Anda di halaman 1dari 277

GMNI dan HMI

dalam Politik Kekuasaan


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak untuk melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana
dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Syamsuddin
Radjab Ade Reza
Hariyadi

GMNI dan HMI


dalam Politik Kekuasaan
GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
© Syamsuddin Radjab dan Ade Reza Hariyadi
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved

Cetakan I, Januari 2014

Koreksi Typos : Asriyah


Tata Letak : Rizal Zakaria
Desain Sampul : Ujang
Prayana Pra-cetak : Zuprianto
Ukuran : 14,8 x 21 cm
Halaman : xiv+236
ISBN : 978-602-1379-06-6

Diterbitkan oleh :
PENERBIT NAGAMEDIA
PT. NAGAKUSUMA MEDIA KREATIF
Anggota IKAPI No.469/DKI/XI/2013
Menara Cawang Lantai Dasar Blok A No.1
Jl. SMA 14 Cawang Kramat Jati Jakarta Timur 13630
Telepon: +62-21-36501501
E-Mail: penerbit@nagamedia.co.id
Website: www.nagamedia.co.id
Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD)

Syamsuddin Radjab dan Ade Reza Hariyadi,


GMNI DAN HMI DALAM POLITIK KEKUASAAN/Syamsuddin Radjab dan Ade Reza
Hariyadi
—Jakarta: PT. Nagakusuma Media Kreatif, 2014.
250 hlm.; 21 cm
Bibliografi: hlm. 223.
ISBN : 978-602-1379-06-6

1. Sosial I. Judul
f
Kata Pengantar

A
lhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan
sekalian alam yang telah melimpahkan rahmat
kesehatan dan anugerah kemampuan berfikir kepada
umat manusia sehingga dapat melangsungkan hidup dan
membuat peradaban dunia. Demikian pula, sholawat dan
taslim kepada Nabi Muhammad SAW beserta para Nabi
lainnya atas bimbingan, tauladan sehingga menjadi panutan
bagi umat manusia dan rahmat bagi seluruh sekalian alam.
Buku yang ada ditangan pembaca saat ini merupakan
riset mini dari pergumulan dan pergaulan dua aktivis
berbeda organisasi yang di gelutinya. Ollenk merupakan
Pengurus Besar HMI Periode 2003-2005 sementara Reza
Presidium GMNI Periode 2002-2005. Secara kebetulan,
keduanya indekos dalam satu rumah kontrakan di kawasan
Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Karena masing-masing
sebagai pengurus teras organisasi mahasiswa kader (HMI
dan GMNI), keduanya terlibat intens dalam pelbagai diskusi
baik yang diadakan oleh GMNI maupun HMI.
Kontrakan rumah dikawasan Salemba tersebut dihuni
sebagian besar aktivis mahasiswa, terutama HMI, GMNI
dan PMII. Setiap hari, siang dan malam penghuni kontrakan
selalu ramai dan tak pernah sepi. Kadang teman dari
organisasi pun datang berkunjung sekedar minum kopi atau
urusan keorganisasian lainnya. Disamping sebagai pengurus
organisasi ekstra kampus, semua penghuni pondokan juga
sedang menempuh pendidikan strata dua (S2) bahkan ada
yang sedang studi Doktoral.
GMNI dan HMI merupakan organisasi kader.
Organisasi mahasiswa ini telah melahirkan ribuan kader
masing- masing dan berkiprah dipelbagai medan
pengabdian. Ada di bidang politik, pemerintahan, pelaku
ekonomi (pengusaha),
akademisi, pengacara dan bahkan guru ngaji. Partisipasi
kader GMNI dan HMI dalam pengabdiannya terhadap
bangsa dan negara hampir seusia dengan lahirnya negara
Indonesia sendiri. Para kader ditempah dengan pendidikan
dan pelatihan sejak masa mahasiswa hingga ke jenjang
magister di perguruan tinggi. Dari struktur paling bawah
hingga struktur tertinggi dalam kepengurusan.
Penguatan intelektual didapatkan saat pendidikan
dan pelatihan di organisasi masing-masing (GMNI dan
HMI) melalui silabus dan tingkatan pelatihan kader
dengan beragam materi pelatihan. Dari materi ideologi,
kemasyarakatan, kemanusiaan, kepemimpinan, geopolitik
dan ekonomi hingga materi ketuhanan menjadi bagian
tak terpisahkan untuk mempersiapkan pemimpin masa

viii GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


depan umat, bangsa dan negara. Pemimpin tak lahir karena
kebetulan, ia dibentuk, dilatih dan dibina agar tangguh
menghadapi tantangan masa depan. Pemimpin instan tanpa
melalui tempahan panjang akan mudah menyerah, lemah
dan takut menghadapi resiko.
Karenanya, pemimpin harus disiapkan dan diciptakan
dengan menempuh penjenjangan dan pelatihan panjang.
GMNI dan HMI memiliki pedoman perkaderan masing-
masing yang diracik dari pikiran mendalam sesuai dengan
tujuan organisasi dan dipengaruhi latar belakang lahirnya
organisasi. HMI dilahirkan sangat dipengaruhi oleh
kondisi keummatan (Islam), kondisi kebangsaan, kondisi ke-
Indonesiaan dan kondisi kemahasiswaan pada tahun 1947,
demikian pula dengan kelahiran GMNI yang tak
bisa dilepaskan dari kondisi kerakyatan, kebangsaan dan
ke-Indonesiaan dengan semangat Marhaenis yang sangat
membara. Membela kelompok kecil dan masyarakat
terpinggirkan agar sederajat dengan manusia lainnya.
Boleh dikatakan, GMNI dan HMI merupakan
kontributor utama pemimpin nasional Indonesia, sekarang
dan masa akan datang. Kiprah kader dan alumninya tersebar
dipelbagai tempat, baik di bidang kekuasaan eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Sejarah Indonesia telah dikawal
dan dilayani oleh kader-kader terbaik HMI dan GMNI,
bersatu padu untuk wujudkan Indonesia yang adil, makmur
dan sejahtera sesuai cita-cita Proklamasi dan UUD 1945.
Perjuangan merebut kemerdekaan, mempertahankan dan
mengisi kemerdekaan Negara ini telah mengiringi dan

Kata Pengantar ix
menyatu dengan cita-cita HMI dan GMNI sebagai organisasi
kader. Kader umat, kader bangsa dan kader negara untuk
Indonesia satu, maju dan bermartabat.
Buku ini, tidak hanya mengulas kader-kader HMI
dan GMNI dalam pusaran politik kekuasaan, tetapi juga
memberi gambaran bagaimana kader dan calon pemimpin
nasional itu diciptakan dan dibina. Hubungan kader, alumni
dan organisasinya, bukanlah hubungan layang-layang;
dibuat, dinaikkan lalu putus seiring angin kencang. Dalam
organisasi kader hubungan individu sangat kuat dengan
semangat persaudaraan yang ditempah dalam wadah
yang sama. Senior betanggung jawab membina yunior,
alumni perhatian terhadap organisasinya dan organisasi
mendistribusikan kadernya ke medan laga pengabdian.
Ia ibarat tubuh manusia, jika kaki kesandung maka semua
merasakan sakitnya, dibangun atas dasar cita-cita yang
tinggi dan dasar ideologi yang kuat. Semuanya bermuara
pada perwujudan cita-cita Negara Indonesia.
Akhirnya, kepada para pembaca budiman, semoga
buku ini membawa manfaat bagi kita semua. Tegur sapa dan
kritik membangun selalu terbuka bagi kami untuk perbaikan
dimasa mendatang.

Jakarta, Januari 2014


Penulis,

Syamsuddin Radjab
Ade Reza Hariyadi

x GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


f
Daftar Isi

Kata Pengantar............................................................................vii
Daftar Isi.................................................................................... xi

BAB 1
PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................1
B. Kerangka Teori.......................................................................24
1. Teori Pembangunan.........................................................24
2. Teori Partisipasi Politik....................................................30
3. Teori Kelompok Penekan (Pressure Group)................37
4. Teori Civil Society.............................................................41
C. Metodelogi..........................................................................46

BAB 2
GERAKAN MAHASISWA DALAM LINTASAN
SEJARAH POLITIK NASIONAL...............................................49
A. Angkatan Pra Kemerdekaan: Merumuskan
Kesadaran Kebangsaan Melawan Imperialisme..............50
1. Budi Utomo 1908: Bangkitnya Kesadaran
Kebangsaan Bumiputera.................................................51
2. Sumpah Pemuda 1928: Peneguhan
Komitmen Kebangsaan...................................................61
3. Angkatan 1945: Revolusi Kemerdekaan......................69

B. Pasca Kemerdekaan: Dari Politik Aliran


Menuju Stabilitas Politik.......................................................75
1. Percobaan Demokrasi: 1950–1957...............................75
2. Politik Aliran dan Demokrasi Terpimpin.......................82
3. Stabilitas Politik dan Pembangunanisme
Orde Baru...................................................................... 90

BAB 3
Dinamika Politik HMI dan GMNI di Bawah Hegemoni
Kekuasaan Order Baru..............................................................97
A. Mahasiswa dan Pengorganisasian Politik..........................97
1. HMI: Pembaharuan Islam dalam
Pusaran Politik Aliran.......................................................98
2. GMNI: Nasionalis Soekarnois Di Tengah
Politik Kepartaian...........................................................107
B. HMI dan GMNI di Bawah Kekuasaan
Hegemonik Orde Baru....................................................121
1. Politik Akomodasi Sebagai Strategi
Penataan Politik..............................................................126
2. Kooptasi Negara di Sektor Kepemudaan..................145

xii GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


BAB 4
Peran Politik HMI dan GMNI di Pentas Politik
Nasional Pasca Order Baru....................................................171
A. Reformasi dan Perubahan Politik Pasca Orde Baru......171
B. HMI dan GMNI: Upaya Merumuskan Peran
Politik Kaum Muda..............................................................185
1. Training Ground dan Sumber Rekruitment
Politik Kekuasaan...........................................................186
2. Penguatan Civil society dan Demokratisasi..............198
3. Kelompok Penekan (Pressure group)
dan Kontrol Kinerja Kekuasaan...................................206
C. Revitalisasi Organisasi dalam Arus Perubahan..............211

BAB 5
PENUTUP..................................................................................215

Daftar Pustaka..........................................................................223
Tentang Penulis........................................................................233

Dafiar Isi xiii


xiv GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
Bab 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah politik modern telah mencatat peran strategis


dari angkatan muda dalam transformasi sosial dan politik.
Pengalaman diberbagai negara berkembang memperlihatkan
bahwa angkatan muda memiliki kontribusi penting dalam
kelangsungan suatu rezim politik yang sedang berkuasa.
Begitu halnya yang berlangsung di Indonesia, keterlibatan
angkatan muda dalam transformasi sosial dan politik ini telah
berjalan sepanjang sejarah politik Indonesia modern.
Sejarah telah memberi peneguhan atas berbagai
peristiwa dan perubahan sosial monumental yang selalu
digelorakan oleh angkatan muda.1 Tercapainya kemerdekaan

1 Banyak tulisan yang mengupas tentang peran angkatan muda dalam


perubahan sosial. Lihat, Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik
Indonesia; Pilihan Artikel Prisma. (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 109-174.
Lihat juga, Subagio Reksodipuro, Peranan Pemuda dan Pergerakan
Pemuda dalam Perjuangan Nasional, Bunga Rampai Soempah Pemoeda,
PN Balai Pustaka, Jakarta 1978, hal 407-411.
tidak membuat angkatan muda surut dari peran dan aktivitas
politiknya. Hanya saja persoalan yang menjadi tema
dari aktivitasnya juga mengalami perubahan. Romantika
perjuangan generasi muda beralih dari perjuangan
mengangkat senjata kepada bentuk perjuangan bagaimana
mengisi arti kemerdekaan2. Pemikiran-pemikiran dalam
melestarikan cita-cita perjuangan yaitu Sumpah Pemuda
1928, Proklamasi 1945, Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila. Angkatan muda paska kemerdekaan dihadapkan
pada isu dan persoalan yang biasanya terkait dengan
pembangunan nasional sebagai negara bangsa yang baru
merdeka.
Perkembangan pendidikan memberikan andil
tersendiri bagi perkembangan peran politik angkatan
muda paska kemerdekaan. Bahkan, hal itu telah terlihat
jauh sebelum merdeka, dimana kesadaran kebangsaan
dan pengorganisasian gerakan politik melawan kekuatan
kolonial banyak diawali oleh para tokoh pemuda terdidik
atau berstatus mahasiswa. Kesempatan mengenyam
pendidikan hingga jenjang tertinggi melahirkan suatu
lapisan elit tersendiri dikalangan angkatan muda. Mereka
yang berstatus mahasiswa biasanya menjadi kelompok
berpengaruh dan tampil sebagai pemimpin gerakan.
Pendidikan tinggi membuat mereka memiliki kemampuan
dalam menafsirkan berbagai problematika sosial yang
melingkupinya, dan sekaligus merumuskan peran politiknya.

2 Yozar Anwar, Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20; Kisah Perjuangan


Anak-Anak Muda Pemberani, (Jakarta: Sinar Harapan 1981), hal 241

2 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Mahasiswa kemudian menjadi semakin terpandang dan
memiliki kedudukan sosial yang penting dalam masyarakat
pada umumnya. Para mahasiswa pribumi ini mulai
menyadari noblesse oblige untuk memperjuangkan rakyat
mereka agar lepas dari ketertindasan.3
Peranan dan posisi strategis mahasiswa sebagai
lapisan elit dalam angkatan muda ini dipengaruhi oleh
sejumlah hal yakni:4 Pertama, sebagai kelompok masyarakat
yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa
mempunyai horizon yang luas diantara keseluruhan untuk
lebih mampu bergerak diantara pelapisan sosial masyarakat.
Pendidikan tinggi menjadi instrumen penting bagi mereka
untuk melakukan mobilitas sosial. Kedua, sebagai kelompok
masyarakat yang paling lama menduduki bangku pendidikan,
sehingga mengalami proses sosialiasi politik terpanjang di
antara angkatan muda. Meski keluarga merupakan agen
sosialisasi politik utama, namun peran bangku pendidikan
sepertinya lebih efektif dalam sosialiasi politik.
Nilai-nilai baru yang diperkenalkan dalam kurikulum
pendidikan telah terinternalisasi dan mempengaruhi persepsi
serta orientasi sosial politik mahasiswa. Ketiga, kehidupan
di kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan
mahasiswa. Proses akulturasi berlangsung lebih efektif
akibat intensitas interaksi dibandingkan dengan lembaga-

lembaga
3 Burhan D. Magenda, Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya dengan
Sistem Politik: Suatu Tinjauan, dalam Analisa Kekuatan Politik Indonesia,
(Jakarta : LP3ES, 1985), hlm. 130.
4 Lihat Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan
Politik dan Pembangunan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hal 79-
81.

PENDAHULUAN 3
sosial lainnya. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang
akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan,
struktur perekonomian dan prestisedalam
masyarakat, dengan sendirinya merupakan elite
dalam kalangan angkatan muda. Sebab, mahasiswa yang
merupakan jumlah terkecil dari angkatan muda pada
umumnya mempunyai latar belakang sosial ekonomi yang
lebih baik dibandingkan dengan lainnya. Peran politik
mahasiswa ini semakin menonjol seiring dengan
berdirinya organisasi-organisasi kemahasiswaan
yang merepresentasikan keragaman potensi sosial maupun
politik. Secara garis besar, organisasi mahasiswa yang
muncul dapat dikategorisasikan ke dalam dua kelompok
yakni, organisasi kemahasiswaan yang bersifat nasional dan
diikat oleh kecenderungan yang bersifat ideologis maupun
politis seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI), Central Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), serta organisasi yang lebih pada ikatan
sentimen primordialistik seperti Ikatan Mahasiswa Bandung
(IMABA), Ikatan Mahasiswa Jakarta (IMADA) dan sejumlah
lainnya.
Dinamika kepartaian pada tahun 1950-1960an
di masa kepemimpinan Soekarno telah meningkatkan
intensitas perpolitikan yang dimainkan oleh mahasiswa dan
berbagai organisasi yang ada. Bagi partai politik, ledakan
jumlah angkatan muda terdidik dan keberadaan organisasi

4 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


mahasiswa ini merupakan potensi strategis bagi kepentingan
mobilisasi politik. Sedangkan bagi mahasiswa, partai politik
merupakan sarana yang penting untuk melakukan mobilitas
sosial dalam struktur kekuasaan politik negara. Banyak di
antara organisasi mahasiswa ini didirikan dalam kepentingan
yang segaris dengan kepentingan politik kepartaian dari
sejak awalnya maupun yang kemudian mengintegrasikan diri
dalam perjalanannya.
Pola hubungan itu terlihat seperti dalam relasi antara
GMNI yang tidak dapat lepas dari pengaruh PNI, HMI dan
Masyumi, CGMI dengan PKI. Organisasi mahasiswa ini aktif
terlibat dalam kegiatan-kegiatan kepartaian seperti pawai,
rapat umum dan kursus-kursus politik. Artikulasi politik
organisasi mahasiswa pada masa itu banyak dipengaruhi
oleh orientasi dan kebijakan partai sebagai organisasi induk.
Mahasiswa terfragmentasi dalam berbagai organisasi yang
berbasis politik aliran dan larut dalam isu kekuasaan yang
diusung oleh partai-partai.
Eskalasi politik mahasiswa mengalami peningkatan
kembali menjelang jatuhnya kekuasaan Soekarno.
Demokrasi Terpimpin yang dipenuhi oleh ketegangan
antar faksi–faksi politik. Peristiwa 30 September 1965,
dimana PKI diduga mendalangi percobaan kudeta dan
berada dibalik operasi penculikan para petinggi Angkatan
Darat, telah menggoyah stabilitas sosial politik masa
demokrasi terpimpin. Situasi itu diperburuk pula oleh
keadaan perekonomian nasional yang semakin merosot
tajam akibat pertikaian politik. Kondisi nasional yang
demikian telah memicu munculnya gelombang

