Anda di halaman 1dari 28

Memimpin Seperti Yesus Kristus

Disusun Oleh :

dr. Suryanti Kurnia Lase, SpB, MPH


STT Pelita Kebenaran
Medan
Pendahuluan
Menjadi pemimpin bukan hanya soal jabatan tetapi bagaimana seseorang itu dapat
mempengaruhi orang lain. Saat seseorang ingin menjadi pemimpin, ia tidak harus berada di
puncak pimpinan. Seorang pemimpin tidak hanya dapat memimpin orang yang dibawahnya
tetapi juga dapat memimpin orang-orang yang berada di level yang sama bahkan pada level di
atasnya. Leadership adalah pilihan yang diambil bukan pada apa jabatannya. Leadership
merupakan soal meningkatkan pengaruh yang dimiliki. Seseorang mungkin berada pada posisi
jabatan yang tinggi, tetapi bila ia harus menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi orang
lain bisa berarti ada yang salah dalam keahliannya dalam memimpin.
Terdapat dua teori secara umum yang dikenal dalam masyarakat berkaitan dengan kemunculan
seorang pemimpin. Teori pertama adalah menjadi pemimpin karena kelahiran, atau yang sering
disebut dengan teori genetika. Teori ini beranggapan bahwa seseorang sejak dalam kandungan
ia telah ditetapkan sebagai pemimpin, karena mewarisi dari orang tuanya perihal potensi dan
kemampuan bawaan sebagai pemimpin. Teori kedua adalah diciptakan sebagai pemimpin atau
yang sering disebut sebagai teori sosial. Teori ini menjelaskan bahwa sekalipun seseorang tidak
lahir dari keturunan pemimpin, namun apabila ia memiliki keinginan yang kuat disertai dengan
belajar dan kerja keras, maka ia bisa menjadi pemimpin yang besar. North House menyebut
teori ini dengan istilah teori proses, bahwa seorang pemimpin bukanlah karena dilahirkan
melainkan karena diproses. Pemimpin tidaklah lahir dari kedudukan atau posisi. Lebih lanjut
dapat dijelaskan bahwa, pemimpin tidak dilahirkan tetapi dibentuk. Banyak orang yang
menjadi pimpinan di sebuah organisasi telah salah kaprah dengan menganggap dirinya
ditentukan sejak lahir sebagai seorang pemimpin. Kepemimpinan, seperti disebutkan oleh John
Maxwell dalam bukunya “Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda”, adalah
pengaruh. Dengan demikian, pemimpin adalah seseorang yang memiliki pengaruh kepada
oranglain. Semakin luas pengaruhnya maka semakin besar lingkup kepemimpinannya. Joseph
Grenny dalam buku “Influencer” menekankan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh,
mengubah perilaku seseorang. Penulis memberikan enam sumber pengaruh adalah motivasi
pribadi, kemampuan pribadi, motivasi sosial, kemampuan sosial, motivasi struktural dan
kemampuan struktur. Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi. Setiap kali
seseorang berusaha mempengaruhi cara berpikir, perilaku atau perkembangan orang lain untuk
mencapai tujuan hidupnya, seseorang itu sedang menjalankan perannya sebagai pemimpin.
“Pimpin” artinya “bimbing” secara harfiahnya, maka memimpin diartikan sebagai kegiatan
menuntun atau membimbing. Seorang pemimpin adalah mereka yang menggunakan jabatan
dan wewenangnya untuk mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan kelompok bahkan
sampai tujuan organisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian
kepemimpinan adalah perihal pemimpin atau cara memimpin. Secara harfiah, kepemimpinan
berasal dari kata dasar “pimpin” yang memiliki arti mengarahkan, membina, mengatur,
menuntun, menunjukkan, atau memengaruhi. Menurut Wahjosumidjo,1999, seorang pemimpin
adalah mereka yang memiliki kecerdasan, sehat, pertanggungjawaban dan memiliki beberapa
sifat seperti dewasa, keleluasaan hubungan sosial, motivasi diri serta dorongan prestasi serta
sikap hubungan kerja kemanusiaan. Menurut Stoner, 1996, kepemimpinan adalah proses
mengarahkan dan mempengaruhi aktifitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota
kelompok. Menurut Young, kepemimpinan adalah sebuah bentuk dominasi yang didasari oleh
kemampuan pribadi bahwa seseorang itu mampu mendorong atau mengajak orang lain untuk
melakukan sesuatu yang berdasarkan penerimaan organisasi, seorang pemimpin mempunyai
keahlian khusus untuk menghadapi situasi yang khusus pula.
Begitu pentingnya peran seorang pemimpin hingga dikatakan bahwa seorang pemimpin
mempunyai pengaruh yang amat besar kepada organisasi yang dipimpinnya (Scein, 1992),
(Nahavandi dan Malekzadeh, 1993) dan (Kouzes & Posner, 1987, 1993). Kualitas seorang
pemimpin seringkali dianggap sebagai faktor terpenting dalam keberhasilan atau kegagalan
organisasi (Bass, 1990 dalam Menon, 2002). Kepemimpinan dibutuhkan dalam berbagai level
organisasi. Tanpa kepemimpinan yang kuat, visi organisasi memburam, moral kerja karyawan
rendah, timbul keputusan atau kebijakan akan tertunda, dan sulit untuk mencapai tujuan.
Seorang pemimpin adalah motor penggerak dari usaha atau kegiatan untuk melaksanakan
fungsi-fungsi manajemen, terutama dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan yang
dapat mempermudah pencapaian tujuan dari organisasi, secara efektif dan efisien. Berhasil
tidaknya usaha pencapaian tujuan sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpin yang
memegang peranan penting dalam rangka menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya,
oleh sebab itu ketrampilan memimpin (leadership skill) harus dimiliki oleh seorang
pemimpin. Pemimpin yang baik dituntut untuk bersifat luwes, mampu beradaptasi dengan
lingkungan yang bergerak sangat dinamis, mengantisipasi berbagai perubahan, dan bersikap
proaktif terhadap organisasi yang dipimpinnya.
Untuk menjadi pemimpin yang baik tidaklah mudah, diperlukan sebuah model yang mampu
untuk menjadi teladan bagi kepemimpinan. Apalagi dewasa ini, khususnya di Indonesia,
banyak terjadi krisis kepemimpinan yang mengakibatkan mundurnya, bahkan hancurnya
sendi-sendi kehidupan berorganisasi akibat ketiadaan keteladanan kepemimpinan yang
tepat, dan krisis kepemimpinan ini sudah menggejala secara umum. Untuk mengatasi hal
di atas, perlu dihadirkan sebuah model kepemimpinan yang dapat menjadi pedoman dan
arah mengenai bagaimana memimpin yang benar, dan melalui model ini dapat dibangun
budaya kepemimpinan yang tepat serta bermanfaat guna bagi kehidupan. Model
kepemimpinan serta gaya kepemimpinan yang telah dibangun oleh Yesus Kristus, sebagai
seorang Pemimpin–Pelayan, seperti yang ditampilkan secara utuh dan sempurna melalui
pemaparan yang transparan dan jelas oleh Alkitab, merupakan satu role model yang terbaik
dalam cara kepemimpinan suatu organisasi. Dalam kepemimpinan Kristen, seorang pemimpin
harus memiliki pemahaman yang selaras dengan ajaran Alkitab dan bersedia belajar pada guru
yang Agung, yaitu Yesus Kristus, sebagaimana diajarkan dalam Injil. Kebenaran kehebatan
Kepemimpinan Yesus Kristus ini diungkapkan oleh Kenneth Blanchard yang menegaskan,
“Christians have more in Jesus than just a great spiritual leader; we have a practical and
effective leadership model for all organizations, for all people, for all situations” (Orang
Kristen memiliki hal yang luar biasa dalam Yesus lebih dari sekedar seorang pemimpin rohani
besar; kita memiliki model kepemimpinan praktis dan efektif untuk semua organisasi, untuk
semua orang, dan untuk semua situasi).
Markus 10:43-45
“Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara
kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan
bagi banyak orang."
Pembahasan
Salah satu yang dapat dijadikan dasar Alkitabiah kepemimpinan Kristen adalah Matius
20:20-28. Memang ada banyak dasar Alkitabiah dari kepemimpinan Kristen, tetapi dalam
perikop ini Yesus meletakkan sendi-sendi kepemimpinan yang sangat khas, yaitu
kepemimpinan yang didasarkan atas kesediaan untuk melayani, dan hal ini dikontraskan
dengan model-model kepemimpinan dunia. Melalui peletakan sendi-sendi kepemimpinan
ini, Yesus sekaligus memproklamirkan model kepemimpinan yang dibangun-Nya melalui
pelayanan yang dilakukan-Nya selama berkarya di dunia. Kisah dalam Matius 20:20-28
menceritakan tentang pertengkaran yang terjadi di antara para murid tentang siapa yang
terbesar di antara mereka. Pertengkaran tersebut berkisar tentang siapa yang berhak
menjadi yang terbesar di bumi, khususnya dalam sistem pemerintahan. Awal pertengkaran
mereka berasal dari permintaan ibu Yohanes dan Yakobus agar Yesus berkenan untuk
menempatkan mereka berdua, kelak, duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus ketika sudah
berada di dalam Kerajaan Sorga (ay. 21). Permintaan ini adalah permintaan yang wajar,
karena hal ini sangat berkaitan dengan janji Yesus yang mengatakan bahwa siapa
pun yang percaya kepada Anak akan percaya kepada Bapa, dan barang siapa hidup di
dalam Anak akan hidup pula di dalam Bapa. Jadi jika Anak, suatu saat, pergi ke rumah
Bapa, maka setiap orang yang percaya juga akan pergi dan hidup di rumah Bapa. Jadi
tidaklah berlebihan jika ibu dari kedua murid tersebut meminta dan mencoba mengingatkan
Yesus agar kedua anaknya duduk bersama dengan Yesus ketika sudah berada di rumah Bapa.
Permasalahan muncul ketika para murid yang lain menangkap permintaan ibu Yohanes
dan Yakobus ini dalam perspektif yang berbeda. Mereka melihat dan menduga bahwa
permintaan ibu Yohanes dan Yakobus ini sangat berkaitan dengan masalah kekuasaan
dalam memerintah. Mereka menduga bahwa permintaan ini erat dengan keinginan untuk
menjadi ‘wakil’ dari Yesus yang berkaitan dengan dimilikinya kekuasaan memerintah
bagi kedua anaknya sebagai konsekuensi dari penempatan mereka di sisi kanan dan kiri
Yesus. Inilah yang menjadi pangkal pertengkaran mereka, karena pada dasarnya para murid
yang lain pun sangat menginginkan jabatan dan kuasa tersebut. Jadi pertengkaran ini hendak
memperebutkan kuasa dan jabatan untuk memerintah dunia. Terjadi pergeseran pemahaman,
yang semula ibu Yohanes dan Yakobus hanya meminta agar anak-anaknya dapat duduk
di sisi kanan dan kiri Yesus ketika berada di rumah Bapa, namun pemahaman ini digeser
oleh para murid lainnya menjadi kecurigaan bahwa ibu Yohanes dan Yakobus meminta
agar kedua anaknya itu diangkat menjadi wakil Yesus untuk memerintah dunia. Yesus melerai
pertengkaran mereka dengan menjabarkan satu pandangan yang hendak
menjungkirbalikkan pemahaman pemerintahan dan kepemimpinan dunia. Yesus hendak
memperhadapkan model kepemimpinan dunia ini dengan model kepemimpinan
dalam Kerajaan Sorga. Yesus mengungkapkan bahwa kebesaran pemimpin bukan
terletak pada kekuasaan atau jabatan yang dimilikinya, yang digambarkan dalam
pemahaman duduk di sebelah kanan dan kiri seorang Raja, melainkan terletak
dalam kerendahan hatinya untuk melayani setiap orang yang dipimpinnya. Dalam
terminologi kepemimpinan dunia (ay. 25), Yesus mengatakan bahwa kepemimpinan dunia
berjalan dalam sistem memerintah dengan tangan besi dan para pembesar menjalankan
kuasanya untuk menguasai yang dipimpinnya. Hal ini, kemudian, dikontraskan dengan
kepemimpinan dalam sistem Kerajaan Sorga, dimana seorang pemimpin bukanlah bertujuan
hendak menguasai yang dipimpinnya, melainkan melayani setiap orang yang dipimpinnya.
