Anda di halaman 1dari 10

Abstrak

Sebuah model konseptual untuk sistem farmasi Vietnam telah dijelaskan


menggunakan komponen struktural dan fungsional. Model ini menunjukkan bahwa di
Vietnam, kebijakan pemerintah mempengaruhi kerangka struktural sistem, tetapi juga
memungkinkan fleksibilitas pada tingkat praktik fungsional. Lebih lanjut, model ini
dapat dibedakan secara jelas dari model-model yang dijelaskan oleh badan-badan
penasehat internasional. Studi ini menunjukkan metode bagi sistem layanan
kesehatan untuk menggambarkan model distribusi obat mereka sendiri untuk
mengatasi jaminan kualitas, desain sistem, dan tolok ukur untuk peningkatan kualitas.
Sistem informasi obat dan perbekalan kesehatan dibuat untuk mengakomodasi
kebutuhan manajemen logistik obat dan perbekalan kesehatan instalasi farmasi
(internal) dan pihak eksternal (laporan), baik pemerintah daerah maupun Kementrian
Kesehatan. Pengelolaan informasi tersebut sangat tergantung pada sumber daya, alat
bantu dan kemampuan masing-masing instalasi farmasi. Penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi berpotensi untuk mengakomodasi kebutuhan pencatatan
dan pelaporan secara lebih baik. Namun demikian, perlu dipertimbangkan untuk
penguatan infrastruktur, penggunaan standar data dan dukungan kebijakan dari
pemangku kepentingan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif yang didasarkan pada hasi penelitian Sanjaya dan Hidayat (2016), Gurning,
dkk (2021), dan Kjos et al., (2015) dengan tujuan untuk menarik kesimpulan tentang
goptimalisasi manajemen logistik pelayanan kesehatan di Indonesia. Model ini
menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah memiliki pengaruh signifikan terhadap
kerangka struktural sistem, namun memberikan fleksibilitas pada tingkat praktik
fungsional.

