6.a. BUKU-GMNI Dan HMI Dalam Politik Kekuasaan
6.a. BUKU-GMNI Dan HMI Dalam Politik Kekuasaan
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak untuk melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana
dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Syamsuddin
Radjab Ade Reza
Hariyadi
Diterbitkan oleh :
PENERBIT NAGAMEDIA
PT. NAGAKUSUMA MEDIA KREATIF
Anggota IKAPI No.469/DKI/XI/2013
Menara Cawang Lantai Dasar Blok A No.1
Jl. SMA 14 Cawang Kramat Jati Jakarta Timur 13630
Telepon: +62-21-36501501
E-Mail: penerbit@nagamedia.co.id
Website: www.nagamedia.co.id
Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD)
1. Sosial I. Judul
f
Kata Pengantar
A
lhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan
sekalian alam yang telah melimpahkan rahmat
kesehatan dan anugerah kemampuan berfikir kepada
umat manusia sehingga dapat melangsungkan hidup dan
membuat peradaban dunia. Demikian pula, sholawat dan
taslim kepada Nabi Muhammad SAW beserta para Nabi
lainnya atas bimbingan, tauladan sehingga menjadi panutan
bagi umat manusia dan rahmat bagi seluruh sekalian alam.
Buku yang ada ditangan pembaca saat ini merupakan
riset mini dari pergumulan dan pergaulan dua aktivis
berbeda organisasi yang di gelutinya. Ollenk merupakan
Pengurus Besar HMI Periode 2003-2005 sementara Reza
Presidium GMNI Periode 2002-2005. Secara kebetulan,
keduanya indekos dalam satu rumah kontrakan di kawasan
Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Karena masing-masing
sebagai pengurus teras organisasi mahasiswa kader (HMI
dan GMNI), keduanya terlibat intens dalam pelbagai diskusi
baik yang diadakan oleh GMNI maupun HMI.
Kontrakan rumah dikawasan Salemba tersebut dihuni
sebagian besar aktivis mahasiswa, terutama HMI, GMNI
dan PMII. Setiap hari, siang dan malam penghuni kontrakan
selalu ramai dan tak pernah sepi. Kadang teman dari
organisasi pun datang berkunjung sekedar minum kopi atau
urusan keorganisasian lainnya. Disamping sebagai pengurus
organisasi ekstra kampus, semua penghuni pondokan juga
sedang menempuh pendidikan strata dua (S2) bahkan ada
yang sedang studi Doktoral.
GMNI dan HMI merupakan organisasi kader.
Organisasi mahasiswa ini telah melahirkan ribuan kader
masing- masing dan berkiprah dipelbagai medan
pengabdian. Ada di bidang politik, pemerintahan, pelaku
ekonomi (pengusaha),
akademisi, pengacara dan bahkan guru ngaji. Partisipasi
kader GMNI dan HMI dalam pengabdiannya terhadap
bangsa dan negara hampir seusia dengan lahirnya negara
Indonesia sendiri. Para kader ditempah dengan pendidikan
dan pelatihan sejak masa mahasiswa hingga ke jenjang
magister di perguruan tinggi. Dari struktur paling bawah
hingga struktur tertinggi dalam kepengurusan.
Penguatan intelektual didapatkan saat pendidikan
dan pelatihan di organisasi masing-masing (GMNI dan
HMI) melalui silabus dan tingkatan pelatihan kader
dengan beragam materi pelatihan. Dari materi ideologi,
kemasyarakatan, kemanusiaan, kepemimpinan, geopolitik
dan ekonomi hingga materi ketuhanan menjadi bagian
tak terpisahkan untuk mempersiapkan pemimpin masa
Kata Pengantar ix
menyatu dengan cita-cita HMI dan GMNI sebagai organisasi
kader. Kader umat, kader bangsa dan kader negara untuk
Indonesia satu, maju dan bermartabat.
Buku ini, tidak hanya mengulas kader-kader HMI
dan GMNI dalam pusaran politik kekuasaan, tetapi juga
memberi gambaran bagaimana kader dan calon pemimpin
nasional itu diciptakan dan dibina. Hubungan kader, alumni
dan organisasinya, bukanlah hubungan layang-layang;
dibuat, dinaikkan lalu putus seiring angin kencang. Dalam
organisasi kader hubungan individu sangat kuat dengan
semangat persaudaraan yang ditempah dalam wadah
yang sama. Senior betanggung jawab membina yunior,
alumni perhatian terhadap organisasinya dan organisasi
mendistribusikan kadernya ke medan laga pengabdian.
Ia ibarat tubuh manusia, jika kaki kesandung maka semua
merasakan sakitnya, dibangun atas dasar cita-cita yang
tinggi dan dasar ideologi yang kuat. Semuanya bermuara
pada perwujudan cita-cita Negara Indonesia.
Akhirnya, kepada para pembaca budiman, semoga
buku ini membawa manfaat bagi kita semua. Tegur sapa dan
kritik membangun selalu terbuka bagi kami untuk perbaikan
dimasa mendatang.
Syamsuddin Radjab
Ade Reza Hariyadi
Kata Pengantar............................................................................vii
Daftar Isi.................................................................................... xi
BAB 1
PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................1
B. Kerangka Teori.......................................................................24
1. Teori Pembangunan.........................................................24
2. Teori Partisipasi Politik....................................................30
3. Teori Kelompok Penekan (Pressure Group)................37
4. Teori Civil Society.............................................................41
C. Metodelogi..........................................................................46
BAB 2
GERAKAN MAHASISWA DALAM LINTASAN
SEJARAH POLITIK NASIONAL...............................................49
A. Angkatan Pra Kemerdekaan: Merumuskan
Kesadaran Kebangsaan Melawan Imperialisme..............50
1. Budi Utomo 1908: Bangkitnya Kesadaran
Kebangsaan Bumiputera.................................................51
2. Sumpah Pemuda 1928: Peneguhan
Komitmen Kebangsaan...................................................61
3. Angkatan 1945: Revolusi Kemerdekaan......................69
BAB 3
Dinamika Politik HMI dan GMNI di Bawah Hegemoni
Kekuasaan Order Baru..............................................................97
A. Mahasiswa dan Pengorganisasian Politik..........................97
1. HMI: Pembaharuan Islam dalam
Pusaran Politik Aliran.......................................................98
2. GMNI: Nasionalis Soekarnois Di Tengah
Politik Kepartaian...........................................................107
B. HMI dan GMNI di Bawah Kekuasaan
Hegemonik Orde Baru....................................................121
1. Politik Akomodasi Sebagai Strategi
Penataan Politik..............................................................126
2. Kooptasi Negara di Sektor Kepemudaan..................145
BAB 5
PENUTUP..................................................................................215
Daftar Pustaka..........................................................................223
Tentang Penulis........................................................................233
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
lembaga
3 Burhan D. Magenda, Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya dengan
Sistem Politik: Suatu Tinjauan, dalam Analisa Kekuatan Politik Indonesia,
(Jakarta : LP3ES, 1985), hlm. 130.
4 Lihat Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan
Politik dan Pembangunan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hal 79-
81.
PENDAHULUAN 3
sosial lainnya. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang
akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan,
struktur perekonomian dan prestisedalam
masyarakat, dengan sendirinya merupakan elite
dalam kalangan angkatan muda. Sebab, mahasiswa yang
merupakan jumlah terkecil dari angkatan muda pada
umumnya mempunyai latar belakang sosial ekonomi yang
lebih baik dibandingkan dengan lainnya. Peran politik
mahasiswa ini semakin menonjol seiring dengan
berdirinya organisasi-organisasi kemahasiswaan
yang merepresentasikan keragaman potensi sosial maupun
politik. Secara garis besar, organisasi mahasiswa yang
muncul dapat dikategorisasikan ke dalam dua kelompok
yakni, organisasi kemahasiswaan yang bersifat nasional dan
diikat oleh kecenderungan yang bersifat ideologis maupun
politis seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI), Central Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), serta organisasi yang lebih pada ikatan
sentimen primordialistik seperti Ikatan Mahasiswa Bandung
(IMABA), Ikatan Mahasiswa Jakarta (IMADA) dan sejumlah
lainnya.
Dinamika kepartaian pada tahun 1950-1960an
di masa kepemimpinan Soekarno telah meningkatkan
intensitas perpolitikan yang dimainkan oleh mahasiswa dan
berbagai organisasi yang ada. Bagi partai politik, ledakan
jumlah angkatan muda terdidik dan keberadaan organisasi
PENDAHULUAN 5
protes yang didalamnya melibatkan mahasiswa sebagai
kekuatan utama.
Mahasiswa mengalami polarisasi dalam kelompok-
kelompok yang potensial untuk terlibat dalam konflik.
Disatu sisi, muncul kelompok yang memang sejak semula
secara politik dan ideologis memiliki kedekatan dan
berada dibarisan pro Soekarno, sementara di sisi lain
kekacauan politik dan ekonomi saat itu juga memunculkan
ketidakpuasan dikalangan mahasiswa yang kemudian aktif
mendesak Soekarno untuk segera mengambil kebijakan
guna pemulihan keadaan.
Berbagai komite aksi didirikan untuk mengorganisir
mahasiswa dalam gerakan protes, seperti Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Mahasiswa Indonesia
(KAMI) yang bergerak dengan tuntutan yang dikenal
dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yakni pembubaran
PKI, retooling kabinet dan turunkan harga. Puncak dari
pergolakan politik dari peristiwa 1965 berakhir dengan
jatuhnya Soekarno dari kekuasaan dan berdirinya rezim
politik yang kemudian disebut sebagai Orde Baru di
bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.
Pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila secara murni
dan konsekuen menjadi tema dalam melakukan konsolidasi
politik pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Secara bertahap seluruh kekuatan politik dipersatukan dalam
satu payung bersama yakni pembangunanisme. Dalam
kehidupan kepartaian setelah Pemilu 1971, partai-partai
didorong untuk berfusi berdasarkan pengelompokan
nasionalis sekuler dan
PENDAHULUAN 7
mahasiswa dengan isu-isu politik dan pemerintahan.
Sulit dibantah bahwa pembangunan Orde Baru telah
berhasil menggerakan transformasi struktural di bidang
ekonomi dan politik. Sebagaimana diikhtisarkan oleh
Sjahrir, berbagai bentuk transformasi struktural dibidang
ekonomi telah berhasil dilakukan sepanjang dua dasa warsa
pembangunan Orde Baru5. Soemitro Djojohadikusumo juga
menunjukan bahwa selama lima Pelita, angka pertumbuhan
PDB berkisar antara 4,4-8,6% 6. Angka tertinggi dicapai
dalam Pelita I (8,6%) dan angka terendah pada Pelita IV
(4,4%).
Laju pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai
selama lebih dari dua dasa warsa Orde Baru merupakan
angka yang relatif menggembirakan; rata-rata 6,02% dalam
lima Pelita yang sudah dan sedang berjalan. Hampir
semua kalangan
sepakat bahwa –dengan memperhitungkan kapabilitas
pengambil kebijakan ekonomi Orde Baru yang didukung
kenyataan-kenyataan objektif perkembangan perekonomian
–laju pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut akan dapat
dipertahankan secara konsisten kedepan.
Proyeksi data pendapatan perkapita penduduk adalah
sama menggembirakannya. Dalam rentang waktu 24 tahun—
dari 1967-1991—pendapatan perkapita penduduk beranjak
dari US $7 menjadi US $570, maka menurut proyeksi Bank
Dunia angka itu akan makin beranjak di tahun 2000 hingga
7 Lihat Swa Sembada, No. 9/VII, Desember 1992, “Bonus Proyeksi Bisnis
1993”, hal 4.
PENDAHULUAN 9
pragmatis dan stabilitas politik otokratis. Kebijakan ekonomi
pragmatis dijalankan melalui berbagai regulasi ekonomi
yang mewujudkan peran negara yang amat besar terhadap
ekonomi dan pasar. Negara mewujud sebagai kekuatan yang
mensubordinasi kekuatan pasar. Sekalipun Negara Orde
Baru cenderung mencontoh model pembangunan yang
kapitalistik, tetapi model ini dipraktekan dengan besarnya
peran negara dan tidak adanya dasar perkembangan
tehnologi yang memadai. Model inilah yang oleh Kunio
disebut sebagai kapitalisme semu atau ersatz capitalism.8
Kapitalisme semu ini dicirikan secara lengkap dengan
pentingnya keberadaan modal asing, besarnya peranan
Negara, tingkat tehnologi yang rendah, dan dominasi modal
domestik non pribumi.
Dalam model pembangunan ekonomi seperti ini,
keuntungan banyak diperoleh oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi menengah-besar yang menyandarkan diri pada
patronase politik kepada Negara. Sementara itu kekuatan
ekonomi kecil, terutama modal domestik pribumi hanya
menikmati sebagian kecil remahan kue pembangunan.
Sedangkan pembangunan politik guna menciptakan
stabilitas poltik otokratis dijalankan melalui rekayasa struktur
dan kultur politik. Secara struktural yang dilakukan adalah
menyediakan kerangka struktur politik yang menutup
peluang bagi terjadinya gangguan–gangguan politik
terhadap pembangunan. Kebijakan ini tercermin diawal masa
PENDAHULUAN 11
Birokrasi yang telah dikendalikan merupakan alat
pembangunan yang efektif. Birokrasi mengalami
pembesaran yang tidak saja untuk tujuan teknis membantu
formulasi dan realisasi kebijakan pembangunan, namun juga
untuk tujuan- tujuan politik menjaga stabilitas kekuasaan
Negara secara internal dan melakukan penguasaan terhadap
masyarakat secara eksternal. Untuk tujuan ini, terdapat
sekurang- kurangnya tiga bentuk birokratisasi khas Orde
baru: Pertama, melakukan pembesaran jumlah atau
kuantitas anggota birokrasi. Kedua, memberikan
kewenangan besar kepada birokrasi untuk menjadi
perpanjangan tangan Negara dalam mengkontrol
masyarakat. Dan ketiga, memasukan kekuatan militer
kedalam birokrasi, baik pusat maupun daerah melalui
legitimasi doktrin Dwi Fungsi ABRI.
Peran ini sejalan dengan kebijakan Presiden Soeharto
untuk menciptakan stabilitas politik sebagai prasyarat
pembangunan nasional dengan bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi. Militer kemudian digunakan sebagai instrumen
efektif untuk menciptakan dan mengendalikan stabilitas
yang dihendaki oleh pemerintah. Menurut Ali Moertopo,
dalam rangka stabilisasi ini maka kendali militer atas pos-pos
strategis pemerintahan tidak mungkin untuk dikembalikan
pada kelompok sipil dan hanya akan mempertaruhkan
eksistensi negara. Baginya, sipil dianggap tidak memiliki
kecakapan dalam menjalankan pemerintahan yang stabil.10
Di sektor kemahasiswaan, puncak dari kebijakan
depolitisasi adalah keluarnya kebijakan NKK/BKK untuk
PENDAHULUAN 13
kekuatan mahasiswa di kampus. Demonstrasi mahasiswa
dimasa Orba pada tahun 1970-an, seringkali diorganisir
oleh organisasi intra kampus tersebut. Sebagai gantinya,
dimunculkan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).
Berbeda dengan Dewan Mahasiswa dan Majelis
Mahasiswa, lembaga baru itu tidak memiliki otoritas
pengambilan keputusan, berfungsi koordinatif dan
sepenuhnya berada dalam kontrol pimpinan kampus.
Pembubaran organisasi intra kampus itu mendapat
tentangan keras dari para mahasiswa. Meskipun demikian,
sikap rezim Orba tetap bersikukuh dan pada akhirnya
gelombang protes keras itu berhasil dihentikan dengan
cara represif.
