Faktanya aktivitas gotong royong bisa ditemukan di banyak tempat, dari dulu
sampai hari ini. Ruang sekecil rumah, bisa menjadi saksi bagaimana kehangatan
gotong royong dirasakan, pun dalam lingkup desa, ada banyak sekali aktivitas
gotong royong di sana. Indonesia hari ini mewacanakan gotong royong sebagai
salah satu kepribadian dan karakter utama bangsa. Data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan, di Indonesia ada 70.229 desa/kelurahan di sepanjang tahun
2021, sebagian warga memiliki kebiasaan gotong royong untuk kepentingan umum.
Menurut data BPS 10 provinsi dengan budaya gotong royong tertinggi, ada
Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sumatera
Utara, Papua, Jawa Barat, Aceh di posisi Ke-3, Ke-2 Jawa Timur, dan Jawa Tengah
di posisi teratas. Bagaimana dengan daerah yang tidak memiliki kebiasaan gotong
royong? Melihat data BPS, 918 desa/kelurahan warganya tidak mempunyai
kebiasaan gotong royong, mayoritas berada di Papua dan Sumatera. Bagaimana
kita merasakan atau menjadikan standar tinggi/rendahnya budaya gotong royong
dalam sebuah daerah?
Perilaku gotong royong tersebut tentu saja dapat menjadi aset bangsa jika
tetap dipelihara oleh masyarakat pedesaan karena merupakan sebuah manifestasi
budaya yang telah ada dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat. Namun
melihat kondisi saat ini harapan kehidupan masyarakat pedesaan sebagai standar
dan pemeliharaan adat istiadat gotong royong sepertinya sulit terwujud. Hal ini dapat
dilihat dari kondisi masyarakat pedesaan mulai berkembang yang menjadikan
keberadaan gotong royong mulai punah.
Lero, sebuah desa yang berada di sebelah barat Sulawesi Tengah. Desa
yang berjarak sekitar 43, 5 km dari pusat kota provinsi. Di Lero, belakangan ini
aktivitas semacam gotong royong jarang dilakukan masyarakat. Nuansa kerja-sama
kelompok masyarakat sudah tidak terasa di Lero hari ini. Mayoritas masyarakat Lero
mulai menunjukkan ke arah pola-pola baru mengikuti arus globalisasi yang mereka
terima dari luar. Hal ini berdampak pada adanya pergeseran atau mulai minimnya
perilaku gotong royong.
Gotong royong yang hari ini sudah tidak lagi terasa di masyarakat desa Lero
belum tentu terjadi sedari dulu, pasti ada faktor yang menyebabkan kenapa aktivitas
gotong royong menjadi pudar hari ini. Peneliti melihat ke masa lalu, menemui para
orang tua di desa Lero untuk menanyakan bagaimana budaya gotong royong desa
Lero di masa lalu. Peneliti menemui tiga informan dengan usia 50 tahun ke atas.
Ingatan mereka masih jelas soal kehangatan masyarakat desa Lero di masa lalu
karena aktivitas seperti gotong royong masih sering dilakukan. Peneliti mengutip
pernyataan dari salah satu informan yang menceritakan salah satu budaya gotong
royong desa Lero di masa lalu dan sudah tidak ditemukan hari ini.
Informan kami Pelaku Adat Desa Lero Bapak Nasar A Djalalembah, usia 73
tahun mengatakan:
Kalo itu, secara cerita kalo bahasanya disini nolele, nolele itu yang kerja
macam 12 orang satu kelompok si A besok si B besok lagi. Itu kalo saya
bisa garis bawahi tahun 90-an. Nolele terakhir 90-an.
Beruntung karena orang tua di Lero masih punya ingatan jelas tentang
budaya gotong royong di sana. Peneliti berkesempatan mewawancarai informan
yang lain, berkedudukan sebagai Pelaku Adat. Peneliti diajak berpetualang kembali
ke masa lalunya.
Pelaku Adat Desa Lero, Arjad Lacapa, usia 59 tahun. Arjad menyebutkan:
Dulu dalam membangun datang orang membantu, diliat-liat di sana ada orang
bunyi bunyi, ba paku paku seng datang itu orang datang b palu palu juga,
ramai itu tapi sampai sekarang tinggal tukang kalau ada perbaikan tinggal
tukang, pekerjaan orang lain jadi gotong royong itu nanti ada hal hal tertentu
tapi untuk kegiatan umum sulit.
Saya rindu dengan kegiatan kumpul-kumpul dengan keluarga. Dulu waktu kita
masih muda, Keluarga jauh itu datang, kalau untuk pesta, tidak pernah dia
datang nanti hari H nya. Itu yang dirindukan selama ini. Kalau dulu itu ada
pesta atau kedukaan, mereka harus bermalam. Itu kelebihannya dulu, jadi kita
banyak curhat di situ. Jadi anggota keluarga saling menyapa. Dan sekarang
sudah tidak ada yang begitu. Itu sudah 30 tahun yang lalu.