Inilah perbedaan yang hakiki, yaitu antara menguasai dan melayani. Menurut Yesus, seorang
pemimpin yang besar adalah seorang pelayan, yaitu orang yang mengadakan pemeliharaan;
yang mencukupi kebutuhan orang yang memerlukan bantuan; yang mengorbankan milik
dan kepentingannya sendiri untuk kepentingan orang lain, yang memiliki sikap altruis
(perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri) dan tidak
egois (perhatian terhadap diri sendiri tanpa mau mempedulikan orang lain). Orang yang
terkemuka adalah hamba, yaitu orang yang mengikatkan dirinya untuk mengabdi bagi
orang lain, yang tidak berkuasa atas dirinya sendiri, yang taat, tunduk dan patuh pada aturan
untuk melaksanakannya dengan sukacita dan sukarela, yang taat mengabdikan diri kepada
siapa yang menjadi tuannya, dan yang tidak mempertahankan gengsi untuk melakukan
sesuatu bagi orang lain. Apabila dikaitkan dengan keberadaan Yesus, Ia sendiri mengatakan
bahwa Ia adalah Pelayan dan Hamba (Mat. 12:18-21), yang tidak mementingkan diri-Nya
sendiri dan mau berkorban bagi manusia. Yesus mengabdikan diri-Nya kepada Bapa dan
menjadi Hamba yang menderita serta taat sampai mati di kayu salib untuk menyelamatkan
manusia. Keberadaan Yesus sebagai Pelayan dan Hamba, kemudian, diamanatkan kepada
murid-murid-Nya agar mereka pun mengabdikan diri kepada Allah dan sesama dalam
pelayanan. Dengan demikian Yesus hendak mengembangkan konsep dan model
kepemimpinan yang baru, yang khas Kristus, yaitu kepemimpinan dengan prinsip
pemimpin–pelayan, yang berorientasi pada identifikasi dan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan orang lain, alih-alih sekadar berusaha memperoleh kekuasaan, kekayaan, dan
ketenaran bagi diri sendiri. Seorang pemimpin–pelayan adalah orang yang sudah melupakan
kepentingannya sendiri dan hidup untuk mensejahterakan hidup orang lain. Tegasnya, seorang
pemimpin–pelayan adalah seorang pemimpin yang membumi dan mendunia; dan ini
merupakan model kepemimpinan Kristen. Jadi bentuk kepemimpinan yang dikembangkan
oleh Yesus adalah kepemimpinan yang berbasis pada kehidupan-Nya sebagai seorang
Pelayan dan Hamba.
Syarat utama dalam kepemimpinan Kristen adalah memiliki visi, karena jika seorang
pemimpin tidak memiliki visi maka ia tidak akan pernah menjadi pemimpin yang berhasil
dan sekaligus menjadi pemimpin yang kerdil serta tidak berguna. Sebaliknya, jika
seorang pemimpin mempunyai visi, ia akan menjadi pemimpin yang bisa mengarahkan
setiap orang yang dipimpinnya menuju pada kehidupan yang lebih baik, bahkan pemimpin
yang bervisi adalah pemimpin yang mampu membaca serta mengantisipasi masa depan
berdasarkan kemampuannya ‘melihat’ apa yang sekiranya akan terjadi. Seorang pemimpin
harus memulai kepemimpinannya dengan menemukan terlebih dahulu visi bagi kepemimpinan
yang diembannya, kemudian mengembangkannya dalam proses kepemimpinan yang
dijalankannya dengan sepenuh hati. Visi perlu untuk ditemukan dan dikembangkan oleh
seorang pemimpin karena merupakan elemen dasar yang akan menuntun seorang
pemimpin hidup dan bekerja secara efektif dan efisien. Visi akan mengantar seorang
pemimpin untuk mengarahkan kelompok, organisasi (formal maupun non-formal) menuju
pada keberhasilan kinerja, kemaslahatan dan kelanggengan hidup. Visi adalah faktor penentu
keberhasilan seorang pemimpin. Jika dikaitkan dengan kepemimpinan Kristen, hal ini
menegaskan bahwa kepemimpinan Kristen harus memiliki visi kepemimpinan yang
didasarkan, diterangi, didorong dan dikembangkan oleh kekuatan nilai-nilai Kristiani, dan
ini akan menjadi sesuatu yang khas dalam mengembangkan seni kepemimpinan. Untuk
menemukan visi kepemimpinan Kristen, hal utama yang harus dilakukan seorang pemimpin
Kristen sebagai dasar kehidupannya adalah selalu memiliki waktu untuk berdoa, yaitu
sebuah tindakan membuka komunikasi dengan Allah, Sang Sumber visi, dan mendengar
apa yang dikehendaki Allah terhadap dirinya. Melalui doa perenungan, instrospektif
dapat dilakukan guna menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai keinginan suci (visi)
yang telah dihadirkan dan ditulis Allah di dalam batin. Perenungan introspektif ini akan
memberi kemampuan untuk membuat sebuah perencanaan strategis dan partisipatif untuk
bisa memimpin dirinya dan organisasi yang dipimpinnya untuk menggapai kehidupan masa
depan dengan didasarkan atas kerinduannya untuk bertindak dan melakukan segala hal
yang bermanfaat bagi orang lain, dan semua ini ditujukan untuk memuliakan nama Allah,
sebagai Sumber visi kepemimpinannya. Dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan visi
kepemimpinan Kristen, maka seseorang harus memiliki waktu untuk berdoa dan senantiasaa
bergumul dengan firman Allah, karena Allah adalah Sumber visi yang sejati. Langkah
berikutnya adalah mengembangkan visi kepemimpinan Kristen yang didasarkan oleh iman.
Dalam kaitannya dengan visi, Iman, yang merupakan ‘kekuatan untuk melihat yang ingin
dicapai, jauh sebelum segala sesuatunya ada’, adalah pengembangan dari visi dan
bahkan dapat dikatakan sebagai visi ideal yang dapat menjadi riil, karena iman memberi
ketepatan dan kepastian bahwa sebuah visi akan menjadi sebuah kenyataan jika visi itu
dijalankan dengan penyerahan diri kepada Sang Sumber Sejati visi. Dengan iman sebuah
visi dijadikan sebagai kenyataan, dan iman akan meneguhkan visi karena iman akan
membuktikan bahwa visi dapat dikerjakan dan dapat dicapai. Dengan demikian visi yang
dibangun di atas Iman akan menjelaskan tujuan perjalanan hidup pribadi dan organisai dan
meneguhkan untuk terus berjalan ke depan guna mencapai tujuan yang mulia dan semuanya
ditujukan untuk kemuliaan nama Allah. Berdasarkan visi yang dimiliki oleh seorang
pemimpin dapat ditegaskan bahwa tugas seorang pemimpin bukan sekadar mempengaruhi
orang lain guna melakukan tujuan, tetapi juga membangun orang lain sehingga orang
tersebut, kelak, akan bisa menjadi pemimpin. Pemimpin yang memiliki visi akan
berusaha untuk terus membangun dan berkarya guna mendatangkan keuntungan bagi
banyak orang secara berkesinambungan. Pemimpin yang terus membangun adalah
pemimpin yang selalu memulai kepemimpinannya dengan visi besar, sehingga akan
melahirkan semangat besar dalam menciptakan pekerjaan besar dan akan menghasilkan
produksi besar. Dengan demikian tanggung jawab seorang pemimpin Kristen bukan
sekadar membangun monument yang bisa dikenang oleh orang lain, melainkan harus
mampu membangun hubungan-hubungan dengan orang lain juga, teristimewa pengikutnya,
dan pemenuhan kebutuhan pengikut demi kelancaran kinerja maupun pencapaian tujuan
bersama yang ditetapkan. Tanggung jawab ini mendorong seorang pemimpin untuk terus
mengembangkan diri sebagai respons terhadap anugerah Allah yang telah dianugerahkan
kepada dirinya.
Etika kepemimpinan Kerajaan Allah merupakan kekuatan etika moral yang berfungsi
sebagai landasan yang menopang pemimpin, orang Kristen dan gereja untuk hidup dalam
iman, etika serta moralitas yang teguh dalam menyikapi tantangan hidup global yang
mengancam. Etika kepemimpinan Kerajaan Allah adalah konsep teoretis dasar yang dapat
berkontribusi dalam membangun peradaban dunia dan merupakan model etika Alkitabiah
yang bersifat normatif bagi sikap batin, iman, etika, moral, moralitas, etos dan etiket serta
perkataan dan perilaku pemimpin dan orang Kristen, yang harus dihidupi melalui
kehidupan keseharian dalam menjalankan panggilan misioner gereja di tengah dunia.
Oleh sebab itu etika ini harus dibangun di atas dasar pemahaman yang Alkitabiah, sehingga
dapat dijadikan sebagai tuntunan bagi kehidupan praksis yang ditandai adanya penguasaan
dan pemerintahan Allah dalam kehidupan pemimpin dan orang Kristen. Dengan
mendasarkan diri pada pemahaman di atas, dapat ditemukan beberapa aspek dari etika
kepemimpinan Kerajaan Allah, antara lain: Pertama, etika ini ‘memberi tempat utama bagi
Allah untuk memerintah dalam kehidupan Kristen’ (Mat. 6:10), ini berarti bahwa etika ini
merupakan norma dan sumber serta dinamika bagi iman, sikap batin, moralitas dan
perilaku pemimpin dan orang Kristen dalam kehidupan yang mereka jalani. Norma ini
bersifat universal, karena itu berlaku bagi seluruh kehidupan. Aspek pertama ini
menyangkut tentang aspek kosmologis. Kedua, etika ini mengandung kaidah etis dan moral
bagi iman dan kehidupan yang sifatnya mutlak (aspekontologis). Ketiga, etika ini berporos
pada Yesus, kehidupan, karya dan ajaran-Nya di dalam Alkitab, oleh sebab itu aspek ini
disebut dengan aspek Core-Truth. Keempat, etika ini bersifat wajib untuk dilakukan
(epistemologis), karena merupakan perintah (imperative) yang memiliki keharusan untuk
diberlakukan di mana saja di seluruh dunia oleh Gereja Yesus Kristus. Kelima, etika ini
memiliki aspek teologis yang merupakan tujuan tertingginya, yaitu ‘kehendak dan kasih
Allah” yang harus dilakukan dalam kehidupan dan kepemimpinan Kristen dalam
menjalankan tugas misionernya. Kebenaran misiologis etika ini menegaskan bahwa ‘Gereja
diutus ke dalam dunia’untuk memberkati dunia dengan memuliakan Allah dan membawa
kebaikan tertinggi, yaitu berkat keselamatan bagi diri sendiri, sesama dan dunia. Poros etika
kepemimpinan Kerajaan Allah adalah kehidupan, karya dan ajaran Yesus Kristus, oleh
karenanya etika ini merupakan penopang kehidupan kepemimpinan Kristen. Dapat dikatakan
bahwa etika ini merupakan fondasi bagi etos kerja pemimpin, orang Kristen dan Gereja guna
mendemonstrasikan kehidupan etis moral kudus dari kehidupan dan ajaran Yesus Kristus
dalam lingkup kerja. Melalui etika ini setiap pemimpin Kristen akan memperoleh
kekuatan dan ketahanan untuk hidup dan mengabdi kepada Kristus dan ketika menghadapi
kritik dunia dalam segala bentuk, dan juga memberi hikmat yang menguatkan batin
pemimpin dan orang Kristen, sekaligus harus mengimpartasi semangat yang berapi-api
sehingga pemimpin dan orang Kristen mampu bersekutu, melayani, bersaksi, memberitakan
dan membangun Gereja.
Kepemimpinan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan dari sebuah organisasi, dengan
adanya kepemimpinan maka ada kekuatan yang menggerakkan [faktor manusia] ke arah tujuan
yang telah direncanakan. Jadi kepemimpinan adalah suatu proses dimana pemimpin
mempengaruhi, menentukan, mengarahkan, dan memberdayakan anggota-anggota melalui
kerjasama untuk melakukan sesuatu yang diyakini harus dilakukan. Menurut Yakob Tomatala
dalam tulisannya mendefinisikan kepemimpinan dapat dipahami dari beberapa pandangan,
yaitu: kepemimpinan adalah seni bekerja (tahu, mau dan aktif bekerja] bersama dan melalui
orang lain; kepemimpinan juga didefinisikan sebagai seni pemenuhan kebutuhan orang yang
dipimpin dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama. Dan kepemimpinan
juga dapat didefinisikan sebagai seni mempengaruhi dan menggerakan orang untuk bekerja
sama secara terkoordinasi, dimana semua orang bergerak untuk melakukan tugasnya dengan
baik berdasarkan program yang telah dicanangkan dalam kinerja keorganisasian secara
menyeluruh. Menurut Charles J. Keating, kepemimpinan merupakan suatu proses dengan
berbagai cara mempengaruhi orang atau kelompok orang untuk tujuan bersama. Penekanan
Charles pada “seorang pemimpin kekuatannya terdapat pada pengaruh." Sedangkan, John R.
Mott menyatakan bahwa: “Seorang pemimpin adalah seorang yang mengenal jalan dan
berjalan terus ke depan serta dapat menarik orang lain mengikuti dia”. Ini berarti bahwa
kekuatannya terletak pada bagaimana pemimpin mempunyai visi yang kuat sehingga membuat
orang-orang yang dipimpinnya mengikuti jejaknya. Adapun, Lord Montgomery mengatakan
bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan kehendak untuk mengarahkan orang laki-laki
dan perempuan untuk satu tujuan bersama, dan watak yang menimbulkan kepercayaan. Disini
kekuatan seorang pemimpin dalam memberi keyakinan atau suatu harapan yang pasti bagi
pengikutnya.
Kepemimpinan selalu berhubungan dengan kemampuan mempengaruhi. Dalam
kepemimpinan berlaku prinsip bahwa orang hanya dapat memimpin orang lain sejauh ia dapat
mempengaruhi mereka. Kepemimpinan yang baik merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan,
kestabilan dan kemajuan kelompok apapun. Ini berlaku bagi kelompok skala raksasa, seperti
sebuah bangsa atau negara, sampai kelompok skala kecil misalnya klub sepak bola. Kita
memerlukan pemimpin sejati dalam bidang pemerintahan, bisnis, sekolah, lembaga
masyarakat, komunitas kaum muda, organisasi keagamaan, rumah tangga, dan semua arena
kehidupan – termasuk disiplin hukum, kedokteran, ilmu pengetahuan, olahraga, dan media.
Saat ini berbagai bidang kehidupan mengalami krisis kepemimpinan. Kebutuhan akan
kepemimpinan yang efektif begitu mendesak. Pertanyaan-pertanyaan tentang integritas moral,
kehormatan, nilai-nilai, teladan, dan standar yang layak dihormati adalah topik-topik diskusi
pada masa kini. Myles Munroe dalam bukunya The Spirit Leadership percaya bahwa krisis
kepemimpinan terjadi karena kepemimpinan lebih dimaknai sebagai tindakan dan bukan
panggilan. Oleh sebab itu kita sering mendengar para pemimpin yang terlibat dalam
petualangan-petualangan seks, tokoh bisnis jatuh dalam korupsi, politisi dan pemimpin daerah
dan nasional diadili karena kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal-hal di atas
disebabkan standar ganda yang dijalani pemimpin. Di kantor dalam pelayanan mereka
bertindak dengan cara tertentu, tetapi saat mereka di luar tugas menjalani kehidupan yang
kontradiksi. Dunia kita adalah jagad baru yang membutuhkan gaya kepemimpinan yang baru.
Hampir semua yang kita anggap benar selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun, kini
mengalami transformasi yang amat besar. Iklim planet yang berubah berdampak pada flora,
fauna, hasil pertanian dan kehidupan laut. Terjadi kekuatan dahsyat di planet bumi yang
nampak dalam bencana alam, baik topan, banjir, tsunami ataupun kemarau. Berbagai penyakit
baru bermunculan. Sistem sosial banyak berubah, berbagai konflik yang dulu dalam lingkup
lokal kini menjadi masalah global. Dalam situasi yang berubah, pemimpin hebat memandang
perubahan-perubahan dan ketidakpastian yang ada di dunia dengan kacamata harapan,
memberikan inspirasi melalui visi yang jelas, optimisme dan percaya diri untuk mengubah
mimpi menjadi kenyataan. Kepemimpinan yang menginspirasi memang selalu diharapkan.
Tuhan Yesus Kristus adalah Pemilik dan sekaligus Kepala Gereja. Tuhan Yesus Kristus juga
menjadi teladan bagi seluruh pengikut-Nya. Termasuk dalam persoalan kepemimpinan.
Apakah gereja steril terhadap krisis kepemimpinan ? Kita melihat bahwa ternyata gereja juga
mengalaminya. Hal ini nampak bahwa di berbagai tempat terjadi konflik dalam gereja,
kesulitan mengoptimalkan anggota jemaat untuk melayani pekerjaan Tuhan dan regenerasi
yang tidak berjalan baik sehingga tidak banyaknya orang yang mau menjadi pemimpin dalam
gereja. Kita menyaksikan banyak pos-pos pelayanan yang diisi hanya orang itu-itu saja,
pelayanan dipahami sebagai kegiatan sukarela sebagian umat yang terpanggil dan bukan
panggilan dari semua umat percaya. Pada pihak lain, banyak orang merasa tidak layak ataupun
tidak pantas melayani dengan dalih tidak punya karunia yang bisa dibanggakan. Padahal dalam
1 Korintus 12:4-12 jelas-jelas setiap orang kristen diperlengkapi dengan karunia masing-
masing. Menjadi pemimpin bukanlah menjadi orang yang sempurna yang mempunyai semua
talenta dan dan bisa melakukan apa saja. Seorang pemimpin kristen melayani dengan talenta
yang Tuhan berikan kepadanya. Kepemimpinan juga tidak bergantung pada penampilan fisik
seseorang. Dalam 1 Samuel 16:7 mengajarkan kepada kita bahwa bukan apa yang dilihat dari
luar yang menentukan dia pantas menjadi pemimpin atau bukan, tetapi Tuhan melihat hatinya.
Jadi, selain karunia yang sudah pasti ada dalam setiap diri manusia, hati yang bersedia
melayani menjadikannya layak untuk memimpin gerejaNya. Pemimpin gereja memang
memiliki tugas dan persyaratan yang sama dengan manajemen pada umumnya yaitu harus
mampu menyalurkan aspirasi dan mengatur, mempersatukan serta menggerakkan. Mereka juga
harus memiliki kepercayaan diri, punya kecakapan dan diterima oleh anggota jemaatnya.
Syarat-syarat yang kita baca dalam 1 Timotius 3 : 1-13 sebenarnya tidak bertentangan dengan
apa yang kita lihat dalam manajemen umum. Hanya memang, dalam 1 Timotius 3 : 1-13 ada
ciri khasnya yaitu ciri kegerejaan. Syarat-syarat manajerial ini sudah tentu perlu diperhatikan
juga dalam pemilihan pemimpin gereja. Begitu pentingnya kepemimpinan dalam gereja agar
gereja dapat melaksanakan tugas pangilannya, sehingga Tuhan Yesus Kristus mempergunakan
sebagian besar waktu-Nya untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin gereja.
Caleb Tong saat menguraikan tentang pemimpin rohani yang kompeten, ia menjelaskan bahwa
seorang pemimpin berasal dari pengikut yang baik. Seorang jenderal dapat muncul dari dasar
prajurit, perdana menteri dapat pula hanya seorang pemimpin daerah pada mulanya, harapan
itu selalu ada pada orang yang mau setia dan tekun dalam hal kecil dan rendah. Memang,
seorang pemimpin yang baik pasti berasal dari seorang pengikut yang baik. Bila menjadi
Sersan saja tidak becus, maka ia tidak pantas menjadi Jenderal. Pemimpin gereja yang baik
dengan demikian berasal dari anggota jemaat yang baik pula, sebab dengan menundukkan diri
itulah yang bersangkutan telah membuktikan kesungguhan dan ketangguhannya dalam
menundukkan diri sendiri. Bila seseorang bisa menundukkan diri sendiri maka ia bisa
menundukkan diri kepada Kristus dan kepada Pemimpin gereja-Nya. Pemimpin harus
memiliki spiritualitas yang baik. Kepemimpinan yang diberlakukan di gereja adalah
kepemimpinan yang meneladan pada, dan menerapkan kehendak Tuhan Yesus Kristus.
Kepemimpinan gereja haruslah merupakan kepemimpinan yang melayani dengan cara
memberi teladan, rela berkorban, menginspirasi dan memberdayakan. Yesus Kristus telah
dengan sempurna mempresentasikan kepemimpinan Allah itu. Dialah model Pemimpin kristen
yang sejati. Tetapi, bukankah terbentang jarak yang jauh antara manusia biasa dengan Yesus
Kristus ? Umumnya, orang Kristen mengatakan bahwa apa yang dilakukan Yesus Kristus tidak
mungkin dilakukan pengikutNya. Mengenai hal ini Henry J.M. Nouwen mengatakan, “segala
milik Yesus diberikan kepada kita untuk kita terima. Segala yang dikerjakan Yesus dapat kita
lakukan juga. Yesus tidak menganggap kita sebagai warga kelas dua. Ia tidak menyembunyikan
sesuatupun kepada kita.” Tuhan Yesus Kristus sendiri berkata, “Aku telah memberikan suatu
teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.
Aku berkata kepadamu : sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya,
ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka
berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.” Dengan menggali dan belajar dari
kepemimpinan Yesus Kristus, kita akan menemukan prinsip-prinsip kepemimpinan Kristen
yang berguna bagi pengembangan kepemimpinan gereja pada masa kini.
Myles Munroe dalam bukunya The Spirit Of Leadership mengatakan bahwa manusia
diciptakan Allah masing-masing untuk mengatur, memerintah, mengendalikan, menguasai,
mengelola, dan memimpin lingkungan mereka. Tidak peduli siapapun dia, manusia memiliki
sifat dan kapasitas untuk memimpin. Seperti burung memiliki naluri untuk terbang, dan ikan
untuk berenang, demikianlah manusia memiliki kapasitas untuk memimpin dan memegang
kendali kehidupan. Alkitab menyebutkan, bahwa Allah memberi kuasa kepada manusia untuk
berkuasa atas segala makhluk tetapi dalam hubungan antar manusia, Allah tidak pernah
memberi wewenang untuk berkuasa atas manusia lain. Allah menghendaki dalam hubungan
antar manusia yang terjadi adalah saling menolong. Saling menjadi penolong yang sepadan.
Tidak saling mendominasi. Kepemimpinan harus mengacu kepada mandat dan penugasan
Allah; Sang Pemimpin satu-satunya, yaitu untuk mengembangkan kemungkinan saling tolong-
menolong dalam kesepadanan, kesetarafan dan kesetaraan. Manusia adalah gambar Allah dan
bukan Allah. Oleh karenanya, kepemimpinan manusia haruslah mencerminkan kepemimpinan
Allah. Yesus Kristus adalah model Pemimpin Kristen yang sejati. Dalam setiap kitab Injil, baik
secara keseluruhan maupun secara terpisah dapat dilihat keberadaan Tuhan Yesus dari berbagai
sisi tetapi selalu berpusatkan pada keberadaan-Nya, perkataan maupun perbuatan-Nya. Yesus
Kristus adalah tema utamanya. Dia menjadi model bagi pengikut-Nya termasuk dalam bidang
kepemimpinan. Tuhan Yesus Kristus sendiri berkata, “Aku telah memberikan suatu teladan
kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku
berkata kepadamu : sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya,
ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka
berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.” Dengan ini maka dalam kepemimpinan
Kristen berlaku kepemimpinan seperti yang diteladankan oleh Yesus yaitu kepemimpinan
yang melayani. Manusia sebagai gambar Allah adalah para pemimpin. Dalam relasi antar
manusia ia dipanggil untuk melaksanakan kepemimpinan yang mencerminkan kepemimpinan
Allah, dengan kata lain mencerminkan kepemimpinan Yesus Kristus. Kepemimpinan Kristen
tidak mengenal cara mengeksploitasi manusia lain tapi melayani mereka dengan kasih.
Kepemimpinan Kristen harus dimulai dari Allah. Segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan
untuk kemuliaan Allah, termasuk kepemimpinan. Surat rasul Paulus kepada jemaat di Kolose
menyebutkan, “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan
yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan; segala sesuatu diciptakan oleh Dia
dan untuk Dia.” Allah tidak hanya menciptakan planet, matahari, lautan, tanah, udara, air,
bebatuan, marga satwa, tumbuh-tumbuhan, hukum-hukum alam, manusia dan seluruh semesta
yang dapat dilihat oleh mata jasmani manusia. Tetapi termasuk di dalamnya segala yang tak
terlihat. Maka segala potensi yang ada di dalam diri manusia termasuk potensi kepemimpinan
adalah ciptaan-Nya. Rick Warren dalam bukunya The Purpose Driven Life mengatakan dengan
tegas bahwa segala sesuatu harus diawali dengan Allah. Demikian pula dengan kepemimpinan.
Kepemimpinan Kristen ada pertama-tama untuk Allah yaitu untuk mendatangkan kemuliaan
bagi-Nya. Tuhan Yesus memahami dengan sempurna bahwa itulah tujuan misi-Nya di bumi,
sehingga Ia berkata kepada Bapa, “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan
menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.” Bagi
seorang Kristen, kepemimpinan menjadi sarana untuk mempermuliakan Allah.
Kepemimpinan juga dapat dijadikan sarana bersyukur kepada Allah. Seorang Kristen yang
sungguh mengenal dan mengasihi Tuhan Yesus pasti menjadikan hidupnya sebagai tanda
syukur kepada Allah. Salah satunya adalah melalui apa yang dilakukan, termasuk
kepemimpinan. Rasul Paulus berkata, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan
segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Menjalankan kepemimpinan
dengan mengingat Tuhan, dilakukan sebagai ungkapan syukur menjadikan kepemimpinan
Kristen berfokus pertama-tama kepada Tuhan baru kemudian kepada manusia. Pemimpin
Kristen menjalankan kepemimpinannya harus dengan semangat, sebaik dan segiat mungkin,
seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia saja.
Alkitab menunjukkan bahwa setiap orang yang menerima Yesus Kristus mendapat anugerah
kepemimpinan, yakni memperoleh kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Dengan menerima
kuasa, berarti setiap pengikut Tuhan Yesus Kristus memiliki hak, kekuatan, kapasitas,
kompetensi, kemampuan, pengaruh atau otoritas untuk memimpin. Setiap murid Yesus Kristus
diberi kuasa untuk meraih orang-orang di sekitarnya yang belum mengenal kasih Yesus Kristus.
Dengan kuasa yang sudah diberikan Tuhan ini, maka setiap orang Kristen adalah pemimpin.
Pemimpin Kristen adalah seorang yang sudah menerima Yesus Kristus dan telah diubahkan
untuk kemudian menggerakkan orang lain melalui visi yang Tuhan berikan kepadanya.
Kelebihan pemimpin Kristen dengan demikian tidak bersumber di dalam dirinya, tetapi berada
di dalam keintimannya dengan Tuhan. Selebihnya adalah pemberian atau anugerah Tuhan.
Seorang pemimpin Kristen bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan tidak kepada kelebihan
pribadi yang ada padanya, maka ia menjadi peka pada suara-Nya, mengetahui visi-Nya, lebih
patuh kepada-Nya dan makin bertumbuh terus di dalam Tuhan. Pertumbuhan itu mencakup
aspek pengetahuan, emosi dan perilakunya.
Setiap orang Kristen adalah pemimpin. Kepemimpinan adalah hakikat, mandat dan berkat
Allah. Hakikat kemanusiaan seseorang tercermin dari kepemimpinannya. Sebagai mandat,
kepemimpinan diyakini sebagai penugasan Allah sehingga harus dilaksanakan dan
dipertanggungjawabkan kepada Allah. Dan akhirnya, kepemimpinan sebagai berkat,
kepemimpinan harus disyukuri karena merupakan karunia Allah yang sangat unik. Sesuatu
yang tidak dimiliki makhluk lain. Semua orang Kristen diberi kapasitas yang beragam untuk
memimpin oleh Tuhan dan harus menyediakan diri dipimpin Tuhan Sang Pemimpin yang
sesungguhnya. Dalam hal ini, setiap orang Kristen sebagaimana dikatakan Ken Blanchard dan
Phil Hodges dalam bukunya Lead Like Jesus, dalam perspektif kepemimpinan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai pemimpin dalam peran hidup dan pemimpin dalam
organisasi. Setiap orang adalah pemimpin karena mereka mempengaruhi orang lain, baik
secara positif maupun negatif. Setiap orang adalah pemimpin dalam peran hidup. Pemimpin
Kristen menggunakan pengaruhnya dalam rangka untuk melayani orang lain, bukan dalam
rangka dilayani. Pemimpin dalam peran hidup berbeda dengan pemimpin dalam organisasi.
Pemimpin dalam organisasi menyangkut posisi dan jabatan yang diberikan dengan tempat
nyaman dalam organisasi untuk melayani kebutuhan dan kebudayaan organisasi. Perbedaan
dramatis diantara pemimpin dalam peran hidup dan pemimpin dalam organisasi adalah dalam
hal lamanya relasi pemimpin dalam memberi pengaruh mempengaruhi. Pemimpin dalam peran
hidup berfungsi mempertahankan hubungan dalam jangka panjang, sedangkan pemimpin
dalam organisasi bekerja untuk satu musim dalam suatu lingkungan hubungan dan perubahan
yang temporer. Hampir selalu, pemimpin dalam peran hidup menjadi prasyarat untuk menjadi
calon pemimpin dalam organisasi. Pemimpin Gereja termasuk kategori pemimpin organisasi
dan semua pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Oswald Sanders mengatakan bahwa
pemimpin Kristen adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat-
sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas tinggi karena dipakai
untuk melayani dan memuliakan Allah, sedangkan sifat-sifat spiritualitas Kristennya
menyebabkan ia sanggup mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk mentaati dan
memuliakan Allah. Henry dan Richard Blackaby menyebutkan pemimpin Kristen
menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah. George Barna mengatakan bahwa
pemimpin Kristen yaitu seorang yang dipanggil Allah untuk memimpin dengan dan melalui
karakter seperti Kristus. Menurut J. Robert Clinton, pemimpin Kristen adalah seseorang yang
telah dipanggil Allah sebagai pemimpin yang ditandai oleh kapasitas memimpin dan
tanggungjawab pemberian Allah untuk memimpin sekelompok umat Allah untuk mencapai
tujuannya bagi serta melalui kelompok. Penulis mengartikan pemimpin sebagai orang yang
memberikan pengaruh positif kepada pengikutnya melalui kerja tim dengan mengefektifkan
seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai visi bersama dengan tetap memperhatikan
kepentingan yang dipimpinnya. Pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Pemimpin Gereja
dalam hal ini termasuk kategori pemimpin dalam organisasi. Menurut Penulis, ciri khas yang
membedakan pemimpin Gereja dengan pemimpin pada umumnya adalah persoalan motivasi,
tujuan dan jalan yang ditempuh. Motivasi dan tujuan pemimpin Gereja adalah untuk melayani
bukan untuk dilayani. Jalan yang ditempuh para pemimpin Gereja juga dengan jalan melayani.
Motivasi, tujuan dan jalan yang ditempuh oleh pemimpin Gereja harus meneladan pada
motivasi melayani, tujuan melayani dan jalan melayani seperti dalam kepemimpinan Yesus
Kristus. Otoritas kepemimpinan pemimpin Gereja didapatkan dari Yesus Kristus, Sang Pemilik
Gereja. Tanpa kepemimpinan maka Gereja bagai anak panah tanpa busur. Mustahil Gereja
dapat melaksanakan fungsinya bila tidak ada kepemimpinan yang kuat dan efektif.
Kepemimpinan adalah proses memberikan pengaruh positif kepada pengikutnya melalui kerja
tim mengefektifkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai visi bersama. Dengan
demikian, kepemimpinan pemimpin Gereja dijalankan oleh tim kepemimpinan Gereja yang
disebut Majelis Jemaat. Mereka bekerjasama dengan mengoptimalkan segenap potensi dan
sumber daya yang dimiliki dalam rangka mencapai visi bersama. Dalam kepemimpinan
Kristen, visi bersama yang dimaksud haruslah merupakan visi yang berasal dari Tuhan dan
bukan sekedar visi yang disepakati bersama. Kepemimpinan pemimpin Gereja dijalankan
dengan motivasi melayani, dengan jalan melayani untuk kemuliaan nama Tuhan. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam Roma 11:36, “sebab segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia
dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.”
Hal yang penting dalam kepemimpinan Kristen adalah tentang kaitan erat antara prestasi dan
kerendahan hati pemimpin. Hal itu diwujudkan oleh pemimpin dengan melakukan tugas
seorang “pelayan” atau “hamba” terhadap orang-orang yang dipimpinnya dengan semangat
berprestasi setinggi-tinginya. Kehormatan yang diterima pemimpin tidak didasarkan atas status
formal seseorang sebagai pemimpin, tetapi justru oleh pelayanan yang diberikan secara baik.
Itulah bentuk pelayanan yang menurut Meno Soebagjo sebagai model keteladanan yang
mendatangkan kehormatan. Pendapat Meno Soebagjo didasarkan atas cerita tentang
permintaan ibu Yakobus dan Yohanes yang meminta agar kedua anaknya diberi tempat atau
posisi penting dalam Kerajaan Allah. Pada kesempatan itu Yesus mengajar bahwa barangsiapa
ingin menjadi yang terbesar atau terkemuka, hendaklah ia menjadi pelayan dan hamba bagi
lainnya. Yesus tidak melarang orang untuk menjadi yang terkemuka, dan Yesus
memberitahukan caranya yaitu dengan menjadi pelayan yang melayani, sebagaimana yang
Yesus terapkan. Menurut A.T. Hanson, Rasul Paulus dalam 1 Korintus 3:18-4:16; 9:1-2; 12:24-
30, dan 2 Korintus 3-6 menjelaskan bahwa pelayanan Yesus Kristus telah menjadi dasar bagi
pelayanan para rasul yang mengakibatkan berdirinya gereja. Setelah gereja berdiri, maka
pelayanan para rasul dikerjakan dengan mengajak seluruh warga gereja untuk memberikan
pelayanan. Tuhan Yesus menjadikan diriNya sebagai teladan bagi murid-murid-Nya. Teladan
dalam hal berdoa, rela berkorban, kasih-Nya kepada umat manusia, ketegasan-Nya, ketaatan-
Nya kepada Allah, pengampunan-Nya, karakter-Nya, dan seluruh hidup-Nya. Yesus sendiri
mengatakan bahwa diri-Nya adalah teladan itu. Pada suatu hari, sesudah Dia membasuh kaki
para murid-Nya, Yesus mengenakan pakaian-Nya dan kembali duduk. Yesus bertanya kepada
para murid, “Mengertikah kamu apa yang telah Aku perbuat kepadamu?” Tanpa menunggu
komentar dari para muridNya yang diliputi rasa heran dan malu, kemudian Yesus berkata :
“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan
Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu
pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu,
supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun
seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya.” Kepemimpinan Yesus Kristus bagi pemimpin
gereja bukan salah satu alternatif tetapi satu-satunya pilihan dalam praktik kepemimpinan
mereka. Gagasan tentang model kepemimpinan melayani sebenarnya sudah ditulis cukup
panjang sejak tahun 1970 oleh Robert K. Greenleaf, pengarang dan pendiri Greenleaf Center
for Servant-Leadership. Menurut Robert K. Greenleaf, para pengikut yang dilayani oleh para
pemimpin pelayan akan menjadi sehat, bijaksana, bebas, lebih swatantra, dan menyerupai diri
mereka yaitu para pengikut, yang menjadi pemimpin. Orang Kristen diutus oleh Tuhan Yesus
Kristus pertama-tama bukan untuk menjadi pemimpin tetapi untuk mengakui bakat dan talenta
yang dimiliki dalam rangka melayani. Setiap orang Kristen dipanggil untuk melayani seperti
Yesus dan untuk mengasihi satu sama lain dengan kualitas kasih seperti Yesus. “Aku
memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti
Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian
semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling
mengasihi." Dengan hidup saling mengasihi, kualitas sebagai murid-murid Yesus Kristus akan
nampak. Inilah yang menjadi ciri khas murid Yesus di segala masa dan tempat. Mereka harus
saling mengasihi, termasuk dalam relasi di kepemimpinan mereka. Pola kepemimpinan Yesus
Kristus tak pernah mati. Para murid-Nya di segala tempat dan masa diberi-Nya kuasa untuk
menghidupkannya. Kepemimpinan yang melayani telah dan harus menjadi pola tetap dalam
kepemimpinan Kristen. A.B Susanto mengatakan bahwa kehandalan seorang pemimpin tidak
hanya ditentukan oleh adanya integritas intelektual dan integritas moral semata, melainkan
harus juga dilengkapi dengan integritas religius, yaitu sifat dan sikap dasar seorang pemimpin
berdasarkan iman kepercayaannya. Bagi pemimpin-pemimpin Kristen dengan demikian, harus
menjalankan kepemimpinan mereka meneladan pada kepemimpinan Yesus Kristus. Salah satu
peranan utama seorang pemimpin yang berhasil guna adalah menunjukkan teladan yang baik
dan kemudian melatih orang lain cara untuk mengikutinya. Rasul Paulus, pemimpin besar dari
gereja perdana menulis : “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.”
Kitab Injil mengisahkan bagaimana Yesus Kristus memusatkan perhatian-Nya dalam melatih
para murid-Nya, dan Paulus melakukan hal serupa. Ia ingin agar para pengikutnya melakukan
apa yang dikerjakannya. Paulus mengetahui bahwa itulah rahasia kepemimpinan yang berhasil
guna. Yesus Kristus bukan hanya memberi teladan. Dia melatih para muridNya untuk
mengerjakan apa yang Dia kerjakan. Bahkan hal-hal yang lebih besar daripada apa yang Dia
sudah kerjakan. “Aku berkata kepadamu: sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia
akan juga melakukan pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan
yang lebih besar daripada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa.” Yesus bukan hanya melatih para
pengikutNya untuk meniru apa-apa yang Dia sudah lakukan, tujuan-Nya adalah agar mereka
mengerjakan hal-hal yang lebih besar daripada yang sedang dilakukan-Nya. Inilah tanda
pemimpin sejati. Inilah tanda pemimpin yang berhasil guna. Tugas pemimpin Kristen
(termasuk pemimpin gereja) adalah bukan hanya melatih pengikut mereka untuk melakukan
apa yang sudah atau sedang dikerjakan tetapi juga mendorong semangat mereka untuk
melakukannya bahkan dengan cara yang lebih baik.
