flow reserves juga menyebabkab iskemia
subendokardial pada kondisi dengan peningkatan kebutuhan oksigen
miokard.
 Kombinasi iskemia subendokardial dan fibrosis jantung merusak relaksasi
diastolik, menyebabkan dispnea saat aktivitas dan gagal jantung dengan
fungsi sistolik yang dipertahankan.

Slide 9 :
 Sebagian besar pasien hipertensi tidak menunjukkan gejala sampai pada
tahap akhir ketika komplikasi itu muncul.
 Pasien dengan LVH (Left Ventricular Hypertrophy)  bisa asimtomatik,
bisa simtomatik dengan nyeri dada angina akibat peningkatan kebutuhan
oksigen oleh sel miokard yang mengalami hipertrofi.
 Pasien dapat mengalami nyeri dada saat aktivitas (karena angina atau
penyakit arteri coroner), sesak nafas dalam kondisi gagal jantung
dekompensasi akut tanpa adanya riwayat infark miokard
 Pada pemeriksaan fisik  tekanan darah yang tinggi, bunyi jantung S3
atau S4, jika aterosklerotik (+) mungkin ditemukan bruit karotis atau
denyut nadi perifer yang menurun.
Bunyi S4 yang abnormal menunjukkan ventrikel yang kaku dan hipertensi
 spesifik untuk HHF
Bunyi S3 yang abnormal menunjukkan hipertrofi yang tipis dan eksentrik
yang berhubungan dengan gagal jantung sistolik.
Slide 10 :
 Pada HHF, gejala utama yang dirasakan kelelahan dan sesak nafas.
 Sesak napas. Pada tahap awal, dispnea diamati hanya selama aktivitas,
namun, seiring perkembangan penyakit, dispnea terjadi dengan
aktivitas yang kurang berat, dan pada akhirnya dapat terjadi bahkan
saat istirahat. Mekanisme yang paling penting adalah kongesti paru
dengan akumulasi cairan interstisial atau intraalveolar, yang mengaktifkan
reseptor juxtacapillary, yang merangsang karakteristik pernapasan cepat
dan dangkal dari dispnea jantung. Faktor lain yang berkontribusi terhadap
dispnea saat aktivitas termasuk penurunan compliance paru, peningkatan
resistensi jalan napas, kelelahan otot pernapasan dan/atau diafragma,
dan anemia.
 Ortopnea  dispnea yang terjadi pada posisi berbaring, biasanya
merupakan manifestasi HF yang lebih lambat daripada dispnea saat
beraktivitas. Ini hasil dari redistribusi cairan dari sirkulasi splanknikus dan
ekstremitas bawah ke dalam sirkulasi sentral selama berbaring, dengan
hasil peningkatan tekanan kapiler pulmonal. Ortopnea umumnya
berkurang dengan duduk tegak atau tidur dengan bantal tambahan.
Meskipun ortopnea adalah gejala gagal jantung yang relatif spesifik, hal
itu dapat terjadi pada pasien dengan obesitas perut atau asites dan
pasien dengan penyakit paru yang mekanisme paru-parunya mendukung
postur tegak.
 Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)  episode akut sesak napas parah
dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan
pasien dari tidur. PND dapat bermanifestasi dengan batuk atau mengi,
mungkin karena peningkatan tekanan di arteri bronkial yang
menyebabkan kompresi jalan napas, bersama dengan edema paru
interstisial yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas.
Ortopnea dapat dikurangi dengan duduk tegak di sisi tempat tidur dengan
kaki dalam posisi tergantung, sedangkan pasien dengan PND sering
mengalami batuk terus-menerus dan mengi bahkan setelah berada di
posisi tegak.
 Gejala Gastrointestinal  Anoreksia, mual, dan rasa cepat kenyang 
berhubungan dengan nyeri perut dan rasa penuh adalah keluhan yang
umum dan mungkin berhubungan dengan edema dinding usus. Kongesti
hati dan peregangan kapsulnya dapat menyebabkan nyeri kuadran kanan
atas.
 Gejala serebral seperti kebingungan, disorientasi, dan gangguan tidur
dan mood dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat,
terutama pasien usia lanjut dengan arteriosclerosis serebral dan
penurunan perfusi serebral.

Slide 11 :
Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua criteria mayor atau satu
kriteria mayor disertai dua kriteria minor.
Kriteria Framingham
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema ekstremitas
Ortopnea Batuk pada malam hari
Dystensi vena jugular Dyspnea d’effort
Rhonki paru Hepatomegaly
Kardiomegali pada foto thorax Efusi pleura
Edema paru akut Takikardi > 120x/menit
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena central >
16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan > 4.5 kg
dalam kurun waktu 5 hari
 Pada pemeriksaan paru-paru dapat terdegar adanya rales atau krepitasi
yang disebabkan oleh transudasi cairan dari ruang intravaskular ke dalam
alveoli
 Pemeriksaan jantung jika terdapat kardiomegali, titik impuls maksimal
(PMI) biasanya tergeser di bawah ICS kelima dan/atau lateral garis
midklavikula. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga (S3) terdengar
dan teraba di apeks. Bunyi jantung keempat (S4) bukan merupakan
indikator spesifik dari gagal jantung tetapi biasanya muncul pada pasien
dengan disfungsi diastolik.
 ADHF dapat dikategorikan ke dalam tahap hemodinamik tergantung pada
indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure.
Indeks jantung (CI) menunjukkan tingkat perfusi (hangat/dingin)
o CI <2,2 L/min/m2  "dingin“  hipoperfusi.  kelelahan,
hipotensi, ekstremitas dingin, penurunan fungsi ginjal, dan
perubahan status mental.
 Pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) menunjukkan status cairan
(KERING/BASAH)
o PCWP >18 mmHg  basah. Tanda dan gejala kelebihan volume
termasuk batuk, dispnea, dispnea nokturnal paroksismal,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, asites,
hepatomegali, dan splenomegali.
Slide 12 :

Slide 13 :
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan :
• Elektrokardiogram (EKG) sebagai Screening awal. EKG berfungsi untuk
melihat ritme, hipertrofi ventrikel kiri, ada/tidaknya infark (riwayat atau
sedang berlangsung). Jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya
dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<10%).
• Foto Toraks  Untuk mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi
pleura, dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang
menyebabkan atau memperberat sesak nafas.

Slide 14 :
• Ekokardiografi 
• untuk konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi
jantung
• Pengukuran fungsi ventrikel dilakukan untuk membedakan antara
HFREF dengan HFPEF.
Ekokardiografi mempuyai peran penting dalam mendiagnosis gagal
jantung dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga
kriteria, yaitu terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung, fungsi
sistolik ventrikel kiri normal atau sedikit terganggu (fraksi ejeksi > 45 -
50%), terdapat bukti disfungsi diastolic (relaksasi ventrikel kiri abnormal
/ kekakuan diastolik), dan peningkatan kadar peptide natriuretik
• Pemeriksaan Laboratorium (sesuai indikasi)  darah perifer lengkap
(hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, estimasi laju filtrasi
glomerulus, glukosa, tes fungsi hepar, dan urinalisa. Gangguan hematologi
atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala
ringan sampai sedang yang belum diberikan terapi, meskipun anemia
ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering
dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik
dan/ atau ACE-I (angiotensin converting enzyme inhibitor), ARB
(angiotensin receptor blocker), ARNI (angiotensin receptor nephrilysin
inhibitor), atau antagonis aldosterone.
• Pemeriksaan Analisa Gas Darah (Indikasi : respiratory distress berat)
AGD arterial dapat membantu dalam menilai oksigenasi (pO2), fungsi
respirasi (pCO2), dan keseimbangan asam basa (PH). Pemeriksaan AGD
harus diperiksa pada semua pasien dengan respiratory distress berat.
Asidosis menandakan perfusi jaringan yang buruk.

Slide 15 :
• Peptida Natriuretik
• Digunakan untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau
memulangkan pasien, serta mengidentifikasi pasien yang beresiko
mengalami dekompensasi.
• Kadar peptida natriuretik meningkat sebagai respon peningkatan
tekanan dinding ventrikel
• Peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang panjang,
penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung
menurunkan kadar peptida natriuretik. Kadar peptida natriuretik
yang tetap tinggi setelah terapi optimal merupakan indikasi
prognosis buruk.
• Troponin I atau T
• Dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinis
disertai dengan dugaan sindrom koroner akut.
• Peningkatan ringan kadar troponin kardiak sering terjadi pada
gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal
jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

Slide 16 :
Tatalaksana HFrEF (Heart Failure with Reduced Ejection Fraction) 
Farmakoterapi yang digunakan berfokus pada memodulasisistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS) dan sistem saraf simpatis dengan penghambat
enzim pengubah angiotensin (ACE-I) atau penghambat reseptor angiotensin-
neprilysin (ARNI), beta-blocker, dan antagonis reseptor mineralokortikoid (MRA).

Angiotensin-converting enzyme inhibitors


ACE-I adalah kelas obat pertama yang terbukti mengurangi mortalitas dan
morbiditas pada pasien dengan HFrEF. Obat ini juga terbukti memperbaiki gejala.
Obat ini direkomendasikan untuk semua pasien kecuali jika dikontraindikasikan
atau tidak dapat ditoleransi. Obat ini harus dititrasi ke dosis maksimum yang
dapat ditoleransi untukdapat bekerja optimal.

Slide 17 :
Beta-blockers
Beta-blocker telah terbukti mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien
dengan HFrEF, di samping pengobatan dengan ACE-I dan diuretik. Obat-obat ini
juga memperbaiki gejala. Terdapat konsensus bahwa ACE-I dan beta-blocker
dapat dimulai secara bersamaan segera setelah diagnosis HFrEF ditegakkan.
Tidak ada bukti yang mendukung inisiasi beta-blocker sebelum ACE-I dan
sebaliknya. Beta-blocker harus dimulai pada pasien yang stabil secara klinis
dengan dosis rendah dan secara bertahap ditingkatkan ke dosis maksimum yang
dapat ditoleransi. Pada pasien yang dirawat dengan AHF, betablocker harus
dimulai dengan hati-hati di rumah sakit, setelah pasien stabil secara
hemodinamik.

Slide 18 :
Mineralocorticoid receptor antagonists
MRA (spironolactone atau eplerenone) direkomendasikan, selain ACE-I dan beta-
blocker, pada semua pasien dengan HFrEF untuk mengurangi mortalitas dan
risiko rawat inap di rumah sakit HF. MRA juga memperbaiki gejala gagal jantung
yang ada. MRA memblokir reseptor yang mengikat aldosteron dan, dengan
tingkat afinitas yang berbeda, reseptor hormon steroid lainnya (misalnya
kortikosteroid dan androgen). Perhatian harus diberikan ketika MRA digunakan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan pada pasien dengan konsentrasi
kalium serum> 5.0mmol/L

Slide 19 :
Tatalaksana HFpEF (Heart Failure with Preserved Ejection Fraction)
HFpEF menggunakan pada EF > 50%. Sampai saat ini, tidak ada pengobatan yang
terbukti secara efektif mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan
HFpEF, meskipun perbaikan telah terlihat untuk beberapa pasien HFpEF secara
keseluruhan. Namun, tidak ada satupun dari RCT besar yang dilakukan pada
HFpEF telah mencapai titik akhir. Pada saat ini direkomendasikan penggunaan
candesartan dan spironolakton dan dapat juga digunakan sacubitril/valsartan
untuk mengurangi angka rawat inap dan lama rawat inap pasieh HF. 14,15 Meskipun
kurangnya bukti untuk terapi modifikasi penyakit spesifik pada HFpEF, karena
sebagian besar pasien HFpEF memiliki hipertensi dan/atau CAD yang mendasari,
banyak pasien diterapi dengan ACE-I/ARB, beta-blocker, atau MRA dengna hasil
yang cukup memuaskan. Dalam studi PARAGON-HF pada awal, lebih dari 86%
pasien menggunakan ACE-I/ARB, 80% menggunakan beta-blocker, dan lebih dari
24% menggunakan MRA. Penelitian PARAGON-HF mengenai sacubitril/valsartan
dan spironolakton pada pasien dengan LVEF 'kurang dari normal' yaitu kategori
HFmrEF menunjukkan penurunan rawat inap HF yang menunjukkan penurunan
kematian CV dan rawat inap HF pada pasien dengan LVEF di bawah kisaran
normal.

Slide 20 :
Pada cardiorenal syndrome (CRS) : Pompa jantung menjadi lemah (pump failure)
dan stroke volume menurun, akibatnya terjadi kelebihan cairan dalam pembuluh
darah (volume overload). Bila fungsi ginjal masih baik maka ginjal akan
membantu dengan meningkatkan diuresis dan ekskresi natrium. Tetapi pada
kondisi klinik ini telah terjadi juga gangguan fungsi ginjal sehingga mekanisme
normal tidak berjalan sebagai mana mestinya. Akibat proses inflamasi,
atherosklerosis atau mikroangiopati terjadi gangguan keseimbangan
neurohormonal dengan akibat gangguan ekskresi cairan dan elektrolit dengan
konsekuensi volume cairan tubuh bertambah. Inilah yang disebut CRS yaitu
kondisi klinik pasien dengan sesak nafas yang bertambah berat dan resisten
terhadap pengobatan diuretik
Ketika pasien mengalami kelebihan cairan karena memburuknya fungsi jantung,
tekanan vena meningkat dan ditransmisikan kembali ke arteriol eferen; ini
menghasilkan penurunan bersih pada tekanan filtrasi glomerulus dan cedera
ginjal. Faktor lain yang terlibat dalam patogenesis sindrom kardiorenal tipe 1 dan
2 termasuk peningkatan tekanan intraabdominal, aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS), aktivasi sindrom saraf simpatis, dan peningkatan
kerusakan inflamasi pada ginjal yang berhubungan dengan gagal jantung.
Cardiohepatic syndrome : Mekanisme patofisiologi utama yang dijelaskan yang
terlibat dalam disfungsi hati adalah transmisi peningkatan CVP ke sistem vena
hepatik yang menyebabkan kongesti hepatik pasif. Mekanisme lain yang terlibat
dalam cedera hati adalah penurunan curah jantung yang menyebabkan gangguan
perfusi hati yang terkait dengan nekrosis hepatoseluler akut.

Slide 21 :
• Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit progresif kronis yang
membawa peningkatan risiko kematian kardiovaskular secara signifikan
jika tidak dikontrol
• Acute heart failure merupakan penyebab utama rawat inap pada subjek
berusia> 65 tahun dan dikaitkan dengan angka kematian dan rawat inap
yang tinggi
• Mortalitas di RS  4 – 10 %
• Mortalitas pasca discharge 1 tahun  25-30%  cukup tinggi

Anda mungkin juga menyukai