Berdasarkan ingatan masa lalu Arjad, dulu banyak sekali aktivitas yang
dikerjakan secara bersama, untuk kepentingan umum maupun pribadi. Inisiatif
masyarakat dulu lebih tinggi daripada hari ini. Hari ini, jika ingin melihat gotong
royong di Lero, kita hanya bisa menemukan di acara tertentu seperti acara kematian,
namun harus diterima warga yang terlibat tidak sebanyak dulu. Arjad juga
merindukan suasana kumpul bersama keluarga di masa lalu, kehangatan yang
sudah hilang hari ini. Memori yang dia rasakan terakhir kali 30 tahun yang lalu.
Ada momen kebersamaan Masyarakat yang dirindukan pada saat itu, saat
kita berpesta, tuan rumah tidak terlalu repot, banyak orang datang
membantu cuci piring. Dulu bapak-bapak di Lero ini sebelum pesta sudah
ambil bambu dan kayu banyak buat tenda, di situ tuan rumah sediakan
makanan sama minuman buat bapak -bapak disitu.
Memang kalau gotong royong itu dulu rame luar biasa di desa ini memang
bergeser sekarang ini kalau mo di bilang gotong royong ada itu ada si antar
keluarga tapi ada yang melibatkan semua pihak mungkin dari ujung dari ke
ujung ada kesulitan karena sungguh sangat besar pengaruhnya kegiatan
masyarakat dalam proses kegiatan ekonomi dulu kita ini kan tidak ada
persaingan karena tidak ada persaingan disitu masyarakat kerja sama nah
sekarang persaingan luar biasa tetangga sudah beli motor kita tidak beli
motor tentu kita malu kan nah dari sana kita semua ba kerja.
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Nasar, yang juga berprofesi sebagai
pelaku adat. Nasar menambahkan:
Iya, sudah tidak ada dengan zamannya begitu, karena sekarang sudah
kekuatan uang, berapa orang yang bisa butuhkan tenaga sekian umpama
100.000 satu tenaga berarti 5 orang 500.000 satu kali kerja
Sekretaris Desa Lero, yang kerap disapa Maf’ul, usia 33 tahun mengakui
bahwa aktivitas gotong royong di Lero sudah tidak aktif. Maf’ul menceritakan:
Jadi saya jelaskan, saya menjabat dari 2018, kurang lebih sudah 5 tahun.
Jujur saja ini dek kalau untuk gotong royong di desa Lero sudah tidak terlalu
aktif. Kita sudah lakukan juga masalah karena adanya yang itu cuman
intinya dari tim pimpinan lagi kalau saya kan bukan kepala desa itu intinya
dari Kepala Desanya karena kita kan bukan ini penentu kebijakan kadang
kita kasih saran saja. Intinya dari Pak Kades nya kalau dia bisa buat warga
atau masyarakat Kenapa tidak kan yang penting ada dia punya supaya ada
sedikit sedikit suntikan untuk masyarakat maksudnya dikasih setrum kalau
tidak ikut ini kita begini. Kan kalau kita mengadakan kegiatan gotong royong
Insyaallah kekeluargaan kembali yang kemarin ada perselisihan paham bisa
cair.
Sebagai aparat desa, Maf’ul mengakui pudarnya gotong royong di Lero hari
ini. Pemerintahan desa juga belum menyiapkan solusi atau menawarkan program
baru agar kebiasaan-kebiasaan gotong royong bisa terbangung kembali.
Itu realitas budaya gotong royong masyarakat Lero hari ini. Realita yang
berbanding terbalik dengan budaya Lero kala dulu.
- Kesimpulan.
Gambaran perubahan kehidupan gotong royong pada masyarakat desa Lero adalah
dengan adanya perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang ditandai dengan
kegiatan gotong royong yang saat ini kurang mendapat perhatian seiring dengan
perkembangan modernisasi yang terjadi pada masyarakat. Berkurangnya partisipasi
masyarakat merupakan indikator dari perubahan kehidupan gotong royong pada
masyarakat Terdapat beberapa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan kehidupan gotong royong masyarakat pedesaan. Faktor ini terbagi
menjadi faktor luar dan dari dalam masyarakat itu sendiri. Pada umumnya
masyarakat akan selalu berusaha untuk mencapai tingkat kehidupannya yang lebih
baik meskipun mengorbankan kepentingan bersama.
Terjadinya perubahan kehidupan gotong royong pada masyarakat desa Lero
melahirkan corak kehidupan yang sangat kompleks, maka hal ini akan memberikan
dampak yang besar bagi masyarakat dan lingkungan. Perubahan ini berdampak
pada segala aspek kehidupan manusia, terutama pada sikap dan perilaku individu
itu sendiri maupun berdampak pada interaksi individu dengan individu lainnya.
Perubahan tersebut memunculkan suatu pola, mental, dan sikap yang mulai
bergerak ke arah memudarnya budaya gotong royong.