Anda di halaman 1dari 3

Wayang vs Animasi

Catatan: Herry Dim Lebih dari sepuluh tahun yang lalu seusai pementasan wayang motekar di kampus Universitas Widyatama, bandung, acara dilanjutkan dengan sebuah diskusi. Dengan penyelia Asep Deni Iskandar M.Sn dan (alm) Drs. Ondi Kuswandi, diskusi mengedepankan pembahas Prof. Primadi Tabrani sebagai pakar bahasa rupa dan Dr. Priyanto Sunarto yang lebih dikenal sebagai karikaturis majalah berita mingguan Tempo. Sejumlah pembicaraan, pada intinya mengungkapkan ketakjuban sekaligus penyampaian harapan bahwa wayang motekar sebagai seni baru itu masih sangat mungkin dikembangkan lebih jauh lagi. Selang beberapa bulan kemudian, sebagai tindak lanjut dari diskusi terjadilah pertemuan informal bersama keempat tokoh di atas serta beberapa mahasiswa pilihan dari FDKV (Fakultas Desain Komunikasi Visual). Pembicaraan lebih menyasar kepada kemungkinan bahwa wayang motekar akan dan bisa dikembangkan ke dalam bentuk seni animasi. Pertemuan dengan topik pembahasan menganimasikan wayang motekar ini, berikutnya masih berlangsung beberapa kali di tempat yang berbeda-beda, antara lain tak kurang dari dua kali dibicarakan khusus di Studio Pohaci bersama Asep Deni Iskandar M.Sn dan Drs. Ondi Kuswandi. Sepanjang pembicaraan lebih dari sepuluh tahun tersebut, wayang motekar tetap mengambil sikap pikir-pikir dahulu. Inti persoalannya, tentu, bukan pada masalah bisa atau tidak bisa, bahkan moda uji-coba dengan durasi 5 menit pernah dibuat oleh HD sendiri. Secara teknis hingga ketersediaan SDM di Widyatama kala, itu bisa dikatakan lebih dari memadai. Juga bukan karena tidak apresiatif, sebab sejak awal pun tak pernah kurang untuk menghormati seni animasi sebagai salasatu kemungkinan baru di dalam mengomunikasikan gagasan-gagasan visual atau pun tekstual. Tersadari pula bahwa animasi dengan kemungkinan dukungan seni rekam dan teknologi penyiaran (broadcast), maka daya sebarnya bisa puluhan bahkan ratusan kali lipat dari daya yang bisa dicapai oleh wayang (dalam hal ini wayang motekar). Bahkan seni gambar serta teknik visualisasi animasi, itu tentu saja sudah sangat jauh melampaui hal-hal yang bisa dicapai oleh wayang. Lantas, apa yang membuat wayang motekar masih pikir-pikir dahulu di hadapan kemungkinan dan kehebatan yang berlipat ganda itu? Jawabannya karena tiga hal yang tak tergantikan, yaitu prinsip teatrikalitas, emansipatoris, dan partisipatoris. ** Tentu bukan pada tempatnya untuk menjelaskan berpanjang lebar ihwal prinsip teatrikalitas, emansipatoris, dan partisipatoris di sini. Untuk itu marilah kita ingat-ingat kembali beberapa pengalaman kita sendiri saat menonton pertunjukan wayang. Mungkin diantara kita sebagai penonton wayang pernah bereaksi terhadap jalan cerita dengan tepuk tangan, menyampaikan kata-kata celetukan, bahkan mungkin pula bercakap-cakap dengan salasatu tokoh yang sedang dimainkan oleh dalang. Inilah salasatu teatrikalitas yang tak tergantikan oleh animasi. Teatrikalitas pengertian sederhananya adalah daya atau peristiwa teater yang saling terhubung langsung antara tontonan dan penonton di dalam satu ruang pertunjukan yang sama. Sehebathebatnya teknik dan teknologi animasi, setidaknya hingga saat catatan ini ditulis, tak mungkin bisa mencapai teatrikalitas sebab penonton dan tontonannya itu masing-masing berada pada ruang yang berbeda sehingga yang terjadi bukanlah saling-keterhubungan secara

langsung melainkan hubungan maya. Emfati atau keterlibatan terhadap cerita masih mungkin terjadi, tapi kita sebagai penonton tak mungkin bereaksi langsung dan apalagi melakukan percakapan dengan tokoh-tokoh di dalam cerita tersebut. Sementara di dalam pertunjukan wayang nyata bahwa ruang teatrikalitasnya itu amat terbuka. Bukan saja kemungkinan dalang melalui wayang-wayangnya melakukan hubungan dengan penonton, bahkan sinden atau penyanyi pada wayang (golek, misalnya) saat bernyanyi bisa saja menyisipkan atau menyebut nama-nama orang yang berada di tengah-tengah penonton. Pada saat nama-nama tersebut didaulat, sesegera itu pula si empunya nama bereaksi yang kemudian bersambung dengan reaksi-reaksi penonton lain di sekelilingnya. Perhatikan pula interaksi antara wayang, dalang, nayaga (pemain musik) di dalam suatu pertunjukan wayang; kerap di antara mereka terjadi dialog-dialog spontan yang pada gilirannya menimbulkan pula reaksi lain dari penontonnya. Itu sekadar untuk menggambarkan bahwa penonton di dalam pertunjukan wayang tidaklah diperlakukan sebagai objek melainkan sebagai subjek-subjek yang amat mungkin ikut terlibat di dalam keseluruhan pertunjukan, inilah yang disebut peristiwa partisipatoris. Di dalam hubungan ini bisa saja, misalnya, tokoh raja atau bahkan dewa dalam pewayangan itu berdialog langsung dengan penonton yang notabene adalah jelata. Sadar atau tak tersadari di balik peristiwa ini sesungguhnya terjadi hubungan kesetaraan, kesederajatan, yang tak lain merupakan hubungan antar-manusia dan saling memanusiakan; inilah cerminan emansipatoris pada wayang. Di balik itu semua, sesungguhnya masih banyak lagi yang bisa dikupas-uraikan, satu hal saja yang mungkin penting sebagai penutup catatan bahwa di dalam pertunjukan wayang kerap terjadi semacam prinsip pembebasan publik sebab penonton bisa mendapatkan ruang keleluasaan yang begitu luas dan merdeka. Ingat, bahwa setinggi apapun tingkat kontemplasi yang mungkin terjadi di dalam pertunjukan wayang, penonton niscaya tetap sadar bahwa yang di hadapannya itu adalah tontonan dan/atau yang disaksikannya itu adalah wayang; rujukan terdekat atas teatrikalitas ini adalah konsep a-effect seperti yang dirumuskan oleh dramawan Bertolt Brecht. Akan terlalu panjang lagi jika diurai semua, ringkasnya saja, sejatinya publik (penonton) teater niscaya bisa merasakan dan tahu bedanya manakala menyaksikan teater yang dimainkan olek aktor (manusia) dibanding dengan manakala menonton wayang. Sebesarbesarnya dorongan reaktif kita sebagai penonton terhadap permainan aktor, tetap akan dibatasi oleh kesadaran bahwa yang dihadapan kita itu adalah manusia juga. Lain halnya manakala kita di hadapan tontonan wayang, batas tadi bisa dikatakan segera menghilang sebab yang berada di hadapan kita itu tak lain merupakan media yang wujudnya adalah wayang. Saya permudah lagi kerangka teoritik ini ke dalam gambaran kejadian empirik. Di dalam salah satu pementasan wayang motekar, tiba-tiba ada seorang anak yang melempar botol kemasan minuman ke arah tokoh Pademo yang digambarkan licik, penghasut, dan pencari gara-gara yang menyulut keributan. Ada semacam dorongan kekesalan atau mungkin pula kemarahan dari anak tersebut yang sesegera itu pula dibebaskannya ke dalam ekspresi pelemparan. Hal ini, rasanya, tidak akan pernah terjadi jika tokoh Pademo itu dimainkan dalam bentuk drama dan dimainkan oleh aktor. Ingat pula gambaran-gambaran kehebatan Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya ketika memainkan wayangnya hingga kemudian terjadi pertengkaran antara wayang yang dimainkan dengan salaseorang nayaga yang bernama Mang Awon. Pernah di antaranya Mang Awon sampai merenggut wayang dari tangan dalang, lantas melemparkannya ke dalam kotak. Anehnya, di dalam kedua gambaran ekstrem itu tadi, kita tidak merasakan bahwa tindakan tersebut sebagai perilaku vandal, sebagian penonton lainnya bahkan merasa terwakili dan paling tidak bereaksi sambil tertawa. Sekali lagi, saat itulah

sesunggunya wayang betul-betul telah hidup sebagai medium pembuka keleluasaan publik.***

Cibolerang, Agustus 2013

Anda mungkin juga menyukai