Trauma Pelvic
Oleh:
Febrialita Twiceandaru
22304101031
Dosen Pembimbing
dr Ida Bagus Adhi Prayoga, Sp. OT
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran
sehingga dalam penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan
buruk. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada
Laboratorium Ilmu Penyakit Bedah, yaitu dr Ida Bagus Adhi Prayoga, Sp. OT yang
memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan referat
ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari dalam laporan ini belum sempurna secara keseluruhan oleh
karena itu kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang
membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan
penyelesaian laporan selanjutnya.
Demikian pengantar kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.
Amin.
BAB I .......................................................................................................................4
PENDAHULUAN ...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................5
1.3 Tujuan .............................................................................................................5
1.4 Manfaat ...........................................................................................................5
BAB II .....................................................................................................................6
2.1 Anatomi Pelvic ...............................................................................................6
2.2 GRADING DARI FRAKTUR PELVIC ......................................................10
2.3 Diagnosis ......................................................................................................13
2.4 Management .................................................................................................17
BAB III ..................................................................................................................32
PENUTUP .............................................................................................................32
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................32
3.2 Saran .............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33
BAB I
PENDAHULUAN
Panggul adalah Struktur cincin yang terdiri dari tulang. Terdiri dari sacrum,
coccyx, dan tulang innominate: pubis, iskium, dan ilium. Tulang-tulang innominate
menyatu membentuk acetabulum. Tulang innominate menyatu di anterior pada
simfisis pubis. Ini berisi pembuluh darah, saraf, organ urogenital, dan
rektum. Panggul secara anatomis berhubungan dengan sejumlah struktur pembuluh
darah. Aorta terbagi menjadi arteri iliaka komunis kira-kira setinggi L4. Arteri
iliaka komunis kemudian terbagi lagi menjadi cabang internal dan eksternal pada
sendi sakroiliaka. Arteri gluteal superior adalah pembuluh darah yang paling sering
mengalami cedera pada trauma panggul; itu cabang dari arteri iliaka interna dan
keluar dari panggul di sciatic notch (Tullington & Blecker, 2024).
Angka kematian trauma pelvic masih tinggi, terutama pada pasien dengan
ketidakstabilan hemodinamik, karena pendarahan yang cepat, kesulitan untuk
mencapai hemostasis dan cedera yang terkait. Oleh karena itu, pendekatan
multidisiplin sangat penting dalam menangani resusitasi, mengendalikan
perdarahan, dan menangani cedera tulang terutama pada jam-jam pertama akibat
trauma (Coccolini et al., 2017).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi pelvic?
2. Bagaimana Grading dari Trauma Pelvic?
3. Bagaimana penegakan diagnosis pada Trauma Pelvic?
4. Bagaimana tatalaksana pada trauma pelvic?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Anatomi Pelvis
2. Mengetahui Grading dari Trauma Pelvic
3. Mengetahui penegakan diagnosis Trauma Pelvic
4. Mengetahui tatalaksana trauma Pelvic
1.4 Manfaat
Menambah wawasan keilmuan tentang trauma pelvis, mempermudah
pemahaman penulis dan pembaca tentang trauma pelvis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tulang-tulang pelvicum terdiri dari tulang pelvicum (coxae) kanan dan kiri,
sacrum, dan coccyx(Richard L. Drake et al., 2019).
Ilium
Dari tiga komponen tulang pelvicum, posisi ilium terletak paling superior.
Ilium dipisahkan menjadi bagian atas dan bawah oleh peninggian pada permukaan
medial (Gambar 2.3).
Klasifikasi ini berguna untuk membuat daftar berbagai tipe patah tulang,
dan berbagai kombinasi dari tipe patah tulang dapat terjadi. Namun, klasifikasi ini
tidak memuat informasi mengenai mekanisme. Sehingga klasifikasi young dan
burgess lebih disukai(Tonetti, 2013).
Sebuah pemahaman tentang pola fraktur dan mekanisme cedera sangatlah
penting. Young and Burgess menggambarkan klasifikasi berdasarkan mekanisme
cedera. Sistem ini dibuat untuk memberikan traumatologis dapat memperkirakan
cedera berat lain yang menyertai pada pelvis dan abdomen (Burgess, 1990)
(Gambar 2.8).
Gambar 2.8 Klasifikasi fraktur panggul Young dan Burgess. (A) Gaya
kompresi lateral. (B) Fraktur kompresi anteroposterior. (C) Gaya yang diarahkan
secara vertical.
2.3 Diagnosis
• Karena mekanisme cedera dan kekuatan yang diperlukan untuk menyebabkan
cedera, trauma panggul dan pinggul sering kali terlihat jelas. Pemeriksaan
awal tergantung mekanisme dan usia pasien. Seorang wanita lanjut usia yang
terjatuh dari berdiri mungkin memiliki satu-satunya keluhan berupa nyeri saat
menahan beban dan patah tulang. Namun, kemungkinan besar pria muda
tidak akan mengalami patah tulang jika mekanismenya sama. Mekanisme
energi tinggi berhubungan dengan patah tulang pada pasien yang lebih muda.
• Pasien dengan trauma pelvis sering kali mengalami cedera traumatis multi-
sistem. Fraktur pelvis dan hip yang terisolasi mungkin lebih sulit didiagnosis
karena kurangnya mekanisme yang kuat, seperti jatuh dari ketinggian berdiri.
• Pemeriksaan meliputi inspeksi, palpasi, mobilitas, dan penilaian
neurovaskular.
• Pemeriksaan awal mungkin menunjukkan adanya perbedaan tinggi atau rotasi
krista iliaka. Perbedaan panjang tungkai mungkin terjadi jika acetabulum
terlibat. Stabilitas pelvis harus dinilai, dengan hati-hati agar tidak menekan
krista iliaka secara berlebihan. Mekanisme ini dapat memperburuk fraktur
tidak stabil dan menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik yang lebih besar.
Sebaliknya, krista iliaka harus dikompresi secara perlahan untuk
mengevaluasi ketidakstabilan. Jika ditemukan ketidakstabilan, dianjurkan
pelvic binding. Pemeriksaan berulang untuk ketidakstabilan tidak dianjurkan.
• Patah tulang yang berhubungan dengan area vagina atau rektal harus
dievaluasi, karena open fraktur ini memiliki risiko komplikasi yang jauh lebih
tinggi.
• Pasien tanpa cedera yang melemahkan harus diambulasi.
• Diagnosis utama mencakup radiografi polos, meskipun sensitivitasnya
dilaporkan serendah 80% dalam beberapa penelitian. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa foto polos tidak diperlukan bila pemeriksaan fisik pasien
normal dan hemodinamik stabil. Tergantung pada status hemodinamik
pasien, CT mungkin merupakan hasil tertinggi. Alternatifnya, jika pasien
mempunyai ketidakstabilan hemodinamik yang signifikan, pemeriksaan foto
polos segera dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis yang signifikan yang
menyebabkan perdarahan dan menunjukkan perlunya perbaikan bedah tanpa
pencitraan diagnostik lebih lanjut.
• Rontgen pelvis diindikasikan untuk pasien dengan ketidakstabilan
hemodinamik, perubahan status mental, cedera yang mengganggu, pediatri,
dan jika CT abdomen/pelvis tidak dapat diselesaikan karena alasan lain.
Rontgen pelvis tidak diperlukan jika pasien dalam keadaan sadar, mampu
melakukan ambulasi, dan pemeriksaan normal.
• Temuan normal pada radiografi AP pelvis (Gambar 2.9): Simfisis
pubis = 0,5 cm; sendi sakroiliaka = 2 mm; offset kecil dari rami
pubis.
• CT scan adalah tes diagnostik pilihan karena peningkatan sensitivitas dan
spesifisitas serta informasi diagnostik tambahan yang diperoleh dengan
pencitraan organ abdomen dan pelvis, serta pembuluh darah.
• Bedside Ultrasonografi sangat penting dengan FAST. Perdarahan akibat
cedera pelvis biasanya terbatas pada ruang retroperitoneal dan mungkin sulit
untuk dievaluasi dengan menggunakan USG. FAST mungkin negatif dalam
pengaturan ini.
• MRI untuk fraktur hip dan pelvis yang halus diperlukan jika diduga kuat
terdapat cedera dengan pencitraan negatif dan pasien tidak mampu menahan
beban.
• Klasifikasi fraktur pelvis meliputi Tile dan Young – Burgess.
• Klasifikasi fraktur penting untuk menentukan kebutuhan penatalaksanaan
operatif.
• Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, profil
koagulasi/tromboelastografi, dan beta hCG pada wanita usia subur (Koyfman
& Long, 2019).
Gambar 2.9 (A) Ilustrasi perbedaan pola patah tulang pelvis. (B) Foto
rontgen panggul menunjukkan fraktur rami pubis dan iskia bilateral yang
menghasilkan fragmen “butterfly”. Cedera ini sering kali disertai dengan
pendarahan yang signifikan. (C) Foto rontgen pelvis menunjukkan fraktur
Malgaigne tidak stabil dengan pelebaran simfisis pubis, fraktur asetabular
kanan, fraktur rami kiri, dan gangguan sendi sakroiliaka kiri. Fraktur jenis
ini selalu dikaitkan dengan pendarahan hebat. (D) Rontgen pelvis
menunjukkan diastasis simfisis pubis yang parah. Ini sebagian tidak stabil
dan mungkin berhubungan dengan pendarahan yang signifikan. Panah
menunjukkan fraktur rami inferior bilateral. (E) CT scan menunjukkan
fraktur tulang sakral dengan perpindahan yang parah. Hal ini biasanya
berhubungan dengan perdarahan hebat dari pleksus vena presakral atau
pembuluh darah iliaka
2.4 Management
Penilaian prehospital dilakukan oleh paramedic yang dilatih untuk
mengenali cedera pelvis yang tidak stabil dari mekanisme cedera dan pemeriksaan
fisik. Deformitas anggota gerak bawah tanpa fraktur tulang panjang dan struktur
pelvis yang mobile yang dikonfirmasi dengan kompresi manual pada pelvis
memberikan pentunjuk fisik untuk sebuah cedera pelvis. Jika cedera seperti itu
timbul pada fase prehospital, dan diberikan stabilisasi seperti PASG (pneumatic
antishock garment), vacuum splint, atau pelvic sheet untuk stabilisasi pelvis yang
terbaru dapat mencegah syok hipovolemik dan dapat menyelamatkan nyawa. Alat
PASG banyak terjadi komplikasi seperti kapasitas ventilasi yang menurun,
compartment sindrom pada ekstremitas, dan hipotensi saat melepaskan alat(Hsu et
al., 2017).
Primary Survey
Pada pasien dengan fraktur pelvis harus dicurigai juga adanya trauma lain
seperti, cedera kepala berat, trauma thorax, aorta, dan cedera abdomen dan yang
paling sering, cedera vascular retroperitoneal yang disebabkan fraktur pelvis.
Mekanisme cedera dapat dipakai sebagai prediksi beratnya fraktur pelvis.
Cedera dengan energi yang lemah yang terjadi akibat jatuh dari ketinggian
rendah (1 m) dapat terjadi pada pasien tua, atau pasien dengan osteoporosis. Fraktur
pelvisnya sendiri bisa tidak stabil, tapi pada pasien ini banyak masalah cedera
lainnya, seperti traumatic brain injury (TBI) terutama bila mendapat terapi
antikoagulan atau pengobatan dengan antiplatelet.
Pada keadaan dimana pelvic binder tidak tersedia, sebuah metode simpel
untuk mengikat pelvis dapat dilakukan dengan mengikat secara sirkumferensial
pelvis dengan sprei atau kain yang kuat. Kain kemudian diikat dengan kuat ke
anterior dengan ujungnya difiksasi dengan klem (Gambar 2.12).
Pelvic binder adalah alat yang temporer sebelum dilakukan fiksasi eksterna
dan atau angiografi iliaca interna dan atau repair definitif pelvis. Pada pasien
dengan fraktur vertikal yang tidak stabil, traksi pada femoral distal (contoh,
Steinman) pin harus dipasang untuk menurunkan hemipelvis(Hsu et al., 2017).
Monitoring yang tepat pada respon pasien terhadap resustasi adalah sangat
penting. Perfusi ke perifer dapat dilihat dari capillary refill, bentuk pulsasi, warna
kulit, dan temperatur tubuh. Metode monitoring yang lebih spesifik memerlukan
kateter urine untuk mencata urine output (target 0,5ml/kg/menit) dan akses arterial
untuk mengukur tekanan arteri dan pemeriksaan analisa gas darah secara berkala.
Status volume dapat diketahui dari metode monitoring ini dan dapat ditambah
dengan pemeriksaan central venous pressure (CVP). Perdarahan yang masih
berlangsung dapat dimonitor melalui pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit.
Mengenai kadar laktat, masih menjadi perdebatan apakah termasuk indikasi untuk
menentukan status resusitasi(Trikha & Gupta, 2011).
Gastrik tube harus dimasukan melalui nasal kecuali ada fraktur basis
cranium. Kateterisasi urine digunakan untuk melakukan dekompresi sebelum
dilakukan diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau laparotomi dilakukan.
Foto rutin pelvis tidak diperlukan pada pasien yang asimptomatis, sadar,
pasien trauma tumpul abdomen dengan pemeriksaan pelvis yang normal. Walaupun
demikian, dokter harus melakukan foto AP pelvis sedini mungkin pada pasien yang
dilakukan resusitasi dengan trauma tumpul berat yang simptomatik atau terdapat
hipestesi. Beberapa fraktur sakral dan disrupsi SI jointdapat terlihat pada gambaran
pelvis AP. Untuk melihat kelainan tersebut, perlu dilakukan proyeksi inlet dan
outlet.
Pada foto pelvis PA, penilaian dari seluruh cincin anterior termasuk adanya
fraktur ramus dan atau sifisial diastasis adalah penting. Foto ini juga memberikan
informasi mengenai lokasi fraktur, pola fraktur, dan displacement secara
keseluruhan. Foto ini juga dapat dipergunakan untuk melihat adanya fraktur
acetabular, fraktur panggul, atau fraktur avulsi dari processus transversus dari
vertebra L5, sebuah tanda dari fraktur pelvis yang tidak stabil.
Foto outlet view dapat digunakan untuk menilai pergeseran hemipelvis, dan
dapat mengidentifikasi migrasi superior dan atau rotasi dari hemipelvis. LLD (leg
length discrepancy) dapat juga dinilai. Foramina sacralis dapat terlihat baik dengan
foto ini
Ada 6 landmark yang dapat dilihat pada foto AP. Termasuk didalamnya
garis iliopectineal (merepresentasikan columna anterior), garis ilioischial
(merepresntasikan posterior), tepi anterior, tepi posterior, teardrop, dan atap.
Pengertian yang mendalam mengenai anatomi acetabulum diperlukan untuk
memberikan penatalaksanaan yang tepat untuk fraktur ini.
STABILISASI PELVIS
Sebagai tambahan selain pelvis binder atau teknik pembebatan pelvis yang
telah dibahas sebelumnya, masih ada teknik yang telah dilakukan sebelumnya untuk
stabilisasi disrupsi pelvis. Yang paling tua adalah penggunaan PASG. Baju yang
dapat menggembung ini diletakkan pada ekstremitas bawah dan sekitar pelvis dan
abdomen, dan digembungkan sampai tekanan darah stabil. Baju ini bekerja dengan
cara meningkatkan resistensi darah perifer. Pada keadaan dimana terjadi fraktur
pelvis, komponen yang terletak di abdomen bekerja sebagai pneumatic splint dan
menurunkan pergerakan dari fraktur pelvis. Hal ini mencegah terjadinya disrupsi
yang lebih berat dan merusak pembekuan darah yang telah terjadi.
Waktu dari pemakaian stabilisasi pelvis segera ini harus dilakukan setelah
konsultasi dengan dokter bedah trauma dan dokter yang bertanggung jawab dengan
resusitasinya Sebelum memasang fiksator, foto Pelvis AP harus dibuat dan dinilai.
Foto ini dapat menunjukkan beberapa tanda cedera yang potensial untuk terjadi
perdarahan. Cedera kompresi lateral biasanya mempunyai fraktur horisontal
/buckle-type pada rami dengan tanda cedera crushing anterior sakral jika
diperhatikan garis arcuata antara sakral promontorium dan garis iliopectineal.
(Gambar 2.14)(Tonetti, 2013).
Sebuah garis vertikal yang ditarik dari garis tengah sakrum juga dapat
menunjukkan pergeseran yang signifikan dari pelvis yang bisa terjadi oada cedera
kompresi lateral tipe 3.
Jika hasil FAST atau DPL positif dan pasien berespon sementara dengan
resusitasi, laparotomi harus dilakukan untuk menilai cedera abdomen dengan
terpasang pelvic binder, tetapi diposisikan pada level panggul; atau, dilakukan
pemasangan fiksasi eksterna selama persiapan operasi abdomen (Boulanger, 2000).
Setelah terapi perdarahan abdomen, perdarahan yang masih berlangsung harus
dilakukan packing retroperitoneal pada pelvis dan dilakukan fiksasi eksterna.
Packing pelvis tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan imobilisasi pelvis. Jika
FAST atau DPL positif namun pasien dengan hemodinamik stabil, stabilisasi harus
dilakukan sebelum laparotomi. Laparotomi dapat dilakukan dan perdarahan
intraabdomen dapat dikontrol. Jika perdarahan berlanjut, dilutional coagulopathy
harus disingkirkan atau diterapi, dan angiografi kemudian dilakukan.
Pasien yang tidak berespon terhadap resusitasi dan pada pemeriksaan tidak
terdapat perdarahan intraabdomen, maka dicurigai perdarahan dari pembuluh darah
berkaliber besar. Harus dilakukan angiografi untuk mengetahui sumber dan apakah
embolisasi dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan, tergantung kaliber
dari pembuluh darah yang terkena. Jika memungkinkan, stabilisasi pelvis
dilakukan sebelum angiografi.
Foto pelvis AP, inlet dan outlet mengidentifikasi cedera pada tulang
penting. Pelvis AP akan mengidentifikasi kebanyakan fraktur pelvis dan dislokasi,
tapi sering tidak memperlihatkan derajat pergeseran tulang. Pada foto ini simfisis
pubis secara normal mempunyai lebar tidak lebih dari 5 mm dan perbedaan kecil 1
atau 2 mm dari ramus pubis kiri dan kanan adalah normal. Adanya overlapping
pada simfisis pubis adalah tidak normal dan adalah hasil dari cedera crushing yang
berat. Normalnya lebar SI joint kira-kira 2 – 4 mm.
Hanya pada foto AP, dokter dapat melihat derajat rotasi pelvis yang
diakibatkan teknik dan posisi fiksasi dengan adanya asimetris dan ukuran foramen
obturatorium kanan dan kiri dan iliac wings. Diastasis dari SI joint juga dapat
menyebabkan asimetrisitas dari kedua foramen obrutatorium dan iliac wing. Bila
terdapat displacement menjadi eksternal rotasi, iliac wing sisi yang terkena terlihat
lebih lebar, dan spina ilaca anterior menjadi lebih menonjol. Fraktur avulsi dari
processus transversus L5 dengan ligamen iliolumbaris sering disertai dengan
disrupsi SI joint atau fraktur vertikal sakral yang adalah petunjuk penting adanya
cedera posterior.
Pada masa yang akan datang fiksasi pada fraktur pelvis akan terus
berkembang. Dengan teknik minimal invasif, menurunkan komplikasi
dibandingkan dengan teknik terbuka seperti wound dehiscense (luka yang tidak
menyembuh), kehilangan darah dan menempatkan pasien pada posisi pembedahan
(Bellabarba, 2006). Seperti contohnya, pengobatan cedera cincin pelvis tipe B
kompresi lateral dengan fiksasi eksterna dan distraksi anterior sangat efektif dan
lebih simpel dan metode yang minimal invasif. Waktu pembedahan dan perdarahan
akan lebih minimal.
3.2 Saran
Kasus trauma pelvic dibutuhkan penanganan yang tepat untuk menghindari
prognosa yang lebih buruk dari trauma pelvic. Sehingga diperlukan pemahaman
mengenai anatomi dan fisiologi yang baik untuk dapat mengerti tentang
pengelolaan dan managemen fraktur pelvis, terutama yang mengancam kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwaal, A., Zaid, U. B., Blaschko, S. D., Harris, C. R., Gaither, T. W., McAninch, J. W., &
Breyer, B. N. (2015a). The incidence, causes, mechanism, risk factors, classification,
and diagnosis of pelvic fracture urethral injury. In Arab Journal of Urology (Vol. 13,
Issue 1, pp. 2–6). Arab Association of Urology.
https://doi.org/10.1016/j.aju.2014.08.006
Alwaal, A., Zaid, U. B., Blaschko, S. D., Harris, C. R., Gaither, T. W., McAninch, J. W., &
Breyer, B. N. (2015b). The incidence, causes, mechanism, risk factors, classification,
and diagnosis of pelvic fracture urethral injury. In Arab Journal of Urology (Vol. 13,
Issue 1, pp. 2–6). Arab Association of Urology.
https://doi.org/10.1016/j.aju.2014.08.006
Coccolini, F., Stahel, P. F., Montori, G., Biffl, W., Horer, T. M., Catena, F., Kluger, Y.,
Moore, E. E., Peitzman, A. B., Ivatury, R., Coimbra, R., Fraga, G. P., Pereira, B.,
Rizoli, S., Kirkpatrick, A., Leppaniemi, A., Manfredi, R., Magnone, S., Chiara, O., …
Ansaloni, L. (2017). Pelvic trauma: WSES classification and guidelines. In World
Journal of Emergency Surgery (Vol. 12, Issue 1). BioMed Central Ltd.
https://doi.org/10.1186/s13017-017-0117-6
Haq, R., Dhammi, I., & Srivastava, A. (2014). Classification of pelvic fractures and its
clinical relevance. Journal of Orthopedics, Traumatology and Rehabilitation, 7(1), 8.
https://doi.org/10.4103/0975-7341.133997
Hsu, S. Der, Chen, C. J., Chou, Y. C., Wang, S. H., & Chan, D. C. (2017). Effect of early
pelvic binder use in the emergency management of suspected pelvic trauma: A
retrospective cohort study. International Journal of Environmental Research and
Public Health, 14(10). https://doi.org/10.3390/ijerph14101217
Iskandar, Arr., Febriani Radiologi, N., & Kesehatan Muhammadiyah Makassar, P. (2020).
Teknik Pemeriksaan Pelvis Judet View Pada Kasus Trauma Pelvis.
http://jurnal.poltekkesmu.online/lontarariset
Koyfman, A., & Long, B. (2019). The emergency medicine trauma handbook. In The
Emergency Medicine Trauma Handbook. Cambridge University Press.
https://doi.org/10.1017/9781108647397
Ramesh, G. H., Uma, J. C., & Farhath, S. (2019). Fluid resuscitation in trauma: What are
the best strategies and fluids? In International Journal of Emergency Medicine (Vol.
12, Issue 1). BioMed Central Ltd. https://doi.org/10.1186/s12245-019-0253-8
Richard L. Drake, A. Wayne Volg, & Adam W. M. Mitchell. (2019). Dasar- Dasar Anatomi.
Tonetti, J. (2013). Management of recent unstable fractures of the pelvic ring. An update
Conference supported by the Club Bassin Cotyle. (Pelvis-Acetabulum Club). In
Orthopaedics and Traumatology: Surgery and Research (Vol. 99, Issue 1, pp. S77–
S86). Elsevier Masson s.r.l. https://doi.org/10.1016/j.otsr.2012.11.013
Trikha, V., & Gupta, H. (2011). Current management of pelvic fractures. In Journal of
Clinical Orthopaedics and Trauma (Vol. 2, Issue 1, pp. 12–18). Elsevier B.V.
https://doi.org/10.1016/S0976-5662(11)60031-3