PENDAHULUAN 5
protes yang didalamnya melibatkan mahasiswa sebagai
kekuatan utama.
Mahasiswa mengalami polarisasi dalam kelompok-
kelompok yang potensial untuk terlibat dalam konflik.
Disatu sisi, muncul kelompok yang memang sejak semula
secara politik dan ideologis memiliki kedekatan dan
berada dibarisan pro Soekarno, sementara di sisi lain
kekacauan politik dan ekonomi saat itu juga memunculkan
ketidakpuasan dikalangan mahasiswa yang kemudian aktif
mendesak Soekarno untuk segera mengambil kebijakan
guna pemulihan keadaan.
Berbagai komite aksi didirikan untuk mengorganisir
mahasiswa dalam gerakan protes, seperti Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Mahasiswa Indonesia
(KAMI) yang bergerak dengan tuntutan yang dikenal
dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yakni pembubaran
PKI, retooling kabinet dan turunkan harga. Puncak dari
pergolakan politik dari peristiwa 1965 berakhir dengan
jatuhnya Soekarno dari kekuasaan dan berdirinya rezim
politik yang kemudian disebut sebagai Orde Baru di
bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.
Pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila secara murni
dan konsekuen menjadi tema dalam melakukan konsolidasi
politik pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Secara bertahap seluruh kekuatan politik dipersatukan dalam
satu payung bersama yakni pembangunanisme. Dalam
kehidupan kepartaian setelah Pemilu 1971, partai-partai
didorong untuk berfusi berdasarkan pengelompokan
nasionalis sekuler dan

6 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


agama. Angkatan Bersenjata memperoleh konsensi politik
lebih besar dalam birokrasi pemerintahan sipil, peran-peran
ekonomi, begitu pula para pentolan aktivis mahasiswa yang
kemudian diakomodir dalam jabatan-jabatan publik.
Strategi Orde Baru untuk mengakomodir para tokoh
mahasiswa dalam struktur kekuasaan politik tampaknya
efektif meredakan dinamika politik mahasiswa. Tanpa
mempersoalkan bentuk dan tingkat partisipasi politik masing-
masing dalam gerakan angkatan ’66 menumbangkan Orde
Lama dan menegakan Orde Baru, sejumlah tokoh pemuda
yang sebelumnya adalah pimpinan organisasi mahasiswa
dan tokoh sentral dalam struktur gerakan protes mahasiswa,
tampil dalam jajaran elite kepemimpinan bangsa.
Di jalur politik dan birokrasi muncul nama-nama seperti:
Akbar Tanjung (mantan ketua umum HMI), Cosmas Batubara
(mantan pimpinan PMKRI), Sarwono Kusumaatmadja,
Siswono Yudohusodo (GMNI) dalam Kabinet Pembangunan.
Marzuki Darusman, Ekky Syahruddin (HMI), Fahmi Idris (HMI),
Marie Muhammad (HMI), merupakan aktivis yang kemudian
masuk jalur legislatif. Sementara itu di partai politik nama
seperti Soerjadi (GMNI) tampil memimpin PDI, Ismail Hasan
Metarium (HMI) memimpin PPP, Akbar Tanjung memimpin
Golkar. Para pemimpin gerakan protes mahasiswa ini juga
sebagian merupakan elite baru dalam kancah bisnis seperti
Sofyan Wanandi.
Depolitisasi mahasiswa secara sistematis mulai
dilancarkan guna menjinakan mahasiswa dari geliat politik.
Berbagai kebijakan dirancang untuk membatasi persentuhan

PENDAHULUAN 7
mahasiswa dengan isu-isu politik dan pemerintahan.
Sulit dibantah bahwa pembangunan Orde Baru telah
berhasil menggerakan transformasi struktural di bidang
ekonomi dan politik. Sebagaimana diikhtisarkan oleh
Sjahrir, berbagai bentuk transformasi struktural dibidang
ekonomi telah berhasil dilakukan sepanjang dua dasa warsa
pembangunan Orde Baru5. Soemitro Djojohadikusumo juga
menunjukan bahwa selama lima Pelita, angka pertumbuhan
PDB berkisar antara 4,4-8,6% 6. Angka tertinggi dicapai
dalam Pelita I (8,6%) dan angka terendah pada Pelita IV
(4,4%).
Laju pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai
selama lebih dari dua dasa warsa Orde Baru merupakan
angka yang relatif menggembirakan; rata-rata 6,02% dalam
lima Pelita yang sudah dan sedang berjalan. Hampir
semua kalangan
sepakat bahwa –dengan memperhitungkan kapabilitas
pengambil kebijakan ekonomi Orde Baru yang didukung
kenyataan-kenyataan objektif perkembangan perekonomian
–laju pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut akan dapat
dipertahankan secara konsisten kedepan.
Proyeksi data pendapatan perkapita penduduk adalah
sama menggembirakannya. Dalam rentang waktu 24 tahun—
dari 1967-1991—pendapatan perkapita penduduk beranjak
dari US $7 menjadi US $570, maka menurut proyeksi Bank
Dunia angka itu akan makin beranjak di tahun 2000 hingga

5 Sjahrir, Refleksi Pembangunan Orde Baru: Ekonomi Indonesia 1968–1992,


(Jakarta: Gramedia, 1992), hal 140
6 Lihat Soemitro Djojohadikusumo, “Perkembangan Ekonomi Indonesia
Selama Empat Tahap Pelita, 1969/1970–1988/1989,” Prasaran Untuk
Sidang Pleno ISEI. Bukit Tinggi, 29 Juni 1989.
8 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
menjadi US $1000.7
Perkembangan progresif dalam kualitas perekonomian
masyarakat juga terlihat melalui pengurangan penduduk
miskin dari waktu ke waktu. Pada tahun 1976 masih terdapat
40,09% penduduk miskin dari total sekitar 135 juta
penduduk; pada tahun 1987 jumlahnya berkurang hingga
menjadi 17,44% dari total sekitar 172 juta penduduk; dan
menurut proyeksi BPS angka ini akan menurun lagi menjadi
15,08% dari total 180 juta penduduk ditahun 1990.
Transformasi struktural di bidang ekonomi dan politik
ini digerakan oleh kebijakan strategis berupa maksimalisasi
produktivitas ekonomi dan minimalisasi konflik politik.
Dengan kalimat lain, pembangunan Orde Baru secara umum
dapat digambarkan sebagai: memprioritaskan pertumbuhan
ekonomi dengan berpagarkan stabilitas politik.
Dalam kerangka ini yang menjadi pusat perhatian
negara adalah mesin–mesin pertumbuhan yang efektif
dan sebaliknya sektor dan pelaku ekonomi yang tidak
potensial untuk memacu pertumbuhan ekonomi menjadi
prioritas belakangan. Secara politik yang diprioritaskan
adalah tersedianya lembaga-lembaga yang dituntut oleh
konstitusi sambil mempolakan lembaga-lembaga itu untuk
menciptakan perilaku politik yang pro stabilitas dan menjauhi
konflik politik.
Rancang bangun pembangunan seperti itu dapat
tegak berdiri ditopang oleh dua pilar: kebijakan ekonomi

7 Lihat Swa Sembada, No. 9/VII, Desember 1992, “Bonus Proyeksi Bisnis
1993”, hal 4.

PENDAHULUAN 9
pragmatis dan stabilitas politik otokratis. Kebijakan ekonomi
pragmatis dijalankan melalui berbagai regulasi ekonomi
yang mewujudkan peran negara yang amat besar terhadap
ekonomi dan pasar. Negara mewujud sebagai kekuatan yang
mensubordinasi kekuatan pasar. Sekalipun Negara Orde
Baru cenderung mencontoh model pembangunan yang
kapitalistik, tetapi model ini dipraktekan dengan besarnya
peran negara dan tidak adanya dasar perkembangan
tehnologi yang memadai. Model inilah yang oleh Kunio
disebut sebagai kapitalisme semu atau ersatz capitalism.8
Kapitalisme semu ini dicirikan secara lengkap dengan
pentingnya keberadaan modal asing, besarnya peranan
Negara, tingkat tehnologi yang rendah, dan dominasi modal
domestik non pribumi.
Dalam model pembangunan ekonomi seperti ini,
keuntungan banyak diperoleh oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi menengah-besar yang menyandarkan diri pada
patronase politik kepada Negara. Sementara itu kekuatan
ekonomi kecil, terutama modal domestik pribumi hanya
menikmati sebagian kecil remahan kue pembangunan.
Sedangkan pembangunan politik guna menciptakan
stabilitas poltik otokratis dijalankan melalui rekayasa struktur
dan kultur politik. Secara struktural yang dilakukan adalah
menyediakan kerangka struktur politik yang menutup
peluang bagi terjadinya gangguan–gangguan politik
terhadap pembangunan. Kebijakan ini tercermin diawal masa

8 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, terj. A. Setiawan


Abadi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal 49.

10 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


pemerintahan Orde Baru melalui kebijakan restrukturisasi
politik dan deparpolisasi birokrasi.
Orde Baru melihat bahwa restrukturisasi politik ini
merupakan langkah untuk mengkonsolidasikan seluruh
kekuatan politik peninggalan era politik aliran sehingga tidak
larut dalam kompetisi kepentingan yang pada akhirnya dapat
menggangu roda pembangunan ekonomi9. Restrukturisasi ini
semakin efektif ketika pemerintah berhasil memaksakan fusi
partai – partai politik menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) sebagai representasi kekuatan politik
Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai
representasi kekuatan politik nasionalis. Sedangkan Golkar
merupakan Orsospol peserta pemilu yang mendapatkan
privilege sebagai kekuatan utama pendukung pemerintah.
Penataan politik juga terjadi di birokrasi pemerintah.
Sebagai pelaksana kebijakan publik, birokrasi kemudian
disterilkan dari pengaruh partai politik. Kebijakan
deparpolisasi birokrasi ini secara efektif menempatkan
birokrasi dibawah kendali Presiden dan digerakan sesuai
dengan kebijakannya. Perwujudan dari deparpolisasi
birokrasi ini terlihat dari dikeluarkannya larangan birokrasi
untuk berpolitik sekaligus menjadi anggota partai politik.
Namun, kebijakan deparpolisasi birokrasi ini mengalami
distorsi ketika pemerintah justru memobilisasi birokrasi untuk
menjadi anggota Golkar dengan azas monoloyalitas birokrasi
terhadap Golkar.

9 Lihat Syamsuddin Haris, Menggugat Politik Orde Baru, (Jakarta: Grafiti,


1998), hal 1.

PENDAHULUAN 11
Birokrasi yang telah dikendalikan merupakan alat
pembangunan yang efektif. Birokrasi mengalami
pembesaran yang tidak saja untuk tujuan teknis membantu
formulasi dan realisasi kebijakan pembangunan, namun juga
untuk tujuan- tujuan politik menjaga stabilitas kekuasaan
Negara secara internal dan melakukan penguasaan terhadap
masyarakat secara eksternal. Untuk tujuan ini, terdapat
sekurang- kurangnya tiga bentuk birokratisasi khas Orde
baru: Pertama, melakukan pembesaran jumlah atau
kuantitas anggota birokrasi. Kedua, memberikan
kewenangan besar kepada birokrasi untuk menjadi
perpanjangan tangan Negara dalam mengkontrol
masyarakat. Dan ketiga, memasukan kekuatan militer
kedalam birokrasi, baik pusat maupun daerah melalui
legitimasi doktrin Dwi Fungsi ABRI.
Peran ini sejalan dengan kebijakan Presiden Soeharto
untuk menciptakan stabilitas politik sebagai prasyarat
pembangunan nasional dengan bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi. Militer kemudian digunakan sebagai instrumen
efektif untuk menciptakan dan mengendalikan stabilitas
yang dihendaki oleh pemerintah. Menurut Ali Moertopo,
dalam rangka stabilisasi ini maka kendali militer atas pos-pos
strategis pemerintahan tidak mungkin untuk dikembalikan
pada kelompok sipil dan hanya akan mempertaruhkan
eksistensi negara. Baginya, sipil dianggap tidak memiliki
kecakapan dalam menjalankan pemerintahan yang stabil.10
Di sektor kemahasiswaan, puncak dari kebijakan
depolitisasi adalah keluarnya kebijakan NKK/BKK untuk

10 Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: CSIS,1974), hal 47

12 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


menempatkan mahasiswa dalam atribut “insan akademis”
yang steril dari kepentingan politik praktis. Dalam pandangan
penguasa, kampus yang dipenuhi aktivitas politik pada
tahun 1970-an merupakan hal yang tidak normal dan perlu
diantisipasi. Penguasa merasa perlu untuk mengembalikan
mahasiswa dalam situasi normal dan lepas hingar-bingar
aktivitas politik. Kepentingan itulah yang mendorong Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Yoesoef pada tahun
1978 menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK).
Dalam konsep NKK, normalisasi diterjemahkan sebagai
pembatasan eksistensi dan ruang gerak politik mahasiswa di
kampus. Kebijakan itu juga hendak memanipulasi kesadaran
mahasiswa dalam memaknai dan menjalani kehidupan di
kampus. Kehidupan kampus yang “normal”, sama artinya
dengan steril dari kegiatan politik. Kegiatan kampus
diarahkan pada hal-hal yang bersifat “student needs”
(misalnya; pemenuhan kebutuhan buku murah, beasiswa),
“student interest” (pengembangan minat mahasiswa untuk
berkesenian, penelitian) dan “student welfare” (hubungan
belajar-mengajar dosen-mahasiswa yang harmonis dan
menyenangkan).
Kebijakan lainnya, pemerintah menghapuskan
lembaga- lembaga kemahasiswaan intra kampus seperti
Dewan Mahasiswa dan Majelis Mahasiswa yang bersifat
otonom dan berperan seperti “pemerintahan mahasiswa”.
Dalam sejarah pergerakan mahasiswa, Dewan Mahasiswa
dan Majelis Mahasiswa merupakan alat efektif untuk
mengorganisir

PENDAHULUAN 13
kekuatan mahasiswa di kampus. Demonstrasi mahasiswa
dimasa Orba pada tahun 1970-an, seringkali diorganisir
oleh organisasi intra kampus tersebut. Sebagai gantinya,
dimunculkan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).
Berbeda dengan Dewan Mahasiswa dan Majelis
Mahasiswa, lembaga baru itu tidak memiliki otoritas
pengambilan keputusan, berfungsi koordinatif dan
sepenuhnya berada dalam kontrol pimpinan kampus.
Pembubaran organisasi intra kampus itu mendapat
tentangan keras dari para mahasiswa. Meskipun demikian,
sikap rezim Orba tetap bersikukuh dan pada akhirnya
gelombang protes keras itu berhasil dihentikan dengan
cara represif.
Kebijakan depolitisasi mahasiswa ini selain ditopang
oleh beragam regulasi politik, juga menggunakan
pendekatan keamanan dengan aparatus represif negara
sebagai instrumen dilapangan. Ruang bagi mahasiswa untuk
mengekspresikan sikap kritisnya menjadi semakin sempit
dan terbatas. Slogan politik yang diteriakan pada tahun
1966 seperti keadilan, kebebasan dan hak asasi manusia,
berhadapan dengan kenyataan sentralisasi kekuasaan
dan ketimpangan dalam struktur sosial maupun ekonomi,
yang mulai meningkat setelah Pemilu 1971. Kebijakan
penciptaan stabilitas politik ini kemudian mengakumulasikan
kekuasaan pada Negara dan mengoptimalkan kekuasaan
aparatur Negara —baik aparatur represif maupun aparatur
ideologis11— sambil melakukan disakumulasi kekuasaan

11 Lihat mengenai pemilahan aparatur Negara menjadi aparatur represif


dan aparatur ideologis dalam Nicos Poulatzas, State, Power, Socialism,

14 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


elemen-elemen masyarakat sipil. Langkah disakumulasi ini
dibentuk oleh pembatasan partisipasi politik dan pembatasan
keleluasaan kontrol politik.
Kegelisahan mahasiswa mulai nampak setelah pemilu
yang digelar tahun 1971. Gerakan politik mulai terjadi meski
dalam lingkup terbatas dan dibayang-bayangi represi, seperti
Gerakan Penghematan (Gepeng), gerakan protes
mahasiswa anti modal asing tahun 1974 yang dikenal denga
peristiwa Malari, Gerakan Anti Korupsi (GAK), Mahasiswa
Menggugat (MM)12. Berkembang kesadaran baru di kalangan
mahasiswa mengenai kebijakan ekonomi politik Orde Baru
yang sarat dengan praktek KKN, ketimpangan sosial
ekonomi, dan represif. Korban dari pembangunan tidak
hanya mahasiswa, tetapi juga masyarakat luas sebagai
lingkup sosial dimana
mahasiswa berasal. Kesadaran akan situasi represi inilah
yang memicu bangkitnya potensi radikal dan perlawanan
mahasiswa terhadap rezim Orde Baru.
Dalam menangani aksi protes mahasiswa, pemerintah
tidak hanya memanfaatkan aparatus represif negara seperti
militer, polisi dan intelejen, tetapi juga menggunakan
birokrasi kampus dengan berbagai sangsi akademik yang
dikenakan pada aktivis mahasiswa. Represi ini dialami oleh
sebagian besar aktivis pada masa Orde Baru, termasuk
mahasiswa ITB yang melakukan demonstrasi mengkritik
pemerintah pada saat kedatangan Menteri Dalam Negeri,
Jenderal Rudini di

