Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

Trauma Pelvic

Oleh:
Febrialita Twiceandaru
22304101031

Dosen Pembimbing
dr Ida Bagus Adhi Prayoga, Sp. OT

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT BEDAH


KEPANITRAAN KLINIK MADYA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran
sehingga dalam penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan
buruk. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada
Laboratorium Ilmu Penyakit Bedah, yaitu dr Ida Bagus Adhi Prayoga, Sp. OT yang
memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan referat
ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari dalam laporan ini belum sempurna secara keseluruhan oleh
karena itu kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang
membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan
penyelesaian laporan selanjutnya.

Demikian pengantar kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.
Amin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bangkalan, 19 Maret 2024


DAFTAR ISI

BAB I .......................................................................................................................4
PENDAHULUAN ...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................5
1.3 Tujuan .............................................................................................................5
1.4 Manfaat ...........................................................................................................5
BAB II .....................................................................................................................6
2.1 Anatomi Pelvic ...............................................................................................6
2.2 GRADING DARI FRAKTUR PELVIC ......................................................10
2.3 Diagnosis ......................................................................................................13
2.4 Management .................................................................................................17
BAB III ..................................................................................................................32
PENUTUP .............................................................................................................32
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................32
3.2 Saran .............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera pelvic kompleks merupakan salah satu lesi terkait trauma yang
paling berbahaya dan mematikan. Terdapat sistem klasifikasi yang berbeda, ada
yang didasarkan pada mekanisme cedera, ada yang berdasarkan pola anatomi, dan
ada pula yang fokus pada ketidakstabilan yang memerlukan fiksasi operatif.
Namun, strategi pengobatan yang optimal harus mempertimbangkan status
hemodinamik, kerusakan anatomi fungsi cincin panggul, dan cedera yang terkait.
Penatalaksanaan pasien trauma panggul bertujuan untuk mengembalikan
homeostasis dan fisiopatologi normal terkait dengan stabilitas mekanis cincin
panggul. Oleh karena itu penatalaksanaan trauma panggul harus bersifat
multidisiplin dan pada akhirnya harus didasarkan pada fisiologi pasien dan anatomi
cedera (Coccolini et al., 2017).

Panggul adalah Struktur cincin yang terdiri dari tulang. Terdiri dari sacrum,
coccyx, dan tulang innominate: pubis, iskium, dan ilium. Tulang-tulang innominate
menyatu membentuk acetabulum. Tulang innominate menyatu di anterior pada
simfisis pubis. Ini berisi pembuluh darah, saraf, organ urogenital, dan
rektum. Panggul secara anatomis berhubungan dengan sejumlah struktur pembuluh
darah. Aorta terbagi menjadi arteri iliaka komunis kira-kira setinggi L4. Arteri
iliaka komunis kemudian terbagi lagi menjadi cabang internal dan eksternal pada
sendi sakroiliaka. Arteri gluteal superior adalah pembuluh darah yang paling sering
mengalami cedera pada trauma panggul; itu cabang dari arteri iliaka interna dan
keluar dari panggul di sciatic notch (Tullington & Blecker, 2024).

Angka kematian trauma pelvic masih tinggi, terutama pada pasien dengan
ketidakstabilan hemodinamik, karena pendarahan yang cepat, kesulitan untuk
mencapai hemostasis dan cedera yang terkait. Oleh karena itu, pendekatan
multidisiplin sangat penting dalam menangani resusitasi, mengendalikan
perdarahan, dan menangani cedera tulang terutama pada jam-jam pertama akibat
trauma (Coccolini et al., 2017).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi pelvic?
2. Bagaimana Grading dari Trauma Pelvic?
3. Bagaimana penegakan diagnosis pada Trauma Pelvic?
4. Bagaimana tatalaksana pada trauma pelvic?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Anatomi Pelvis
2. Mengetahui Grading dari Trauma Pelvic
3. Mengetahui penegakan diagnosis Trauma Pelvic
4. Mengetahui tatalaksana trauma Pelvic

1.4 Manfaat
Menambah wawasan keilmuan tentang trauma pelvis, mempermudah
pemahaman penulis dan pembaca tentang trauma pelvis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pelvic


Pelvis dan perineum merupakan daerah-daerah yang saling berhubungan
berkaitan dengan tulang-tulang pelvicum dan bagian-bagian akhir columna
vertebralis. Pelvis dibagi menjadi dua daerah (Gambar 2.1) Daerah superior
berkaitan dengan bagian atas tulang- tulang pelvicum dan bagian bawah vertebrae
lumbales, merupakan false pelvis (pelvis major) dan umumnya dianggap sebagai
bagian dari regiones abdominales. True pelvis (pelvis minor) berkaitan dengan
bagian bawah tulang-tulang pelvicum, sacrum, coccyx, dan mempunyai sebuah
pintu masuk dan sebuah pintu keluar. Cavitas pelvis yang berbentuk mangkuk
(Gambar 2.1) ditutupi oleh pelvis minor yang terdiri dari apertura pelvis
superior/pelvic inlet, dinding, dan dasar. Cavitas pelvis ini berlanjut ke superior
dengan cavitas abdominalis dan berisi serta menyangga elemen-elemen systema
urogenitale dan digestorium. Perineum (Gambar 2.1) berada di inferior dari dasar
cavitas pelvis, dan batas-batasnya membentuk apertura pelvis inferior/pelvic outlet.
Perineum berisi dan menyangga genitalia externa serta lokasi lubang keluar
systema urogenitale dan digestorium (Richard L. Drake et al., 2019).

Gambar 2.1 Pelvis dan perineum/ Regio perinealis


Tulang

Tulang-tulang pelvicum terdiri dari tulang pelvicum (coxae) kanan dan kiri,
sacrum, dan coccyx(Richard L. Drake et al., 2019).

Komponen-komponen tulang pelvicum


Setiap tulang pelvicum dibentuk oleh tiga elemen: ilium, pubis, dan ischium
(Gambar 2.2). Saat lahir, tulangtulang tersebut dihubungkan oleh tulang rawan di
daerah acetabulum; kemudian, antara usia 16 dan 18 tahun, tulang-tulang tersebut
menyatu menjadi satu tulang(Richard L. Drake et al., 2019).

Gambar 2.2 Ilium, ischium, dan pubis.

Ilium

Dari tiga komponen tulang pelvicum, posisi ilium terletak paling superior.
Ilium dipisahkan menjadi bagian atas dan bawah oleh peninggian pada permukaan
medial (Gambar 2.3).

