Anda di halaman 1dari 9

Budaya Gotong Royong Masyarakat Desa Lero: Ingatan Masa Lalu Dan Realita

Hari Ini, Ditulis Oleh Nur Amri Firmansyah.

Gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh dan berkembang


dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya yang telah
eksis secara turun-temurun. Gotong royong adalah bentuk kerja-sama kelompok
masyarakat untuk mencapai suatu hasil positif dari tujuan yang ingin dicapai secara
mufakat dan musyawarah bersama. Gotong-royong muncul atas dorongan
keinsyafan, kesadaran dan semangat untuk mengerjakan serta menanggung akibat
dari suatu karya, terutama yang benar-benar, secara bersama-sama, serentak dan
beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan bagi dirinya
sendiri, melainkan selalu untuk kebahagian bersama.

Secara lebih rinci, Gotong royong berarti bekerja bersama-sama untuk


mencapai suatu hasil yang didambakan. Sikap gotong royong adalah bekerja
bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama
menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Atau suatu usaha atau pekerjaan
yang dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas
kemampuannya masing-masing. Sifat gotong royong dan kekeluargaan di daerah
pedesaan lebih menonjol dalam pola kehidupan mereka, seperti memperbaiki dan
membersihkan jalan, atau membangun/ memperbaiki rumah. Sedangkan di daerah
perkotaan gotong royong dapat dijumpai dalam kegiatan kerja bakti di RT/RW, di
sekolah dan bahkan di kantor-kantor, misalnya pada saat memperingati hari-hari
besar nasional dan keagamaan, mereka bekerja tanpa imbalan jasa, karena demi
kepentingan bersama. Implementasi nilai gotong royong pada masyarakat Indonesia
merupakan bagian esensial dari revitalisasi nilai sosio budaya dan adat istiadat pada
masyarakat yang memiliki budaya beragama agar terbebas dari dominasi sosial,
ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, serta ideologi lain yang tidak
mensejahterakan (Pranadji, 2009: 62).

Faktanya aktivitas gotong royong bisa ditemukan di banyak tempat, dari dulu
sampai hari ini. Ruang sekecil rumah, bisa menjadi saksi bagaimana kehangatan
gotong royong dirasakan, pun dalam lingkup desa, ada banyak sekali aktivitas
gotong royong di sana. Indonesia hari ini mewacanakan gotong royong sebagai
salah satu kepribadian dan karakter utama bangsa. Data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan, di Indonesia ada 70.229 desa/kelurahan di sepanjang tahun
2021, sebagian warga memiliki kebiasaan gotong royong untuk kepentingan umum.
Menurut data BPS 10 provinsi dengan budaya gotong royong tertinggi, ada
Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sumatera
Utara, Papua, Jawa Barat, Aceh di posisi Ke-3, Ke-2 Jawa Timur, dan Jawa Tengah
di posisi teratas. Bagaimana dengan daerah yang tidak memiliki kebiasaan gotong
royong? Melihat data BPS, 918 desa/kelurahan warganya tidak mempunyai
kebiasaan gotong royong, mayoritas berada di Papua dan Sumatera. Bagaimana
kita merasakan atau menjadikan standar tinggi/rendahnya budaya gotong royong
dalam sebuah daerah?

Perilaku gotong royong tersebut tentu saja dapat menjadi aset bangsa jika
tetap dipelihara oleh masyarakat pedesaan karena merupakan sebuah manifestasi
budaya yang telah ada dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat. Namun
melihat kondisi saat ini harapan kehidupan masyarakat pedesaan sebagai standar
dan pemeliharaan adat istiadat gotong royong sepertinya sulit terwujud. Hal ini dapat
dilihat dari kondisi masyarakat pedesaan mulai berkembang yang menjadikan
keberadaan gotong royong mulai punah.

Lero, sebuah desa yang berada di sebelah barat Sulawesi Tengah. Desa
yang berjarak sekitar 43, 5 km dari pusat kota provinsi. Di Lero, belakangan ini
aktivitas semacam gotong royong jarang dilakukan masyarakat. Nuansa kerja-sama
kelompok masyarakat sudah tidak terasa di Lero hari ini. Mayoritas masyarakat Lero
mulai menunjukkan ke arah pola-pola baru mengikuti arus globalisasi yang mereka
terima dari luar. Hal ini berdampak pada adanya pergeseran atau mulai minimnya
perilaku gotong royong.

- Budaya Gotong Royong Masyarakat Desa Lero Di Masa Lalu.


Berbeda dengan hari ini, Lero di masa lalu punya kebiasaan gotong royong
yang ramai. Dalam ingatan orang tua di Lero, aktivitas-aktivitas yang dikerjakan
bersama-sama masih teringat jelas. Kesukarelaan, keikhlasan, toleransi,
kebersamaan, dan kepercayaan juga semangat kegotong-royongan sangat
dirindukan para orang tua di Lero. Memori masa lalu mereka mengingat kembali
momen-momen kebersamaan itu, suasana yang tidak dirasakan lagi hari ini.

Gotong royong yang hari ini sudah tidak lagi terasa di masyarakat desa Lero
belum tentu terjadi sedari dulu, pasti ada faktor yang menyebabkan kenapa aktivitas
gotong royong menjadi pudar hari ini. Peneliti melihat ke masa lalu, menemui para
orang tua di desa Lero untuk menanyakan bagaimana budaya gotong royong desa
Lero di masa lalu. Peneliti menemui tiga informan dengan usia 50 tahun ke atas.
Ingatan mereka masih jelas soal kehangatan masyarakat desa Lero di masa lalu
karena aktivitas seperti gotong royong masih sering dilakukan. Peneliti mengutip
pernyataan dari salah satu informan yang menceritakan salah satu budaya gotong
royong desa Lero di masa lalu dan sudah tidak ditemukan hari ini.

Informan kami Pelaku Adat Desa Lero Bapak Nasar A Djalalembah, usia 73
tahun mengatakan:
Kalo itu, secara cerita kalo bahasanya disini nolele, nolele itu yang kerja
macam 12 orang satu kelompok si A besok si B besok lagi. Itu kalo saya
bisa garis bawahi tahun 90-an. Nolele terakhir 90-an.

Dulu masyarakat desa Lero mengenal istilah Nolele, kegiatan kerjasama


dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, khususnya menggarap sawah. Cara kerja
Nolele adalah mengumpulkan orang kemudian diajak untuk menggarap sawah
dengan pembagian jadwal berdasarkan kepemilikan lahan sawah, misalnya hari ini
12 orang mengerjakan lahan sawah si A, kemudian besok lahan sawah si B, begitu
seterusnya. Begitu juga dalam aktivitas-aktivitas yang lain seperti berkebun,
membangun rumah, dan membersihkan drainase. Nasar menyebutkan Nolele
terakhir dia rasakan tahun 90-an.

Beruntung karena orang tua di Lero masih punya ingatan jelas tentang
budaya gotong royong di sana. Peneliti berkesempatan mewawancarai informan
yang lain, berkedudukan sebagai Pelaku Adat. Peneliti diajak berpetualang kembali
ke masa lalunya.

Pelaku Adat Desa Lero, Arjad Lacapa, usia 59 tahun. Arjad menyebutkan:
Dulu dalam membangun datang orang membantu, diliat-liat di sana ada orang
bunyi bunyi, ba paku paku seng datang itu orang datang b palu palu juga,
ramai itu tapi sampai sekarang tinggal tukang kalau ada perbaikan tinggal
tukang, pekerjaan orang lain jadi gotong royong itu nanti ada hal hal tertentu
tapi untuk kegiatan umum sulit.

Saya rindu dengan kegiatan kumpul-kumpul dengan keluarga. Dulu waktu kita
masih muda, Keluarga jauh itu datang, kalau untuk pesta, tidak pernah dia
datang nanti hari H nya. Itu yang dirindukan selama ini. Kalau dulu itu ada
pesta atau kedukaan, mereka harus bermalam. Itu kelebihannya dulu, jadi kita
banyak curhat di situ. Jadi anggota keluarga saling menyapa. Dan sekarang
sudah tidak ada yang begitu. Itu sudah 30 tahun yang lalu.

Berdasarkan ingatan masa lalu Arjad, dulu banyak sekali aktivitas yang
dikerjakan secara bersama, untuk kepentingan umum maupun pribadi. Inisiatif
masyarakat dulu lebih tinggi daripada hari ini. Hari ini, jika ingin melihat gotong
royong di Lero, kita hanya bisa menemukan di acara tertentu seperti acara kematian,
namun harus diterima warga yang terlibat tidak sebanyak dulu. Arjad juga
merindukan suasana kumpul bersama keluarga di masa lalu, kehangatan yang
sudah hilang hari ini. Memori yang dia rasakan terakhir kali 30 tahun yang lalu.

Pernyataan Ardjad diperjelas oleh salah satu informan perempuan, seorang


wanita kelahiran Buol yang sudah bermukim sekitar 30 tahun di desa Lero. Dra.
Huraidah. AR. Hentu yang berprofesi sebagai guru di SMA 1 Sindue, berusia 57
tahun, Huraidah menyatakan:

Ada momen kebersamaan Masyarakat yang dirindukan pada saat itu, saat
kita berpesta, tuan rumah tidak terlalu repot, banyak orang datang
membantu cuci piring. Dulu bapak-bapak di Lero ini sebelum pesta sudah
ambil bambu dan kayu banyak buat tenda, di situ tuan rumah sediakan
makanan sama minuman buat bapak -bapak disitu.

Huraidah menyebutkan kebiasaan di masyarakat pedesaan yang sudah


turun temurun, apabila ada seorang warga yang berhajat melaksanakan pesta
perkawinan, maka selama berminggu-minggu seluruh tetangga ikut sibuk bekerja,
mulai dari mengumpulkan kayu bakar, membuat tungku untuk memasak,
membuat/memasang tenda, membuat berbagai masakan, dan membuat pelaminan
jadi aktivitas yang dirindukan.

Akhirnya berdasarkan dari kondisi riil di atas maka dikhawatirkan budaya


gotong royong pada masyarakat mulai memudar yang dapat dimaknai sebagai
sebuah keprihatinan yang sangat mendalam, namun Bagaimana dengan Lero? Mari
membicarakan realita budaya gotong royong di Lero hari ini.

- Realita Budaya Gotong Royong Masyarakat Desa Lero Hari Ini.


Beberapa kegiatan tolong-menolong maupun aktivitas gotong royong yang
telah menunjukkan pada arah perubahan dan dirasakan masyarakat Lero hari ini.
Kegiatan tersebut yaitu dalam acara membuat rumah berupa memasang genteng
dan cor, renovasi masjid, memperbaiki jalan lingkungan dan jembatan, memasang
gapura dan umbul- umbul untuk menyambut hari kemerdekaan, dalam acara hajatan
warga berupa selamatan, pernikahan, tahlilan, kegiatan keagamaan saat
memperingati Maulid Nabi maupun Isra Mi’raj, kegiatan Jumat Bersih dan kerja
bakti, gotong royong ketika musim panen tiba, serta saat warga terkena musibah.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan gotong royong


masyarakat Lero adalah kurangnya kesadaran individu untuk menolong sesama,
egoisme yang tinggi, pekerjaan dan kesibukan serta kebutuhan hidup maupun
ekonomi yang semakin mendesak, pengaruh arus globalisasi berupa akses-akses
informasi dan komunikasi, urbanisasi, sarana dan fasilitas dan kurangnya perhatian
pemerintah. Peneliti mengutip pernyataan Nurhaidah:

Adanya program pemerintah, adanya pergeseran nilai. Setiap hari jumat


membersihkan got, tetapi ada peraturan pemerintah yang mempekerjakan
orang yang bertugas pakai seragam untuk membersihkan got (mengangkat
sampah di parit), sehingga tidak ada lagi warga yang membersihkan got.
Dulu di desa Lore di adakan gotong royong setiap jumat sehingga warga
menyediakan makanan ringan untuk para warga yang bekerja. Karena
sudah ada pekerja yang dipekerjakan pemerintah di Desa Lero, masyarakat
juga sedikit yang membersihkan lingkungan itupun akan kesadaran diri
sendiri karena sebagian masyarakat sibuk bekerja.