Kata Kunci: Manajemen Logistik, Pemantauan Obat dan Perbekalan Kesehatan,


Pencatatan dan Pelaporan, Sistem Informasi

I. Pendahuluan
Sistem logistik obat dan perbekalan kesehatan memainkan peran strategis yang
vital dalam menjaga dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan, terutama di era
desentralisasi dalam organisasi kesehatan. Logistik kesehatan merupakan fondasi
yang mendukung pelayanan kesehatan di berbagai tingkatan dalam suatu sistem
kesehatan, dan merupakan elemen kunci yang memastikan ketersediaan dan
aksesibilitas obat serta perbekalan kesehatan yang diperlukan (Nelson dan Adams,
2000). Pentingnya sistem logistik dalam pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan
juga terkait erat dengan keberhasilan pemantauan, evaluasi, perencanaan program,
pengambilan keputusan strategis, dan bahkan penelitian di dalam sektor kesehatan
(Abouzahr dan Boerma, 2005).
Dalam upaya menjaga kelancaran dan efektivitas sistem logistik obat dan
perbekalan kesehatan, pengelolaan informasi menjadi komponen kunci. Informasi
obat dan perbekalan kesehatan yang tepat waktu dan akurat diperlukan untuk
memantau penyimpanan, pergerakan, dan alokasi barang-barang tersebut di semua
tingkatan pelayanan kesehatan dalam rantai pasokan. Hal ini membantu memastikan
ketersediaan logistik farmasi di setiap fasilitas kesehatan dan mempermudah relokasi
logistik antar lokasi, terutama dalam situasi khusus seperti bencana alam atau
kejadian luar biasa (Roy et al., 2009).
Namun, Indonesia, sebagaimana beberapa negara berkembang lainnya,
menghadapi tantangan kompleks dalam pengelolaan logistik obat dan perbekalan
kesehatan. Struktur organisasi kesehatan yang desentralisasi menambah kompleksitas
dalam manajemen obat, dengan kesulitan dalam mengkoordinasikan kebijakan dan
aksi lintas berbagai tingkatan pelayanan kesehatan (Bossert et al., 2003; Jahre et al.,
2012; Manso et al., 2013). Oleh karena itu, mencapai dua tujuan utama yang diajukan
oleh Roy et al. (2009) - yaitu pemantauan logistik yang efisien dan pengambilan
keputusan yang cepat - menjadi tantangan besar bagi para pengambil kebijakan dalam
upaya memperkuat sistem logistik obat dan perbekalan kesehatan secara nasional.
Pencatatan dan pelaporan logistik secara rutin oleh fasilitas pelayanan
kesehatan, instalasi farmasi tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, memainkan peran
kunci dalam menilai ketersediaan obat di setiap level administrasi. Data ini menjadi
dasar untuk relokasi logistik dalam situasi-situasi khusus, seperti keadaan darurat atau
wabah penyakit, serta pengambilan keputusan strategis. Proses manajemen obat dan
perbekalan kesehatan memerlukan analisis yang cermat, karena ketidaktepatan dalam
manajemen obat dapat memberikan dampak negatif tidak hanya pada ketersediaan
obat, tetapi juga pada pelayanan kesehatan secara keseluruhan, baik dari segi medis,
sosial, maupun ekonomi.
Namun, meskipun pentingnya sistem informasi dalam pemantauan logistik obat
dan perbekalan kesehatan, beberapa faktor kompleksitas seperti desentralisasi
organisasi kesehatan dan ketidakseragaman infrastruktur antar instalasi farmasi telah
menghambat jalannya sistem pemantauan logistik yang optimal (Susyanty et al.,
2014). Selain itu, sistem informasi manajemen logistik juga belum sepenuhnya sesuai
dengan kebutuhan lokal, sehingga beberapa instalasi farmasi telah mengembangkan
sistem manajemen logistik secara mandiri.
Demi mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi penguatan sistem informasi
untuk pemantauan obat dan perbekalan kesehatan yang dapat mengidentifikasi siklus
informasi logistik, serta mencari peluang dan mengatasi hambatan yang ada. Dalam
konteks ini, makalah ini akan mengeksplorasi lebih lanjut kompleksitas sistem
logistik obat dan perbekalan kesehatan di Indonesia, tantangan yang dihadapi, dan
upaya yang dapat diambil untuk meningkatkan sistem informasi yang mendukung
pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang efisien dan efektif di Indonesia.

II. Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif yang didasarkan pada hasi penelitian Sanjaya dan Hidayat (2016), Gurning,
dkk (2021), dan Kjos et al., (2015). Mereka menyebutkan bahwa di negara-negara
kurang berkembang, apoteker memiliki tanggung jawab utama dalam penyediaan dan
pengelolaan layanan distribusi obat. Pemerintah juga terlibat aktif dalam pemilihan
obat, sumber pasokan, integritas pasokan, penjaminan kualitas obat, regulasi
penyimpanan, pengiriman obat, dan pembangunan infrastruktur kesehatan.
Pedoman dari WHO memberikan landasan bagi pejabat kesehatan untuk
merancang sistem distribusi obat. Rekomendasi pedoman ini terfokus pada tiga
bidang utama: pengadaan obat, penyimpanan obat, dan distribusi obat, memberikan
kerangka awal untuk penelitian.
Meskipun kurangnya data, deskripsi paling komprehensif sistem distribusi obat
terlihat dalam publikasi Yadav dan kolega, yang menciptakan konsep deskripsi yang
menggambarkan semua komponen sistem dengan rinci (Gambar 1). Studi lebih lanjut
diperlukan untuk memahami dan meningkatkan sistem distribusi obat di negara-
negara berkembang.

Gambar 1. Jaringan distribusi obat-obatan esensial pada saluran pemerintah, swasta


dan LSM di negara negara berkembang.

Model Yadav, meskipun rinci, tidak mencakup peran kebijakan pemerintah,


proses tender obat, dan isu-isu WHO. Model yang lebih lengkap harus mencakup
deskripsi kebijakan dan prosedur yang membimbing pengadaan, penyimpanan, dan
distribusi obat. WHO telah menyusun pedoman komprehensif untuk pengadaan obat
di negara-negara berkembang.
Pedoman ini menetapkan empat tujuan utama pengadaan farmasi: ekonomis
(biaya hemat), kualitas (produk berkualitas), andal (pemasok yang dapat diandalkan),
dan tepat waktu (pengiriman tepat waktu). Dua belas prinsip operasional, termasuk
proses tender obat transparan, audit pengadaan obat, prosedur akuntansi dan
pembayaran yang tepat, serta jaminan kualitas obat, disarankan untuk mencapai
tujuan-tujuan ini.
Beberapa dokumen pendukung juga dikumpulkan dari instalasi farmasi seperti
panduan pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan, formulir pelaporan obat yang
digunakan di level kabupaten/kota dan provinsi dan regulasi yang terkait dengan
siklus informasi logistik.

III. Hasil dan Pembahasan


1. Desain Sistem
Apoteker telah lama menyadari kebutuhan untuk memberikan obat yang tepat
kepada pasien yang tepat pada waktu yang tepat. Kemungkinan tidak semua sistem
pengadaan, distribusi, dan penyimpanan obat efektif dalam memenuhi kebutuhan ini.
Apoteker dan manajer kesehatan didorong untuk melakukan studi mendalam tentang
bagaimana obat-obatan bergerak melalui sistem mereka. Inefisiensi dalam proses
dapat diidentifikasi dan diselesaikan setelah desain sistem distribusi saat ini
dievaluasi.
Di beberapa negara, sistem informasi manajamen logistik digunakan sebagai
cara untuk mengurangi beban pencatatan dan pelaporan di instalasi farmasi maupun
fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, system elektronik atau logistic management
information systems (LMIS) dapat menyediakan data yang tepat waktu dan akurat
untuk pengambilan keputusan serta untuk melakukan advokasi dan mobilisasi
sumberdaya yang ada (Hidayat, 2016). Pemahaman terhadap proses bisnis
manajemen logistik dan alur pelaporan secara nasional memberikan perspektif baru
terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pengelolaan logistik
di Indonesia.
2. Kualitas
Permasalahan dalam menjamin kualitas dan ketersediaan obat bukanlah hal
yang aneh. Kekurangan obat merupakan hal yang umum terjadi, dan kualitas obat
yang buruk atau obat palsu terus menjadi perhatian. Oleh karena itu, kemampuan
untuk mengevaluasi sistem pengadaan, distribusi, dan penyimpanan secara rinci dapat
membantu manajer sistem kesehatan dalam menentukan di mana letak masalahnya.
Misalnya, mungkin obat yang diberikan di samping tempat tidur ternyata kualitasnya
buruk.
Pengetahuan rinci tentang cara kerja sistem pengadaan, distribusi, dan
penyimpanan lokal akan membantu manajer menentukan apakah masalahnya adalah
obat yang diproduksi dengan buruk atau penyimpanan yang tidak tepat di klinik
setempat. Dalam kasus pertama, hal ini dapat mengakibatkan perubahan dalam proses
tender obat, sedangkan dalam kasus kedua, perhatian yang lebih besar terhadap
pengendalian suhu dan kelembapan di ruang penyimpanan diperlukan.
Demikian pula, jika kekurangan obat sering terjadi, kemampuan untuk
menentukan apakah akar permasalahannya adalah ketersediaan dari pedagang grosir
atau produsen atau akibat dari manajemen inventaris yang buruk di klinik akan
menyarankan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas sistem.
Pengamanan mutu obat yang dilakukan di Puskesmas Sering dilakukan dengan
upaya pemisahan obat yang akan kadaluarsa sehingga itu yang digunakan terlebih
dahulu. Selanjutnya jika obat sudah kadaluarsa maka obat tersebut di pisah
penyimpanannya agar tidak salah ambil saat memberikan ke pasien (Gurning, dkk.,
2021). Obat kadaluarsa disimpan di gudang yang berbeda yang nantinya akan di
musnahkan oleh puskesmas bersama Dinas Kesehatan ataupun pihak ketiga lainnya.
3. Pembandingan
Kemampuan untuk membandingkan suatu sistem dengan standar yang diakui
atau sistem lain mungkin berguna dalam beberapa cara. Dalam sistem kesehatan yang
mengandalkan bantuan donor resmi atau bantuan lain dari komunitas internasional,
penerima bantuan mungkin diminta untuk melaporkan kembali kepada donor tentang
bagaimana dana tersebut digunakan dan dampaknya terhadap sistem kesehatan
penerima. Manajer kesehatan mungkin akan merasa terbantu jika membandingkan
sistem mereka dengan sistem yang berfungsi dengan baik sebelum dan sesudah
menerima bantuan dan menggunakan hasilnya untuk meyakinkan donor bahwa
bantuan mereka efektif.
Para manajer kesehatan mungkin juga merasakan manfaat dari studi
benchmarking untuk mendorong para pengambil kebijakan dan pejabat pemerintah
yang lebih senior untuk menyediakan pendanaan bagi proyek-proyek baru atau untuk
memperluas dan memperbaiki sistem jika hasil dari benchmarking menunjukkan
adanya kekurangan dalam sistem yang ada saat ini.
4. Riset
Sebagaimana telah disebutkan, literatur mengenai sistem pengadaan,
penyimpanan, dan distribusi obat di negara-negara berkembang masih terbatas.
Tampaknya terdapat peluang besar untuk penelitian lebih lanjut mengenai sistem
distribusi obat. Penelitian ini mewakili satu pendekatan baru dalam memeriksa cara
kerja sistem di suatu tempat dan, oleh karena itu, dapat membantu membimbing
orang lain dalam merancang sistem distribusi obat, meningkatkan kualitasnya,
membandingkannya dengan sistem lain, dan memberikan dasar untuk penelitian lebih
lanjut.
5. Manajemen Informasi Logistik di Instalasi Farmasi
Pelayanan di Instalasi Farmasi terkait dengan siklus manajemen logistik mulai
dari seleksi obat, pembelian obat, distribusi obat dan penggunaan obat. Gambar 2
menunjukkan bagaimana proses pengelolaan obat di instalasi farmasi dan bagaimana
pencatatan dan pelaporan dilakukan di masing-masing tahapan (Hidayat, 2016).
Gambar 2. Siklus Manajemen Obat dan Perbekalan Kesehatan di Instalasi Farmasi

Di level Kabupaten/Kota distribusi logistik moyoritas ke Puskesmas yang


dilakukan tiap bulan didasari pada Lembar Pemakaian dan Lembar Permintaan obat
(LPLPO) Puskesmas. Jumlah dan item obat yang didistribusikan disesuaikan dengan
permintaan obat yang masuk dari laporan LPLPO. Laporan tersebut dievaluasi
terhadap penggunaan obat bulan terakhir untuk menyesuaikan pemberian obat dengan
menghitung stok optimum.
Di level Provinsi, distribusi obat dilakukan untuk tujuan buffer bagi
Kabupaten/Kota dibawahnya, selain untuk permintaan kegiatan sosial. Sedangkan
untuk obat program, distribusi tergantung dari masing-masing program, dimana
instalasi farmasi di level Kabupaten/Kota maupun Provinsi lebih sebagai fasilitator
mengelola distribusinya baik ke puskesmas atau untuk rumah sakit yang telah
ditentukan. Dengan pencatatan distribusi obat, dapat teridentifikasi pola penggunaan
obat dan perbekalan kesehatan di masing-masing institusi.
IV. Kesimpulan
Saat sistem farmasi menjadi sistem global, penting bagi pembuat kebijakan,
organisasi bantuan, dan penyedia layanan untuk memahami kompleksitas sistem
layanan kesehatan yang berbeda (Kjos et al., 2015). Karena sistem layanan kesehatan
berbeda dalam hal keterlibatan pemerintah dan hasil yang terus dievaluasi, penting
untuk memahami hambatan regulasi yang mempengaruhi efisiensi dan akses obat di
seluruh dunia.
Kompleksitas pencatatan dan pelaporan obat dan perbekalan kesehatan di
instalasi farmasi berkaitan dengan struktur organisasi dan desentralisasi kesehatan,
sumber anggaran, distribusi dan penggunaan obat ke unit layanan maupun untuk
kegiatan sosial (Hidayat, 2016). Kompleksitas tersebut harus diakomodasi oleh
instalasi farmasi yang memiliki keterbatasan sumber daya, baik orang, infrastruktur
dan system informasi. Sayangnya, teknologi informasi belum banyak digunakan
secara maksimal untuk pengelolaan data dan informasi logistik.
Pengadaan obat di Puskesmas Sering dilaksanakan dengan mengajukan
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) ke Dinas Kesehatan
Kabupaten Kota setiap 2 tahun sekali, dan diajukan ke Gudang Farmasi setiap bulan,
namun seringkali obat yang diberikan ke puskesmas tidak sesuai jumlahhnya dengan
permintaan sehingga terjadi kehabisan obat sehingga pasien harus membeli sendiri di
luar (Gurning, dkk., 2021). Penyimpanan obat yang dilakukan oleh Puskesmas Sering
belum sesuai standar penyimpanan gudang obat yang efisien, ini di karenakan gudang
obat yang dimiliki mempunyai ruang yang belum sesuai dengan standar.
Studi ini menunjukkan bahwa meskipun kebijakan WHO dapat berfungsi
sebagai kerangka kerja bagi negara berkembang untuk memandu kebijakan nasional
tentang distribusi obat, tidak dapat diasumsikan bahwa negara berkembang hanya
mengikuti kerangka kerja tersebut (Kjos et al., 2015). Setiap negara memiliki
kisahnya sendiri. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memvalidasi sistem farmasi
di Vietnam dan negara berkembang dan maju lainnya di seluruh dunia untuk
meningkatkan akses, biaya, dan efisiensi.

Daftar Pustaka
Abouzahr, C., Boerma, T., 2005. Health information systems: the foundations of
public health. Bull. World Health Organ. 014951.
Andrea L. Kjos, Nguyen Thanh Binh, Caitlin Robertson, John Rovers, A drug
procurement, storage and distribution model in public hospitals in a developing
country, Research in Social and Administrative Pharmacy, Volume 12, Issue 3,
2016, Pages 371-383, ISSN 1551-7411
Bossert, T., Bowser, D., Amenyah, J., Copeland, R., 2003. Guatemala:
Decentralization and Integration in the Health Logistics System. Arlington, Va.
F. P. Gurning, S. F. Siregar, U. R. Siregar, R. Rusmayanti, and F. Nurhasanah,
"ANALISIS MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT PADA MASA
PANDEMI DI PUSKESMAS SERING KECAMATAN MEDAN
TEMBUNG," Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 9, no. 5, pp. 688-695
Jahre, M., Dumoulin, L., Greenhalgh, L.B., Hudspeth, C., Limlim, P., Spindler, A.,
2012. Improving health in developing countries: reducing complexity of drug
supply chains, Journal of Humanitarian Logistics and Supply Chain
Management.
Manso, J.F., Annan, J., Anane, S.S., 2013. Assessment of Logistics Management in
Ghana Health Service. Int. J. Bus. Soc. Res. 3, 75–87.
Nelson, D.P., Adams, I.C., 2000. A Guide to Improving Drug Management in
Decentralized Health Systems: The Monitoring-Training-Planning Guide for
Program Implementation, Management.Arlington, Va.
Roy, C., Jha, H.K., Das, J.K., Bhattacharya, V., Shivdasani, J.., 2009. A Study on the
Logistics and Supply Management System of Drugs at Different Levels in
District Darbhanga of Bihar. Darbhanga (Bihar).
Sanjaya, G. Y. dan Hidayat, A. W., 2016, “Pemantauan Obat dan Perbekalan
Kesehatan di Indonesia : Tantangan dan Pengembangannya,” Manajeman dan
Pelayanan Farmasi, 6(2), hal. 159–168.

Anda mungkin juga menyukai