Kebijakan depolitisasi mahasiswa ini selain ditopang
oleh beragam regulasi politik, juga menggunakan
pendekatan keamanan dengan aparatus represif negara
sebagai instrumen dilapangan. Ruang bagi mahasiswa untuk
mengekspresikan sikap kritisnya menjadi semakin sempit
dan terbatas. Slogan politik yang diteriakan pada tahun
1966 seperti keadilan, kebebasan dan hak asasi manusia,
berhadapan dengan kenyataan sentralisasi kekuasaan
dan ketimpangan dalam struktur sosial maupun ekonomi,
yang mulai meningkat setelah Pemilu 1971. Kebijakan
penciptaan stabilitas politik ini kemudian mengakumulasikan
kekuasaan pada Negara dan mengoptimalkan kekuasaan
aparatur Negara —baik aparatur represif maupun aparatur
ideologis11— sambil melakukan disakumulasi kekuasaan
PENDAHULUAN 17
Soeharto guna mengkontrol dinamika politik sekaligus
mengendalikan stabilitas dukungan politik yang
diperlukannya. Partai politik yang merupakan instrumen
demokrasi yang penting secara efektif berhasil dikendalikan
dengan kebijakan penyederhanaan kepartaian. Golkar
sebagai kendaraan pemerintah mendapatkan berbagai
privellege politik untuk memobilisasi dukungan politik,
sedangkan keberadaan PDI yang merupakan hasil fusi
partai-partai nasionalis sekuler, dan PPP yang merupakan
hasil fusi partai-partai Islam, hanya memperoleh tempat
sebagai pelengkap penderita dalam sistem politik yang
dilangsungkan Orde Baru.
Selain mengendalikan kehidupan kepartaian, Soeharto
juga memperluas sekaligus menggunakan Angkatan
Bersenjata sebagai salah satu mesin pencipta stabilitas
politik dan dukungan politik. Dengan legitimasi doktrin Dwi
Fungsinya, TNI dapat melakukan operasi politik menjinakan
berbagai organisasi politik sesuai dengan kepentingan
kekuasaan dan menduduki jabatan-jabatan politik, terutama
dalam struktur birokrasi pemerintahan sipil.
Sedangkan disektor kemahasiswaan, selain strategi
akomodasi politik diterapkan bagi para elite organisasi
mahasiswa, Orde Baru juga melakukan kontrol ketat dimana
pemuda dan mahasiswa dimobilisasi dalam satu wadah
berhimpun, yakni Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Untuk memperkuat depolitisasi mahasiswa, Orde Baru juga
menerapkan kebijakan NKK/BKK, sehingga mahasiswa tidak
dapat bersentuhan dengan politik praktis dan disibukan
PENDAHULUAN 19
rekruitmen kepengurusan dan kebijakan politik yang terkait
dengan pemerintahan sangat ditentukan oleh pemerintah
Soeharto. Sehingga partai politik kehilangan kemampuan
dalam mengontrol pemerintah secara efektif. Ketiga,
gerakan civil society belum tumbuh berkembang secara
luas sehingga masyarakat belum mampu melakukan kontrol
efektif terhadap kebijakan pemerintahan. Oleh karena itu
harapan tersisa pada mahasiswa yang dianggap lebih netral
dan dekat dengan kepentingan rakyat.
Kedudukan strategis mahasiswa dalam sistem sosial dan
politik membuat organisasi-organisasi mahasiswa, termasuk
GMNI dan HMI, menjadi kekuatan politik yang potensial
dihadapan kekuasaan. Hal ini dikarenakan organisasi
mahasiswa dapat menjadi kekuatan yang kritis dalam
mengawasi kinerja kekuasaan dan sarana politik alternatif
bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Sikap
kritis ini senantiasa mewarnai perjalan gerakan mahasiswa
dari masa ke masa.
Eskalasi sikap kritis ini kemudian meningkat pada saat
menjelang akhir tahun 1997 akibat krisis ekonomi. Berbagai
aksi protes tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa, tetapi
juga telah melibatkan rakyat sebagai elemen penting. Komite
aksi jalanan dibentuk oleh organisasi mahasiswa ekstra
kampus, terutama HMI dan GMNI. Tak hanya itu, para
senior dan alumninya pun turut dalam mobilisasi politik
menentang rezim. Muara dari gerakan protes ini adalah
mendesak Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai
Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian, sekali lagi
organisasi-
PENDAHULUAN 21
perubahan. Perubahan difokuskan pada Undang-Undang
Kepartaian, UU Keormasan, UU Pemilihan Umum, UU
Susunan dan Kedudukan DPR/MPR, UU Referendum, UU
Pemerintahan Daerah, serta UU lainnya.
Revisi atas paket UU Politik ini memberi dampak
terhadap format politik Indonesia. Substansi dari revisi itu
terletak pada dibukanya ruang bagi partisipasi politik publik
lebih luas. Secara teknis aturan itu terkait dengan syarat-
syarat pendirian partai politik sebagai sarana artikulasi
kepentingan politik publik. Revitalitalisasi lembaga
perwakilan, baik pada aspek rekruitmen politik maupun
kinerja dan fungsi pengawasan. Harmonisasi hubungan antar
lembaga negara dengan meneguhkan prinsip pemisahan
kekuasaan, serta pengaturan mekanisme sirkulasi
kekuasaan periodik secara
fair dan demokratis. Civil society tumbuh berkembang seiring
dengan arus kebebasan dan keterbukaan. Keberadaan civil
society ini mampu meningkatkan posisi politik masyarakat
dihadapan otoritas negara dan sekaligus menjadi alternatif
atas lemahnya pelembagaan politik demokratis di tingkat
negara. Dengan demikian, civil society memiliki korelasi
yang kuat dengan demokratisasi yang hendak dilangsung di
Indonesia.
Perubahan yang terjadi paska Orde Baru ini tentu
berpengaruh terhadap peran politik strategis yang selama ini
diperankan oleh organisasi-organisasi mahasiswa. Liberalisasi
politik telah memberi kesempatan pada rakyat memiliki
ruang dan kemampuan untuk berbicara atas namanya
sendiri dan menegosiasikan kepentingannya dengan rezim
PENDAHULUAN 23
B. Kerangka Teori
1. Teori Pembangunan
Sekalipun kata “pembangunan” —sebagaimana di-
katakan oleh Bjorn Hettne14— sulit diberi definisi yang
memuaskan, namun setidaknya kita dapat menyepakati bah-
wa hakikat pembangunan adalah sebuah proses perubahan
menuju perbaikan kualitas kehidupan masyarakat secara kul-
tural dan struktural15. Dengan demikian, pembangunan men-
jadi suatu kerangka kerja penyelenggaraan negara menuju
tahapan kondisi-kondisi, baik ekonomi, sosial politik, budaya
dan sebagainya yang lebih baik.
Sedangkan pembangunan politik memiliki beragam
pengertian. Hal ini ditunjukan dengan belum adanya satu
kesepakatan diantara ilmuan politik hingga saat ini mengenai
pengertian pembangunan politik. Dilihat dari berbagai
penulisan dan pembahasan mengenai pembangunan politik,
sering dijumpai istilah yang berbeda-beda, yang mungkin
berisikan konsep yang berbeda-beda pula. Disamping istilah
pembangunan politik, seringkali dijumpai pula istilah lain
seperti pendidikan politik, pembaruan politik, pengembangan
politik, perubahan politik maupun modernisasi politik.
Huntington16 menjelaskan bahwa modernisasi politik ini
PENDAHULUAN 25
dari struktur dan fungsi dari sistem politik yang semakin
meningkat dengan ditandai oleh terjadinya spesialisasi
struktur politik serta sekularisasi kebudayaan politik.
Lanjutnya, inti dari perkembangan sistem politik itu terletak
dari efficiency dan effectiveness yang meningkat dari daya
guna sistem politik dan kesanggupannya yang meningkat.17
Sedangkan, Lucian W. Pye pada tahun 1965,
menyusun suatu daftar yang cukup komprehensif dengan
mendefinisikan pembangunan politik dalam sepuluh
definisi.
Sepuluh definisi Pye tentang pembangunan politik adalah
sebagai berikut:18
17 Lihat Gabriel Almond dalam SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta,
Rajawali Pers, 2007), hal 483.
18 Lihat Lucian W. Pye, Concepts of Political Development, maupun juga
dalam Aspect of Political Development, dalam Yahya Muhaimin dan Colin
MacAndrews, ed, Masalah-Masalah Pembangunan Politik, (Jogjakarta:
Gajah Mada University Press, 1982), hal 1-11.
PENDAHULUAN 27
sebagai standar kontemporer dan universal bagi setiap
sistem politik.
4) Operasionalisasi Negara bangsa.
Merupakan suatu proses melalui mana masyarakat-
masyarakat yang hanya bentuknya saja merupakan
negara–bangsa, atau hanya dalam pengakuan
internasional, menjadi negara–bangsa dalam arti yang
sebenarnya. Ukuran pembangunan politik akan
meliputi; pertama, pembentukan serangkaian lembaga-
lembaga publik tertentu yang merupakan prasarana
penting bagi suatu negara-bangsa, dan kedua,
pengungkapan secara tertib gejala nasionalisme ke
dalam kehidupan politik. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pembangunan politik adalah politik
nasionalisme yang dijalankan dalam kerangka
lembaga-lembaga negara.
5) Pembangunan administrasi dan hukum.
Pembangunan politik merupakan upaya penataan
hukum dan administrasi sebagai instrumen untuk
melakukan pembinaan terhadap masyarakat politik.
6) Mobilisasi dan partisipasi massa.
Pembangunan politik terkait dengan persoalan
peranan warga negara dan standar-standar kesetiaan
dan keterlibatan yang baru dalam negara-negara yang
baru terbentuk. Pembangunan politik dapat berarti
terjadinya perluasan partisipasi politik masyarakat
dalam urusan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan.
28 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
7) Pembinaan kehidupan demokrasi.
Pembangunan politik adalah, atau seharusnya serupa
dengan pembentukan lembaga-lembaga dan praktek
politik demokratis.
8) Stabilitas dan perubahan yang teratur.
Konsep ini menekankan bahwa setiap bentuk kemajuan
ekonomi dan sosial umumnya tergantung pada
lingkungan yang lebih banyak memiliki kepastian dan
yang memungkinkan adanya perencanaan berdasar
pada prediksi yang cukup aman.
9) Mobilisasi dan kekuasaan.
Bahwa sistem politik dapat dinilai dari sudut tingkat atau
kadar kekuasaan yang dapat dimobilir oleh sistem
itu.
Dengan demikian, pembangunan politik merupakan
suatu upaya mobilisasi sumber daya dan kekuasaan
guna kepentingan pencapaian tujuan-tujuan negara
secara maksimal.
10) Satu segi dari perubahan sosial yang multidimensional.
Pembangunan politik hanya bias berjalan dalam
konteks perubahan sosial yang multidimensional
dimana tidak ada bagian atau sektor masyarakat yang
terlalu jauh tertinggal.
PENDAHULUAN 29
ini adalah untuk menjelaskan fenomena demokratisasi politik
yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan pemerintahan
sentralisitik dan munculnya lembaga-lembaga politik
demokratis, tumbuh berkembangnya partai politik dan civil
society, kebebasan pers, sebagai isu baru pembangunan
politik.
Dengan demikian, memperlihatkan bahwa terjadi
perubahan paradigma pembangunan politik dimana
demokratisasi menjadi isu baru yang menggantikan
penciptaan stabilitas sosial politik melalui pendekatan
yang sentralistik dan represif. Hal inilah yang menunjukan
bahwa pembangunan politik paska Orde Baru menurut
teori pembangunan politik Lucian W. Pye merupakan atau
seharusnya serupa dengan pembentukan lembaga-lembaga
dan praktek politik demokratis.
PENDAHULUAN 31
bentuk, baik yang memiliki konotasi positif maupun negatif
sebagai berikut ini:22
a) Kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga
sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja
dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang
calon, atau setiap tindakan yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi proses pemilihan.
b) Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau
kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat
pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan
maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka
mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut
sejumlah besar orang.
c) Kegiatan organisasi, menyangkut partisipasi sebagai
anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang
tujuan utamanya secara eksplisit adalah mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintahan.
d) Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan
perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat
pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh
manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang.
e) Tindak kekerasan (violence) seperti halnya teror,
pembunuhan politik dan tindakan ilegal lain yang
dimaksudkan sebagai bentuk ekspresi politik juga
dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik.
22 Ibid, hal 16
23 Ibid, hal 21
PENDAHULUAN 33
politik mempunyai lembaga atau struktur-struktur, seperti
parlemen, birokrasi, badan peradilan dan partai politik yang
menjalankan kegiatan atau fungsi tertentu, yang selanjutnya
memungkinkan sistem politik itu untuk merumuskan dan
melaksanakan kebijakannya.
Almond menyusun kategorisasi fungsionalnya sendiri
dan memisahkannya menurut input yang terdiri dari
sosialisasi dan perekrutan politik, artikulasi kepentingan,
agregasi kepentingan, komunikasi politik, dan fungsi output
yang meliputi; pembuatan aturan, penerapan aturan,
penilaian aturan24. Sistem politik yang diterapkan suatu
negara meskipun memiliki struktur yang sama belum tentu
memiliki fungsi yang sama. Struktur dan fungsi ini akan
sangat dipengaruhi oleh lingkungan politik dimana sistem
itu berlangsung.
Setiap sistem politik memiliki prosedur untuk melakukan
rekruitmen politik, atau seleksi pejabat administratif dan
politik. Dalam sistem politik demokratis, jabatan administratif
maupun politik biasanya terbuka untuk setiap orang yang
memiliki kualifikasi, seperti usia, daerah, pendidikan dan
lainnya. Tetapi Rekruitmen politik seperti halnya partisipasi
politik, cenderung bagi orang dengan latar belakang
sebagai kelas menengah atau kelas atas, atau mereka yang
meski berasal dari kelas bawah tetapi memiliki latar belakang
pendidikan.25
26 Ibid
27 Michael Rush & Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta:
RajaGrafindo, 2003), hal 185 - 189
28 Ibid
PENDAHULUAN 35
untuk menghindari adanya dominasi dari suatu kelompok
dalam pengisian jabatan-jabatan publik. Kedua, perebutan
kekuasaan dengan jalan menggunakan kekerasan.
Penggulingan kekuasaaan memungkinkan terjadinya
perubahan struktur kekuasaan yang memberikan ruang bagi
proses rekruitmen politik untuk mengisi atau menempati
struktur kekuasaan politik yang baru. Ketiga, model
patronase politik. Rekruitmen politik seperti ini mensyaratkan
adanya relasi patront-client antara struktur elite yang
memegang kekuasaan dengan struktur dibawahnya yang
merupakan sumber bagi proses rekruitmen politik.
Rekruitmen patronase ini khusus dibuat secara pasti
agar dapat memperoleh dan mempertahankan pengawasan
politik, serta menjamin kelangsungan kepentingan politik.
Dan keempat adalah dengan jalan Koopsi (pemilihan
anggota-anggota baru). Koopsi (co-option) itu meliputi
pemilihan seseorang ke dalam suatu badan oleh anggota-
anggota yang ada baik untuk melakukan pergantian maupun
untuk memperbesar keanggotaan. Koopsi dalam ruang
lingkup yang lebih luas berlangsung melalui mekanisme
pemilihan yang melibatkan publik seperti halnya dalam
pemilihan umum.