Sementara pernyataan dari Arjad sebagai Pelaku adat adalah:

Memang kalau gotong royong itu dulu rame luar biasa di desa ini memang
bergeser sekarang ini kalau mo di bilang gotong royong ada itu ada si antar
keluarga tapi ada yang melibatkan semua pihak mungkin dari ujung dari ke
ujung ada kesulitan karena sungguh sangat besar pengaruhnya kegiatan
masyarakat dalam proses kegiatan ekonomi dulu kita ini kan tidak ada
persaingan karena tidak ada persaingan disitu masyarakat kerja sama nah
sekarang persaingan luar biasa tetangga sudah beli motor kita tidak beli
motor tentu kita malu kan nah dari sana kita semua ba kerja.

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Nasar, yang juga berprofesi sebagai
pelaku adat. Nasar menambahkan:

Iya, sudah tidak ada dengan zamannya begitu, karena sekarang sudah
kekuatan uang, berapa orang yang bisa butuhkan tenaga sekian umpama
100.000 satu tenaga berarti 5 orang 500.000 satu kali kerja

Dampak yang ditimbulkan dari terjadinya perubahan kehidupan gotong


royong masyarakat Lero adalah hilangnya tradisi gotong-royong karena diganti oleh
sistem upah yang lebih ekonomis dan lebih produktif, berkurangnya rasa solidaritas
dan kebersamaan di masyarakat yang menimbulkan sikap dan perilaku
individualistis, masyarakat menjadi pribadi yang materialistis, dan terhambatnya
kemajuan lingkungan dan daerah.

Hasil analisis yang peneliti lakukan dalam penelitian didapatkan bahwa


masyarakat desa Lero kini mengalami proses dimana unsur-unsur sosial-ekonomi
masyarakat mulai menunjukkan perubahan pada nilai-nilai dan norma-norma
kemasyarakatan ke arah pola-pola baru. Dengan keadaan tersebut maka
masyarakat dari waktu ke waktu akan terdorong untuk meninggalkan budaya
kegiatan gotong royong meskipun masyarakat tersebut tidak menghendakinya.
Perubahan tersebut bukan hanya wacana semata, kini gotong royong telah
mengalami pergeseran. Perubahan ini dari waktu ke waktu terjadi secara perlahan.

Situasi ini menciptakan sikap, perilaku, dan kebiasaan masyarakat pedesaan


yang berbeda antara saat ini dengan yang dahulu. Permasalahan perubahan gotong
royong ini dipicu oleh faktor ketidakpuasan manusia yang didorong oleh keinginan
hidup yang lebih mudah, lebih mapan, dan lebih baik dan kemudian faktor tersebut
mempengaruhi satu sama lain. Orientasi ekonomi tersebut dipengaruhi oleh doktrin-
doktrin industrialisasi yang merambah pedesaan sehingga menyebabkan banyak
masyarakat yang bekerja di bidang industri.

Namun dengan adanya perubahan-perubahan pada gotong royong di


masyarakat Lero akibat dari modernisasi dan globalisasi melahirkan corak
kehidupan yang sangat kompleks, maka hal ini akan memberikan dampak yang
besar bagi masyarakat dan lingkungan. Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh
Ferdinand Tonnies (dalam Setiadi dan Kolip 2011, hlm. 611) dikemukakan bahwa
dalam teori evolusi (evolutionary theory), evolusi mempengaruhi cara
pengorganisasian masyarakat, terutama adalah yang berhubungan dengan sistem
kerja. Kondisi ini ditandai oleh lemahnya ikatan solidaritas sosial dan berubahnya
pola-pola kehidupan yang individualistis. Gejala ini dapat dilihat di dalam struktur
sosial masyarakat yang bergerak ke arah pola-pola masyarakat perkotaan.
Berubahnya gotong royong merupakan indikasi dari solidaritas yang mulai memudar
pada masyarakat.

Sekretaris Desa Lero, yang kerap disapa Maf’ul, usia 33 tahun mengakui
bahwa aktivitas gotong royong di Lero sudah tidak aktif. Maf’ul menceritakan:

Jadi saya jelaskan, saya menjabat dari 2018, kurang lebih sudah 5 tahun.
Jujur saja ini dek kalau untuk gotong royong di desa Lero sudah tidak terlalu
aktif. Kita sudah lakukan juga masalah karena adanya yang itu cuman
intinya dari tim pimpinan lagi kalau saya kan bukan kepala desa itu intinya
dari Kepala Desanya karena kita kan bukan ini penentu kebijakan kadang
kita kasih saran saja. Intinya dari Pak Kades nya kalau dia bisa buat warga
atau masyarakat Kenapa tidak kan yang penting ada dia punya supaya ada
sedikit sedikit suntikan untuk masyarakat maksudnya dikasih setrum kalau
tidak ikut ini kita begini. Kan kalau kita mengadakan kegiatan gotong royong
Insyaallah kekeluargaan kembali yang kemarin ada perselisihan paham bisa
cair.

Sebagai aparat desa, Maf’ul mengakui pudarnya gotong royong di Lero hari
ini. Pemerintahan desa juga belum menyiapkan solusi atau menawarkan program
baru agar kebiasaan-kebiasaan gotong royong bisa terbangung kembali.

Seiring perkembangan modernisasi kehidupan gotong royong pada


masyarakat yang lambat laun mengalami perubahan merupakan suatu
permasalahan yang seharusnya mendapat perhatian dari semua pihak, termasuk
pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Permasalahan serius ini merupakan
tantangan yang harus menjadi prioritas yang dihadapi. Perubahan kehidupan gotong
royong yang terjadi adalah bentuk kurangnya kepedulian terhadap aturan dan norma
yang ada. Oleh karena itu upaya dan solusi yang dilakukan adalah dengan berfokus
pada strategi kebijakan pemerintah dan tindakan kebijakan pemerintah dan tindakan
pembinaan kepada masyarakat.

Itu realitas budaya gotong royong masyarakat Lero hari ini. Realita yang
berbanding terbalik dengan budaya Lero kala dulu.

- Kesimpulan.

Gambaran perubahan kehidupan gotong royong pada masyarakat desa Lero adalah
dengan adanya perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang ditandai dengan
kegiatan gotong royong yang saat ini kurang mendapat perhatian seiring dengan
perkembangan modernisasi yang terjadi pada masyarakat. Berkurangnya partisipasi
masyarakat merupakan indikator dari perubahan kehidupan gotong royong pada
masyarakat Terdapat beberapa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan kehidupan gotong royong masyarakat pedesaan. Faktor ini terbagi
menjadi faktor luar dan dari dalam masyarakat itu sendiri. Pada umumnya
masyarakat akan selalu berusaha untuk mencapai tingkat kehidupannya yang lebih
baik meskipun mengorbankan kepentingan bersama.
Terjadinya perubahan kehidupan gotong royong pada masyarakat desa Lero
melahirkan corak kehidupan yang sangat kompleks, maka hal ini akan memberikan
dampak yang besar bagi masyarakat dan lingkungan. Perubahan ini berdampak
pada segala aspek kehidupan manusia, terutama pada sikap dan perilaku individu
itu sendiri maupun berdampak pada interaksi individu dengan individu lainnya.
Perubahan tersebut memunculkan suatu pola, mental, dan sikap yang mulai
bergerak ke arah memudarnya budaya gotong royong.

Upaya dan solusi yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi perubahan


kehidupan gotong royong dalam masyarakat pedesaan adalah dengan berfokus
pada strategi kebijakan pemerintah dan tindakan pembinaan dengan masyarakat.
Karena hal ini merupakan suatu permasalahan yang seharusnya mendapat
perhatian dari semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai