Anda di halaman 1dari 34

Makalah Manajemen Kegawatdaruratan

Terkait dengan Fraktur Multiple Dan Mega Code (Code Blue)

Serta Proses Asuhan Keperawatan

Disusun Oleh :

Kelompok 8

Eggi Frayoga (1033231024)

Rita Rismaya (1033231023)

Tasya Amelia Septiani (1033231022)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MH THAMRIN

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini merupakan
salah satu tugas dari Keperawatan Kegawatdaruratan.
Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami mendapat banyak bantuan
dari berbagai pihak dan sumber. Karena itu kami sangat menghargai bantuan dari
semua pihak yang telah memberi kami bantuan dukungan juga semangat, buku-buku
dan beberapa sumber lainnya sehingga tugas ini bisa terwujud. Oleh karena itu,
melalui media ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan jauh
dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang
kami miliki. Maka itu kami dari pihak penyusun sangat mengharapkan saran dan
kritik yang dapat memotivasi kami agar dapat lebih baik lagi dimasa yang akan
datang.

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur multiple adalah fraktur yang terjadi pada tulang lebih dari
satu. Adapun contoh dari fraktur multiple yaitu fraktur radius distal dan
fraktur tibialis. fraktur radius distal adalah fraktur ortopedi yang paling
umum di dunia barat. Distribusi fraktur radius distal pada populasi umum
adalah bimodal dengan puncak insiden pada pria muda dan wanita pasca
menopause.
Fraktur atau patah tulang adalah kondisi terputusnya diskontinuitas
tulang yang disebabkan adanya tekanan atau rudapaksa pada tulang yang
terjadi karena adanya pukulan, tarikan, puntiran, dan tekanan.
World Health Organization (WHO) mencatat cedera lalu lintas
adalah penyebab kematian nomor 8 di dunia bagi segala usia. Jumlah
kematian akibat kecelakaan lalu lintas terus meningkat, mencapai angka
kematian tertinggi 1,35 juta pada tahun 2018.
Ketika terjadi kejadian gawat darurat diperlukan suatu sistem
untuk mengingatkan petugas Kesehatan dalam berbagai situasi darurt
dirumah sakit, sistem tersebut dibuat sebagai sistem respon cepat untuk
resusitasi dan stabilisasi situasi darurat medis yang terjadi dalam wilayah
rumah sakit. Sistem respon cepat tersebut biasa disebutkan dengan istilah
Code Blue, Code Blue adalah sistem manajemen darurat yang dibentuk
untuk menangani kasus yang membutuhkan intervensi medis darurat.
Code blue merupakan salah satu kode prosedur emergensi yang
harus segera diaktifkan jika ditemukan seseorang dalam kondisi
cardiaerespiratory arrest di dalam area rumah sakit. Code blue response
team atau tim code blue adalah suatu tim yang dibentuk oleh rumah sakit
yang bertugas merespon kondisi code blue didalam area rumah sakit. Tim
ini terdiri dari dokter dan perawat yang sudah terlatih dalam penanganan
kondisi cardiac respiratory arrest.
B. Rumusan Masalah
a) Apa yang Definisi Multiple Fraktur?
b) Apa Saja Klasifikasi Multiple Fraktur?
c) Apa Saja Manisfestasi Klinis Multiple Fraktur?
d) Bagaimana Pemeriksaan Diagnostic Multiple Fraktur?
e) Bagaimana Penatalaksanaan Multiple Fraktur?
f) Apa Saja Komplikasi Multiple Fraktur?
g) Bagaimana Penatalaksanaan Multiple Fraktur?
h) Bagaimana Asuhan Keperawatan Multiple Fraktur?
i) Apa Definisi CODE BLUE?
j) Apa Tujuan CODE BLUE?
k) Bagaimana Ruang Lingkup CODE BLUE?
l) Bagaimana Kebijakan CODE BLUE?
m) Bagaimana Perencanaan Sumber Daya Manusia CODE BLUE?
n) Bagaimana Prosedur Kerja CODE BLUE?

