STT Pelita Kebenaran Medan Pendahuluan Menjadi pemimpin bukan hanya soal jabatan tetapi bagaimana seseorang itu dapat mempengaruhi orang lain. Saat seseorang ingin menjadi pemimpin, ia tidak harus berada di puncak pimpinan. Seorang pemimpin tidak hanya dapat memimpin orang yang dibawahnya tetapi juga dapat memimpin orang-orang yang berada di level yang sama bahkan pada level di atasnya. Leadership adalah pilihan yang diambil bukan pada apa jabatannya. Leadership merupakan soal meningkatkan pengaruh yang dimiliki. Seseorang mungkin berada pada posisi jabatan yang tinggi, tetapi bila ia harus menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi orang lain bisa berarti ada yang salah dalam keahliannya dalam memimpin. Terdapat dua teori secara umum yang dikenal dalam masyarakat berkaitan dengan kemunculan seorang pemimpin. Teori pertama adalah menjadi pemimpin karena kelahiran, atau yang sering disebut dengan teori genetika. Teori ini beranggapan bahwa seseorang sejak dalam kandungan ia telah ditetapkan sebagai pemimpin, karena mewarisi dari orang tuanya perihal potensi dan kemampuan bawaan sebagai pemimpin. Teori kedua adalah diciptakan sebagai pemimpin atau yang sering disebut sebagai teori sosial. Teori ini menjelaskan bahwa sekalipun seseorang tidak lahir dari keturunan pemimpin, namun apabila ia memiliki keinginan yang kuat disertai dengan belajar dan kerja keras, maka ia bisa menjadi pemimpin yang besar. North House menyebut teori ini dengan istilah teori proses, bahwa seorang pemimpin bukanlah karena dilahirkan melainkan karena diproses. Pemimpin tidaklah lahir dari kedudukan atau posisi. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa, pemimpin tidak dilahirkan tetapi dibentuk. Banyak orang yang menjadi pimpinan di sebuah organisasi telah salah kaprah dengan menganggap dirinya ditentukan sejak lahir sebagai seorang pemimpin. Kepemimpinan, seperti disebutkan oleh John Maxwell dalam bukunya “Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda”, adalah pengaruh. Dengan demikian, pemimpin adalah seseorang yang memiliki pengaruh kepada oranglain. Semakin luas pengaruhnya maka semakin besar lingkup kepemimpinannya. Joseph Grenny dalam buku “Influencer” menekankan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh, mengubah perilaku seseorang. Penulis memberikan enam sumber pengaruh adalah motivasi pribadi, kemampuan pribadi, motivasi sosial, kemampuan sosial, motivasi struktural dan kemampuan struktur. Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi. Setiap kali seseorang berusaha mempengaruhi cara berpikir, perilaku atau perkembangan orang lain untuk mencapai tujuan hidupnya, seseorang itu sedang menjalankan perannya sebagai pemimpin. “Pimpin” artinya “bimbing” secara harfiahnya, maka memimpin diartikan sebagai kegiatan menuntun atau membimbing. Seorang pemimpin adalah mereka yang menggunakan jabatan dan wewenangnya untuk mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan kelompok bahkan sampai tujuan organisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian kepemimpinan adalah perihal pemimpin atau cara memimpin. Secara harfiah, kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” yang memiliki arti mengarahkan, membina, mengatur, menuntun, menunjukkan, atau memengaruhi. Menurut Wahjosumidjo,1999, seorang pemimpin adalah mereka yang memiliki kecerdasan, sehat, pertanggungjawaban dan memiliki beberapa sifat seperti dewasa, keleluasaan hubungan sosial, motivasi diri serta dorongan prestasi serta sikap hubungan kerja kemanusiaan. Menurut Stoner, 1996, kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktifitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok. Menurut Young, kepemimpinan adalah sebuah bentuk dominasi yang didasari oleh kemampuan pribadi bahwa seseorang itu mampu mendorong atau mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan penerimaan organisasi, seorang pemimpin mempunyai keahlian khusus untuk menghadapi situasi yang khusus pula. Begitu pentingnya peran seorang pemimpin hingga dikatakan bahwa seorang pemimpin mempunyai pengaruh yang amat besar kepada organisasi yang dipimpinnya (Scein, 1992), (Nahavandi dan Malekzadeh, 1993) dan (Kouzes & Posner, 1987, 1993). Kualitas seorang pemimpin seringkali dianggap sebagai faktor terpenting dalam keberhasilan atau kegagalan organisasi (Bass, 1990 dalam Menon, 2002). Kepemimpinan dibutuhkan dalam berbagai level organisasi. Tanpa kepemimpinan yang kuat, visi organisasi memburam, moral kerja karyawan rendah, timbul keputusan atau kebijakan akan tertunda, dan sulit untuk mencapai tujuan. Seorang pemimpin adalah motor penggerak dari usaha atau kegiatan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, terutama dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan yang dapat mempermudah pencapaian tujuan dari organisasi, secara efektif dan efisien. Berhasil tidaknya usaha pencapaian tujuan sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpin yang memegang peranan penting dalam rangka menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya, oleh sebab itu ketrampilan memimpin (leadership skill) harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemimpin yang baik dituntut untuk bersifat luwes, mampu beradaptasi dengan lingkungan yang bergerak sangat dinamis, mengantisipasi berbagai perubahan, dan bersikap proaktif terhadap organisasi yang dipimpinnya. Untuk menjadi pemimpin yang baik tidaklah mudah, diperlukan sebuah model yang mampu untuk menjadi teladan bagi kepemimpinan. Apalagi dewasa ini, khususnya di Indonesia, banyak terjadi krisis kepemimpinan yang mengakibatkan mundurnya, bahkan hancurnya sendi-sendi kehidupan berorganisasi akibat ketiadaan keteladanan kepemimpinan yang tepat, dan krisis kepemimpinan ini sudah menggejala secara umum. Untuk mengatasi hal di atas, perlu dihadirkan sebuah model kepemimpinan yang dapat menjadi pedoman dan arah mengenai bagaimana memimpin yang benar, dan melalui model ini dapat dibangun budaya kepemimpinan yang tepat serta bermanfaat guna bagi kehidupan. Model kepemimpinan serta gaya kepemimpinan yang telah dibangun oleh Yesus Kristus, sebagai seorang Pemimpin–Pelayan, seperti yang ditampilkan secara utuh dan sempurna melalui pemaparan yang transparan dan jelas oleh Alkitab, merupakan satu role model yang terbaik dalam cara kepemimpinan suatu organisasi. Dalam kepemimpinan Kristen, seorang pemimpin harus memiliki pemahaman yang selaras dengan ajaran Alkitab dan bersedia belajar pada guru yang Agung, yaitu Yesus Kristus, sebagaimana diajarkan dalam Injil. Kebenaran kehebatan Kepemimpinan Yesus Kristus ini diungkapkan oleh Kenneth Blanchard yang menegaskan, “Christians have more in Jesus than just a great spiritual leader; we have a practical and effective leadership model for all organizations, for all people, for all situations” (Orang Kristen memiliki hal yang luar biasa dalam Yesus lebih dari sekedar seorang pemimpin rohani besar; kita memiliki model kepemimpinan praktis dan efektif untuk semua organisasi, untuk semua orang, dan untuk semua situasi). Markus 10:43-45 “Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Pembahasan Salah satu yang dapat dijadikan dasar Alkitabiah kepemimpinan Kristen adalah Matius 20:20-28. Memang ada banyak dasar Alkitabiah dari kepemimpinan Kristen, tetapi dalam perikop ini Yesus meletakkan sendi-sendi kepemimpinan yang sangat khas, yaitu kepemimpinan yang didasarkan atas kesediaan untuk melayani, dan hal ini dikontraskan dengan model-model kepemimpinan dunia. Melalui peletakan sendi-sendi kepemimpinan ini, Yesus sekaligus memproklamirkan model kepemimpinan yang dibangun-Nya melalui pelayanan yang dilakukan-Nya selama berkarya di dunia. Kisah dalam Matius 20:20-28 menceritakan tentang pertengkaran yang terjadi di antara para murid tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Pertengkaran tersebut berkisar tentang siapa yang berhak menjadi yang terbesar di bumi, khususnya dalam sistem pemerintahan. Awal pertengkaran mereka berasal dari permintaan ibu Yohanes dan Yakobus agar Yesus berkenan untuk menempatkan mereka berdua, kelak, duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus ketika sudah berada di dalam Kerajaan Sorga (ay. 21). Permintaan ini adalah permintaan yang wajar, karena hal ini sangat berkaitan dengan janji Yesus yang mengatakan bahwa siapa pun yang percaya kepada Anak akan percaya kepada Bapa, dan barang siapa hidup di dalam Anak akan hidup pula di dalam Bapa. Jadi jika Anak, suatu saat, pergi ke rumah Bapa, maka setiap orang yang percaya juga akan pergi dan hidup di rumah Bapa. Jadi tidaklah berlebihan jika ibu dari kedua murid tersebut meminta dan mencoba mengingatkan Yesus agar kedua anaknya duduk bersama dengan Yesus ketika sudah berada di rumah Bapa. Permasalahan muncul ketika para murid yang lain menangkap permintaan ibu Yohanes dan Yakobus ini dalam perspektif yang berbeda. Mereka melihat dan menduga bahwa permintaan ibu Yohanes dan Yakobus ini sangat berkaitan dengan masalah kekuasaan dalam memerintah. Mereka menduga bahwa permintaan ini erat dengan keinginan untuk menjadi ‘wakil’ dari Yesus yang berkaitan dengan dimilikinya kekuasaan memerintah bagi kedua anaknya sebagai konsekuensi dari penempatan mereka di sisi kanan dan kiri Yesus. Inilah yang menjadi pangkal pertengkaran mereka, karena pada dasarnya para murid yang lain pun sangat menginginkan jabatan dan kuasa tersebut. Jadi pertengkaran ini hendak memperebutkan kuasa dan jabatan untuk memerintah dunia. Terjadi pergeseran pemahaman, yang semula ibu Yohanes dan Yakobus hanya meminta agar anak-anaknya dapat duduk di sisi kanan dan kiri Yesus ketika berada di rumah Bapa, namun pemahaman ini digeser oleh para murid lainnya menjadi kecurigaan bahwa ibu Yohanes dan Yakobus meminta agar kedua anaknya itu diangkat menjadi wakil Yesus untuk memerintah dunia. Yesus melerai pertengkaran mereka dengan menjabarkan satu pandangan yang hendak menjungkirbalikkan pemahaman pemerintahan dan kepemimpinan dunia. Yesus hendak memperhadapkan model kepemimpinan dunia ini dengan model kepemimpinan dalam Kerajaan Sorga. Yesus mengungkapkan bahwa kebesaran pemimpin bukan terletak pada kekuasaan atau jabatan yang dimilikinya, yang digambarkan dalam pemahaman duduk di sebelah kanan dan kiri seorang Raja, melainkan terletak dalam kerendahan hatinya untuk melayani setiap orang yang dipimpinnya. Dalam terminologi kepemimpinan dunia (ay. 25), Yesus mengatakan bahwa kepemimpinan dunia berjalan dalam sistem memerintah dengan tangan besi dan para pembesar menjalankan kuasanya untuk menguasai yang dipimpinnya. Hal ini, kemudian, dikontraskan dengan kepemimpinan dalam sistem Kerajaan Sorga, dimana seorang pemimpin bukanlah bertujuan hendak menguasai yang dipimpinnya, melainkan melayani setiap orang yang dipimpinnya. Inilah perbedaan yang hakiki, yaitu antara menguasai dan melayani. Menurut Yesus, seorang pemimpin yang besar adalah seorang pelayan, yaitu orang yang mengadakan pemeliharaan; yang mencukupi kebutuhan orang yang memerlukan bantuan; yang mengorbankan milik dan kepentingannya sendiri untuk kepentingan orang lain, yang memiliki sikap altruis (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri) dan tidak egois (perhatian terhadap diri sendiri tanpa mau mempedulikan orang lain). Orang yang terkemuka adalah hamba, yaitu orang yang mengikatkan dirinya untuk mengabdi bagi orang lain, yang tidak berkuasa atas dirinya sendiri, yang taat, tunduk dan patuh pada aturan untuk melaksanakannya dengan sukacita dan sukarela, yang taat mengabdikan diri kepada siapa yang menjadi tuannya, dan yang tidak mempertahankan gengsi untuk melakukan sesuatu bagi orang lain. Apabila dikaitkan dengan keberadaan Yesus, Ia sendiri mengatakan bahwa Ia adalah Pelayan dan Hamba (Mat. 12:18-21), yang tidak mementingkan diri-Nya sendiri dan mau berkorban bagi manusia. Yesus mengabdikan diri-Nya kepada Bapa dan menjadi Hamba yang menderita serta taat sampai mati di kayu salib untuk menyelamatkan manusia. Keberadaan Yesus sebagai Pelayan dan Hamba, kemudian, diamanatkan kepada murid-murid-Nya agar mereka pun mengabdikan diri kepada Allah dan sesama dalam pelayanan. Dengan demikian Yesus hendak mengembangkan konsep dan model kepemimpinan yang baru, yang khas Kristus, yaitu kepemimpinan dengan prinsip pemimpin–pelayan, yang berorientasi pada identifikasi dan pemenuhan kebutuhan- kebutuhan orang lain, alih-alih sekadar berusaha memperoleh kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran bagi diri sendiri. Seorang pemimpin–pelayan adalah orang yang sudah melupakan kepentingannya sendiri dan hidup untuk mensejahterakan hidup orang lain. Tegasnya, seorang pemimpin–pelayan adalah seorang pemimpin yang membumi dan mendunia; dan ini merupakan model kepemimpinan Kristen. Jadi bentuk kepemimpinan yang dikembangkan oleh Yesus adalah kepemimpinan yang berbasis pada kehidupan-Nya sebagai seorang Pelayan dan Hamba. Syarat utama dalam kepemimpinan Kristen adalah memiliki visi, karena jika seorang pemimpin tidak memiliki visi maka ia tidak akan pernah menjadi pemimpin yang berhasil dan sekaligus menjadi pemimpin yang kerdil serta tidak berguna. Sebaliknya, jika seorang pemimpin mempunyai visi, ia akan menjadi pemimpin yang bisa mengarahkan setiap orang yang dipimpinnya menuju pada kehidupan yang lebih baik, bahkan pemimpin yang bervisi adalah pemimpin yang mampu membaca serta mengantisipasi masa depan berdasarkan kemampuannya ‘melihat’ apa yang sekiranya akan terjadi. Seorang pemimpin harus memulai kepemimpinannya dengan menemukan terlebih dahulu visi bagi kepemimpinan yang diembannya, kemudian mengembangkannya dalam proses kepemimpinan yang dijalankannya dengan sepenuh hati. Visi perlu untuk ditemukan dan dikembangkan oleh seorang pemimpin karena merupakan elemen dasar yang akan menuntun seorang pemimpin hidup dan bekerja secara efektif dan efisien. Visi akan mengantar seorang pemimpin untuk mengarahkan kelompok, organisasi (formal maupun non-formal) menuju pada keberhasilan kinerja, kemaslahatan dan kelanggengan hidup. Visi adalah faktor penentu keberhasilan seorang pemimpin. Jika dikaitkan dengan kepemimpinan Kristen, hal ini menegaskan bahwa kepemimpinan Kristen harus memiliki visi kepemimpinan yang didasarkan, diterangi, didorong dan dikembangkan oleh kekuatan nilai-nilai Kristiani, dan ini akan menjadi sesuatu yang khas dalam mengembangkan seni kepemimpinan. Untuk menemukan visi kepemimpinan Kristen, hal utama yang harus dilakukan seorang pemimpin Kristen sebagai dasar kehidupannya adalah selalu memiliki waktu untuk berdoa, yaitu sebuah tindakan membuka komunikasi dengan Allah, Sang Sumber visi, dan mendengar apa yang dikehendaki Allah terhadap dirinya. Melalui doa perenungan, instrospektif dapat dilakukan guna menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai keinginan suci (visi) yang telah dihadirkan dan ditulis Allah di dalam batin. Perenungan introspektif ini akan memberi kemampuan untuk membuat sebuah perencanaan strategis dan partisipatif untuk bisa memimpin dirinya dan organisasi yang dipimpinnya untuk menggapai kehidupan masa depan dengan didasarkan atas kerinduannya untuk bertindak dan melakukan segala hal yang bermanfaat bagi orang lain, dan semua ini ditujukan untuk memuliakan nama Allah, sebagai Sumber visi kepemimpinannya. Dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan visi kepemimpinan Kristen, maka seseorang harus memiliki waktu untuk berdoa dan senantiasaa bergumul dengan firman Allah, karena Allah adalah Sumber visi yang sejati. Langkah berikutnya adalah mengembangkan visi kepemimpinan Kristen yang didasarkan oleh iman. Dalam kaitannya dengan visi, Iman, yang merupakan ‘kekuatan untuk melihat yang ingin dicapai, jauh sebelum segala sesuatunya ada’, adalah pengembangan dari visi dan bahkan dapat dikatakan sebagai visi ideal yang dapat menjadi riil, karena iman memberi ketepatan dan kepastian bahwa sebuah visi akan menjadi sebuah kenyataan jika visi itu dijalankan dengan penyerahan diri kepada Sang Sumber Sejati visi. Dengan iman sebuah visi dijadikan sebagai kenyataan, dan iman akan meneguhkan visi karena iman akan membuktikan bahwa visi dapat dikerjakan dan dapat dicapai. Dengan demikian visi yang dibangun di atas Iman akan menjelaskan tujuan perjalanan hidup pribadi dan organisai dan meneguhkan untuk terus berjalan ke depan guna mencapai tujuan yang mulia dan semuanya ditujukan untuk kemuliaan nama Allah. Berdasarkan visi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat ditegaskan bahwa tugas seorang pemimpin bukan sekadar mempengaruhi orang lain guna melakukan tujuan, tetapi juga membangun orang lain sehingga orang tersebut, kelak, akan bisa menjadi pemimpin. Pemimpin yang memiliki visi akan berusaha untuk terus membangun dan berkarya guna mendatangkan keuntungan bagi banyak orang secara berkesinambungan. Pemimpin yang terus membangun adalah pemimpin yang selalu memulai kepemimpinannya dengan visi besar, sehingga akan melahirkan semangat besar dalam menciptakan pekerjaan besar dan akan menghasilkan produksi besar. Dengan demikian tanggung jawab seorang pemimpin Kristen bukan sekadar membangun monument yang bisa dikenang oleh orang lain, melainkan harus mampu membangun hubungan-hubungan dengan orang lain juga, teristimewa pengikutnya, dan pemenuhan kebutuhan pengikut demi kelancaran kinerja maupun pencapaian tujuan bersama yang ditetapkan. Tanggung jawab ini mendorong seorang pemimpin untuk terus mengembangkan diri sebagai respons terhadap anugerah Allah yang telah dianugerahkan kepada dirinya. Etika kepemimpinan Kerajaan Allah merupakan kekuatan etika moral yang berfungsi sebagai landasan yang menopang pemimpin, orang Kristen dan gereja untuk hidup dalam iman, etika serta moralitas yang teguh dalam menyikapi tantangan hidup global yang mengancam. Etika kepemimpinan Kerajaan Allah adalah konsep teoretis dasar yang dapat berkontribusi dalam membangun peradaban dunia dan merupakan model etika Alkitabiah yang bersifat normatif bagi sikap batin, iman, etika, moral, moralitas, etos dan etiket serta perkataan dan perilaku pemimpin dan orang Kristen, yang harus dihidupi melalui kehidupan keseharian dalam menjalankan panggilan misioner gereja di tengah dunia. Oleh sebab itu etika ini harus dibangun di atas dasar pemahaman yang Alkitabiah, sehingga dapat dijadikan sebagai tuntunan bagi kehidupan praksis yang ditandai adanya penguasaan dan pemerintahan Allah dalam kehidupan pemimpin dan orang Kristen. Dengan mendasarkan diri pada pemahaman di atas, dapat ditemukan beberapa aspek dari etika kepemimpinan Kerajaan Allah, antara lain: Pertama, etika ini ‘memberi tempat utama bagi Allah untuk memerintah dalam kehidupan Kristen’ (Mat. 6:10), ini berarti bahwa etika ini merupakan norma dan sumber serta dinamika bagi iman, sikap batin, moralitas dan perilaku pemimpin dan orang Kristen dalam kehidupan yang mereka jalani. Norma ini bersifat universal, karena itu berlaku bagi seluruh kehidupan. Aspek pertama ini menyangkut tentang aspek kosmologis. Kedua, etika ini mengandung kaidah etis dan moral bagi iman dan kehidupan yang sifatnya mutlak (aspekontologis). Ketiga, etika ini berporos pada Yesus, kehidupan, karya dan ajaran-Nya di dalam Alkitab, oleh sebab itu aspek ini disebut dengan aspek Core-Truth. Keempat, etika ini bersifat wajib untuk dilakukan (epistemologis), karena merupakan perintah (imperative) yang memiliki keharusan untuk diberlakukan di mana saja di seluruh dunia oleh Gereja Yesus Kristus. Kelima, etika ini memiliki aspek teologis yang merupakan tujuan tertingginya, yaitu ‘kehendak dan kasih Allah” yang harus dilakukan dalam kehidupan dan kepemimpinan Kristen dalam menjalankan tugas misionernya. Kebenaran misiologis etika ini menegaskan bahwa ‘Gereja diutus ke dalam dunia’untuk memberkati dunia dengan memuliakan Allah dan membawa kebaikan tertinggi, yaitu berkat keselamatan bagi diri sendiri, sesama dan dunia. Poros etika kepemimpinan Kerajaan Allah adalah kehidupan, karya dan ajaran Yesus Kristus, oleh karenanya etika ini merupakan penopang kehidupan kepemimpinan Kristen. Dapat dikatakan bahwa etika ini merupakan fondasi bagi etos kerja pemimpin, orang Kristen dan Gereja guna mendemonstrasikan kehidupan etis moral kudus dari kehidupan dan ajaran Yesus Kristus dalam lingkup kerja. Melalui etika ini setiap pemimpin Kristen akan memperoleh kekuatan dan ketahanan untuk hidup dan mengabdi kepada Kristus dan ketika menghadapi kritik dunia dalam segala bentuk, dan juga memberi hikmat yang menguatkan batin pemimpin dan orang Kristen, sekaligus harus mengimpartasi semangat yang berapi-api sehingga pemimpin dan orang Kristen mampu bersekutu, melayani, bersaksi, memberitakan dan membangun Gereja. Kepemimpinan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan dari sebuah organisasi, dengan adanya kepemimpinan maka ada kekuatan yang menggerakkan [faktor manusia] ke arah tujuan yang telah direncanakan. Jadi kepemimpinan adalah suatu proses dimana pemimpin mempengaruhi, menentukan, mengarahkan, dan memberdayakan anggota-anggota melalui kerjasama untuk melakukan sesuatu yang diyakini harus dilakukan. Menurut Yakob Tomatala dalam tulisannya mendefinisikan kepemimpinan dapat dipahami dari beberapa pandangan, yaitu: kepemimpinan adalah seni bekerja (tahu, mau dan aktif bekerja] bersama dan melalui orang lain; kepemimpinan juga didefinisikan sebagai seni pemenuhan kebutuhan orang yang dipimpin dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama. Dan kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai seni mempengaruhi dan menggerakan orang untuk bekerja sama secara terkoordinasi, dimana semua orang bergerak untuk melakukan tugasnya dengan baik berdasarkan program yang telah dicanangkan dalam kinerja keorganisasian secara menyeluruh. Menurut Charles J. Keating, kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau kelompok orang untuk tujuan bersama. Penekanan Charles pada “seorang pemimpin kekuatannya terdapat pada pengaruh." Sedangkan, John R. Mott menyatakan bahwa: “Seorang pemimpin adalah seorang yang mengenal jalan dan berjalan terus ke depan serta dapat menarik orang lain mengikuti dia”. Ini berarti bahwa kekuatannya terletak pada bagaimana pemimpin mempunyai visi yang kuat sehingga membuat orang-orang yang dipimpinnya mengikuti jejaknya. Adapun, Lord Montgomery mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan kehendak untuk mengarahkan orang laki-laki dan perempuan untuk satu tujuan bersama, dan watak yang menimbulkan kepercayaan. Disini kekuatan seorang pemimpin dalam memberi keyakinan atau suatu harapan yang pasti bagi pengikutnya. Kepemimpinan selalu berhubungan dengan kemampuan mempengaruhi. Dalam kepemimpinan berlaku prinsip bahwa orang hanya dapat memimpin orang lain sejauh ia dapat mempengaruhi mereka. Kepemimpinan yang baik merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan dan kemajuan kelompok apapun. Ini berlaku bagi kelompok skala raksasa, seperti sebuah bangsa atau negara, sampai kelompok skala kecil misalnya klub sepak bola. Kita memerlukan pemimpin sejati dalam bidang pemerintahan, bisnis, sekolah, lembaga masyarakat, komunitas kaum muda, organisasi keagamaan, rumah tangga, dan semua arena kehidupan – termasuk disiplin hukum, kedokteran, ilmu pengetahuan, olahraga, dan media. Saat ini berbagai bidang kehidupan mengalami krisis kepemimpinan. Kebutuhan akan kepemimpinan yang efektif begitu mendesak. Pertanyaan-pertanyaan tentang integritas moral, kehormatan, nilai-nilai, teladan, dan standar yang layak dihormati adalah topik-topik diskusi pada masa kini. Myles Munroe dalam bukunya The Spirit Leadership percaya bahwa krisis kepemimpinan terjadi karena kepemimpinan lebih dimaknai sebagai tindakan dan bukan panggilan. Oleh sebab itu kita sering mendengar para pemimpin yang terlibat dalam petualangan-petualangan seks, tokoh bisnis jatuh dalam korupsi, politisi dan pemimpin daerah dan nasional diadili karena kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal-hal di atas disebabkan standar ganda yang dijalani pemimpin. Di kantor dalam pelayanan mereka bertindak dengan cara tertentu, tetapi saat mereka di luar tugas menjalani kehidupan yang kontradiksi. Dunia kita adalah jagad baru yang membutuhkan gaya kepemimpinan yang baru. Hampir semua yang kita anggap benar selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun, kini mengalami transformasi yang amat besar. Iklim planet yang berubah berdampak pada flora, fauna, hasil pertanian dan kehidupan laut. Terjadi kekuatan dahsyat di planet bumi yang nampak dalam bencana alam, baik topan, banjir, tsunami ataupun kemarau. Berbagai penyakit baru bermunculan. Sistem sosial banyak berubah, berbagai konflik yang dulu dalam lingkup lokal kini menjadi masalah global. Dalam situasi yang berubah, pemimpin hebat memandang perubahan-perubahan dan ketidakpastian yang ada di dunia dengan kacamata harapan, memberikan inspirasi melalui visi yang jelas, optimisme dan percaya diri untuk mengubah mimpi menjadi kenyataan. Kepemimpinan yang menginspirasi memang selalu diharapkan. Tuhan Yesus Kristus adalah Pemilik dan sekaligus Kepala Gereja. Tuhan Yesus Kristus juga menjadi teladan bagi seluruh pengikut-Nya. Termasuk dalam persoalan kepemimpinan. Apakah gereja steril terhadap krisis kepemimpinan ? Kita melihat bahwa ternyata gereja juga mengalaminya. Hal ini nampak bahwa di berbagai tempat terjadi konflik dalam gereja, kesulitan mengoptimalkan anggota jemaat untuk melayani pekerjaan Tuhan dan regenerasi yang tidak berjalan baik sehingga tidak banyaknya orang yang mau menjadi pemimpin dalam gereja. Kita menyaksikan banyak pos-pos pelayanan yang diisi hanya orang itu-itu saja, pelayanan dipahami sebagai kegiatan sukarela sebagian umat yang terpanggil dan bukan panggilan dari semua umat percaya. Pada pihak lain, banyak orang merasa tidak layak ataupun tidak pantas melayani dengan dalih tidak punya karunia yang bisa dibanggakan. Padahal dalam 1 Korintus 12:4-12 jelas-jelas setiap orang kristen diperlengkapi dengan karunia masing- masing. Menjadi pemimpin bukanlah menjadi orang yang sempurna yang mempunyai semua talenta dan dan bisa melakukan apa saja. Seorang pemimpin kristen melayani dengan talenta yang Tuhan berikan kepadanya. Kepemimpinan juga tidak bergantung pada penampilan fisik seseorang. Dalam 1 Samuel 16:7 mengajarkan kepada kita bahwa bukan apa yang dilihat dari luar yang menentukan dia pantas menjadi pemimpin atau bukan, tetapi Tuhan melihat hatinya. Jadi, selain karunia yang sudah pasti ada dalam setiap diri manusia, hati yang bersedia melayani menjadikannya layak untuk memimpin gerejaNya. Pemimpin gereja memang memiliki tugas dan persyaratan yang sama dengan manajemen pada umumnya yaitu harus mampu menyalurkan aspirasi dan mengatur, mempersatukan serta menggerakkan. Mereka juga harus memiliki kepercayaan diri, punya kecakapan dan diterima oleh anggota jemaatnya. Syarat-syarat yang kita baca dalam 1 Timotius 3 : 1-13 sebenarnya tidak bertentangan dengan apa yang kita lihat dalam manajemen umum. Hanya memang, dalam 1 Timotius 3 : 1-13 ada ciri khasnya yaitu ciri kegerejaan. Syarat-syarat manajerial ini sudah tentu perlu diperhatikan juga dalam pemilihan pemimpin gereja. Begitu pentingnya kepemimpinan dalam gereja agar gereja dapat melaksanakan tugas pangilannya, sehingga Tuhan Yesus Kristus mempergunakan sebagian besar waktu-Nya untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin gereja. Caleb Tong saat menguraikan tentang pemimpin rohani yang kompeten, ia menjelaskan bahwa seorang pemimpin berasal dari pengikut yang baik. Seorang jenderal dapat muncul dari dasar prajurit, perdana menteri dapat pula hanya seorang pemimpin daerah pada mulanya, harapan itu selalu ada pada orang yang mau setia dan tekun dalam hal kecil dan rendah. Memang, seorang pemimpin yang baik pasti berasal dari seorang pengikut yang baik. Bila menjadi Sersan saja tidak becus, maka ia tidak pantas menjadi Jenderal. Pemimpin gereja yang baik dengan demikian berasal dari anggota jemaat yang baik pula, sebab dengan menundukkan diri itulah yang bersangkutan telah membuktikan kesungguhan dan ketangguhannya dalam menundukkan diri sendiri. Bila seseorang bisa menundukkan diri sendiri maka ia bisa menundukkan diri kepada Kristus dan kepada Pemimpin gereja-Nya. Pemimpin harus memiliki spiritualitas yang baik. Kepemimpinan yang diberlakukan di gereja adalah kepemimpinan yang meneladan pada, dan menerapkan kehendak Tuhan Yesus Kristus. Kepemimpinan gereja haruslah merupakan kepemimpinan yang melayani dengan cara memberi teladan, rela berkorban, menginspirasi dan memberdayakan. Yesus Kristus telah dengan sempurna mempresentasikan kepemimpinan Allah itu. Dialah model Pemimpin kristen yang sejati. Tetapi, bukankah terbentang jarak yang jauh antara manusia biasa dengan Yesus Kristus ? Umumnya, orang Kristen mengatakan bahwa apa yang dilakukan Yesus Kristus tidak mungkin dilakukan pengikutNya. Mengenai hal ini Henry J.M. Nouwen mengatakan, “segala milik Yesus diberikan kepada kita untuk kita terima. Segala yang dikerjakan Yesus dapat kita lakukan juga. Yesus tidak menganggap kita sebagai warga kelas dua. Ia tidak menyembunyikan sesuatupun kepada kita.” Tuhan Yesus Kristus sendiri berkata, “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu : sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.” Dengan menggali dan belajar dari kepemimpinan Yesus Kristus, kita akan menemukan prinsip-prinsip kepemimpinan Kristen yang berguna bagi pengembangan kepemimpinan gereja pada masa kini. Myles Munroe dalam bukunya The Spirit Of Leadership mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah masing-masing untuk mengatur, memerintah, mengendalikan, menguasai, mengelola, dan memimpin lingkungan mereka. Tidak peduli siapapun dia, manusia memiliki sifat dan kapasitas untuk memimpin. Seperti burung memiliki naluri untuk terbang, dan ikan untuk berenang, demikianlah manusia memiliki kapasitas untuk memimpin dan memegang kendali kehidupan. Alkitab menyebutkan, bahwa Allah memberi kuasa kepada manusia untuk berkuasa atas segala makhluk tetapi dalam hubungan antar manusia, Allah tidak pernah memberi wewenang untuk berkuasa atas manusia lain. Allah menghendaki dalam hubungan antar manusia yang terjadi adalah saling menolong. Saling menjadi penolong yang sepadan. Tidak saling mendominasi. Kepemimpinan harus mengacu kepada mandat dan penugasan Allah; Sang Pemimpin satu-satunya, yaitu untuk mengembangkan kemungkinan saling tolong- menolong dalam kesepadanan, kesetarafan dan kesetaraan. Manusia adalah gambar Allah dan bukan Allah. Oleh karenanya, kepemimpinan manusia haruslah mencerminkan kepemimpinan Allah. Yesus Kristus adalah model Pemimpin Kristen yang sejati. Dalam setiap kitab Injil, baik secara keseluruhan maupun secara terpisah dapat dilihat keberadaan Tuhan Yesus dari berbagai sisi tetapi selalu berpusatkan pada keberadaan-Nya, perkataan maupun perbuatan-Nya. Yesus Kristus adalah tema utamanya. Dia menjadi model bagi pengikut-Nya termasuk dalam bidang kepemimpinan. Tuhan Yesus Kristus sendiri berkata, “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu : sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.” Dengan ini maka dalam kepemimpinan Kristen berlaku kepemimpinan seperti yang diteladankan oleh Yesus yaitu kepemimpinan yang melayani. Manusia sebagai gambar Allah adalah para pemimpin. Dalam relasi antar manusia ia dipanggil untuk melaksanakan kepemimpinan yang mencerminkan kepemimpinan Allah, dengan kata lain mencerminkan kepemimpinan Yesus Kristus. Kepemimpinan Kristen tidak mengenal cara mengeksploitasi manusia lain tapi melayani mereka dengan kasih. Kepemimpinan Kristen harus dimulai dari Allah. Segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan untuk kemuliaan Allah, termasuk kepemimpinan. Surat rasul Paulus kepada jemaat di Kolose menyebutkan, “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” Allah tidak hanya menciptakan planet, matahari, lautan, tanah, udara, air, bebatuan, marga satwa, tumbuh-tumbuhan, hukum-hukum alam, manusia dan seluruh semesta yang dapat dilihat oleh mata jasmani manusia. Tetapi termasuk di dalamnya segala yang tak terlihat. Maka segala potensi yang ada di dalam diri manusia termasuk potensi kepemimpinan adalah ciptaan-Nya. Rick Warren dalam bukunya The Purpose Driven Life mengatakan dengan tegas bahwa segala sesuatu harus diawali dengan Allah. Demikian pula dengan kepemimpinan. Kepemimpinan Kristen ada pertama-tama untuk Allah yaitu untuk mendatangkan kemuliaan bagi-Nya. Tuhan Yesus memahami dengan sempurna bahwa itulah tujuan misi-Nya di bumi, sehingga Ia berkata kepada Bapa, “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.” Bagi seorang Kristen, kepemimpinan menjadi sarana untuk mempermuliakan Allah. Kepemimpinan juga dapat dijadikan sarana bersyukur kepada Allah. Seorang Kristen yang sungguh mengenal dan mengasihi Tuhan Yesus pasti menjadikan hidupnya sebagai tanda syukur kepada Allah. Salah satunya adalah melalui apa yang dilakukan, termasuk kepemimpinan. Rasul Paulus berkata, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Menjalankan kepemimpinan dengan mengingat Tuhan, dilakukan sebagai ungkapan syukur menjadikan kepemimpinan Kristen berfokus pertama-tama kepada Tuhan baru kemudian kepada manusia. Pemimpin Kristen menjalankan kepemimpinannya harus dengan semangat, sebaik dan segiat mungkin, seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia saja. Alkitab menunjukkan bahwa setiap