Anda di halaman 1dari 10

Penginjilan Masa Antar

Perjanjian Lama Dan Perjanjian Baru

D
I
S
U
S
U
N
Kelompok 5:
1. Cahya Maleaky Manullang
2. Eni Widi Lestari
Prodi: Teologi
Tingkat/Semester: III/V
Mata Kuliah: Misiologi
Dosen Pengampu: Pdt. Zulkarnain Siagian, M.Th

Sekolah Tinggi Teologi Sriwijaya


Tahun Ajaran 2022/2023 Ganjil
PENDAHULUAN
Penginjilan adalah bahagian utuh dari rencana misi Allah yang bertujuan membawa
shalom kepada manusia dan seluruh ciptaan-Nya. Perjanjian Lama merupakan dasar berpijak
secara teologi filosofis bagi penginjilan dan sekaligus merupakan manifestasi penginjilan
berdasarkan rancangan penyelamatan Allah yang kekal. Konsep penginjilan mulai
berkembang mulai dari Perjanjian Lama kemudian menjadi Nyata dalam Perjanjian Baru.
Perjanjian Lama lebih menekankan Allah inisiator penginjilan dan dasar titik tumpu bagi
penginjilan sehingga jelas bahwa penginjilan bersumber dan berporos pada Allah Sang
Pencipta. Dalam hal ini, penginjilan merupakan inisiatif Allah sendiri dan penginjilan dengan
sendirinya di dukung oleh Allah yang hidup dan berkarya bagi diri-Nya. Penginjilan dalam
konteks Perjanjian Lama belum dapat penugasan yang tegas untuk melakukan pekabaran Injil
ke luar terhadap segala bangsa, akan tetapi yang diutamakan dalam Perjanjian Lama adalah
Pemilihan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain. Sedangkan, Penginjilan dalam Perjanjian
Baru adalah pusat pelaksanaan Amanat Agung Yesus Kristus (Matius 28:19-20) yang juga
merupakan misi Allah seutuhnya. Perjanjian Baru lebih menekankan Allah sebagai
konsumator penginjilan artinya bahwa penginjilan dalam Perjanjian Baru telah digenapi di
dalam Yesus Kristus melalui kedatangan-Nya ke dalam dunia.
Sekalipun pada masa antar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru Allah tidak berbicara
secara verbal (secara lisan). Namun, pada masa ini Allah sedang berkarya untuk
mempersiapkan misi untuk karya Allah di kemudian hari. Allah berdaulat atas situasi politik,
sosial, dan ekonomi pada masa antar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Jadi, Bagaimana
sistem Pekabaran Injil dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru? Bagaimana Penginjilan
yang terjadi selama masa itu? Dalam paper ini akan kita lihat bagaimana proses-proses
tersebut berlangsung.
PEMBAHASAN

A. Penginjilan Dalam Perjanjian Lama


Secara sepintas Perjanjian Lama sering terlihat sepi dari konsepsi penginjilan.
Perjanjian lama merupakan dasar berpijak teologi filosofis bagi penginjilan dan sekaligus
merupakan manifestasi penginjilan berdasarkan rancangan penyelamatan Allah yang kekal.
Penginjilan dalam Perjanjian Lama, langkah awalnya dimulai dari Allah. Dengan sistematika
sebagai berikut:1
1. Pernyataan Allah Sebagai Sumber dan Tumpuan Penginjilan
Kejadian 1:1 melukiskan “Allah yang menyatakan diri dalam karya ciptaanNya.” Di
sini Allah menyatakan diri sebagai Allah yang aktif dan dinamis. Keaktifan Allah
dibuktikan dengan kegiatan penciptaan dan kedinamisanNya dibuktikan dalam kuasa
penciptaanNya. Kebenaran ini mengungkapkan bahwa Allah adalah inisiator, dasar dan
titik tumpu bagi penginjilan, sehingga jelas bahwa Penginjilan bersumber dan berporos
pada Allah Sang Pencipta (Teosentris).
2. Perjanjian Berkat Penciptaan Motif Penginjilan
Setelah Allah selesai menciptakan semesta raya, Ia mengadakan evaluasi atas
pekerjaanNya dan membuktikan bahwa hasil ciptaanNya adalah baik dan sempurna
(Kejadian 1: 25, 31). Dengan seluruh hasil ciptaanNya itu Allah menyiapkan bagi diriNya
segala yang perlu berkaitan dengan pelaksanaan misiNya. Segala sesuatu yang telah
diciptakan merupakan sarana penunjang bagi Adam untuk menjalankan misi Allah sesuai
dengan mandat penginjilan yang dimandatkan kepadanya (Kejadian 1:28). Untuk
memberi dasar dan dukungan bagi pelaksanaan misi Allah, maka Allah menguduskan
bagi diriNya “Sabat Penciptaan” yang didalamnya Allah sendiri mengikat perjanjian
berkat bagi semua ciptaanNya. Oleh sebab itu, “berkat Allah” menjadi tanda pengenal
bagi misi Allah (penginjilan) yang diiikat oleh Allah sendiri dalam suatu perjanjian
(covenant) sejak penciptaan.
3. Janji Penyelamatan Allah: Dinamika bagi Penginjilan
Janji penyelamatan Allah didahului oleh kenyataan tentang dosa. Sebagai pemegang
“mandat penginjilan yang dimandatkan Allah”, Adam diikat kepada “Perjanjian Berkat”
Allah dalam kewajiban taat sebagai perwujudan tanggung jawabnya dalam menjalankan
karya Allah. Sama seperti perjanjian berkat penciptaan itu bersifat universal, di dalam
Adam semua manusia diberkati dan di dalam Adam sekalian manusia juga kehilangan
1
Y. Y. Tomatala, Penginjilan Masa Kini 1 (Malang: Gandum Mas, 2004), hal 5-16.
berkat untuk tetap hidup dalam Allah. Dalam prosesi kenyataan yang menyedihkan ini,
Sang Hakim Agung berdiri sebagai Pembela dan mengucapkan pembelaanNya (Kejadian
3:15). Jadi, janji penyelamatan Allah dengan implikasi-implikasinya itu terdapat dalam
dinamika penginjilan; dan dalam penginjilan itu janji penyelamatan Allah terbukti sebab
Allah sendiri yang berjanji dan Ia juga yang menggenapinya.
4. Tantangan “Kuasa dosa” Mengungkapkan “Kuasa penyelamatan Allah” sebagai
Dsar Konsumasi Penginjilan
Kejadian 3 adalah momentum “dosa menguasai manusia” (Roma 5:12) dan sejak saat
itu mulailah dosa membuktikan keunggulannya atas manusia. Dalam hal ini kuasa dosa
terlihat bekerja dalam lingkup berikut.
a. Dosa menguasai pribadi.
b. Dosa menguasai “rumah tangga”.
c. Dosa menguasai kebudayaan.
d. Dosa menguasai bangsa dan bangsa-bangsa.
5. Keselamatan Allah Yang Dinyatakan Dalam Panggilan Abraham: Wujud
Penginjilan.
Dalam Kejadian 1-11 terdapat gambaran jelas keajegan (konsistensi) misi Allah yang
bergerak secara dinamis yang membuktikan kesetiaan dan ketetapan sikap Allah
memenuhi apa yang telah dirancangNya sejak kekekalan. Panggilan Abraham dalam
Kejadian 12 merupakan tonggak baru dalam perkembangan misi Allah. Di sini pola
penyelamatan Allah semakin dipertegas dan diperjelas yang nantinya akan menjadi pola
yang berkesinambungan sampai pada puncak konsumasi misi Allah melalui Yesus
Kristus.
6. Penginjilan Dinyatakan Dalam Karya Penyelamatan Allah melalui Israel
Peristiwa keluarnya Israel dari tanah Mesir memberikan gambaran pola yang sama
dengan panggilan Abraham. Abraham dipanggil dari Ur ke Kanaan, Israel dipanggil dari
Mesir ke Kanaan, ke dalam kenyataan berkat Allah (Hosea 11:1). Panggilan Israel adalah
panggilan Allah yang telah dirancang sebelumnya. Dalam Kejadian 15:13-16
memberikan keterangan tentang nubuatan perbudakan Israel di Mesir dan panggilan
keluar dari Mesir. Selanjutnya, dalam Keluaran 20:1-2 terdapat “Perjanjian Allah dengan
Israel”. Allah sebagai yang utama dalam “perjanjian” ini menyatakan diri sebagai Tuhan
(YAHWEH), pemberi sabda formal, dan penyelamat yang memerdekan Israel. Selain itu,
Allah mengikat Israel kepada diriNya dengan “kewajiban taat”, sehingga dengan ketaatan
itu Israel membuktikan diri ada dalam Allah, ada di dalam berkat, serta sedang
menunaikan kewajibannya. Jadi, untuk membuktikan keberadaannya sebagai Umat Allah,
maka Israel harus terlibat dalam misi Allah. Di sinilah penginjilan dinyatakan dalam
Perjanjian Lama melalui Israel.

B. Penginjilan Dalam Perjanjian Baru


Dapat dikatakan bahwa Perjanjian Baru bermotifkan penginjilan baik dalam kerangka
kerja maupun isinya, sehingga penginjilan merupakan jantung bagi Perjanjian Baru.
Penginjilan dalam Perjanjian Baru menekankan Allah sebagai konsumator, dan secara
historis-demonstratif konsumasi penginjilan dinyatakan oleh Allah melalui Tuhan Yesus
(berita Perjanjian Baru). Di sini penginjilan tetap bersifat teosentris dan unsur Mesianik dari
penginjilan itu digenapkan dalam Karya Tuhan Yesus Kristus. 2 Dalam Perjanjian Baru juga
menekankan penggenapan perjanjian yaitu kenyataan dan pemenuhan. Mandataris Allah
untuk pneginjilan adalah umat Allah (1 Petrus 2:9-10) dan dalam posisi sebagai “umat Allah”
inilah mandat “Penginjilan yang digenapkan” (Matius 28:18-20), sekaligus menggenapkan
“mandat penginjilan yang dimandatkan (Kejadian 1:28)” bagi umat Allah itu. Sebagai
mandataris penginjilan, umat Allah/murid Yesus dikaitkan dalam misi Allah sebagai
pelaksana penginjilan.
Lingkup misi Umat Allah sebagai pelaksana penginjilan dapat dijabarkan sebagai
berikut:3 Satu, bagi umat Allah sebagai pelaksana, penginjilan adalah suatu tugas. Tugas ini
dimandatkan oleh Allah di dalam Tuhan Yesus (Matius 28:18-20). Dua, bagi umat Allah
sebagai pelaksana, penginjilan adalah suatu tanggung jawab. Matius 28:18-20 adalah
jaminan berkat bagi penginjilan dan berkat ini hanya akan terbukti dan dinikmati oleh umat
Allah Perjanjian Baru dalam kesetiaan mereka mentaati kehendak Allah, dan
melaksanakan tugas penginjilan. Inilah bagian dari tanggung jawab umat Allah. Tiga, bagi
umat Allah sebagai pelaksana, penginjilan adalah suatu obligasi atau kewajiban. Sebagai
suatu obligasi, Penginjilan harus dinyatakan dalam sikap berikut ini:
1) Penginjilan adalah kewajiban yang harus dipenuhi dan beban yang harus dilunasi secara
tuntas (Roma 1:14-15).
2) Penginjilan adalah tanggung jawab yang harus dilaksankan demi keselamatan orang lain
(crucial need).
3) Penginjilan adalah tugas pendamaian.
4) Penginjilan membutuhkan kesigapan umat Allah untuk melakukan tugas setiap saat.

2
Ibid, hal 23.
3
Ibid, hal 32-34.
Empat, bagi umat Allah sebagai pelaksana, penginjilan dilaksanakan dalam posisi sebagai
“kawan sekerja” Allah. Istilah kawan sekerja tidak mengubah status umat Allah menjadi
Allah, ini hanya menempatkan umat Allah dalam posisi yang lebih aktif dan dinamis dalam
menjalankan tugas penginjilan sebagai “pelayan-pelayan” (1 Korintus 3:5). Sebagai pelayan
dan pelaksana penginjilan umat Allah hanya menjalankan tugas sesuai dengan kehendak
tuannya. Tugas dilaksanakan dengan satu motif, yaitu motif Yesus, “motif pelayanan”.
(Yohanes 13:12-17, Matius 10:24, Yohanes 15:20, Lukas 17:10, Markus 10:45). 4 Dengan
demikian, penginjilan dalam Perjanjian Baru adalah prioritas kerja umat Allah dan
pemberitaan Injil itu dimotori oleh kedatangan Tuhan Yesus sebagai dinamika pendorong,
dan Umat Allah bertanggung jawab berfungsi aktif sebagai monumen bagi momentum akbar
yang sedang datang ini. Umat Allah harus menginjil, dan setiap pemberitaan Injil adalah
tanda hari-hari terakhir, dimana “hidup dan penghukuman” ditandakan dalam tugas
penginjilan tersebut.

C. Gerakan Misi Bangsa Israel Pada Masa Pembuangan


Masa pembuangan atau penawanan merupakan hukuman Allah, karena ketidaktaatan
orang Israel yang terus-menerus. Allah menggunakan Nebukadnezar, raja Babilonia
menghancurkan kota Yerusalem berlangsung selama 70 tahun (587-538 SM). Mayoritas
orang Israel mengikuti seruan Tuhan untuk menerima penawanan oleh Babel, sedangkan
lainnya berserak ke Mesopotamia, Syria dan Mesir. Kemudian, Misi bangsa Israel pada masa
pembuangan di Babel merupakan bagian dan dasar dari sejarah Perjanjian Lama. Hal ini
dapat dilihat dari peristiwa pembuangan sebagai tanda permulaan masa diaspora, yaitu masa
tersebarnya orang-orang Yahudi ke berbagai wilayah dan negara di luar Palestina. Di
samping itu, peristiwa pembuangan khususnya pada masa Nabi Yeremia dapat dijadikan
sebagai dasar pemahaman restorasi.5 Bangsa Israel dalam masa Pembuangan di Babel
mengalami kesulitan dalam melaksanakan praktik peribadatan kepada Yahweh, sebab mereka
tidak memiliki Bait Suci. Hal yang perlu diingat pada masa pembuangan adalah di dalam
seluruh peristiwa pembuangan bangsa Israel tidak pernah kehilangan jati dirinya sebagai
umat Tuhan. Baik sebelum maupun selama masa diaspora bangsa Israel berhasil
mengembangkan suatu kebudayaan yang dapat bertahan menghadapi kekuatan-kekuatan
perusak dari luar.

4
Ibid, hal 35.
5
Herowati Sitorus, Teologi Pembuangan: Suatu Kajian Teologis Konsep Teologi Pembuangan
menurut Yeremia Jurnal Teologi “Cultivation” Vol. 4, No. 1 Juli 2020, hal 62.
Pemahaman Israel tentang Tuhan berkaitan erat dengan pemahaman mereka tentang
jati diri mereka sebagai suatu bangsa sekaligus sebagai umat Tuhan. Namun, karena status
bangsa Israel sebagai budak di tanah Babel maka mereka harus berjuang beradaptasi dengan
kebudayaan mayoritas di Babel. Dalam sejarah perkembangannya, cerita bangsa Israel adalah
suatu cerita tentang migrasi, yaitu menjadi orang asing di tanah asing. Pembentukan jati diri
Israel sebagai suatu bangsa secara menyeluruh terkait dengan pengalaman mereka sebagai
orang asing di negeri-negeri asing. Janji Tuhan terhadap mereka yang tersisa di tanah itu
bergantung atas perlakuan orang Israel terhadap orang asing yang ada di tengah-tengah
mereka, seperti tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpahkan darah
orang yang tidak bersalah serta tidak mengikuti Tuhan lain (Yer 7:6-7). 6 Janji Tuhan kepada
bangsa Israel yaitu walaupun mereka mengalami pembuangan di Babel mereka tidak pernah
kehilangan jati diri sebagai umat Tuhan.

D. Gerakan Misi Bangsa Israel Pada Masa Setelah Pembuangan


Pada tahun 721 SM Samaria, ibu kota Israel utara, jatuh ke tangan pasukan Asyur dan
umatnya terpencar-pencar (1Raja-raja 17). Banyak di antara mereka diangkut ke Asyur dan
negara-negara lain. Setelah itu di tahun 587 SM raja Nebukadnezar merebut dan
menghancurkan kota Yerusalem, dan bersamaan dengan itu berakhirlah kerajaan Yehuda (2
Raja-raja 25). Sebagian rakyat mati terbunuh, sebagian dijadikan tawanan perang dan dibawa
ke Babel dan hanya yang paling miskin yang ditinggalkan di Yehuda. 7 Namun, sekembalinya
dari pembuangan keadaan ekonomi Yehuda membaik sedikit demi sedikit, di tahun-tahun
berikutnya orang-orang mulai merencanakan pembaharuan sekelompok demi kelompok
karena pengembalian harta benda bait Allah yang dilakukan oleh Raja Koresy serta
pemberian ijin kepada orang Israel untuk pembangunan kembali tembok-tembok kota. Dalam
hal ini, pembangunan masih belum dapat terselesaikan disebabkan oleh kepetingan pribadi.
Orang miskin terlantar sementara yang berkecukupan hanya membangun rumah-rumah
mereka sendiri. Pada masa itu rencana pembangunan menjadi terhambat karena
ketidakstabilan politik dan ekonomi sampai kepada pemerintahan Raja Darius.8
Pekerjaan pembangunan bait suci itu pada akhirnya selesai pada tahun 515 SM,
setelah persatuan kembali orang-orang Yehuda yang dilakukan oleh Hagai dimana

6
Ibid, hal 63.
7
Fredy Simanjuntak; Ronald Sianipar; Agustinus Sihombing, Menelusuri Sejarah Perjalanan
Nomaden Bangsa Israel Vol. 4, No. 2 September 2019, hal, 18
8
Ibid, hal 22.
sebelumnya pekerjaan itu telah dimulai sejak tahun 520 SM. 9 Namun hal itu tidak sesuai
dengan pengharapan para nabi karena para imam yang menyalahgunakan kedudukan mereka,
rakyat diajak berbakti kepada dewa-dewa dan pembayaran pajak agama dianggap remeh.
Pada masa-masa yang gelap seperti inilah Yesaya dipanggil Tuhan sebagai nabi untuk
menyampaikan firman-Nya, ia membawa ajaran supaya bangsa Yehuda kembali kepada
Tuhan serta mengingatkan umat Tuhan untuk terus percaya kepada Allah. Selain itu, setelah
masa pembuangan di Babel hampir selesai, Allah datang untuk membawa berkat lagi melalui
keturunan Abraham.
Namun ada dua masalah besar yaitu (1) ketidaktaatan bangsa-bangsa (bangsa-bangsa
lain menilai Allah yang besar dari bangsanya, sehingga Israel yang saat itu diperbudak di
Babel membuat seolah-olah Allah Israel dianggap mati), misi Allah yang dimulai dari
Abraham dengan maksud agar bangsa Israel menjadi teladan bagi bangsa lain untuk
memuliakan Allah tetapi bangsa Israel justru tidak berbeda dengan bangsa lain. (2) kebutaan
Israel dimana banyak penghukuman Allah atas Israel pada masa pembuangan malah
membutakan bangsa ini sehingga mereka bukan lagi harapan dari bangsa-bangsa untuk
tertarik pada Allah sehingga anugerah dan pemulihan Allah-lah yang akan menjadi media
penyelamatan. Peran ganda bagi Israel yang buta dan tuli yaitu menjadi saksi-saksi (menjadi
saksi dalam Roh kehambaan yang hidup dalam dunia yang saling bersaing mengklaim allah-
allahnya), dan menjadi hamba-hamba-Nya.10 Oleh karena itu, penginjilan setelah masa
pembuangan yakni pada saat itu umat (Bangsa Israel) sedang menantikan kabar baik. Inti dari
kabar baik itu adalah pemerintahan Allah sebagai Raja yang berarti akan ada damai sejahtera,
hidup akan menjadi baik dan bangsa Israel akan diselamatkan.

E. Munculnya Gerakan Proselitisme Yahudi


Proselit memiliki arti pendatang yang berasal dari bahasa Yunani. Dalam Perjanjian
Lama, proselit dimaksudkan untuk orang yang bukan suku bangsa Israel. Mereka
mengenyam hak tamu dan berada di bawah perlindungan undang-undang. Kemudian, pada
zaman Helenisme, sekitar abad ke-3 sebelum masehi sampai abad ke-1 sesudah masehi,
menjadi sebutan bagi orang yang bertobat dari kekafiran dan mau masuk agama Yahudi.
Makna Proselit secara sederhana adalah suatu golongan orang-orang non-Yahudi yang
memeluk agama Yahudi; orang-orang/kaum Proselit adalah orang yang berganti agama, yaitu
9
Marie-Claire Barth, Tafsiran Alkitab KITAB YESAYA Pasal 56-66 (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1994), hal 1.
10
Martina Novalina, Misi Umat Allah, JURNAL PASCA – Volume 16, No. 2, November 2020, hal
185.
menjadi penganut agama Yahudi (Yudaisme), dan menyunatkan diri jika ia laki-laki (Mat.
23:15).11 Dalam perkembangan sejarah, Proselit mengalami dua kali perubahan makna.
Proselit mula-mula berarti orang asing yang tinggal di suatu negeri, orang kafir yang
meninggalkan kepercayaannya sebagai penyembah berhala, dan kemudian memeluk agama
Israel (Yudaisme). Perubahan makna kedua proselit terjadi ketika bangsa Israel dibuang ke
luar negerinya. Dan negeri asing itulah mereka dengan giat melakukan "penginjilan",
terhadap masyarakat sekitarnya.
Selain itu, orang-orang Yahudi dalam diaspora berusaha sekuat tenaga untuk
mengajak orang-orang lain menjadi proselit. Penyebaran umat Israel ke berbagai penjuru
telah mulai sejak penaklukkan oleh Asyur dan Babilonia. Orang Israel yang hidup di berbagai
negeri luar Israel, disebut kaum diaspora (perserakan). Perserakan tersebut memberi
kesempatan bagi orang Yahudi untuk semakin mempunyai kontak dengan bangsa lain; juga
dalam interaksi antar bangsa tersebut timbul saling menerima dan simpati di antara umat
Israel.12 Kemudian, dalam perserakannya, kaum Yahudi hidup dalam lingkungan masyarakat
yang dominasi oleh kebudayaan helenis yang bersifat sinkretistis, yang berminat pada
masalah religius.

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas penulis menyimpulkan bahwa gerakan misi yang dilakukan
Israel pada masa pembuangan adalah saat bangsa Israel dibuang ke Babel dan karena kuasa
doa yang besar apa yang mereka usahakan di tanah orang berhasil. Dalam hal ini bangsa
Israel dipanggil untuk menentang penyembahan berhala bukan hanya allah-allah lain tetapi
juga berhala dalam pekerjaan yang ada di setiap sisi yang bisa menenggelamkan. Dan setelah
pembuangan misi umat Allah yakni bangsa Israel bukanlah soal seberapa besar hal yang
sedang umat Allah lakukan bagi Allah, namun tentang betapa sabar dan tabah Allah dalam
melakukan sesuatu melalui umat-Nya. Tujuan ganda dalam membawa kesaksian yaitu
memulihkan kepercayaan kepada Allah (kesaksian membutuhkan keyakinan pemulihan untuk
mengenal Allah), meneguhkan kebenaran tentang Allah melampaui segala sesuatu yang
kekal, dan percaya akan janji keselamatan-Nya.

DAFTAR PUSTAKA
11
Paulus Purwoto, Makna Proselitisasi di Masa Intertestamental bagi Misi Gereja Masa Kini, Jurnal
Teologi dan Pelayanan Kristiani EPIGRAPHE Vol 4, No 2, November 2020, 254.
12
Ibid, 256.
Barth, Marie-Claire. Tafsiran Alkitab KITAB YESAYA Pasal 56-66. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1994.
Novalina, Martina. Misi Umat Allah. JURNAL PASCA – Volume 16, No. 2, November
2020.
Purwoto, Paulus. Makna Proselitisasi di Masa Intertestamental bagi Misi Gereja Masa Kini.
Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani EPIGRAPHE Vol 4, No 2, November 2020.
Simanjutak, Fredy; Ronald Sianipar; dan Agustinus Sihombing, Menelusuri Sejarah
Perjalanan Nomaden Bangsa Israel Vol. 4, No. 2 September 2019.
Sitorus, Herowati. Teologi Pembuangan: Suatu Kajian Teologis Konsep Teologi
Pembuangan menurut Yeremia Jurnal Teologi “Cultivation” Vol. 4, No. 1 Juli 2020.
Tomatala, Y. Y. Penginjilan Masa Kini 1. Malang: Gandum Mas, 2004.

Anda mungkin juga menyukai