(London: New Left Books,1978), hal 134


12 Ridwan Saidi, Mahasiswa dan Lingkaran Politik, (Jakarta: Lembaga Pers Mahasiswa
Mapussy Indonesia (LPMI), 1989), hal 130
PENDAHULUAN 15
kampus ITB pada tahun 1980-an. Meski proses peradilan
digelar, tetapi sangat mudah ditebak hasilnya dimana
pengadilan memvonis hukuman kurungan dan kampus
ITB memecat para pimpinan protes dari statusnya sebagai
mahasiswa.
Perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde
Baru menemukan momentum puncaknya pada penghujung
tahun 1990an. Gerakan perlawanan yang semula bersifat
sektoral dan sporadis mulai terkonsolidasi secara nasional
melalui jaringan komunikasi antar organisasi dan isu-isu
populis seperti pencabutan Dwi Fungsi TNI, supremasi
hukum, demokratisasi, anti KKN, HAM, dan akhirnya adalah
desakan agar Soeharto mundur dari kursi Kepresidenan.
Krisisi ekonomi dan moneter tahun 1997 telah menjadi
pemicu bagi
ledakan gejolak sosial politik melawan kekuasaan Soeharto.
Tuntutan mahasiswa yang kemudian diikuti oleh sebagian
besar masyarakat tidak lagi isu ekonomi, tetapi telah jauh
dalam wilayah politik.
Gerakan protes mahasiswa tahun 1998 menyatu dalam
isu reformasi dan menjadi arus deras yang sulit dibendung
oleh rezim. Dalam situasi itulah gerakan mahasiswa
menjadi kekuatan politik yang efektif, dan tentunya tidak
dapat dilepaskan dari peran dan kontribusi dari organisasi
mahasiswa seperti GMNI dan HMI yang memang memiliki
infrastruktur organisasi lebih mapan dan bersifat nasional.
Dinamika perpolitikan Indonesia telah memberikan
deskripsi bahwa mahasiswa yang terorganisir merupakan
suatu entitas politik yang memiliki peranan strategis dalam

16 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


transformasi sosial dan politik. Mereka tidak hanya sekedar
menjadi kekuatan radikal dalam gerakan-gerakan protes
dijalanan mengusung gagasan-gagasan perubahan, tetapi
juga memiliki andil besar dalam pengisian struktur sosial
masyarakat, termasuk didalamnya adalah struktur politik
negara. Oleh karena itu menjadi hal yang wajar jika setiap
rezim selalu berupaya untuk menjaga dukungan politik dan
mengendalikan kalangan muda terdidik ini, baik secara
persuasif maupun represif. Peran strategis inilah yang
membuat organisasi mahasiswa, dalam hal ini GMNI dan
HMI tidak dapat lepas dari persinggungan dengan pusaran
politik dan kekuasaan.
Keterlibatan organisasi mahasiswa ini tidak berhenti
setelah kejatuhan Soekarno. Meski awalnya tidak ada
gerakan politik yang cukup dinamis mengingat sebagian
besar pimpinan organisasi mahasiswa yang ikut menentang
Soekarno dan berkontribusi terhadap berdirinya Orde
Baru, diakomodir dalam struktur kekuasaan Orde Baru,
namun situasi itu segara berubah seiring dengan munculnya
kekecewaan dikalangan mahasiswa atas sistem politik
Orde Baru yang semakin korup. Pembangunan politik
Orde Baru yang menekankan penciptaan stabilitas politik
sebagai fundamen pembangunan nasional berimplikasi
pada terciptanya sistem politik yang sentralistik dan otoriter.
Situasi itu lantas semakin diperparah dengan
berlangsungnya praktek kroniisme dalam berbagai lini,
terutama disektor ekonomi dan politik.
Berbagai regulasi dan perangkat politik diciptakan

PENDAHULUAN 17
Soeharto guna mengkontrol dinamika politik sekaligus
mengendalikan stabilitas dukungan politik yang
diperlukannya. Partai politik yang merupakan instrumen
demokrasi yang penting secara efektif berhasil dikendalikan
dengan kebijakan penyederhanaan kepartaian. Golkar
sebagai kendaraan pemerintah mendapatkan berbagai
privellege politik untuk memobilisasi dukungan politik,
sedangkan keberadaan PDI yang merupakan hasil fusi
partai-partai nasionalis sekuler, dan PPP yang merupakan
hasil fusi partai-partai Islam, hanya memperoleh tempat
sebagai pelengkap penderita dalam sistem politik yang
dilangsungkan Orde Baru.
Selain mengendalikan kehidupan kepartaian, Soeharto
juga memperluas sekaligus menggunakan Angkatan
Bersenjata sebagai salah satu mesin pencipta stabilitas
politik dan dukungan politik. Dengan legitimasi doktrin Dwi
Fungsinya, TNI dapat melakukan operasi politik menjinakan
berbagai organisasi politik sesuai dengan kepentingan
kekuasaan dan menduduki jabatan-jabatan politik, terutama
dalam struktur birokrasi pemerintahan sipil.
Sedangkan disektor kemahasiswaan, selain strategi
akomodasi politik diterapkan bagi para elite organisasi
mahasiswa, Orde Baru juga melakukan kontrol ketat dimana
pemuda dan mahasiswa dimobilisasi dalam satu wadah
berhimpun, yakni Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Untuk memperkuat depolitisasi mahasiswa, Orde Baru juga
menerapkan kebijakan NKK/BKK, sehingga mahasiswa tidak
dapat bersentuhan dengan politik praktis dan disibukan

18 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


dengan kegiatan-kegiatan akademik.
Geliat perlawanan politik dari mahasiswa ini
sebenarnya sudah mulai berlangsung sejak awal 70-an.
Mahasiswa mengkritik model pembangunan Orde Baru yang
sarat dengan praktek KKN. Anti korupsi dan hutang menjadi
isu perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa. Puncak dari
aksi protes mahasiswa tahun 70-an adalah meletusnya
peristiwa Malari 1974 yang didahului oleh aksi protes
terhadap modal asing.
Sejarah gerakan mahasiswa selama Orde Baru adalah
sejarah protes dan perlawanan. Berbagai represi yang
dialami tidak lantas membuat mahasiswa surut mundur.
Sistem politik tertutup dan sentralisasi kekuasaan justru
membuat gerakan mahasiswa menjadi the only effective
opposition dalam masyarakat.13 Posisi strategis gerakan
mahasiswa ini dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai
berikut: Pertama, bahwa mahasiswa dianggap masih murni
dan netral dari kepentingan politik praktis. Hal inilah yang
membedakan antara mahasiswa dan partai politik yang
dianggap hanya berorientasi kekuasaan dan tidak mampu
menjalankan kepentingan politik pemilihnya dihadapan
kekuasaan. Kedua, partai-partai politik yang seharusnya
menjalankan fungsi artikulasi kepentingan masyarakat
dianggap tidak efektif dalam memperjuangkan kepentingan
mereka. Kehidupan partai politik sepenuhnya dalam kendali
pemerintah. Meski mereka memiliki otonomi atas proses
internal organisasinya, tetapi untuk hal-hal strategis meliputi

13 Burhan D Magenda, Op.,Cit, hal 146

PENDAHULUAN 19
rekruitmen kepengurusan dan kebijakan politik yang terkait
dengan pemerintahan sangat ditentukan oleh pemerintah
Soeharto. Sehingga partai politik kehilangan kemampuan
dalam mengontrol pemerintah secara efektif. Ketiga,
gerakan civil society belum tumbuh berkembang secara
luas sehingga masyarakat belum mampu melakukan kontrol
efektif terhadap kebijakan pemerintahan. Oleh karena itu
harapan tersisa pada mahasiswa yang dianggap lebih netral
dan dekat dengan kepentingan rakyat.
Kedudukan strategis mahasiswa dalam sistem sosial dan
politik membuat organisasi-organisasi mahasiswa, termasuk
GMNI dan HMI, menjadi kekuatan politik yang potensial
dihadapan kekuasaan. Hal ini dikarenakan organisasi
mahasiswa dapat menjadi kekuatan yang kritis dalam
mengawasi kinerja kekuasaan dan sarana politik alternatif
bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Sikap
kritis ini senantiasa mewarnai perjalan gerakan mahasiswa
dari masa ke masa.
Eskalasi sikap kritis ini kemudian meningkat pada saat
menjelang akhir tahun 1997 akibat krisis ekonomi. Berbagai
aksi protes tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa, tetapi
juga telah melibatkan rakyat sebagai elemen penting. Komite
aksi jalanan dibentuk oleh organisasi mahasiswa ekstra
kampus, terutama HMI dan GMNI. Tak hanya itu, para
senior dan alumninya pun turut dalam mobilisasi politik
menentang rezim. Muara dari gerakan protes ini adalah
mendesak Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai
Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian, sekali lagi
organisasi-

20 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


organisasi mahasiswa ini menorehkan kisah dalam catatan
sejarah pergolakan politik di Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatan presiden menjadi
pertanda bagi dimulainya tahap baru bagi perjalanan dan
dinamika politik Indonesia yang lebih demokratis. Tahap
itu merupakan suatu fase transisi politik yang dimaksudkan
untuk membangun suatu tatanan kehidupan politik yang
lebih demokratis. Dalam transisi politik, berlangsung proses
liberalisasi politik. Kehidupan politik kepartaian tumbuh
berkembang ditandai dengan muncul sejumlah partai politik
baru dalam waktu singkat. Kekuatan politik yang lama
terpendam pada masa Orde Baru tiba-tiba menemukan
momentum kebebasannya dan muncul kepermukaan. Politik
aliran kembali meski dengan wajah yang jauh berbeda
dengan masa Orde Lama.
Liberalisasi politik juga ditandai dengan tingginya
pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia, yakni kebebasan
untuk mengekspresikan hak-hak sipil politiknya, baik dalam
bentuk perserikatan maupun pernyataan-pernyataan politik
secara terbuka. Tak hanya itu, pers yang sebelumnya berada
dalam belenggu pun menikmati alam kebebasan yang lebih
luas. Liberalisasi politik yang dilakukan oleh Habibie dalam
masa transisi menjadi terobosan besar dalam refomasi politik
di Indonesia dan memberikan perubahan drastis dalam
sistem politik Indonesia adalah revisi terhadap paket
Undang- Undang di bidang politik. Undang-Undang
perpolitikan yang dianggap tidak mencerminkan dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi segara
diajukan untuk mengalami

PENDAHULUAN 21
perubahan. Perubahan difokuskan pada Undang-Undang
Kepartaian, UU Keormasan, UU Pemilihan Umum, UU
Susunan dan Kedudukan DPR/MPR, UU Referendum, UU
Pemerintahan Daerah, serta UU lainnya.
Revisi atas paket UU Politik ini memberi dampak
terhadap format politik Indonesia. Substansi dari revisi itu
terletak pada dibukanya ruang bagi partisipasi politik publik
lebih luas. Secara teknis aturan itu terkait dengan syarat-
syarat pendirian partai politik sebagai sarana artikulasi
kepentingan politik publik. Revitalitalisasi lembaga
perwakilan, baik pada aspek rekruitmen politik maupun
kinerja dan fungsi pengawasan. Harmonisasi hubungan antar
lembaga negara dengan meneguhkan prinsip pemisahan
kekuasaan, serta pengaturan mekanisme sirkulasi
kekuasaan periodik secara
fair dan demokratis. Civil society tumbuh berkembang seiring
dengan arus kebebasan dan keterbukaan. Keberadaan civil
society ini mampu meningkatkan posisi politik masyarakat
dihadapan otoritas negara dan sekaligus menjadi alternatif
atas lemahnya pelembagaan politik demokratis di tingkat
negara. Dengan demikian, civil society memiliki korelasi
yang kuat dengan demokratisasi yang hendak dilangsung di
Indonesia.
Perubahan yang terjadi paska Orde Baru ini tentu
berpengaruh terhadap peran politik strategis yang selama ini
diperankan oleh organisasi-organisasi mahasiswa. Liberalisasi
politik telah memberi kesempatan pada rakyat memiliki
ruang dan kemampuan untuk berbicara atas namanya
sendiri dan menegosiasikan kepentingannya dengan rezim

22 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


berkuasa. Oleh karena itu, menjadi studi yang menarik
untuk meneliti lebih jauh tentang peran politik organisasi
mahasiswa, terutama GMNI dan HMI yang merupakan
dua dari sejumlah organisasi mahasiswa berpengaruh dan
memiliki rentang sejarah politik yang panjang di Indonesia,
dalam pembangunan politik pasca Orde Baru.
Ditetapkannya kedua organisasi ini sebagai kajian
dalam buku ini berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
Pertama, bahwa GMNI dan HMI merupakan dua
organisasi besar yang mewakili aliran politik penting di
Indonesia, yakni GMNI sebagai representasi kekuatan politik
nasionalis sekuler dan HMI sebagai representasi kekuatan
politik Islam moderat. Kedua aliran politik ini memiliki
kedudukan dan peranan yang strategis dalam mewarnai
dinamika politik nasional hingga saat ini.
Kedua, baik GMNI dan HMI telah melahirkan produk
politik berupa kader-kader alumninya yang tersebar dan
mengisi berbagai sektor kehidupan negara, termasuk
birokrasi pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat, partai
politik dan sebagainya. Hal ini membuat kedua organisasi ini
memiliki kedudukan yang strategis dalam konfigurasi politik
nasional.
Ketiga, keberadaan GMNI dan HMI memiliki rentang
sejarah yang panjang beriringan dengan pasang surut
perpolitikan nasional. Dalam rentang sejarah itu kedua
organisasi ini merupakan kekuatan politik yang ikut mewarnai
dinamika politik nasional.

PENDAHULUAN 23
B. Kerangka Teori
1. Teori Pembangunan
Sekalipun kata “pembangunan” —sebagaimana di-
katakan oleh Bjorn Hettne14— sulit diberi definisi yang
memuaskan, namun setidaknya kita dapat menyepakati bah-
wa hakikat pembangunan adalah sebuah proses perubahan
menuju perbaikan kualitas kehidupan masyarakat secara kul-
tural dan struktural15. Dengan demikian, pembangunan men-
jadi suatu kerangka kerja penyelenggaraan negara menuju
tahapan kondisi-kondisi, baik ekonomi, sosial politik, budaya
dan sebagainya yang lebih baik.
Sedangkan pembangunan politik memiliki beragam
pengertian. Hal ini ditunjukan dengan belum adanya satu
kesepakatan diantara ilmuan politik hingga saat ini mengenai
pengertian pembangunan politik. Dilihat dari berbagai
penulisan dan pembahasan mengenai pembangunan politik,
sering dijumpai istilah yang berbeda-beda, yang mungkin
berisikan konsep yang berbeda-beda pula. Disamping istilah
pembangunan politik, seringkali dijumpai pula istilah lain
seperti pendidikan politik, pembaruan politik, pengembangan
politik, perubahan politik maupun modernisasi politik.
Huntington16 menjelaskan bahwa modernisasi politik ini

14 Lihat Bjorn Hettne, Ironi Pembangunan di Negara Berkembang, terj. Ismu


Martoyo, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hal 9.
15 Lihat Soedjatmoko, “Iman, Amal dan Pembangunan”, dalam Agama dan
Tantangan Zaman: Pilihan Artikel Prisma 1975–1984: (Jakarta, LP3ES,
1985), hal 4.
16 Llihat Huntington, Tertib Politik di Dalam Masyarakat yang Sedang
Berubah, (Jakarta, Rajawali, 1983), hlm. 54-55.

24 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


memiliki tiga aspek penting, yakni: Pertama, berlangsungnya
rasionalisasi kekuasaan yang ditunjukan dengan pergantian
sejumlah besar pejabat-pejabat politik tradisional, etnis,
keagamaan, kekeluargaan oleh kekuasaan nasional yang
bersifat sekuler. Kedua, pembangunan politik melibatkan
differensiasi fungsi politik yang baru dan pengembangan
struktur khusus sebagai pelaksana seluruh fungsi tersebut.
Wilayah kewenangan khusus —hukum, militer, administratif
dan ilmu pengetahuan— menjelma menjadi kawasan
khusus yang terpisah dari dunia politik dan bersifat mandiri,
terspesialisasi namun tetap merupakan lembaga subordinasi
dalam melaksanakan tugas tersebut.
Hierarki administrasi menjadi kian terperinci dan
tegas, kompleks, serta disiplin. Jabatan dan kekuasaan
didistribusikan dengan bersandar pada ukuran prestasi
kerja, bukan askripsi. Ketiga, pembangunan politik ditandai
oleh meningkatnya peran serta politik seluruh masyarakat.
Meluasnya partisipasi masyarakat di bidang politik ini
meningkatkan kadar kontrol masyarakat terhadap kinerja
kekuasaan pemerintahan. Melalui partisipasi politik,
masyarakat terlibat secara langsung dalam kegiatan yang
mempengaruhi proses pengambilan kebijakan-kebijakan
pemerintahan.
Dengan mengintrodusir sistem ekologi lingkungan
Gabriel Almond melihat sistem politik merupakan mekanisme
input dan ouput dari struktur dan fungsi politik.
Pendekatan sistem ini mempengaruhi konsepsi Almond
mengenai pembangunan politik yang dimaknai sebagai
perkembangan

PENDAHULUAN 25
dari struktur dan fungsi dari sistem politik yang semakin
meningkat dengan ditandai oleh terjadinya spesialisasi
struktur politik serta sekularisasi kebudayaan politik.
Lanjutnya, inti dari perkembangan sistem politik itu terletak
dari efficiency dan effectiveness yang meningkat dari daya
guna sistem politik dan kesanggupannya yang meningkat.17
Sedangkan, Lucian W. Pye pada tahun 1965,
menyusun suatu daftar yang cukup komprehensif dengan
mendefinisikan pembangunan politik dalam sepuluh
definisi.
Sepuluh definisi Pye tentang pembangunan politik adalah
sebagai berikut:18

1) Pembangunan politik sebagai prasyarat politik bagi


pembangunan ekonomi.

