Anda di halaman 1dari 4

SINETRON :

ANTARA HIBURAN DAN KEBERMANFAATAN


Tugas UTS MK Sosiologi Seni
Muhammad Hivan Rakhel, NIM : 231471035

Tanpa penjelasan apapun, semua orang akan selalu mengatakan bahwa


karya-karya seni, termasuk di dalamnya sinetron, merupakan karya imaginatif
atau fiktif. Dunia seni merupakan dunia rekaan atau hasil karya kreatif pencipta
seni, dengan aspek estetisnya cukup dominan. Dari sudut pandang ini, adalah sah
bagi pencipta karya seni untuk menghasilkan karya yang sangat fiktif dan sama
sekali tidak bersentuhan dengan dunia nyata dan hanya berkutat dalam dunia
maya.
Sinetron, seperti halnya novel atau cerita rekaan lainnya, menyuguhkan
cerita. Tokoh-tokoh perilaku yang menyertai dan segala aspek pendukung cerita
itu merupakan hasil kreasi dari penciptanya. Sebagai karya seni, sinetron dicipta
dengan menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk
memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya. Hal ini, memang,
sejalan dengan doktrin seni yang pernah berkembang di Eropa, terutama di
Perancis, pada akhir abad 19, yakni: “l’art pour l’art” yang dalam bahasa
Inggrisnya “art for art’s sake” yang berarti “seni untuk seni”. Para seniman
Perancis, pada waktu itu, mengukuhkan pandangan bahwa karya seni
menyuguhkan nilai (seni) yang agung ketimbang karya-karya manusia lainnya
dan harus dipandang sebagai “dirinya sendiri” sebab ia “mampu berdiri sendiri
(self-sufficient) “; ia tidak menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral.
Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya menyuguhkan keindahan, yang pada
gilirannya dapat memberikan hiburan kepada penikmatnya (Abrams, l953).
Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, pandangan “seni (hanya)
untuk seni” banyak mendapat kecaman. Horace, misalnya, mengetengahkan
tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni. Menurut Horace, bahwa seni harus
“menghibur dan bermanfaat” (Wellek & Warren, l977). Karya seni yang
“menghibur dan bermanfaat” harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah
antara satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam proses
penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus
dipertimbangkan; dia hendaknya tidak menonjolkan aspek hiburan ketimbang
aspek kebermanfaatan, sehingga terjadi keseimbangan antara segi “menghibur
dan bermanfaat” pada karya seni yang diciptanya
Tentang Karya Seni
Bila dilihat dari tiga dari empat teori Universe-nya Abrams (1998),
pertama, secara ekspresif karya seni merupakan hasil pengungkapan sang
pencipta seni (artist) tentang pengalaman, pikiran, perasaan, dan sejenisnya.
Dengan perkatan lain, karya seni merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan)
dan dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan. Karena karya seni dituntut
untuk memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran,
kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya seni itu. Karena sifatnya
yang kreatif-imaginatif, karya seni menyaran pada dunia rekaan sang
penciptanya
Kedua, secara mimetik dalam proses penciptaan karya seni, seniman
tentu saja telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap kehidupan
manusia dalam dunia nyata dan lalu membuat perenungan terhadap kehidupan
itu sebelum menuangkan dalam karya seninya. Seorang karikaturis, misalnya,
tentu telah melakukan pengamatan yang seksama dan membuat pertimbangan
matang sebelum melakukan kritik melalui karikaturnya. Seorang novelis,
misalnya, tentu tidak langsung menulis cerita khayalnya sebelum melakukan
hal-hal serupa. Demikian juga, seorang seniman yang membuat sinetron,
misalnya, tentu terlebih dahulu melihat atau mengamati fenomena-fenomena
sosial yang terjadi dalam masyarakat sebelum dia menciptakan sinetronnya.
(Memang, acapkali kita temukan sejumlah sinetron yang menyuguhkan cerita
yang sangat fiktif (jauh dari kenyataan kehidupan keseharian), penokohannya
terlalu dibuat-buat dan cenderung untuk dimanfaatkan sebagai hiburan oleh
penikmatnya).
Ketiga, secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan moral
yang dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan oleh para penikmatnya
bahan perenungan. Kalau sinetron, misalnya, dianggap sebagai “model” atau
“pola” kehidupan manusia, kita bisa melihat model-model atau pola-pola
kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral, menyegarkan-menyebalkan
atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak,
hubungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya, hubungan murid
terhadapguru atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau pola-pola
kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak
baik tentu harus kita tinggalkan. Sebagai model kehidupan, sinetron hampir
selalu menawarkan model/pola kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan
yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi
tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya ‘yang
baik’ menang, berjaya, dan berbahagia, sedangkan ‘yang jahat’ kalah, tersingkir
dan lalu menderita.
Sebuah Catatan Sehabis nonton sinetron, terlepas apakah ceritanya yang
sangat fiktif, karakterisasinya terlalu dibuat-buat dan sangat jauh dunia nyata,
saya senantiasa membutiri pesan-pesan moral yang dicobaapungkan oleh
sinetron itu. Tanpa menyebut judul-judul sinetron yang ditayangkan melalui
media TV kita, saya tertarik dengan karakterisasi terhadap sejumlah tokoh yang
secara kasat mata (dikatakan) tidak mencerminkan karakter manusia dalam
dunia nyata, antara lain: anak-anak, siswa/mahasiswa, orang tua, ayah/ibu/anak
tiri, guru, dosen, profesor (ilmuwan, intelektual), dokter dan sebagainya.
Sekedar contoh, suatu sinetron yang mengetengahkan tokoh ‘profesor’
yang nota bene sebagai ilmuwan atau intelektual, mungkin dikomentari sebagai
‘sangat melecehkan eksistensi seorang profesor’; atau suatu sinetron yang
menghadirkan sosok seorang ‘guru’, mungkin dikomentari sebagai
‘merendahkan martabat guru’; dan seterusnya.
Dalam kaitan ini saya mencobaapungkan sosok ‘profesor’ dan ‘guru’
dalam sinetron kita. Memang seorang profesor adalah sosok yang harus
dihormati, dihargai karena derajat keilmuwannya yang tinggi, oleh karena itu
dia tidak boleh dilecehkan dengan cara atau melalui media apapun. Namun,
perlu diingat bahwa dalam kehidupan nyata kita sering mendengar ketika ada
tes ujian masuk perguruaan tinggi ada sejumlah ‘joki’ (pelakunya tentu kaum
intelek, setidak-tidaknya orang berilmu cukup tinggi); ketika mahasiswa
menyusun skripsi (disinyalir) ‘dibantu’ oleh orang yang berkemampuan
menyusun karya ilmiah itu; ketika polisi menangkap pelaku pemalsuan
(pengisian ulang) kartu telepon yang memanfaatkan keahliannya untuk
melakukan kegiatan melanggar hukum (dia ini masuk kategori orang berilmu).
Mungkin juga dalam segala lini kehidupan banyak orang yang nota bene adalah
ilmuwan, melakukan pembelokan dari yang semestinya benar menjadi salah
atau sebaliknya. Hal-hal itulah yang mungkin dijadikan dasar oleh pencipta
sinetron untuk mengangkat sosok seorang ‘profesor’ yang dikarakterisasikan
sebagai sosok yang jahat, yang memanfaatkan ilmu pengetahuannya untuk
merusak kehidupan manusia.
Setelah dua kali penayangan suatu sinetron yang antara lain
menghadirkan tokoh-tokoh ‘guru’ di suatu ‘sekolah’, ada kawan saya yang
kebetulan seorang guru berkomentar miring terhadap ‘guruguru’ dalam sinetron
itu. Komentar-komentarnya, antara lain, adalah bahwa: Pertama, dalam sinetron
itu tidak ada kerjasama atau komunikasi yang baik antar para ‘guru’; kedua,
perilaku ‘guru’ tidak mencerminkan perilaku guru secara nyata; perilaku ‘guru’
itu aneh; ketiga, mengatasi masalah satu murid yang sebenarnya masalah kecil
seperti halnya mengatasi masalah yang sangat besar. Inti komentar itu adalah
bahwa cerita itu sangat khayal (jauh dari kenyataan dalam dunia pendidikan)
dan karakterisasi tokoh-tokohnya terlalu dibuat-buat dan berlebihan.
Beranjak dari hal-hal di atas, saya mencoca untuk mengajukan sejumlah
pertanyaan bahwa apakah cerita sinetron itu merupakan cerminan dari kondisi
persekolahan kita, di mana para guru (kelompok guru) saling bercakaran satu
sama lain?; kedua,kalau dalam sinetron itu digambarkan seorang ‘guru’ yang
keras, militeristik, dominasinya sangat kuat, apakah perilaku ini merupakan
refleksi perilaku sejumlah guru atau pendidik kita, sehingga dengan mudahnya
memvonis salah anak didik dan lalu mengeluarkannya?; dan yang terakhir,
apakah gaya/ perilaku itu tidak mengimplikasikan gaya atau perilaku kelompok
kuat terhadap yang lemah, di mana pihak yang lemah selalu pada posisi
tertekan, tertindas, terjajah dan sejenisnya? Jika jawaban terhadap contoh-
contoh pertanyaan itu adalah ‘ya’, maka aktivitas cakar-mencakar atau jegal-
menjegal dan sejenisnya, pihak yang dominan harus menang atau sejenisnya,
telah merambat dari dunia luar pendidikan ke dunia persekolahan kita. Jika
jawabannya ‘tidak’, maka (memang) dunia sinetron adalah dunia rekaan, dunia
fiktif
Itulah sinetron, sebuah karya seni, yang diciptakan bisa atas dasar
imaginasi penciptanya dan bisa saja atas dasar kenyataan yang ada dalam
masyarakat. Sebuah karya seni tentu bisa diinterpretasikan dari sudut pandang
yang bermacaam-macam. Harapan kita semua pada para pencipta seni, tidak
lain, adalah: “Ciptakanlah karya seni, termasuk sinetron, sebagai hiburan bisa
dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan moral (moral teaching). Sebab, anda
semua merupakan bagian warga bangsa yang harus ikut bertanggung jawab
terhadap moralitas seluruh anak bangsa Indonesia ini. Wallahu a’lam.”

Anda mungkin juga menyukai