Tokoh Yesus dari Nasaret sangat kontroversial. Sejak kemunculan-Nya sebagai Pemimpin di
muka umum pada sekitar tahun 27, banyak yang bertanya-tanya tentang identitas-Nya :
Siapakah Anak Manusia itu ? Dan jawabannya beraneka ragam. Ada yang mengatakan :
Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia dan ada pula yang mengatakan Yeremia,
atau salah seorang dari para nabi. Lalu, pada masa selanjutnya, ada yang memandang-Nya
sebagai tokoh revolusi, nabi eskhatologis, nabi sosial, orang suci kharismatis, guru hikmat,
filsuf yang sinis, dsb. Tetapi pengakuan iman Kristen ortodoks menyatakan bahwa Yesus dari
Nasaret sesungguhnya adalah Allah yang menjadi manusia. “Yesus adalah Tuhan” merupakan
bunyi pengakuan iman Kristen yang pertama. Pokok pengakuan iman ini secara mutlak
membedakan agama Kristen dengan agama Yudaisme dan Islam. Dengan mengakui Yesus
Kristus sebagai Tuhan yang berkuasa di sorga dan di bumi, sudah sewajarnya gereja sebagai
milik-Nya mengakui dan tunduk kepada otoritas kepemimpinan-Nya. Kepemimpinan Yesus
Kristus menjadi sumber kepemimpinan gereja. Kepemimpinan gereja harus meneladan kepada
kepemimpinan Yesus Kristus karena Dialah Guru dalam kepemimpinan para murid-Nya
sepanjang masa. Pemimpin gereja memiliki kelebihan pertama-tama bukan karena
keunggulannya dibandingkan pengikutnya, tetapi karena keintimannya dengan Tuhan Yesus
Kristus. Pemimpin gereja memperoleh kuasa dan kemampuan karena anugerah Tuhan,
bergantung pada Tuhan dan tidak bersandar pada kelebihan pribadi yang dimiliki. Di situlah
terletak kelebihannya sebagai pemimpin.
Dari hasil penelitian Rick Warren, saat ini, Yesus Kristus adalah Pemimpin terbesar di dunia.
Pengikutnya ada 2,1 miliar orang. Tak seorangpun yang menyamainya. Warren mempercayai
bahwa kepemimpinan melayani yang dilakukan Yesus adalah jenis kepemimpinan terbaik. Lee
Brase berkata, “Jika anda melatih seseorang maka ia akan menjadi seperti anda tetapi jika anda
melayaninya, langit adalah batas dari perkembangannya.” Melalui seluruh masa hidup dan
kepemimpinanNya, Yesus menegaskan bahwa Allah tidak mencari pemimpin tetapi pelayan
yang membiarkan Allah menjadi Pemimpinnya dan berfokus pertama-tama pada kerajaan
Allah. Pemimpin dalam perspektif Yesus, harus mampu memberikan pelayanan yang baik demi
kepentingan pengikut yang dipimpinnya. Pemimpin dipanggil untuk melayani, yaitu
memperhatikan, menolong dan mempedulikan orang-orang yang dipimpin. Itulah fungsinya,
dan tanpa adanya kesungguhan dan kemampuan itu, pemimpin tidak diperlukan.
Yakob Tomatala juga menyimpulkan bahwa keunikan kepemimpinan Kristen terletak di sini,
pemimpin harus memelihara sikap melayani. Kenneth O. Gangel menguraikan empat hal yang
membedakan kepemimpinan Kristen dengan kepemimpinan secara umum. Perbedaan pertama
terletak pada sumber kekuasaan kepemimpinan Kristen adalah dari Allah. Kedua,
kepemimpinan Kristen memiliki preseden historis dari contoh-contoh kepemimpinan para
tokoh pemimpin di dalam Alkitab. Ketiga, keunikan dinamika rohani dalam kepemimpinan
yakni : penerimaan akan tanggungjawab, lemah lembut dalam memimpin, kesediaan diajar dan
perhatian kepada pengikutnya. Dan keunikan yang keempat tentang analisis birokrasi dalam
kepemimpinan Alkitabiah dimaknai sebagai alat yang baik tetapi tuan yang buruk. Menurut
Gangel, inilah empat keunikan kepemimpinan yang melayani. Alasan Yesus menitikberatkan
unsur pelayanan dalam kepemimpinan sebenarnya disebabkan akan adanya bahaya utama yang
terkandung dalam kepemimpinan yaitu keangkuhan. Tetapi itu bukan alasan yang terutama.
Menurut John Stott, hal ini lebih disebabkan dalam kepemimpinan yang melayani terdapat
pengakuan akan harkat dan martabat orang-orang sebagai manusia. Manusia adalah gambar
Allah. Dan sebagai gambar Allah, mereka seharusnya dilayani dan bukan dieksploitasi,
dihormati dan bukan dimanipulasi. Kepemimpinan yang melayani menuntut kepemimpinan
yang menanggalkan jubah, berlutut, mengambil sebuah handuk dan membasuh kaki para
pengikutnya seperti yang telah dilakukan oleh Yesus. Sungguh kontras dengan kepemimpinan
yang disertai keangkuhan karena kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang
mengakui begitu tinggi harkat dan martabat pengikutnya sebagai manusia.
Kepemimpinan yang melayani seperti Kristus memiliki sembilan ciri khas. Sembilan ciri khas
kepemimpinan yang melayani ini secara konsisten dijalani dan dihidupi oleh Yesus sepanjang
pelayanan-Nya kepada dan bersama para murid-Nya. Kepemimpinan yang melayani
seharusnya diterapkan oleh semua pemimpin Kristen.
Prinsip pertama : Melayani dengan Visi yang Berasal Dari Tuhan. Pemimpin yang baik
digerakkan oleh visi. Visi artinya seni atau kemampuan untuk melihat sesuatu yang tak terlihat.
Pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang mampu untuk melihat serta memahami sesuatu
yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang. Bill Hybels mendefinisikan visi sebagai “suatu
gambaran masa depan yang menghasilkan gairah”. Visi membuat seorang pemimpin
dimampukan memandang masa depan yang lebih baik. Hal ini menimbulkan semangat, gairah
yang menyala-nyala untuk mencapainya. Visi inilah yang membuat seorang pemimpin mampu
bertahan dalam kesulitan. Bagi pemimpin Kristen, visi yang dipakai olehnya untuk memimpin
bukanlah visi yang dibuat sendiri atau hasil dari konsensus bersama melainkan harus
merupakan visi yang Tuhan berikan kepadanya. Hal ini juga dikatakan oleh George Barna.
Menurutnya, visi sejati berasal dari Tuhan. Bila seorang pemimpin Kristen memunculkan suatu
visi tentang masa depan, visinya bisa keliru, kurang dan terbatas. Visi Tuhanlah yang sempurna
dalam segala hal. Dan Tuhan memberikan visi itu kepada para pemimpin Kristen. Allah adalah
Sumber, Pemberi visi serta Subjek yang mengimpartasikan visi itu kepada pemimpin yang
dipilih-Nya. Karena visi itu berasal dari Tuhan, maka orang-orang yang ingin memimpin
karena memiliki karunia, karena pengalaman, karena mereka menikmati kekuasaan, karena
memiliki ide-ide untuk membangun, karena mereka mencintai perhatian, atau mereka telah
diatur untuk melakukan itu adalah orang-orang yang berbahaya bila menjadi pemimpin,
motivasi mereka tidak tepat. Pemimpin adalah pelayan. Mereka yang mencari posisi
kepemimpinan karena alasan-alasan selain memenuhi visi yang diberikan Tuhan, bukanlah
pemimpin yang sejati. Setelah mendapatkan visi dari Tuhan, pemimpin harus menjaga pikiran
tetap pada satu jalur. Hal ini tidak mudah. Disiplinlah kuncinya. Bila tidak disiplin, menurut
Billy Arcement, pemimpin akan menjadi seperti anak bungsu dalam perumpamaan anak yang
hilang. Ia mengalami banyak penderitaan sampai akhirnya ia kembali kepada tujuannya yang
sebenarnya. Bila terjadi demikian, kembali kepada visi yang diberikan Tuhan adalah
jawabannya.
Pinsip kedua : Melayani dengan Pengurapan Roh Kudus. Dalam Perjanjian Baru, Roh disebut
hampir 300 kali dan hampir selalu dihubungkan dengan “kekuasaan”. Saat Yesus akan pergi
ke Surga, para pengikutNya gentar menghadapi masa depan mereka. Dalam Injil Yohanes 16:1-
16, Yesus mengatakan bahwa para muridNya memerlukan Penolong yaitu Roh Kudus dalam
pelayanan mereka. "Semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya kamu jangan kecewa dan
menolak Aku. Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang
membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Mereka akan berbuat
demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku. Tetapi semuanya ini
Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat, bahwa Aku telah
mengatakannya kepadamu. Hal ini tidak Kukatakan kepadamu dari semula, karena selama ini
Aku masih bersama-sama dengan kamu, tetapi sekarang Aku pergi kepada Dia yang telah
mengutus Aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepada-Ku: Kemana
Engkau pergi? Tetapi karena Aku mengatakan hal itu kepadamu, sebab itu hatimu berdukacita.
Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi.
Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku
pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu. Dan kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia
akan dosa, kebenaran dan penghakiman; akan dosa, karena mereka tetap tidak percaya kepada-
Ku; akan kebenaran, karena Aku pergi kepada Bapa dan kamu tidak melihat Aku lagi; akan
penghakiman, karena penguasa dunia ini telah dihukum. Masih banyak hal yang harus
Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia
datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia
tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah
yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia
akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari
pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan
memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. Tinggal sesaat saja dan kamu
tidak melihat Aku lagi dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku." Kenaikan
Yesus Kristus ke surga adalah agar Roh Kudus dikirimkan kepada para muridNya. Itu jauh
lebih baik. Bahkan, Yesus berkata bahwa para murid akan menerima kuasa kalau Roh Kudus
itu turun atas mereka, sehingga mereka memiliki keberanian menjadi saksi-saksi Kristus
sampai ke ujung bumi. Yesus sendiri memulai pelayanan-Nya dengan pengurapan Roh Kudus.
Dia dibaptis oleh Yohanes dan Roh Kudus turun atas-Nya dalam rupa seperti burung merpati.
Dalam kuasa dan pimpinan Roh Kudus, Yesus menang atas setiap pencobaan yang dilakukan
iblis di padang gurun. Tim kepemimpinan yang melayani akan saling mengenal satu sama lain,
saling menghormati dan bekerja sama mencapai sasaran bersama. Jika pelayanan itu dilakukan
bersama-sama dengan Roh Kudus maka keefektifan menjadi berlipat ganda.
Prinsip ketiga : Melayani dengan Kerendahan Hati dan Kepercayaan Diri. Menurut Henri
Nouwen, salah satu godaan para pemimpin adalah godaan ingin menjadi populer, hebat dan
berkuasa. Popularitas dan kekuasaan membuat pemimpin kehilangan salah satu norma
kebaikan seorang pemimpin yaitu kerendahan hati. Melayani dengan kerendahan hati hanya
dapat dilakukan ketika seseorang menyadari bahwa dirinya adalah milik Allah dan
mengerjakan misi Allah. Kerendahan hati adalah sikap hati yang menunjukkan pemahaman
mendalam atas keterbatasan dirinya untuk menyelesaikan segala sesuatu sehingga terdapat
pengakuan atas keberhasilan bukan semata-mata berasal dari kemampuannya sendiri yang
terbatas. Pemimpin yang rendah hati mengamini dengan sungguh perkataan Tuhan Yesus
dalam Injil Yohanes 15:5, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa
tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak
dapat berbuat apa-apa”. Pada pihak lain, pemimpin yang rendah hati juga harus memiliki
kepercayaan diri. Mereka tidak menyangkal kekuatan, kecerdasan dan kelebihan mereka tetapi
mereka mengakui bahwa semua yang ada padanya itu anugerah. Tuhan memakai mereka.
Tuhan yang memiliki kuasa kepemimpinan dan melalui mereka kuasa kepemimpinan itu
dinyatakan. Kerendahan hati adalah kualifikasi pemimpin yang dicari Allah. Allah
menginginkan seorang yang setia, bukan seorang pejuang yang mengandalkan kekuatannya
sendiri. Pemimpin yang mengandalkan Tuhan atau pemimpin yang rendah hati akan menjadi
pemimpin yang melayani. Kepemimpinan yang melayani bukan hanya berhenti kepada
kerendahan hati tapi juga kepercayaan diri yaitu kepercayaan diri yang bersandar pada Allah.
Yesus tahu bahwa Allah mencintai-Nya tanpa batas. Demikian pula pemimpin Kristen
seharusnya memahami diri mereka.
Prinsip keempat : Melayani dengan Karakter Kuat. Integritas dan kepribadian adalah dua hal
yang membentuk karakter seseorang. Integritas adalah satunya kata dengan perbuatan. Setiap
janji ditepati. Itulah integritas. Sementara itu, kepribadian merupakan sifat-sifat hati yang baik,
misalnya sopan santun, kejujuran, kebaikan hati, dsb yang memudahkan proses komunikasi.
Karakter lebih dari sekedar perkataan. Karakter seseorang menentukan siapa ia sesungguhnya.
Jika perbuatannya bertentangan dengan apa yang ia katakan, maka karakter orang tersebut tidak
baik. Tetapi karakter berbeda dengan talenta. Talenta adalah karunia, tetapi karakter adalah
pilihan. Setiap orang bisa memilih karakternya sendiri dan dapat dikembangkan. Jack W.
Hayford mengatakan bahwa perkembangan karakter kepemimpinan memerlukan lebih dari
sekedar praktik disiplin lahiriah, karena hal itu melibatkan hati dan bukan hanya kebiasaan.
Karakter bukan hanya berhubungan dengan pengabdian, karena hal itu melibatkan transformasi
bukan sekedar inspirasi. Juga bukan sekedar kepatuhan pada peraturan karena melibatkan Roh
Kudus yang berkarya dalam batin seseorang. Karakter juga bukan hanya soal kekudusan hidup
pribadi tetapi hidup yang transparan di hadapan orang lain yang didorong hati yang penuh
ketulusan. Karakter yang kuat akan menghasilkan reputasi di hadapan para pihak. Stephen R.
Covey berpendapat bahwa karakter pada dasarnya adalah gabungan dari kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan berulang-ulang. Tuhan Yesus melayani dengan karakter kuat. Apa yang
dikatakanNya selalu diakukanNya. Yesus adalah Pemimpin berintegritas. Kepribadian-Nya tak
tercela. Yesus menjadikan diri dan kehidupan-Nya sebagai bukti dari segala pengajaran-Nya.
Prinsip kelima : Melayani dengan Menjaga Kehidupan Doa. Seorang pemimpin harus mampu
mendengarkan suara Tuhan. Ia tidak tergesa-gesa membuat keputusan. Ia menunggu suara-
Nya. Ada saat di mana keputusan cepat dan tepat harus diambil tetapi keputusan
dipertimbangkan sedemikian rupa dengan mempergumulkannya dalam doa. Meskipun
pemimpin-pemimpin dunia dan pemimpin-pemimpin Kristen dapat memimpin dengan atau
tanpa doa, tetapi pemimpin-pemimpin besar dalam Alkitab adalah para pemimpin yang berdoa.
Pemimpin harus menjaga relasinya dengan Tuhan, menghormati-Nya dan menjaga kekudusan
hidupnya. Pemimpin adalah seorang yang panca indera rohaninya peka dan terlatih dengan
baik. Disiplin rohani dan komunikasi yang intim dengan Tuhan adalah kuncinya. Ia adalah
seorang pemimpin, sekaligus pendoa. Keberhasilan dan pujian orang banyak bisa menjadi
racun bagi seorang pemimpin, khususnya para pemimpin yang memiliki pemikiran bahwa
harga diri merupakan kombinasi dari kinerja yang bagus dan pendapat orang lain. Mengambil
waktu seorang diri bersama Tuhan merupakan kebiasaan penting untuk memurnikan panggilan
pelayanan.
Prinsip keenam : Melayani dengan Belas Kasihan. Pemimpin harus memiliki belas kasihan
terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Ia memiliki empati dan mengerti kebutuhan orang-
orang yang dipimpinnya. Pemimpin harus memiliki hubungan hati dengan pengikutnya, saling
mengenal dan memiliki kepedulian. Hal ini ditunjukkan Musa tatkala Tuhan berencana
memusnahkan bangsa Israel karena ketidakaatan mereka kepada Tuhan dan beribadah kepada
patung lembu emas. Tuhan berencana akan membentuk umat baru melalui keturunan Musa,
tetapi Musa menolak rencana pemusnahan bangsa Israel dan memohonkan pengampunan bagi
Israel jika tidak Musa meminta namanya dihapuskan saja dalam Kitab Kehidupan. Musa
bertindak demikian karena belas kasihannya kepada umat Israel yang dipimpinnya. Dalam
Kitab Injil digambarkan bagaimana Yesus Kristus yang penuh belas kasihan. Sesudah Yesus
menyembuhkan orang lumpuh dan mengampuni dosanya, disaksikan orang banyak Yesus pergi
dan menjumpai Matius yang berprofesi sebagai pemungut cukai. Matius sangat dibenci oleh
orang Yahudi karena dipandang sebagai orang berdosa. Tetapi didorong belas kasihan-Nya,
Yesus mendekati rumah cukai itu tanpa risih, tidak peduli apa komentar orang perihal tindakan-
Nya yang tak lazim dan mengajak Matius untuk menjadi salah seorang murid-Nya. “Setelah
Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia
berkata kepadanya: "Ikutlah Aku." Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia. Kemudian
ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa
dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. Pada waktu orang Farisi melihat
hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama-
sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" Yesus mendengarnya dan berkata: "Bukan
orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman
ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan
untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." Pribadi Yesus yang berbelas kasihan
dikisahkan oleh penulis Injil. Enam belas kali Yesus dikisahkan oleh Matius, Markus dan Lukas
menunjukkan belas kasihan dan mengajarkan pentingnya belas kasihan. Yesus menaruh belas
kasihan kepada orang banyak, menyembuhkan orang buta, menyembuhkan orang kusta,
membangkitkan orang mati di kota Nain dan juga Lazarus, semua dilakukan-Nya didorong
oleh belas kasihan.
Prinsip ketujuh : Melayani dengan Kerelaan Berkorban. Di dunia ini tidak ada olahragawan
yang sukses dari sejak lahirnya. Mereka harus melalui pengorbanan demi pengorbanan dalam
bentuk latihan yang tidak ada hentinya. Demikian pula pemimpin berpengalaman bukan karena
terjadi demikian saja tetapi hasil perjalanan panjang melalui banyak kerikil-kerikil tajam.
Pemimpin harus berkorban, bukan hanya berkorban waktu, tenaga dan pemikiran tetapi juga
untuk berkorban meninggalkan kenyamanan demi meningkatkan kapasitas dirinya. Pemimpin
yang melayani tidak menggunakan pendekatan kekuasaan melainkan memberi dan membagi
wewenang. Ia tidak mencari atau mementingkan rasa hormat dari pengikutnya tapi
mengedepankan hubungan dan komunikasi dengan mereka. Pemimpin yang melayani akan
rela berkorban untuk kepentingan pengikutnya. Yesus Kristus mengajarkan hal ini dalam Injil
Yohanes 10:11-15 : Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya
bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan
pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba
itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari
karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Akulah gembala yang
baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti
Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-
domba-Ku. Yesus menjalankan ajaran-Nya itu melalui hidup dan kematian-Nya di kayu salib.
Kerelaan pemimpin untuk berkorban bagi kepentingan pengikutnya menjadikan pemimpin
dihormati dan sekaligus dikasihi oleh para pengikutnya. Dalam dunia kepemimpinan, satu
pengorbanan saja belumlah cukup untuk membawa sukses. Pengorbanan adalah sesuatu yang
konstan dalam kepemimpinan. Pengorbanan adalah proses yang berkelanjutan, bukan suatu
pengorbanan yang sekali bayar. Biasanya, semakin tinggi kepemimpinannya, semakin besar
pengorbanan yang telah diberikan. Tak ada sukses tanpa pengorbanan. Pemimpin harus rela
berkorban.
Prinsip kedelapan : Melayani dengan Memberdayakan, Mengkader dan Membangun Tim
Kepemimpinan. Sepintas lalu, tampaknya Yesus melakukan apa yang dilakukan pemimpin-
pemimpin besar lainnya, yaitu menuntun para pengikut-Nya di sepanjang jalan yang harus
ditempuh mereka. Tetapi itu bukan tujuan utama Yesus Kristus sebagai seorang pemimpin.
Tujuan utama-Nya sebagai seorang pemimpin bukanlah menuntun para murid-Nya ke kayu
salib, meskipun itu juga dilakukan-Nya. Tujuan utama-Nya adalah membina para pemimpin
yang berasal dari pengikut-Nya. Itulah sebabnya, Yesus sangat berhasil dalam kepemimpinan-
Nya. Demikian pula gereja pada abad pertama. Seluruh gaya kepemimpinan Yesus selama tiga
tahun pelayanan-Nya adalah untuk mencari, memilih dan melatih dua belas pengganti-Nya.
Menjelang Ia disalibkan, agama Kristen baru sedikit penganutnya. Yesus menetapkan pola
untuk apa yang disebut menjadikan semua bangsa murid-Nya ketika Ia mengutus murid-murid-
Nya untuk pergi dan memenuhi apa yang telah dimulai-Nya. Yesus tidak mengembangkan
agama Kristen menjadi gerakan seluruh dunia, namun para pengikut-Nyalah yang
melakukannya. Yesus memilih untuk tidak menuntaskan kehendak-Nya tanpa mereka yang
meneruskannya. Pada zaman modern ini kepemimpinan Kristen berkembang bukan hanya
melalui gereja Tuhan tetapi juga dalam Lembaga-lembaga Penginjilan. Bahkan bukan
pemberdayaan yang dilakukan berjenjang dan bukan hanya satu lapis saja. Tom Philips, salah
satu pemimpin dalam tim pelayanan Billy Graham menjelaskan prinsip-prinsip dalam
membangun suatu tim pelayanan Kristen, dimana suatu tim harus mempunyai seorang
pemimpin yang memiliki karunia dan komitmen. Tim terdiri dari pria dan wanita yang
memiliki hati yang sudah dijamah oleh Allah. Mereka merupakan sekelompok orang yang
bersatu di bawah ke-Tuhanan Yesus Kristus. Tiap anggota tim harus berfokus pada visi,
ditempatkan secara tepat dalam bidang pelayanan tertentu, dalam komunikasi dengan sesama
anggota tim yang terjaga baik. Tim harus selalu dilatih dan diberdayakan. Setiap anggota tim
memahami dan menghormati otoritas yang ada. Mereka memiliki prinsip melayani lebih
penting daripada kedudukan. Bila mengalami kegagalan, tim harus menyadari bahwa hal itu
bisa menjadi suatu langkah menuju sukses. Suasana hubungan tiap anggota tim harus
mencapai tingkat kenyamanan seperti suasana rumah. Tim harus mampu merespons perubahan
dengan tetap fleksibel. Anggota tim menerima pendelegasian, tetapi tidak dilepaskan dan
transparan. Kepemimpinan merupakan kepemimpinan berjenjang, seperti kepemimpinan
Musa. Menjaga kesatuan tim. Setiap pemimpin tim merupakan pelatih bagi mereka yang
dibawah otoritasnya, setiap anggota tim yang tidak berpartisipasi diganti dan setiap anggota
tim selalu terfokus dalam tujuan. Kepemimpinan yang melayani dengan demikian adalah
kepemimpinan yang membangun tim, memberdayakan dan mengkader pengikutnya untuk
menjadi pemimpin besar di kemudian hari dan mengabdi bagi kerajaan Allah. Kepemimpinan
dalam tim sangat dimengerti di dunia olah raga. Seorang pelatih basket Duke University tahun
2001 bernama Mike Krzyzewsky mengatakan bahwa membangun tim merupakan keharusan
untuk mencapai apa yang tak dapat dicapai sendirian. Semua orang lemah saat mereka
sendirian, pada umumnya, daripada jika mereka bersatu. Pemimpin Kristen yang menghormati
Tuhan Yesus sudah seharusnya tidak menuntun pengikutnya kepada diri mereka sendiri tetapi
mengupayakan agar melalui kepemimpinan tim, orang-orang yang dipimpinnya menjadi
pemimpin. Kepemimpinan tim sangat mengenal pendelegasian. Pendelegasian adalah
pembagian berkat keterlibatan kepada sebanyak mungkin orang. Tanpa pendelegasian,
anggota tim kepemimpinan mengalami kelumpuhan kreativitas dan terhambat
pertumbuhannya.
Prinsip kesembilan : Melayani dengan Keberanian Menempuh Risiko. Keberanian menyulut
kepemimpinan. Keberanian mendorong seorang pemimpin bertanya, apa sebenarnya yang
sedang terjadi? Keberanian memancarkan energi untuk mengeksplorasi bersama tentang masa
depan. Pada pihak lain, rasa takut adalah kebalikan dari keberanian. Perasaan ini berhubungan
dengan hal-hal yang tidak diketahui. Rasa takut membuat seseorang tidak mau mengambil
risiko. Padahal hidup selalu mengandung risiko. Menyeberang jalan adalah risiko. Demikian
pula membuka hubungan baru, mendirikan perusahaan, menanam, dst mengandung risiko.