C. Tujuan
a) Tujuan Umum
Untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Kegawatdaruratan mengenai
Manajemen Kegawatdaruratan Terkait dengan Fraktur Multiple Dan Mega
Code (Code Blue) Serta Proses Asuhan Keperawatan
b) Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui Definisi Fraktur Multiple?
 Untuk mengetahui Klasifikasi Fraktur Multiple?
 Untuk mengetahui Manisfestasi Klinis Fraktur Multiple?
 Untuk mengetahui Pemeriksaan Diagnostic Fraktur Multiple?
 Untuk mengetahui Penatalaksanaan Fraktur Multiple?
 Untuk mengetahui Komplikasi Fraktur Multiple?
 Untuk mengetahui Penatalaksanaan Fraktur Multiple?
 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Fraktur Multiple?
 Untuk mengetahui Definisi CODE BLUE?
 Untuk mengetahui Tujuan CODE BLUE?
 Untuk mengetahui Ruang Lingkup CODE BLUE?
 Untuk mengetahui Kebijakan CODE BLUE?
 Untuk mengetahui Perencanaan Sumber Daya Manusia CODE BLUE?
 Untuk mengetahui Prosedur Kerja CODE BLUE?
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. MULTIPLE FRAKTUR
1. Definisi
Fraktur multiple adalah fraktur yang terjadi pada tulang lebih dari
satu. Adapun contoh dari fraktur multiple yaitu fraktur radius distal dan
fraktur tibialis. fraktur radius distal adalah fraktur ortopedi yang paling
umum di dunia barat. Distribusi fraktur radius distal pada populasi
umum adalah bimodal dengan puncak insiden pada pria muda dan
wanita pasca menopause (Sundkvist et al., 2021).
Fraktur atau patah tulang adalah kondisi terputusnya diskontinuitas
tulang yang disebabkan adanya tekanan atau rudapaksa pada tulang
yang terjadi karena adanya pukulan, tarikan, puntiran, dan tekanan
(Mujahidin, 2018).
World Health Organization (WHO) mencatat cedera lalu lintas
adalah penyebab kematian nomor 8 di dunia bagi segala usia. Jumlah
kematian akibat kecelakaan lalu lintas terus meningkat, mencapai angka
kematian tertinggi 1,35 juta pada tahun 2018.
Usia adalah salah satu faktor risiko paling signifikan untuk
kehilangan reduksi dan perpindahan fraktur sekunder. Pada usia lebih
dari 60 tahun, Pada kelompok usia ini adalah jenis patah tulang kedua
yang paling umum, setelah patah tulang pinggul, dengan cedera hampir
4 kali lebih banyak pada wanita dari pada pria (Gutiérrez-Espinoza et
al., 2017).
2. Klasifikasi
Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok menurut (Suriya & Zurianti,
2019) yaitu:
a. Berdasarkan tempat fraktur : femur, humerus, tibia, clavicula, ulna,
radius, cruris dan yang lainnya.
b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur
a) Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang)
b) Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang
c. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah
a) Fraktur komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b) Fraktur segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c) Fraktur multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
d. Berdasarkan posisi fragmen
a) Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b) Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen.
e. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang di timbulkan)
a) Fraktur tertutup (closed) , bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu :
1. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
2. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartemen.
b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
1. Grade I : Dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya,
kerusakan jaringan lunak minimal, biasanya tipe fraktur
simpletransverse dan fraktur obliq pendek.
2. Grade II : luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusakan
jaringan lunak yang ekstensif, fraktur komunitif sedang da
nada kontaminasi.
3. Grade III : yang sangat terkontaminasi dan mengalami
kerusakan jaringan lunak yang esktensif, kerusakan meliputi
otot, kulit dan struktur neurovascular. Grade III ini dibagi lagi
kedalam :
1) III A : fraktur grade III, tapi tidak membutuhkan kulit
untuk penutup lukanya.
2) III B : fraktur grade III, hilangnya jaringan lunak, sehingga
tampak jaringan tulang, dan membutuhkan kulit untuk
penutup (skin graft).
3) III C : fraktur grade III, dengan kerusakan arteri yang harus
diperbaiki, dan berisiko untuk dilakukan amputasi.
f. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungannya dengan
mekanisme trauma :
a) Fraktur tranversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahannya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi juga.
c) Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fieksi yang mendorong tulang arah permukaan lain.
e) Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
g. Berdasarkan kedudukan tulangnya
a) Tidak adanya dislokasi
b) Adanya dislokasi
1. At axim : membentuk sudut.
2. At lotus : fragmen tulang berjauhan.
3. At longitudinal : berjauhan memanjang.
4. At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
h. Berdasarkan posisi fraktur Satu batang tulang menjadi tiga bagian:
1/3 proksimal, 1/3 medial, 1/3 distal.
i. Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
j. Fraktur patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
3. Manifestasi klinis
1) Kurang/hilang sensasi dan deformitas
Bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
tidak alamiah. Cruris tak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantungan pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
2) Edema (bengkak) dan Echimosis (memar)
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti
fraktur, tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cidera.
3) Spasme otot
4) Nyeri
5) Krepitasi
6) Pergerakan abnormal
4. Pemeriksaan Diagnostic
a. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang fraktur menurut Suriya & Zurianti (2019)
yaitu :
a) Pemeriksaan foto radiologi : menentukan lokasi/luasnya
fraktur/trauma, dan jenis fraktur.
b) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan
sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.
c) Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan
vascular.
d) Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal.
e) Scan tulang : memperlihatkan tingkat keparahan fraktur juga
dapat untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak (Suriya
& Zurianti, 2019).
b. Pemeriksaan fisik yang dilakukan sebagai berikut :
a) Look/inspeksi: bengkak, deformitas dan kelainan bentuk.
b) Feel/palpasi: nyeri tekan, local pada fraktur.
c) Movement/Gerakan: Gerakan aktif sakit, Gerakan pasif sakit
krepitasi.
5. Penatalaksaan
a. Recognisi atau pengenalan. Riawayat derajat keparahannya, prinsip
pertamam yaitu mengetahui da menilai keadaan fraktur dengan
anemsis, pemeriksaan klinik dan radiologi.
a) Reduksi : Manipulasi fragmen tulang patah untuk kembali seperti
asalnya. Dengan reduksi tertutup (tanpa operasi) contohnya
reduksi dan reduksi terbuka (operasi) contohnya dengan
pemasangan pin, kawat, sekrup, atau batangan logam.
b) Retensi : Mempertahankan frgamen selama penyembuhan
dengan fiksasi internal maupun external. Contohnya, gips.
c) Rehabilitasi dimulai segera dan susah dilakukan pengobatan
untuk menghindari kontraktur sendi dan atrofi otot. Bertujuan
mengurangi odem, mempertahankan Gerakan sendi, memulihkan
kekuatan otot dan memandu pasien Kembali ke aktivitas normal.
d) Orif : Pembedahan untuk memperbaiki fungsi dan
mengembalian stabilitas dan mengurangi nyeri tulang yang
patah dengan skrup, paku, dan pin logam.
e) Traksi : Pemasangan tarikan kebagian tubuh, beratnya
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
6. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra
sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas,
thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma kompartemen
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf
dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan
edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang
intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah
tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini
menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian
syaraf yang mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri
hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakan jari tangan atau
kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas
yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan. Resiko
terjadinya sindrom kompartemen paling besar apabila terjadi trauma
otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan
hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu
dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan di
kompartemen ekstremitas, dan hilangnya fungsi secara permanen
atau hilangnya fungsi ekstremitas dapat terjadi.
d. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada
nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang biasa menyebabkan nekrosis tulang dan di
awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001)

 Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut pada multiple fraktur


antara lain :
1. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau
miring. Contoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat
dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana
kemungkinan gerakan rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah
kurang diperhatikan. Akibatnya sesudah gips dibuka ternyata
anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke luar, dan
penderita tidak dapat mempertahankan tubuhnya untuk berada dalam
posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan
melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan
mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin terutama pada masa
awal periode penyembuhan.
2. Gips
Fragmen-fragmen tulang yang patah dan bergeser sesudah direduksi
harus diketahui sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan
radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan
reduksi berulang dan imobilisasi, atau mungkin juga dengan
tindakan operasi.
3. Delayed union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
4. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang merupakan faktor
predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak
benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap
tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara
terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya
otot) diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera jaringan
lunak yang sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran darah
dimana tulang yang patah tersebut dapat merusak suplai darah ke
satu atau lebih fragmen tulang.
7. Penatalaksanaan kedaruratan
Klien dengan fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh
yang terkena segera sebelum dipindahkan. Daerah yang patah harus di
sangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan
rotasi, imobilisaasi tulang Panjang ekstermitas bawah dapat juga
dilakukan dengan membebat kedua tungkai besama. Pada cidera
ekstermitas atas lengan dapat dibebatkan ke dada. Peredaran di distal
cidera harus dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan
perifer. Luka tutup dengan kasa steril.
1) Surver primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan
adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE
(Airway, Breathing, Circulation, Disability Limitation, Exposure)
a) A : Airway. dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai
adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di
bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang
dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitive.
b) B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya
kita harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi dari paru paru yang baik, dinding dada dan
diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur
ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.
c) C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus
diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac
output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada
kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang
femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4
unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan
yang terbaik adalah menggunakan penekanan langsung dan
meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan
di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat
menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar
patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril
umumnya dapat menghentikan pendarahan. Penggantian cairan
yang agresif merupakan hal penting disamping usaha
menghentikan pendarahan.
d) D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan
evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
e) E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya,
seiring dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi
pasien. setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti
agar pasien tidak hipotermia.