Teori rekruitmen politik Almond ini menjelaskan bahwa
dalam sistem politik yang berlangsung terjadi proses seleksi
masyarakat sebagai input yang menggerakan struktur dan
fungsi dari sistem politik. Kaitannya dengan GMNI dan HMI
adalah kedua organisasi ini merupakan sumber daya penting
dimana kader-kader alumni kedua organisasi ini merupakan
PENDAHULUAN 37
Kekerasan dapat meledak pada saat tidak terduga dan
tidak terkendali. Walaupun kelompok anomic ada
pula yang secara sengaja diorganisir untuk
kepentingan politik tertentu,
3. Kelompok non-assosiasional, sangat jarang sekali
terorganisir, disebabkan aktivitas mereka yang sangat
episodik pula. Perbedaan dari kelompok anomik adalah
dasar mereka membentuk kelompok karena kesamaan
kepentingan etnik, wilayah, agama, pekerjaan, dan juga
tali kekeluargaan. Kelompok ini bisa berkelanjutan bila
dibandingkan dengan kelompok anomik. Kelompok
anomik terbagi 2 yaitu: 1) kelompok besar, terorganisir,
dan 2) sub-kelompok kecil pedesaan, mengenal satu
sama lain sehingga lebih efektif,
4. Kelompok institusional, merupakan bentuk kelompok
yang lebih canggih karena sudah berupa partai politik,
korporat bisnis, legislatif, militer, birokrasi, persekutuan
gereja, majelis ulama, dimana mereka mendukung
kelompok khusus dan memiliki anggota dengan
tanggung jawab khusus untuk mewakili kepentingan
kelompok,
5. Kelompok asosiasional, merupakan kelompok yang
dibentuk mewakili kepentingan kelompok yang khusus
atau spesifik termasuk serikat perdagangan dan serikat
pengusaha.
PENDAHULUAN 39
hal tertentu di bawah situasi tertentu pula.
Kelompok penekan bertindak atas dua tingkatan (tahap)
yang berbeda:31
1. Mereka secara langsung menekan organ-organ
pemerintah seperti menteri, anggota parlemen, dan
pejabat-pejabat tinggi pemerintahan.
2. Mereka melancarkan pengaruhnya secara tidak
langsung kepada warga masyarakat guna membentuk
pendapat umum yang pada gilirannya akan
mempengaruhi pejabat pemerintah, yang biasanya
selalu menaruh perhatian pada pendapat umum.
PENDAHULUAN 43
formal ataupun informal. Hal tersebut terdiri dari kelompok-
kelompok, antara lain:36
1. Ekonomi (produktif serta jaringan dan asosiasi
komersial)
2. Budaya (agama, suku, komunal dan institusi maupun
asosiasi lain yang tergantung pada hak-hak kolektif
nilai-nilai, keyakinan, kepercayaan, dan simbol-simbol.
3. Informasi dan pendidikan (pengetahuan umum, ide-
ide, berita dan informasi).
4. Berbasis kepentingan (dirancang untuk meningkatkan
atau mempertahankan fungsi bersama atau
kepentingan-kepentingan materi dari para anggotanya,
para pekerja, veteran, pensiunan, profesional, dan
sebagainya).
36 Ibid
37 Ibid
PENDAHULUAN 45
demokratis. Ketiga, menghalangi dominasi penguasa yang
otoriter dan akan membantu proses tumbangnya penguasa
otoriter. Keempat, Civil society merupakan wahana untuk
mengkader pemimpin politik. Kelima, Civil society akan
berperan untuk menstabilkan negara. Keenam,
meningkatkan partisipasi politik masyarakat, karena
kesadaran politik yang tinggi.
Ciri dan peran dari civil society ini akan digunakan
untuk menjelaskan peran dan kedudukan GMNI dan HMI
diantara relasi masyarakat dan kekuasaan negara.
Organisasi ini menjalankan fungsi mediasi dan sekaligus
saluran politik alternatif yang potensial di luar sarana politik
formal yang tersedia.
C. Metodelogi
h
39 John W. Creswell, Research Design, (Jakarta: KIK Press, 2002), hal 144.
PENDAHULUAN 47
48 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
Bab 2
3 Ibid
4 Roeslan Abdulgani, Dr. Soetomo Yang Saya Kenal, Yayasan Idayu, Jakarta,
1976, hal 21.
mendukung
12 Ricklefs, Op.,Cit, hal 419
cenderung
20 Ricklefs, Percobaan Demokrasi, 1950-1957, Op.,Cit, hal 471-507.
Partai-Partai.
30 Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai; Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Soeharto, (Jakarta: Reform Institute, 2007), hal 56.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 99
(empat) golongan, yaitu: (1) Sebagian besar yang melakukan
ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan
seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran,
(2) Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang
mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, (3) Golongan alim
ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh
mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa
hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja, dan (4)
Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan
kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama
Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-
benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia dan
menggusur pengaruh mistikisme dan budaya sekuler yang
diusung oleh peradaban Barat.
Kedua, polarisasi politik aliran yang dibawa oleh partai-
partai politik telah berkembang dikalangan mahasiswa.
Berdirinya Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan
Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta dimana kedua
organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Sedangkan di
sayap politik Islam adalah Gerakan pemuda Islam Indonesia
(GPII) yang seideologi dengan partai Masyumi. HMI
beranggapan bahwa politik aliran ini telah menyebabkan
terkikisnya nilai-nilai religiusitas dan dan menyeret
mahasiswa dalam fragmentasi kepentingan.
Adanya polarisasi politik ini dipertegas oleh Dahlan
Ranuwihardjo mengenai situasi politik di wilayah RI,
khususnya Jogjakarta dimana pertentangan antara partai-
partai politik
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 101
yang demikian, membuat HMI kehilangan fokus untuk
melakukan penataan internal organisasi. Agus Salim
Sitompul menjelaskan bahwa kesempatan untuk melakukan
penataan organisasi mulai dapat dirintis kembali setelah
Indonesia memperoleh kembali pengakuan kedaulatannya
pada tanggal 27 Desember 1949.7 Selama tiga belas
tahun HMI mengadakan konsolidasi organisasi, sehingga
memungkinkan untuk tampil sebagai organisasi kader dan
perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan.
Pola pembinaan anggota yang diarahkan menjadi
sarjana muslim yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan
untuk menjadi kader umat dan kader bangsa. Selain upaya
pembinaan terhadap nilai-nilai ke-Islam-an juga membangun
rasa nasionalisme kebangsaan. Strategi yang digunakan
adalah rasa kecintaan organisasi sebagai wahana perkaderan
menuju tercapainya bangsa yang berkemanusiaan dan
bermartabat. Pola pembentukan pribadi melalui latihan
dan pengkaderan sebagai usaha mencetak kader bangsa
disegala bidang kehidupan dilakukan.
Faktor motivasi anggota masuk HMI dilakukan sejak
awal rekruitmen keanggotaan agar tidak mengalami
penyimpangan. Beberapa materi inti pembinaan meliputi:
ke Islaman, kebangsaan, kemasyarakatan, pengembangan
minat dan bakat, serta proses pengkaderan lainnya dengan
tingkat dan penjengjangan yang terstruktur.8 Upaya
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 103
aspirasi politiknya, memandang bahwa perlu ada suatu
upaya untuk menegaskan posisi politiknya keluar dari tarik
menarik partai politik. Independensi HMI yang ditempuh
sebagai sarana untuk menghindari friksi internal ini sekaligus
mengevaluasi sikap HMI yang pada tahun 1949 bersama
sejumlah organisasi Islam lainnya menyatakan bahwa aspirasi
politik umat Islam hanya diwakili oleh satu partai politik saja,
yakni Masyumi. Hubungan HMI dengan Masyumi semakin
merenggang ketika HMI memutuskan sikap politiknya
mendukung keempat partai politik Islam (Masyumi, NU, PSII
dan Perti).11
Upaya HMI untuk membangun independensi ini
bukanlah hal mudah mengingat kepentingan partai-partai
politik, terutama partai politik berbasis Islam yang melihat
HMI sebagai sumber rekruitmen politik yang potensial.
Penegasan independensi HMI dari afiliasi partai politik ini
kembali ditegaskan dalam Kongres HMI pada tahun 1953,
hingga Kongres kelima HMI pada tahun 1957. Salah satu
keputusan penting HMI dalam kongresnya adalah
pernyataan bahwa HMI merupakan milik dan anak
kandung umat Islam dan bukan menjadi underbouw suatu
partai politik Islam manapun juga. Keputusan itu diambil
dalam situasi nasional yang sedang carut marut akibat
penerapan demokrasi parlementer.
Perkembangan partai-partai politik ini kemudian
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 105
kontra revolusioner, termasuk Masyumi.
Dengan demikian, maka sikap HMI yang meneguhkan
independensinya menjadi tepat dan bukan semata akibat
adanya polarisasi baik dalam konteks penafsiran maupun
afiliasi politik dikalangan umat Islam dan mengakhiri posisi
HMI yang sering terombang-ambing akibat tarik menarik
partai politik Islam, tetapi juga sekaligus memperbaiki citra
HMI yang dianggap memiliki kedekatan dengan Masyumi.
Mengenai hal ini Sulastomo menjelaskan bahwa persoalan
bagi HMI tidak saja apakah dapat diterima oleh keempat
partai politik Islam itu, tetapi juga pertimbangan demi
kepentingan bangsa dan negara.14
Menilik konteks berdirinya dan perjalanan sejarahnya,
maka corak Keislaman HMI adalah moderat. Nilai-nilai Islam
yang dituangkan dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI —
yang dikompilasi oleh Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin
Anshari dan Sakib Mahmud—, mengetengahkan Islam secara
substansial, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, antara
lain: (1) Tauhid/Keesaan Tuhan; (2) Universalitas Islam; (3)
Islam yang inklusif; (4) Islam yang dialogis; (5) Kemanusiaan/
persaudaraan/hak asasi manusia (HAM); (6) Islam sejalan
dengan modernitas/progresifitas dan demokrasi; (7) Islam
yang tidak ekstrim (ummatan wasathan/umat yang mampu
berdiri di tengah-tengah); dan (8) Islam yang toleran.
Dalam konteks itu, keberadaan HMI mengemban misi
untuk mewujudkan wajah Islam yang modern/maju, toleran,
dan tidak ekstrim. Yang dikedepankan dan diperjuangkan
14 Lihat Sulastomo, HMI dan Politik, Dalam 50 Tahun HMI, Op. Cit, hal 86.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 107
marhaenisme yaitu, Gerakan Mahasiswa Demokrat
Indonesia di Jakarta (GMDI), Gerakan Mahasiswa Merdeka
di Surabaya dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis di
Yogyakarta. Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa
mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953,
Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan
pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang
dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang
diketuai oleh
S.M. Hadiprabowo.15 Dalam satu rapat pengurus GMDI yang
diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan
Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan
ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah.
Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua
organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan
positif.
Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajakan,
kemudian pada bulan September 1953 diadakanlah rapat
bersama antar ketiga pimpinan organisasi mahasiswa tadi di
rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan
Taman Suropati. Aktivis mahasiswa yang menghadiri
pertemuan itu adalah Wahyu Widodo, Subagio Masrukin dan
Sri Sumantri dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis. Slamet
Jayawijaya, Slamet Rahardjo dan Haruman mewakili
Gerakan Mahasiswa Merdeka serta M. Hadiprabowo,
Djawadi Hadiprakoso dan
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 111
Sikap politik itu makin dipertegas lagi dalam Konferensi
Besar (Konbes) GMNI pada tanggal 17 Februari 1959 di
Kaliurang, Yogyakarta. Dalam Konbes itu, Bung Karno
menyampaikan pidato politiknya berjudul, “Lenyapkan
Steriliteit dalam Gerakan Mahasiswa”. Dimana, inti pidato
tersebut, Bung Karno menyerukan agar GMNI selalu berada
dalam barisan kaum marhaen dalam melawan kapitalisme,
imperialisme dan kolonialisme.23
Seakan menjawab “tantangan” Bung Karno, Presidium
GMNI kemudian merumuskan garis pedoman ideologis
bagi perjuangan marhaenis yang diberi judul ”Beberapa
Tesis Pedoman Garis Perjuangan”. Rumusan pedoman
perjuangan GMNI merupakan hasil kristalisasi pemikiran
kritis para aktivisnya terhadap situasi sosial masa itu dan
juga
alternatif solusi yang ditawarkan oleh organisasi mahasiswa
tersebut. Berbagai kalangan menilai bahwa GMNI secara
ideologis lebih kiri dan radikal daripada organisasi induknya,
PNI. Hal ini menjadikan posisi politik GMNI sebagai variabel
determinan dalam pergerakan politik PNI. Petikan “Beberapa
Tesis Pedoman Garis Perjuangan” yang dinilai kiri dan
radikal itu berbunyi:
23 Barisan kaum marhaen terdiri dari tiga unsur, yaitu; kaum proletar, kaum
tani dan kaum melarat Indonesia lainnya. Ketiganya merupakan kekuatan
revolusioner dalam perjuangan melawan imperialisme, kapitalisme dan
kolonialisme. Menurut Bung Karno, tanpa massa marhaen, gerakan
GMNI akan menjadi steril dan teralienasi dari rakyat. Lihat, “Lenyapkan
Steriliteit dalam Gerakan Mahasiswa” Pidato tertulis Presiden Soekarno
pada Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Yogyakarta, 17 Februari 1959
dalam Iman Toto K. Rahardjo, Herdianto WK (Ed), Bung Karno Gerakan
Massa dan Mahasiswa, Kenangan 100 Tahun Bung Karno (Jakarta:
Grasindo, 2001), hal. 24-25.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 113
pemuda, karena kombinasi idealisme dinamis kaum
muda dan kesadaran politik kaum buruh yang timbul dari
kenyataan bahwa dia paling menderita di bawah kapitalisme,
menyebabkan buruh-pemuda menjadi unsur yang paling
radikal di kalangan penduduk; (2) petani, unsur revolusioner
yang penting, karena selain merupakan bagian terbesar
rakyat, petani juga ditindas tuan tanah dan penghisap
sehingga mau tidak mau menjadi revolusioner. Namun
karena tatanan masyarakat pedesaan sekarang yang
sifatnya masih rasional-religius dan konservatif, petani
kadang kala cenderung kurang radikal; (3) Angkatan
Bersenjata, karena mereka dilahirkan selama masa revolusi,
berasal dari kalangan unsur progresif, terutama kalau
mereka setia pada Sapta Marga; (4) Semua bagian rakyat
lainnya yang miskin,
seperti cendekiawan miskin...”
Untuk mempercepat akselerasi perubahan, kekuatan-
kekuatan itu harus dapat disatukan ke dalam barisan
revolusioner yang dipimpin oleh orang-orang terpilih dan
yang memahami dinamika revolusi.24
Disamping itu, Presidium GMNI meyakini, keberhasilan
revolusi sangat ditentukan oleh kerja politik aktivisnya di
tengah massa rakyat. Dalam konteks itu GMNI menyatakan:
“Agar perjuangan kita berhasil, pimpinan kekuatan
marhaenis harus memasukkan hanya mereka
yang sungguh-sungguh memahami dinamika
revolusi... Meskipun kendali atas lembaga
pemerintah
24 Petikan pernyataan Presidum GMNI dikutip dari J. Eliseo Rocamora,
Nasionalisme Mencari Ideologi, Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965,
(Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal 322-324.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 115
peta politik pada saat itu. Situasi politik pada masa itu
telah menempatkan Bung Karno sebagai figur sentral
dalam konstelasi politik nasional. Dengan demikian, untuk
menjaga maupun memperoleh posisi dalam jalur kekuasaan,
maka tidak ada kata lain bagi segenap kekuatan politik di
Indonesia, selain mengikuti irama politik Bung Karno.27
Semula, sebagai organisasi baru, GMNI hanya
memainkan peranan yang kurang penting di PNI. Organisasi
mahasiswa itu, baru diperhitungkan secara politis dan
mendapatkan nilai lebih di mata Bung Karno setelah para
aktivisnya merumuskan “Beberapa Tesis Pedoman Garis
Perjuangan” (sebuah konsepsi perjuangan organisasi yang
dinilai lebih kiri, progresif dan radikal daripada metode
perjuangan dan sikap politik PNI) serta mendukung usulan
Dewan Nasional tentang Demokrasi Terpimpin.28
Sejalan dengan penguatan posisi politik tersebut,
beberapa pimpinan GMNI kemudian mendapatkan
27 Tidak jarang Bung Karno meminta tokoh-tokoh politik yang tidak memiliki
keselarasan pandangan dan pemikiran dengan konstruksi politiknya untuk
menyingkir dari jalur kekuasaan dan kepemimpinannya. Bung Karno
dalam pidato-pidato politiknya sering secara terbuka menyerang lawan-
lawan politiknya itu dengan menggunakan istilah-istilah provokatif seperti,
tendang keluar marhaenis-marhaenis gadungan. Lihat Deppenprop DPP
PNI, Pedoman Pokok Pelaksanaan Deklarasi Marhaenis (Jakarta: DPP PNI,
1965), hal.3.
28 “Beberapa Tesis Pedoman Garis Perjuangan” dinilai Bung Karno sebagai
pemikiran yang progresif dan radikal. Pemikiran GMNI itu menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi lahirnya Deklarasi Marhaenis yang menjadi
menjadi pijakan PNI dalam menerjemahkan ideologi marhaenisme.
Selain itu, dukungan GMNI terhadap konsep Demokrasi Terpimpin juga
mengejutkan kalangan pimpinan PNI yang belum menyatakan sikap
politiknya secara resmi terhdap konsepsi politik Bung karno tersebut. Lihat,
Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya 1963-1969 (Jakarta: CV.
Rajawali, 1984) hal. 10-14. Lihat juga, Rocamora, Ibid. hal. 322-323.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 117
partai politik melakukan radikalisasi dan progresifitas
revolusioner dan dukungan terhadap Nasakom. PNI dan
PKI meningkatkan suhu persaingan dalam mobilisasi dan
militansi massa. PNI tampaknya terpancing dalam strategi
politik ini dan mengalami kesulitan dalam menandingi PKI.
Setiap langkah PNI ternyata diketahui oleh PKI sehingga PNI
semakin jauh tertinggal. Menurut Isnaeni, hal itu disebabkan
bahwa ada infiltrasi PKI dalam PNI sehingga rahasia
kebijakan politik PNI bocor di tangan PKI.
Upaya PNI melakukan konsolidasi internal dalam
kerangka menopang kebijakan politik Bung Karno terus
berlangsung. Kubu Ali–Surachman mulai menarik persoalan
ideologi Marhaenisme untuk dibicarakan dalam sidang
Badan pekerja Kongres (BPK), November 1964 di Lembang
Bandung. BPK merupakan lembaga partai yang mempunyai
kewenangan tertinggi diantara dua kongres. Forum sidang
BPK ini melahirkan rumusan “Marhaenisme adalah Marxisme
yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi
masyarakat Indonesia”. Penolakan atas rumusan ini
muncul dari kubu Osa Maliki yang beranggapan bahwa
ajaran Marxisme tidak seluruhnya dapat diterapkan di
Indonesia dan karenanya Marhaenisme tidak dapat
diidentikan dengan Marxisme.
Sidang BPK juga memutuskan dibentuknya Kader
Pelopor di seluruh wilayah. Pembentukan Kader Pelopor
ini selain digunakan sebagai langkah konsolidasi militansi
PNI, juga dimaksudkan untuk membendung usaha-usaha
PKI untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Sosialis
Komunis pada tahun 1970. Kursus Kader pelopor kemudian
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 119
Perubahan ini disambut gembira Bung Karno. Ekspresi sikap
Bung Karno tersebut tergambar dalam sambutan tertulisnya
pada Konferensi Kerja GMNI di Pontianak pada 16
Desember 1964. Dalam kesempatan itu, Bung Karno
menyampaikan persetujuan dan dukungannya terhadap isi
dan jiwa Deklarasi Marhaenis. Selain itu, Bung Karno juga
meminta GMNI untuk terus menerus menyalakan api
marhaenisme yang murni dengan melaksanakan
sepenuhnya isi Deklarasi Marhaenis.34 Pernyataan dukungan
Bung Karno terhadap Deklarasi Marhaenis secara terbuka
dalam forum GMNI itu dapat dimaknai sebagai berikut:
Pertama, Bung Karno memandang GMNI lebih revolusioner
daripada PNI. Karena di mata Bung Karno, GMNI lebih
tanggap dan mampu menerjemahkan
kehendak politiknya.
Kedua, untuk memperkokoh desain politiknya, Bung
Karno menginginkan pembaruan di tubuh PNI. Dalam
kerangka ini, GMNI sebagai elemen muda diharapkan
dapat melakukan pembaruan dengan menggusur kalangan
konservatif di tubuh PNI.35
Ketiga, sejalan dengan karakter pemuda yang penuh
dinamika dan gejolak emosi yang tinggi, pengaruh pemikiran
Bung Karno lebih cepat masuk ke dalam benak kader GMNI.
34 Deppen Prop. DPP PNI, PNI Penegak Pantjasila! (Jakarta: DPP PNI, 1965)
hal. 15.
35 Bung Karno berupaya meningkatkan kekuasaan politik ormas onderbouw
PNI. Hal itu dilakukan karena tidak puas dengan sikap sebagian besar
pimpinan PNI yang dinilai konservatif. Sebaliknya, para pemimpin ormas
berupaya keras untuk memaksakan perubahan dalam kebijakan PNI.
Salah satu ormas yang ditingkatkan kekuasaannya adalah GMNI. Lihat
Rocamora, Op.cit, hal. 327.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 121
GMNI. Kedua, kelompok mahasiswa yang sejalan dengan
garis politik tentara, Angkatan Darat, diantaranya HMI,
PMKRI, SOMAL. Kelompok ini secara intens berkomunikasi
dengan Angkatan Darat dan merupakan bagian yang dibina
oleh Angkatan Darat sejak awal melalui Badan Kerjasama
Pemuda Militer.37 Ketiga, kelompok mahasiswa berhaluan
sosialis komunis yang merupakan organisasi sayap PKI,
yakni CGMI.
Berbagai komite aksi didirikan untuk mengorganisir
mahasiswa dalam gerakan protes, seperti Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Mahasiswa Indonesia
(KAMI) yang bergerak dengan tuntutan yang dikenal
dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yakni pembubaran
PKI, retooling kabinet dan turunkan harga. Puncak dari
pergolakan politik dari peristiwa 1965 berakhir dengan
jatuhnya Soekarno dari kekuasaan dan berdirinya rezim
politik yang kemudian disebut sebagai Orde Baru di
bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.
Kampanye tentara itu menyulut gerakan
pengganyangan PKI dan organisasi komunis lainnya secara
besar-besaran. Tentara menghendaki adanya interpretasi
yang tunggal guna mengatasi polarisasi penafsiran. Bagi
tentara, upaya distorsi
37 Badan Kerjasama Pemuda Militer dibentuk pada tahun 1957 oleh Angkatan
Darat dengan maksud mendorong mahasiswa menjadi aktor dalam pentas
politik nasional yang bebas dari kooptasi kepentingan partai-partai politik.
Badan Kerjasama Pemuda Militer ini selain melemahkan pengaruh partai
politik, dikemudian hari memberikan keuntungan bagi Angkatan Darat
karena mampu mempengaruhi orientasi politik mahasiswa yang dibuktikan
dengan sokongan Angkatan Darat terhadap gerakan KAPPI/KAMI
menjelang jatuhnya Soekarno.
MAPANCAS,
38 Ibid, hlm. 142.
39 Mengenai keterlibatan PMKRI dalam KAMI diduga ada dua alasan,
pertama, situasi geopolitik internasional dimana kelompok katolik
merupakan salah satu unsur anti komunis, dan kedua, PMKRI mengambil
momentum untuk menyongsong kekuasaan politik yang baru mengingat
kedudukan politik Bung Karno yang mulai melemah.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 123
PELMAS, SEMMI, IMM, IPMI, selanjutnya disusul dengan
GMNI OSA–USEP. Sementara itu, ditubuh GMNI terjadi
perpecahan yang merupakan imbas dari perpecahan
PNI. Konflik internal PNI telah menghasilkan dualisme
kepemimpinan yakni DPP PNI dibawah kepengurusan Ali
Sastroamidjojo dan Ir. Surachman (ASU) yang dicap
berhaluan kiri dan radikal, sementara itu, disisi lain adalah
DPP PNI dibawah pimpinan Osa Maliki dan Usep
Ranuwidjaja (OSA- USEP) yang oleh kelompok Ali
Sastroamidjojo dianggap kubu marhaenis gadungan.
Perpecahan PNI yang kemudian berimbas ke GMNI
mempengaruhi sikap politik GMNI dalam merespon gerakan-
gerakan komunis yang kemudian berkembang menjadi
anti Soekarno. GMNI ASU dibawah pimpinan Bambang
Kusnohadi secara tegas menyatakan dukungannya terhadap
kepemimpinan Bung Karno dan menolak untuk bergabung
dengan aksi protes yang dimotori oleh KAMI. Sementara
itu, GMNI OSA-USEP pimpinan Soerjadi memanfaatkan
kekosongan peran politik GMNI dalam KAMI sebagai strategi
untuk memperkuat eksistensi politik.
Perkembangan selanjutnya, mahasiswa KAMI atas
sokongan dari tentara, Angkatan Darat, secara gencar
melakukan tekanan terhadap Bung Karno. Isu anti komunis
yang semula dilontarkan berkembang menjadi anti Soekarno.
Merespon tekanan ini, PNI kubu ASU mengambil sikap
politik berdiri dibelakang Bung Karno dan siap melaksanakan
komando Bung Karno. Seruan Bung Karno untuk membentuk
Barisan Bung Karno ditanggapi secara positif oleh DPP PNI
40 Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai; Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Soeharto, (Jakarta: Reform Institute,2007), hal 56.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 125
yang penting dalam menggusur kekuasaan Bung Karno.
Aksi-aksi KAMI meski sempat mendapat tekanan dari tentara
dengan berujung pada peristiwa tertembaknya sejumlah
mahasiswa KAMI, namun tidak menyurutkan mahasiswa
KAMI untuk terus bergerak.
Bangkitnya kembali gerakan KAMI ini tidak lepas
dari dukungan yang muncul dari Jenderal Nasution yang
pada waktu itu dalam posisi politik terkucilkan.41 Kepada
Presidium KAMI, Nasution mengusulkan agar digunakan
nama “Angkatan 66” untuk menandaskan suatu kebangkitan
nasional yang baru. Aliansi kepentingan antara gerakan
mahasiswa dan Angkatan Bersenjata dalam menghadapi
Soekarno selanjutnya bekerja secara efektif dalam
mendorong kejatuhan Soekarno. Puncak dari “geger”
politik itu adalah
pembersihan PKI dan pengikutnya, serta dijatuhkannya
Soekarno dari kursi kekuasaan melalui Sidang Istimewa
MPRS, yang sekaligus menjadi pertanda berakhirnya masa
Demokrasi Terpimpin dan bangkitnya rezim politik baru,
yakni Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto.
41 Parakitri Tahi Simbolon, Di Balik Mitos Angkatan 66, dalam Prisma, Op.
Cit, hal 154.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 127
berpartisipasi dalam pengisian struktur kekuasaan negara
yang memang didominasi oleh kalangan militer dan sekber
Golkar. Menurut Hary Azhar Aziz, HMI merupakan satu-
satunya organisasi mahasiswa yang menandatangi
dukungan terhadap sekber Golkar diawal pendiriannya.
Kedua, bagi Soeharto, HMI merupakan organisasi yang
potensial dengan sumber daya politik dan pengalaman yang
teruji. Hal ini menjadi pertimbangan penting bagi Soeharto
untuk menarik HMI dan memberikan peranan politik lebih
luas sepanjang dapat bekerjasama dan menyokong
kekuasaan Orde Baru.
Ketiga, HMI memandang perlu mengambil momentum
politik yang dibuka oleh Soeharto dengan masuk dalam
struktur kekuasaan. Pertimbangan ini muncul dikalangan
HMI mengingat pada mulanya Orde Baru justru banyak
diisi oleh kelompok-kelompok non HMI dan minoritas.
Keikutsertaan HMI dalam pemerintahan dan lembaga
legislatif ini pada akhirnya mulai mampu menggeser
kelompok-kelompok pendukung Soeharto yang lama.43 Di
bawah patronase kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro
dan Sumitro Djojohadikusumo, kader-kader HMI memasuki
institusi-institusi pemerintahan khususnya lembaga politik
dan ekonomi. Di antara mereka yang menempati posisi
penting itu adalah Deliar Noer, Bintoro Tjokroamidjojo, Barli
Halim, Madjid Ibrahim, Bustanul Arifin, Zainul Zasmi, dan
Umar Tusin. Bahkan ada pula yang menduduki pos penting
dalam pemerintahan sebagai Menteri seperti Abdul Gafur,
43 Fuad bawazier dalam Sidratahta, HMI dan Kekuasaan, Op. Cit, hal 107.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 129
perlunya pembaharuan struktur politik. Pertama, perlunya
penyederhanaan partai politik dengan memfungsikan partai
politik secara wajar. Kedua, fungsionalisasi Golkar sebagai
lembaga pendukung pembangunan nasional. Disamping
itu, HMI juga menyerukan kepada seluruh komponen bangsa
agar melakukan pembinaan massa mengambang (floating
mass) agar pembangunan menjadi lebih favourable bagi
pembinaan karakter bangsa.44
Kedekatan penguasa Orde Baru dengan mantan
aktivis mahasiswa, termasuk alumni HMI, berdampak besar
terhadap peran HMI yang hampir-hampir absen dalam setiap
momentum kebangkitan gerakan mahasiswa.45 Tercatat dua
kali mahasiswa bangkit melawan penguasa Orde Baru.
Pertama, Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) pada 1974.
Ketika itu, digelar aksi penolakan mahasiswa terhadap
kapitalisme modal asing. Kedua, gerakan mahasiswa 1978
yang menolak pencalonan Soeharto kembali menjadi
presiden. HMI telah terpesona dengan kekuasaan Orde
Baru yang nyaris tak tergoyahkan, hal inilah yang kemudian
menjadi salah satu sebab krusial di tubuh organisasi dan
melahirkan perpecahan.
Sebagian kader HMI menyempal membentuk HMI–
MPO (Majelis Penyelamat Organisasi)46 sebagai bentuk
terkecuali HMI. HMI yang semula berasaskan Islam dipaksa menerima asas
tunggal sebagai satu-satunya asas. Buntutnya, pada 1986 ketika Kongres
HMI di Padang, Sumatera barat organiasi ini pecah menjadi dua: HMI-
DIPO dan HMI-MPO. Mereka yang menyepakati pancasila sebagai asas
HMI biasa disebut HMI DIPO karena berkedudukan di jalan Diponegoro.
Sementara HMI yang menolak, membentuk Majelis Penyelamat Organisasi
(MPO) HMI, yang kemudian dikenal dengan nama HMI MPO.
47 Lihat Tafisr Independensi HMI dalam www.pbhmi.or.id, diakses tanggal 11
juli 2013.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 131
dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada
hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan
pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah Allah
Subhanahu Wata’ala. Dengan demikian melaksanakan
independensi etis bagi setiap kader HMI berarti
pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan
berprilaku baik “habluminallah” maupun dalam
“habluminannas” hanya tunduk dan patuh dengan
kebenaran.
Kedua, Independensi organisatoris adalah watak
independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di
dalam kiprah dinamika HMI baik dalam kehidupan intern
organisasi maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa
dan bernegara. Independensi organisatoris diartikan bahwa
dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara
organisatoris
senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif
dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala
usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari
semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi
aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara
organisasi HMI hanya tunduk serta komit pada prinsip-prinsip
kebenaran dan obyektifitas.
Idealisme yang hendak dicapai dengan melaksanakan
prinsip independensi ini adalah HMI secara organisatoris
tidak pernah “commited” dengan kepentingan pihak
manapun ataupun kelompok dan golongan maupun
kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran
dan obyektifitas kejujuran dan keadilan. Dalam rangka
menjalin tegaknya “prinsip-prinsip independensi HMI”
maka implementasi
132 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut:48
Anggota-anggota HMI terutama aktifitasnya dalam
melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-
ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan
HMI. Oleh karena itu tidak diperkenankan melakukan
kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas
kehendak pihak luar manapun juga. Mereka tidak dibenarkan
mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun
dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah
diputuskan secara organisatoris.
Penegasan secara formal independensi HMI ini
menunjukan bahwa ada komitemen politik yang kuat
dalam internal organisasi HMI untuk tetap menjadi
kekuatan independen dan kritis. Akan tetapi, pada tataran
operasionalisasinya kadangkala HMI harus bersinggungan
dengan realitas dimana alumni HMI yang tersebar dalam
struktur kekuasaan negara memiliki kedudukan yang
potensial mempengaruhi independensi HMI dalam tataran
praktis.
Kritik terhadap independensi HMI ini terkait dengan
pandangan terhadap peran politik HMI yang tidak
terlalu menonjol pada saat gerakan mahasiswa mulai
mengalami eskalasi pada tahun 1974-an hingga 1990an.
Hal ini disebabkan oleh dua hal: Pertama, bahwa
pengaruh patronase antara alumni dan kader aktif
berdampak terhadap tingkat kritisisme HMI. Menurut
Hendardi, mantan ketua Dewan Mahasiswa ITB,
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 133
dimungkinkan karena alumnus HMI sebagian sudah masuk
dalam lingkaran kekuasaan.
Hal serupa ditegaskan mantan Ketua Harian Presidium
Majelis Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI), Dr. Ir. Beddu
Amang, antara KAHMI dan HMI punya hubungan yang
tegas seperti tertuang dalam Mukadimah Anggaran Dasar/
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KAHMI. Selain itu,
Beddu Amang juga menandaskan, sudah ada kesepakatan
bahwa peranan KAHMI adalah untuk mendukung
tercapainya cita- cita HMI. Artinya, bisa dikatakan, antara
HMI dan alumnusnya (KAHMI) tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Karena sudah banyak anggota KAHMI yang
berperan aktif di jajaran kekuasaan, maka dapat dipahami
jika HMI sering dituding terlalu dekat dengan kekuasaan.49
Kedua, sistem politik orde baru yang represif melalui
kebijakan NKK/BKK membuat ruang gerak mahasiswa
menjadi terbatas dalam mengekspresikan pandangan-
pandangan politiknya. Banyak organisasi ekstra universiter
yang justru kemudian larut dalam persaingan jabatan
lembaga formal intra universiter seperti senat mahasiswa,
dewan mahasiswa.
Ketiga, komite aksi, lembaga formal kampus, kelompok
studi, menjadi strategi baru untuk keluar dari upaya
hegemoni yang dilakukan oleh rezim dalam tubuh organisasi
ekstra universiter yang dilakukan melalui forum Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 135
ancaman bagi Orde Baru.
Secara bertahap, Soeharto mulai mengurangi
kekuasaan Bung Karno. Puncak kekuasan itu akhirnya
diperoleh. Setelah melalui berbagai rekayasa konstitusional,
pada 22 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan
kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto.51 Penguasa baru itu
menyadari, pendukung setia Bung Karno masih banyak dan
berada dalam setiap lini pemerintahan, angkatan bersenjata,
partai politik, ormas maupun di kalangan masyarakat luas.
Hal itu dianggap Soeharto dapat menjadi ganjalan bagi
kekuasaannya. Karena itu, langkah awal dari rezim Orba
adalah melakukan “pembersihan” terhadap pendukung-
pendukung setia Bung Karno.
PNI dan dan ormas-ormasnya merupakan sasaran
pertama pembersihan politik. Sebagaimana diungkapkan
J. Eliseo Rocamora dalam penelitiannya mengenai PNI,
pada tahun 1966 dan 1967, Angkatan Darat melakukan
pembersihan terhadap PNI dengan alasan bahwa PKI telah
melakukan penyusupan ke dalam pimpinan PNI. Tema
propaganda untuk pembersihan itu adalah pimpinan PNI
membiarkan dirinya diperalat Presiden Soekarno dan PKI
agar dapat memetik keuntungan dominasi keduanya dalam
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 137
menumbuhkan konflik, merupakan hal yang paling tidak
disukai Soeharto. PNI dan ormas-ormasnya dalam
pandangan penguasa dapat menjadi sarana untuk
mengobarkan kembali ideologi kiri.
Keempat, keberadaan rezim baru tidak dapat
dilepaskan dari dukungan internasional, terutama dari
negara-negara Barat. Dalam kerangka memperoleh
dukungan itu, Soeharto harus dapat meyakinkan bahwa
pemerintahannya bersih dari unsur-unsur kelompok kiri
maupun elemen-elemen radikal lainnya.
Sejalan dengan pembersihan kaum kiri dan nasionalis
radikal, GMNI sebagai ormas PNI mengalami nasib yang
sama dengan partai afiliasinya. Tekanan-tekanan itu juga
dimunculkan dari dalam organisasi. Perpecahan di tubuh PNI
yang memang telah terjadi sebelum Orde Baru terbentuk
mengalami eskalasi yang juga berimbas pada GMNI pada
saat Orde Baru berdiri. Jika di PNI muncul PNI Osa-Usep
dan PNI Ali-Surachman, GMNI pun terbelah menjadi GMNI
Osa- Usep dan GMNI Ali-Surachman.
Istilah Osa-Usep dan Asu seperti di PNI Osa-Usep dan
PNI Asu sebagai identifikasi sayap kanan dan kiri,
sebenarnya tidak terlalu populer di GMNI. Bahkan pada
akhirnya istilah kanan dan kiri pun maknanya semakin kabur.
Adakalanya istilah tersebut justru digunakan sebagai alat
melakukan intrik politik.
Setelah mengalami kekosongan kepemimpinan karena
sebagian besar anggota Presidium GMNI masuk tahanan
politik rezim Soeharto, DPP PNI Osa-Usep membentuk
54 Ohiao Halawa, Membangun Citra Partai, Profil Drs. Soerjadi, Ketua Umum
DPP PDI 1986-1993, (Jakarta: PT. Nyiur Indah Alam Sejati, 1993), hal. 21-
22.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 139
Kartjono dan anggota Presidium GMNI lainnya yang
ditangkap rezim Orde baru.
Dalam rangka konsolidasi politik, upaya untuk kembali
menyatukan PNI sebagai wadah Front Marhaenis ini
mulai dipersiapkan. Kongres persatuan PNI digelar pada
tahun 1966 untuk mempertemukan kedua kubu. Dalam
Kongres ini, kubu Osa–Usep mendominasi pengisian
struktur kepengurusan yang terbentuk. Hal ini dikarenakan
memang kubu ASU sebelumnya telah berhasil dilemahkan
secara politik. Dengan penyatuan PNI maka secara alamiah
rekonsiliasi pun terjadi di sayap ormas partai, termasuk
GMNI.
Meski kubu Osa–Usep mendominasi struktur PNI dan
ormasnya, Orde Baru masih melihat bahwa PNI merupakan
kekuatan ideologis yang tetap diwaspadai. Hal ini disadari
betul oleh para pimpinan PNI. Oleh karenanya, dalam rangka
mengakomodasi tekanan rezim maka PNI akhirnya harus
bisa melakukan penyesuaian. DPP PNI beserta segenap
DPP/Presidium Organisasi Massa PNI, 20 Desember 1967
mengeluarkan Pernyataan Kebulatan Tekad yang memuat
hal-hal sebagai berikut: Dibidang ideologi, rumusan
marhaenisme sebagaimana tertuang dalam Deklarasi
Marhaenis diganti dengan Yudia Pratidina Marhaenis (YPM).
Dalam YPM, marhaenisme dirumuskan sebagai Ketuhanan
Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
Ditegaskan pula bahwa rumusan itu merupakan tafsiran asli
sejak tahun 1927. Rumusan marhaenisme itu juga
disebutkan bersih dari pengaruh marxisme.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 141
Jadi, kalau pimpinan PNI Osa-Usep melakukan penindakan
terhadap para aktivis GMNI yang ada di PNI maka tindakan
yang diambil harus diletakkan dalam konteks partai.
Bagi pemerintah, keputusan politik GMNI menjadi
organisasi independen dengan tidak lagi berada di PNI
merupakan hal yang menguntungkan. Keluarnya GMNI
dari PNI setidaknya akan semakin memperlemah dukungan
terhadap PNI. Sejak awal berkuasa, rezim Orba berusaha
memperlemah kekuatan kelompok-kelompok yang
dipandang dapat menjadi ganjalan bagi stabilisasi
kekuasaan. PNI merupakan partai besar di masa lalu. Di
mata rezim Orba, partai itu juga dianggap masih memiliki
keterkaitan dengan Orla. Karena itu, PNI menjadi sasaran
utama untuk dilemahkan dan secara perlahan dieliminasi
dari kehidupan
politik Indonesia.56
Upaya Orde baru untuk “menjinakan” kelompok-
kelompok pendukung Soekarno selain mengambil bentuk
kebijakan politik yang ketat, juga melalui politik
akomodasi. Orde Baru tetap memberikan ruang meski
terbatas bagi kelompok-kelompok moderat GMNI yang
bisa menerima kehadiran Orde Baru sebagai realitas politik.
Selain sebagian besar alumni GMNI masuk kedalam
struktur lembaga legislatif melalui PDI seperti Budi
Harjono, Soerjadi, Aberson, maka sejumlah alumni lainnya
memilih menjadikan
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 143
kongres VII pada tahun 1979 di Medan, Sumatera Utara. 58
Meskipun dari kongres ke kongres sikap politik itu
diperteguh dan dikampanyekan ke publik namun stigma
kedekatan GMNI kepada salah satu partai politik tetap
tertanam di benak masyarakat. Kesamaan dalam simbol-
simbol organisasi dan kaitan sejarah masa lalu, memperkuat
asumsi masyarakat bahwa GMNI merupakan bagian tak
terpisahkan dari salah satu partai politik di masa Orla.
Terbentuknya citra tersebut tidak lepas dari banyaknya
mantan aktivis GMNI yang memilih meniti karier politik di
partai itu. Pandangan itu sesungguhnya kontras dengan
kenyataan pada masa Orba dimana justru GMNI menjadi
organisasi yang relatif steril dari pengaruh alumninya
mengingat belum terbentuknya organisasi alumni dan
fragmentasi di tubuh
alumni GMNI itu sendiri.
Pandangan masyarakat itu menjadi kendala tersendiri
bagi aktivis GMNI. Situasi pada masa itu sangat tidak
kondusif bagi aktivitas partai politik maupun organisasi
kemasyarakatan. Kebijakan depolitisasi massa yang
diterapkan rezim Orba telah menumbuhkan sikap “sensitif”
terhadap keberadaan ormas, partai politik dan kegiatan
politik praktis. Situasi itu sangat menyulitkan kader-kader
GMNI dalam menjalankan roda organisasi meskipun telah
menegaskan independensinya.59
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 145
Mahasiswa Pasca Aksi Tritura 1966,60
menjelaskan bahwa mahasiswa mulai mengalami
kegelisahan politik akibat peran ormas mahasiswa
yang dirasa mulai surut setelah aksi heroisme
angkatan ’66. Romantisme gerakan yang timbul ini
bertemu dengan momentum situasi politik awal
Orde Baru yang mulai menunjukan sejumlah
kontradiksi.
Secara intens beberapa ormas mahasiswa meng-
gelar pertemuan dan diskusi yang membahas
mengenai perkembangan politik, perubahan sos-
ial dan tema-tema mengenai masa depan Indone-
sia. Pertemuan-pertemuan inilah yang kemudian
memunculkan gagasan untuk membentuk forum
kerjasama yang lebih intensif di antara ormas ma-
hasiswa.
Pada awalnya, forum kerjasama lima ormas ma-
hasiswa itu atau kemudian lebih populer disebut
sebagai Kelompok Cipayung itu hanya diikuti
oleh empat ormas mahasiswa, yaitu: Gerakan Ma-
hasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa
Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dan Ger-
akan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Dalam
perkembangan selanjutnya, Pergerakan Maha-
siswa Islam Indonesia (PMII) ikut bergabung
dalam
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 147
organisasi itu untuk mendorong lahirnya KNPI.
Bahkan, Ali Moertopo dapat disebut sebagai
“bidan” lahirnya KNPI.61 Ali Moertopo tidak hanya
menunggui ketika KNPI lahir, tetapi juga secara
intens memberikan pengarahan-pengarahan
politik guna memuluskan jalannya KNPI. Secara
intens pembicaraan antar pimpinan-pimpinan
organisasi ini dilakukan. Para pimpinan ormas
ini menyadari bahwa penataan politik Orde Baru
ini adalah kenyataan yang sulit untuk dihindari.
Dalam momentum itu, mereka memanfaatkan
kesempatan untuk semakin mematangkan
komunikasi diantara ormas guna merumuskan
strategi yang masih memungkinkan mensiasati
kooptasi rezim.
Soerjadimenjelaskan,bahwaterbangunkomunikasi
yang intens antara pimpinan ormas, termasuk
HMI dan GMNI yang menurutnya ada jarak, untuk
memfungsikan KNPI yang akan dibentuk sebagai
forum komunikasi antar organisasi. Dengan
demikian, KNPI tidak dimaksudkan sebagai
wadah tunggal yang menghilangkan eksistensi
dan karakteristik organisasi yang membentuknya.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya KNPI
yang akhirnya didirikan pada 23 Juli 1973 oleh
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 149
Ketua Umum DPP KNPI.
Sementara itu, GMNI juga memberikan andil
tersendiri dalam KNPI. Soerjadi merupakan salah
seorang ketua DPP KNPI untuk periode 1974-
1978, bersamaan dengan kepengurusan Akbar
Tandjung. Selanjutnya, Palar Batubara menjelaskan
bahwa memang ada ambivalensi dalam tubuh
OKP, disatu sisi menolak upaya hegemoni,
namun disisi lain OKP melihat bahwa dukungan
dan kepentingan kuat Orde Baru dalam KNPI
merupakan momentum yang dapat dimanfaatkan
untuk mengakses ke pusat kekuasaan. Sebenarnya
tercipta relasi yang saling menguntungkan antara
Orde Baru dengan para elite OKP yang kemudian
menjadi pucuk-pucuk pimpinan di KNPI. Melalui
KNPI lah para pimpinan OKP ini dapat melakukan
mobilitas struktural dalam kekuasaan Orde Baru.
Kekhawatiran bahwa KNPI menjadi instrumen
kooptasi ini menimbulkan persoalan internal.
Meski tidak terlalu muncul kepermukaan, sejumlah
gerakan internal yang memprotes kebijakan
pengurus pusat dari masing-masing ormas ini
mulai bergulir. Di internal HMI, aktivis HMI
yang menguasai Dewan Mahasiswa disejumlah
perguruan tinggi di Indonesia menggalang
gerakan politik menentang berdirinya KNPI.
Dewan Mahasiswa UGM yang waktu itu dikuasai
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 151
yang masuk dalam kepengurusan KNPI pun
tidak sepenuhnya leluasa. Kepengurusan KNPI
didominasi oleh aktivis dari ormas kekaryaan dan
KBA. Dukungan pemerintah terhadap ormas-
ormas itu tidak hanya dalam bentuk bantuan
“logistik”, namun juga menempatkan mereka
sebagai salah satu sumber rekruitmen elite politik.
Faktor lain yang menyebabkan surutnya peran
Kelompok Cipayung adalah longgarnya ikatan di
dalamnya. Sebagaimana karakter sebuah forum,
ikatan diantara anggotanya sangat cair. Selain
itu, tidak terdapat struktur yang dapat mengatur
intensitas anggota dalam aktivitas forum. Ikatan
yang terbentuk lebih besar dilatarbelakangi oleh
faktor kepentingan yang sama. Dengan demikian,
jika dalam kurun waktu tertentu dirasakan tidak
ada suatu kepentingan yang dapat menjadi titik
temu, maka forum itu tidak berjalan.
Penyikapan yang terkadang tidak sama terhadap
fenomena sosial politik, tidak jarang menjadi
faktor mengendurnya kerjasama itu. Dalam hal-hal
tertentu, HMI ditengarai oleh anggota Kelompok
Cipayung lainnya tidak kuasa lagi menjaga jarak
dengan penguasa. Dalam banyak hal, HMI
dinilai tidak sejalan dan meninggalkan anggota
Kelompok Cipayung lainnya. Gesekan antara
HMI dan empat ormas Kelompok Cipayung yang
lain semakin sering terjadi. Retaknya hubungan
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 153
Berbagai kebijakan dirancang untuk membatasi
persentuhan mahasiswa dengan isu-isu politik dan
pemerintahan. Puncak dari ini adalah keluarnya
kebijakan NKK/BKK untuk memendam mahasiswa
hanya sebagai “insan akademis” yang steril dari
kepentingan politik.
Kebijakan depolitisasi mahasiswa ini selain dito-
pang oleh beragam regulasi politik, juga menggu-
nakan pendekatan keamanan dengan apparatus
represif negara sebagai instrument dilapangan.
Ruang bagi mahasiswa untuk mengekspresikan
sikap kritisnya menjadi semakin sempit dan ter-
batas. Slogan politik yang diteriakan pada tahun
1966 seperti keadilan, kebebasan dan hak asasi
manusia, berhadapan dengan kenyataan sentral-
isasi kekuasaan dan ketimpangan dalam struktur
sosial maupun ekonomi, yang mulai meningkat
setelah Pemilu 1971.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 155
kehidupan lainnya.
Dalam kepentingan itu, pemerintah membentuk
Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pe-
doman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(BP7) sebagai institusi resmi, tunggal dan pem-
beri tafsir yang sah terhadap ideologi Pancasila.
Tafsir pancasila di luar penafsiran BP7,
merupakan tafsir liar yang dapat dianggap
sebagai pemiki- ran subversif. Penolakan
terhadap Pancasila sama maknanya dengan
mengundang aparatus rezim Orba untuk
menindas dan mengakhiri kehidupan sebuah
organisasi dan para aktivisnya.
Merespon perkembangan itu, sebelum azas tung-
gal diterapkan, GMNI telah membaca kemung-
kinan bahwa pemerintah akan semakin ketat
dalam melakukan penataan politik. Setelah po-
tensi organisasi pemuda disatukan dalam wadah
KNPI, maka arah selanjutnya adalah penyeraga-
man ideologis sesuai dengan tafsir pemerintah.
Terkait dengan pembacaan itu, Presidium GMNI
menggagas usulan agar Kongres VIII tahun 1982
yang sedianya akan dilangsungkan di Jogjakarta
menangkap sinyalemen itu dan dapat memutus-
kan perubahan azas sebelum Orde Baru member-
lakukannya secara represif.
Menanggapi usulan Presidium itu, sejumlah
cabang diantaranya Cabang Jakarta, Manado,
Purwokerto,
156 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
Medan, menggalang penolakan terhadap upaya
perubahan azas GMNI dari Marhaenisme ke
Pancasila. Pertimbangan penolakan itu adalah
upaya untuk mempertahankan konsistensi
ideologis karena Pancasila yang di usung oleh
Orde Baru dianggap tidak sesuai dengan
Pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno pada
1 Juni 1945. Sedangkan bagi mereka yang setuju
perubahan Azas lebih karena didorong oleh upaya
untuk mensiasati tekanan rezim dan
penyelematan eksistensi organisasi.
Beberapa hal yang mendasari pandangan itu
sebagaimana dikemukakan Hari Fadillah, mantan
Presidum GMNI hasil Kongres VIII adalah:
Pertama, kelompok pendukung marhaenisme
berkepentingan untuk menjaga dukungan kelom-
pok-kelompok Soekarnois. Kelompok-kelompok
Soekarnois yang masih terikat pada pemikiran
formalistis masih sangat banyak di kalangan ma-
syarakat, termasuk di GMNI. Dalam kerangka itu,
marhaenisme dipandang masih dapat dipergu-
nakan sebagai alat untuk memperkuat ikatan ro-
mantisme, primordialisme dan sentimen-sentimen
psikologis masa silam.
Kedua, pendukung perubahan marhaenisme
menjadi pancasila memiliki kepentingan menjaga
kelangsungan hidup GMNI di masa depan. Dalam
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 157
konteks ini, pencatuman azas marhaenisme
secara formal dalam organisasi di mata rezim
Orba dapat dipandang sebagai sikap
pembangkangan, berparadigma Orla dan tidak
loyal terhadap pemerintahan baru. Selama
GMNI dianggap sebagai bagian dari Orla, maka
keleluasaan bergerak tidak akan pernah dapat
diperoleh organisasi itu.
Ketiga, meskipun penerapan azas tunggal baru
dilaksanakan pemerintah pada tahun 1985 melalui
Undang-undang partai politik dan ormas, yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan 5 paket
UU Politik 1985, namun sinyal untuk menerapkan
kebijakan itu sudah di lontarkan sejak tahun
1980- an.65 Karena itu, GMNI berkepentingan
pada saat pemerintah secara formal menetapkan
ketentuan azas tunggal, kebijakan itu tidak akan
menimbulkan konflik yang dapat memecahbelah
organisasi. Pertimbangan-pertimbangan itulah
yang kemudian dapat memperlancar jalannya
kongres VIII untuk memutuskan perubahan
azas GMNI dari marhaenisme ke pancasila.
Konflik dalam pra Kongres itu kemudian dapat
diselesaikan dalam Kongres VIII GMNI di Lem-
66 Dalam pidato tentang dasar negara 1 Juni 1945 di depan sidang Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai, Bung Karno menyampaikan 5 prinsip dasar, yaitu: (1)
Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan, (3)
Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, (5) Ketuhanan yang
berkebudayaan. Lima prinsip dasar itu oleh Bung Karno diberi nama
Pancasila. Bung Akrno juga mengemukakan, lima prinsip itu dapat diperas
menjadi tiga, yaitu; sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhanan.
Lihat, Soekarno, Lahirnya Pantja-Sila, (Cetak ulang), Jakarta, DPP PDI
Perjuangan, tanpa tahun dan tanggal.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 159
politik yang didasarkan pada pertimbangan taktik
strategis itu, setidaknya mengeliminasi terjadinya
perpecahan yang lebih parah di GMNI.
Pilihan menerima pancasila sebagai azas, meru-
pakan sikap yang didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan politik rasional dan pemikiran
yang matang. Situasi pada masa itu tidak
memungkink- an melakukan perlawanan secara
konfrontatif ter- hadap penguasa. Hampir semua
kekuatan politik di masa Orba tidak dapat
mengelakkan dari upaya penaklukan itu.67
Sementara itu dikalangan HMI sendiri muncul per-
soalan akibat penerapan azas tunggal Pancasila.
Kongres HMI XV di Medan tahun 1983 dengan te-
gas menolak upaya penyeragaman oleh negara.
Sikap penolakan ini menimbulkan reaksi dikalan-
gan senior alumni HMI yang berada dalam struktur
kekuasaan, Abdul Ghafur yang waktu itu menjabat
sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga. Abdu-
lah Hehamahua yang ketika itu merupakan salah
seorang anggota Majelis Pekerja Kongres (MPK)
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 161
HMI yang menolak membentuk Majelis Penyela-
mat Organisasi (MPO) HMI atau HMI MPO. Seb-
agai tindak lanjut dari penolakan itu, cabang-ca-
bang itu kemudian menyelenggarakan Kongres
tandingan di Jogjakarta pada tahun yang sama.
Kongres ini meneguhkan bahwa HMI tetap meng-
gunakan Islam sebagai azas organisasi dan seka-
ligus membentuk struktur kepengurusan organ-
isasi yang baru.
Dalam perkembangannya, kedua organisasi HMI
tersebut tetap eksis hingga saat ini, kendatipun
HMI Dipo kembali menggunakan Islam sebagai
Azas organisasi paska kejatuhan rezim Soeharto.
HMI Dipo dan HMI-MPO masing-masing
melakukan perkaderan sesuai dengan pedoman
perkaderannya. Upaya menyatukan kedua HMI
tersebut sejak masa awal era reformasi telah
diupayakan, tetapi para pihak berpandangan agar
eksistensi organisasi tetap di hormati. Para senior
pun dari kedua organisasi HMI yang terpecah itu
juga telah mengupayakan adanya rekonsiliasi,
tetapi selalu gagal dan lebih mengedepankan
mengurus organisasi sendiri-sendiri tanpa saling
mengalienasi.
Konflik yang terjadi akibat penerapan azas
tunggal Pancasila menunjukan bahwa terjadi
pergolakan internal di dalam tubuh ormas yang
menolak
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 163
bagi ormas pemuda dan mahasiswa di luar
Kelompok Cipayung.
Beranjak dari Panitia Bersama Solidaritas
Kemanusiaan untuk Kasus Situbondo (PB-
SKKS) yang melibatkan delapan Organisasi
Kemasyarakatan Pemuda (OKP), kemudian
berkembang menjadi forum kerjasama yang lebih
luas. PB-SKKS itu menjadi bibit awal lahirnya
forum kerjasama baru yang kemudian
dideklarasikan sebagai Forum Kebangsaan
Pemuda Indonesia (FKPI).
Menurut Ahmad Baskara, FKPI muncul sebagai
antitesa terhadap dinamika sosial politik yang
semakin mengarah pada terjadinya keretakan
kohesi sosial yang dapat mengancam integrasi
nasional. Menurutnya, rezim yang telah berkuasa
lama kehilangan kemampuannya dalam
mempertahankan stabilitas kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan cara-cara yang demokratis.
Terjadi disintegrasi politik yang kemudian
berkembang menjadi konflik sosial, seperti
munculnya kerusuhan-kerusuhan yang merebak,
dimulai dari situbondo, tasikmalaya. Oleh karena
itu, FKPI merupakan jawaban dari kaum muda
atas kebutuhan untuk mengantisipasi kebutuhan
sosial politik dengan konsepsi kebersamaan dan
keberagaman yang diharapkan sebagai bentuk
ke-Indonesiaan yang harus digunakan untuk
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 165
penyalahgunaan kekuasaan.
Fenomena lain yang memprihatinkan adalah
adanya kecenderungan dari elemen-elemen
masyarakat, yang terorganisir maupun yang tidak
terorganisir, untuk mendiskreditkan satu sama
lain, melakukan pengadilan sepihak, tindak
kekerasan dan sebagainya. Insiden Dili, peristiwa
27 Juli 1996, kerusuhan Situbondo, Sanggau
Ledo, Rengas Dengklok dan Tasikmalaya
merupakan contoh dari adanya kecenderungan
anarkis tersebut. Menurut FKPI, beragam
peristiwa yang menyedihkan itu merupakan
indikator mulai retaknya ikatan psikologis sebagai
sebuah bangsa.68
Realitas itu ditegaskan oleh FKPI dalam
“Maklumat Kebangsaan Indonesia” yang
dikeluarkan pada 5 Februari 1997 di Jakarta.
Maklumat itu ditanda tangani oleh para pimpinan
pusat dari ormas anggota Kelompok Cipayung
minus HMI ditambah dengan Pimpinan Pusat
Ikatan Putri- putri Nadhlatul Ulama (IPPNU),
Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), Gerakan
Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan
Pemuda Demokrat. Maklumat itu, selain berisi
keprihatinan terhadap kenyataan sosial yang
semakin memperpuruk nasib rakyat dan bangsa
juga sekaligus sebagai
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 167
pernah diajak ikut dalam pembicaraan-pembicara-
an pendahuluan mengenai pembentukan FKPI.
Sehingga, ketidaksepakatan HMI itu menjadi hal
yang beralasan dan wajar, mengingat dalam Ke-
lompok Cipayung terdapat perbedaan-perbedaan
yang mendasar. Hanya saja, HMI prihatin karena
Kelompok Cipayung sudah terlalu jauh memasuki
wilayah politik praktis. Dalam menanggapi kasus
27 Juli 1996, misalnya, ada yang cenderung mem-
bela kelompok tertentu dalam PDI. Sedangkan
HMI dalam pengabdiannya tak ingin memasuki
wilayah politik praktis.
Tapi, justru di sinilah letak persoalannya.
Sementara HMI menuduh kelompok Cipayung
lainnya terlalu jauh terlibat politik praktis, dan
HMI sendiri malah dituding terlalu dekat dengan
kekuasaan. Hendardi, mantan Ketua Dewan
Mahasiswa ITB, berpendapat, dengan
terbentuknya FKPI, HMI harus instrospeksi diri.
Karena pembentukan FKPI harus dilihat sebagai
sikap terhadap fenomena perkembangan sikap
HMI belakangan ini. Menurutnya selanjutnya:
Apa yang dilakukan Kelompok Cipayung minus
HMI ini merupakan bentuk untuk
mengaktualisasikan diri dalam komitmen-
komitmen semula, di mana kelahiran-kelahiran
organisasi ini berfungsi sebagai
72 Ibid.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 169
politisi, pengusaha dan lain-lain, peran FKPI
pun semakin memudar dan saat ini semakin
redup karena kurangnya proses kaderisasi yang
berkesinambungan.
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 173
gerakan protes mahasiswa tahun 1998. Banyak diantara
para pimpinan organisasi formal kampus dan komit-komite
aksi itu sebenarnya anggota dari organisasi ekstra kampus.
Sehingga, besar kemungkinan bahwa kemunculan lembaga
formal kampus dan komite-komite aksi ini merupakan
bagian dari desain politik dari organisasi ekstra kampus
dalam menyampaikan aspirasi politiknya secara lebih leluasa
dan bebas. Strategi ini menjadi pilihan yang efektif untuk
menghindari pengaruh maupun tekanan-tekanan politik
yang sangat mungkin dilakukan oleh para alumninya yang
menjadi bagian dari kekuasaan.
Pengaruh politik organisasi ekstra kampus dalam
lembaga-lembaga formal intra kampus sebenarnya telah
berlangsung jauh sebelum gerakan reformasi muncul. Dalam
sejarahnya, organisasi-organisasi ekstra kampus saling
berkompetisi untuk memperebutkan jabatan-jabatan dalam
struktur formal intra kampus seperti Dewan Mahasiswa,
maupun Senat Mahasiswa. Pengaruh HMI dan GMNI dapat
dilihat diberbagai kampus dimana sebagian besar dari
lembaga intra kampus dikuasai oleh mereka.
Aksi protes jalanan ini dalam perkembangannya mulai
menunjukan pengaruh politik yang signifikan. Kekuatan
protes mahasiswa tidak hanya menyatu dengan gerakan
massa, tetapi juga mulai berjalan seirama dengan gerakan
politik kelompok elite politik. Protes mahasiswa tidak lagi
menjadi variabel tunggal dalam proses politik reformasi.
Kelompok elite mulai mengambil bagian secara terbuka
dengan melancarkan kritik dan tekanan terhadap kekuasaan
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 175
dengan kenyataan lain, karena lingkaran dalam kekuasaanya
justru menghendaki Soeharto untuk segara mengundurkan
diri dari jabatan presiden.
Krisis nasional 1997/1998 agaknya merupakan
drama politik yang menegangkan setelah peristiwa 1965
menjelang jatuhnya Soekarno. Tepat tanggal 21 Mei 1998
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai
Presiden dan kemudian MPR segera mengangkat B. J.
Habibie yang sebelumnya adalah Wakil Presiden sebagai
Presiden selanjutnya. Penyebab mundurnya Soeharto ini
memang belum dapat dipastikan. Berkembang berbagai
spekulasi yang menganalisis peristiwa mundurnya
Soeharto:1 1) Soeharto mengundurkan diri atas kemauan
dan keputusan yang diambil dalam hatinya sendiri, 2)
Gelombang protes dan tekanan rakyat yang semakin kuat
pada akhirnya memaksa Soeharto untuk realistis menerima
kenyataan bahwa sulit baginya untuk tetap bertahan
kecuali mengundurkan diri, 3) Bahwa ada tekanan kuat
dan sangat dimungkinkan sebagai bentuk konspirasi dari
sekutu dekatnya agar Soeharto mengundurkan diri, dan 4).
Soeharto tumbang akibat gelombang tekanan horizontal
dari luar Indonesia.
Tumbangnya Soeharto yang kemudian diganti oleh B.
J. Habibie sebagai Presiden tidak lantas memenuhi semua
tuntutan rakyat. Sejumlah perubahan mulai tampak sebagai
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 177
juga dapat dibaca bahwa dukungan politik yang dimiliki
Golkar sebagai salah mesin politik Habibie mulai
melemah. Disamping itu, tema anti kekuatan Orde Baru
menunjukan efektifitas dalam menghadang Habibie sebagai
representasi Soeharto untuk memperpanjang umur
kekuasaannya.
Realitas politik dan kuatnya tekanan yang menghendaki
diadakannya percepatan Pemilu memaksa Habibie untuk
segera mempersiapkan pelaksanaan Pemilu 1999. Suka
tidak suka maka Pemilu akan segera menjadi kenyataan
politik yangn harus dihadapi oleh seluruh komponen politik.
Kali ini Pemilu menjadi momentum yang sangat
menentukan arah perjalanan transisi politik, apakah dapat
menghasilkan suatu rezim politik yang demokratis ataukah
justru menjadi momentum rekonsolidasi rezim politik pro
Orde Baru?.
Terlepas dari kontroversi atas kebijakan-kebijakan
yang ditempuh oleh Habibie, baik yang muncul sebagai
strategi maupun kompromi akibat tekanan politik, masa
pemerintahan Habibie merupakan tonggak dari transisi politik
yang penting. Dengan kebijakan liberalisasi, Habibie telah
membuka kesempatan bagi semua kekuatan politik untuk
muncul kepermukaan dan melibatkan diri dalam persaingan
politik melalui mekanisme politik yang lebih demokratis.
Liberalisasi politik juga ditandai dengan tingginya
pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia, yakni kebebasan
untuk mengekspresikan hak–hak sipil politiknya, baik dalam
bentuk perserikatan maupun pernyataan-pernyataan politik
secara terbuka. Disektor media massa, kebebasan pers juga
mengalami perubahan secara drastis. Kehidupan media
178 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
massa yang sebelumnya dikontrol secara ketat kemudian
berubah secara drastis dan memasuki era pers bebas.
Liberalisasi politik yang dilakukan oleh Habibie dalam
masa transisi yang menjadi terobosan besar dalam refomasi
politik di Indonesia dan memberikan perubahan drastis
dalam sistem politik Indonesia adalah revisi terhadap paket
Undang- Undang di bidang politik. Undang-Undang
perpolitikan yang dianggap tidak mencerminkan dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi segara
diajukan untuk mengalami perubahan. Perubahan difokuskan
pada Undang-Undang Kepartaian, UU Keormasan, UU
Pemilihan Umum, UU Susunan dan Kedudukan DPR/MPR,
UU Referendum, UU Pemerintahan Daerah, serta UU
lainnya.
Revisi atas paket UU Politik ini memberi dampak
terhadap format politik Indonesia. Subtansi dari revisi itu
terletak pada dibukanya ruang bagi partisipasi politik publik
lebih luas. Secara tehnis aturan itu terkait dengan syarat-
yarat pendirian partai politik sebagai sarana artikulasi
kepentingan politik publik. Revitalitalisasi lembaga
perwakilan, baik pada aspek rekruitmen politik maupun
kinerja dan fungsi pengawasan. Harmonisasi hubungan antar
lembaga negara dengan meneguhkan prinsip pemisahan
kekuasaan. Dan, pengaturan mekanisme sirkulasi
kekuasaan periodik secara fair dan demokratis.
Dampak revisi paket UU politik ini tak hanya merubah
sistem politik saja, tetapi juga telah mendorong munculnya
gerakan disektor publik yang lazim berlangsung di negara-
negara demokrasi maju. Civil society tumbuh berkembang
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 179
seiring dengan arus kebebasan dan keterbukaan.
Keberadaan civil society ini mampu meningkatkan posisi
politik masyarakat dihadapan otoritas negara dan sekaligus
menjadi alternatif atas lemahnya pelembagaan politik
demokratis di tingkat negara. Dengan demikian, civil society
memiliki korelasi yang kuat dengan demokratisasi yang
hendak dilangsung di Indonesia.
Transisi politik di Indonesia tentunya tidak hanya
diarahkan pada perubahan prosedur-prosedur politik secara
formal, tetapi juga mensyaratkan tumbuh berkembangnya
budaya politik demokratis. Pada level prosedural, perubahan
politik telah secara bertahap berlangsung, akan tetapi
pada level subtantif praktek demokrasi belumlah
berlangsung secara sempurna dan efektif menjawab
berbagai persoalan
publik yang muncul. Demokratisasi haruslah mensinergikan
antara prosedur politik dan subtansi politik. Dengan
demikian, transisi politik di Indonesia dapat menciptakan
rezim politik yang demokratis serta mampu menjawab
berbagai persoalan publik lebih kongkrit.
Merujuk pada deskripsi diatas, pembangunan politik
yang terjadi pasca Orde Baru dapat dijelaskan dengan
pendekatan Lucian W Pye. Liberalisasi politik yang
memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya sistem
politik demokratis menggantikan sentralisme gaya Orde
Baru, merupakan operasionalisasi dari pembangunan politik
dalam kerangka membangun kehidupan politik yang
demokratis. Demokratisasi ini diasumsikan dapat menjadi
suatu landasan bagi terciptanya pembangunan nasional
yang lebih dapat
180 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
menjawab kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Meskipun demokratisasi telah menjadi paradigma baru
dalam pembangunan politik di Indonesia pasca Orde
Baru, sejumlah persoalan masih mengemuka sebagai
bagian dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam periode kepemimpinan pasca Soeharto, baik mulai
dari Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla, berbagai
persoalan pembangunan masih menjadi perhatian bagi
gerakan mahasiswa.
Pada masa Habibie, peran politik mahasiswa tetap
berlangsung secara dinamis. Dalam menghadapi Sidang
Istimewa MPR tahun 1999, mahasiswa terpecah dalam
dua kubu, mereka yang mendukung dan menolak SI MPR.
Menghadapi situasi itu, GMNI melihat bahwa penolakan
terhadap SI MPR merupakan bentuk konsistensi terhadap
tujuan politik membersihkan Orde Baru dan kroninya.
SI MPR disinyalir akan menjadi sarana bagi Orde Baru
untuk tetap mendudukan orang-orangnya dan kembali
menanamkan pengaruh kekuasaan. Oleh karenanya, SI
MPR mendapatkan resistensi dari kalangan mahasiswa.
Sementara itu, bagi kelompok pendukung SI MPR, melihat
bahwa SI MPR merupakan jalan konstitusional untuk
peralihan kekuasaan secara damai. SI MPR diyakini menjadi
pilihan politik yang paling tidak beresiko dan kecil potensi
konfliknya dibandingkan alternatif lainnya. Dalam konteks
SI MPR, HMI mengambil posisi politik mendukung SI MPR.
Pro kontra terhadap SI MPR ini dapat dipahami disatu sisi
situasi
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 181
politik pasca mundurnya Soeharto memang sarat dengan
ketidakpastian sebagai ciri intrinsik situasi transisi politik
pasca rezim otoritarian. Disisi lain, fragmentasi elit potensial
mempengaruhi struktur gerakan politik mahasiswa.
Situasi politik lainnya yang mendinamisir mahasiswa
adalah sinyalemen adanya upaya resentralisasi dan
pendekatan keamanan melalui Rancangan Undang-
Undang Penanggulangan Keamanan dan Bahaya (RUU
PKB). Mahasiswa mengkhawatirkan bahwa RUU PKB dapat
menjadi legitimasi konstitusional bagi tentara untuk kembali
meraih kursi kekuasaan. Hal ini muncul sebagai reaksi atas
sejumlah pasal dalam RUU PKB yang memberikan ruang
interpretasi bagi pimpinan TNI untuk menafsirkan keadaan
yang dianggap membahayakan negara tanpa melalui
konsultasi politik dengan otoritas sipil. Selain itu, atas nama
keamanan tentara memiliki kewenangan yang terlalu jauh
menjangkau pada kegiatan-kegiatan politik masyarakat sipil
diluar konteks tindakan militer yang dapat dikategorikan
sebagai upaya subversif. Poin-poin inilah yang menjadi
pemicu persoalan krusial mengingat trauma dimasa lalu
dan dorongan yang kuat untuk membangun suatu tatanan
masyarakat dan pemerintahan yang lebih demokratis.
Kritisisme gerakan mahasiswa juga terjadi pada masa
pemerintahan Gus Dur. Mereka melihat bahwa pemerintahan
Gus Dur tidak bersih dari praktek KKN. Kasus Bruneigate
yang mencuat membuat Gus Dur harus berhadapan dengan
kenyataan politik berhadapan dengan impeachment dalam
sidang Istimewa yang akhirnya membuatnya terjatuh dari
kursi
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 183
persoalan yang timbul akibat dampak kenaikan BBM dunia.
Mereka melihat bahwa persoalan efektifitas pemberantasan
korupsi kasus BLBI, pencegahan illegal loging maupun illegal
fishing, revisi kontrak karya dengan sharing revenue yang
lebih berpihak kepada kepentingan nasional belum menjadi
opsi yang diseriusi oleh pemerintah.
Deskripsi diatas menunjukan bahwa organisasi GMNI
dan HMI senantiasa mencoba mempertahankan prinsip-
prinsip independensinya dihadapan kekuasaan dan keluar
dari dilema relasi antara mereka dengan alumninya. Sebagai
organisasi formal, HMI dan GMNI memiliki aturan yang tegas
mengenai independensi organisasi yang harus
diterjemahkan dalam berbagai praktek politik organisasi.
Berbagai sikap kritis terhadap kebijakan kekuasaan
merupakan bentuk dari peneguhan bahwa organisasi ini
membangun relasi kritis terhadap kekuasaan. Upaya menjaga
jarak guna mempertahankan independensi juga dilakukan
dengan alumninnya. Penolakan GMNI terhadap keberadaan
organisasi alumni pada tahun 1994 membuktikan bahwa ada
semangat kuat untuk menjaga independensi. Begitu halnya
dengan HMI, dimana antara HMI dan KAHMI tidak memiliki
relasi formal subordinat yang dapat menempatkan HMI
dalam kendali politik KAHMI. Antara GMNI dan HMI dengan
institusi alumni memang memiliki relasi historis dan ideologis
yang erat, namun demikian ini tidak dapat diartikan bahwa
secara organisatoris HMI dan GMNI tunduk pada kebijakan-
kebijakan institusi alumni masing-masing.
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 185
1. Training Ground dan Sumber Rekruitment Politik
Kekuasaan
Sejarah telah membuktikan bahwa organisasi-
organisasi pemuda memiliki peran dan kontribusi yang
penting dalam perubahan sosial. Lahirnya Budi Utomo
menjadi tonggak munculnya kesadaran dikalangan muda
terdidik tentang arti pentingnya suatu organisasi sebagai
intrumen dalam perjuangan kebangsaan. Tanpa organisasi
maka mahasiswa hanya akan menjadi kerumunan
masyarakat yang sangat mudah dipatahkan perjuangan
dalam menghadapi rezim yang sentralistik maupun dalam
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.
Kaderisasi merupakan salah satu agenda penting yang
dilakukan oleh OKP untuk meningkatkan kualifikasi dan
kompetensi yang dimiliki oleh anggotanya. Hal yang hendak
dicapai dalam kaderisasi ini adalah: Pertama, aspek kognitif,
dimana terjadinya tranformasi nilai-nilai yang menjadi
platform perjuangan organisasi. Kedua, psikomotorik dimana
anggota organisasi memiliki kemampuan tindakan-tindakan
praktis dalam menjalankan program-program organisasi, dan
Ketiga, aspek sosial, bahwa kaderisasi menjadi momentum
untuk berinteraksi dengan komunitas internal maupun
eksternal organisasi.
Dalam konteks kaderisasi, HMI merupakan organisasi
yang memiliki sistem kaderisasi anggota yang mapan,
baik dalam aspek kurikulum maupun metode yang
digunakan. Terdapat tiga hal penting yang membuat HMI
menjadi organisasi yang penting dan diperhitungkan,
yakni;
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 187
secara menyeluruh dalam menghadirkan kekhalifahan
menjadi rahmat bagi lingkungannya.
Dalam hal ini maka tujuan kaderisasi HMI dimaksudkan
pada suatu upaya untuk menciptakan insan berkualitas
dengan kriteria sebagai berikut; Pertama, insan akademis
(berpendidikan tinggi, mampu berpikir kritis, dan rasional),
Kedua, insan pencipta, kader HMI dituntut agar mampu
melahirkan gagasan-gagasan dan kreativitas serta dapat
menerjemahkan ajaran Islam secara kontekstual dalam
semangat ke-Indonesiaan. Ketiga, sebagai insan pengabdi,
kader HMI harus mampu berkarya yang berguna bagi
kepentingan umat, bangsa dan negara, keempat, insan yang
bernafaskan Islam, yaitu berpedoman pada al-Quran dan al-
Hadis. Dalam upaya mencapai hal tersebut maka HMI tidak
hanya menyusun kurikulum kaderisasi yang bersumber dari
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) tetapi juga menyelenggarakan
kaderisasi berjenjang sebagaimana disebutkan diatas.
Melalui sistem kaderisasi itulah HMI meneguhkan posisinya
sebagai gerakan pembaharu yang menjadikan Islam sebagai
spirit perjuangan politiknya.3
Bagi kader-kader HMI, tujuan HMI yang telah
ditanamkan sejak menjadi anggota merupakan panduan
dalam menjalankan peran sosialnya dalam segala sektor
kehidupan. Hal ini tidak hanya mengikat bagi kader HMI
yang masih aktif tercatat sebagai anggota, tetapi juga bagi
mereka yang telah menjadi alumni atau purna anggota.
3 Nanang Tahqiq, Bye Bye HMI, dalam HMI Beban Sejarah Bagi Kadernya?,
Wahyuni Nafis dan Rifki Mochtar (ed), Fosal PB HMI, 2002, hal 77.
4 Harry Azhar Azis dalam Makalah Orasi Ilmiah Pelantikan PB HMI Periode
2003 – 2005, Membangun Kembali Keadilan dan Kesejahteraan, Jakarta,
12 November 2003.
5 Buku Panduan Organisasi Presidium GMNI, Op. Cit, hal 6.
6 Lihat Silabus Kaderisasi GMNI, Komite Kaderisasi Presidim GMNI,
Jakarta, 2005.
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 189
sekaligus menunjukan beban kewajiban kaderisasi yang harus
dilaksanakan setiap jenjang kepengurusan. Selain kaderisasi
berjenjang, GMNI juga memiliki sistem kaderisasi dengan
menggunakan model mentor dimana setiap anggota senior
menjalankan fungsi membimbing junior-junior dibawahnya
hingga dapat mengikuti jenjang kaderisasi selanjutnya.
Model ini biasanya berjalan lebih intens dan berkontribusi
terhadap penciptaan solidaritas yang kuat diantara anggota
mengingat intensitas interaksi yang lebih kerap.
Dalam proses kaderisasinya, baik GMNI maupun HMI
tidak hanya menjalankan kaderisasi yang bersifat formal.
Kegiatan-kegiatan organisasi diluar sistem kaderisasi ber-
jenjang juga merupakan bagian dari strategi yang ditempuh
untuk meningkatkan kualifikasi yang dimiliki oleh anggota.
Kegiatan yang dimaksud tidak hanya pada kegiatan berupa
program kerja formal organisasi, tetapi termasuk didalam-
nya adalah interaksi sosial yang terjadi baik didalam maupun
diluar organisasi. Kegiatan diskusi yang diselenggarakan
baik yang bersifat berkala maupun acak menjadi momen-
tum tersendiri yang penting dan mematangkan kemam-
puan analisis maupun pengetahuan politik para anggotanya
dalam melihat dan sekaligus merumuskan gagasan-gagasan
alternative terhadap berbagai tren maupun persoalan yang
sedang berkembang. Kegiatan inilah yang kemudian dimak-
nai sebagai kaderisasi informal atau swadidik.
Sebagai organisasi kader yang menjalankan kegiatan
kaderisasi, baik secara formal maupun non-formal dalam
setiap jenjang kepengurusan maupun dalam lembaga-
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 191
masyarakat nantinya”.
Deskripsi diatas menjelaskan bahwa memasuki dunia
organisasi kemahasiswaan, baik GMNI maupun HMI, berarti
memasuki suatu wilayah baru yang memberikan pendidikan
alternatif yang jauh berbeda dengan pengalaman akademis
sebagai mahasiswa. OKP dengan sistem kaderisasi serta
berbagai kegiatannya merupakan training ground bagi para
mahasiswa anggotanya untuk melatih dan mengembangkan
kemampuan dirinya.
Dalam perkembangannya, kader-kader organisasi
ini merupakan sumber daya potensial bagi kebutuhan
rekruitmen politik. Kader-kader dengan kemampuan yang
lebih inilah yang pada akhirnya memiliki kemampuan untuk
melakukan mobilitas struktural dalam struktur kekuasaan
negara. mengenai hal ini sejarah politik Indonesia telah
membuktikan bahwa para pimpinan dan kader organisasi
mahasiswa seperti tokoh-tokoh HMI, GMNI, dan OKP lainnya
yang menduduki pos-pos strategis dalam struktur kekuasaan
negara. Hal itu sesuai dengan pendapat Almond dimana
setiap sistem politik memiliki prosedur untuk melakukan
seleksi politik untuk menghasilkan orang-orang yang akan
menempati jabatan administratif dan jabatan politik. Orang-
orang itu adalah mereka yang memiliki kualifikasi dan
kompetensi baik karena pendidikan, pengalaman maupun
kemampuan dalam membangun akses terhadap kekuasaan.
Mengenai kedudukan GMNI sebagai sumber rekruitmen
politik ini dijelaskan oleh Willem Tutuarima bahwa saat PNI
dan Bung Karno berkuasa, GMNI merupakan sumber utama
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 193
merupakan salah satu sumber penting bagi proses
rekruitmen politik untuk mengisi maupun membentuk struktur
kekuasaan. GMNI maupun HMI merupakan organisasi yang
menciptakan lapisan baru berupa kelas menengah terdidik
dalam struktur sosial masyarakat. Pengalaman dan
kemampuan yang diperoleh baik dalam proses kaderisasi
formal maupun berbagai kegiatan organisasi membuat
mereka memiliki sumber daya atau kualifikasi yang lebih
dibandingkan kelompok lainnya. Lapis sosial baru berupa
kelompok menengah terdidik ini merupakan sumber
rekruitmen politik potensial dan diperlukan sebagai sumber
daya kekuasaan, baik dalam birokrasi pemerintahan, partai
politik maupun sektor publik lainnya. Mereka memiliki
kemampuan untuk melakukan mobilitas struktural baik
melalui kompetisi atau
seleksi maupun dengan memanfaatkan relasi patronase atau
jaringan yang dimiliki oleh organisasi asalnya.
Posisi sebagai sumber daya bagi rekruitmen politik
potensial inilah yang menjelaskan mengapa sebagian
besar elite politik di Republik ini merupakan mantan aktivis
organisasi mahasiswa. Mereka yang telah menjadi alumni ini
kemudian banyak mengisi struktur kekuasaan negara dan
berkecimpung dalam berbagai profesi dan sektor kehidupan.
Hal itu dapat dilihat dengan keberadaan tokoh-tokoh alumni
GMNI maupun HMI yang tersebar dan memegang posisi-
posisi strategi dalam berbagai lini kehidupan.
Di lembaga legislatif sejumlah nama merupakan kader-
kader HMI dan GMNI, dari GMNI seperti Bambang Wuryanto
(Sekretaris Fraksi PDIP DPR RI), Aria Bima (FPDIP), Theo L
7 Naskah Pidato Akbar Tandjung dalam Dies Natalis HMI ke-61Di Graha
Insan Cita, Depok, 17 Februari 2008.
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 197
karena itu, kepentingan GMNI terhadap kekuasaan adalah
dilandasi oleh kesadaran bahwa kekuasaan hanyalah
sekedar alat bagi perjuangan politik untuk mewujudkan
kepentingan rakyat. Hal serupa disampaikan oleh
Hasanuddin yang melihat bahwa dalam setiap periode
kekuasaan kader-kader HMI selalu mampu mengambil
peran. Hal ini bukti dari posisi strategis HMI sekaligus
kemampuan HMI dalam membangun komunikasi dengan
siapapun yang berkuasa selama berjalan sesuai dengan
amanat rakyat.
Selain itu, tersebarnya potensi alumni organisasi ini
membuat baik GMNI maupun HMI memiliki kemampuan
untuk meningkatkan peran dan partisipasi politiknya, seperti
melakukan loby-loby dalam kerangka mempengaruhi
kebijakan negara. Melalui jaringan yang dimilikinya, mereka
dapat melakukan komunikasi dengan para alumninya yang
berada dalam struktur kekuasaan negara guna mengkontrol
kinerja kekuasaan yang dianggap menyimpang, termasuk
memanfaatkan untuk kepentingan mobilitas struktural
menuju kursi kekuasaan pasca aktifitas formal mereka sebagai
anggota aktif.
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 199
maupun GMNI yang tidak hanya mencerminkan kepentingan
internalnya sebagai mahasiswa. Isu-isu sosial politik menjadi
concern mereka dalam kerangka mengawasi kinerja
kekuasaan. Agenda-agenda reformasi seperti
pemberantasan KKN, penegakan hukum, reformasi birokrasi,
penghargaan terhadap HAM, dan isu kesejahteraan
merupakan bukti bahwa HMI dan GMNI menjalankan
tanggungjawab sosial terhadap masyarakat.
HMI dan GMNI juga dapat dimaknai sebagai suatu
entitas sosial yang dapat menjembatani antara masyarakat
umum dan negara. Peran mediasi antara kepentingan
negara dan masyarakat ini tercermin dari berbagai kebijakan
dan isu yang diangkat. Salah satu persoalan aktual yang
menjadi perhatian dari kedua ormas ini adalah mengenai
pencabutan
subsidi BBM yang mengakibatkan kenaikan harga BBM
akibat kebijakan yang ditempuh SBY-JK. Dalam instruksi
nasionalnya, Presidium GMNI telah menyerukan sikap
penolakannya terhadap kenaikan BBM.8 Langkah serupa
juga dilakukan oleh PB HMI yang secara tegas menolak
kenaikan BBM.9 Pertimbangan-pertimbangan kebijakan ini
lebih condong pada aspek society yang menerima dampak
dari kebijakan, dibanding state sebagai pembuat kebijakan.
Sikap ini menunjukan bahwa ada mediasi yang dilakukan
oleh organisasi ini antara kepentingan rakyat disatu sisi yang
jelas akan menerima dampak yang lebih berat akibat
kenaikan
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 201
untuk ditemukan banyaknya tokoh-tokoh HMI yang bergiat
disektor publik, terutama lembaga-lembaga non pemerintah
seperti PBHI, YLBHI, Kontras maupun lainnya.
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 205
perwakilan kepentingan. Peran sebagai saluran politik
alternatif bagi masyarakat ini telah dijalankan oleh GMNI dan
HMI jauh sebelum reformasi dan masih berlangsung saat ini.
Lemahnya fungsi lembaga-lembaga politik formal, termasuk
partai politik dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat
ini membuat organisasi-organisasi diluar negara dan parpol
memiliki kedudukan strategis.
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 207
kesenjangan antara realitas dan cita-cita politik. Bagi kader
HMI yang telah memasuki struktur kekuasaan, mereka harus
menerima kenyataan politik yang terkadang bertentangan
dengan keyakinan politiknya. Namun demikian, mereka
harus tetap bisa menyesuaikan dengan keadaan itu. Oleh
karenanya, organisasi formal HMI tetap diharapkan dapat
menjadi kekuatan kritis yang selalu mengawasi jalannya
kekuasaan hingga tidak menyimpang. HMI akan selalu
mengawasi kekuasaan, karena kekuasaan selalu berpotensi
menyimpang.
Hal yang krusial menurutnya saat ini adalah ketidak-
mampuan pemerintahan dalam mengambil keputusan poli-
tik yang sesuai dengan kepentingan rakyat. Kenaikan BBM
meski jika ditilik dari tren naiknya harga minyak dunia
menjadi
hal yang sulit dihindarkan, tetapi hal yang tampak pemerin-
tah sepertinya lebih akomodatif terhadap kepentingan para
pemodal disektor energi dibandingkan kepentingan rakyat.
Oleh karenanya, HMI dalam menyikapi kenaikan BBM telah
menegaskan posisinya yakni menolak kenaikan BBM.
Secara nasional, PB HMI telah mengeluarkan kebijakan
penolakan kenaikan BBM dan menyerukan kepada seluruh
cabangnya untuk melakukan aksi protes diseluruh tanah air.
Aksi protes ini merupakan bentuk tekanan politik terhadap
kekuasaan dengan tujuan dapat mempengaruhi, bahkan
merubah ke- bijakan.
Fungsi GMNI sebagai kelompok penekan ini juga
tercermin dalam kebijakan menentang kenaikan BBM.
GMNI beranggapan bahwa rezim SBY tidak memiliki blue
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 209
politik maupun audensi yang dilakukan dalam kerangka
membicarakan kebijakan pemerintahan yang sedang
berlangsung.
Kedua, bahwa GMNI maupun HMI berupaya
mempengaruhi pendapat dan opini publik melalui kegiatan-
kegiatan yang bersifat demonstratif seperti halnya unjuk rasa
sehingga dapat tergalang kesadaran dan kekuatan kolektif
yang lebih besar di kalangan masyarakat luas. Strategi ini
dilakukan dengan harapan bahwa isu-isu yang diangkat
dapat menjadi pembicaraan dan perhatian khalayak
sehingga pada akhirnya akan terkonsolidasi kekuatan yang
lebih besar yang akan diperhitungkan oleh rezim.
Posisi GMNI dan HMI sebagai kelompok penekan
ini dimana disatu sisi memperjuangkan kepentingan-
kepentingan domestiknya, tetapi disisi lain juga
memperjuangkan kepentingan-kepentingan publik ini dapat
pula dimaknai dalam pendekatan Almond sebagai kelompok
assosiasional (associational groups). Kelompok ini
memainkan peranan penting dalam masyarakat demokratis
dimana mendorong masyarakat untuk merumuskan
kepentingannya, memasok informasi bagi publik mengenai
perkembangan- perkembangan politik, serta
mengartikulasikan kepentingan masyarakat secara jelas dan
tepat jika dibandingkan dengan partai politik melalui
pemilihan umum.
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 213
dalam marhaenisme menjadi lebih operasional dan dapat
menjadi gagasan alternatif ditengah menguatnya liberalisme
kapitalisme. Jika konsolidasi organisasi dan ideologis ini
dapat dicapai oleh GMNI maka kedepan tentunya GMNI
dapat menjalankan fungsi-fungsi sosial politiknya sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia dengan lebih maksimal
dan sesuai dengan keyakinan politiknya.
PENUTUP
PENUTUP 217
dimaksudkan untuk mempengaruhi kekuasaan bagi
bagi kepentingan domestiknya maupun dalam konteks
sebagai penyambung kepentingan publik.
b. Baik HMI maupun GMNI dapat dimaknai sebagai bagian
dari civil society. Mereka merupakan suatu komunitas
sosial yang terdiri dari mahasiswa sebagai bagian dari
masyarakat luas yang bertindak secara kolektif dalam
lingkungan publik untuk mengekspresikan kepentingan-
kepentingannya, keinginan dan pemikiran-pemikiran,
pertukaran informasi, mencapai tujuan bersama,
membuat tuntutan kepada negara, dan mengawasi
tanggung jawab pejabat negara. Keberadaan HMI dan
GMNI juga tidak tergantung terhadap support yang
diberikan negara. Organisasi ini relatif independen
dan menggunakan sumber daya internalnya untuk
menopang kegiatan-kegiatan organisasinya. Sebagai
bagian dari entitas sosial yang luas, kedua ormas ini
tidak hanya bergerak dalam lingkup kepentingan
domestiknya, tetapi juga banyak mengangkat isu-isu
publik. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan
politik baik HMI maupun GMNI yang tidak hanya
mencerminkan kepentingan internalnya sebagai
mahasiswa.
PENUTUP 219
adalah dengan menciptakan saluran-saluran lain dari partai
politik untuk artikulasi, pengumpulan dan perwakilan
kepentingan. Fungsi ini sangat penting untuk memberikan
kesempatan bagi kelompok-kelompok yang secara tradisi
tidak dibolehkan-seperti kelompok perempuan dan ras
atau etnis minoritas-untuk masuk ke dalam kekuasaan
“lembaga eselon tertinggi” dari politik formal.
Sebagai kelompok penekan (pressure group), GMNI
maupun HMI tidak memiliki orientasi secara langsung
untuk menduduki kursi kekuasaan dan menempatkan
perwakilannya dalam lembaga-lembaga politik seperti
halnya yang dilakukan oleh partai politik. Tujuan utama dari
perannya sebagai kelompok penekan adalah mempengaruhi
kebijakan negara. Menilik dari gerakan politik yang dilakukan
oleh kedua organisasi ini, maka dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pertama, tekanan politik diarahkan secara langsung
pada pejabat pembuat kebijakan. Tekanan politik ini
dilangsungkan melalui loby-loby politik baik melalui kontak
politik dalam jaringan alumninya maupun secara langsung
berkomunikasi dengan aktor-aktor pembuat kebijakan
negara. Tekanan seperti ini dapat dilihat dari pertemuan
politik maupun audensi yang dilakukan dalam kerangka
membicarakan kebijakan pemerintahan yang sedang
berlangsung.
Kedua, bahwa GMNI maupun HMI berupaya
mempengaruhi pendapat dan opini publik melalui
kegiatan- kegiatan yang bersifat demonstratif seperti halnya
unjuk rasa
PENUTUP 221
222 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
f
Daftar Pustaka
Wawancara
Wawancara Arif Mustopha, Ketua PB HMI, periode 2008–
2010, di Jakarta, 4 Juni 2008
Wawancara Bursah Zarnubi, Pengurus Cabang HMI Jakarta,
Mantan Ketua Humanika, di Jakarta, 27 April 2008
Internet
http://www.bangakbar.com, diakses tanggal 11 Mei 2008
http://www.blogger.com/profile/152255955, diakses tanggal
20 April 2008
http://www.pbhmi.com/profile_isi.php?news_id=44, diakses
tanggal 8 april 2011,
http://www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 15 Mei
2009
http://www.ummat.co.id/218nas2.htm, diakses tanggal 6
mei 2010