• Ke arah posterior, peninggian tersebut tajam dan terletak tepat di superior


terhadap permukaan tulang yang bersendi dengan sacrum. Facies
sacropelvica ini mempunyai permukaan berbentuk-L yang besar untuk
bersendi dengan sacrum dan suatu daerah posterior yang kasar, dan luas
untuk perlekatan ligamenta yang kuat, yang menopang sendi sacroiliaca
(Gambar 2.4).
• Ke arah anterior, peninggian tersebut memisahkan bagian atas dan bagian
bawah ilium membulat dan disebut linea arcuata (Gambar 2.4).
Seluruh margo superior ilium menebal untuk membentuk crista yang
menonjol (crista iliaca), yang merupakan tempat perlekatan untuk otot-otot
dan fascia abdomen, punggung, dan extremitas inferior dan berakhir di
anterior sebagai SIAS dan ke arah posterior sebagai spina iliaca posterior
superior (SIPS). Tuberculum yang menonjol, tuberculum iliacum,
mengarah ke lateral dekat ujung anterior crista; ujung posterior crista
menebal untuk membentuk tuberositas iliaca. Inferior terhadap SIAS crista,
pada margo anterior ilium, terdapat suatu tonjolan membulat yang disebut
spina iliaca anterior inferior (SIAI). SIAI berfungsi sebagai titik perlekatan
untuk musculus rectus femoris kompartemen anterior regio femoralis dan
ligamentum iliofemorale yang berkaitan dengan sendi coxae. Spina iliaca
posterior inferior (SIPI) yang kurang menonjol terletak di sepanjang tepi
posterior facies sacropelvica ilium, di mana tulang tersebut membentuk
sudut ke depan untuk membentuk margo superior dari incisura ischiadica
major. Ciri yang paling menonjol dari ischium adalah terdapat suatu
tuberositas besar (tuber ischiadicum) pada aspectus posteroinferior tulang.
Tuberositas ini merupakan tempat yang penting untuk perlekatan otot-otot
extremitas inferior dan untuk menyangga tubuh ketika duduk(Richard L.
Drake et al., 2019).

Gambar 2.4 Komponen-komponen tulang pelvicum. A. Permukaan medial. B.


Permukaan lateral.
Sacrum

Sacrum, yang memiliki tampilan seperti segitiga yang terbalik, dibentuk


oleh penyatuan lima vertebrae sacrales (Gambar 2.5). Setiap permukaan lateral
tulang memiliki facies berbentuk–L yang besar untuk persendian dengan ilium
tulang pelvicum. Posterior dari facies tersebut terdapat suatu area kasar yang luas
untuk perlekatan ligamenta yang menopang sendi sacroiliaca. Permukaan superior
sacrum ditandai oleh aspectus superior corpus vertebra SI dan diapit di setiap
sisinya oleh suatu processus transversus berbentuk seperti sayap yang luas yang
disebut ala sacralis (Gambar 2.5). Tepi anterior corpus vertebra mengarah ke depan
sebagai promontorium. Permukaan anterior sacrum adalah cekung; permukaan
posteriornya cembung. Karena processus transversus vertebrae sacrales yang
berdekatan menyatu di sisi lateral terhadap posisi foramen intervertebrale dan
terletak di lateral dari percabangan nervi spinales menjadi rami posteriores dan
anteriores, rami posteriores dan anteriores nervi spinales S1 sampai S4 keluar dari
sacrum melalui foramina yang terpisah. Terdapat empat pasang foramina sacralia
anteriora pada permukaan anterior sacrum untuk rami anteriores (Gambar 2.5), dan
empat pasang foramina sacralia posteriora pada permukaan posterior untuk rami
posteriores (Gambar 2.5). Canalis sacralis merupakan lanjutan dari canalis
vertebralis yang berakhir sebagai hiatus sacralis(Richard L. Drake et al., 2019).

Gambar 2.5 Vertebra LV, sacrum, dan coccyx. A. Pandangan anterior. B.


Pandangan posterior. C. Pandangan lateral.
2.2 GRADING DARI FRAKTUR PELVIC
Berbagai klasifikasi pada fraktur pelvis telah ada dan sangat kompleks.
Kalsifikasi anatomis dari Letournel dan Judet menggambarkan area dimana tulang
pelvis biasanya patah dan berguna untuk mengkategorikan fraktur secara anatomis
(Gambar 2.6) tapi tidak memberikan gambaran mengenai mekanisme cedera (Haq
et al., 2014).

Gambar 2.7 Klasifikasi fraktur panggul Letournal dan Judet merupakan


gambaran anatomi.
a) Keterangan :
A. Fraktur sayap iliaka
B. fraktur ilium dengan perluasan ke sendi sakroiliaka (SI):
C. Fraktur transsacral
D. Fraktur sakral unilateral
E. Fraktur-dislokasi sendi sakroiliaka (SI)
F. Fraktur Acetabular
G. Fraktur Ramus Pubis
H. Fraktur ischeal
I. Pemisahan symphisis pubis.

Klasifikasi ini berguna untuk membuat daftar berbagai tipe patah tulang,
dan berbagai kombinasi dari tipe patah tulang dapat terjadi. Namun, klasifikasi ini
tidak memuat informasi mengenai mekanisme. Sehingga klasifikasi young dan
burgess lebih disukai(Tonetti, 2013).
Sebuah pemahaman tentang pola fraktur dan mekanisme cedera sangatlah
penting. Young and Burgess menggambarkan klasifikasi berdasarkan mekanisme
cedera. Sistem ini dibuat untuk memberikan traumatologis dapat memperkirakan
cedera berat lain yang menyertai pada pelvis dan abdomen (Burgess, 1990)

(Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Klasifikasi fraktur panggul Young dan Burgess. (A) Gaya
kompresi lateral. (B) Fraktur kompresi anteroposterior. (C) Gaya yang diarahkan
secara vertical.

Klasifikasi Young and Burgess

Terdapat 3 mekanisme cedera mayor menurut Young and Burgess, yaitu :

a. Cedera kompresi lateral. Tabrakan dari arah lateral dapat mengakibatkan


berbagai macam cedera, tergantung dari kekuatan tabrakan yang terjadi.
a. Tipe AI (impaksi sakral dengan fraktur ramus pubis sisi yang sama
(ipsilateral)—cedera yang stabil. Kekuatan yang diarahkan ke
posterior menyebabkan cedera sacral dan fraktur ramus pubik
horizontal secara ipsilateral.
b. Tipe AII (impaksi sakral dengan fraktur iliac wing ipsilateral atau
terbukanya SI joint posterior dan fraktur ramus pubis). Kekuatan
yang lebih mengarah ke anterior menyebabkan fraktur ramus pubis
horizontal dengan penghancuran sacral anterior dan gangguan sendi
sakroiliaka posterior (SI) atau fraktur melalui sayap iliaka. Cedera
bersifat ipsilateral.
• Tipe AIII, gaya yang diarahkan ke anterior yang berlanjut dan
menyebabkan fraktur ipsilateral tipe I dan II dengan komponen
rotasi eksternal ke sisi kontralateral; sendi SI dibuka ke belakang,
danligamen sacrotuberous dan spinosus terganggu.

b. Kompresi anteroposterior, yang dihasilkan oleh gaya dari anterior ke


posterior yang mengakibatkan terbukanya pelvis.
a. Tipe BI (diastasis simfisis <2,5 cm dengan sisi posterior yang
intak)—cedera yang stabil. Kekuatan yang diarahkan ke posterior
menyebabkan cedera sacral dan fraktur ramus pubik horizontal
secara ipsilateral. Gaya AP yang membuka panggul namun struktur
ligament posterior tetap utuh.
b. Tipe BII (Diastasis simfisis >2,5 cm dengan terbukanya SI joint tapi
tidak terdapat instabilitas vertikal). Kelanjutan dari fraktur tipe I
dengan gangguan pada ligament sakrospinosa dan kemungkinan
besar ligament sacrotuberous serta pembukaan sendi SI anterior.
Fraktur ini stabil secara rotasi.
• Tipe BIII (Disrupsi komplit dari anterior dan posterior pelvis dengan
kemungkinan adanya pergeseran vertikal). Pola ketidakstabilan
yang sepenuhnya tidak stabil/ vertical dengan gangguan total pada
semua struktur ligament.
c. Vertically unstable atau shear injury, Gaya yang diarahkan secara vertical
atau gaya yang tegak lurus terhadap struktur pendukung panggul yang
menyebabkan patah tulang vertical pada rami dan terganggunya seluruh
struktur ligament. Cedera ini setara dengan AP tipe III atau patah tulang
yang tidak stabil sepenuhnya dan tidak stabil secara rotasi. Hemipelvis yang
tidak stabil atau disebut juga dengan fraktur malgaigne(Haq et al., 2014).
Klasifikasi menurut Tile

Tabel 1. Klasifikasi fraktur pelvic menurut Tile(Alwaal et al., 2015a)


Kelas Keterangan
A1: fraktur tidak melibatkan cincin (fraktur
avulsi atau sayap iliaka)
A2: fraktur cincin yang stabil atau dengan
A: stabil
perpindahan minimal
A3: fraktur sakral transversal (fraktur sakral
zona Denis III)
B1: cedera buku terbuka (rotasi eksternal)
B2: cedera kompresi lateral (rotasi internal)
B2–1: dengan rotasi/perpindahan cincin anterior
B: tidak stabil secara rotasi,
melalui rami ipsilateral
stabil secara vertical (Partially
stable) B2–2-dengan rotasi/perpindahan cincin anterior
melalui rami kontralateral (cedera pegangan
ember)
B3: bilateral
C1: sepihak
C1–1: fraktur iliaka
C1–2: dislokasi fraktur sakroiliaka
C: tidak stabil secara rotasi dan
vertical (Unstable) C1–3: fraktur sakral
C2: bilateral dengan satu sisi tipe B dan satu sisi
tipe C
C3: bilateral dengan kedua sisi tipe C

2.3 Diagnosis
• Karena mekanisme cedera dan kekuatan yang diperlukan untuk menyebabkan
cedera, trauma panggul dan pinggul sering kali terlihat jelas. Pemeriksaan
awal tergantung mekanisme dan usia pasien. Seorang wanita lanjut usia yang
terjatuh dari berdiri mungkin memiliki satu-satunya keluhan berupa nyeri saat
menahan beban dan patah tulang. Namun, kemungkinan besar pria muda
tidak akan mengalami patah tulang jika mekanismenya sama. Mekanisme
energi tinggi berhubungan dengan patah tulang pada pasien yang lebih muda.
• Pasien dengan trauma pelvis sering kali mengalami cedera traumatis multi-
sistem. Fraktur pelvis dan hip yang terisolasi mungkin lebih sulit didiagnosis
karena kurangnya mekanisme yang kuat, seperti jatuh dari ketinggian berdiri.
• Pemeriksaan meliputi inspeksi, palpasi, mobilitas, dan penilaian
neurovaskular.
• Pemeriksaan awal mungkin menunjukkan adanya perbedaan tinggi atau rotasi
krista iliaka. Perbedaan panjang tungkai mungkin terjadi jika acetabulum
terlibat. Stabilitas pelvis harus dinilai, dengan hati-hati agar tidak menekan
krista iliaka secara berlebihan. Mekanisme ini dapat memperburuk fraktur
tidak stabil dan menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik yang lebih besar.
Sebaliknya, krista iliaka harus dikompresi secara perlahan untuk
mengevaluasi ketidakstabilan. Jika ditemukan ketidakstabilan, dianjurkan
pelvic binding. Pemeriksaan berulang untuk ketidakstabilan tidak dianjurkan.
• Patah tulang yang berhubungan dengan area vagina atau rektal harus
dievaluasi, karena open fraktur ini memiliki risiko komplikasi yang jauh lebih
tinggi.
• Pasien tanpa cedera yang melemahkan harus diambulasi.
• Diagnosis utama mencakup radiografi polos, meskipun sensitivitasnya
dilaporkan serendah 80% dalam beberapa penelitian. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa foto polos tidak diperlukan bila pemeriksaan fisik pasien
normal dan hemodinamik stabil. Tergantung pada status hemodinamik
pasien, CT mungkin merupakan hasil tertinggi. Alternatifnya, jika pasien
mempunyai ketidakstabilan hemodinamik yang signifikan, pemeriksaan foto
polos segera dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis yang signifikan yang
menyebabkan perdarahan dan menunjukkan perlunya perbaikan bedah tanpa
pencitraan diagnostik lebih lanjut.
• Rontgen pelvis diindikasikan untuk pasien dengan ketidakstabilan
hemodinamik, perubahan status mental, cedera yang mengganggu, pediatri,
dan jika CT abdomen/pelvis tidak dapat diselesaikan karena alasan lain.
Rontgen pelvis tidak diperlukan jika pasien dalam keadaan sadar, mampu
melakukan ambulasi, dan pemeriksaan normal.
• Temuan normal pada radiografi AP pelvis (Gambar 2.9): Simfisis
pubis = 0,5 cm; sendi sakroiliaka = 2 mm; offset kecil dari rami
pubis.
• CT scan adalah tes diagnostik pilihan karena peningkatan sensitivitas dan
spesifisitas serta informasi diagnostik tambahan yang diperoleh dengan
pencitraan organ abdomen dan pelvis, serta pembuluh darah.
• Bedside Ultrasonografi sangat penting dengan FAST. Perdarahan akibat
cedera pelvis biasanya terbatas pada ruang retroperitoneal dan mungkin sulit
untuk dievaluasi dengan menggunakan USG. FAST mungkin negatif dalam
pengaturan ini.
• MRI untuk fraktur hip dan pelvis yang halus diperlukan jika diduga kuat
terdapat cedera dengan pencitraan negatif dan pasien tidak mampu menahan
beban.
• Klasifikasi fraktur pelvis meliputi Tile dan Young – Burgess.
• Klasifikasi fraktur penting untuk menentukan kebutuhan penatalaksanaan
operatif.
• Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, profil
koagulasi/tromboelastografi, dan beta hCG pada wanita usia subur (Koyfman
& Long, 2019).
Gambar 2.9 (A) Ilustrasi perbedaan pola patah tulang pelvis. (B) Foto
rontgen panggul menunjukkan fraktur rami pubis dan iskia bilateral yang
menghasilkan fragmen “butterfly”. Cedera ini sering kali disertai dengan
pendarahan yang signifikan. (C) Foto rontgen pelvis menunjukkan fraktur
Malgaigne tidak stabil dengan pelebaran simfisis pubis, fraktur asetabular
kanan, fraktur rami kiri, dan gangguan sendi sakroiliaka kiri. Fraktur jenis
ini selalu dikaitkan dengan pendarahan hebat. (D) Rontgen pelvis
menunjukkan diastasis simfisis pubis yang parah. Ini sebagian tidak stabil
dan mungkin berhubungan dengan pendarahan yang signifikan. Panah
menunjukkan fraktur rami inferior bilateral. (E) CT scan menunjukkan
fraktur tulang sakral dengan perpindahan yang parah. Hal ini biasanya
berhubungan dengan perdarahan hebat dari pleksus vena presakral atau
pembuluh darah iliaka

2.4 Management
Penilaian prehospital dilakukan oleh paramedic yang dilatih untuk
mengenali cedera pelvis yang tidak stabil dari mekanisme cedera dan pemeriksaan
fisik. Deformitas anggota gerak bawah tanpa fraktur tulang panjang dan struktur
pelvis yang mobile yang dikonfirmasi dengan kompresi manual pada pelvis
memberikan pentunjuk fisik untuk sebuah cedera pelvis. Jika cedera seperti itu
timbul pada fase prehospital, dan diberikan stabilisasi seperti PASG (pneumatic
antishock garment), vacuum splint, atau pelvic sheet untuk stabilisasi pelvis yang
terbaru dapat mencegah syok hipovolemik dan dapat menyelamatkan nyawa. Alat
PASG banyak terjadi komplikasi seperti kapasitas ventilasi yang menurun,
compartment sindrom pada ekstremitas, dan hipotensi saat melepaskan alat(Hsu et
al., 2017).

