Anda di halaman 1dari 18

PERANAN MOHAMMAD NATSIR PADA MASA DEMOKRASI

PARLEMENTER 1950-1958

Proposal Tesis

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Ilmu Sosial dan
Humaniora

Dosen Pengampu:
Dr. Samsudin, M.Ag.
Dr. Djojo Soekarjo, M.Si.

Oleh:
Deri Sugiarto
NIM 2230120005

PROGRAM STUDI: SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

PASCASARJANA

BANDUNG

2023
DERI SUGIARTO
NIM 2230120005

Abstrak

Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui latar belakang kehidupan


Mohammad Natsir, untuk mengetahui kehidupan politik pada masa Demokrasi
Parlementer, dan untuk mengetahui tindakan Mohammad Natsir pada masa
Demokrasi Parlementer. Metode yang digunakan di dalam proposal tesis ini
adalah studi literatur yaitu dengan mengumpulkan buku-buku yang relevan.
Adapun langkah-langkahnya dengan heuristik, kritik sumber (kritik intern
maupun kritik ekstern), interpretasi (penafsiran), dan historiografi. Hasil penulisan
skripsi ini menyimpulkan bahwa peranan yang cukup menonjol revolusi
ditunjukkan oleh Natsir, seperti perjuangannya dalam beberapa perundingan
dengan Belanda, menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII), menjadi anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), ketua Partai Masyumi, Menteri
Penerangan dan yang paling menonjol adalah perannya dalam menyatukan
kembali Republik Indonesia melalui “Mosi Integral”. Pada tahun 1950, Natsir
diberi kesempatan untuk membentuk kabinet. Pada saat yang telah
memungkinkan, menurut Natsir, perjuangan untuk menerapkan nilai-nilai Islam
dalam negara tersebut dapat diwujudkan. Bagaimanapun beratnya pekerjaan
sebagai perintis pertama pembangunan NKRI, semua problem negara tetap
dihadapi dengan bijaksana oleh Mohammad Natsir. Berjuang dengan tabah,
membangun kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara agar memahami
realitas kebhinekaan, bukan untuk dipertengkarkan. Melainkan agar disadari
bahwa keragaman hakikatnya adalah satu kesatuan. Pekerjaan dan perjuangan
yang berat tidak mungkin berhasil secepat membalik telapak tangan atau secara
instan dan segera jadi.

Kata Kunci : Demokrasi Parlementer, Peranan Mohammat Natsir.


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Peranan Mohammad Natsir Pada Masa Demokrasi Parlementer 1950-1958
dengan baik dan selesai tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Teori Ilmu
Sosial dan Humaniora. Terima kasih saya ucapkan kepada bapak selaku dosen
pengampu mata kuliah Teori Ilmu Sosial dan Humaniora dan juga terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu saya dalam penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, oleh karena itu saya akan sangat menghargai kritik dan saran untuk
membangun makalah ini menjadi lebih baik lagi, dan semoga makalah ini dapat
menjadi manfaat untuk kita semua.

Bandung, 10 Oktober 2023

Penyusun
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demokrasi Parlementer adalah bentuk Pemerintahan yang paling

sensitif terhadap keinginan dan kebutuhan rakyat. Pemerintahan ini yang

paling mudah dapat memberikan perlindungan kepada bagian dari

masyarakat kita yang membutuhkan perlindungan. Demokrasi Parlementer

adalah bentuk pemerintahan yang paling mampu meningkatkan kekuatan

ekonomi, sosial, dan budaya rakyat kita.

Mohammad Natsir adalah putra keluarga sederhana, dilahirkan di

daerah Minangkabau yang merupakan daerah yang mempunyai peranan

besar dalam penyebaran cita-cita pembaharuan agama Islam. Nama

ayahnya, Idris Sutan Saripado adalah seorang juru tulis pada sebuah kantor

pemerintahan di Alahan Panjang. Natsir lahir pada tanggal 17 Juli 1908 dari

ibu yang bernama Khadijah di Kampung Jembatan Berukir, Kenagarian

Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatra

Barat.

Bagi Natsir Politik adalah sebuah seni yang memerlukan kehalusan

dan keindahan tersendiri. Dalam memperjuangkan sesuatu di tahun 1950,

kita harus mencapai sasaran tanpa lawan-lawan merasa terkalahkan. Natsir

mencoba menerapkan pandangannya ini ketika ia berusaha keras untuk

menggoalkan “mosi integral” yang di rancang di DPR, sebagai upaya yang


dianggapnya paling baik untuk membubarkan Republik Indonesia Serikat

(RIS) ( Djaini Abibullah, 1996: 5).

Pada tanggal 3 April 1950 akhirnya “mosi Integral” diterima secara

utuh oleh DPR dan atas dasar itu Perdana Menteri Hatta mengadakan

perundingan antara Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur (NST) dan

Negara Indonesia Timur (NIT) untuk secara bersama-sama melebur diri ke

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa ada pihak-pihak yang

merasa terkalahkan.

Kabinet Parlementer yang ditentukan oleh UUD 1950 hanya mungkin

terbentuk dengan koalisi partai, terutama karena komposisi parlemen tidak

memungkinkan pembentukan kabinet oleh satu partai saja. Namun kesulitan

segera muncul saat mengupayakan kabinet pertama pada masa demokrasi

parlementer sesuai dengan UUD tersebut (Waluyo, 2009: 79).

Membentuk Negara Kesatuan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Tanggal 17 Agustus 1950 secara resmi Indonesia kembali kepada negara

kesatuan berbentuk republik dengan sistem pemerintahan demokrasi

parlementer. Pada tanggal 21 Agustus 1950 Presiden Soekarno

menggunakan hak prerogatifnya menunjuk Mohammad Natsir, Ketua

Dewan Eksekutif Masyumi. Partai yang memiliki jumlah wakil terbesar di

Parlemen (DPR), untuk bertindak sebagai formateur kabinet (Djaini

Abibullah, 1996: 33).

Kabinet Natsir yang terbentuk 6 September 1950 tersebut dikenal

sebagai zaken kabinet, komposisi anggota kabinetnya terdiri dari 4 orang


Masyumi, 2 PSI, 2 PIR, 2 Kristen (Katolik dan Protestan), 1 PSII, 1

Demokrat, dan 4 tanpa partai. Beberapa partai yang ikut serta dalam Kabinet

Natsir, adalah baru dan belum pernah muncul selama periode kabinet RIS-

Hatta (Waluyo, 2009: 82).

Natsir mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951

karena perselisihan paham dengan Soekarno. Natsir juga mengkritik

Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau

Jawa. Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri Natsir, Soekarno selaku

presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terus mendesak

Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk

menjatuhkan Kabinet Natsir, dan tidak mendukung kebijakan-kebijakan

yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.

M. Natsir adalah seorang seorang demokrat sejati. Ia memulai karir

politiknya dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam

Indonesia (PII) pada tahun 1938. Berkat perjuangan pada tahun 1940-1942,

ia diangkat sebagai ketua partai. Ia juga diangkat sebagai abdi negara oleh

pemerintah sebagai kepala pendidikan Kodya Bandung sampai tahun 1945,

sekaligus merangkap sebagai Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di

Jakarta.

Puncak karier politiknya adalah menjadi anggota Komite Nasional

Indonesia Pusat (KNIP), ketua Partai Masyumi, Menteri Penerangan dan

juga pernah menjadi Perdana Menteri RI pada masa pemerintahan

Soekarno. Dalam karir politik, M. Natsir pernah membuat langkah-langkah


strategis khususnya dalam mengangkat mosi pada sidang Perlemen

Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950.

Natsir menaruh harapan yang besar terhadap keberadaan lembaga-

lembaga demokrasi yang telah ada dan dipilih rakyat, untuk mewujudkan

kehidupan berbangsa dan bernegara demokratis.

Munculnya Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara yang berupa

tuntutan terhadap pemerintah pusat. Pada 13 Februari 1958, Perdana

Menteri Djuanda mengumumkan keputusan pemerintah tentang penolakan

terhadap tuntutan Padang. Dilanjutkan dengan pemutusan hubungan laut

dan udara dengan Sumatera Utara (Waluyo, 2009: 134).

Tuntutan akhirnya tidak dipenuhi dan bahkan dijawab dengan gerakan

militer, maka PRRI diumumkan oleh Dewan Perjuangan. Dalam Kabinet

PRRI, Syaifuddin menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,

Mohammad Natsir sebagai Juru Bicara dan Burhanudin sebagai Menteri

Pertahanan dan Menteri Keamanan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka muncul permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang kehidupan Mohammad Natsir?

2. Bagaimana situasi politik pada masa Demokrasi Parlementer?

3. Bagaimana tindakan Mohammad Natsir pada masa

Demoktasi Parlementer ?
C. Tujuan Penelitian

D. Landasan Teori

1. Teori Konflik

Kata konflik dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah percekcokan,

perselisihan, dan pertentangan. Konflik secara estimologi berasal dari kata kerja Latin

yaitu "con" yang artinya bersama dan "fligere" berarti benturan atau bertabrakan, lalu

“configere” saling memukul. Sehingga konflik secara sederhana adalah pertentangan

dengan dicirikan ole pergerakan dari berbagai pihak sehingga terjadi perselisihan.

Perlu diketahui bahwa salah satu faktor terjadinya perubahan sosial ialah konflik.

Sejatinya, dengan terciptanya konflik sosial maka dalam struktur masyarakat dapat

berubah secara fundamental. Di dalam teori konflik tersebut adanya dominasi, koersi dan

kekuasaan dalam masyarakat yang menghasilkan perbedaan dan adanya kepentingan

yang berbeda juga dapat menimbulkan konflik.

Salah satu tokoh pencetus teori konflik adalah Karl Marx (1818-1830), ia lahir di

Kota Trier, di Rhineland bagian Negara Jerman. Ia melanjutkan studi di Berlin untuk

menjadi seorang filsuf. ia menerbitkan buku The German Ideology (1832) (Singer, 2021).

Lalu bersama dengan Fredich engels yang merupakan sama-sama pendiri filsafat

marxisme, mereka menyusun sebuah buku yang berjudul Communist Manifesto pada

tahun 1848 (Carver, 2021). Sebagai seorang mahasiswa, filsafat sangat mempengaruhi

dirinya, dia adalah penganut Hegel, walaupun tak sepenuhnya sependapat dengan

beliau, marx

12
mengakui bahwa pemikiran Hegel lah yang mempengaruhi gagasan serta pemikiran

beliau. (Woodfin & Oscar, 2008).

Sejatinya, Karl Marx selalu mengecam atas keadaan ekonomi dan ketimpangan

sosial yang berada di sekelilingnya dan ia berpendapat bahwa masyarakat tidak mungkin

dapat diperbaiki secara tidak menyeluruh. Menurutnya, masyarakat harus diubah secara

radikal melalui pendobrakan secara menyeluruh dan total dalam segala sendi-sendinya.

Untuk keperluan itu, ia kemudian menyusun teori sosial yang menurut dia didasari oleh

hukum ilmiah dan karena itu pasti akan terlaksana. Untuk membedakan dengan ajaran

sosialis utopis, ia menamakan teorinya dengan istilah sosialisme ilmiah (Budiardjo, 2008:

78).

Karl Marx (dalam Turner, 1998) memberikan pernyataan tentang kehidupan

sosial, antara lain:

a. Masyarakat diibaratkan sebagai panggung yang didalamnya memiliki berbagai macam

pertentangan.

b. Negara dipandang sebagai salah satu pelaku yang aktif dalam pertentangan dan negara

selalu berpihak kepada kekuatan yang dominan.

c. Paksaan (coercion) dalam wujud hukum diilustrasikan sebagai faktor utama untuk
memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti kepunyaan

milik pribadi (property), perbudakan (slavery), dan kapital yang menimbulkan

ketidaksamaan hak dan kesempatan.


d. Adanya kelas-kelas dipandang sebagai kelompok-kelompok sosial yang mempunyai

kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain, sehingga konflik tak dapat

dihindarkan lagi.

Sedangkan Ralf Dahrendorf, teori yang dia bangun merupakan hasil teori dengan

dasar untuk menentang secara objektif terhadap teori fungsional struktural yang dimana

teori tersebut kurang memperhatikan fenomena konflik dalam suatu masyarakat. Ralf

Dahrendorf adalah seorang sosiolog berkebangsaan Jerman lahir pada tanggal 1 Mei

1929, ia adalah pengembang teori konflik kontemporer.

Walaupun demikian, teori konflik Dahrendorlf melibatkan suatu pandangan kritis

terhadap pemikiran marxisme, ia membangun teori ini dengan separuh penolakan dan

separuh penerimaan dengan memodifikasi teori sosial menurut Marx. Berbicara

mengenai masyarakat yang kompleks, Dahrendorf menganalisis tentang konflik antar

kelompok yang terkoordinasi (imperaticelu coordinate assosiation), dan tidak

menganalisis tentang perjuangan kelas lalu elit dominan seperti yang dilakukan oleh

Marx (Mc Quarie, 1995:66 dalam Susan, 2009: 38).

Bagi Dahrendorf (1959: 164-165), konflik muncul melalui relasi-relasi sosial

dalam suatu sistem. Setiap individu maupun kelompok yang tak terhubung dalam suatu

sistem tak akan mungkin terlibat dalam konflik. Dahrendorf menyimpulkan sebagai

“integrated into a common frame of reference”. Ia menyebutkan bahwa unit analisis

dalam sosiologi konflik adalah keterpaksaan yang menciptakan kelompok-kelompok

sosial bisa bersama sebagai suatu sistem


sosial. Dahrendorf (dalam Susan, 2009) memahami relasi-relasi dalam struktur

sosial ditentukan oleh kekuasaan.

Seperti yang dikatakan oleh Dahrendorf, dengan kekuasaan inilah

tercipta kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai yang dimana

hubungan ini menimbulkan asosiasi yang berkontradiksi satu sama lain sehingga

timbul konflik. Timbulnya konflik ini dikarenakan oleh konsensus antar

kelompok. Konsensus ini berpotensi menimbulkan konflik karena kedua

kelompok ini mempunyai kepentingan yang berbeda. Kemudian Dahrendorf

membagikan kelompok menjadi 3 tipe:

a. Kelompok semu

b. Kelompok kepentingan

c. Kelompok konflik

Kelompok semu adalah sejumlah pengisi kepentingan yang serupa, tetapi

kelompok ini belum menyadari keberadaannya. Kelompok ini termasuk

kelompok kedua, yaitu kelompok kepentingan. Dengan kepentingan tersebutlah

melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik. Dan selanjutnya, di dalam

kelompok tersebut memiliki dua perkumpulan, yaitu kelompok yang berkuasa

(atasan) dan kelompok yang dikuasai (bawahan). Dalam hakikatnya kedua

kelompok ini memiliki tujuan yang berbeda, sehingga kelompok yang diatas

ingin mempertahankan status quo demi kepentingan kelompoknya. namun pada

akhirnya menurut Dahrendorf, mereka ada juga yang akan dipersatukan oleh

kepentingan yang sama.


E. Metode Penelitian

Pada bab ini diuraikan mengenai metode serta teknik penelitian yang digunakan peneliti
untuk mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan tesis berjudul “Peranan
Mohammad Natsir Pada Masa Demokrasi Parlementer 1950-1958"

Metode yang digunakan untuk mengkaji penelitian yaitu dengan


menggunakan metode historis dibantu dengan studi dokumentasi, studi literatur dan
wawancara sebagai teknik penelitiannya. Metode sejarah digunakan untuk menguji
dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschlak,
1985, hlm.32). Dapat dipahami bahwa metode sejarah merupakan rekonstruksi
imajinatif tentang gambaran masa lampau peristiwa-peristiwa sejarah secara kritis
dan analitis berdasarkan bukti-bukti dan data peninggalan masa lampau yang
didapatkan atau ditemukan oleh penulis.

Metode historis merupakan cara untuk mengkaji suatu peristiwa, tokoh atau
permasalahan yang dianggap layak dan penting yang terjadi pada masa lampau
secara deskriptif, kritis dan analitis. Penulisan sejarah tidak hanya mengungkapkan
peristiwa secara kronologis, lebih dari itu perlu adanya kajian dan analisis tajam
yang didukung dengan teori yang relevan.
Penelitian sejarah mempunyai lima tahap, yaitu: pemilihan topik,
pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sejarah dan keabsahan sumber),
interpretasi: analisis dan sintesis, dan yang terakhir ialah historiografi
(Kuntowijoyo, 2013, hlm.69). Adapun langkah-langkah penelitian ini mengacu
pada proses metodologi penelitian sejarah yang mengandung empat langkah
penting, yaitu :
1. Heuristik (Pencarian dan Pengumpulan Sumber)

Menurut Notosusanto (1971) heuristik berasal dari bahasa Yunani


heuriskein, artinya sama dengan to find yang berarti tidak hanya
menemukan, tetapi mencari dahulu. Pada tahap ini, kegiatan diarahkan
pada penjajakan, pencarian, dan pengumpulan sumber-sumber yang akan
diteliti, baik yang terdapat dilokasi penelitian, temuan benda maupun
sumber lisan (hlm.18).
Dapat dipahami bahwa tahap pertama yang harus dilakukan oleh seorang
peneliti yaitu mencari dan mengumpulkan sumber yang berhubungan dengan
topik yang akan dibahas.

Heuristik, merupakan sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk


mendapatkan data-data, atau mencari materi sejarah atau evidensi sejarah
(Sjamsuddin, 2007: 86). Tentunya sumber sejarah yang relevan dengan
permasalahan penelitian, dimana nantinya sumber yang ditemukan dapat
menceritakan kepada kita baik secara langsung maupun tidak langsung terkait
aktivitas manusia pada periode yang telah lalu. Dalam proses mencari sumber-
sumber ini, peneliti mengunjungi berbagai perpustakaan, berbagai toko buku,
browsing internet, berusaha mencari tulisan- tulisan yang sejaman dalam surat
kabar, serta mencari narasumber untuk diwawancara yang berkaitan dengan inti
bahasan penelitian.

Ismaun (2005) mengungkapkan bahwa Menurut bentuknya dapat


diadakan tiga klasifikasi sumber sejarah Pertama, sumber dokumenter
(berupa bahan dan rekaman sejarah dalam bentuk tulisan). Kedua, sumber
korporal (berwujud benda seperti bangunan arca, perkakas, fosil, artefak,
dan sebagainya). Dan ketiga, sumber lisan, terdiri dari sejarah lisan atau
sejarah oral (Oral History) (hlm.42).
Dapat disimpulkan bahwa sumber sejarah baik itu sumber dokumenter,
korporal, maupun lisan dapat digunakan untuk mencari kebenaran, yang
kemudian diinterpretasikan dalam bentuk tulisan.

Berkaitan dengan pengumpulan sumber sejarah (tahap heuristik)


mengenai “Peranan K. H Mustofa Kamil Dalam Dakwah Pembaharuan Islam di
Garut (1900-1945)”, teknik penelitian yang akan digunakan penulis untuk
memperoleh data-data di lapangan, diantaranya yaitu:

a. Studi kepustakaan, adalah cara yang dilakukan oleh penulis untuk memperoleh
data ilmiah dengan cara membaca, mengkaji, dan menganalisis sumber-
sumber tertulis yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk
mendapatkan sumber tersebut, penulis melakukan kunjungan ke banyak
perpustakaan.
b. Teknik wawancara, merupakan cara yang digunakan penulis untuk
memperoleh data-data dengan melakukan wawancara terhadap saksi atau
pelaku yang menunjang terhadap penulisan skripsi ini. Sumber yang
diperoleh melalui berita saksi atau pelaku sejarah ini disebut sebagai sumber
lisan. Adapun alasan penulis menggunakan sumber lisan, dikarenakan penulis
ingin memperoleh kesaksian yang dituturkan pelaku dan saksi sejarah yang
mengetahui, mengalami, dan menyaksikan secara langsung peranan K. H
Mustofa Kamil dalam dakwah pembaharuan Islam di Garut. Oleh karena itu,
untuk memperoleh kesaksian tersebut, penulis melakukan teknik wawancara
terhadap pihak-pihak yang terlibat secara langsung.
Adapun langkah-langkah dalam melakukan kegiatan wawancara, diantaranya
ialah :
1. Menentukan narasumber atau tokoh yang hendak diwawancara
2. Mempersiapkan daftar pertanyaan yang hendak ditanyakan kepada
narasumber
3. Memperhitungkan aksesbilitas atau kemudahan untuk dapat mewawancara
orang
4. Orang yang hendak diwawancara harus benar-benar mengetahui
permasalahan yang sedang dikaji
5. Mengatur waktu dan tempat wawancara
6. Pelaksanaan wawancara

c. Studi dokumentasi, melalui teknik ini, peneliti memperoleh dan


mengumpulkan data dengan mengkaji rekaman atau foto-foto yang sezaman,
seperti halnya rekaman dan foto-foto yang diperoleh pada saat seni
pertunjukan kabaret ini sedang dipentaskan. Dengan begitu, data-data yang
didapatkan penulis akan lebih bervariasi dan tentunya akan membantu penulis
dalam mengkaji, mengkritisi, dan membandingkan data-data yang telah
diperoleh selama proses penelitian

Sulasman (2014) menyatakan bahwa sumber sejarah dibedakan menjadi


dua sumber, yaitu:
a. Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi yang melihat
peristiwa bersejarah dengan mata kepala sendiri atau pancaindra lain atau
alat mekanis yang hadir pada peristiwa itu (saksi pandangan mata,
misalnya kamera, mesin ketik, alat tulis, kertas). Sumber primer harus
sezaman dengan peristiwa yang dikisahkan
b. Sumber sekunder adalah kesaksian dari orang yang bukan merupakan
saksi pandangan mata, yaitu seseorang yang tidak hadir pada peristiwa
yang dikisahkan. Misalnya, hasil liputan koran dapat menjadi sumber
sekunder, karena koran tidak hadir langsung pada suatu peristiwa.
Peliputnya (wartawan) yang hadir pada peristiwa itu terjadi. (hlm.96)
Dari dua poin di atas dapat disimpulkan bahwa sumber primer maupun
sekunder berisi konten yang sama, karena data sekunder dulunya merupakan data
primer, sedangkan perbedaan data primer dan sekunder ini dapat dilihat dari
bentuk data, proses pengumpulan, sumber data, dan akurasi yang didapatkan.

2. Kritik (Verifikasi/Analisis Sumber)

Kritik sumber adalah langkah untuk menilai dan menyelidiki sumber-


sumber yang ditemukan untuk dijadikan data dalam penulisan sejarah. Adapun
tujuan dari kegiatan ini adalah bahwa setelah sejarawan berhasil mengumpulkan
sumber-sumber dalam penelitiannya, ia tidak akan menerima begitu saja apa yang
tercantum dan tertulis pada sumber- sumbernya tersebut. Langkah selanjutnya ia
harus menyaringnya secara kritis, terutama terhadap sumber-sumber pertama,
agar terjaring fakta yang menjadi pilihannya (Sjamsuddin, 2007 hlm. 131).
Selanjutnya sumber-sumber sejarah yang ditemukan diteliti, lebih lanjut baik itu
konten tulisan maupun bentuknya yaitu dilakukannya kritik internal dan
eksternal.

Terdapat dua jenis kritik yang ada di dalam kritik sumber, diantaranya
yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal “suatu langkah
verifikasi dengan cara meneliti otentisitas sumber, atau keaslian sumber”.
Sedangkan kritik internal pada umumnya merupakan suatu usaha analisis untuk
menjawab pertanyaan yang menyangkut akurasi, nilai dokumen, dan autentitas
peninggalan yang telah diperoleh dari lapangan (Herlina, 2011, hlm.25). Kritik
internal dilakukan peneliti untuk melihat kelayakan konten dari sumber-sumber
yang telah didapatkan untuk selanjutnya dijadikan bahan untuk penelitian dan
penulisan skripsi. Sedangkan kritik eksternal digunakan untuk melihat sumber-
sumber yang ditemukan bukan dari kontennya. Akan tetapi, apakah sumber
tersebut merupakan sumber yang sejaman atau sumber primer, dilihat dari tahun
pembuatannya.

3. Interpretasi (Penafsiran dan Penjelasan Fakta)

Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektivitas. Itu


sebagian benar, tetapi sebagian salah. Benar, karena tanpa penafsiran sejarawan,
data tidak bisa berbicara. Sejarawan yang jujur akan mencantumkan data dan
keterangan dari mana data itu diperoleh (Kuntowijoyo,2013, hlm.78). Dapat
dipahami bahwa hasil penafsiran sejarawan tidak bersifat kebenaran yang mutlak.
Sebab hanya menjelaskan menurut pandangan sejarawan agar data yang ada bisa
dipahami, karena orang lain dapat melihat kembali dan menafsirkan ulang sesuai
sudut pandang masing-masing.

Menurut Sjamsuddin (2007) terdapat dua cara dalam melakukan


penafsiran peristiwa sejarah, yang pertama cara penafsiran menurut
Determinisme, penafsiran ini menekankan pada faktor keturunan (fisik-biologis-
rasial) dan lingkungan fisik (geografis). Adapun cara yang kedua adalah cara
penafsiran menurut kemauan bebas manusia serta kebebasan manusia dalam
mengambil keputusan, hal ini berarti bahwa pelaku utama dalam suatu peristiwa
sejarah adalah peranan manusia itu sendiri, baik berperan secara langsung
maupun tidak langsung (hlm.164). Peneliti memberikan penafsiran terhadap
sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Dalam
tahap ini, peneliti membuat deskripsi, analisis kritis serta pemilihan fakta-fakta.
Kegiatan penafsiran dilakukan dengan jalan menafsirkan fakta dan data dengan
konsep dan teori yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Peneliti juga
memberikan makna terhadap fakta dan data kemudian disusun, ditafsirkan, dan
dikorelasikan satu dengan lainnya.

Fakta dan data yang telah diseleksi dan ditafsirkan menjadi ide pokok
sebagai kerangka dasar penelitian, dalam kegiatan ini peneliti memberikan
penekanan penafsiran terhadap fakta dan data yang diperoleh dari sumber-
sumber primer dan sekunder yang berkaitan dengan penulisan sejarah peranan K.
H Mustofa Kamil dalam dakwah pembaharuan Islam di Garut 1900-1945.

4. Historiografi (Penulisan dan Laporan Penelitian)

Sulasman (2014) menjelaskan bahwa historiografi adalah proses


penyusunan fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam
bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-
data yang ada, sejarawan harus mempertimbangkan struktur dan gaya
bahasa penulisannya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang
lain dapat memahami pokok-pokok pemikiran yang diajukan (hlm.147).
Dapat dipahami bahwa historiografi merupakan sebuah rangkaian fakta
beserta maknanya yang ditulis oleh sejarawan sehingga menghasilkan karya
tulisan sejarah.

Menurut Sjamsuddin (2007) Ketika sejarawan memasuki tahap menulis,


maka ia mengeralikan seluruli daya pikirannya, bukan saja keterampilan
teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang
terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada
akliimya liarus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh liasil
penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuli yang
disebut historiografi (hlm.156).
Historiografi, merupakan langkah terakhir dalam penelitian. Dalam
kegiatan ini peneliti menyajikan hasil temuan pada tahapan heuristik, kritik, dan
interpretasi yang dilakukan sebelumnya dengan cara menyusunnya menjadi
sebuah tulisan yang jelas dalam bahasa yang mudah dimengerti dan
menggunakan kaidah-kaidah ilmiah serta kaidah penulisan yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai