Anda di halaman 1dari 13

KASUS 1

a. OMFALITIS / INFEKSI TALI PUSAT


b. Hal tersebut terjadi karena tali pusat dibubuhi rempah tradisional sehingga menimbulkan
infeksi.
c. Penanganan hal tersebut adalah dengan

Omfalitis adalah inflamasi pada pangkal tali pusat yang ditandai dengan eritema,
edema, dan eksudat purulen pada umbilikus. Omfalitis lebih sering terjadi pada
neonatus dan dapat berprogresi cepat menjadi necrotizing fasciitis dan sepsis. Etiologi
tersering dari omfalitis adalah bakteri, umumnya gabungan antara bakteri gram positif
dan gram negatif.
Manifestasi klinis omfalitis adalah timbulnya kemerahan pada pangkal tali pusat disertai
dengan edema, nyeri, dan keluar nanah dari umbilikus. Infeksi dapat meluas ke struktur
organ yang lebih dalam sehingga menimbulkan ekimosis periumbilikal, bulae krepitasi,
atau bahkan gangguan hemodinamik akibat sepsis.

Tata laksana utama omfalitis adalah pemberian antibiotik yang dapat membunuh
bakteri gram positif, gram negatif, dan bakteri anaerob. Biasanya antibiotik diberikan
dalam bentuk kombinasi antara pencillin, aminoglikosida, dan metronidazole atau
klindamisin. Selain pemberian antibiotik, perawatan tali pusat juga perlu diperhatikan
untuk mencegah meluasnya infeksi

KASUS 2

a. Pengkajian yang dilakukan untuk menilai kematangan pada kasus bblr adalah :

Engkajian subjektif dengan mengkaji Riwayat kehamilan mulai dari hpht, kemudian pengkajian
objektif dengan melakukan penilaian “Ballard Score” yaitu Penilaian maturitas
neuromuskular

1. Pos
tur
:T
onu
s
otot
tubuh tercermin dalam postur tubuh bayi saat istirahat dan adanya tahanan saat otot
diregangkan. Pada bayi prematur tonus pasif ekstensor tidak mendapat perlawanan,
sedangkan pada bayi yang mendekati matur menunjukkan perlawanan tonus fleksi pasif yang
progresif.
2. Square window: pemeriksa meluruskan jari-jari bayi dan menekan punggung tangan dekat
dengan jari-jari dengan lembut. Fleksibilitas pergelangan tangan dan atau tahanan terhadap
peregangan ekstensor memberikan hasil sudut fleksi pada pergelangan tangan.
3. Arm recoil: Dievaluasi pada saat bayi terlentang. Pegang kedua tangan bayi, fleksikan lengan
bagian bawah sejauh mungkin dalam 5 detik, lalu rentangkan kedua lengan dan lepaskan.
Amati reaksi bayi saat lengan dilepaskan.
 Skor 0: tangan tetap terentang/gerakan acak.
 Skor 1: fleksi parsial 140-180 derajat
 Skor 2: felski parsial 110-140 derajat
 Skor 3: fleksi parsial 90-100 derjat
 Skor 4: kembali ke fleksi penuh.
4. Popliteal Angle: bayi berbaring terlentang, tanpa popok, paha ditempatkan lembut di perut
bayi dengan lutut tertekuk penuh. Setelah bayi rileks dalam posisi ini, pemeriksa memegang
kaki satu sisi dengan lembut dengan satu tangan sementara mendukung sisi paha dengan
tangan yang lain. Jangan memberikan tekanan pada paha belakang. Kaki bayi diekstensikan
sampai terdapat resistensi pasti terhadap ekstensi. Ukur sudut yang terbentuk antara paha dan
betis di daerah popliteal. Pastikan pemeriksa harus menunggu sampai bayi berhenti
menendang secara aktif sebelum melakukan ekstensi kaki.
5. Scarf sign: Manuver ini menguji tonus pasif fleksor gelang bahu. Bayi berbaring terlentang,
pemeriksa mengarahkan kepala bayi ke garis tengah tubuh dan mendorong tangan bayi
melalui dada bagian atas dengan satu tangan dan ibu jari dari tangan sisi lain pemeriksa
diletakkan pada siku bayi. Amati posisi siku pada dada bayi.
 Skor -1: penuh pada tingkat leher
 Skor 0: garis aksila kontralateral
 Skor 1: kontralateral baris puting
 Skor 2: prosesu xypohid
 Skor 3: garis puting ipsilateral
 Skor 4: garis aksila ipsilateral.
6. Heel to Ear: Manuver ini menilai tonus pasif ototo fleksor pada gelang panggul. Dengan
posisi bayi terlentang lalu pegang kaki bayi dengan ibu jari dan telunjuk, tarik sedekat
mungkin dengan kepala tanpa memaksa, pertahankan panggul pada permukaan meja periksa
dan amati jarak antara kaki dan kepala serta tingkat ekstensi lutut. Resistensi tumit ketika
berada pada atau dekat telinga (-1), hidung (0), dagu (1), puting barus (2), daerah pusar (3),
dan lipatan femoralis (4).

Diagnosis bayi prematur dapat dilakukan secara prenatal ataupun setelah bayi lahir
dengan menilai usia gestasi bayi. Usia gestasi dapat dinilai berdasarkan:

 Anamnesa: Hari pertama haid terakhir (HPHT)

 Pemeriksaan fisik: Assessment of gestational age untuk menilai maturitas fisik,


seperti skor Ballard
 Penunjang: Ultrasonografi prenatal
Diagnosis prematuritas dan penilaian usia gestasi semakin akurat jika dilakukan dengan
kombinasi beberapa metode penilaian. [4-6]

Bayi prematur atau neonatus kurang bulan (NKB) kemudian dapat diklasifikasikan berdasarkan
usia gestasi menjadi:

 Bayi prematur moderat (moderate to late preterm): usia gestasi 32-37 minggu
 Bayi sangat prematur (very preterm): usia gestasi 28-32 minggu
 Bayi prematur ekstrem (extremely preterm): usia gestasi < 28 minggu
Berat badan bayi prematur juga perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan usia gestasi:

 Kecil masa kehamilan (KMK) / small for gestational age


 Sesuai masa kehamilan (SMK) / appropriate for gestational age
 Lebih masa kehamilan (LMK) / large for gestational age
Sehingga, didapatkan diagnosis NKB – KMK atau NKB – SMK. [1,6]

Anamnesis
Anamnesis yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis bayi prematur meliputi konfirmasi
usia gestasi pada ibu dan mencari faktor risiko yang dapat memperburuk prognosis bayi. Hal-hal
yang dapat ditanyakan saat anamnesis adalah hari pertama haid terakhir (HPHT) dan taksiran
persalinan. Riwayat obstetrik dan riwayat penyakit ibu seperti diabetes gestasional, depresi, dan
obesitas juga perlu diketahui untuk menentukan faktor risiko dari prematuritas. [4,5,7]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi merupakan salah satu metode untuk menentukan usia gestasi yang
akurat dengan menilai maturitas fisik dan neuromuskularitas bayi. Penilaian dapat dinilai dengan
metode Ballard dan Dubowitz. Penilaian dengan skor Ballard adalah metode yang paling banyak
digunakan. [2,6,7]

Skor Ballard

Pemeriksaan skor Ballard menilai maturitas fisik dan neurologis bayi melalui beberapa indikator,
yaitu maturitas fisik dan neuromuskularitas.

Penilaian pada maturitas fisik meliputi komponen:

 Karakteristik kulit (skor -1 hingga 5)

 Lanugo (skor -1 hingga 4)


 Garis plantar / plantar crease (skor -2 hingga 4)
 Payudara (skor -1 hingga 4)

 Mata / telinga (skor -2 hingga 4)

 Genitalia (skor -1 hingga 4)

Penilaian maturitas fisik dapat dilakukan dengan inspeksi dan dapat dilakukan penilaian segera
pasca stabilisasi atau dalam 24 jam pertama sebelum terjadi penurunan berat badan (expected
weight loss).
Penilaian pada neuromuskularitas meliputi komponen:

 Postur

 Sudut pergelangan tangan (square window)


 Arm recoil
 Sudut popliteal

 Tanda scarf
 Heel-to-ear
Pemeriksaan maturitas neurologis bayi sebaiknya dilakukan dalam waktu 18-24 jam pasca lahir
setelah efek anestesi maternal hilang. Tonus dan respons bayi dapat menurun akibat medikasi
maternal, sehingga penilaian yang terlalu cepat dapat mengurangi akurasi. [2,5-7,20]

Tabel 1. Penilaian Maturitas Fisik New Ballard Score


Komponen Indikator Maturitas Skor
Transparan, lengket, rapuh -1
Translusen, gelatinosa, merah 0
Lembut/licin, merah muda / pink, vena membayang 1
Terkelupas superfisial (superficial peeling) dan/atau ruam, vena
beberapa 2
Pecah-pecah, terdapat daerah pucat, vena jarang 3
Perkamen, pecah-pecah dalam, tidak terlihat vena 4
Kulit Seperti kulit / leathery, pecah-pecah, terdapat keriput 5
Lanugo Tidak ada -1
Jarang sekali 0
Banyak sekali 1
Menipis 2
Beberapa daerah tanpa rambut 3
Sebagian besar tanpa rambut 4

Heel-to-toe < 40 mm -2

Heel-to-toe 45-50 mm -1
>50 mm, tidak ada lipatan 0
Garis merah tipis 1
Garis melintang pada bagian anterior 2
Garis lipatan hingga 2/3 anterior 3
Garis plantar Garis lipatan seluruh telapak 4
Tidak dapat dinilai / imperceptible -1
Sulit dinilai / barely perceptible 0
Areola datar, tidak terdapat penonjolan / no bud 1
Areola berbintil, penonjolan 1-2 mm 2
Areola terangkat, penonjolan 3-4 mm 3
Payudara Areola penuh, penonjolan 5-10 mm 4
Kelopak mata menempel (lightly fused) -2
Kelopak mata menyatu longgar (loosly fused) -1
Kelopak mata terbuka, pinna datar, tetap terlipat 0
Lengkung pinna minimal, lunak, rekoil lambat 1
Lengkung pinna baik, lunak, siap rekoil (ready recoil) 2
Bentuk tegas, keras, rekoil segera 3
Mata/telinga Kartilago tebal, kaku 4

Genitalia L: Skrotum datar, halus -1

Laki-laki (L) P: Klitoris menonjol, labia datar


L: Skrotum kosong, rugae samar

P: Klitoris menonjol, labia minora kecil


0

L: Testis pada kanalis atas, rugae jarang

P: Klitoris menonjol, labia minor membesar


1

L: Testis turun, rugae sedikit

P: Labia mayora dan minora menonjol


2

L: Testis turun, rugae jelas

P: Labia mayora besar, labia minora kecil


3

L: Testis pendulum, rugae dalam

Perempuan (P) P: Labia mayora menutupi klitoris dan labia minora


4
Sumber: dr. Josephine, 2019

Komponen penilaian skor Ballard dapat dilihat pada tabel 1. Skor Ballard dapat memperkirakan
usia gestasi mulai dari 20 minggu hingga 44 minggu. Interpretasi hasil skor Ballard adalah
sebagai berikut:

 Skor -10 = usia 20 minggu

 Skor -5 = usia 22 minggu

 Skor 0 = usia 24 minggu

 Skor 5 = usia 26 minggu

 Skor 10 = usia 28 minggu

 Skor 15 = usia 30 minggu

 Skor 20 = usia 32 minggu


 Skor 25 = usia 34 minggu

 Skor 30 = usia 36 minggu

 Skor 35 = usia 38 minggu

 Skor 40 = usia 40 minggu

 Skor 45 = usia 42 minggu

 Skor 50 = usia 44 minggu

Hasil skor Ballard < 35 menandakan bayi prematur (<38 minggu). Penghitungan usia bayi juga
dapat dihitung dengan rumus:

Perkiraan usia gestasi berdasarkan skor Ballard dapat terjadi perbedaan 1-3 minggu pada bayi
<28 minggu dan 0.15-0.3 minggu pada bayi <26 minggu. [5-7]

Pemeriksaan berat badan bayi juga sangat penting dilakukan pada bayi prematur. Bayi prematur
sering kali mengalami berat badan lahir rendah (BBLR). Meskipun demikian, berat badan lahir
harus disesuaikan dengan usia bayi menjadi:
 Kecil masa kehamilan (KMK) / small for gestational age
 Sesuai masa kehamilan (SMK) / appropriate for gestational age
 Lebih masa kehamilan (LMK) / large for gestational age
Setelah itu akan didapatkan diagnosis NKB–KMK atau NKB–SMK. [1,6,21]

b. DIAGNOSIS : BAYI BARU LAHIR 2 JAM DENGAN BBLR


c. Perawatan BBLR yaitu dengan :
 Menjaga kehangatan bayi (mencegah hipotermi) dengan metode kanguru
 Memberikan ASI sesering mungkin
 Memantau tubuh kembang bayi
 Tidur Bersama bayi (bounding attachment)
 Melengkapi imunisasi bayi

KASUS 3
A. Yamg terjadi pada bayi terebut adalah tetanus neonatorum
B. Hal tersebut terjadi karena persalinan dilakukan dengan DK sehingga tidak menggunakan alat
yang steril, kemudian perawatan tali pusat juga mneggunakan ramuan tradisional yang akhirnya
mengakibatkan infeksi bakteri clostridium tetani. Selin itu bisa juga diakibatkan saat kehamilan
ibu tidak mendapatkan imunisasi TT.
C. Penanganan : Penatalaksanaan tetanus neonatorum (TN) bertujuan untuk eradikasi kuman C.
tetani, netralisasi toksin, dan pemberian terapi suportif spesifik sesuai keparahan penyakit.

Terapi Antitoksin
Terapi antitoksin dengan menggunakan imunoglobulin antitetanus (human tetanus immune
globulin/HTIG) dari serum manusia maupun kuda (antitetanus serum/ATS) masih menjadi terapi
pilihan pada penanganan tetanus. Pemberian HTIG bertujuan untuk mencegah progresivitas
penyakit dengan cara menghancurkan toksin tetanus yang belum terikat pada jaringan namun
tidak mempengaruhi efek toksin yang telah terikat pada jaringan. HTIG diberikan melalui rute
intramuskular dosis tunggal 3000-6000 IU.
ATS dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Namun, penggunaan ATS kurang disukai karena
meningkatkan risiko kejadian reaksi alergi. Dosis pemberian ATS adalah 50.000-100.000 unit,
dengan didahului uji kulit untuk melihat reaksi sensitivitas, kemudian separuh dosis ATS
diberikan secara intramuskular dan sisanya diberikan secara intravena. [27-29]

Terapi Antimikroba
Terapi antimikroba yang disarankan pada kasus TN adalah metronidazole oral atau intravena,
atau penisilin G intravena. [29,34] Pemberian antibiotik didasarkan pada asumsi bahwa
modalitas terapi ini dapat mencegah proliferasi lokal C. tetani pada lokasi luka. [30]
Walaupun penisilin dan metronidazole merupakan antibiotik pilihan pada kasus tetanus, terdapat
bukti yang mendukung metronidazole sebagai pilihan yang lebih baik. Sebuah studi klinis tanpa
penyamaran di Indonesia membandingkan penggunaan metronidazole oral dengan penisilin
intramuskular pada pengobatan tetanus. Pasien yang mendapat metronidazole memiliki
progresivitas penyakit yang lebih ringan, masa perawatan yang lebih pendek, dan angka
kesintasan yang lebih baik dibandingkan pasien yang mendapat penisilin. [31]
Sejauh ini belum ada rekomendasi khusus dosis pemberian metronidazole oral maupun intravena
pada kasus TN. Walaupun demikian, bukti terbatas menunjukkan bahwa pemberian
metronidazole sebagai bagian dari perangkat manajemen tetanus neonatorum dapat membantu
menurunkan tingkat kematian akibat TN hingga 66%.
Dalam penelitian oleh Trieu et al, dosis metronidazole yang disarankan untuk bayi berusia
kurang dari 7 hari adalah 15 mg/kg/hari, diberikan secara oral selama 7 hari, dibagi dalam
beberapa dosis.
Sementara itu, untuk bayi berusia lebih dari 7 hari, dosis pemberian metronidazole yang
disarankan adalah 30 mg/kg/hari, diberikan secara oral selama 7 hari, yang dibagi juga dalam
beberapa dosis. [32]

Peran Pembedahan pada Tetanus Neonatorum


Peran tindakan pembedahan pada kasus tetanus neonatorum (TN) terletak pada eliminasi situs
masuknya kuman C. tetani sehingga pelepasan tetanospasmin lebih lanjut dapat dicegah. Secara
historis, tindakan pembedahan seperti omfalektomi pernah dilaporkan dalam penatalaksanaan
TN dengan hasil yang cukup baik. [33] Namun, kelangkaan penyakit ini di era modern dan
kesulitan dalam menemukan tempat masuknya kuman membuat peran pembedahan pada kasus
TN menjadi sangat berkurang.

Pemberian Obat Pereda Spasme


Pemberian obat pereda spasme bertujuan untuk mengendalikan spasme dan peningkatan tonus
otot dengan mengurangi efek farmakologi yang mengganggu terhadap kemampuan gerak secara
volunter, kesadaran, dan pernapasan spontan.
Benzodiazepin merupakan salah satu agen farmakologi yang ideal untuk melawan blokade
pelepasan GABA dari neuron inhibitorik di susunan saraf pusat akibat pengaruh tetanospasmin.
Benzodiazepin, misalnya diazepam, memodulasi transmisi GABA A dan meningkatkan inhibisi
presinaps. [30]
Walaupun secara teoritis golongan obat ini berpotensi efektif dalam meredakan spasme pada
tetanus neonatorum, bukti mutakhir yang ada masih sangat sedikit dan hanya berasal dari 2 uji
klinis dengan jumlah sampel yang minimal (n=134). Dalam sebuah tinjauan sistematik,
Okoromah dan Lesi menyimpulkan bahwa penggunaan diazepam berkaitan dengan angka
kesintasan yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi fenobarbital dan klorpromazin. [34]
Diazepam
Untuk neonatus, dosis diazepam (sediaan emulsi cair 5 mg/ml) yang disarankan adalah 0,1-0,3
mg/kg, injeksi perlahan selama 3-5 menit, tiap 1 hingga 4 jam bergantung pada derajat keparahan
dan persistensi spasme.
Jika pada pemberian tiap jam kejang masih berlangsung, pemberian diazepam infus kontinyu
dengan menggunakan pompa suntik dapat dipertimbangkan. Dosis diazepam untuk suntik
kontinyu tersebut adalah 0,1-0,5 mg/kg/jam (2,4-12 mg/kg/24 jam), dimulai dari dosis terendah,
dan dapat ditingkatkan sebanyak 0,1 mg/kg/jam apabila frekuensi pernapasan ≥ 30 kali per
menit.
Apabila pada dosis 0,5 mg/kg/jam kejang masih berlangsung, dosis masih dapat ditingkatkan
hingga 0,8 mg/kg/jam jika frekuensi pernapasan ≥ 30 kali per menit. [35]
Lorazepam
Selain diazepam, lorazepam, dan midazolam juga dapat menjadi alternatif sebagai pereda
spasme. Pada beberapa negara, lorazepam lebih disukai dibandingkan diazepam sebab lorazepam
memiliki durasi kerja yang lebih panjang. Namun, penggunaan lorazepam dan diazepam
parenteral pada dosis tinggi (umumnya di atas 500 mg/hari untuk diazepam dan 200 mg/hari
untuk lorazepam) meningkatkan risiko toksisitas propilen glikol sehingga perlu diwaspadai dan
dipantau ketat. [36,37]
Midazolam
Sementara itu, midazolam merupakan benzodiazepin kerja cepat yang larut air dan tidak
mengandung propilen glikol dalam sediaannya. Mengingat waktu paruhnya yang pendek,
pemberian obat ini perlu dilakukan dengan cara infus kontinu dengan dosis infus awal 100-300
µg/kgBB/jam. [31] Dosis ini dapat dititrasi sampai level minimal yang dapat mencegah spasme
tetanik tercapai.
Pencegahan Withdrawal
Untuk menghindari efek withdrawal pasca penggunaan dalam jangka panjang, seluruh obat
golongan benzodiazepin harus diturunkan dosisnya secara perlahan (tappering off) dalam kurun
waktu beberapa minggu. [38]

Terapi Suportif
Terapi suportif yang dapat diberikan pada pasien yang menjalani perawatan untuk kasus tetanus
neonatorum (TN) mencakup minimalisasi stimulus eksternal yang berpotensi memicu spasme
fatal. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan koordinasi penjadwalan prosedur pengobatan
sedemikian hingga risiko tetanospasme ditekan sekecil mungkin. Segala manuver intervensi
sebaiknya dilakukan setelah pasien mendapat sedasi optimal. Perawatan pasien dengan TN
idealnya dilakukan pada ruangan yang senyap yang dilengkapi pintu dengan bantalan peredam
suara serta cahaya redup tanpa mengorbankan kaidah perawatan intensif guna optimalisasi
pemantauan kondisi pasien. [22,39]
Kendati perawatan di ruang rawat intensif merupakan rekomendasi umum bagi seluruh bayi yang
didiagnosis dengan TN, hingga kini belum ada bukti yang cukup mengenai efikasi perawatan di
unit rawat intensif neonatus dibandingkan perawatan di ruang non intensif terhadap luaran TN.
Rekomendasi perawatan di unit rawat intensif umumnya didasarkan pada antisipasi terhadap
kemungkinan komplikasi fatal TN seperti henti jantung mendadak dan gagal napas serta
perlunya pemantauan ketat terhadap tanda vital dan gejala efek samping penggunaan berbagai
terapi farmakologi pada kasus TN.

KASUSS 4
A. TERJADI ASFIKSIA DAN HIPOGLIKEMI
B. Keadaan asfiksia dapat menyebabkan ketidakseimbangan suhu tubuh dan
terjadi hipotermia yang mengakibatkan berkurangnya aliran oksigen ke jaringan
dan neonatus akan mengalami hipoglikemia. Keadaan asfiksia dapat menyebabkan
ketidakseimbangan suhu tubuh dan terjadi hipotermia. Hipotermia tersebut dapat
menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya
metabolik anaerobik, meningkatkan kebutuhan oksigen, dan mengakibatkan
hipoksemia. Jika hal ini terjadi maka tubuh dengan cepat menggunakan energi agar
tetap hangat sehingga pada saat kedinginan, bayi memerlukan lebih banyak oksigen.
Maka, hipotermia dapat mengakibatkan berkurangnya aliran oksigen ke jaringan dan
neonatus akan mengalami hipoglikemia.
C. Pemeriksaan gula darahBBL yaitu dengan cek gula darah sewaktu dari sampel darah
vena.
Perbedaan hasil pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru lahir karena
bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 hingga < 4 jam kadar gula
darah harus ≥ 40 mg/dl, usia ≥ 4-24 jam kadar gula darah harus ≥ 45 mg/dl, dan
usia ≥ 24 jam kadar gula darah harus ≥ 50 mg/dL.
Oleh karena adanya proses hipoglikemia fisiologis pada bayi baru lahir, maka
setelah pemeriksaan kadar gula darah pasca-lahir, pemeriksaan kadar gula
darah ulangan disarankan pada 2-4 jam setelah pemeriksaan kadar gula
pertama.
D. Pemberian glukosa intravena : Apabila kadar gula darah <25 mg/dL diberikan bolus
glukosa 200 mg/kg (dekstrosa 10% dengan dosis 2 ml/kg) dilanjutkan pemberian
infus dekstrosa dengan GIR 5-8 mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa
plasma yang diharapkan 40-50 mg/dL.

ALUR Tatalaksana Hipoglikemia BAYI BARU LAHIR

KASUS 5

Terima kasih telah bertanya di Alodokter.


Ikterus neonatorum fisiologis adalah penyakit kuning yang ditunjukkan dengan perubahan warna
kekuningan pada kulit, konjungtiva, dan sklera akibat peningkatan bilirubin plasma pada bayi
baru lahir. Kondisi ini biasanya terjadi setelah hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir,
puncaknya antara hari ke 4 sampai hari ke 5 pada neonatus aterm dan hari ke 7 pada neonatus
preterm, dan hilang dalam 2 minggu.
Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkanoleh kekurangan asupan ASI. Biasanya
timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak.Ikterus pada bayi ini
tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan
hiperbilirubinemia fisiologis. Adapun antara ikterus fisiologis dengan breastfeeding jaundice
adalah yang mana breastfeeding jaundice (BFJ) dapat muncul karenakurangnya asupan ASI,
karena biasanya ASI mulai keluar 2-3 hari setelah melahirkan dan produksinya pun belum terlalu
banyak.Etiologi ikterus neonatorum fisiologis disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor
yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir.Breastfeeding jaundice tidak
memerlukan pengobatan dan tidak perlu diberikan air putih atau air gula. Bayi sehat cukup bulan
mempunyai cadangan cairan dan energi yang dapat mempertahankan metabolismenya selama 72
jam. Pemberian ASI yang cukup dapat mengatasi BFJ.

Ikterus neonatorum fisiologis adalah penyakit kuning yang ditunjukkan dengan perubahan warna
kekuningan pada kulit, konjungtiva, dan sklera akibat peningkatan bilirubin plasma pada bayi baru lahir.
Kondisi ini biasanya terjadi setelah hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir, puncaknya antara hari ke 4
sampai hari ke 5 pada neonatus aterm dan hari ke 7 pada neonatus preterm, dan hilang dalam 2 minggu.
Ikterus neonatorum fisiologis tidak pernah terjadi dalam 24 jam pertama dan lebih dari 2 minggu. Ikterik
pada kondisi ini meluas secara sefalokaudal ke arah dada, perut dan ekstremitas
A. Ikterus neonatorum patologis

b. hal tersebut terjadi karena bayi menyusu setiap 4 jam sehingga mengakibatkan kurangnya asupan ASI
pada bayi.

1. Hiperbilirubinemia fisiologis

Hiperbilirubinemia fisiologi merupakan penyebab paling sering dari ikterus neonatorum. Terjadi pada lebih dari 50%
dari bayi baru lahir. Umumnya terjadi karena pemecahan sel darah pada bayi baru lahir lebih cepat disertai dengan
adanya fungsi hati yang belum matang, sehingga proses pemecahan bilirubin terjadi lebih lambat. Umumnya tidak
berbahaya, muncul di hari ke-3, lamanya 7-10 hari, dan kadarnyat tidak terlalu tinggi.
2. Breast feeding jaundice

Breast feeding jaundice dapat terjadi ketika si Kecil tidak mendapatkan ASI yang cukup. Hal ini terjadi pada 5-10%
bayi yang baru lahir. Gejalanya mirip dengan ikterus fisiologis, hanya umumnya kadar bilirubin pada bayi lebih tinggi
dibandingkan hiperbilirubinemia fisiologis.
3. Breast milk jaundice

Breast milk jaundice terjadi pada 1-2% dari bayi yang mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini disebabkan oleh adanya zat
khusus tertentu yang diproduksi oleh ibu dalam ASI. Zat ini menyebabkan usus bayi menyerap lebih banyak bilirubin
kembali ke dalam tubuhnya. Kuning umumnya mulai terlihat pada usia 4-7 hari dan dapat berlangsung selama 3-10
minggu.
4. Ketidakcocokan golongan darah (Rh atau ABO)

d. Pemeriksaan dengan penilaian kremer dan pemeriksaan kadar bilirubin dalam darah
e. Penatalaksanaan
Tatalaksana Ikterus Neonatorum
Hiperbilirubinemia fisiologis akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu 7-14 hari. Si Kecil mungkin
perlu untuk tinggal lebih lama di rumah sakit untuk mendapatkan terapi sinar bila kadar bilirubinnya lebih dari
12 mg/dl di usia 3 hari.
Beberapa cara yang akan dilakukan untuk menurunkan kadar bilirubin bayi antara lain:

 Terapi cahaya (fototerapi)

Bayi akan ditempatkan di bawah lampu khusus yang memancarkan sinar dalam spectrum hijau-biru. sinar ini akan
mempercepat konjugasi bilirubin sehingga dapat larut dan dikeluarkan melalui urin dan feses. Saat terapi sinar, bayi
hanya akan menggunakan popok dan patch pelindung mata. Semakin banyak sinar terpapar dengan kulit, semakin cepat
proses konjugasi berlangsung.

 Perbanyak minum

Bayi yang kekurangan cairan akan cenderung menjadi kuning (breast feeding jaundice). Bayi dengan terapi sinar juga
akan mengalami penguapan yang lebih tinggi, sehingga kecukupan minum harus dipenuhi.

Anda mungkin juga menyukai