B. CODE BLUE
1. Definisi
C Code blue response team atau tim code blue adalah suatu tim
yang dibentuk oleh rumah sakit yang bertugas merespon kondisi code
blue didalam area rumah sakit. Tim ini terdiri dari dokter dan perawat
yang sudah terlatih dalam pengananan kondisi cardiac respiratory
arrest.
Code blue merupakan salah satu kode prosedur emergensi yang
harus segera diaktifkan jika ditemukan seseorang dalam kondisi
cardiaerespiratory arrest di dalam area rumah sakit. Code blue
response team atau tim code blue adalah suatu tim yang dibentuk oleh
rumah sakit yang bertugas merespon kondisi code blue didalam area
rumah sakit. Tim ini terdiri dari dokter dan perawat yang sudah
terlatih dalam penanganan kondisi cardiac respiratory arrest ( Galih,
2017 ).
Proses code blue menekankan pada rantai kelangsungan hidup (the
chain of survival) diantaranya yang pertama adalah mendeteksi segera
kondisi korban dan meminta pertolongan (early access), rantai kedua
adalah resusitasi jantung paru RJP segera (early cardiopulmonary
resusitasion), rantai ketiga adalah defibrilasi segera (early
defibrillation), rantai keempat adalah Tindakan bantuan hidup lanjut
segera (early advanced cardiovascular life support), dan rantai kelima
adalah perawatan paska henti jantung (post cardiac-arrest care).
2. Tujuan Code Blue
1) Untuk menyediakan penanganan resusitasi dan stabilisasi korban
gawat darurat yang mengalami permasalahan cardio-respiratory
dan kejadian gawat darurat lainnya dalam lingkungan rumah
sakit.
2) Untuk membentuk tim terlatih yang dapat digunakan untuk
penanganan cepat dari rumah sakit.
3) Untuk memulai pelatihan keterampilan Basic Life Support (BLS)
dan penggunaan Automated defibrillator eksternal (AED) untuk
semua staf rumah sakit yang berbasis klinis atau non klinis.
4) Untuk memulai penempatan peralatan Basic Life Support (BLS)
diberbagai lokasi strategis di dalam lingkungan rumah sakit untuk
memfasilitasu respon cepat untuk keadaan gawat darurat.
5) Untuk membuat rumah sakit aman dan siap tanggap untuk
keadaan gawat darurat.
3. Ruang lingkup
Sistem respon cepat code blue dibentuk untuk memastikan bahwa
semua kondisi cardiac respiratory arrest tertangani dengan resusitasi
dan stabilisasi sesegera mungkin. Sistem respon terbagi dalam 2 tahap
yaitu:
a. Respon awal (responder pertama) berasal dari petugas rumah sakit
baik.
b. Medis ataupun non medis yang berada disekitar korban.
c. Respon kedua (responder kedua) berasal dari tim code blue.

Ruang lingkup panduan ini meliputi tata cara melakukan resusitasi


diseluruh lingkungan rumah sakit. Bila terjadi kegawat daruratan, baik
pasien anak maupun dewasa.

4. Kebijakan
Tim medis reaksi cepat code blue (TMRCCB) terdiri dari:
a) Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) atau minimal
residen pin hijau.
b) Dokter anastesi dan terapi intensif sebagai coordinator
TMRCCB (minimal residen pin hijau).
c) Dokter jantung/kardiologi sebagai anggota TMRCCB (minimal
residen pin hijau).
d) Perawat 1, perawat 2, dan perawat 4 sebagai anggota minimal
TMRCCB.
e) Satuan pengamanan.
f) Farmasi
5. Perencanaan sumber daya manusia
Dalam satu shift harus ada 2-3 orang perawat terlatih yang
bertugas. Perencanaan SDM ditentukan berdasarkan kondisi
kegawatdaruratan pasien, sebagai berikut :
a) Melakukan penanggulangan pasien gawat di ruang perawatan:
 Dokter jaga perawatan
 Perawat terlatih 1 orang
 Perawat pelaksana
b) Melakukan RJP
(1) Dokter jaga perawatan
(2) Perawat terlatih 2-3 orang
(3) Perawat pelaksana.

Demi menyeragamkan pelayanan resusitasi, dokter residen anestesi


yang memberikan layanan resusitasi harus telah mengikuti pelatihan
ATLS,ACLS,PALS.