Primary Survey

Penilaian pada penderita trauma dimulai dengan evaluasi gangguan yang


mengancam kehidupan yang berhubungan dengan trauma pelvis. Pendekatan secara
tim yang termasuk Bedah umum trauma, bedah orthopaedi, intensivist, radiologist
intervensi, dan bila diperlukan, bedah urologi dan atau bedah syaraf adalah anggota
tim yang penting untuk managemen optimal dari pasien trauma ini.

Pada pasien dengan fraktur pelvis harus dicurigai juga adanya trauma lain
seperti, cedera kepala berat, trauma thorax, aorta, dan cedera abdomen dan yang
paling sering, cedera vascular retroperitoneal yang disebabkan fraktur pelvis.
Mekanisme cedera dapat dipakai sebagai prediksi beratnya fraktur pelvis.

Cedera dengan energi yang lemah yang terjadi akibat jatuh dari ketinggian
rendah (1 m) dapat terjadi pada pasien tua, atau pasien dengan osteoporosis. Fraktur
pelvisnya sendiri bisa tidak stabil, tapi pada pasien ini banyak masalah cedera
lainnya, seperti traumatic brain injury (TBI) terutama bila mendapat terapi
antikoagulan atau pengobatan dengan antiplatelet.

Cedera low-energy dapat terisolasi, tetapi mekanisme high-energy biasanya


berhubungan dengan pertimbangan lain, termasuk perdarahan pada 75 % pada
pasien, cedera urogenital pada 12 % pasien dan cedera plexus lumbosacral pada 8
% pasien (Cornwall, et al, 2000). Angka kejadian ruptur aorta adalah 8 kali lebih
banyak pada fraktur pelvis high-energy daripada trauma tumpul abdomen secara
keseluruhan. Angka kematian pada grup high-energy berkisar antara 15 -25 %.

Cedera high-energy biasanya disebabkan kecelakaan sepeda motor, sepeda,


atau jatuh dari ketinggian. Pasien ini biasanya tidak sadar atau diintubasi sehingga
memerlukan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menilai stabilitas pelvis dan juga
cedera lainnya. Enampuluh sampai delapan puluh persen pasien dengan fraktur
pelvis high-energy juga terkena cedera muskuloskeletal lain (Demetriades, 2002).

AKSES SIRKULASI, EVALUASI, DAN KONTROL PERDARAHAN

Setelah airway dan breathing distabilisasi, haruslah dikejar kontrol sirkulasi


(terutama bila terjadi syok hipovolemik). Yang paling penting adalah penentuan
tempat dari perdarahan dan mengontrolnya. Pemasangan 2 buah iv line besar (no
14-16) harus dipasang di ekstremitas atas pada pasien dengan trauma pelvis atau
abdomen. Penggunaan ekstremitas bawah sebagai tempat IV line tidak
direkomendasikan pada trauma pelvis atau abdomen karena cairan yang diinfuskan
mungkin tidak akan memasuki sirkulasi sentral karena adanya kemungkinan
kerusakan pada vena pelvis atau vena cava inferior.

Selanjutnya, dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan pelvic binder


(Gambar 2.10) untuk melakukan tamponade dari perdarahan pelvis, terutama pada
trauma dengan fraktur yang open book. Walaupun ada resiko kecil secara teoritis
bahwa elemen posterior akan terbuka dengan teknik ini, namun pevic binder
dirancang untuk memberikan tekanan yang tetap pada elemen posterior sekaligus
menutup kerusakan diastase pada anterior. Harus dilakukan foto pelvis sebelum dan
sesudah pemasangan sebagai kontrol. (Gambar 2.11)
Gambar 2.10 pelvic binder. Gambar tersebut menunjukkan salah satu pelvic
binder yang tersedia secara komersial. Model ini adalah perangkat "satu ukuran
untuk semua" yang dipasang pada pasien dengan posisi terlentang dan dipusatkan
di atas trokanter mayor. Kelebihan panjang dihilangkan dengan trauma sheers,
dan pengikat pelat ujung dengan tali Velcro® serta mekanisme pengikat renda
dipasang pada ujung bebas pengikat. Sistem tali sepatu kemudian dipasang erat
untuk menutup pelvis.
Gambar 2.11 Radiografi pelvic menunjukkan efek pengikat panggul. Radiografi
pelvic prebinder (A) menunjukkan diastasis pubis. Radiografi panggul diperoleh
aplikasi pasca pengikat. (B) Perkiraan ulang simfisis pubis.

Pada keadaan dimana pelvic binder tidak tersedia, sebuah metode simpel
untuk mengikat pelvis dapat dilakukan dengan mengikat secara sirkumferensial
pelvis dengan sprei atau kain yang kuat. Kain kemudian diikat dengan kuat ke
anterior dengan ujungnya difiksasi dengan klem (Gambar 2.12).

Gambar 2.12 radiografer pelvic menunjukkan adanya pelvic binding dengan


menggunakan sheets dan klem. Radiografi pelvic prebinder (A) menunjukkan
diastasis pubis. Radiografi pelvis diperoleh aplikasi prebinder. (B) Perkiraan
ulang simfisis pubis. Pasien ini juga mendapat traksi pada ekstremitas bawah
karena gangguan sakroiliaka.
Penting untuk tidak mengikat kain dengan simpul di anterior karena dapat
memberikan tekanan yang berlebihan dan dapat menyebabkan kerusakan kulit.
Keuntungan dari kain ini adalah dapat dilakukan angiografi (dengan pembolongan
kain) dan bila diperlukan laparotomi, kain dapat diturunkan ke panggul(Hsu et al.,
2017).

Pelvic binder adalah alat yang temporer sebelum dilakukan fiksasi eksterna
dan atau angiografi iliaca interna dan atau repair definitif pelvis. Pada pasien
dengan fraktur vertikal yang tidak stabil, traksi pada femoral distal (contoh,
Steinman) pin harus dipasang untuk menurunkan hemipelvis(Hsu et al., 2017).

Sangat direkomendasikan telah dipasang iv akses dan cairan inisial telah


dimasukkan sebelum dilakukan pelepasan pelvic binder atau alat PASG, karena
hipotensi yang signifikan sering terjadi pada saat ini.

Secara bersamaan, volume yang cukup harus diberikan sesuai dengan


keadaan klinis pasien. Dapat diterapkan rumus 1 ml kehilangan darah diganti
dengan 3 ml kristaloid, atau menurut ATLS diberikan 2 L kristaloid sebagai cairan
inisial. Jika didapatkan respon yang baik, pemberian kristaloid maintenance harus
diberikan sambil menunggu darah. Pada pasien dengan respon transien atau no
response, dimasukkan lagi 2 L kristaloid dan kemudian dimasukkan darah O negatif
tanpa crossmatch (biasanya dengan PRBC) secara cepat. Keadaan ini
membutuhkan kontrol perdarahan secepatnya. Pasien ini terus membutuhkan cairan
yang banyak dan masif secara terus menerus. Pada keadaan ini harus
dipertimbangkan terjadinya suatu dilutional coagulopathy. Infus Trombosit atau
FFP harus segera disiapkan. Dengan rule of thumb, 2- 4 unit FFP dan 5-6 unit
trombosit diperlukan untuk setiap 5-10 unit PRBC yang dimasukkan. Sebagai
tambahan, cryoprecipitate dan recombinant activated faktor VII juga diperlukan
pada kondisi seperti ini(Koyfman & Long, 2019).