orang yang menerima Yesus Kristus mendapat anugerah kepemimpinan, yakni memperoleh kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Dengan menerima kuasa, berarti setiap pengikut Tuhan Yesus Kristus memiliki hak, kekuatan, kapasitas, kompetensi, kemampuan, pengaruh atau otoritas untuk memimpin. Setiap murid Yesus Kristus diberi kuasa untuk meraih orang-orang di sekitarnya yang belum mengenal kasih Yesus Kristus. Dengan kuasa yang sudah diberikan Tuhan ini, maka setiap orang Kristen adalah pemimpin. Pemimpin Kristen adalah seorang yang sudah menerima Yesus Kristus dan telah diubahkan untuk kemudian menggerakkan orang lain melalui visi yang Tuhan berikan kepadanya. Kelebihan pemimpin Kristen dengan demikian tidak bersumber di dalam dirinya, tetapi berada di dalam keintimannya dengan Tuhan. Selebihnya adalah pemberian atau anugerah Tuhan. Seorang pemimpin Kristen bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan tidak kepada kelebihan pribadi yang ada padanya, maka ia menjadi peka pada suara-Nya, mengetahui visi-Nya, lebih patuh kepada-Nya dan makin bertumbuh terus di dalam Tuhan. Pertumbuhan itu mencakup aspek pengetahuan, emosi dan perilakunya. Setiap orang Kristen adalah pemimpin. Kepemimpinan adalah hakikat, mandat dan berkat Allah. Hakikat kemanusiaan seseorang tercermin dari kepemimpinannya. Sebagai mandat, kepemimpinan diyakini sebagai penugasan Allah sehingga harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Dan akhirnya, kepemimpinan sebagai berkat, kepemimpinan harus disyukuri karena merupakan karunia Allah yang sangat unik. Sesuatu yang tidak dimiliki makhluk lain. Semua orang Kristen diberi kapasitas yang beragam untuk memimpin oleh Tuhan dan harus menyediakan diri dipimpin Tuhan Sang Pemimpin yang sesungguhnya. Dalam hal ini, setiap orang Kristen sebagaimana dikatakan Ken Blanchard dan Phil Hodges dalam bukunya Lead Like Jesus, dalam perspektif kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai pemimpin dalam peran hidup dan pemimpin dalam organisasi. Setiap orang adalah pemimpin karena mereka mempengaruhi orang lain, baik secara positif maupun negatif. Setiap orang adalah pemimpin dalam peran hidup. Pemimpin Kristen menggunakan pengaruhnya dalam rangka untuk melayani orang lain, bukan dalam rangka dilayani. Pemimpin dalam peran hidup berbeda dengan pemimpin dalam organisasi. Pemimpin dalam organisasi menyangkut posisi dan jabatan yang diberikan dengan tempat nyaman dalam organisasi untuk melayani kebutuhan dan kebudayaan organisasi. Perbedaan dramatis diantara pemimpin dalam peran hidup dan pemimpin dalam organisasi adalah dalam hal lamanya relasi pemimpin dalam memberi pengaruh mempengaruhi. Pemimpin dalam peran hidup berfungsi mempertahankan hubungan dalam jangka panjang, sedangkan pemimpin dalam organisasi bekerja untuk satu musim dalam suatu lingkungan hubungan dan perubahan yang temporer. Hampir selalu, pemimpin dalam peran hidup menjadi prasyarat untuk menjadi calon pemimpin dalam organisasi. Pemimpin Gereja termasuk kategori pemimpin organisasi dan semua pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Oswald Sanders mengatakan bahwa pemimpin Kristen adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat- sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas tinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah, sedangkan sifat-sifat spiritualitas Kristennya menyebabkan ia sanggup mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk mentaati dan memuliakan Allah. Henry dan Richard Blackaby menyebutkan pemimpin Kristen menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah. George Barna mengatakan bahwa pemimpin Kristen yaitu seorang yang dipanggil Allah untuk memimpin dengan dan melalui karakter seperti Kristus. Menurut J. Robert Clinton, pemimpin Kristen adalah seseorang yang telah dipanggil Allah sebagai pemimpin yang ditandai oleh kapasitas memimpin dan tanggungjawab pemberian Allah untuk memimpin sekelompok umat Allah untuk mencapai tujuannya bagi serta melalui kelompok. Penulis mengartikan pemimpin sebagai orang yang memberikan pengaruh positif kepada pengikutnya melalui kerja tim dengan mengefektifkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai visi bersama dengan tetap memperhatikan kepentingan yang dipimpinnya. Pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Pemimpin Gereja dalam hal ini termasuk kategori pemimpin dalam organisasi. Menurut Penulis, ciri khas yang membedakan pemimpin Gereja dengan pemimpin pada umumnya adalah persoalan motivasi, tujuan dan jalan yang ditempuh. Motivasi dan tujuan pemimpin Gereja adalah untuk melayani bukan untuk dilayani. Jalan yang ditempuh para pemimpin Gereja juga dengan jalan melayani. Motivasi, tujuan dan jalan yang ditempuh oleh pemimpin Gereja harus meneladan pada motivasi melayani, tujuan melayani dan jalan melayani seperti dalam kepemimpinan Yesus Kristus. Otoritas kepemimpinan pemimpin Gereja didapatkan dari Yesus Kristus, Sang Pemilik Gereja. Tanpa kepemimpinan maka Gereja bagai anak panah tanpa busur. Mustahil Gereja dapat melaksanakan fungsinya bila tidak ada kepemimpinan yang kuat dan efektif. Kepemimpinan adalah proses memberikan pengaruh positif kepada pengikutnya melalui kerja tim mengefektifkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai visi bersama. Dengan demikian, kepemimpinan pemimpin Gereja dijalankan oleh tim kepemimpinan Gereja yang disebut Majelis Jemaat. Mereka bekerjasama dengan mengoptimalkan segenap potensi dan sumber daya yang dimiliki dalam rangka mencapai visi bersama. Dalam kepemimpinan Kristen, visi bersama yang dimaksud haruslah merupakan visi yang berasal dari Tuhan dan bukan sekedar visi yang disepakati bersama. Kepemimpinan pemimpin Gereja dijalankan dengan motivasi melayani, dengan jalan melayani untuk kemuliaan nama Tuhan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Roma 11:36, “sebab segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.” Hal yang penting dalam kepemimpinan Kristen adalah tentang kaitan erat antara prestasi dan kerendahan hati pemimpin. Hal itu diwujudkan oleh pemimpin dengan melakukan tugas seorang “pelayan” atau “hamba” terhadap orang-orang yang dipimpinnya dengan semangat berprestasi setinggi-tinginya. Kehormatan yang diterima pemimpin tidak didasarkan atas status formal seseorang sebagai pemimpin, tetapi justru oleh pelayanan yang diberikan secara baik. Itulah bentuk pelayanan yang menurut Meno Soebagjo sebagai model keteladanan yang mendatangkan kehormatan. Pendapat Meno Soebagjo didasarkan atas cerita tentang permintaan ibu Yakobus dan Yohanes yang meminta agar kedua anaknya diberi tempat atau posisi penting dalam Kerajaan Allah. Pada kesempatan itu Yesus mengajar bahwa barangsiapa ingin menjadi yang terbesar atau terkemuka, hendaklah ia menjadi pelayan dan hamba bagi lainnya. Yesus tidak melarang orang untuk menjadi yang terkemuka, dan Yesus memberitahukan caranya yaitu dengan menjadi pelayan yang melayani, sebagaimana yang Yesus terapkan. Menurut A.T. Hanson, Rasul Paulus dalam 1 Korintus 3:18-4:16; 9:1-2; 12:24- 30, dan 2 Korintus 3-6 menjelaskan bahwa pelayanan Yesus Kristus telah menjadi dasar bagi pelayanan para rasul yang mengakibatkan berdirinya gereja. Setelah gereja berdiri, maka pelayanan para rasul dikerjakan dengan mengajak seluruh warga gereja untuk memberikan pelayanan. Tuhan Yesus menjadikan diriNya sebagai teladan bagi murid-murid-Nya. Teladan dalam hal berdoa, rela berkorban, kasih-Nya kepada umat manusia, ketegasan-Nya, ketaatan- Nya kepada Allah, pengampunan-Nya, karakter-Nya, dan seluruh hidup-Nya. Yesus sendiri mengatakan bahwa diri-Nya adalah teladan itu. Pada suatu hari, sesudah Dia membasuh kaki para murid-Nya, Yesus mengenakan pakaian-Nya dan kembali duduk. Yesus bertanya kepada para murid, “Mengertikah kamu apa yang telah Aku perbuat kepadamu?” Tanpa menunggu komentar dari para muridNya yang diliputi rasa heran dan malu, kemudian Yesus berkata : “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya.” Kepemimpinan Yesus Kristus bagi pemimpin gereja bukan salah satu alternatif tetapi satu-satunya pilihan dalam praktik kepemimpinan mereka. Gagasan tentang model kepemimpinan melayani sebenarnya sudah ditulis cukup panjang sejak tahun 1970 oleh Robert K. Greenleaf, pengarang dan pendiri Greenleaf Center for Servant-Leadership. Menurut Robert K. Greenleaf, para pengikut yang dilayani oleh para pemimpin pelayan akan menjadi sehat, bijaksana, bebas, lebih swatantra, dan menyerupai diri mereka yaitu para pengikut, yang menjadi pemimpin. Orang Kristen diutus oleh Tuhan Yesus Kristus pertama-tama bukan untuk menjadi pemimpin tetapi untuk mengakui bakat dan talenta yang dimiliki dalam rangka melayani. Setiap orang Kristen dipanggil untuk melayani seperti Yesus dan untuk mengasihi satu sama lain dengan kualitas kasih seperti Yesus. “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." Dengan hidup saling mengasihi, kualitas sebagai murid-murid Yesus Kristus akan nampak. Inilah yang menjadi ciri khas murid Yesus di segala masa dan tempat. Mereka harus saling mengasihi, termasuk dalam relasi di kepemimpinan mereka. Pola kepemimpinan Yesus Kristus tak pernah mati. Para murid-Nya di segala tempat dan masa diberi-Nya kuasa untuk menghidupkannya. Kepemimpinan yang melayani telah dan harus menjadi pola tetap dalam kepemimpinan Kristen. A.B Susanto mengatakan bahwa kehandalan seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh adanya integritas intelektual dan integritas moral semata, melainkan harus juga dilengkapi dengan integritas religius, yaitu sifat dan sikap dasar seorang pemimpin berdasarkan iman kepercayaannya. Bagi pemimpin-pemimpin Kristen dengan demikian, harus menjalankan kepemimpinan mereka meneladan pada kepemimpinan Yesus Kristus. Salah satu peranan utama seorang pemimpin yang berhasil guna adalah menunjukkan teladan yang baik dan kemudian melatih orang lain cara untuk mengikutinya. Rasul Paulus, pemimpin besar dari gereja perdana menulis : “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” Kitab Injil mengisahkan bagaimana Yesus Kristus memusatkan perhatian-Nya dalam melatih para murid-Nya, dan Paulus melakukan hal serupa. Ia ingin agar para pengikutnya melakukan apa yang dikerjakannya. Paulus mengetahui bahwa itulah rahasia kepemimpinan yang berhasil guna. Yesus Kristus bukan hanya memberi teladan. Dia melatih para muridNya untuk mengerjakan apa yang Dia kerjakan. Bahkan hal-hal yang lebih besar daripada apa yang Dia sudah kerjakan. “Aku berkata kepadamu: sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan juga melakukan pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa.” Yesus bukan hanya melatih para pengikutNya untuk meniru apa-apa yang Dia sudah lakukan, tujuan-Nya adalah agar mereka mengerjakan hal-hal yang lebih besar daripada yang sedang dilakukan-Nya. Inilah tanda pemimpin sejati. Inilah tanda pemimpin yang berhasil guna. Tugas pemimpin Kristen (termasuk pemimpin gereja) adalah bukan hanya melatih pengikut mereka untuk melakukan apa yang sudah atau sedang dikerjakan tetapi juga mendorong semangat mereka untuk melakukannya bahkan dengan cara yang lebih