Kualifikasi perawat yang bergabung dalam code blue:

a) Perawat yang memberikan layanan resusitasi harus telah


mengikuti pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD/BLS).
b) Perawat amggota TMRC harus telah mengikuti pelatihan
Bantuan Hidup Lanjut (BHL/ALS).
6. Prosedur kerja
a. Identifikasi pasien/korban dengan henti jantung (cardiac arrest)
dan atau henti nafas (respiratory arrest) ditempat kejadian atau
pasien dirawat dengan perburukan kondisi skala MEWS >8
diruang rawat.
b. Perhatikan label pasien yang mengalami henti jantung (cardiac
arrest) dan henti nafas (respiratory arrest) atau MEWS >8. Bila
label ungu tidak perlu mengaktifkan code blue.
c. Pada kasus cardiac arrest, segera lakukan BHD, call for help,
aktifkan kode blue dengan menghubungi pesawat ekstensi
dengan menyatakan “code blue di ruang………kamar…….”.
petugas yang menerima telepon kemudian mengumumkan
melalui pengeras suara dan menyatakan “code blue
diruang……. Kamar…….”.
d. Pada kasus perburukan kondisi dengan MEWS >8, residen
DPJP melakukan resusitasi awal, aktifkan code blue.
e. TMRCCB datang ke lokasi kejadian dalam waktu kurang dari 5
menit dan melakukan advance life support pada kasus henti
jantung atau resusitasi-stabilisasi hemodinamik pada kasus
perburukan kondisi, MEWS >8.
f. Informed consent kondisi pasien dilakukan oleh DPJP.
g. Pada henti jantung
(1) Bila tercapai Return Of Spontaneus Circulation (RSOC),
diputuskan untuk penanganan selanjutnya di ICU/ICCU,
PJT, Ruang Operasi, unit lainnya atau Rumah Sakit jejaring.
(2) Sementara menunggu ruang perawatan definitive, perawatan
pasien tersebut dirawat sesuai dengan fasilitas yang tersedia
saat itu dengan Tindakan ventilasi mekanik yang dilakukan
secara manual (bagging dengan bag-value-mask).
(3) Bila tidak tersedia ruang perawatan definitive, Tindakan
bagging diserahkan ke DPJP setelah pasien RSOC dan
distabilkan dalam waktu 2 jam oleh TMRCCB dan pasien
tetap dirawat diruangan awal sampai diruang definitive.
h. Pada pasien perburukan kondisi dengan MEWS >8.
(1) Dilakukan resusitasi secara intensif dengan monitoring ketat
di ruang perawatan pasien dengan koordinasi anatara DPJP,
dokter anestesi, dan dokter cardiologi.
(2) Bila pasien memerlukan penanganan jelan nafas definitive
dengan intubasi dilakukan diruang perawatan pasien oleh
dokter anestesi.
(3) Setelah pasien terintubasi, dilakukan Tindakan ventilasi
mekanik yang dilakukan secara manual (bagging dengan
bag-value-mask).
i. Pasien dipindahkan keruang perawatan definitive bila
transportable dan ruangan yang dibutuhkan pasien sudah
tersedia
j. Bila pasien meninggal, surat keterangannya ditanda tangani oleh
DPJP.

BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR
MULTIPLE
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah pasien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
a) Pengumpulan Data
1. Identitas pasien Meliputi : nama, jenis kelamin, umur, alamat,
agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, Pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongan darah, no register, tanggal MRS,
diagnose medis
2. Keluhan Utama : Pada umumnya keluhan utama pada kasus
fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bias akut atau kronik
tergantung dari lamanya serangan. Untuk memeperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan :
1) Provoking incident : apakah ada pristiwa yang menjadi factor
presipitasi nyeri.
2) Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3) Region : radiation, relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
4) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau pasien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan
untuk menetukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu
rencana tindakan terhadap pasien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena
(Ignatavicius, Dona D, 2006).
4. Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan
kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung.
5. Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan
dengan penyakit tulang merupakan salah satu factor predisposisi
terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis, yang sering
terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cendrung diturunkan secara genetik.
6. Riwayat Psikososial
Merupakan respon emosi pasien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran pasien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
keluarga ataupun masyaakat.
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus
fraktur akan timbul ketidakuatan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup pasien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, dan apakah pasien berolahraga atau
tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada pasien fraktur harus
mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan.
3) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak,
maka semua bentuk kegiatan pasien menjadi berkurang dan
kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas pasien terutama
pekerjaan pasien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur.
4) Pola Hubungan dan Peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena pasien harus menjalani rawat inap.
5) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada
pasien fraktur yaitu timbul ketidakuatan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan atau melakukan
aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya salah.
6) Pola Sensori dan kognitif Pada pasien fraktur daya rabanya
berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indra yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan.
7) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk pasien fraktur tidak
dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbataan gerak pasien.
8. Masalah Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis
mengenai respon pasien terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung actual maupun
potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga dan
komunitasterhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan. 23
Jenis jenis diagnosis keperawatan yaitu diagnosis actual, diagnosis
resiko, dan iagnosis promosi kesehatan. Diagnosis actual
menggunakan respons pasien terhadap kondisi kesehatan ataub
proses kehidupannya yang menyebabkan pasien mengalami
masalah kesehatan. Tanda/gejala mayor dan minor dapat di
temukan dan divalidasi pada pasien. Diagnosis resiko
menggambarkan respons pasien terhadap kondisi kesehatan atau
proses kehidupannya yang dapat menyebabkan pasien beresiko
mengalami masalah kesehatan. Tidak ditemukan tanda/gejala
mayor dan minor pada pasien , namun pasien memiliki factor
resiko mengalami masalah kesehatan. Diagnosis promosi
kesehatan menggambarkan adanya kenginan dan motivasi pasien
untuk meningkatkan kondisi kesehatannya ke tingkat yang lebih
baik atau optimal.
Diagnosis keperawatan memiliki dua komponen utama
yaitu masalah (problem) atau label diagnosis dan indicator
diagnostik. Masalah (problem) merupakan label diagnosis
keperawatan yang menggambarkan inti dari respons pasien
terhadap kondisi kesehatan atau proses kehidupannya. Indicator
diagnostik terdiri atas penyebab, tanda/gejala, dan factor resiko.
Penyebab (etiology) merupakan factor-faktor yang mempengarui
perubahan status kesehatan.
Etiologic dapat mencakup empat katagori yaitu :
a) Fisiologis, biologis, atau psikologis.
b) Efek terapi/Tindakan
c) Situasional (lingkungan atau personal)
d) Muturasional. Tanda (sign) dan Gejala (syimptom).

Tanda merupakan data objektif yang diperoleh dari hasil


pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan prosedur
diagnostic, sedangkan gejala merupakan data subjektif yang
diperoleh dari hasil anamnesis. Tanda/gejala dikelompokan
menjadi dua yaitu mayor dan minor. Factor resiko 24 merupakan
kondisi atau situasi yang dapat meningkatkan kerentanan pasien
mengalami masalah kesehatan (SDKI, 2016)

Diagnosa keperawatan ditegakan atas dasar data pasien.


Kemungkinan diagnosa keperawatan pada pasien fraktur adalah
sebagai berikut :

1) Nyeri akut ( D.0077) Nyeri akut adalah pengalaman sensorik


atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat
dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan.
2) Perfusi perifer tidak efektif (D.0009) Perfusi perifer tidak
efektif adalah penurunan sirkulasi darah pada level kapiler
yang dapat mengganggu metabolisme tubuh.
3) Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0129) Gangguan
integritas kulit/jaringan adalah kerusakan kulit (dermis dan
atau epidermis) atau jaringan (membrane mukosa, kornea,
fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau
ligamen).
4) Gangguan mobilitas fisik (D.0054) Gangguan mobilitas fisik
adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri.
5) Defisit perawatan diri (D.0109) Defisit perawatan diri adalah
tidak mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas
perawatan diri.
6) Resiko infeksi (D.142) 25 Resiko infeksi yaitu beresiko
mengalami penigkatan terserang organisme patogenik.
7) Resiko syok (D.0039) Resiko syok adalah beresiko
mengalami ketidakcukupan aliran darah ke jaringan tubuh,
yang dapat mengakibatkan disfungsi seluler yang
mengancam jiwa.
9. Intervensi keperawatan
Adalah semua tindakan asuhan yang perawat lakukan atas nama
klien. Tindakan ini termasuk intervensi yang diprakarsai oleh
perawat, dokter, atau intervensi kolaboratif (McCloskey &
Bulechek, 1994)

Diagnosa Tujuan dan Kriteria


Intervensi
Keperawatan Hasil
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Identifikasi
(D.0077) tindakan keperawatan factor pencetus
selama 3x8 jam dan pereda
diharapkan nyeri nyeri
berkurang atau hilang 2. Monitor kualitas
dengan kriteria hasil: nyeri
1. Melaporkan bahwa 3. Monitor lokasi
nyeri berkurang dan penyebaran
2. menyatakan rasa nyeri
nyaman setelah nyeri 4. Monitor
berkurang intensitas nyeri
dengan
menggunakan
skala
5. Monitor durasi
dan frekuensi
nyeri
6. Ajarkan Teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri
7. Kolaborasi
pemberian obat
analgetik
Perfusi perifer Setelah dilakukan 1. Monitor tanda -
tidak efektif tindakan keperawatan tanda vital.
selama 3x8 jam 2. Monitor status
diharapakan perfusi hidrasi
perifer tidak efektif 3. Monitor status
dapat teratasi dengan pernafasan.
kriteria hasil : 4. Monitor hb
1. Tekanan systole dan pasien.
diastole dalam rentang 5. Kolaborasi
yang diharapkan. pemberian
2. Tidak ada ortostatik transfusi darah
hiprtensi bila diperlukan
Gangguan Setelah dilakukan 1. Monitor
integritas kulit tindakan keperawatan karakteristik
selama 3x8 jam luka
diharapkan gangguan 2. Lepaskan
integritas kulit dapat balutan
teratasi dengan kriteria dan plaster
hasil : secara perlahan
1. Integritas kulit yang 3. Pasang balutan
baik bias sesuai jenis luka
dipertahankan 4. Pertahankan
2. Perfusi jaringan baik teknik steril saat
3. Menunjukan melakukan
pemahaman dalam perawatan luka
proses perbaikan kulit 5. Jelaskan tanda
dan mencegah gejala infeksi
terjadinya cedera 6. Anjurkan
berulang mengkonsumsi
4. Mampu melindungi makanan tinggi
kulit dan kalori dan
mempertahankan protein
kelembapan kulit dan 7. Kolaborasi
perawatan alami pemberian
antibiotic
Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi
fisik keperawatan selama 3x8 kemampuan
jam diharapkan gangguan pasien
mobilitas fisik dapat beraktivitas
teratasi dengan kriteria 2. Monitor kondisi
hasil : umum selama
1. Pasien meningkat melakukan
dalam aktivitas fisik mobilisasi
2. Mengerti tujuan dari 3. Fasilitasi aktivitas
peningkatan mobilitas mobilisasi
3. Memverbalisasikan dengan alat
perasaan dalam bantu ( mis.
meningkatkan kekuatan Pagar tempat
dan kemampuan tidur )
berpindah 4. Fasilitasi
melakukan
pergerakan jika
perlu
5. Libatkan keluarga
dalam
merencanakan
dan memelihara
program latihan
fisik
6. Jelaskan tujuan
dan prosedur
mobilisasi
7. Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
8. Ajarkan
mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
Defisit perawatan Setelah dilakukan 1. Identifikasi
diri : mandi tindakan keperawatan kebiasaan
selama 3x8 jam aktivitas
diharapkan pasien perawatan diri
mampu merawat diri sesuai usia
dengan kriteria hasil : 2. Monitor tingkat
1. Pasien tampak bersih kemandirian
dan segar 3. Identifikasi
2. Pasien mampu kebutuhan alat
melakukan perawatan bantu
diri secara mandiri kebersihan diri,
atau dengan bantuan. berpakaian, dan
berhias.
4. Sediakan
lingkungan
yang teraupetik
(mis. Privasi
pasien)
5. Dampingi
dalam
melakukan
perawatan diri
sampai mandiri.
6. Bantu jika tidak
mampu
melakukan
perawatan diri
7. Jadwalkan
rutinitas
perawatan diri
8. Anjurkan
melakukan
perawatan diri
secara konsisten
sesuai
kemampuan.
Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Inspeksi kulit
tindakan keperawatan dan membrane
selama 3x8 jam mukosa
diharapkan tidak terjadi terhadap
infeksi dengan kriteria kemerahan,
hasil : panas
1. Pasien bebas dari 2. Inspeksi kondisi
tanda gejala infeksi luka
2. Menunjukkan 3. Dorong
kemampuan untuk masukan nutrisi
mencegah timbulnya yang cukup
infeksi 4. Dorong
3. Menunjukan perilaku masukan cairan
hidup sehat 5. Dorong istirahat
6. Instruksikan
pasien untuk
minum
antibiotik sesuai
resep
Resiko syok Setelah dilakukan 1. Monitor status
tindakan keperawatan sirkulasi BP,
selama 3x8 jam warna kulit,
diharapkan tidak terjadi suhu kulit,
syok dengan kriteria denyut jantung,
hasil : HR, daan ritme,
1. Nadi dalam batas yang nadi perifer, dan
diharapkan kapiler refill.
2. Irama jantung dalam 2. Monitor tanda
batas yang diharapkan adekuat
3. Frekuensi nafas dalam oksigenasi
batas yang diharapkan jaringan
3. Monitor suhu
dan pernafasan
4. Monitor input
dan output
5. Pantau nilai
labor : HB ,HT ,
AGD dan
elektrolit
6. Monitor tanda
dan gejala asites
7. Monitor tanda
awal syok
Resiko jatuh Setelah dilakukan 1. Identifikasi
tindakan keperawatan factor resiko
3x8 jam dihrapkan tidak jatuh
ada jatuh pada pasien 2. Identifikasi
dengan kriteria hasil : factor
1. Kemampuan lingkungan
mengidentifikasi yang
factor resiko meningkatkan
meningkat factor resiko
2. Kemampuan jatuh
melakukan strategi 3. Hitung resiko
control resiko jatuh dengan
meningkat menggunakan
3. Kemampuan skala morse
menghindari factor 4. Orientasikan
resiko meningkat ruangan pada
pasien dan
keluarga
5. Pastikan roda
tempat tidur
dan kursi roda
dalam
6. kondisi terkunci
Pasang
handralltempat
tidur
7. Anjurkan
memanggil
perawat jika
membutuhkan
bantuan untuk
berpindah.

10. Implementasi
Menurut Purwaningsih & Karlina (2010) ada 4 tahap oprasional
yang harus di perhatikan oleh perawat dalam melakukan
implementasi keperawatan, yaitu sebagai berikut :
1) Tahap Praintraksi
Pada tahap praintraksi yang dilakukan perawat yaitu membaca
rekam medis pasien, mengeksplorasi perasaan, analisis
kekuatan dan keterbatasan professional pada diri sendrir,
memahami rencana keperawatan secara baik, menguasai
keterampilan teknis keperawatan, memahami rasional ilmiah
dari tindakan yang akan dilakukan, mengetahui sumber daya
yang diperlukan, memahami kode etik dan aspek hukum yang
berlaku dalam pelayanan keperawatan, memahami standar
praktik klinik keperawatan untuk mengukur keberhasilan, dan
penampilan perawat harus meyakinkan.
2) Tahap Perkenalan
Pada tahap perkenalan yang dilakukan perawat yaitu pertam
mengucapkan salam, memperkenalkan nama, menanyakan
nama, umur, alamat pasien, menginformasikan kepada pasien
tujuan dan tindakan yang akan dilakukan oleh perawat,
memberitahu kontrak waktu, dan memberi kesempatan pada
pasien untuk bertanyatentang tindakan yang akan dilakukan.
3) Tahap Kerja Pada tahap kerja yang dilakukan perawat yaitu
menjaga privasi pasien, melakukan tindakan yang sudah
direncanakan, hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat
pelaksanaan tindaakan adalah energi pasien, pencegahan
kecelakaan dan komplikasi, rasa aman, kodisi pasien, respon
pasien terhadap tindakan yang telah diberikan.
4) Tahap Terminasi
Pada tahap terminasi beri kesempatan pasien untuk
mengekspresikan perasaannya setelah dilakukan tindakan oleh
perawat, berikan feedback yang baik kepada pasien dan puji
atas kerja sama pasien, kontrak waktu selanjutnya, rapikan
peralatan dan lingkungan pasien dan lakukan termiasi, berikan
salam sebelum meninggalkan pasien, dan lakukan
pendokumentasian.
11. Evaluasi
Dalam evaluasi, perawat dapat mengetahui sejauh mana asuhan
keperawatan telah diberikan kepada pasien dengan melihat pada
kerangka SOAP ( tepatnya pada analisa data ) jika pada analisa
data disebutkan bahwa masalah teratasi berarti dalam pelaksanaan
asuhan keperawatan kondisi pasien telah berubah ke arah yang
lebih baik dan artinya sudah mencapai tujuan dan kriteria hasil
yang diharapkan sehingga intervensi dapat dihentikan. Namun jika
pada analisa data disebutkan bahwa masalah teratasi sebagian maka
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan kondisi pasien belum
sepenuhnya baik/hanya sebagian dan tujuan maupun kriteria hasil
belum mencapai hasil yang optimal sehingga perawat butuh
mempertahankan intervensi yang telah dibuat. Apabila dalam
Analisa data disebutkan bahwa masalah belum teratasi berarti
dalam asuhan keperawatan kondisi pasien masih belum membaik
sehingga intervensi perlu dilanjutkan dengan mengikuti tujuan dan
kriteria hasil yang ingin dicapai dan jika dalam analisa data
disebutkan muncul masalah baru berarti perawat harus menyusun
intervensi dan menetapkan tujuan maupun kriteria hasil yang ingin
dicapai untuk masalah baru tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Fajar, E., Hayyu, R (2020) Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Multiple
Fraktur Dalam Pemenuhan Kebutuhan Aman dan Nyaman.

McCloskey, J. C. & Bulechek, G. M. (2004) Nursing Intervention Classification


4th Ed. St. Louis: Mosby- Year Book.

Rosadi, R., Ningsih, F., Sunaringsih, S (2022) Penatalaksanaan Fisioterapi


Terhadap Kasus Multiple Fraktur, Fhysio Move Jurnal.

Anda mungkin juga menyukai