RESUSITASI, DISABILITAS DAN EXPOSURE

Monitoring yang tepat pada respon pasien terhadap resustasi adalah sangat
penting. Perfusi ke perifer dapat dilihat dari capillary refill, bentuk pulsasi, warna
kulit, dan temperatur tubuh. Metode monitoring yang lebih spesifik memerlukan
kateter urine untuk mencata urine output (target 0,5ml/kg/menit) dan akses arterial
untuk mengukur tekanan arteri dan pemeriksaan analisa gas darah secara berkala.
Status volume dapat diketahui dari metode monitoring ini dan dapat ditambah
dengan pemeriksaan central venous pressure (CVP). Perdarahan yang masih
berlangsung dapat dimonitor melalui pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit.
Mengenai kadar laktat, masih menjadi perdebatan apakah termasuk indikasi untuk
menentukan status resusitasi(Trikha & Gupta, 2011).

Monitoring suhu tubuh (core body temperatur) sangat penting dalam


pemberian cairan berjumlah banyak dan terus menerus. Darah dan kristaloid
biasanya lebih dingin dari suhu ruangan. Volume yang besar selama resusitasi
membuat pasien menjadi dingin dan menambahkan efek syok hipovolemik sebagai
faktor lingkungan. Menghangatkan cairan intravena dan darah diperlukan untuk
mempertahankan suhu tubuh setidaknya pada 32 C s/d 35 C. Lebih dianjurkan
untuk mencapai suhu normal 37 C. Suhu yang lebih rendah menyebabkan problem
koagulasi, fibrilasi ventrikel, angka infeksi surgical yang tinggi dan gangguan asam
basa.

Gastrik tube harus dimasukan melalui nasal kecuali ada fraktur basis
cranium. Kateterisasi urine digunakan untuk melakukan dekompresi sebelum
dilakukan diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau laparotomi dilakukan.

Sebelum dilakukan kateterisasi pada laki-laki harus diperiksa adanya


perdarahan dari meatus urethra, adanya hematom skrotum, dan pemeriksaan palpasi
prostat. Pada perempuan, dilakukan pemeriksaan vagina seperti inspeksi meatus
pada pria. Jika pada pemeriksaan diatas didapatkan hal-hal tersebut, maka
diperkirakan adanya cedera uretra, dan kateterisasi uretra harus ditangguhkan
sampai dilakukan retrograd urethrogram pada pasien stabil, atau dilakukan
katetrisasi kandung kemih suprapubic sementara pada pasien yang tidak stabil.
Telah dilaporkan bahwa pada 57% laki-laki dengan cedera uretra akibat fraktur
pelvis tidak memberikan gejala klasik. Urethrografi dilakukan setelah
hemodinamik pasien stabil (Marvin, 2000).

EVALUASI RADIOLOGIS DAN MODALITAS IMAGING LAIN

Fiksasi eksterna dapat dipasang segera, tergantung dari stabilitasnya, letak


rumah sakit, dan pengalaman institusi. Pada rumah sakit dengan fasilitas angiografi
yang dapat dipergunakan pada keadaan emergensi untuk melakukan resusitasi,
maka angiografi harus dilakukan sebelum fiksasi eksterna. Sebaliknya bila
angiografi tidak dapat dilakukan segera, fiksasi eksterna dapat dilakukan segera
sambil menunggu kedatangan ahli radiologi intervensi. Pada keadaan ini,
pemasangan fiksasi eksterna dapat dimengerti. Pada pasien dengan perdarahan dan
hemodinamik yang tidak stabil(Pasien dengan FAST atau DPL yang (-) dan thoraks
foto yang tidak menunjukkan adanya hematotoraks) angiografi pelvis harus
dilakukan segera(Trikha & Gupta, 2011).

Foto rutin pelvis tidak diperlukan pada pasien yang asimptomatis, sadar,
pasien trauma tumpul abdomen dengan pemeriksaan pelvis yang normal. Walaupun
demikian, dokter harus melakukan foto AP pelvis sedini mungkin pada pasien yang
dilakukan resusitasi dengan trauma tumpul berat yang simptomatik atau terdapat
hipestesi. Beberapa fraktur sakral dan disrupsi SI jointdapat terlihat pada gambaran
pelvis AP. Untuk melihat kelainan tersebut, perlu dilakukan proyeksi inlet dan
outlet.

Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk fraktur cincin pelvis termasuk


Pelvis AP, inlet view, dan outlet view. Pemeriksaan pelvis AP dilakukan sebagai
foto rutin pada pasien trauma. Inlet view dilakukan dengan memberikan sinar dari
40 derajat kaudal dan outlet view diambil dengan sinar 20 – 35 derajat dari arah
cephal pada laki-laki dan 30-45 derajat pada perempuan.

Pada foto pelvis PA, penilaian dari seluruh cincin anterior termasuk adanya
fraktur ramus dan atau sifisial diastasis adalah penting. Foto ini juga memberikan
informasi mengenai lokasi fraktur, pola fraktur, dan displacement secara
keseluruhan. Foto ini juga dapat dipergunakan untuk melihat adanya fraktur
acetabular, fraktur panggul, atau fraktur avulsi dari processus transversus dari
vertebra L5, sebuah tanda dari fraktur pelvis yang tidak stabil.

Inlet view juga dapat dipegunakan untuk menilai hubungan


anterior.posterior antara sacrum dengan ilium. Tepi pelvis jiga dilihat termasuk
garis iliopectineal dan ramus pubis. Cedera pada posterior (fraktur sakral dan
disrupsi SI joint) juga dapat dilihat dengan foto ini. Adanya rotasi juga dapat
diidentifikasi bila simfisis tidak segaris dengan processus spinosus.

Foto outlet view dapat digunakan untuk menilai pergeseran hemipelvis, dan
dapat mengidentifikasi migrasi superior dan atau rotasi dari hemipelvis. LLD (leg
length discrepancy) dapat juga dinilai. Foramina sacralis dapat terlihat baik dengan
foto ini

Fraktur acetabular yang melibatkan socket dari panggul bukanlah fraktur


pelvis. Fraktur acetabulum biasanya terjadi pada pasien muda sebagai hasil dari
cedera berdaya tinggi. Atau bisa timbul pada pasien berusia tua dari sebuah cedera
berdaya rendah seperti terjatuh. Fraktur ini dapat dihubungkan dengan cedera cincin
pelvis, dislokasi panggul, atau fraktur femoral head.
Pemeriksaan radiologis untuk fraktur acetabulum adalah dengan
pemeriksaan pelvis AP dan oblique 45 derajat, yang dikenal dengan Judet view
(gambar 2.13) (Iskandar et al., 2020).

Gambar 2.13 normal judet views of the pelvis

Ada 6 landmark yang dapat dilihat pada foto AP. Termasuk didalamnya
garis iliopectineal (merepresentasikan columna anterior), garis ilioischial
(merepresntasikan posterior), tepi anterior, tepi posterior, teardrop, dan atap.
Pengertian yang mendalam mengenai anatomi acetabulum diperlukan untuk
memberikan penatalaksanaan yang tepat untuk fraktur ini.

CT (Computed tomography) scan harus dilakukan. Slices 3mm melalui


acetabulum memberikan gambaran yang adekuat untuk kebanyakan pola fraktur.
CT scan digunakan untuk menentukan klasifikasi atau untuk mengkonfirmasi
fraktur, menilai femoral head yang mungkin terkena akibat cedera dan melihat
adanya fragment intraartikuler. CT scan 3 dimensi tidak diperlukan untuk
menentukan klasifikasi dari fraktur.

CT scan adalah imaging rutin untuk fraktur pelvis. Protokol standar


adalah dengan potongan 3 mm atau kurang pada pelvis termasuk acetabulum. CT
lebih akurat daripada foto polos untuk adanya fraktur, lokasi fraktur, dan pola
fraktur. Setelah ditemukan adanya fraktur pada foto polos, pasien harus diperiksa
dengan CT scan pelvis untuk mengklasifikasi fraktur dan merencanakan fiskasi. CT
scan dapat juga melihat adanya cedera pelvis dan struktur abdomen (contoh
kandung kencing) sebagai tambahan dari cedera acetabulum dan head/ neck
femoral. Tanda radiologis dari ketidakstabilan pelvis adalah displacement
kompleks posterior SI > 5 mm, adanya gap fraktur posterior ( kebalikan dari
impaksi), dan fraktur avulsi dari spina iliaca posterior, sacrum, tuberositas
ishiadica, atau processus transversus dari vertebra L5. Penelitian terakhir
menyatakan bahwa CT scan dapat mendiagnosa semua cedera yang terlihat pada
foto AP, tetapi CT scan sering dilakukan setelah jam pertama dari evaluasi dan
pengobatan.

Sumber perdarahan yang sering adalah :

1. Sumber dari eksternal ( contoh dari laserasi kulit kepala)


2. Intra torasic ( contoh hematotoraks)
3. Intraabdominal ( diketahui dari pemeriksaan FAST)
4. Dari ekstremitas besar ( contoh fraktur femur)
5. Perdarahan retroperitoneal, seperti yang terjadi pada fraktur pelvis.
Setelah kemungkinan 4 penyebab pertama dapat disingkirkan, harus dicurigai
perdarahan berasal dari retroperitoneum (yang sering berhubungan dengan fraktur
pelvis)

Dari fraktur pelvis sendiri dapat diperkirakan sumbernya dari :

1. Permukaan tulang yang patah


2. Plexus vena pelvis
3. Cedera arteri pelvis
Penyebab tersering dari perdarahan pelvis yang terus menerus adalah dari
kerusakan pada plexus venosus pelvis posgerior. Perdarahan dari arteri besar seperti
a. iliaca komunis, eksterna dan interna adalah sumberpotensial lain yang
menyebabkan perdarahan. Cedera pada pembuluh besar biasanya perdarahannya
bersifat masif dan hilangnya pulsasi ke distal. Tingkat keberatan dari perdarahan
menentukan cara penanganan yang tepat. Kerusakan a glutealis superior dapat
terjadi bila fraktur mengenai greater sciatic notch(Alwaal et al., 2015b).

STABILISASI PELVIS

Sebagai tambahan selain pelvis binder atau teknik pembebatan pelvis yang
telah dibahas sebelumnya, masih ada teknik yang telah dilakukan sebelumnya untuk
stabilisasi disrupsi pelvis. Yang paling tua adalah penggunaan PASG. Baju yang
dapat menggembung ini diletakkan pada ekstremitas bawah dan sekitar pelvis dan
abdomen, dan digembungkan sampai tekanan darah stabil. Baju ini bekerja dengan
cara meningkatkan resistensi darah perifer. Pada keadaan dimana terjadi fraktur
pelvis, komponen yang terletak di abdomen bekerja sebagai pneumatic splint dan
menurunkan pergerakan dari fraktur pelvis. Hal ini mencegah terjadinya disrupsi
yang lebih berat dan merusak pembekuan darah yang telah terjadi.

Pada saat ini, PASG hanya direkomendasikan untuk stabilisasi cepat


perdarahan pelvis yang masif sebelum penderita dibawa ke rumah sakit untuk
perawatan definitif. Penggunaan skeletal traksi yang dipasang melalui tungkai yang
terkena cedera cukup efektif untuk mengontrol perdarahan vena. Sebuah pin traksi
Steinman dipasang di regio supracondyler femur atau tuberculum tibialis, dan traksi
dengan beban 25-35 lb diberikan. Teknik ini menarik hemipelvis yang displaced ke
posisi yang lebih anatomis yang sekaligus membantu managemen nyerinya dengan
stabilisasi. Hal ini juga mengontrol perdarahan dengan mengefektifkan tamponade.

Rotasi internal dari ekstremitas bawahmenutup diastase anterior pelvis, bila


struktur ligamentum posterior masih terdapat kontinuitas. Posisi ini dapat
dipertahankan dengan mengikat kedua tungkai terotasi interna pada lutut dan ankle.
Akhirnya, setiap alat yang dapat mengikat seluruh bagian pelvis seperti pelvic
binder dapat mentamponade perdarahan. Tetapi, intervensi ini harus dilakukan
sesegera mungkin ( dalam 20-30 menit) untuk mempertahankan volume darah
sistemik. Pasien dengan hemodinamik stabil tidak memerlukan stabilisasi
sementara kecuali bila pergerakan dari fraktur pelvis dapat mengakibatkan
perdarahan berulang.

Waktu dari pemakaian stabilisasi pelvis segera ini harus dilakukan setelah
konsultasi dengan dokter bedah trauma dan dokter yang bertanggung jawab dengan
resusitasinya Sebelum memasang fiksator, foto Pelvis AP harus dibuat dan dinilai.
Foto ini dapat menunjukkan beberapa tanda cedera yang potensial untuk terjadi
perdarahan. Cedera kompresi lateral biasanya mempunyai fraktur horisontal
/buckle-type pada rami dengan tanda cedera crushing anterior sakral jika
diperhatikan garis arcuata antara sakral promontorium dan garis iliopectineal.
(Gambar 2.14)(Tonetti, 2013).

Gambar 2.14 Lateral Compression Injury

Sebuah garis vertikal yang ditarik dari garis tengah sakrum juga dapat
menunjukkan pergeseran yang signifikan dari pelvis yang bisa terjadi oada cedera
kompresi lateral tipe 3.

Sebuah cedera pada quadrilateral plate atau fraktur acetabular transversal


juga mengindikasikan adanya cedera lateral. Cedera kompresi lateral tidak dapat
diterapi dengan fiskasi eksterna. Cedera AP biasanya dikenali dari adanya fraktur
vertikal melalui rami yang cenderung untuk terpisah tapi tidak tergeser secara
vertikal. Fraktur sepanjang iliac wing atau pada area acetabular posterior juga
menandakan adanya cedera kompresi AP. Pergeseran posterior dari hemipelvis
dapat diduga dengan penggunaan garis arkuata sakral kedua. Pergeseran vertikal
dapat dikenali dari pergeseran lebih dari 1 cm dari SI joint posterior, dengan gap
yang terjadi pada sakrum, dengan kesan bahwa pelvis melebar, atau dengan suatu
fraktur avulsi dari sakrum. Ahli trauma harus melihat bahwa fraktur kompresi
lateral biasanya berhubungan dengan cedera intraabdominal berat dan cedera
kepala, seperti pada cedera robekan vertikal. Tetapi, cedera kompresi AP yang tidak
stabil dan cedera komplit tidak stabil lainnya mempunyai resiko besar terjadinya
perdarahan retroperitoneal daripada perdarahan intraabdomen (Panetta, 1985).
Fraktur tidak stabil AP dan vertical sheer, sangat baik bila dilakukan fiksasi
eksterna bila harus dilakukan stabilisasi. Pin traksi yang terpasang di femur distal
pada pelvis yang satu sisi dengan instabilitas vertikal dapat dilakukan bersama
dengan fiksasi eksterna. Kontraindikasi dari fiksasi eksterna adalah fraktur iliac
wing dan instabilitas posterior yang terlihat jelas (adanya gap fraktur).
Keputusan dapat dipandu dengan respon pasien terhadap resusitasi. Pada
kasus dengan test negatif untuk perdarahan intraabdominal pada pasien dengan
syok hipovolemik berlanjut dan disrupsi pelvis mayor, angiografi harus dilakukan
dan dipasang fiksasi eksterna. Masih kontroversial apakah pasien dengan
hemodinamik tidak stabil harus dilakukan stabilisasi pelvis dengan fiksasi eksterna
sebelum angiografi. Penelitian tentang keuntungan dilakukan fiksasi eksterna
sebelum dilakukan angiografi menunjukkan hanya 10 % pasien dengan fraktur
pelvis mengalami perdarahan arteri setelah dilakukan embolisasi (Cook, 2002), lalu
mayoritas pasien lebih baik dilakukan stabilisasi sebagai terapi awal (Starr, 2002).
Fiksasi eksterna dapat dilakukan dengan cepat dan aman, walaupun di ruang
emergensi. Jika memungkinkan, fiksator dapat dilakukan di ruang angiografi
sebelum dilakukan angiogram, dengan menggunakan fasilitas imaging yang ada.
Pada beberapa keadaan, waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan pemeriksaan
angiografi lebih lama daripada pemasangan fiksasi eksterna. Pada keadaan
tersebut, fiksasi dapat dilakukan sambil menunggu. Pada beberapa center terdapat
angiografi yang siap pakai. Pada center tersebut telah dilaporkan hasil yang lebih
baik bila dilakukan angiografi sebelum fiksasi eksterna (Velmahos, 2002). Dengan
pemeriksaan angiografi kita akan mengetahui tempat perdarahan dan dapat
menentukan apakah terapi embolisasi perlu dilakukan.

Jika hasil FAST atau DPL positif dan pasien berespon sementara dengan
resusitasi, laparotomi harus dilakukan untuk menilai cedera abdomen dengan
terpasang pelvic binder, tetapi diposisikan pada level panggul; atau, dilakukan
pemasangan fiksasi eksterna selama persiapan operasi abdomen (Boulanger, 2000).
Setelah terapi perdarahan abdomen, perdarahan yang masih berlangsung harus
dilakukan packing retroperitoneal pada pelvis dan dilakukan fiksasi eksterna.
Packing pelvis tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan imobilisasi pelvis. Jika
FAST atau DPL positif namun pasien dengan hemodinamik stabil, stabilisasi harus
dilakukan sebelum laparotomi. Laparotomi dapat dilakukan dan perdarahan
intraabdomen dapat dikontrol. Jika perdarahan berlanjut, dilutional coagulopathy
harus disingkirkan atau diterapi, dan angiografi kemudian dilakukan.

Pasien yang tidak berespon terhadap resusitasi dan pada pemeriksaan tidak
terdapat perdarahan intraabdomen, maka dicurigai perdarahan dari pembuluh darah
berkaliber besar. Harus dilakukan angiografi untuk mengetahui sumber dan apakah
embolisasi dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan, tergantung kaliber
dari pembuluh darah yang terkena. Jika memungkinkan, stabilisasi pelvis
dilakukan sebelum angiografi.

Dengan pemeriksaan perdarahan intraabdomen yang positif dan tidak


berespon pada resusitasi, maka harus dilakukan laparotomi eksplorasi dan
stabilisasi pelvis. Jika pada laparotomi didapatkan hematom retroperitoneal yang
ekspanding (meluas)maka harus dilakukan packing pada area presacral dan sisi
posterior simfisis pubis. Agar efektif, harus dilakukan reduksi yang dapat dilakukan
dengan traksi dan manipulasi pelvis dengan C-Clamp atau fiksator yang dipandu
dengan palpasi jari atau visualisasi dengan pendekatan transperitoneal. Jika pasien
masih mengalami hipotensi setelah dilakukan terapi ini, angiografi harus dilakukan
secepatnya. Semua pembuluh dengan bekuan darah harus diterapi dengan
embolisasi untuk mencegah perdarahan akibat bekuan diabsorbsi atau terlepas.
Pada fraktur pelvis terbuka yang berdarah melalui luka terbuka, packing pada
daerah tersebut harus dilakukan untuk mengontrol perdarahan dengan bersamaan
dilakukan stabilisasi dengan pemakaian alat satabilisasi eksternal.

Terapi Definitif setelah Kontrol Perdarahan

Setelah pasien distabilisasi, penilaian selanjutnya pada struktir intraperitoneal


lain harus dilakukan. Jika ada fraktur yang tidak stabil, uretrografi harus dilakukan
pada pasien laki-laki. Teknik ini dilakukan dengan memasang kateter kaliber kecil
ke meatus uretra, balon dikembangkan, dan dilakukan penyuntikan 25 – 35 ml dari
bahan radioopak untuk melihat gambaran uretra. Jika tidak terdapat kebocoran
kateter berkaliber besar dimasukkan. Lebih baik foto pelvis dilakukan dengan
oblique agar uretra terisi seluruhnya. Tetapi, pada banyak situasi, hal ini sulit
dilakukan dan cukup dilakukan foto AP standar. Setelah dilakukan uretrografi,
cistogram harus dilakukan dengan mengisi kandung kemih dengan cairan kontras
sebanyak 400ml dan dilakukan pemotretan, atau bila tersedia dilakukan CT
cystogram. Setelah dilakukan evakuasi cairan, foto postvoiding dilakukan untuk
menentukan apakah ada ruptur kandung kemih ekstraperitoneal(Ramesh et al.,
2019).
Jika pada pemeriksaan ini tidak diketahui sebab hematuri, sebuah pielogram
intravenous harus dilakukan, atau lebih baik bila dilakukan CT abdomen dan pelvis
dengan kontras. Pada pasien perempuan, uretrografi tidak banyak membantu dan
biasanya tidak dilakukan. Dengan pemeriksaan fisik yang teliti, termasuk
pemeriksaan vagina, dilakukan sebelum pemasangan kateter, walaupun demikian
cedera vagina lolos dari diagnosa sebanyak 50 % kasus (Horstman, 1991; Deck,
2000; Doner, 2000).

Pemeriksaan neurologic yang teliti harus dilakukan pada cedera plexus


lumbosacral. Pengambilan keputusan terapi danaspek medikolegal mengharuskan
pemeriksaan ini (Cornwall,2000).

Fraktur terbuka pelvis dihubungkan dengan 5 % mortalitas. Kematian dini


biasanya diakibatkan perdarahan yang tidak terkontrol, dan kematian lanjut terjadi
akibat sepsis dan komplikasi lainnya. Semua luka harus dievaluasi dengan baik.
Luka yang terjadi pada aspek anterior pelvis atau pada daerah flank biasanya relatif
bersih dan dapat diterapi seperti fraktur terbuka lain. Tetapi luka di daerah bokong
dan inguinal dan luka lain pada daerah perianal membutuhkan penanganan khusus
(Fig 11), karena biasanya terkontaminasi dengan isi rektum. Fraktur pelvis mungkin
melibatkan rektum, perineal atau bokong yang membutuhkan irigasi dan
debridemen sebelum dilakukan fiksasi eksterna. Secara umum, colostomy diversi
harus dilakukan pada pasien dengan luka terbuka yang ekstensif di daerah perineal
atau luka terbuka di posterior pelvis (Rout, 2002). Fraktur terbuka pelvis yang tidak
melibatkan area ini dan relatif bersih, cukup dilakukan debridemen dan diteruskan
dengan prosedur fiksasi yang dibutuhkan (Biffl, 2001).

Foto pelvis AP, inlet dan outlet mengidentifikasi cedera pada tulang
penting. Pelvis AP akan mengidentifikasi kebanyakan fraktur pelvis dan dislokasi,
tapi sering tidak memperlihatkan derajat pergeseran tulang. Pada foto ini simfisis
pubis secara normal mempunyai lebar tidak lebih dari 5 mm dan perbedaan kecil 1
atau 2 mm dari ramus pubis kiri dan kanan adalah normal. Adanya overlapping
pada simfisis pubis adalah tidak normal dan adalah hasil dari cedera crushing yang
berat. Normalnya lebar SI joint kira-kira 2 – 4 mm.

Hanya pada foto AP, dokter dapat melihat derajat rotasi pelvis yang
diakibatkan teknik dan posisi fiksasi dengan adanya asimetris dan ukuran foramen
obturatorium kanan dan kiri dan iliac wings. Diastasis dari SI joint juga dapat
menyebabkan asimetrisitas dari kedua foramen obrutatorium dan iliac wing. Bila
terdapat displacement menjadi eksternal rotasi, iliac wing sisi yang terkena terlihat
lebih lebar, dan spina ilaca anterior menjadi lebih menonjol. Fraktur avulsi dari
processus transversus L5 dengan ligamen iliolumbaris sering disertai dengan
disrupsi SI joint atau fraktur vertikal sakral yang adalah petunjuk penting adanya
cedera posterior.

Pada masa yang akan datang fiksasi pada fraktur pelvis akan terus
berkembang. Dengan teknik minimal invasif, menurunkan komplikasi
dibandingkan dengan teknik terbuka seperti wound dehiscense (luka yang tidak
menyembuh), kehilangan darah dan menempatkan pasien pada posisi pembedahan
(Bellabarba, 2006). Seperti contohnya, pengobatan cedera cincin pelvis tipe B
kompresi lateral dengan fiksasi eksterna dan distraksi anterior sangat efektif dan
lebih simpel dan metode yang minimal invasif. Waktu pembedahan dan perdarahan
akan lebih minimal.

Pembedahan dengan panduan CT telah dilaporkan sebagai tambahan pada


pengobatan fraktur pelvis (Blake-Toker, 2001). Teknik percutaneus telah banyak
berkembang pada pengobatan cedera cincin pelvis tanpa komplikasi yang potensial.
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah cedera neurovascular (Koyfman &
Long, 2019).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Managemen fraktur pelvis yang makin maju telah memperbaiki hasil
pengobatan. Pada awal tahun 1980, pengenalan CT scan dan teknik fiksasi eksterna.
Setelah lebih dari 25 tahun, modalitas semakin rumit sehingga pengambilan
keputusan fiksasi awal, mobilisasi awal, dan profilaksis tromboemboli tekah
dilakukan sebisa mungkin pada pasien. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama tim
yang baik untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk pasien
trauma yang berat seperti pada fraktur pelvis.

3.2 Saran
Kasus trauma pelvic dibutuhkan penanganan yang tepat untuk menghindari
prognosa yang lebih buruk dari trauma pelvic. Sehingga diperlukan pemahaman
mengenai anatomi dan fisiologi yang baik untuk dapat mengerti tentang
pengelolaan dan managemen fraktur pelvis, terutama yang mengancam kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA

Alwaal, A., Zaid, U. B., Blaschko, S. D., Harris, C. R., Gaither, T. W., McAninch, J. W., &
Breyer, B. N. (2015a). The incidence, causes, mechanism, risk factors, classification,
and diagnosis of pelvic fracture urethral injury. In Arab Journal of Urology (Vol. 13,
Issue 1, pp. 2–6). Arab Association of Urology.
https://doi.org/10.1016/j.aju.2014.08.006

Alwaal, A., Zaid, U. B., Blaschko, S. D., Harris, C. R., Gaither, T. W., McAninch, J. W., &
Breyer, B. N. (2015b). The incidence, causes, mechanism, risk factors, classification,
and diagnosis of pelvic fracture urethral injury. In Arab Journal of Urology (Vol. 13,
Issue 1, pp. 2–6). Arab Association of Urology.
https://doi.org/10.1016/j.aju.2014.08.006

Coccolini, F., Stahel, P. F., Montori, G., Biffl, W., Horer, T. M., Catena, F., Kluger, Y.,
Moore, E. E., Peitzman, A. B., Ivatury, R., Coimbra, R., Fraga, G. P., Pereira, B.,
Rizoli, S., Kirkpatrick, A., Leppaniemi, A., Manfredi, R., Magnone, S., Chiara, O., …
Ansaloni, L. (2017). Pelvic trauma: WSES classification and guidelines. In World
Journal of Emergency Surgery (Vol. 12, Issue 1). BioMed Central Ltd.
https://doi.org/10.1186/s13017-017-0117-6

Haq, R., Dhammi, I., & Srivastava, A. (2014). Classification of pelvic fractures and its
clinical relevance. Journal of Orthopedics, Traumatology and Rehabilitation, 7(1), 8.
https://doi.org/10.4103/0975-7341.133997

Hsu, S. Der, Chen, C. J., Chou, Y. C., Wang, S. H., & Chan, D. C. (2017). Effect of early
pelvic binder use in the emergency management of suspected pelvic trauma: A
retrospective cohort study. International Journal of Environmental Research and
Public Health, 14(10). https://doi.org/10.3390/ijerph14101217

Iskandar, Arr., Febriani Radiologi, N., & Kesehatan Muhammadiyah Makassar, P. (2020).
Teknik Pemeriksaan Pelvis Judet View Pada Kasus Trauma Pelvis.
http://jurnal.poltekkesmu.online/lontarariset

Jessica E. Tullington, & Nathan Blecker. (2024). Pelvic Trauma.

Koyfman, A., & Long, B. (2019). The emergency medicine trauma handbook. In The
Emergency Medicine Trauma Handbook. Cambridge University Press.
https://doi.org/10.1017/9781108647397

Ramesh, G. H., Uma, J. C., & Farhath, S. (2019). Fluid resuscitation in trauma: What are
the best strategies and fluids? In International Journal of Emergency Medicine (Vol.
12, Issue 1). BioMed Central Ltd. https://doi.org/10.1186/s12245-019-0253-8

Richard L. Drake, A. Wayne Volg, & Adam W. M. Mitchell. (2019). Dasar- Dasar Anatomi.

Tonetti, J. (2013). Management of recent unstable fractures of the pelvic ring. An update
Conference supported by the Club Bassin Cotyle. (Pelvis-Acetabulum Club). In
Orthopaedics and Traumatology: Surgery and Research (Vol. 99, Issue 1, pp. S77–
S86). Elsevier Masson s.r.l. https://doi.org/10.1016/j.otsr.2012.11.013
Trikha, V., & Gupta, H. (2011). Current management of pelvic fractures. In Journal of
Clinical Orthopaedics and Trauma (Vol. 2, Issue 1, pp. 12–18). Elsevier B.V.
https://doi.org/10.1016/S0976-5662(11)60031-3

Anda mungkin juga menyukai