baik. Tokoh Yesus dari Nasaret sangat kontroversial. Sejak kemunculan-Nya sebagai Pemimpin di muka umum pada sekitar tahun 27, banyak yang bertanya-tanya tentang identitas-Nya : Siapakah Anak Manusia itu ? Dan jawabannya beraneka ragam. Ada yang mengatakan : Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia dan ada pula yang mengatakan Yeremia, atau salah seorang dari para nabi. Lalu, pada masa selanjutnya, ada yang memandang-Nya sebagai tokoh revolusi, nabi eskhatologis, nabi sosial, orang suci kharismatis, guru hikmat, filsuf yang sinis, dsb. Tetapi pengakuan iman Kristen ortodoks menyatakan bahwa Yesus dari Nasaret sesungguhnya adalah Allah yang menjadi manusia. “Yesus adalah Tuhan” merupakan bunyi pengakuan iman Kristen yang pertama. Pokok pengakuan iman ini secara mutlak membedakan agama Kristen dengan agama Yudaisme dan Islam. Dengan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan yang berkuasa di sorga dan di bumi, sudah sewajarnya gereja sebagai milik-Nya mengakui dan tunduk kepada otoritas kepemimpinan-Nya. Kepemimpinan Yesus Kristus menjadi sumber kepemimpinan gereja. Kepemimpinan gereja harus meneladan kepada kepemimpinan Yesus Kristus karena Dialah Guru dalam kepemimpinan para murid-Nya sepanjang masa. Pemimpin gereja memiliki kelebihan pertama-tama bukan karena keunggulannya dibandingkan pengikutnya, tetapi karena keintimannya dengan Tuhan Yesus Kristus. Pemimpin gereja memperoleh kuasa dan kemampuan karena anugerah Tuhan, bergantung pada Tuhan dan tidak bersandar pada kelebihan pribadi yang dimiliki. Di situlah terletak kelebihannya sebagai pemimpin. Dari hasil penelitian Rick Warren, saat ini, Yesus Kristus adalah Pemimpin terbesar di dunia. Pengikutnya ada 2,1 miliar orang. Tak seorangpun yang menyamainya. Warren mempercayai bahwa kepemimpinan melayani yang dilakukan Yesus adalah jenis kepemimpinan terbaik. Lee Brase berkata, “Jika anda melatih seseorang maka ia akan menjadi seperti anda tetapi jika anda melayaninya, langit adalah batas dari perkembangannya.” Melalui seluruh masa hidup dan kepemimpinanNya, Yesus menegaskan bahwa Allah tidak mencari pemimpin tetapi pelayan yang membiarkan Allah menjadi Pemimpinnya dan berfokus pertama-tama pada kerajaan Allah. Pemimpin dalam perspektif Yesus, harus mampu memberikan pelayanan yang baik demi kepentingan pengikut yang dipimpinnya. Pemimpin dipanggil untuk melayani, yaitu memperhatikan, menolong dan mempedulikan orang-orang yang dipimpin. Itulah fungsinya, dan tanpa adanya kesungguhan dan kemampuan itu, pemimpin tidak diperlukan. Yakob Tomatala juga menyimpulkan bahwa keunikan kepemimpinan Kristen terletak di sini, pemimpin harus memelihara sikap melayani. Kenneth O. Gangel menguraikan empat hal yang membedakan kepemimpinan Kristen dengan kepemimpinan secara umum. Perbedaan pertama terletak pada sumber kekuasaan kepemimpinan Kristen adalah dari Allah. Kedua, kepemimpinan Kristen memiliki preseden historis dari contoh-contoh kepemimpinan para tokoh pemimpin di dalam Alkitab. Ketiga, keunikan dinamika rohani dalam kepemimpinan yakni : penerimaan akan tanggungjawab, lemah lembut dalam memimpin, kesediaan diajar dan perhatian kepada pengikutnya. Dan keunikan yang keempat tentang analisis birokrasi dalam kepemimpinan Alkitabiah dimaknai sebagai alat yang baik tetapi tuan yang buruk. Menurut Gangel, inilah empat keunikan kepemimpinan yang melayani. Alasan Yesus menitikberatkan unsur pelayanan dalam kepemimpinan sebenarnya disebabkan akan adanya bahaya utama yang terkandung dalam kepemimpinan yaitu keangkuhan. Tetapi itu bukan alasan yang terutama. Menurut John Stott, hal ini lebih disebabkan dalam kepemimpinan yang melayani terdapat pengakuan akan harkat dan martabat orang-orang sebagai manusia. Manusia adalah gambar Allah. Dan sebagai gambar Allah, mereka seharusnya dilayani dan bukan dieksploitasi, dihormati dan bukan dimanipulasi. Kepemimpinan yang melayani menuntut kepemimpinan yang menanggalkan jubah, berlutut, mengambil sebuah handuk dan membasuh kaki para pengikutnya seperti yang telah dilakukan oleh Yesus. Sungguh kontras dengan kepemimpinan yang disertai keangkuhan karena kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang mengakui begitu tinggi harkat dan martabat pengikutnya sebagai manusia. Kepemimpinan yang melayani seperti Kristus memiliki sembilan ciri khas. Sembilan ciri khas kepemimpinan yang melayani ini secara konsisten dijalani dan dihidupi oleh Yesus sepanjang pelayanan-Nya kepada dan bersama para murid-Nya. Kepemimpinan yang melayani seharusnya diterapkan oleh semua pemimpin Kristen. Prinsip pertama : Melayani dengan Visi yang Berasal Dari Tuhan. Pemimpin yang baik digerakkan oleh visi. Visi artinya seni atau kemampuan untuk melihat sesuatu yang tak terlihat. Pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang mampu untuk melihat serta memahami sesuatu yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang. Bill Hybels mendefinisikan visi sebagai “suatu gambaran masa depan yang menghasilkan gairah”. Visi membuat seorang pemimpin dimampukan memandang masa depan yang lebih baik. Hal ini menimbulkan semangat, gairah yang menyala-nyala untuk mencapainya. Visi inilah yang membuat seorang pemimpin mampu bertahan dalam kesulitan. Bagi pemimpin Kristen, visi yang dipakai olehnya untuk memimpin bukanlah visi yang dibuat sendiri atau hasil dari konsensus bersama melainkan harus merupakan visi yang Tuhan berikan kepadanya. Hal ini juga dikatakan oleh George Barna. Menurutnya, visi sejati berasal dari Tuhan. Bila seorang pemimpin Kristen memunculkan suatu visi tentang masa depan, visinya bisa keliru, kurang dan terbatas. Visi Tuhanlah yang sempurna dalam segala hal. Dan Tuhan memberikan visi itu kepada para pemimpin Kristen. Allah adalah Sumber, Pemberi visi serta Subjek yang mengimpartasikan visi itu kepada pemimpin yang dipilih-Nya. Karena visi itu berasal dari Tuhan, maka orang-orang yang ingin memimpin karena memiliki karunia, karena pengalaman, karena mereka menikmati kekuasaan, karena memiliki ide-ide untuk membangun, karena mereka mencintai perhatian, atau mereka telah diatur untuk melakukan itu adalah orang-orang yang berbahaya bila menjadi pemimpin, motivasi mereka tidak tepat. Pemimpin adalah pelayan. Mereka yang mencari posisi kepemimpinan karena alasan-alasan selain memenuhi visi yang diberikan Tuhan, bukanlah pemimpin yang sejati. Setelah mendapatkan visi dari Tuhan, pemimpin harus menjaga pikiran tetap pada satu jalur. Hal ini tidak mudah. Disiplinlah kuncinya. Bila tidak disiplin, menurut Billy Arcement, pemimpin akan menjadi seperti anak bungsu dalam perumpamaan anak yang hilang. Ia mengalami banyak penderitaan sampai akhirnya ia kembali kepada tujuannya yang sebenarnya. Bila terjadi demikian, kembali kepada visi yang diberikan Tuhan adalah jawabannya. Pinsip kedua : Melayani dengan Pengurapan Roh Kudus. Dalam Perjanjian Baru, Roh disebut hampir 300 kali dan hampir selalu dihubungkan dengan “kekuasaan”. Saat Yesus akan pergi ke Surga, para pengikutNya gentar menghadapi masa depan mereka. Dalam Injil Yohanes 16:1- 16, Yesus mengatakan bahwa para muridNya memerlukan Penolong yaitu Roh Kudus dalam pelayanan mereka. "Semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya kamu jangan kecewa dan menolak Aku. Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Mereka akan berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku. Tetapi semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat, bahwa Aku telah mengatakannya kepadamu. Hal ini tidak Kukatakan kepadamu dari semula, karena selama ini Aku masih bersama-sama dengan kamu, tetapi sekarang Aku pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepada-Ku: Kemana Engkau pergi? Tetapi karena Aku mengatakan hal itu kepadamu, sebab itu hatimu berdukacita. Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu. Dan kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman; akan dosa, karena mereka tetap tidak percaya kepada- Ku; akan kebenaran, karena Aku pergi kepada Bapa dan kamu tidak melihat Aku lagi; akan penghakiman, karena penguasa dunia ini telah dihukum. Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku." Kenaikan Yesus Kristus ke surga adalah agar Roh Kudus dikirimkan kepada para muridNya. Itu jauh lebih baik. Bahkan, Yesus berkata bahwa para murid akan menerima kuasa kalau Roh Kudus itu turun atas mereka, sehingga mereka memiliki keberanian menjadi saksi-saksi Kristus sampai ke ujung bumi. Yesus sendiri memulai pelayanan-Nya dengan pengurapan Roh Kudus. Dia dibaptis oleh Yohanes dan Roh Kudus turun atas-Nya dalam rupa seperti burung merpati. Dalam kuasa dan pimpinan Roh Kudus, Yesus menang atas setiap pencobaan yang dilakukan iblis di padang gurun. Tim kepemimpinan yang melayani akan saling mengenal satu sama lain, saling menghormati dan bekerja sama mencapai sasaran bersama. Jika pelayanan itu dilakukan bersama-sama dengan Roh Kudus maka keefektifan menjadi berlipat ganda. Prinsip ketiga : Melayani dengan Kerendahan Hati dan Kepercayaan Diri. Menurut Henri Nouwen, salah satu godaan para pemimpin adalah godaan ingin menjadi populer, hebat dan berkuasa. Popularitas dan kekuasaan membuat pemimpin kehilangan salah satu norma kebaikan seorang pemimpin yaitu kerendahan hati. Melayani dengan kerendahan hati hanya dapat dilakukan ketika seseorang menyadari bahwa dirinya adalah milik Allah dan mengerjakan misi Allah. Kerendahan hati adalah sikap hati yang menunjukkan pemahaman mendalam atas keterbatasan dirinya untuk menyelesaikan segala sesuatu sehingga terdapat pengakuan atas keberhasilan bukan semata-mata berasal dari kemampuannya sendiri yang terbatas. Pemimpin yang rendah hati mengamini dengan sungguh perkataan Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes 15:5, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”. Pada pihak lain, pemimpin yang rendah hati juga harus memiliki kepercayaan diri. Mereka tidak menyangkal kekuatan, kecerdasan dan kelebihan mereka tetapi mereka mengakui bahwa semua yang ada padanya itu anugerah. Tuhan memakai mereka. Tuhan yang memiliki kuasa kepemimpinan dan melalui mereka kuasa kepemimpinan itu dinyatakan. Kerendahan hati adalah kualifikasi pemimpin yang dicari Allah. Allah menginginkan seorang yang setia, bukan seorang pejuang yang mengandalkan kekuatannya sendiri. Pemimpin yang mengandalkan Tuhan atau pemimpin yang rendah hati akan menjadi pemimpin yang melayani. Kepemimpinan yang melayani bukan hanya berhenti kepada kerendahan hati tapi juga kepercayaan diri yaitu kepercayaan diri yang bersandar pada Allah. Yesus tahu bahwa Allah mencintai-Nya tanpa batas. Demikian pula pemimpin Kristen seharusnya memahami diri mereka. Prinsip keempat : Melayani dengan Karakter Kuat. Integritas dan kepribadian adalah dua hal yang membentuk karakter seseorang. Integritas adalah satunya kata dengan perbuatan. Setiap janji ditepati. Itulah integritas. Sementara itu, kepribadian merupakan sifat-sifat hati yang baik, misalnya sopan santun, kejujuran, kebaikan hati, dsb yang memudahkan proses komunikasi. Karakter lebih dari sekedar perkataan. Karakter seseorang menentukan siapa ia sesungguhnya. Jika perbuatannya bertentangan dengan apa yang ia katakan, maka karakter orang tersebut tidak baik. Tetapi karakter berbeda dengan talenta. Talenta adalah karunia, tetapi karakter adalah pilihan. Setiap orang bisa memilih karakternya sendiri dan dapat dikembangkan. Jack W. Hayford mengatakan bahwa perkembangan karakter kepemimpinan memerlukan lebih dari sekedar praktik disiplin lahiriah, karena hal itu melibatkan hati dan bukan hanya kebiasaan. Karakter bukan hanya berhubungan dengan pengabdian, karena hal itu melibatkan transformasi bukan sekedar inspirasi. Juga bukan sekedar kepatuhan pada peraturan karena melibatkan Roh Kudus yang berkarya dalam batin seseorang. Karakter juga bukan hanya soal kekudusan hidup pribadi tetapi hidup yang transparan di hadapan orang lain yang didorong hati yang penuh ketulusan. Karakter yang kuat akan menghasilkan reputasi di hadapan para pihak. Stephen R. Covey berpendapat bahwa karakter pada dasarnya adalah gabungan dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Tuhan Yesus melayani dengan karakter kuat. Apa yang dikatakanNya selalu diakukanNya. Yesus adalah Pemimpin berintegritas. Kepribadian-Nya tak tercela. Yesus menjadikan diri dan kehidupan-Nya sebagai bukti dari segala pengajaran-Nya. Prinsip kelima : Melayani dengan Menjaga Kehidupan Doa. Seorang pemimpin harus mampu mendengarkan suara Tuhan. Ia tidak tergesa-gesa membuat keputusan. Ia menunggu suara- Nya. Ada saat di mana keputusan cepat dan tepat harus diambil tetapi keputusan dipertimbangkan sedemikian rupa dengan mempergumulkannya dalam doa. Meskipun pemimpin-pemimpin dunia dan pemimpin-pemimpin Kristen dapat memimpin dengan atau tanpa doa, tetapi pemimpin-pemimpin besar dalam Alkitab adalah para pemimpin yang berdoa. Pemimpin harus menjaga relasinya dengan Tuhan, menghormati-Nya dan menjaga kekudusan hidupnya. Pemimpin adalah seorang yang panca indera rohaninya peka dan terlatih dengan baik. Disiplin rohani dan komunikasi yang intim dengan Tuhan adalah kuncinya. Ia adalah seorang pemimpin, sekaligus pendoa. Keberhasilan dan pujian orang banyak bisa menjadi racun bagi seorang pemimpin, khususnya para pemimpin yang memiliki pemikiran bahwa harga diri merupakan kombinasi dari kinerja yang bagus dan pendapat orang lain. Mengambil waktu seorang diri bersama Tuhan merupakan kebiasaan penting untuk memurnikan panggilan pelayanan. Prinsip keenam : Melayani dengan Belas Kasihan. Pemimpin harus memiliki belas kasihan terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Ia memiliki empati dan mengerti kebutuhan orang- orang yang dipimpinnya. Pemimpin harus memiliki hubungan hati dengan pengikutnya, saling mengenal dan memiliki kepedulian. Hal ini ditunjukkan Musa tatkala Tuhan berencana memusnahkan bangsa Israel karena ketidakaatan mereka kepada Tuhan dan beribadah kepada patung lembu emas. Tuhan berencana akan membentuk umat baru melalui keturunan Musa, tetapi Musa menolak rencana pemusnahan bangsa Israel dan memohonkan pengampunan bagi Israel jika tidak Musa meminta namanya dihapuskan saja dalam Kitab Kehidupan. Musa bertindak demikian karena belas kasihannya kepada umat Israel yang dipimpinnya. Dalam Kitab Injil digambarkan bagaimana Yesus Kristus yang penuh belas kasihan. Sesudah Yesus menyembuhkan orang lumpuh dan mengampuni dosanya, disaksikan orang banyak Yesus pergi dan menjumpai Matius yang berprofesi sebagai pemungut cukai. Matius sangat dibenci oleh orang Yahudi karena dipandang sebagai orang berdosa. Tetapi didorong belas kasihan-Nya, Yesus mendekati rumah cukai itu tanpa risih, tidak peduli apa komentar orang perihal tindakan- Nya yang tak lazim dan mengajak Matius untuk menjadi salah seorang murid-Nya. “Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku." Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia. Kemudian ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama- sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" Yesus mendengarnya dan berkata: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." Pribadi Yesus yang berbelas kasihan dikisahkan oleh penulis Injil. Enam belas kali Yesus dikisahkan oleh Matius, Markus dan Lukas menunjukkan belas kasihan dan mengajarkan pentingnya belas kasihan. Yesus menaruh belas kasihan kepada orang banyak, menyembuhkan orang buta, menyembuhkan orang kusta, membangkitkan orang mati di kota Nain dan juga Lazarus, semua dilakukan-Nya didorong oleh belas kasihan. Prinsip ketujuh : Melayani dengan Kerelaan Berkorban. Di dunia ini tidak ada olahragawan yang sukses dari sejak lahirnya. Mereka harus melalui pengorbanan demi pengorbanan dalam bentuk latihan yang tidak ada hentinya. Demikian pula pemimpin berpengalaman bukan karena terjadi demikian saja tetapi hasil perjalanan panjang melalui banyak kerikil-kerikil tajam. Pemimpin harus berkorban, bukan hanya berkorban waktu, tenaga dan pemikiran tetapi juga untuk berkorban meninggalkan kenyamanan demi meningkatkan kapasitas dirinya. Pemimpin yang melayani tidak menggunakan pendekatan kekuasaan melainkan memberi dan membagi wewenang. Ia tidak mencari atau mementingkan rasa hormat dari pengikutnya tapi mengedepankan hubungan dan komunikasi dengan mereka. Pemimpin yang melayani akan rela berkorban untuk kepentingan pengikutnya. Yesus Kristus mengajarkan hal ini dalam Injil Yohanes 10:11-15 : Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba- domba-Ku. Yesus menjalankan ajaran-Nya itu melalui hidup dan kematian-Nya di kayu salib. Kerelaan pemimpin untuk berkorban bagi kepentingan pengikutnya menjadikan pemimpin dihormati dan sekaligus dikasihi oleh para pengikutnya. Dalam dunia kepemimpinan, satu pengorbanan saja belumlah cukup untuk membawa sukses. Pengorbanan adalah sesuatu yang konstan dalam kepemimpinan. Pengorbanan adalah proses yang berkelanjutan, bukan suatu pengorbanan yang sekali bayar. Biasanya, semakin tinggi kepemimpinannya, semakin besar pengorbanan yang telah diberikan. Tak ada sukses tanpa pengorbanan. Pemimpin harus rela berkorban. Prinsip kedelapan : Melayani dengan Memberdayakan, Mengkader dan Membangun Tim Kepemimpinan. Sepintas lalu, tampaknya Yesus melakukan apa yang dilakukan pemimpin- pemimpin besar lainnya, yaitu menuntun para pengikut-Nya di sepanjang jalan yang harus ditempuh mereka. Tetapi itu bukan tujuan utama Yesus Kristus sebagai seorang pemimpin. Tujuan utama-Nya sebagai seorang pemimpin bukanlah menuntun para murid-Nya ke kayu salib, meskipun itu juga dilakukan-Nya. Tujuan utama-Nya adalah membina para pemimpin yang berasal dari pengikut-Nya. Itulah sebabnya, Yesus sangat berhasil dalam kepemimpinan- Nya. Demikian pula gereja pada abad pertama. Seluruh gaya kepemimpinan Yesus selama tiga tahun pelayanan-Nya adalah untuk mencari, memilih dan melatih dua belas pengganti-Nya. Menjelang Ia disalibkan, agama Kristen baru sedikit penganutnya. Yesus menetapkan pola untuk apa yang disebut menjadikan semua bangsa murid-Nya ketika Ia mengutus murid-murid- Nya untuk pergi dan memenuhi apa yang telah dimulai-Nya. Yesus tidak mengembangkan agama Kristen menjadi gerakan seluruh dunia, namun para pengikut-Nyalah yang melakukannya. Yesus memilih untuk tidak menuntaskan kehendak-Nya tanpa mereka yang meneruskannya. Pada zaman modern ini kepemimpinan Kristen berkembang bukan hanya melalui gereja Tuhan tetapi juga dalam Lembaga-lembaga Penginjilan. Bahkan bukan pemberdayaan yang dilakukan berjenjang dan bukan hanya satu lapis saja. Tom Philips, salah satu pemimpin dalam tim pelayanan Billy Graham menjelaskan prinsip-prinsip dalam membangun suatu tim pelayanan Kristen, dimana suatu tim harus mempunyai seorang pemimpin yang memiliki karunia dan komitmen. Tim terdiri dari pria dan wanita yang memiliki hati yang sudah dijamah oleh Allah. Mereka merupakan sekelompok orang yang bersatu di bawah ke-Tuhanan Yesus Kristus. Tiap anggota tim harus berfokus pada visi, ditempatkan secara tepat dalam bidang pelayanan tertentu, dalam komunikasi dengan sesama anggota tim yang terjaga baik. Tim harus selalu dilatih dan diberdayakan. Setiap anggota tim memahami dan menghormati otoritas yang ada. Mereka memiliki prinsip melayani lebih penting daripada kedudukan. Bila mengalami kegagalan, tim harus menyadari bahwa hal itu bisa menjadi suatu langkah menuju sukses. Suasana hubungan tiap anggota tim harus mencapai tingkat kenyamanan seperti suasana rumah. Tim harus mampu merespons perubahan dengan tetap fleksibel. Anggota tim menerima pendelegasian, tetapi tidak dilepaskan dan transparan. Kepemimpinan merupakan kepemimpinan berjenjang, seperti kepemimpinan Musa. Menjaga kesatuan tim. Setiap pemimpin tim merupakan pelatih bagi mereka yang dibawah otoritasnya, setiap anggota tim yang tidak berpartisipasi diganti dan setiap anggota tim selalu terfokus dalam tujuan. Kepemimpinan yang melayani dengan demikian adalah kepemimpinan yang membangun tim, memberdayakan dan mengkader pengikutnya untuk menjadi pemimpin besar di kemudian hari dan mengabdi bagi kerajaan Allah. Kepemimpinan dalam tim sangat dimengerti di dunia olah raga. Seorang pelatih basket Duke University tahun 2001 bernama Mike Krzyzewsky mengatakan bahwa membangun tim merupakan keharusan untuk mencapai apa yang tak dapat dicapai sendirian. Semua orang lemah saat mereka sendirian, pada umumnya, daripada jika mereka bersatu. Pemimpin Kristen yang menghormati Tuhan Yesus sudah seharusnya tidak menuntun pengikutnya kepada diri mereka sendiri tetapi mengupayakan agar melalui kepemimpinan tim, orang-orang yang dipimpinnya menjadi pemimpin. Kepemimpinan tim sangat mengenal pendelegasian. Pendelegasian adalah pembagian berkat keterlibatan kepada sebanyak mungkin orang. Tanpa pendelegasian, anggota tim kepemimpinan mengalami kelumpuhan kreativitas dan terhambat pertumbuhannya. Prinsip kesembilan : Melayani dengan Keberanian Menempuh Risiko. Keberanian menyulut kepemimpinan. Keberanian mendorong seorang pemimpin bertanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Keberanian memancarkan energi untuk mengeksplorasi bersama tentang masa depan. Pada pihak lain, rasa takut adalah kebalikan dari keberanian. Perasaan ini berhubungan dengan hal-hal yang tidak diketahui. Rasa takut membuat seseorang tidak mau mengambil risiko. Padahal hidup selalu mengandung risiko. Menyeberang jalan adalah risiko. Demikian pula membuka hubungan baru, mendirikan perusahaan, menanam, dst mengandung risiko. Tetapi risiko paling besar adalah tidak melakukan apa-apa. Tidak melakukan apa-apa membawa seseorang kepada entropi, penyebab terjadinya pengecilan otot, terhambatnya aliran oksigen dalam tubuh dan membawa kematian. Rasa takut mengambil risiko berhubungan erat dengan tiadanya pengetahuan yang cukup mengenai sesuatu hal. Pada saat mulai mendapatkan pengetahuan mengenai suatu bidang, situasi, keadaan atau seseorang, rasa takut tersebut biasanya akan menghilang. Tokoh dalam Perjanjian Lama bernama Musa adalah pemimpin yang pemberani. Tanpa pengawal dan tanpa senjata, ia menghadap Raja Mesir dan meminta agar bangsa Israel dilepaskan dari perbudakan. Musa dua belas kali menghadap Firaun ditemani Harun. Pemimpin harus berani mengambil keputusan, termasuk keputusan yang tidak populer tetapi dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Dan untuk mengambil keputusan yang demikian, pemimpin haruslah seorang pemberani. Menurut David Ben-Gurion, keberanian adalah suatu pengetahuan khusus yaitu pengetahuan akan bagaimana takut kepada apa yang seharusnya ditakuti, dan bagaimana tidak takut pada apa yang seharusnya tidak ditakuti. Dari pengetahuan ini muncul kekuatan batin yang mengilhami pemimpin untuk berjalan menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Dengan keberanian, apa yang tampaknya tidak mungkin terkadang menjadi mungkin. Keberanian pemimpin akan menular kepada pengikutnya. karena keberaniannya, orang-orang yang melihatnya akan dengan rela mau menjadi pengikutnya. Keberanian akan membuka pintu, dan itulah salah satu keuntungannya. Dalam kamus pemimpin, sifat puas diri dan mengambil posisi defensif akan berdampak pada kemunduran organisasi. Pemimpin harus berani untuk terus meraih tujuan-tujuan yang lebih tinggi yang bisa dicapai dengan tetap memperhatikan visi dan misi pokok Lembaga. Yesus melayani dengan berani. Dia tidak bisa digertak oleh siapapun. Setiap hari Yesus menempuh risiko dalam pelayanan-Nya di dunia. Bahkan risiko kematian dihadapi-Nya dengan gagah. Hal ini menginspirasi para murid-Nya untuk memiliki keberanian yang sama. Para murid-Nya berani menempuh risiko mati syahid dalam pelayanan. Dalam kepemimpinan yang melayani, risiko bukan untuk dihindari tetapi untuk dihadapi. Pada prinsipnya, kepemimpinan Kristen memiliki kesamaan dengan kepemimpinan umum, yaitu sebuah proses terencana yang dinamis. Yang membedakan dalam konteks kepemimpinan kristiani ada pada proses dan dinamikanya karena kepemimpinan tersebut merupakan rencana dan campur tangan Tuhan. Dalam Kepemimpinan Kristen, seluruh kegiatan kepemimpinan berdasarkan pada kehendak Allah dan dalam pencapaiannya adalah dilakukan sesuai dengan tujuan Allah. Definisi kepemimpinan perspektif Alkitab dapat dipahami dari beberapa pandangan tokoh kepemimpinan Kristen, di antaranya adalah: Dr. Yakob Tomatala, yang mengatakan bahwa kepemimpinan Kristen adalah “suatu proses terencana yang dinamis dalam konteks pelayanan Kristen yang di dalamnya oleh campur tangan Allah, Ia memanggil bagi diri-Nya seorang pemimpin untuk memimpin umat-Nya guna mencapai tujuan Allah. Disini dijelaskan bahwa Tuhan dengan rencana-Nya menunjuk seseorang untuk memimpin sesuai dengan kehendak-Nya. Qswald Sander dalam tulisannya mengatakan bahwa: Kepemimpinan dalam perspektif Alkitab adalah sebuah campuran antara sifat-sifat alamiah dan rohaniah. Sifat alamiah yang bukan timbul begitu saja, melainkan diberikan oleh Allah, dan oleh karena itu sifat-sifat ini akan mencapai efektifitasnya yang tertinggi jika digunakan di dalam melayani Allah dan untuk kemuliaan-Nya. Kitab injil mencatat dengan baik mengenai pola kepemimpinan yang dimiliki olehYesus. Pola kepemimpinan yang agung dapat dipelajari dari keteladanan hidup yang Yesus telah tunjukkan dalam tiga setengah tahun masa pelayanan-Nya di bumi. Disamping keteladanan hidup, beberapa kali juga Yesus berbicara langsung mengenai topik kepemimpinan. Menurut Keneth Boa terdapat dua diantara banyak pengajaran-Nya yang mengandung prinsip-prinsip kepemimpinan yang tidak dapat ditawar lagi. Prinsip pertama, setelah memilih dua belas murid, Yesus menyatakan persyaratan bagi mereka yang bercita-cita sebagai pemimpin. Yesus mengatakan bahwa kualifikasi untuk seorang pemimpin adalah kedalaman rohani para pemimpin itu. [Lukas 6:39-49] Dalam teks ini Yesus sedang menekankan bahwa pengajaran pertama tentang kepemimpinan adalah karakter. Pelajaran kedua adalah saat menjelang akhir hidup-Nya kedua belas murid berdebat tentang siapa yang terbesar diantara mereka. Yesus menghentikan perselisihan tersebut dengan pengajaran tentang kepemimpinan yang melayani. Yesus memulai dengan menunjukan bahwa pemimpin di dunia memimpin secara otoriter, tetapi tidak demikian dengan murud-murid-Nya. Para murid harus memimpin dengan prinsip melayani. Kemudian Yesus menutupnya dengan memberikan contoh bahwa “Anak manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani”. Yesus tahu siapa dia dan mengapa dia ada di dunia ini. Pemimpin yang mengenal diri sendiri dan menemukan alasan keberadaan di dunia akan cenderung menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh. Sedangkan pemimimpin yang tidak mengenali diri sendiri dan alasan keberadaannya di dunia akan cenderung tidak percaya diri, lemah dan mudah terombang ambingkan dengan banyak pendapat. Dari hal ini dapat berarti bahwa Yesus bisa memimpin dari dalam kekuatan sendiri bukan dari ketidakpastian atau kelemahan. Yesus berkata beberapa kali, “Mari, ikuti aku.” Dia adalah suatu contoh pemimpin yang mendorong pengikutnya untuk melakukan apa yang Dia lakukan, daripada melakukan apa yang hanya Dia katakan. Demikian juga hendaknya seorang pemimpin. Pemimpin yang baik bukan hanya dituntut untuk bisa mengajar, melaikan juga harus dapat memberikan teladan nyata dari setiap pengajarannya. Pada saat kebanyakan para pemimpin membuat jarak untuk menjaga reputasi posisi dan kedudukannya, Yesus justru tidak takut untuk membangun persahabatan yang erat dengan orang-orang yang di pimpin-Nya. Dia tidak takut kedekatan bawahannya dengan Dia akan mengecewakan pada perjalanan waktu. Ia membuka diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi akibat kedekatannya. Sikap Yesus ini memberikan pengajaran kepada kita bahwa pengaruh kepemimpinan sejati tidak dapat mengangkat orang lain kecuali pemimpin tersebut mau untuk hidup bersama dan melayani mereka yang dipimpinnya. Yesus adalah pemimpin yang mendengarkan orang-orang yang dibawahnya. Karena Dia mengasihi orang lain dengan kasih yang sempurna, Dia mendengarkan tanpa merendahkan diri orang lain yang menjadi lawan bicaranya. Ini adalah pembelajaran berharga bagi seorang pemimpin. Menjadi pemimpin tidak berarti dia harus selalu didengarkan, tapi dia juga mau memberi diri untuk mendengarkan suara dari arus bawah yang dia pimpin. Kesediaan pemimpin untuk mendengar suara bawahannya akan membangun rasa percaya diri dan rasa dipedulikan yang diperlukan oleh bawahannya. Keteladanan pola kepemimpinan Yesus dalam hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin adalah pemimpin yang terpanggil dan terbeban. Stevri menjelaskan “Beban terhadap kondisi umat Tuhan yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan mendorong seseorang untuk melayani dengan penuh arah, energy dan focus”. Beban juga membangkitkan semangat atau energy untuk berjuang sekalipun harus melewati banyak rintangan yang manjadi tantangan. Ada beban untuk membangun, beban untuk memajukan, beban untuk memperbaiki, dan beban untuk membebaskan sesuai dengan kondisi umat yang dipimpin. Karena Yesus mengasihi para pengikutnya, dia dapat menyesuaikan diri dengan mereka, untuk terus terang bersama mereka. Dia kadang-kadang menegur Petrus karena dia mencintainya, dan Petrus sebagai orang hebat, ia dapat tumbuh dari teguran ini. Ada sebuah ayat yang indah dalam kitab Amsal yang harus kita ingat: “Telinga yang mendengar teguran hidup di antara orang bijak.” Ia yang menolak pengajaran membenci jiwanya sendiri, tetapi orang yang mendengar teguran mendapat pengertian. [Amsal 15:31-32]. Ini adalah kriteria pemimpin yang bijak atau pengikut bijak yang dapat mengatasi “teguran hidup”. Petrus dapat melakukan ini karena dia tahu bahwa Yesus mengasihi dia, dan karena itu Yesus dapat menempatkan Petrus berada dalam posisi yang sangat tinggi atau tanggung jawab di Kerajaan. Kepemimpinan Yesus menekankan pentingnya untuk tidak membedakan orang lain, tanpa berusaha mengendalikannya. Dia peduli dengan kebebasan para pengikutnya untuk memilih. bahkan pada saat-saat yang begitu penting, harus memilih secara sukarela untuk melewati Getsemani dan bertahan di kayu salib di Kalvari. Dia mengajarkan kita bahwa tidak akan ada pertumbuhan tanpa kebebasan nyata. Sekalipun posisi Yesus memungkinkan untuk mempengaruhi seseorang dengan kuasa-Nya, namun pada kenyataannya Dia tidak pernah menggunakan kuasa-Nya untuk memanipulasi kepentingan- Nya kepada orang lain. Yesus pernah membiarkan 5000 orang lebih meninggalkan-Nya sekalipun kepada mereka Yesus pernah memberi makan mereka semua dengan mengubah lima roti dua ikan. Ia juga tidak memaksakan Yudas untuk tidak menjual diri-Nya sekalipun pada dasarnya Yesus sanggup melakukannya. Yesus membuat perbedaan yang significant antara pola kepemimpinan-Nya dengan kepemimpinan kebanyakan orang. Ketika banyak pemimpin menggunakan charisma dalam dirinya untuk memanipulasi orang, Yesus memilih memakai kharism adalam diri-Nya untuk mendorong orang mengikuti-Nya tanpa paksa. Dia berfokus bukan kepada kebutuhan-Nya, melainkan kebutuhan orang lain yang mengikut-Nya. Kepemimpinan-Nya tidak memaksa banyak orang menjadi pengikut-Nya, tetapi mengutamakan seseorang harus mengikuti Dia secara sukarela. Pemimpin yang baik tidak hanya berfokus kepada pengembangan dirinya sendiri. Pemimpin yang bertanggungjawab juga mendorong orang yang menjadi bawahannya mengalami pertumbuhan dengan baik. Seorang pemimpin yang baik memiliki rasa tanggung jawab pada saat mengerjakan apa pun, dan dia tidak akan memiliki sikap asal perintah. Bahkan, seringkali seorang pemimpin harus berdiri di depan untuk menjadi tameng saat terjadi kesalahan tindakan dari bawahannya. [Ibr 13:17] Seorang pemimpin harus sadar bahwa di pundaknya terletak kepentingan banyak orang, maka dari itu seorang pemimpin yang baik tidak boleh semata-mata bekerja hanya untuk kepentingan pribadinya. Pemimpin dengan kesadaran diri dan kerelaan hati memberikan hidupnya untuk mengabdi pada Tuhan sebagai tuannya, dan mengurusi kehidupan spiritual umat Tuhan, bahkan memberikan pelayanan secara menyeluruh sebagai konsekuensinya. [II Tim 2:4] Kepemimpinan penggembalaan jemaat adalah kepemimpinan hamba, maka jabatan bukanlah kekuasaan, tetapi kesediaan diri untuk melayani. Sekalipun mempunyai otoritas untuk memimpin jemaat, seluruh pelaksanaan tanggung jawab didasari dengan penghambaan diri untuk melayani. [Lukas 22:26] Keteladanan yang diberikan oleh Yesus Kristus sebagai Gembala Agung adalah kesetiaan dalam melaksanakan tugas dari Bapa-Nya. Ia rela menanggung penderitaan yang hebat sampai akhir hidupnya di kayu salib. Jika seorang gembala sidang ingin menunjukkan bahwa dirinya benar-benar seorang pemimpin, adalah dengan membuktikan kesetiaannya dalam menanggung semua beban dan menghadapi kesukaran apapun tetap bertahan, teguh, dan tangguh. Jadi, ukuran kesetiaan gembala sidang dalam kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting. Apabila seorang pemimpin mengharapkan adanya loyalitas dari orang-orang yang dipimpinnya, maka dia pun harus terlebih dahulu memiliki kesabaran dan kesetiaan untuk memimpin. Timbal balik kesetiaan antara pimpinan dengan bawahan dapat diukur dari seberapa jauh mereka saling memberikan dukungan saat keadaan baik atau pun buruk. Dukungan tersebut dapat direalisasikan baik secara material ataupun moral. [Ib 12:3] Menjadi pemimpin yang rendah hati dan mengedepankan kesederhanaan adalah landasan bagi keberhasilan yang penuh makna. Memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan memiliki mentalitas melayani dari hati. Apalagi kalau sudah memiliki kedudukan yang tinggi dengan tanggungjawab yang besar, bisa terjebak pada dorongan untuk kepentingan nafsu duniawi dan egoisme pribadi semata, pasti akan mementingkan kepentingan sendiri dan keinginannya justru dilayani bukan melayani. Pemimpin yang baik dapat menjadi teladan dan menginspirasi anggotanya untuk mengembangkan nilai-nilai pelayanan dari dalam hati. Sehingga anggotao rganisasipun dalam bekerja juga berpikir bagaimana bisa memberikan layanan terbaik, memberikan kontribusi terbaik melalui peran pekerjaannya dalam organisasinya. Karena setiap orang yang melayani dengan ikhlas berarti telah berpartisipasi menebar rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas terhormat seorang pemimpin. [Mat 11:29] Pemimpin yang baik tidak bersifat kaku dan arogan, tetapi dia memiliki karakter yang mudah dibentuk dan mau diproses untuk menjadi lebih baik melalui lingkungan sekitarnya, termasuk oleh bawahan. Saat seorang pemimpin melakukan kesalahan, dia harus berani untuk mengakui kesalahannya, dan tanpa ragu meminta maaf, walaupun dengan meminta maaf itu ia harus mengorbankan harga dirinya. [Ef 5:21] Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bekerja keras. Ia memiliki etos kerja yang dapat memberikan contoh langsung kepada orang-orang yang dipimpinnya. Secara sederhana, etos kerja adalah semua kebiasaan baik yang berkaitan dengan tanggung jawab, ketekunan, semangat, dan sebagainya. [Titus 2:7-8] Adakalanya orang yang dipimpin mengalami demotivasi, atau penurunan motivasi, karena suatu hal atau yang lain, sedangkan motivasi dalam pekerjaan sangat berpengaruh bagi kelangsungan suatu organisasi. Maka dari itu seorang pemimpin yang baik harus siap untuk memotivasi dan meningkatkan kembali gairah dan optimisme orang- orang yang di pimpinnya kapan saja mereka membutuhkannya. Tidak ada istilah “penurunan motivasi” di dalam kamus seorang pemimpin yang baik. Dalam proses kepemimpinan, motivasi merupakan sesuatu yang esensial dalam, karena memimpin adalah memotivasi. Seorang pemimpin harus bekerja bersama-sama dengan orang lain atau bawahannya, untuk itu diperlukan kemampuan memberikan motivasi kepada bawahan. Sebab keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan bergantung pada bagaimana pemimpin dapat menciptakan motivasi terhadap orang yang dipimpin melalui gaya kepemimpinan yang dibangun dalam dirinya. Sehingga pengikut yang termotivasi akan berusaha mencapai tujuan secara sukarela dan berkelanjutan. [Yes 50:4] Bekerja bersama merupakan bagian penting dari kepemimpinan. Tanpa adanya kebersamaaan dalam satu team yang baik, maka tujuan yang akan dicapai oleh pemimpin tidak akan berhasil dengan baik. Bekerja team adalah bekerja bersama-sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan yang sama pula. Bekerja bersama ini membutuhkan banyak keahlian, agar bisa berjalan dengan baik dan lancar. Keahlian diterapkan untuk pencapaian tujuan bersama. Seorang pemimpin yang baik harus dapat lebih memandang orang-orang yang dipimpinnya sebagai rekan kerja dalam tim, dari pada memandang mereka semata-mata sebagai “bawahan”. Pemimpin harus mampu menyatukan seluruh jiwa, hati, dan pikiran mereka untuk kemajuan bersama, melalui penghargaan, kepercayaan, kemauan untuk mendengarkan, dan kepekaan hati nurani, maka seorang pemimpin akan dihargai. Dengan pemahaman dan kesadaran tersebut diatas, seorang pemimpin yang baik tidak akan melakukan segala sesuatunya sendiri,melainkan membutuhkan bantuan dari orang lain, termasuk orang-orang yang di pimpinnya. [Maz 133] Penutup Kepemimpinan adalah konsep yang dipakai baik oleh gereja maupun dunia. Namun paham kepemimpinan Kristen dan paham kepemimpinan dunia pada umumnya tidak identik. Setiap orang adalah pemimpin karena mereka mempengaruhi orang lain, baik secara positif maupun negatif. Semua orang adalah pemimpin dalam peran hidup. Pemimpin dalam peran hidup berbeda dengan pemimpin dalam organisasi. Pemimpin dalam organisasi menyangkut posisi dan jabatan yang diberikan dengan tempat nyaman dalam organisasi untuk melayani kebutuhan dan kebudayaan organisasi. Pemimpin Gereja termasuk kategori pemimpin organisasi dan semua pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Pemimpin Kristen adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat-sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas tinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah, sedangkan sifat-sifat spiritualitas Kristennya menyebabkan ia sanggup memengaruhi orang- orang yang dipimpinnya untuk menaati dan memuliakan Allah. Pemimpin Kristen menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah. ia adalah seorang yang dipanggil Allah untuk memimpin dengan dan melalui karakter seperti Kristus. Pemimpin Kristen menggunakan pengaruhnya dalam rangka untuk melayani orang lain, bukan dalam rangka dilayani. Alkitab menjelaskan bahwa kepemimpinan Yesus Kristus tidak sama dengan kepemimpinan pada umumnya. Yesus Kristus sendiri menyatakan perbedaan itu. Bagi Yesus, menjadi pemimpin itu tidak sinonim dengan menjadi tuan. Menjadi pemimpin berarti melayani, bukan menguasai. Pemimpin dipanggil untuk menjadi hamba, bukan raja di raja. Meskipun pemimpin adalah pelayan, tetapi kepemimpinan mustahil dapat berjalan tanpa otoritas tertentu. Otoritas yang ada pada pemimpin harus dipergunakan bukan untuk menguasai tapi untuk melayani, bukan dengan jalan kekerasan tapi dengan jalan memberi teladan, bukan dengan paksaan melainkan persuasi. Kepemimpinan Yesus disebut dengan kepemimpinan yang melayani. Ada sembilan ciri khas kepemimpinan yang melayani yang Yesus Kristus peragakan dalam kepemimpinan- Nya. Yesus Kristus melayani dengan visi yang berasal dari Allah, melayani dengan pengurapan dari Roh Kudus, melayani dengan kerendahan hati dan kepercayaan diri, melayani dengan integritas dan karakter kuat, melayani dengan menjaga kehidupan dalam doa, melayani dengan belas kasihan, melayani dengan kerelaan berkorban, melayani dengan memberdayakan, mengkader dan membangun tim kepemimpinan, dan melayani dengan keberanian menempuh risiko. Kepemimpinan gereja bersumber dari Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Pemilik dan Raja Gereja. Dengan demikian, model kepemimpinan melayani menjadi model kepemimpinan pemimpin gereja untuk mewujudkan tri tugas gereja yakni bersekutu, bersaksi dan melayani di dalam dunia. Kebenaran kehebatan kepemimpinan Yesus Kristus ini diungkapkan oleh Kenneth Blanchard yang menegaskan, “Christians have more in Jesus than just a great spiritual leader; we have a practical and effective leadership model for all organizations, for all people, for all situations” (Orang Kristen memiliki hal yang luar biasa dalam Yesus lebih dari sekedar seorang pemimpin rohani besar; kita memiliki model kepemimpinan praktis dan efektif untuk semua organisasi, untuk semua orang, dan untuk semua situasi). Pemimpin yang hebat tidak bergantung pada jabatan untuk mempengaruhi orang lain, namun kualitas yang melekat pada dirinyalah yang membuat orang lain bersedia mengikutinya. Pemimpin yang hebat tidak dilahirkan dalam semalam. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang harus dikembangkan secara terus-menerus. Dalam kehidupan ini ada dua jenis pemimpin, yaitu mereka yang berhasil menjalankan tugas kepemimpinannya dengan baik dan dapat mengakhirinya dengan baik pula (finishing-well) dan mereka yang tidak dapat menjalankan tugas kepemimpinannya dengan baik, serta tidak ada pemimpin baru yang dihasilkan untuk meneruskan karyanya, dan pada akhirnya berakhir dengan menyedihkan. Dengan demikian, pada hakikatnya kepemimpinan bukanlah ditentukan oleh besarnya lembaga yang dipimpin dan tingginya posisi atau jabatan yang dipegang, serta seberapa besar kekuasaan yang ada di dalam genggaman seseorang, namun ditentukan oleh seberapa besar pengaruh yang dapat diberikan kepada orang-orang yang dipimpin dan bagaimana ia membangun hubungan yang berkualitas dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memimpin seperti Yesus adalah memimpin dengan berbasiskan teladan kehidupan Yesus. Kebenaran tentang kepemimpinan Yesus Kristus ini menunjuk pada hakikat hidup, cara hidup, sifat, sikap dan kebiasan-Nya yang didemonstrasikan melalui pikiran, perasaan, kehendak dan kata serta tindakan-Nya yang berkualitas, oleh sebab itu Yesus adalah pemimpin yang menampilkan keunggulan karakter dalam kepemimpinan-Nya. Model kepemimpinan Yesus adalah kepemimpinan yang berpusat pada hati nurani. Karena itu seorang pemimpin harus memiliki hati yang bersedia, hati yang berkobar, hati yang bijaksana, hati yang sempurna, hati yang lembut, hati yang setia, hati yang tabah, hati yang gembira, hati yang baru, hati yang berpengertian, hati yang terencana, dan hati yang mengampuni. Dengan memiliki hati yang baik seperti di atas, maka seorang pemimpin akan memiliki belas kasih, dan ia akan menjadikan dirinya sebagai pembebas dan pengayom mereka yang tersesat. Ia pun akan menjadi gembala yang baik bagi setiap orang yang dipimpinnya; dan memiliki kelemahlembutan serta kerendahan hati, sehingga apa yang diperbuatnya selalu berhasil, efektif dan efisien. Daftar Pustaka Nuhamara, Daniel. "Pentingnya Karakter Kepemimpinan Dalam Organisasi”. In Kepemimpinan Kristen Yang Membumi, edited by Nasokhili Giawa. Jakarta: YT Leadership Foundation, 2017. Breedt, Jacob J., and Cornelius J.P. Niemandt. “Relational Leadership and the Missional Church.”Verbum et Ecclesia34, no. 1 (2013). http://dx.doi.org/10.4102/ve.v34il.819. Blanchard, Ken dan Phil Hodges, Lead like Jesus [Belajar Dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman]. Diterjemahkan oleh Dionisius Pare. Cet. Kedua. Jakarta: Visimedia, 2007. Dale, Robert D. Pelayan Sebagai Pemimpin. Cet. kedua. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1997. Darmaputera, Eka. Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab. Yogyakarta: Kairos Books, 2005. Eims, Leroy. 12 Ciri Kepemimpinan Yang Efektif. Diterjemahkan oleh C.Th. Enni Sasanti. Diredaksi oleh Pauline Tiendas. Cet. Ke-7. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2003. Hayford, Jack W. “Karakter Seorang Pemimpin” Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan. Diedit oleh George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002. Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Dengan Kidung Jemaat. Jakarta: LAI, 2005. Nurhayati, Tria Kurnia. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Dengan Ejaan yang Disempurnakan. Disunting oleh Tim Redaksi Eska Media. Cetakan Kesepuluh. Jakarta: Eska Media, 2012. Siregar, Soen, “Motivasi Pelayanan” Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001. Susanto, A.B. Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin. Jakarta : Grasindo, 1997. Wagner, C. Peter, “Pentingnya Doa Dalam Memimpin” Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan, ed. George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002. Warren, Rick. The Purpose Driven Church, Pertumbuhan Gereja Masa Kini. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2003.