Tetapi risiko paling besar adalah tidak melakukan apa-apa. Tidak melakukan apa-apa
membawa seseorang kepada entropi, penyebab terjadinya pengecilan otot, terhambatnya aliran
oksigen dalam tubuh dan membawa kematian. Rasa takut mengambil risiko berhubungan erat
dengan tiadanya pengetahuan yang cukup mengenai sesuatu hal. Pada saat mulai mendapatkan
pengetahuan mengenai suatu bidang, situasi, keadaan atau seseorang, rasa takut tersebut
biasanya akan menghilang. Tokoh dalam Perjanjian Lama bernama Musa adalah pemimpin
yang pemberani. Tanpa pengawal dan tanpa senjata, ia menghadap Raja Mesir dan meminta
agar bangsa Israel dilepaskan dari perbudakan. Musa dua belas kali menghadap Firaun
ditemani Harun. Pemimpin harus berani mengambil keputusan, termasuk keputusan yang tidak
populer tetapi dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Dan untuk mengambil keputusan yang
demikian, pemimpin haruslah seorang pemberani. Menurut David Ben-Gurion, keberanian
adalah suatu pengetahuan khusus yaitu pengetahuan akan bagaimana takut kepada apa yang
seharusnya ditakuti, dan bagaimana tidak takut pada apa yang seharusnya tidak ditakuti. Dari
pengetahuan ini muncul kekuatan batin yang mengilhami pemimpin untuk berjalan
menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Dengan keberanian, apa yang tampaknya tidak mungkin
terkadang menjadi mungkin. Keberanian pemimpin akan menular kepada pengikutnya. karena
keberaniannya, orang-orang yang melihatnya akan dengan rela mau menjadi pengikutnya.
Keberanian akan membuka pintu, dan itulah salah satu keuntungannya. Dalam kamus
pemimpin, sifat puas diri dan mengambil posisi defensif akan berdampak pada kemunduran
organisasi. Pemimpin harus berani untuk terus meraih tujuan-tujuan yang lebih tinggi yang bisa
dicapai dengan tetap memperhatikan visi dan misi pokok Lembaga. Yesus melayani dengan
berani. Dia tidak bisa digertak oleh siapapun. Setiap hari Yesus menempuh risiko dalam
pelayanan-Nya di dunia. Bahkan risiko kematian dihadapi-Nya dengan gagah. Hal ini
menginspirasi para murid-Nya untuk memiliki keberanian yang sama. Para murid-Nya berani
menempuh risiko mati syahid dalam pelayanan. Dalam kepemimpinan yang melayani, risiko
bukan untuk dihindari tetapi untuk dihadapi.
Pada prinsipnya, kepemimpinan Kristen memiliki kesamaan dengan kepemimpinan umum,
yaitu sebuah proses terencana yang dinamis. Yang membedakan dalam konteks kepemimpinan
kristiani ada pada proses dan dinamikanya karena kepemimpinan tersebut merupakan rencana
dan campur tangan Tuhan. Dalam Kepemimpinan Kristen, seluruh kegiatan kepemimpinan
berdasarkan pada kehendak Allah dan dalam pencapaiannya adalah dilakukan sesuai dengan
tujuan Allah. Definisi kepemimpinan perspektif Alkitab dapat dipahami dari beberapa
pandangan tokoh kepemimpinan Kristen, di antaranya adalah: Dr. Yakob Tomatala, yang
mengatakan bahwa kepemimpinan Kristen adalah “suatu proses terencana yang dinamis dalam
konteks pelayanan Kristen yang di dalamnya oleh campur tangan Allah, Ia memanggil bagi
diri-Nya seorang pemimpin untuk memimpin umat-Nya guna mencapai tujuan Allah. Disini
dijelaskan bahwa Tuhan dengan rencana-Nya menunjuk seseorang untuk memimpin sesuai
dengan kehendak-Nya. Qswald Sander dalam tulisannya mengatakan bahwa: Kepemimpinan
dalam perspektif Alkitab adalah sebuah campuran antara sifat-sifat alamiah dan rohaniah. Sifat
alamiah yang bukan timbul begitu saja, melainkan diberikan oleh Allah, dan oleh karena itu
sifat-sifat ini akan mencapai efektifitasnya yang tertinggi jika digunakan di dalam melayani
Allah dan untuk kemuliaan-Nya.
Kitab injil mencatat dengan baik mengenai pola kepemimpinan yang dimiliki olehYesus. Pola
kepemimpinan yang agung dapat dipelajari dari keteladanan hidup yang Yesus telah tunjukkan
dalam tiga setengah tahun masa pelayanan-Nya di bumi. Disamping keteladanan hidup,
beberapa kali juga Yesus berbicara langsung mengenai topik kepemimpinan. Menurut Keneth
Boa terdapat dua diantara banyak pengajaran-Nya yang mengandung prinsip-prinsip
kepemimpinan yang tidak dapat ditawar lagi. Prinsip pertama, setelah memilih dua belas murid,
Yesus menyatakan persyaratan bagi mereka yang bercita-cita sebagai pemimpin. Yesus
mengatakan bahwa kualifikasi untuk seorang pemimpin adalah kedalaman rohani para
pemimpin itu. [Lukas 6:39-49] Dalam teks ini Yesus sedang menekankan bahwa pengajaran
pertama tentang kepemimpinan adalah karakter. Pelajaran kedua adalah saat menjelang akhir
hidup-Nya kedua belas murid berdebat tentang siapa yang terbesar diantara mereka. Yesus
menghentikan perselisihan tersebut dengan pengajaran tentang kepemimpinan yang melayani.
Yesus memulai dengan menunjukan bahwa pemimpin di dunia memimpin secara otoriter, tetapi
tidak demikian dengan murud-murid-Nya. Para murid harus memimpin dengan prinsip
melayani. Kemudian Yesus menutupnya dengan memberikan contoh bahwa “Anak manusia
datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani”. Yesus tahu siapa dia dan mengapa
dia ada di dunia ini. Pemimpin yang mengenal diri sendiri dan menemukan alasan keberadaan
di dunia akan cenderung menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh. Sedangkan pemimimpin
yang tidak mengenali diri sendiri dan alasan keberadaannya di dunia akan cenderung tidak
percaya diri, lemah dan mudah terombang ambingkan dengan banyak pendapat. Dari hal ini
dapat berarti bahwa Yesus bisa memimpin dari dalam kekuatan sendiri bukan dari
ketidakpastian atau kelemahan. Yesus berkata beberapa kali, “Mari, ikuti aku.” Dia adalah
suatu contoh pemimpin yang mendorong pengikutnya untuk melakukan apa yang Dia lakukan,
daripada melakukan apa yang hanya Dia katakan. Demikian juga hendaknya seorang
pemimpin. Pemimpin yang baik bukan hanya dituntut untuk bisa mengajar, melaikan juga
harus dapat memberikan teladan nyata dari setiap pengajarannya. Pada saat kebanyakan para
pemimpin membuat jarak untuk menjaga reputasi posisi dan kedudukannya, Yesus justru tidak
takut untuk membangun persahabatan yang erat dengan orang-orang yang di pimpin-Nya. Dia
tidak takut kedekatan bawahannya dengan Dia akan mengecewakan pada perjalanan waktu. Ia
membuka diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi
akibat kedekatannya. Sikap Yesus ini memberikan pengajaran kepada kita bahwa pengaruh
kepemimpinan sejati tidak dapat mengangkat orang lain kecuali pemimpin tersebut mau untuk
hidup bersama dan melayani mereka yang dipimpinnya. Yesus adalah pemimpin yang
mendengarkan orang-orang yang dibawahnya. Karena Dia mengasihi orang lain dengan kasih
yang sempurna, Dia mendengarkan tanpa merendahkan diri orang lain yang menjadi lawan
bicaranya. Ini adalah pembelajaran berharga bagi seorang pemimpin. Menjadi pemimpin tidak
berarti dia harus selalu didengarkan, tapi dia juga mau memberi diri untuk mendengarkan suara
dari arus bawah yang dia pimpin. Kesediaan pemimpin untuk mendengar suara bawahannya
akan membangun rasa percaya diri dan rasa dipedulikan yang diperlukan oleh bawahannya.
Keteladanan pola kepemimpinan Yesus dalam hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin
adalah pemimpin yang terpanggil dan terbeban. Stevri menjelaskan “Beban terhadap kondisi
umat Tuhan yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan mendorong seseorang untuk
melayani dengan penuh arah, energy dan focus”. Beban juga membangkitkan semangat atau
energy untuk berjuang sekalipun harus melewati banyak rintangan yang manjadi tantangan.
Ada beban untuk membangun, beban untuk memajukan, beban untuk memperbaiki, dan beban
untuk membebaskan sesuai dengan kondisi umat yang dipimpin. Karena Yesus mengasihi para
pengikutnya, dia dapat menyesuaikan diri dengan mereka, untuk terus terang bersama mereka.
Dia kadang-kadang menegur Petrus karena dia mencintainya, dan Petrus sebagai orang hebat,
ia dapat tumbuh dari teguran ini. Ada sebuah ayat yang indah dalam kitab Amsal yang harus
kita ingat: “Telinga yang mendengar teguran hidup di antara orang bijak.” Ia yang menolak
pengajaran membenci jiwanya sendiri, tetapi orang yang mendengar teguran mendapat
pengertian. [Amsal 15:31-32]. Ini adalah kriteria pemimpin yang bijak atau pengikut bijak
yang dapat mengatasi “teguran hidup”. Petrus dapat melakukan ini karena dia tahu bahwa
Yesus mengasihi dia, dan karena itu Yesus dapat menempatkan Petrus berada dalam posisi yang
sangat tinggi atau tanggung jawab di Kerajaan. Kepemimpinan Yesus menekankan pentingnya
untuk tidak membedakan orang lain, tanpa berusaha mengendalikannya. Dia peduli dengan
kebebasan para pengikutnya untuk memilih. bahkan pada saat-saat yang begitu penting, harus
memilih secara sukarela untuk melewati Getsemani dan bertahan di kayu salib di Kalvari. Dia
mengajarkan kita bahwa tidak akan ada pertumbuhan tanpa kebebasan nyata. Sekalipun posisi
Yesus memungkinkan untuk mempengaruhi seseorang dengan kuasa-Nya, namun pada
kenyataannya Dia tidak pernah menggunakan kuasa-Nya untuk memanipulasi kepentingan-
Nya kepada orang lain. Yesus pernah membiarkan 5000 orang lebih meninggalkan-Nya
sekalipun kepada mereka Yesus pernah memberi makan mereka semua dengan mengubah lima
roti dua ikan. Ia juga tidak memaksakan Yudas untuk tidak menjual diri-Nya sekalipun pada
dasarnya Yesus sanggup melakukannya. Yesus membuat perbedaan yang significant antara
pola kepemimpinan-Nya dengan kepemimpinan kebanyakan orang. Ketika banyak pemimpin
menggunakan charisma dalam dirinya untuk memanipulasi orang, Yesus memilih memakai
kharism adalam diri-Nya untuk mendorong orang mengikuti-Nya tanpa paksa. Dia berfokus
bukan kepada kebutuhan-Nya, melainkan kebutuhan orang lain yang mengikut-Nya.
Kepemimpinan-Nya tidak memaksa banyak orang menjadi pengikut-Nya, tetapi
mengutamakan seseorang harus mengikuti Dia secara sukarela. Pemimpin yang baik tidak
hanya berfokus kepada pengembangan dirinya sendiri. Pemimpin yang bertanggungjawab juga
mendorong orang yang menjadi bawahannya mengalami pertumbuhan dengan baik. Seorang
pemimpin yang baik memiliki rasa tanggung jawab pada saat mengerjakan apa pun, dan dia
tidak akan memiliki sikap asal perintah. Bahkan, seringkali seorang pemimpin harus berdiri di
depan untuk menjadi tameng saat terjadi kesalahan tindakan dari bawahannya. [Ibr 13:17]
Seorang pemimpin harus sadar bahwa di pundaknya terletak kepentingan banyak orang, maka
dari itu seorang pemimpin yang baik tidak boleh semata-mata bekerja hanya untuk kepentingan
pribadinya. Pemimpin dengan kesadaran diri dan kerelaan hati memberikan hidupnya untuk
mengabdi pada Tuhan sebagai tuannya, dan mengurusi kehidupan spiritual umat Tuhan, bahkan
memberikan pelayanan secara menyeluruh sebagai konsekuensinya. [II Tim 2:4]
Kepemimpinan penggembalaan jemaat adalah kepemimpinan hamba, maka jabatan bukanlah
kekuasaan, tetapi kesediaan diri untuk melayani. Sekalipun mempunyai otoritas untuk
memimpin jemaat, seluruh pelaksanaan tanggung jawab didasari dengan penghambaan diri
untuk melayani. [Lukas 22:26] Keteladanan yang diberikan oleh Yesus Kristus sebagai
Gembala Agung adalah kesetiaan dalam melaksanakan tugas dari Bapa-Nya. Ia rela
menanggung penderitaan yang hebat sampai akhir hidupnya di kayu salib. Jika seorang
gembala sidang ingin menunjukkan bahwa dirinya benar-benar seorang pemimpin, adalah
dengan membuktikan kesetiaannya dalam menanggung semua beban dan menghadapi
kesukaran apapun tetap bertahan, teguh, dan tangguh. Jadi, ukuran kesetiaan gembala sidang
dalam kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting. Apabila seorang pemimpin
mengharapkan adanya loyalitas dari orang-orang yang dipimpinnya, maka dia pun harus
terlebih dahulu memiliki kesabaran dan kesetiaan untuk memimpin. Timbal balik kesetiaan
antara pimpinan dengan bawahan dapat diukur dari seberapa jauh mereka saling memberikan
dukungan saat keadaan baik atau pun buruk. Dukungan tersebut dapat direalisasikan baik
secara material ataupun moral. [Ib 12:3] Menjadi pemimpin yang rendah hati dan
mengedepankan kesederhanaan adalah landasan bagi keberhasilan yang penuh makna.
Memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan memiliki mentalitas melayani dari hati.
Apalagi kalau sudah memiliki kedudukan yang tinggi dengan tanggungjawab yang besar, bisa
terjebak pada dorongan untuk kepentingan nafsu duniawi dan egoisme pribadi semata, pasti
akan mementingkan kepentingan sendiri dan keinginannya justru dilayani bukan melayani.
Pemimpin yang baik dapat menjadi teladan dan menginspirasi anggotanya untuk
mengembangkan nilai-nilai pelayanan dari dalam hati. Sehingga anggotao rganisasipun dalam
bekerja juga berpikir bagaimana bisa memberikan layanan terbaik, memberikan kontribusi
terbaik melalui peran pekerjaannya dalam organisasinya. Karena setiap orang yang melayani
dengan ikhlas berarti telah berpartisipasi menebar rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas
terhormat seorang pemimpin. [Mat 11:29] Pemimpin yang baik tidak bersifat kaku dan arogan,
tetapi dia memiliki karakter yang mudah dibentuk dan mau diproses untuk menjadi lebih baik
melalui lingkungan sekitarnya, termasuk oleh bawahan. Saat seorang pemimpin melakukan
kesalahan, dia harus berani untuk mengakui kesalahannya, dan tanpa ragu meminta maaf,
walaupun dengan meminta maaf itu ia harus mengorbankan harga dirinya. [Ef 5:21] Pemimpin
yang baik adalah pemimpin yang bekerja keras. Ia memiliki etos kerja yang dapat memberikan
contoh langsung kepada orang-orang yang dipimpinnya. Secara sederhana, etos kerja adalah
semua kebiasaan baik yang berkaitan dengan tanggung jawab, ketekunan, semangat, dan
sebagainya. [Titus 2:7-8] Adakalanya orang yang dipimpin mengalami demotivasi, atau
penurunan motivasi, karena suatu hal atau yang lain, sedangkan motivasi dalam pekerjaan
sangat berpengaruh bagi kelangsungan suatu organisasi. Maka dari itu seorang pemimpin yang
baik harus siap untuk memotivasi dan meningkatkan kembali gairah dan optimisme orang-
orang yang di pimpinnya kapan saja mereka membutuhkannya. Tidak ada istilah “penurunan
motivasi” di dalam kamus seorang pemimpin yang baik. Dalam proses kepemimpinan,
motivasi merupakan sesuatu yang esensial dalam, karena memimpin adalah memotivasi.
Seorang pemimpin harus bekerja bersama-sama dengan orang lain atau bawahannya, untuk itu
diperlukan kemampuan memberikan motivasi kepada bawahan. Sebab keberhasilan seorang
pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan bergantung pada bagaimana
pemimpin dapat menciptakan motivasi terhadap orang yang dipimpin melalui gaya
kepemimpinan yang dibangun dalam dirinya. Sehingga pengikut yang termotivasi akan
berusaha mencapai tujuan secara sukarela dan berkelanjutan. [Yes 50:4] Bekerja bersama
merupakan bagian penting dari kepemimpinan. Tanpa adanya kebersamaaan dalam satu team
yang baik, maka tujuan yang akan dicapai oleh pemimpin tidak akan berhasil dengan baik.
Bekerja team adalah bekerja bersama-sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan yang
sama pula. Bekerja bersama ini membutuhkan banyak keahlian, agar bisa berjalan dengan baik
dan lancar. Keahlian diterapkan untuk pencapaian tujuan bersama. Seorang pemimpin yang
baik harus dapat lebih memandang orang-orang yang dipimpinnya sebagai rekan kerja dalam
tim, dari pada memandang mereka semata-mata sebagai “bawahan”. Pemimpin harus mampu
menyatukan seluruh jiwa, hati, dan pikiran mereka untuk kemajuan bersama, melalui
penghargaan, kepercayaan, kemauan untuk mendengarkan, dan kepekaan hati nurani, maka
seorang pemimpin akan dihargai. Dengan pemahaman dan kesadaran tersebut diatas, seorang
pemimpin yang baik tidak akan melakukan segala sesuatunya sendiri,melainkan membutuhkan
bantuan dari orang lain, termasuk orang-orang yang di pimpinnya. [Maz 133]
Penutup
Kepemimpinan adalah konsep yang dipakai baik oleh gereja maupun dunia. Namun paham
kepemimpinan Kristen dan paham kepemimpinan dunia pada umumnya tidak identik. Setiap
orang adalah pemimpin karena mereka mempengaruhi orang lain, baik secara positif maupun
negatif. Semua orang adalah pemimpin dalam peran hidup. Pemimpin dalam peran hidup
berbeda dengan pemimpin dalam organisasi. Pemimpin dalam organisasi menyangkut posisi
dan jabatan yang diberikan dengan tempat nyaman dalam organisasi untuk melayani kebutuhan
dan kebudayaan organisasi. Pemimpin Gereja termasuk kategori pemimpin organisasi dan
semua pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Pemimpin Kristen adalah pribadi yang
memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat-sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat
alamiahnya mencapai efektivitas tinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah,
sedangkan sifat-sifat spiritualitas Kristennya menyebabkan ia sanggup memengaruhi orang-
orang yang dipimpinnya untuk menaati dan memuliakan Allah. Pemimpin Kristen
menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah. ia adalah seorang yang dipanggil Allah
untuk memimpin dengan dan melalui karakter seperti Kristus. Pemimpin Kristen menggunakan
pengaruhnya dalam rangka untuk melayani orang lain, bukan dalam rangka dilayani. Alkitab
menjelaskan bahwa kepemimpinan Yesus Kristus tidak sama dengan kepemimpinan pada
umumnya. Yesus Kristus sendiri menyatakan perbedaan itu. Bagi Yesus, menjadi pemimpin
itu tidak sinonim dengan menjadi tuan. Menjadi pemimpin berarti melayani, bukan menguasai.
Pemimpin dipanggil untuk menjadi hamba, bukan raja di raja. Meskipun pemimpin adalah
pelayan, tetapi kepemimpinan mustahil dapat berjalan tanpa otoritas tertentu. Otoritas yang ada
pada pemimpin harus dipergunakan bukan untuk menguasai tapi untuk melayani, bukan
dengan jalan kekerasan tapi dengan jalan memberi teladan, bukan dengan paksaan melainkan
persuasi. Kepemimpinan Yesus disebut dengan kepemimpinan yang melayani. Ada sembilan
ciri khas kepemimpinan yang melayani yang Yesus Kristus peragakan dalam kepemimpinan-
Nya. Yesus Kristus melayani dengan visi yang berasal dari Allah, melayani dengan pengurapan
dari Roh Kudus, melayani dengan kerendahan hati dan kepercayaan diri, melayani dengan
integritas dan karakter kuat, melayani dengan menjaga kehidupan dalam doa, melayani dengan
belas kasihan, melayani dengan kerelaan berkorban, melayani dengan memberdayakan,
mengkader dan membangun tim kepemimpinan, dan melayani dengan keberanian menempuh
risiko. Kepemimpinan gereja bersumber dari Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Pemilik dan
Raja Gereja. Dengan demikian, model kepemimpinan melayani menjadi model kepemimpinan
pemimpin gereja untuk mewujudkan tri tugas gereja yakni bersekutu, bersaksi dan melayani di
dalam dunia.
Kebenaran kehebatan kepemimpinan Yesus Kristus ini diungkapkan oleh Kenneth Blanchard
yang menegaskan, “Christians have more in Jesus than just a great spiritual leader; we have a
practical and effective leadership model for all organizations, for all people, for all situations”
(Orang Kristen memiliki hal yang luar biasa dalam Yesus lebih dari sekedar seorang pemimpin
rohani besar; kita memiliki model kepemimpinan praktis dan efektif untuk semua organisasi,
untuk semua orang, dan untuk semua situasi).
Pemimpin yang hebat tidak bergantung pada jabatan untuk mempengaruhi orang lain, namun
kualitas yang melekat pada dirinyalah yang membuat orang lain bersedia mengikutinya.
Pemimpin yang hebat tidak dilahirkan dalam semalam. Kepemimpinan merupakan
kemampuan yang harus dikembangkan secara terus-menerus.
Dalam kehidupan ini ada dua jenis pemimpin, yaitu mereka yang berhasil
menjalankan tugas kepemimpinannya dengan baik dan dapat mengakhirinya dengan baik
pula (finishing-well) dan mereka yang tidak dapat menjalankan tugas kepemimpinannya
dengan baik, serta tidak ada pemimpin baru yang dihasilkan untuk meneruskan karyanya,
dan pada akhirnya berakhir dengan menyedihkan. Dengan demikian, pada hakikatnya
kepemimpinan bukanlah ditentukan oleh besarnya lembaga yang dipimpin dan tingginya
posisi atau jabatan yang dipegang, serta seberapa besar kekuasaan yang ada di dalam
genggaman seseorang, namun ditentukan oleh seberapa besar pengaruh yang dapat
diberikan kepada orang-orang yang dipimpin dan bagaimana ia membangun hubungan
yang berkualitas dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memimpin seperti Yesus
adalah memimpin dengan berbasiskan teladan kehidupan Yesus. Kebenaran tentang
kepemimpinan Yesus Kristus ini menunjuk pada hakikat hidup, cara hidup, sifat, sikap dan
kebiasan-Nya yang didemonstrasikan melalui pikiran, perasaan, kehendak dan kata serta
tindakan-Nya yang berkualitas, oleh sebab itu Yesus adalah pemimpin yang menampilkan
keunggulan karakter dalam kepemimpinan-Nya. Model kepemimpinan Yesus adalah
kepemimpinan yang berpusat pada hati nurani. Karena itu seorang pemimpin harus
memiliki hati yang bersedia, hati yang berkobar, hati yang bijaksana, hati yang sempurna,
hati yang lembut, hati yang setia, hati yang tabah, hati yang gembira, hati yang baru,
hati yang berpengertian, hati yang terencana, dan hati yang mengampuni. Dengan memiliki
hati yang baik seperti di atas, maka seorang pemimpin akan memiliki belas kasih, dan ia
akan menjadikan dirinya sebagai pembebas dan pengayom mereka yang tersesat. Ia pun
akan menjadi gembala yang baik bagi setiap orang yang dipimpinnya; dan memiliki
kelemahlembutan serta kerendahan hati, sehingga apa yang diperbuatnya selalu berhasil,
efektif dan efisien.
Daftar Pustaka
Nuhamara, Daniel. "Pentingnya Karakter Kepemimpinan Dalam Organisasi”. In
Kepemimpinan Kristen Yang Membumi, edited by Nasokhili Giawa. Jakarta: YT Leadership
Foundation, 2017.
Breedt, Jacob J., and Cornelius J.P. Niemandt. “Relational Leadership and the Missional
Church.”Verbum et Ecclesia34, no. 1 (2013). http://dx.doi.org/10.4102/ve.v34il.819.
Blanchard, Ken dan Phil Hodges, Lead like Jesus [Belajar Dari Model Kepemimpinan Paling
Dahsyat Sepanjang Zaman]. Diterjemahkan oleh Dionisius Pare. Cet. Kedua. Jakarta:
Visimedia, 2007.
Dale, Robert D. Pelayan Sebagai Pemimpin. Cet. kedua. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1997.
Darmaputera, Eka. Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab. Yogyakarta: Kairos Books, 2005.
Eims, Leroy. 12 Ciri Kepemimpinan Yang Efektif. Diterjemahkan oleh C.Th. Enni Sasanti.
Diredaksi oleh Pauline Tiendas. Cet. Ke-7. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2003.
Hayford, Jack W. “Karakter Seorang Pemimpin” Leaders On Leadership, Pandangan Para
Pemimpin Tentang Kepemimpinan. Diedit oleh George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas,
2002.
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Dengan Kidung Jemaat. Jakarta: LAI, 2005.
Nurhayati, Tria Kurnia. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Dengan Ejaan yang
Disempurnakan. Disunting oleh Tim Redaksi Eska Media. Cetakan Kesepuluh. Jakarta: Eska
Media, 2012.
Siregar, Soen, “Motivasi Pelayanan” Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Unit Publikasi dan
Informasi STT Jakarta, 2001.
Susanto, A.B. Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin. Jakarta : Grasindo, 1997.
Wagner, C. Peter, “Pentingnya Doa Dalam Memimpin” Leaders On Leadership, Pandangan
Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan, ed. George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas,
2002.
Warren, Rick. The Purpose Driven Church, Pertumbuhan Gereja Masa Kini. Malang: Penerbit
Gandum Mas, 2003.

Anda mungkin juga menyukai