Pembangunan politik dipandang sebagai keadaan


masyarakat politik yang dapat membantu jalannya
pertumbuhan ekonomi. Secara operasional pandangan
tentang pembangunan politik seperti itu pada
dasarnya bersifat negatif, sebab lebih mudah bagi
kita untuk dengan teliti mengetahui prestasi sistem
politik yang mungkin menghalangi atau menggagalkan
perkembangan ekonomi daripada menjelaskan
bagaimana sistem politik itu membantu pertumbuhan
ekonomi.

17 Lihat Gabriel Almond dalam SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta,
Rajawali Pers, 2007), hal 483.
18 Lihat Lucian W. Pye, Concepts of Political Development, maupun juga
dalam Aspect of Political Development, dalam Yahya Muhaimin dan Colin
MacAndrews, ed, Masalah-Masalah Pembangunan Politik, (Jogjakarta:
Gajah Mada University Press, 1982), hal 1-11.

26 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


2) Ciri khas kehidupan politik masyarakat industri.
Asumsi dari konsep ini adalah bahwa kehidupan
masyarakat industri menciptakan tipe kehidupan
politik tertentu yang kurang lebih umum dan dapat
ditiru oleh masyarakat manapun, baik yang sudah
menjadi masyarakat industri atau belum. Selanjutnya
menurut pandangan ini, masyarakat industri, baik
yang demokratis atau non demokratis, menciptakan
standar-standar tertentu mengenai tingkah laku dan
prestasi politik yang dapat menghasilkan keadaan
pembangunan politik dan yang merupakan contoh dari
tujuan-tujuan pembangunan yang cocok bagi setiap
sistem politik.
3) Modernisasi politik.
Pandangan bahwa pembangunan politik merupakan
kehidupan politik yang khas dan ideal dari
masyarakat industri berkaitan erat dengan
pandangan bahwa pembangunan politik sama dengan
modernisasi politik. Negara-negara maju adalah
pembuat mode dan pelopor dalam hampir setiap segi
kehidupan sosial dan ekonomi, karena itu dapat
dimengerti bila banyak orang yang mengharapkan
bahwa hal seperti itu terjadi dalam dunia politik. Tetapi
justru penerimaan yang terlalu mudah atas
pandangan ini mengundang tentangan dari kelompok
yang mempertahankan relativisme kebudayaan, yang
mempermasalahkan kebenaran dari identifikasi
masyarakat industri—Barat—yang dipakai

PENDAHULUAN 27
sebagai standar kontemporer dan universal bagi setiap
sistem politik.
4) Operasionalisasi Negara bangsa.
Merupakan suatu proses melalui mana masyarakat-
masyarakat yang hanya bentuknya saja merupakan
negara–bangsa, atau hanya dalam pengakuan
internasional, menjadi negara–bangsa dalam arti yang
sebenarnya. Ukuran pembangunan politik akan
meliputi; pertama, pembentukan serangkaian lembaga-
lembaga publik tertentu yang merupakan prasarana
penting bagi suatu negara-bangsa, dan kedua,
pengungkapan secara tertib gejala nasionalisme ke
dalam kehidupan politik. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pembangunan politik adalah politik
nasionalisme yang dijalankan dalam kerangka
lembaga-lembaga negara.
5) Pembangunan administrasi dan hukum.
Pembangunan politik merupakan upaya penataan
hukum dan administrasi sebagai instrumen untuk
melakukan pembinaan terhadap masyarakat politik.
6) Mobilisasi dan partisipasi massa.
Pembangunan politik terkait dengan persoalan
peranan warga negara dan standar-standar kesetiaan
dan keterlibatan yang baru dalam negara-negara yang
baru terbentuk. Pembangunan politik dapat berarti
terjadinya perluasan partisipasi politik masyarakat
dalam urusan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan.
28 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
7) Pembinaan kehidupan demokrasi.
Pembangunan politik adalah, atau seharusnya serupa
dengan pembentukan lembaga-lembaga dan praktek
politik demokratis.
8) Stabilitas dan perubahan yang teratur.
Konsep ini menekankan bahwa setiap bentuk kemajuan
ekonomi dan sosial umumnya tergantung pada
lingkungan yang lebih banyak memiliki kepastian dan
yang memungkinkan adanya perencanaan berdasar
pada prediksi yang cukup aman.
9) Mobilisasi dan kekuasaan.
Bahwa sistem politik dapat dinilai dari sudut tingkat atau
kadar kekuasaan yang dapat dimobilir oleh sistem
itu.
Dengan demikian, pembangunan politik merupakan
suatu upaya mobilisasi sumber daya dan kekuasaan
guna kepentingan pencapaian tujuan-tujuan negara
secara maksimal.
10) Satu segi dari perubahan sosial yang multidimensional.
Pembangunan politik hanya bias berjalan dalam
konteks perubahan sosial yang multidimensional
dimana tidak ada bagian atau sektor masyarakat yang
terlalu jauh tertinggal.

Dalam kajian ini, teori pembangunan politik akan


digunakan untuk menjelaskan perubahan-perubahan politik
yang berlangsung bersamaan dengan gerakan reformasi
1998 dan berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Relevansi teori

PENDAHULUAN 29
ini adalah untuk menjelaskan fenomena demokratisasi politik
yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan pemerintahan
sentralisitik dan munculnya lembaga-lembaga politik
demokratis, tumbuh berkembangnya partai politik dan civil
society, kebebasan pers, sebagai isu baru pembangunan
politik.
Dengan demikian, memperlihatkan bahwa terjadi
perubahan paradigma pembangunan politik dimana
demokratisasi menjadi isu baru yang menggantikan
penciptaan stabilitas sosial politik melalui pendekatan
yang sentralistik dan represif. Hal inilah yang menunjukan
bahwa pembangunan politik paska Orde Baru menurut
teori pembangunan politik Lucian W. Pye merupakan atau
seharusnya serupa dengan pembentukan lembaga-lembaga
dan praktek politik demokratis.

2. Teori Partisipasi Politik


Salah satu wujud penting dalam partisipasi politik
adalah pelaksanaan fungsi rekruitmen politik dalam
sistem politik yang sedang berlangsung. Gabriel Almond
menjelaskan bahwa partisipasi politik diawali oleh adanya
artikulasi kepentingan dimana seorang individu mampu
mengontrol sumber daya politik seperti halnya seorang
pemimpin partai politik atau seorang diktator militer. Peran
mereka sebagai agregator politik(penggalang/penyatu
dukungan) akan sangat menentukan bagi bentuk partisipasi

30 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


politik selanjutnya.19
Almond juga membagi partisipasi politik dalam
dua bentuk; pertama konvensional seperti diskusi politik,
pemungutan suara, voting. Dan, kedua, non konvensional
seperti demonstrasi, tindak kekerasan (violence). Faktor
yang mempengaruhi partisipasi politik, tingkat pendidikan
yang tinggi, status sosial ekonomi, keanggotaan dalam
organisasi dan partai politik.20 Partisipasi politik dipengaruhi
oleh faktor- faktor seperti; pendidikan tinggi, status sosial
ekonomi dan latar belakang organisasi atau partai politik
politik.
Sementara itu, Miriam Budiarjo memberikan definisi
umum yang tidak terlalu jauh berbeda, yakni sebagai
kegiatan perseorangan atau kelompok untuk ikut berperan
serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan
memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak
langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintahan (public
policy).21 Dukungan yang efektif bagi suatu pergeseran yang
besar dalam kebijakan-kebijakan ekonomi atau sosial
biasanya berasal dari partisipasi kolektif yang terorganisir
dan dapat tampil dalam berbagai bentuk. Dengan
demikian,partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari
penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.
Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai

19 Gabriel A. Almond, G. Bingham Powell, Jr., K. Strom, and R. J Dalton,


Comparative Politics Today: A World View, Seventh Edition (New York:
Longman, Inc., 1999), hal 156.
20 Ibid, hal 31.
21 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik; Suatu Pengantar, dalam
Partisipasi dan Partai Politik; Sebuah Bunga Rampai, Miriam Budiarjo,
(Jakarta: Yayasan Obor, 1998), hal 1.

PENDAHULUAN 31
bentuk, baik yang memiliki konotasi positif maupun negatif
sebagai berikut ini:22
a) Kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga
sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja
dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang
calon, atau setiap tindakan yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi proses pemilihan.
b) Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau
kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat
pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan
maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka
mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut
sejumlah besar orang.
c) Kegiatan organisasi, menyangkut partisipasi sebagai
anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang
tujuan utamanya secara eksplisit adalah mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintahan.
d) Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan
perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat
pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh
manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang.
e) Tindak kekerasan (violence) seperti halnya teror,
pembunuhan politik dan tindakan ilegal lain yang
dimaksudkan sebagai bentuk ekspresi politik juga
dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik.

22 Ibid, hal 16

32 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Selanjutnya, partisipasi politik dapat pula dianalisis
melalui tipe-tipe organisasi kolektif atau golongan yang
berlainan, sebagai berikut:23
a) Kelas, merupakan perorangan-perorangan dengan
status sosial, pendapatan atau pekerjaan yang serupa.
b) Kelompok atau komunal, merupakan perorangan-
perorangan dari ras, agama, bahasa atau etnisitas
tertentu.
c) Lingkungan (neighborhood), merupakan perorangan-
perorangan yang secara geografis bertempat tinggal
berdekatan satu sama lain.
d) Partai, merupakan perorangan-perorangan yang
mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal
yang sama yang berusaha untuk meraih atau
mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif
dan legislatif pemerintahan; dan
e) Golongan (faction), merupakan perorangan-perorangan
yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus
atau intens satu sama lain, dan salah satu manifestasinya
adalah pengelompokan patron klien, artinya, satu
golongan yang melibatkan pertukaran manfaat-manfaat
secara timbal balik diantara perorangan-perorangan
yang mempunyai sistem status, kekayaan dan
pengaruh yang tidak sederajat.

Untuk melakukan berbagai kegiatan ini sistem

23 Ibid, hal 21

PENDAHULUAN 33
politik mempunyai lembaga atau struktur-struktur, seperti
parlemen, birokrasi, badan peradilan dan partai politik yang
menjalankan kegiatan atau fungsi tertentu, yang selanjutnya
memungkinkan sistem politik itu untuk merumuskan dan
melaksanakan kebijakannya.
Almond menyusun kategorisasi fungsionalnya sendiri
dan memisahkannya menurut input yang terdiri dari
sosialisasi dan perekrutan politik, artikulasi kepentingan,
agregasi kepentingan, komunikasi politik, dan fungsi output
yang meliputi; pembuatan aturan, penerapan aturan,
penilaian aturan24. Sistem politik yang diterapkan suatu
negara meskipun memiliki struktur yang sama belum tentu
memiliki fungsi yang sama. Struktur dan fungsi ini akan
sangat dipengaruhi oleh lingkungan politik dimana sistem
itu berlangsung.
Setiap sistem politik memiliki prosedur untuk melakukan
rekruitmen politik, atau seleksi pejabat administratif dan
politik. Dalam sistem politik demokratis, jabatan administratif
maupun politik biasanya terbuka untuk setiap orang yang
memiliki kualifikasi, seperti usia, daerah, pendidikan dan
lainnya. Tetapi Rekruitmen politik seperti halnya partisipasi
politik, cenderung bagi orang dengan latar belakang
sebagai kelas menengah atau kelas atas, atau mereka yang
meski berasal dari kelas bawah tetapi memiliki latar belakang
pendidikan.25

24 Mochtar Mas;oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik,


(Jogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), hal 29
25 Gabriel Almond and G. Bingham Powell, Jr, Op.,Cit, hal 63

34 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Rekruitmen politik sebagai fungsi input dalam sistem
politik dijelaskan oleh Almond sebagai berikut; rekruitmen
politik (political recruitment) merupakan fungsi penyeleksian
rakyat untuk kegiatan-kegiatan politik dan jabatan-jabatan
pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi,
menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan
tertentu, pendidikan dan ujian.26 Kemudian bentuk umum
yang ada yaitu patron-client network dengan struktur dimana
pemegang kekuasaan berada di kantor pusat, merupakan
figur berwenang memberikan keuntungan pada pemilih
sebagai imbalan kesetiaan mereka.
Mengenai rekruitmen politik dalam bukunya yang
berjudul An Introduction to Political Sociology, Michael
Rush dan Phillip Althoff,27 menjelaskan bahwa teori
rekruitmen politik berangkat dari proposisi bahwa individu
dalam suatu masyarakat tertentu yang aktif pada tingkatan
tertinggi dalam partisipasi politik—yaitu mereka yang
menduduki jabatan-jabatan politik dan administratif—hanya
merupakan kelompok minoritas dari penduduk seluruhnya.
Masuknya individu-individu ini dalam jabatan-jabatan politik
dan administratif ini dimungkinkan karena adanya suatu
proses rekruitmen politik dalam sistem politik yang sedang
berlangsung.
Sistem rekruitmen politik berlangsung dalam beberapa
metode:28 Pertama, sistem rotasi dimana ini digunakan

26 Ibid
27 Michael Rush & Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta:
RajaGrafindo, 2003), hal 185 - 189
28 Ibid

PENDAHULUAN 35
untuk menghindari adanya dominasi dari suatu kelompok
dalam pengisian jabatan-jabatan publik. Kedua, perebutan
kekuasaan dengan jalan menggunakan kekerasan.
Penggulingan kekuasaaan memungkinkan terjadinya
perubahan struktur kekuasaan yang memberikan ruang bagi
proses rekruitmen politik untuk mengisi atau menempati
struktur kekuasaan politik yang baru. Ketiga, model
patronase politik. Rekruitmen politik seperti ini mensyaratkan
adanya relasi patront-client antara struktur elite yang
memegang kekuasaan dengan struktur dibawahnya yang
merupakan sumber bagi proses rekruitmen politik.
Rekruitmen patronase ini khusus dibuat secara pasti
agar dapat memperoleh dan mempertahankan pengawasan
politik, serta menjamin kelangsungan kepentingan politik.
Dan keempat adalah dengan jalan Koopsi (pemilihan
anggota-anggota baru). Koopsi (co-option) itu meliputi
pemilihan seseorang ke dalam suatu badan oleh anggota-
anggota yang ada baik untuk melakukan pergantian maupun
untuk memperbesar keanggotaan. Koopsi dalam ruang
lingkup yang lebih luas berlangsung melalui mekanisme
pemilihan yang melibatkan publik seperti halnya dalam
pemilihan umum.
Teori rekruitmen politik Almond ini menjelaskan bahwa
dalam sistem politik yang berlangsung terjadi proses seleksi
masyarakat sebagai input yang menggerakan struktur dan
fungsi dari sistem politik. Kaitannya dengan GMNI dan HMI
adalah kedua organisasi ini merupakan sumber daya penting
dimana kader-kader alumni kedua organisasi ini merupakan

36 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


input bagi seleksi politik untuk mengisi struktur dan fungsi-
fungsi politik dalam sistem politik yang berlangsung. Relasi
patronase yang kuat antara generasi kader alumni organisasi
ini memungkinkan mobilitas structural menjadi lebih cepat
dan efektif.

3. Teori Kelompok Penekan (Pressure Group)


Dalam sistem politik masyarakat terdiri dari
kelompok- kelompok politik yang berbeda baik sifat
keanggotaan, karakteristik, maupun kepentingan
politiknya. Perbedaan- perbedaan inilah yang
mempengaruhi bentuk partisipasi politik masing-masing.
Menurut Gabriel Almond, masyarakat terbagi dalam
kelompok-kelompok saat menyalurkan aspirasinya politiknya.
Kelompok-kelompok itu dapat dijelaskan sebagai berikut:29

1. Kelompok kepentingan, mereka dapat duduk dalam


badan pengawas pemerintahan (ombudsman),
misalnya dalam masalah pelayanan publik,
2. Kelompok anomic, mereka adalah kelompok yang
terbentuk secara spontan karena rasa frustasi,
putus asa, kecewa, dan emosi lain, mereka turun ke
jalan karena rasa ketidakadilan. Pada saat seperti
ini sangat memungkinkan kekerasan akan terjadi
“lead to violence” karena kelompok yang ada dan
terorganisir semisal partai politik tidak mampu mewakili
kepentingan mereka yang marah dalam sistem politik.

29 Gabriel Almond, Op.,Cit, hal 157

PENDAHULUAN 37
Kekerasan dapat meledak pada saat tidak terduga dan
tidak terkendali. Walaupun kelompok anomic ada
pula yang secara sengaja diorganisir untuk
kepentingan politik tertentu,
3. Kelompok non-assosiasional, sangat jarang sekali
terorganisir, disebabkan aktivitas mereka yang sangat
episodik pula. Perbedaan dari kelompok anomik adalah
dasar mereka membentuk kelompok karena kesamaan
kepentingan etnik, wilayah, agama, pekerjaan, dan juga
tali kekeluargaan. Kelompok ini bisa berkelanjutan bila
dibandingkan dengan kelompok anomik. Kelompok
anomik terbagi 2 yaitu: 1) kelompok besar, terorganisir,
dan 2) sub-kelompok kecil pedesaan, mengenal satu
sama lain sehingga lebih efektif,
4. Kelompok institusional, merupakan bentuk kelompok
yang lebih canggih karena sudah berupa partai politik,
korporat bisnis, legislatif, militer, birokrasi, persekutuan
gereja, majelis ulama, dimana mereka mendukung
kelompok khusus dan memiliki anggota dengan
tanggung jawab khusus untuk mewakili kepentingan
kelompok,
5. Kelompok asosiasional, merupakan kelompok yang
dibentuk mewakili kepentingan kelompok yang khusus
atau spesifik termasuk serikat perdagangan dan serikat
pengusaha.

Sedangkan Maurice Duverger30 menjelaskan bahwa

30 Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok – Kelompok Penekan, terj

38 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


dalam sistem politik terdapat kelompok masyarakat yang
menjalankan fungsi tekanan-tekanan politik terhadap
kekuasaan pemerintahan. Kelompok itu disebut kelompok
penekan (pressure group), yakni sebagai kelompok yang
tidak mengambil bagian dalam memperoleh kekuasaan
secara langsung atau dalam menjalankan kekuasaan itu
sendiri; mereka bertindak untuk mempengaruhi kekuasaan
meskipun tanpa terlibat di dalamnya, serta melancarkan
“tekanan-tekanan” atas kekuasaan yang sedang berjalan.
Berbeda dengan partai politik yang memiliki orientasi
untuk memperoleh kekuasaan, menempatkan pejabat publik
dalam pemerintahan dan memenangkan pemilihan umum,
kelompok penekan berupaya untuk mempengaruhi orang-
orang yang memegang dan menjalankan kekuasaan, bukan
untuk menempatkan orang-orang mereka sendiri dalam
memegang kekuasaan, sekurangnya tidak menempatkan
secara resmi orang-orang atau perwakilan mereka.
Tetapi, kelompok-kelompok penekan tertentu
sebenarnya mempunyai wakil-wakil mereka di pemerintahan
dan di badan-badan legislatif, tetapi hubungan antara para
individu-individu tersebut dengan kelompok yang mereka
wakili tetap rahasia atau sangat hati-hati. Kelompok penekan
dapat pula dikatakan sebagai organisasi non politik, dimana
tekanan politik bukanlah satu-satunya aktivitas mereka.
Setiap kelompok, asosiasi, organisasi atau mereka-mereka
yang biasanya perhatiannya jauh dari masalah politik, dapat
bertindak sebagai kelompok penekan yang menyangkut hal-

Dra. Laila Hasyim, ( Jogjakarta: Bina Aksara, 1981), hal 119

PENDAHULUAN 39
hal tertentu di bawah situasi tertentu pula.
Kelompok penekan bertindak atas dua tingkatan (tahap)
yang berbeda:31
1. Mereka secara langsung menekan organ-organ
pemerintah seperti menteri, anggota parlemen, dan
pejabat-pejabat tinggi pemerintahan.
2. Mereka melancarkan pengaruhnya secara tidak
langsung kepada warga masyarakat guna membentuk
pendapat umum yang pada gilirannya akan
mempengaruhi pejabat pemerintah, yang biasanya
selalu menaruh perhatian pada pendapat umum.

Merujuk pada konsep tentang kelompok penekan,


organisasi mahasiswa merupakan salah satu kelompok yang
sering kali melibatkan diri dalam tindakan-tindakan yang
dimaksudkan memberikan tekanan politik pada pemerintah.
Tekanan politik ini diharapkan dapat mempengaruhi dan
merubah kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai.
Dalam konteks Indonesia, organisasi mahasiswa merupakan
salah satu kelompok penekan yang potensial sehingga selalu
diwaspadai oleh setiap rezim kekuasaan.
Dalam konteks kajian ini maka akan digunakan teori
pressure group untuk melihat peranan politik mahasiswa
sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai pressure group,
GMNI dan HMI menjalankan fungsi pengawasan terhadap
kebijakan-kebijakan negara secara kritis, dan bebas dari
kepentingan kekuasaan. Hal ini berbeda dengan kader-kader

31 Ibid, hal 143 - 144

40 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


GMNI dan HMI yang telah selesai masa keanggotaanya dan
berstatus sebagai alumni, dimana mereka tergabung dalam
berbagai asosiasi maupun kelompok yang bisa jadi memiliki
motivasi, cara pandang dan kepentingan politik yang
berbeda dengan organisasi GMNI maupun HMI.

4. Teori Civil Society


Akar pemikiran tentang civil society telah
berkembang lama. Versi awalnya dapat ditemukan dalam
karya Aristoteles yang bertema politike koinonia (political
society/community) atau yang dirumuskan dalam bahasa
latin sebagai societas civilis. Politike koinonia dirumuskan
sebagai “a public ethical– political community of free and
equal citizens under a legally defined system of rule”.
Hukum ini sendiri dilihat sebagai
ekspresi dari ethos, yakni seperangkat nilai dan norma umum
yang menentukan bukan saja prosedur-prosedur politik,
tetapi juga substansi dari bentuk kehidupan

Menurut Dahrendorf, civil society merupakan :


“the associations in wich we conduct our lives, and
wich owe their exixtence to our needs and
initiative rather than to the state”. (merupakan
sebagian dari asosiasi yang ada merupakan hasil
kreasi yang disengaja dan berusia sangat
singkat).32

Civil society bukanlah entitas sosial yang terdiri dari


kumpulan manusia yang secara umum disebut masyarakat,

32 Ralf Dahrendorf, Economic Opportunity, Civil society and Liberty, dalam


Cornelis Lay, Presiden, Civil society dan HAM, (Jakarta: Pensil 324, 2004)
hal 58 - 59
PENDAHULUAN 41
dan bukan pula manifestasi dari sistem komunal yang dapat
dikenal luas dalam masyarakat tradisional. Civil society
merupakan ruang publik yang berisikan manusia sebagai
individu-individu dengan atribut intrinsiknya. Oleh karenanya
ada kesan yang tertera dalam karakteristik civil society yang
sama dengan karakter manusia adalah manusia sebagai
individu. Jika civil society merupakan ruang publik dan
individu merupakan ruang privat, maka di dalam civil society
juga harus terdapat nilai-nilai kebebasan, kesederajatan, dan
nilai-nilai lain yang terkait seperti yang diungkap oleh Alexis
De Tocquivelle,33 yakni nilai-nilai individualisme otonom,
kesukarelaan, keswadayaan dan keswasembadaan.
Gabriel Almond menjelaskan civil society sebagai
kelompok masyarakat yang terjun berinteraksi secara sosial
dan politik tanpa campur tangan, atau kontrol dari pemerintah
berupa aturan. Mereka merupakan asosiasi bersifat sukarela
yang memiliki kompetensi, kemampuan secara aktif sebagai
warga negara dalam partisipasi politik, dan menjadi landasan
penting bagi demokrasi politik. Mengenai fungsi penting
dari civil society, penelitian Almond dan Verba
menunjukan temuan sebagai berikut:34
Democratic functions of civil society seem long
recognized. The organizational member, political
or not, compared with the nonmember, is likely

33 Burhanuddin, ed., Mencari Akar Kultural Civil society di Indonesia,


Jakarta, INCIS, 2003, hal 3.
34 Almond, Gabriel A., and Sidney Verba, The Civic Culture: Political
Attitudes and Democracy in Five Nations, (Princeton: Princeton University
Press, 1963), 320-321.

42 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


to consider himself more competence as a citizen,
to be a more active participant in politics. The
member, in contrast with the nonmember, appears
to approximate more closely what we have
called the democratic citizen. He is competent,
active, and open with his opinions. The most
striking finding is that any membership -- passive
membership or membership in a nonpolitical
organization -- has an impact on political
competence, and thus on pluralism, one of the
most important foundations of political
democracy.

Sedangkan, Larry Diamond35 menjelaskan civil society


merupakan masyarakat yang menjalani kehidupan sosial
sukarela, pembangkitan sendiri, dukungan sendiri, tidak
tergantung pada negara, dan terikat dengan aturan resmi.
Berbeda dengan arti “masyarakat” secara umum, dimana
civil society melibatkan warga bertindak secara kolektif
dalam lingkungan publik untuk mengekspresikan
kepentingan- kepentingannya, keinginan dan pemikiran-
pemikiran, pertukaran informasi, mencapai tujuan bersama,
membuat tuntutan kepada negara, dan mengawasi tanggung
jawab pejabat negara. Civil society merupakan entitas
perantara, yang berdiri diantara masyarakat umum dan
negara. Aktor- aktor dalam civil society memerlukan
perlindungan sebuah perintah resmi yang terlembagakan.
Civil society meliputi susunan organisasi yang luas, baik

35 Larry Diamond, Civil society and Development Democracy, (Jakarta:TIM


IRE Press, 2003), hal 6.

PENDAHULUAN 43
formal ataupun informal. Hal tersebut terdiri dari kelompok-
kelompok, antara lain:36
1. Ekonomi (produktif serta jaringan dan asosiasi
komersial)
2. Budaya (agama, suku, komunal dan institusi maupun
asosiasi lain yang tergantung pada hak-hak kolektif
nilai-nilai, keyakinan, kepercayaan, dan simbol-simbol.
3. Informasi dan pendidikan (pengetahuan umum, ide-
ide, berita dan informasi).
4. Berbasis kepentingan (dirancang untuk meningkatkan
atau mempertahankan fungsi bersama atau
kepentingan-kepentingan materi dari para anggotanya,
para pekerja, veteran, pensiunan, profesional, dan
sebagainya).

Dari uraian diatas, maka ciri civil society itu dapat


disimpulkan sebagai berikut, civil society berorientasi
pada kepentingan umum dibandingkan yang bersifat pribadi
atau golongan tertentu. Di samping itu, civil society
berpolitik tidak untuk mendapatkan kekuasaan atau
kedudukan poltitik, tetapi lebih kepada pencegahan atas
penyimpangan kekuasaan yang akan merugikan
masyarakat.
Diamond menjelaskan lebih jauh, bahwa civil society
memiliki fungsi demokratis yang meliputi:37
Pertama, dan yang paling mendasar dari masyarakat
madani adalah memberikan “dasar untuk pembatasan

36 Ibid
37 Ibid

44 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


kekuasaan negara, mengawasi negara oleh masyarakat
dan lembaga-lembaga politik demokratis sebagai cara yang
paling efektif melakukan pengawasan tersebut”.
Kedua, sebuah kehidupan yang penuh persatuan
melengkapi peranan dari partai politik dalam menstimulasi
partisipasi politik, meningkatkan efek politik yang
diharapkan dan kemampuan masyarakat demokratis, dan
mempromosikan sebuah apresiaisi kewajiban-kewajiban
selayaknya hak-hak kewarganegaraan demokratis.
Ketiga, civil society juga dapat menjadi arena penting
bagi pengembangan atribut-atribut demokratis lainnya,
seperti toleransi, sikap yang tidak berlebihan, kemauan
berkompromi, dan menghargai perbedaan pendapat atau
pandangan.
Keempat, civil society dapat menjalankan demokrasi
adalah dengan menciptakan saluran-saluran lain dari partai
politik untuk artikulasi, pengumpulan dan perwakilan
kepentingan. Fungsi ini sangat penting untuk memberikan
kesempatan bagi kelompok-kelompok yang secara tradisi
tidak dibolehkan-seperti kelompok perempuan dan ras
atau etnis minoritas-untuk masuk ke dalam kekuasaan
“lembaga eselon tertinggi” dari politik formal.
Dalam konteks demokratisasi, civil society memiliki arti
dan kontribusi yang sangat penting. Pertama, ia
menyediakan wahana sumberdaya politik, kebudayaan,
moral, ekonomi untuk mengevaluasi dan menjaga
keseimbangan pembuat kebijakan/pemerintah. Kedua,
plularisme dalam civil society, bila diorganisir akan menjadi
fondasi yang kuat bagi persaingan

PENDAHULUAN 45
demokratis. Ketiga, menghalangi dominasi penguasa yang
otoriter dan akan membantu proses tumbangnya penguasa
otoriter. Keempat, Civil society merupakan wahana untuk
mengkader pemimpin politik. Kelima, Civil society akan
berperan untuk menstabilkan negara. Keenam,
meningkatkan partisipasi politik masyarakat, karena
kesadaran politik yang tinggi.
Ciri dan peran dari civil society ini akan digunakan
untuk menjelaskan peran dan kedudukan GMNI dan HMI
diantara relasi masyarakat dan kekuasaan negara.
Organisasi ini menjalankan fungsi mediasi dan sekaligus
saluran politik alternatif yang potensial di luar sarana politik
formal yang tersedia.

C. Metodelogi

Dalam kajian buku ini menggunakan metode kualitatif


dengan pendekatan deskriptif analitik. Yang dimaksud
dengan deskriptif adalah metodologi yang menemukan
pengetahuan tentang objek research pada suatu masa
tertentu dengan cara mengumpulkan data berupa kata-
kata, gambar dan bukan angka-angka.38 Analisis yang
dimaksud adalah metode yang menghimpun kenyataan-
kenyataan yang dilukiskan secara sistematik, sehingga dapat
memperlihatkan hubunga-hubungan yang ada antara fakta
yang satu dengan yang lain.
Metode kualitatif menggunakan instrument

38 LJ. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Bandung: Remaja Rosda


Karya, 1998), hal 6.

46 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


pengumpulan data berupa wawancara dan penelitian
dokumen. Karena, ide metode kualitatif adalah dengan
sengaja memilih informan (atau dokumen atau bahan-bahan
visual) yang dapat memberikan jawaban terbaik pertanyaan
penelitian.39 Kajian ini tidak menguji hipotesa, melainkan
hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan
yang diteliti.
Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
atau melukiskan keadaan peristiwa atau obyek penelitian
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya. Kajian ini dilakukan dengan teknik pengumpulan
data primer yang bersumber dari wawancara dengan tokoh-
tokoh GMNI dan HMI melalui wawancara tidak berstruktur
secara langsung dengan berbagai tokoh kedua organisasi
ini.
Sedangkan, data sekunder diperoleh dari studi
kepustakaan (library Research), makalah, dokumen
kebijakan organisasi, hasil-hasil kongres, pernyataan politik,
terbitan-terbitan berkala, surat kabar, undang-undang, surat
keputusan atau ketetapan pemerintah, hasil-hasil penelitian,
laporan-laporan peristiwa, kliping dan sebagainya.

h
39 John W. Creswell, Research Design, (Jakarta: KIK Press, 2002), hal 144.

PENDAHULUAN 47
48 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
Bab 2

Gerakan Mahasiswa dalam


Lintasan Sejarah Politik
Nasional

P eran strategis dari angkatan muda, khususnya


mahasiswa, dalam pergolakan sosial politik telah
berlangsung bersamaan dengan sejarah politik Indonesia
modern terbentuk. Munculnya angkatan muda, termasuk
golongan intelektual dan aktivis, bukanlah sesuatu yang baru
dalam panggung sejarah Indonesia, bahkan jauh sebelum
deklarasi kemerdekaan dikumandangkan. Sebagai fenomena
khas abad XX, gerakan kaum muda tidak hanya muncul di
Indonesia, tetapi juga berlangsung diberbagai belahan lain
dunia. Seperti di China dengan May Fourth (Gerakan 4 Mei),
di India, Burma, Jepang dan lainnya.
Persoalan “Angkatan” sering dihubungkan dengan
peristiwa sejarah Indonesia yang besar, oleh karenanya
Onghokham1 membagi periodeisasi angkatan ini dalam
rentang angkatan pra kemerdekaan; muncul setelah
sekelompok mahasiswa kedokteran Stovia membentuk Budi

1 Onghokham, Op., Cit, Hal 116.


Utomo dan peristiwa Sumpah Pemuda 1928, yang kemudian
hari menjadi tonggak bersejarah bangkitnya kesadaran
kebangsaan oleh gerakan kaum muda, angkatan 45; mereka
yang terlibat dalam revolusi fisik melawan penjajah, angkatan
57; disekitar pergolakan politik masa demokrasi terpimpin
dan kembali ke UUD 1945, dan angkatan 66; didominasi
oleh tokoh-tokoh mahasiswa yang berasal dari organisasi
mahasiswa partai seperti GMNI, HMI, CGMI.

A. Angkatan Pra Kemerdekaan; Merumuskan Kesadaran


Kebangsaan Melawan Imperialisme
Gerakan reformasi abad pencerahan memberikan
kontribusi besar terhadap munculnya ide tentang negara
bangsa diluar dominasi otoritas feudal agama. Sejak
munculnya Ide negara bangsa (1648), nasionalisme telah
tumbuh berkembang sebagai sebuah ideologi yang mampu
mendobrak kemapanan tatanan sosial dan politik di hampir
semua negara Eropa. Gagasan ini membangkitkan harapan
akan munculnya suatu sistem dan tatanan masyarakat yang
tidak diskriminatif, eksploitatif, rasialis, atau dengan kata
lain suatu tata masyarakat yang egaliter dan humanis. Akan
tetapi dalam perkembangannya, paham ini ternyata telah
menjerumuskan Eropa dalam pemikiran egosentrisme sempit
dan akhirnya menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan
luar biasa pada negara-negara lain di luar Eropa.
Egosentrisme ini melahirkan ekspansi nasionalisme
Eropa dalam bentuk politik kolonialisme yang dilandasi
kepentingan ekonomi di belahan dunia lain seperti Asia,

50 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Afrika dan lainnya. Fenomena menarik dari kolonialisasi
Eropa adalah gerakan nasionalisme yang pada mulanya
diusung oleh bangsa Eropa justru memicu bangkitnya
gelombang nasionalisme bangsa-bangsa terjajah dan
menjadi senjata untuk melawan imperialisme Eropa.
Nasionalisme Indonesia yang tumbuh awal abad ke
20 tidak terlepas dari persoalan di atas, yaitu disatu sisi
terinspirasi oleh Eropa sementara di sisi lain sekaligus
mengilhami gerakan perlawanan terhadap imperialisme
Eropa. Nasionalisme Indonesia tidak dapat lepas dari
interaksi kaum Bumiputera terhadap sistem nilai dan
gagasan yang diperoleh dari sistem pendidikan Barat.

1. Budi Utomo 1908; Bangkitnya Kesadaran Kebangsaan


Bumiputera
Pendidikan Barat merupakan fenomena baru yang
terjadi setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda
menerapkan Politik Etis di Hindia Belanda. Politik Etis
berakar pada masalah-masalah kemanusiaan dan sekaligus
ekonomi. Kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang
sangat signifikan terhadap kebijakan pemerintah kolonial.
Industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang
potensial dan standar hidupnya perlu ditingkatkan. Modal
Belanda maupun internasional mencari peluang-peluang
baru bagi investasi dan eksploitasi bahan mentah,
khususnya di daerah-daerah luar Jawa.
Kebutuhan tenaga kerja Indonesia dalam perusahaan-
perusahaan modern pun mengalami peningkatan. Oleh

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 51


karena itu, kepentingan-kepentingan bisnis mendukung
keterlibatan yang secara intensif dari pemerintah kolonial
dalam rangka mencapai ketentraman, keadilan, modernitas
dan kesejahteraan, yang pada muara akhirnya adalah
peningkatan akumulasi keuntungan usahanya. Para pejuang
kemanusiaan membenarkan apa yang oleh kalangan
pengusaha diperkirakan akan menguntungkan itu, dan
lahirlah kebijakan yang disebut Politik Etis.
Politik Etis diperkenalkan tahun 1899 oleh C.Th. Van
Deventer dalam artikelnya yang berjudul “Een Eereschuld”
(suatu hutang kehormatan) yang diterbitkan oleh jurnal
Belanda de Gids. Deventer menyatakan bahwa negeri
Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia atas semua
kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka dan hutang
itu harus dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas
utama pada kepentingan rakyat Indonesia dalam kebijakan
kolonial.2
Gagasan ini ditindaklanjuti oleh Ratu Wilhelmina
dengan mengumumkan suatu usaha penyelidikan tentang
kesejahteraan di Jawa, dan dengan demikian langkah ini
merupakan pengesahan secara resmi Politik Etis. Alexander
W.F. Idenburg yang menjabat sebagai Menteri Urusan
Daerah Jajahan yang sekaligus juga sebagai Gubernur
Jenderal (1909-1916), mempraktekan tiga hal penting, yakni
pendidikan, pengairan, dan perpindahan penduduk, sebagai

2 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2004, ,(Jakarta: PT.


Serambi Ilmu Semesta 2005), hal 320.

52 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


prinsip inti dari Politik Etis.3
Sejalan dengan penerapan Politik Etis, sektor ekonomi
menunjukan perkembangan luar biasa melalui peningkatan
eksploitasi sumber daya alam, perkebunan dan
industrialisasi. Peningkatan ekonomi ini disertai pula oleh
perluasan daerah kekuasaan hingga ke luar Jawa. Hal ini
menuntut ketersediaan tenaga kerja bagi roda ekonomi,
termasuk bagi pengembangan sistem administrasi
pemerintahan kolonial yang sebagian besar terpusat di Jawa.
Dalam mengatasi hal itu dan sebagai upaya untuk
menyeimbangkan ketimpangan jumlah penduduk, program
pemindahan penduduk atau yang sekarang dikenal dengan
transmigrasi dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Politik Etis dalam hal pendidikan disertai dengan
berkembangnya dua aliran pemikiran yang berbeda
mengenai jenis pendidikan, model pendidikan dan out put
yang hendak dihasilkan. Pertama, pendekatan yang bersifat
elitis, dengan pendukungnya J. H. Abendanon, Direktur
Pendidikan Etis yang pertama (1900-1905). Dalam konsep
ini, pendidikan diarahkan menyerupai model yang
berlangsung di Eropa dan menggunakan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantarnya bagi kelompok elite pribumi.
Hal ini dimaksudkan agar tercipta lapisan masyarakat
yang memiliki cara pandang Barat, memiliki kemampuan
dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya
ditangani oleh pegawai berkebangsaan Belanda,
dapat bekerjasama dengan pemerintah kolonial, tahu

3 Ibid

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 53


berterimakasih dan selanjutnya menjadi contoh perilaku bagi
masyarakat golongan bawah. Selain itu, politik pendidikan ini
dimaksudkan pula untuk mendorong modernisasi
masyarakat dari fanatisme keagamaan mengingat
perkembangan Islam yang semakin pesat. Kedua,
pendekatan populis yang didukung oleh Idenburg dan
Gubernur Jenderal Van Heutsz. Menurut mereka, pendidikan
yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah
sebagai bahasa pengantarnya bagi golongan-golongan
bawah. Pendekatan elitis diharapkan dapat menghasilkan
pimpinan bagi zaman pencerahan baru Belanda-Indonesia,
sedangkan pendekatan yang merakyat diharapkan
memberikan sumbangan langsung bagi kesejahteraan.
Pendidikan Etis yang diterapkan Belanda ini telah
berhasil mengembangkan dunia pendidikan di Indonesia.
Tiga hoofdenscholen, sekolah para kepala di Bandung,
Magelang, dan Probolinggo disusun kembali menjadi sekolah
untuk menghasilkan pegawai pemerintahan dan diberi nama
baru OSVIA (Opleidingsvholen Voor Inlandsche Ambtenaren
atau sekolah untuk pelatihan para pejabat pribumi). Sekolah
dokter Jawa, Weltevreden diganti menjadi STOVIA (School
Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen – sekolah untuk
pelatihan dokter pribumi), dan mendirikan sekolah rendah
untuk pribumi yang akan melanjutkan pendidikan di OSVIA
maupun STOVIA, yakni HIS (Hollandsch–Inlandsche). Sekolah-
sekolah yang didirikan oleh Belanda ini menyerap kelompok
elite pribumi, terutama berasal dari kalangan priyayi rendah
dan bangsawan abangan. Mereka memandang bahwa

54 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


pendidikan tidak hanya memungkinkan untuk memasuki
struktur pemerintah kolonial, tetapi sekaligus sebagai kunci
menuju kemajuan.
Gagasan pembebasan bangsa Indonesia lewat
pendidikan kaum priyayi didorong sejak awal oleh jurnal
Bintang Hindia yang diterbitkan untuk pertama kali di
Belanda pada tahun 1902. Adalah Abdul Rivai, sarjana
lulusan sekolah dokter Jawa yang berdiam diri di
Weltevreden, sebuah daerah dipinggiran kota Batavia, yang
menulis artikel-artikel yang kritis dan menyerang praktek
kolonialisasi Belanda di Indonesia. Bintang Hindia ini
kemudian diedarkan secara meluas di Indonesia dan dibaca
oleh banyak kalangan elite sebelum penerbitannya berhenti
pada tahun 1906.
Artikel yang diterbitkan oleh Bintang Hindia ini
memberi pengaruh besar bagi perkembangan tentang ide-
ide kebangsaan dikalangan mahasiswa STOVIA. Gagasan
baru tentang organisasi dan dikenalnya definisi-definisi
baru tentang identitas muncul. Ide baru tentang organisasi
ini meliputi bentuk-bentuk kepemimpinan yang baru dan
canggih, sedangkan definisi baru meliputi analisis
mendalam tentang lingkungan agama, sosial politik dan
ekonomi.
Poltik Etis bagi kepentingan pemerintah kolonial telah
menghasilkan barisan pekerja pribumi terdidik yang siap
pakai sesuai dengan kebutuhan. Namun, melalui Politik Etis
ini pula pemuda pribumi dapat berinteraksi dengan gagasan-
gagasan baru dari dunia luar yang pada nantinya melahirkan
cara pandang dan kesadaran baru sebagai bangsa. Lapisan
pribumi terpelajar inilah yang akan menjadi pelopor bagai
Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 55
gerakan perjuangan kemerdekaan dengan cara-cara yang
lebih modern.
Dampak nyata dari pendidikan ini adalah didirikannya
organisasi modern pertama untuk kalangan priyayi Jawa
dibentuk pada tahun 1908 oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo
yang merupakan lulusan dari sekolah dokter Jawa. Diawali
dari kunjungannya ke STOVIA yang merupakan salah satu
lembaga pendidikan terpenting bagi kalangan priyayi rendah
Jawa. Pada 20 Mei 1908 digelar pertemuan yang dihadiri
oleh para mahasiswa STOVIA, OSVIA, sekolah guru,
sekolah pertanian dan sekolah kedokteran hewan.
Pertemuan itu menghasilkan beberapa kesepakatan:4
Pertama, didirikannya organisasi yang diberi nama
Budi Utomo (het schooner streven-ikhtiar yang indah) dan
mengangkat dr. Soetomo sebagai ketua. Kedua, basis
pergerakan organisasi ini akan meliputi wilayah Jawa,
Madura dan Sunda. Ketiga, organisasi ini dimaksudkan
sebagai wadah untuk melestarikan kebudayaan Jawa dan
sekaligus memajukan kepentingan priyayi rendah terutama
dalam aspek kebudayaan dan pendidikan yang dianggap
telah merosot dan tertinggal jauh di belakang.
Kemajuan pesat Budi Utomo dialami bersamaan
dengan didirikannya cabang-cabang diberbagai sekolah
Hindia Belanda. Dari jumlah sekitar 650 orang pada Juli
1908 berkembang menjadi sekitar 10.000 orang pada akhir

4 Roeslan Abdulgani, Dr. Soetomo Yang Saya Kenal, Yayasan Idayu, Jakarta,
1976, hal 21.

56 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


tahun 1909.5 Sebagai organisasi yang memusatkan perhatian
pada isu-isu kebudayaan, Budi Utomo hampir tidak memiliki
peran politik yang aktif. Dinamika internal dan bersifat
politis mulai berlangsung ketika muncul desakan dari dr.
Tjipto Mangunkusumo yang disampaikan dalam Kongres
pertama bulan Oktober 1908, agar Budi Utomo memperluas
cakupannya dengan menjadi partai politik yang berjuang
untuk mengangkat rakyat pada umumnya, bukan hanya
golongan priyayi dan kegiatan-kegiatannya tersebar ke
seluruh Indonesia. Meskipun pada akhirnya Kongres
menolak usulan ini, namun ide pendirian partai yang
dikemukakan oleh dr Tjipto ini memberikan andil penting
dalam tumbuh berkembangnya partai politik pada masa
kolonial, terutama setelah dr. Tjipto memilih bergabung
dengan Indische Partij
yang dikenal radikal.
Gema berdirinya Budi Utomo terasa di seluruh
Indonesia, bahkan pengaruhnya sampai ke negeri Belanda.
Sejumlah organisasi yang lebih aktif muncul. Beberapa di
antaranya bersifat keagamaan, kebudayaan, dan
pendidikan, beberapa lagi bersifat politik, dan ada pula
yang menggabungkan keduanya. Tidak lama berselang
berdirilah Trikoro Dharmo, Jong Java, Jong Celebes, Jong
Sumatera sebagai organisasi pemuda yang didirikan oleh
para mahasiswa sekolah dokter Jawa, serta organisasi
keagamaan yang didirikan untuk kepentingan pedagang
Islam.
Organisasi-organisasi ini bergerak di kalangan
masyarakat bawah, dan untuk pertama kalinya terjalin

5 Ricklefs, Op.Cit, hal 344.


Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 57
hubungan antara rakyat desa dan elite-elite baru itu. Jika
Budi Utomo merupakan representasi priyayi abangan
Jawa yang banyak duduk dalam administrasi pemerintah
kolonial, maka perkembangan organisasi-organisasi baru
ini banyak dipimpin oleh orang-orang yang telah berhasil
menyelesaikan studi di sekolah Belanda, namun kemudian
mengundurkan diri atau diberhentikan dari pekerjaan
pemerintahan. Perkembangan organisasi baru ini membawa
Indonesia memasuki fase pembaharuan yang paling penting
dalam sejarahnya yakni dengan munculnya para tokoh
pergerakan dari kalangan agama.
Organisasi yang dipelopori oleh kalangan agama ini
pada awalnya digunakan untuk menghadapi persaingan
dagang dengan para pedagang China dan hambatan aturan
pemerintahan kolonial. Sarekat Dagang Islamiyah (1909) di
Batavia yang didirikan oleh Tirtoadisurjo yang merupakan
lulusan OSVIA, dan Sarekat Dagang Islam6 oleh Haji Samanhudi
di Surakarta merupakan kumpulan pedagang Islam pribumi
yang bersaing dengan pedagang China yang pesat setelah
kemenangan revolusi China tahun 1911. Perkembangan
organisasi Islam ini telah mendorong menguatnya gerakan
Pan Islamisme dan gagasan modernisme sebagai dasar
yang tepat untuk menjalankan kegiatan politik.
Sementara itu di negeri Belanda, sekelompok
6 Terjadi perselisihan antara Tirtoadisurjo dan Samanhudi yang dianggap
terlalu disibukan dengan urusan dagang. Sarekat Dagang Islam berkembang
pesat setelah berubah menjadi Sarekat Islam tahun 1912 dan diperkirakan
mempunyai anggota tersebar berjumlah hingga 2 juta orang. SI dipimpin
oleh H.O.S Tjokroaminoto yang sebelumnya merupakan ketua cabang
Sarekat Dagang Islam Surabaya.

58 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


mahasiswa yang belajar di negeri Belanda berencana untuk
mendirikan Utomo cabang Belanda. Gagasan ini ditolak dan
mereka kemudian mendirikan organisasi bernama Indische
Vereeniging. Pada mulanya organisasi ini bergerak di bidang
sosial, dan sama sekali tidak mempunyai tujuan politik.
Tujuannya adalah memperhatikan kepentingan penduduk
Hindia Belanda yang ada di negeri Belanda.7
Perubahan haluan terjadi karena pengaruh dari luar.
Tiga serangkai, pemimpin pergerakan Indonesia yang
dibuang ke Belanda yaitu dr. Tjipto Mangunkusumo,
Suwardi Suryaningrat (dikenal juga dengan nama Ki Hajar
Dewantoro), dan dr. Douwes Dekker (dikenal dengan nama
lain Setia Budhi), memasukan unsur-unsur politik. Dengan
lambat laun kecenderungan politik organisasi ini mulai
mengemuka sebagaimana diungkapkan oleh Hatta, bahwa
sekali terdorong ke jalur politik, Indische Vereeniging tidak
bisa lagi ke luar dari jalur itu.8
Indische Vereeniging dirubah menjadi Indonesische
Vereegining dan kemudian hari menjadi Perhimpunan
Indonesia yang melahirkan tokoh besar seperti Soekarno,
Hatta, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Sukiman Wirjosandjojo.
Prinsip politik yang dianut adalah pikiran-pikiran tentang
persatuan rakyat, hak untuk mengatur diri sendiri, demokrasi,
menolong diri sendiri, pembentukan kekuatan, non
kooperasi. Dalam kaitan ini, digambarkan bahwa konsepsi
perjuangan

7 Susanto Tirtoprodjo, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, (Jakarta: PT.


Pembangunan, 1970), hal 48.
8 Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal
29.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 59


pemuda dan mahasiswa Indonesia adalah: adanya
pengertian dan kesadaran sebagai bangsa Indonesia,
kemerdekaan diperoleh sebagai hasil perjuangan, dan
terakhir, untuk mencapai tujuan itu maka segenap bangsa
Indonesia harus bersatu padu dan menjalankan massa aksi
nasionalis yang sadar dan bersandarkan kepercayaan pada
kekuatan sendiri untuk melawan dan menghentikan
penjajahan Belanda atas Indonesia.9
Budi Utomo mengalami eskalasi peran di luar misi
utamanya pada saat momentum perang dunia I meletus.
Kebutuhan untuk merancang suatu sistem pertahanan
Hindia Belanda dengan membentuk milisi-milisi yang
terdiri dari orang Indonesia telah berkembang menjadi
tuntutan mengenai perlunya pribumi memiliki perwakilan
di pemerintahan yang disebut dengan Volksraad. Bersama
dengan Sarekat Islam, Regentbond, dan organisasi lain
di Jawa, Budi Utomo mengutus delegasi untuk menemui
Ratu Wilhelmina guna pengusulan pembentukan Volksraad
dan disahkan dengan undang-undang yang disetujui pada
Desember 1916. Berdirinya Volksraad inilah pada nantinya
akan mendinamisir perpolitikan Hindia Belanda dan
berdirinya berbagai partai politik.

9 Yozar Anwar, Pergolakan Mahasiswa Abad Ke 20; Kisah Perjuangan


Anak-Anak Muda Pemberang, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hal 235.

60 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


2. Sumpah Pemuda 1928; Peneguhan Komitmen
Kebangsaan
Terbentuknya Volksraad sebagai lembaga perwakilan
rakyat meningkatkan intensitas keterlibatan pribumi dalam
persoalan politik dan mempengaruhi orientasi politik dari
organisasi-organisasi yang ada. Partai-partai politik mulai
bergeliat dan mempersiapkan diri merebut kursi dalam
Volksraad. Tumbuhnya kepartaian ini diikuti pula oleh
berkembangnya politik aliran yang terutama dipicu oleh
menguatnya penetrasi politik yang dilakukan oleh ISDV
(Indische Social Democratische Vereeniging) yang berhaluan
marxis kedalam organisasi massa lainnya, terutama di tubuh
Sarekat Islam.
Di kalangan nasionalis sekuler muncul PNI (Partai
Nasionalis Indonesia) yang didirikan oleh Soekarno dan
mantan aktivis Algemene Studi Club Bandung. Sementara
itu, organisasi Islam yang semula didorong oleh kepentingan
pribumi Islam dalam persaingan dagang juga mengalami
perkembangan yang didorong oleh semangat pembaharuan
dan modernisme Islam. Berdirinya Muhammadiyah menjadi
langkah besar dalam modernisme Islam yang diusung oleh
muslim perkotaan yang sebagian besar berprofesi sebagai
pedagang dan pegawai pemerintahan.
Modernisme Islam ini berangkat dari asumsi bahwa
Islam harus disucikan dari segala inovasi yang tidak sah atau
bid’ah. Perkembangan zaman telah melahirkan keadaan-
keadaan baru yang menuntut dilakukannya penelitian ulang
terhadap kebenaran-kebenaran al-Quran dan Hadis yang

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 61


abadi. Modernisme Islam ini dimaksudkan mengembalikan
Islam pada sumber-sumber suci dan sifat fundamental
dan penuh kemurnian. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan
modern (yaitu yang bersumber dari Barat) dapat digunakan
untuk mengangkat peradaban Islam dari kungkungan
tradisi feodal, takhayul, mistisisme, dan kebodohan yang
bertentangan dengan Islam.
Gagasan modernisme Islam ini mendapat reaksi dari
kelompok konservatif yang beranggapan bahwa modernisme
Islam akan mengancam eksistensi nilai–nilai kebudayaan dan
tradisi, serta menggusur pengaruh mereka dalam
masyarakat. Sedangkan kelompok lain adalah kalangan
ulama Syafi’i Jawa yang menganggap modernisme Islam
sama halnya dengan gerakan Wahhabisme (suatu gerakan
pemurnian
yang hanya mengakui kewenangan mahzab Hambali).
Mereka mengkhawatirkan bahwa kepentingan-kepentingan
mahzab Syafi’i akan diabaikan di Mekkah maupun Kairo,
sebagaimana mereka dikecam di Indonesia.
Oleh karena itu, pada tahun 1926, Kyai Haji Wahab
Chasbullah atas dukungan para kyai Jawa Timur, terutama
Kyai Haji Hasjim Ashyari mendirikan perkumpulan yang
diberi nama Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama).
Nahdlatul Ulama (NU) ini dimaksudkan untuk membela
kepentingan kaum muslimin tradisional, mendukung
berdirinya sekolah- sekolah Islam tradisional di pondok
pesantren, pemeliharaan fakir miskin dan usaha-usaha
ekonomi lainnya.
Ketegangan antara pengusung modernisme dan
tradisionalisme ini sebagian besar bersumber pada
62 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
perbedaan yang semakin tajam antara taklid dan ijtihad.
Faktor lain disebabkan oleh penaklukan jazirah Arab oleh
Ibnu Saud (1880–1953) atas dukungan kuat dari para ulama
Wahabi. Pergantian kekuasaan ini disertai pula dengan
perusakan dan penghancuran situs-situs yang dianggap
keramat dan memiliki nilai sejarah tradisional. Pada masa-
masa itu berhembus kabar di Indonesia bahwa paham
Wahabi akan dilarang di jazirah Arab. Kemenangan kalangan
Wahabi di tanah Arab inilah yang oleh Deliar Noer dianggap
sebagai sebab langsung berdirinya NU.10
Perkembangan organisasi keagamaan diikuti dengan
meningkatnya ketegangan antara kelompok modernis
dan tradisional. Hal ini membawa akibat tidak hanya bagi
pemerintah kolonial, tetapi juga kehidupan kepartaian.
Pemerintah kolonial merasa bahwa perkembangan ini dapat
menjadi ancaman bagi kekuasaan sehingga perlu dikontrol
secara ketat. Bentuk campur tangan ini diwujudkan dengan
pemberlakuan goeroe ordonantie yang mengharuskan
adanya laporan dan ijin dari penguasa untuk setiap
kegiatan mengajar. Kebijakan inilah yang kemudian ikut
membangkitkan kebencian kalangan Islam pada pemerintah
kolonial. Sedangkan dalam kepartaian, ketegangan modernis
dan tradisionalis telah menimbulkan ketegangan internal
dalam partai dan sekaligus meningkatkan persaingan antar
partai dalam merebut massa akibat masyarakat
terfragmentasi dalam organisasi massa keagamaan. Situasi
sosial pada masa

10 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti


Pers, 1987), hal 15

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 63


itu digambarkan penuh dengan berbagai gejolak dan konflik
sosial di tingkat massa akar rumput.
Situasi sosial yang sarat dengan gejolak dan
ketegangan rupanya disadari benar oleh para tokoh pemuda
pada masa itu. Organisasi yang ada, baik partai politik dan
keagamaan belum dapat merumuskan suatu konsepsi yang
bisa mempersatukan dan mengatasi segala perbedaan yang
berpotensi memicu konflik. Kebekuan politik bagi para
pemuda harus segera dicarikan jalan keluarnya sebelum
berkembang menjadi konflik terbuka.
Terobosan maju dilakukan oleh para pemuda dengan
berbagai kelompok studi yang didirikan untuk mengatasi
sekat primordialistik dan kecurigaan yang bersifat politis.
Pemuda mencoba untuk keluar dari kebekuan politik dan
menggagas kesadaran baru tentang identitas nasional
keluar dari mainstream lama, lepas dari kaitan keagamaan
dan kedaerahan. Kelompok studi inilah yang kemudian
menjalankan peran untuk mengkonsolidasikan seluruh
potensi organisasi kepemudaan guna merumuskan suatu
konsepsi persatuan nasional.
Upaya untuk menggagas penting persatuan nasional
sebenarnya telah dilakukan pada tahun 1927. Soekarno
dengan ide-ide nasionalisme telah mengambil inisiatif
penting melalui PNI untuk mengkonsolidasikan organisasi-
organisasi politik Indonesia dalam suatu front bersatu. Upaya
Soekarno ini memperlihatkan hasil maju dengan
bergabungnya Partai Sarekat Islam pimpinan Sukiman
Wirjosandjojo, Budi Utomo, Study Club Surabaya, serta
organisasi-organisasi kedaerahan,

64 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


organisasi Kristen dan PNI, kedalam suatu wadah yang
disebut dengan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Perjalanan
PPPKI tidaklah berjalan mulus mengingat sebagian anggota
PPPKI belum dapat menanggalkan ego primordialistiknya.
Partai Sarekat Islam mengundurkan diri dari PPPKI
dikarenakan tidak sejalan dengan kelompok lain, seperti NU
dan organisasi nasionalis sekuler atas klaim terhadap peran
utama dari kaum muslim perkotaan. Meski ikatan yang
dibentuk oleh PPPKI belumlah kokoh, ide-ide nasionalisme
yang tidak memiliki kaitan dengan ikatan kedaerahan dan
keagamaan telah berkembang pada masa itu dan telah
menjadi langkah awal bagi lahirnya nasionalisme Indonesia
yang dapat diterima secara umum.
Manifestasi puncak dari lahirnya komitmen dan
kesadaran baru para pemuda adalah diselenggarakannya
Kongres Pemuda pada 26-28 Oktober 1928. Kongres ini
diikuti oleh tokoh-tokoh pemuda dari berbagai organisasi
pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera,
Jong Celebes, dan lainnya, serta studi club seperti
Mohammad Hatta, Datuk Nazier Pamuntjak, Soekiman,
Sartono , Soenario (dari Perhimpoenan Indonesia), Soekarno
dan Anwari (Bandung Studi Club), Mohammad Yamin,
Amir Syarifuddin, Reksodipuro, Soewirjo, Abbas, Assat,
Wongsonegoro (Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia),
serta tokoh-tokoh muda lainnya.11 Dalam Kongres Pemuda
ini

11 Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, dan Daniel Dakidae, Manusia Dalam


Kemelut Sejarah, Jakarta, cetakan keenam, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 190.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 65


pula dirumuskan tiga prinsip dasar yang menjadi komitemen
dan kebulatan tekad para pemuda Indonesia yang kemudian
dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda; satu tanah
air, Indonesia; satu bangsa, Indonesia; dan satu bahasa
persatuan, Indonesia.
Sumpah Pemuda sebagai rumusan politik Kongres
Pemuda 1928 ini memiliki makna penting bagi perjuangan
nasional Indonesia:
Pertama, Sumpah Pemuda menjadi semacam panduan
politik bagi para tokoh pergerakan dalam mengidentifikasi
diri dihadapan pemerintah kolonial. Identitas nasional
sebagai bangsa ini menggantikan ikatan-ikatan
primordialistik yang sebelumnya menguat dan menimbulkan
ketegangan antar kelompok yang dimanfaatkan oleh
pemerintah kolonial
dalam menghadapi gerakan kritis.
Kedua, Sumpah Pemuda telah meneguhkan peran
politik pemuda dan melahirkan suatu lapisan elite sosial
baru yang memiliki posisi politik strategis dalam mendorong
transformasi sosial masyarakat menuju kesadaran baru
sebagai bangsa yang memiliki hak hidup merdeka dari
penjajahan.
Ketiga, Sumpah Pemuda menempatkan identitas
nasional sebagai faktor pemersatu tanpa ditengah adanya
potensi keragaman, kebhinekaan dan pluralisme yang
membentuk Indonesia.
Keempat, Sumpah Pemuda mensepakati prinsip
sekulerisme sebagai platform politik kolektif dalam
perjuangan mewujudkan bangsa Indonesia yang merdeka

66 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


dan berdaulat. Dengan tidak diadopsinya suatu paham
keagamaan tertentu menegaskan bahwa solidaritas kolektif
hanya dapat dimunculkan jika ada ruang yang terbuka
bagi setiap agama untuk berinteraksi. Mereka menyadari
sepenuhnya bahwa agama merupakan wilayah yang
sangat sensitif dan dalam kesejarahan organisasi-organisasi
keagamaan sebelumnya menunjukan intensitas ketegangan
yang tinggi.
Sumpah Pemuda menjadi babakan baru dalam sejarah
gerakan kaum muda. Komitemen politik yang dibangun
mampu mengatasi berbagai polemik yang bersifat sektoral
semenjak organisasi Budi Utomo didirikan hingga berdirinya
PPPKI, serta meradikalisasi peran politik angkatan muda.
Instrument perjuangan tidak hanya mengandalkan organisasi
sektoral, tetapi mulai menempatkan posisi partai politik
sebagai instrument perjuangan politik yang penting.
Tokoh-tokoh muda pergerakan meningkatkan kampanye,
propaganda menentang praktek imperialisme dan ide-ide
tentang persatuan nasional.
PNI yang didirikan Soekarno dan kawan-kawan dengan
giat menyelenggarakan kursus-kursus politik dan rapat-
rapat umum mengecam pemerintahan Hindia Belanda dan
dominasi Eropa di Indonesia. Radikalisasi angkatan muda
yang terjadi pasca Sumpah Pemuda ini mendapat respon
keras dari pemerintahan colonial. Sejumlah pimpinan
pergerakan ditangkap dan diasingkan. Hatta, Ali
Sastroamidjojo, dan kawan-kawan ditangkap dan diasingkan
di Den Haag atas tuduhan menganjurkan perlawanan
bersenjata.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 67


Represi juga terjadi terhadap PNI dengan ditangkapnya
Soekarno atas tuduhan mengganggu ketertiban umum.
Represi ini disatu sisi telah membatasi ruang gerak para
tokoh pergerakan dalam berinteraksi dengan massa.
Tetapi disisi lain memberi kesempatan bagi mereka untuk
merumuskan format gerakan politik yang lebih efektif
selain propaganda. Tokoh pemuda yang berada Volksraad
atas inisiatif MH. Thamrin membentuk kelompok nasional
(Nationale Factie) dengan anggota dari Jawa dan luar Jawa
untuk memperjuangkan semacam bentuk otonomi Indonesia
didalam kerjasama dengan Belanda. Bentuk perjuangan
politik melalui diplomasi dalam Volksraad ini merupakan
strategi untuk menghindari represi akibat penggalangan
massa yang dikhawatirkan oleh Belanda.
Pengasingan sebagian tokoh penting pergerakan
berpengaruh terhadap dinamika politik angkatan muda.
Pada awal 1930-an bentuk perjuangan politik lebih bersifat
cooperative akibat tekanan kuat dari pemerintah kolonial.
Selain itu, para tokoh pergerakan kemudian larut dan
berkutat pada persoalan domestik partai yang sarat dengan
beragam konflik internal, baik dalam hal pelembagaan
politik maupun pembentukan ideologi.
Gerakan non-cooperative mulai muncul kembali
menjelang pecahnya Perang Dunia Kedua. Para tokoh
pergerakan menyadari bahwa perang Asia sudah diambang
pintu dan akan membahayakan kedudukan di Belanda di
Indonesia. Serbuan Jepang ke Hindia Belanda adalah soal
waktu mengingat Jepang telah meningkatkan kekuatan

68 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


perangnya di Indocina setahun setelah perjanjian
persekutuan antara Jepang–Jerman–Italia ditandatangani
pada September 1941. Situasi ini dimanfaatkan oleh para
tokoh pergerakan untuk menjalin kontak rahasia dengan
Jepang dan menyusun kekuatan dalam negeri dengan
meningkatkan tekanan terhadap pemerintah kolonial
Belanda.

B. Angkatan 1945; Revolusi Kemerdekaan

Kemenangan Jepang atas Belanda disertai dengan


propaganda pembebasan bagi Asia sebagai bangsa
serumpun. Bagi para pemuda, kedatangan Jepang tidak lain
merupakan bentuk imperialisme baru meski dengan wajah
berbeda. Namun demikian, kekalahan Belanda atas Jepang
ini merupakan momentum politik yang dapat dimanfaatkan
untuk mengkonsolidasikan diri. Hal ini pula yang mendorong
mereka turut serta membantu Jepang dalam menghadapi
Belanda.
Pada awalnya, Jepang memang menunjukan sikap
kooperatif dengan membebaskan tokoh-tokoh pergerakan
yang ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Soekarno yang
diasingkan di Sumatera dikembalikan oleh Jepang ke Jakarta
pada tahun 1942, bergabung dengan Hatta dan Sjahrir.
Akan tetapi, tujuan utama Jepang yang untuk menyusun dan
mengarahkan ekonomi Indonesia dalam kerangka menopang
mobilisasi perang Jepang dan kepentingan dominasi
ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara,
telah memunculkan watak dan wajah sesungguhnya Jepang

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 69


yang merupakan imperialis baru di Indonesia.
Kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia
diprioritaskan pada dua hal: Pertama, menghapus pengaruh-
pengaruh Barat dengan memberi kesempatan lebih besar
kepada kekuatan lokal untuk berperan dibawah kontrol
Jepang sebagai saudara tua Asia. Kedua, politik mobilisasi
baik sumber daya alam maupun manusia guna membantu
Jepang memenangkan perang Asia Timur Raya. Kebijakan
ini bagi Jepang merupakan strategi yang efektif dibandingkan
pilihan untuk menciptakan stabilitas sosial bagi pendudukan
Jepang. Sedangkan bagi para tokoh pergerakan, kebijakan
Jepang ini telah mengilhami gerakan non kooperasi yang
nantinya akan memilih perjuangan bersenjata melawan
Jepang dan Belanda.
Praktis pada masa pendudukan Jepang semua aspek
kehidupan diarahkan pada mobilisasi perang. Kebijakan
mobilisasi ini diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:12
Pertama, pembentukan laskar-laskar kepemudaan
dengan memanfaatkan para tokoh pergerakan sebagai
pimpinanannya. Organisasi pemuda dan mahasiswa
memang mengalami perkembangan pesat, tetapi lebih
banyak diarahkan untuk kebutuhan militer dibandingkan
aktivitas politik. Tahun 1942–1943 merupakan masa
pembentukan laskar-laskar pemuda yang dididik kemiliteran
seperti Korps Pemuda (Seinendan), Korps Kewaspadaan
(Keibodan), Pasukan Pembantu (Heiho) dan Pembela Tanah
Air (Peta). Sementara itu, di sayap Islam, Jepang

mendukung
12 Ricklefs, Op.,Cit, hal 419

70 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Masyumi untuk mendirikan Hizbullah, milisi pemuda yang
kepemimpinannya banyak didominasi oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah dan PSII.
Kedua, mobilisasi tidak hanya dilakukan untuk
memperbesar jumlah pasukan penopang angkatan perang
Jepang, tetapi juga tenaga bagi eksploitasi sumber daya
energi dan pembangunan infrastruktur perang. Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) kemudian dibentuk dibawah pengawasan
ketat Jepang dan mengangkat empat tokoh penting sebagai
pimpinan, yakni: Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantoro dan
Haji Mas Mansur.
Ketiga, Jepang mulai menyadari tentang kedudukan
dan peran strategis dari kelompok Islam yang dipimpin oleh
para Kyai. Oleh karena itu Jepang kemudian membubarkan
Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang tidak kooperatif
dengan Jepang dan digantikan oleh Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia) yang mempunyai cabang-cabang
disetiap Karisidenan di Jawa.
Pada masa pendudukan Jepang, aktivitas politik
kepemudaan dan kepartaian praktis stagnan. Kebijakan
mobilisasi Jepang telah menutup kesempatan politik
angkatan muda, kecuali untuk kemiliteran dan berperang
membantu Jepang. Perubahan situasi berlangsung
bersamaan dengan terdesaknya posisi Jepang dalam perang
Asia Timur Raya oleh armada perang Sekutu. Februari 1944
angkatan udara Sekutu berhasil mengusir Jepang dari
Kwajalein di Kepulauan Marshall dan mendarat di Morotai
dekat Halmahera bagian timur Indonesia pada bulan
September 1944.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 71


Dalam posisi yang semakin terdesak, Jepang
meningkatkan kampanyenya untuk memberikan
kemerdekaan pada Indonesia. Strategi ini diharapkan efektif
memobilisasi lebih besar kebutuhan dan dukungan dari
rakyat untuk kepentingan perang Jepang. Pada bulan Maret
1945 Jepang membentuk suatu badan Dokuritzu Zyunbi
Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dipimpin oleh
Radjiman Wediodiningrat dan beranggotakan Soekarno,
Hatta, Abikoesno, M. Yamin, Ki Bagoes Hadikusumo,
Wachid Hasyim, dan tokoh lainnya.
BPUPKI ini dimaksudkan sebagai lembaga yang
mempersiapkan transisi dari pemerintahan kolonial Jepang
pada pemerintahan Indonesia yang merdeka nantinya.
Dalam sejarahnya, BPUPKI ini menjadi lembaga yang sangat
penting karena dalam rapat-rapat BPUPKI inilah kemerdekaan
menjadi agenda politik yang dibahas secara kolektif hingga
akhirnya berhasil merumuskan Dasar Negara dan Konstitusi
Republik untuk pertama kalinya.
Proses politik yang dilalui BPUPKI sangat dipengaruhi
oleh keputusan politik Jepang. Hal ini menimbulkan
ketidakpuasan di kalangan pemuda. Mereka beranggapan
bahwa generasi senior yang ada di BPUPKI tidak memiliki
cukup keberanian dalam memanfaatkan momentum
kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur Raya dengan
mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Sulit bagi mereka
memberikan kepercayaan penuh kepada Jepang akan nasib
Indonesia yang telah lama hidup di bawah kolonialisme.
Tepat sehari setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada

72 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


tanggal 15 Agustus 1945 akibat dijatuhkannya bom atom
di atas kota Hiroshima dan Nagasaki, para pemuda yang
berasal dari Garnisun Peta di Rengasdengklok, diantaranya
Soekarni dan Chairul Saleh, bergerak menculik dan
memaksa Soekarno dan Hatta untuk mendeklarasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukanlah
akhir dari perjuangan kaum muda. Sebagai negara baru
Indonesia dihadapkan pada sejumlah agenda penting:13
Pertama, membentuk sistem pemerintahan nasional yang
kuat dan akomodatif terhadap kekuatan politik yang
beragam; Kedua, pengakuan terhadap status sebagai
negara merdeka yang berdaulat penuh dari dunia
Internasional; Ketiga, mobilisasi umum dalam rangka
menghadapi potensi ancaman
kembalinya Belanda yang waktu itu menyusup dibalik operasi
pelucutan tentara Jepang di Indonesia oleh tentara Sekutu.
Suasana revolusi fisik itu telah menyita perhatian dari
sebagian besar angkatan muda terdidik. Dugaan bahwa
Belanda akan kembali untuk menjajah terbukti dengan
dilakukannya aksi militer sepihak oleh Belanda pada tahun
1947 yang kemudian dikenal dengan peristiwa Agresi Militer
I. Situasi perang ini menuntut adanya mobilisasi umum
seluruh potensi bangsa, baik partai politik maupun organisasi
massa lainnya, termasuk organisasi mahasiswa. Dalam
suasana revolusi menghadapi agresi militer Belanda inilah
berdiri organisasi mahasiswa dari sayap Islam, Himpunan

13 Chaniago, JR., Diantara Hempasan dan Benturan: Kenang-kenangan dr.


Abdul Halim 142 – 1945, (Jakarta: Arsip Nasional, 1981), hal 138.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 73


Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947 di Jogjakarta.14
Tahun 1945-1950 merupakan periode konfrontasi fisik.
Pada masa-masa ini sebagian besar perhatian diarahkan
pada perjuangan revolusi. Meski demikian, dinamika politik
nasional tetaplah berlangsung. Jika sebelumnya mahasiswa
memiliki kontribusi yang signifikan, maka pasca deklarasi
kemerdekaan peran politik lebih banyak dimainkan oleh
partai politik dan generasi senior. Situasi perang telah
menyebabkan terjadinya disrupsi pendidikan tinggi.15 Mereka
yang sebelumnya merupakan para tokoh mahasiswa, kini
mengisi struktur kekuasaan pemerintahan dan menduduki
jabatan-jabatan penting dalam partai politik.
Angkatan muda pada periode 1945-1950 itu tidak
terlalu terlihat peranannya kecuali sebagai sumber
rekruitmen
dan kegiatan kursus-kursus politik yang diselenggarakan
oleh partai politik atau organisasi pemuda/mahasiswa yang
dibentuk oleh partai politik dan mobilisasi perang melawan
pendudukan kembali oleh Belanda, baik dalam Agresi Militer
I maupun Agresi Militer II. Dalam situasi itulah angkatan
muda merupakan sumber daya penting dalam revolusi
kemerdekaan. Mengenai hal ini, Onghokham
menggambarkan bahwa angkatan muda biasanya
memegang peranan penting hanya pada saat-saat tertentu,
seperti perang dan revolusi dimana semangat muda dan
tenaga fisiknya diperlukan.16

14 Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (1947-1975), (Surabaya:


Bina Ilmu, 1976), hal 20.
15 Burhan Magenda, Op., Cit, Hal 132.
16 Lihat Onghokham, “Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik”, dalam
Analisa Kekuatan Politik Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 111.
74 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
C. Pasca Kemerdekaan: Dari Politik Aliran Menuju
Stabilitas Politik
1. Percobaan Demokrasi: 1950–1957
Usaha pemerintah sejak tahun 1950 adalah
mengurangi ketimpangan peninggalan kolonial, dan
membuka kesempatan yang luas untuk tercapainya
kesejahteraan dan keadilan bagi pendidikan tinggi. Sekolah-
sekolah mulai didirikan di berbagai wilayah baik dari mulai
tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Pengembangan
pendidikan ini selain memperbesar daya tampung juga
meningkatkan jumlah kaum muda terpelajar. Masyarakat
memiliki akses yang semakin terbuka untuk mendapatkan
pendidikan. Perkembangan pendidikan ini berbanding lurus
dengan meningkatnya pula dinamika kepartaian nasional.
Pada awal kemerdekaan, masyarakat politik di
Indonesia tidak memiliki partai-partai politik. Padahal adanya
partai politik merupakan suatu keharusan bagi suatu negara.
Sebagaimana dikatakan oleh Soekarno dalam pidatonya:17
“…ada satu hal lagi yang penting-maha penting
yang harus kita kerjakan dengan segera ialah
membangunkan suatu partai yang menjadi
motor perjuangan rakyat dalam segala suasana
dan lapangan, yaitu Partai Nasional
Indonesia…”

Ide Soekarno tentang perlunya dibentuk partai ini


kemudian berkembang dengan dikeluarkannya Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945. Maklumat tersebut
17 Dikutip dari Maj. Said (ed), Pedoman Untuk Melaksanakan Amanat
Penderitaan Rakyat, Jilid II, Halaman 1406.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 75


didasarkan atas desakan keputusan Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat untuk mendirikan sebanyak
banyaknya partai politik guna menyambut pemilihan umum
anggota badan-badan Perwakilan Rakyat yang sedianya
akan diselenggarakan pada bulan Januari 1946.18 Maklumat
ini menjadi genderang bagi tumbuh berkembangnya
kehidupan kepartaian lebih dinamis. Partai-partai politik baru
bermunculan seperti Masjumi pada November 1945, Partai
NU tahun 1952, termasuk yang melanjutkan kelangsungan
historis partai-partai politik yang telah ada sebelum masa
kemerdekaan, yakni PNI, PKI dan lainnya.
Partai-partai politik melihat bahwa penggalangan
massa merupakan elemen kunci dalam memenangkan kursi
kekuasaan. Penggalangan massa ini tidak hanya diarahkan
pada massa akar rumput, tetapi juga sektor potensial yang
penting, yakni kalangan muda terdidik. Jumlah mahasiswa
yang mulai menunjukan peningkatan siginifikan menjadi
lahan garapan yang potensial bagi partai politik menjelang
pemilu 1955. Mahasiswa merupakan sumber rekruitmen
politik yang strategis dan intrumen penggalangan massa
yang efektif bagi partai politik.
Dalam masa-masa menjelang pemilihan umum 1955
inilah berdiri sejumlah organisasi mahasiswa yang memiliki
kaitan erat dengan kepentingan partai politik.19 Di kalangan
nasionalis sekuler pada 23 Maret 1954 Gerakan Mahasiswa

18 Daniel Dakidae, Partai Politik dan Sistem Kepartaian, Prisma, Desember


1981, hal 10.
19 Lihat, Bonar Tigor Naipospos, “Mahasiswa Indonesia dalam Panggung
Politik, Ke Arah Gerakan Rakyat?” Prisma, 7 Juli 1996, hal 23.

76 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Nasional Indonesia (GMNI) didirikan atas dukungan politik
yang diberikan oleh PNI. Sedangkan di sayap komunis,
Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) didirikan oleh
PKI. Di kubu sosialis berdiri Gerakan Mahasiswa Sosialis
(Gemsos) yang memiliki kedekatan dengan Partai Sosialis
Indonesia (PSI).
Perkembangan partai–partai politik ini kemudian
mencapai puncaknya pada tahun 1955, menjelang
diselenggarakannya Pemilihan Umum pertama di Indonesia,
dimana pada waktu itu terdapat sekitar 36 partai politik.
Pemilihan Umum ini kemudian mengokohkan komposisi
partai politik dalam kursi parlemen dimana terdapat 27
partai, dan terbentuknya kabinet koalisi partai partai dalam
sistem parlementer.
Dalam pelaksanaannya, parlemen dan kabinet koalisi
yang terbentuk melalui Pemilu ini tidak dapat berjalan secara
efektif dan stabil. Gejolak lembaga parlemen menimbulkan
instabilitas politik dan jatuh bangunnya kabinet. Demokrasi
parlementer kemudian dikecam sebagai biang keladi
terhadap krisis politik nasional yang nantinya akan
berdampak pada sektor lainnya dan dianggap gagal
membawa Indonesia pada kehidupan yang lebih dinamis dan
maju sesuai dengan cita–cita revolusi. Kegagalan demokrasi
parlementer ini disebabkan oleh beberapa faktor:20
Pertama, bahwa partai-partai politik dianggap tidak
mampu menciptakan koalisi politik yang kuat dan stabil
akibat terlalu terfragmentasi. Partai besar biasanya

cenderung
20 Ricklefs, Percobaan Demokrasi, 1950-1957, Op.,Cit, hal 471-507.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 77


berkoalisi dengan beberapa partai kecil sehingga koalisi
yang dibangun tidak cukup kuat dan partai-partai koalisi
tidak segan-segan untuk menarik diri dan dukungan dari
koalisi. Sehingga kabinet koalisi yang terbentuk tidak dapat
bekerja secara efektif dan tidak berumur panjang sebagai
akibat rapuhnya ikatan koalisi.
Kedua, pola oposisi politik yang dilakukan oleh partai
yang tidak ikut dalam koalisi tidak berhasil mengembangkan
oposisi yang konstruktif. Partai oposisi seringkali lebih
dominan melakukan serangkaian gerakan politik untuk
menjatuhkan kabinet, sehingga setelah pemilihan umum
kabinet rata-rata hanya bertahan selama delapan bulan saja.
Ketiga, demokrasi parlementer menempatkan Presiden
sebagai kepala negara konstitusional dengan dibantu
menteri-menterinya yang bertanggungjawab kepada
parlemen. Sementara situasi parlemen yang bergejolak
menyebabkan pemerintah tidak dapat efektif melaksanakan
programnya dan sehingga krisis demi krisis melanda negara.
Kegagalan demokrasi parlementer dan gejolak
sosial politik yang ditimbulkannya mendorong Presiden
Soekarno untuk mengambil kebijakan politik dalam rangka
memulihkan stabilitas sosial politik dan mengatasi berbagai
pemberontakan yang terjadi ditanah air. Soekarno dengan
keras mengecam keberadaan partai-partai politik sebagai
penyebab dari instabilitas politik ini. Pada kesempatan pidato
28 oktober 1956,21 Presiden Soekarno mengecam keputusan

21 Pidato Presiden Soekarno didepan pertemuan wakil-wakil pemuda dan


semua partai politik pada tanggal 28 Oktober 1956, Marilah Kita Kubur

78 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


pemerintah pada November 1945 yang membuka jalan bagi
terbentuknya partai-partai politik.
Soekarno menilai keputusan itu adalah sebagai suatu
kesalahan politik yang pernah dibuat. Sebenarnya keputusan
itu merupakan manifestasi dari ide demokrasi yang
merupakan cita-cita sejak zaman pergerakan kemerdekaan.
Baik selama masa revolusi maupun sesudahnya, Bung
Karno tidak pernah melancarkan kritik atas keputusan itu.
Bung Karno merasa terikat secara moral dengan keputusan
yang dibuat itu, meskipun keputusan itu tidak
ditandatanganinya, melainkan oleh Wakil Presiden, M. Hatta,
karena Presiden sedang keluar kota pada waktu itu.
Kecaman terhadap keputusan itu muncul setelah
Mohammad Hatta bermaksud mengundurkan diri pada
menjelang akhir 1956.
Beragam reaksi muncul sebagai tanggapan atas pidato
Presiden Soekarno. Menanggapi penguburan partai-partai
politik, ketua Masyumi, Mohammad Natsir mengatakan,
bahwa selama demokrasi masih ada maka selama itu pula
partai-partai harus ada, dengan atau tanpa keputusan
pemerintah. Sebaliknya dikatakan bahwa selama masih
ada kebebasan partai, selama itu demokrasi ditegakan.
Kalau partai-partai dikubur maka dengan demikian
otomatis demokrasi akan terkubur pula. Natsir memberi
komentar pula bahwa memang ada faktor yang tidak
memuaskan dalam kehidupan politik di Indonesia, tetapi
apakah semua itu kemudian akan ditimpakan pada sistem
kepartaian. Sementara itu pemimpin PKI, DN Aidit, dapat

Partai-Partai.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 79


menerima pengurangan jumlah partai, namun bukan berarti
menghapuskan partai-partai.
Reaksi yang begitu cepat terhadap pidato Presiden
pada tanggal 28 Oktober 1956 tersebut, dua hari
kemudian Soekarno mengulang pendapatnya:
“Saya bukan Presiden Direktur dari Republik
Indonesia dan saya tidak ingin jadi diktator karena
ini berlawanan dengan kesadaranku…saya adalah
seorang demokrat, tetapi tidak ingin demokrasi
liberal. Sebaliknya yang saya inginkan adalah
Demokrasi Terpimpin.”22

Kecaman Soekarno atas instabilitas politik akibat sistem


multi partai ini kemudian berpuncak dengan pembubaran
partai-partai politik pada tahun 1960. Goyahnya sistem
pemerintahan dan kegagalan sidang-sidang konstiuante dan
parlemen menjadi jalan bagi Soekarno untuk membubarkan
partai-partai dan hanya mengijinkan 10 partai politik saja
untuk terus hidup. Partai-partai itu antara lain, NU, PNI, PSII,
Parkindo, Partai Katolik, PERTI, PKI, MURBA, sementara itu
Masyumi dan PSI yang tadinya diijinkan pada akhirnya juga
dibubarkan pada tahun 1960 karena dianggap berkaitan
dengan pemberontakan didaerah dan tidak lagi menjadi
kekuatan politik yang signifikan dalam sistem
pemerintahan. Pada masa Demokrasi
Parlementer berlangsung struktur politik
nasional kebanyakan diisi oleh para tokoh- tokoh gerakan
mahasiswa yang mengalami masa perjuangan
kemerdekaan. Sedangkan generasi baru yang muncul

22 Lihat Berita PIA edisi tanggal 12 November 1956.

80 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


merupakan kelanjutan histories dari generasi sebelumnya
dengan hubungan politik yang sangat erat. Para elite
ini kemudian membentuk oligarki politik dalam sistem
politik kepartaian yang dapat menyerap lapisan generasi
dibawahnya sehingga potensi munculnya partisipasi politik
diluar kendali mereka sangatlah kecil. Dinamika politik
sepenuhnya dikuasai oleh oligarki partai-partai.
Sistem politik Demokrasi Parlementer yang oligarkis
ini tidak memberi kesempatan partisipasi politik untuk
beberapa pihak. Termasuk kedalam golongan yang excluded
ini adalah mahasiswa, dan juga tentara. Kegiatan mahasiswa
pada masa demokrasi parlementer lebih banyak diisi dengan
kegiatan sosial seperti piknik, olahraga, pers mahasiswa
dan klub belajar. Masa itu juga ditandai dengan aktifnya
organisasi mahasiswa, baik yang berafiliasi dengan partai
politik maupun independen. Fischer juga melihat ketiadaan
partisipasi politik gerakan mahasiswa dari sudut hubungan
pribadi yang dekat antara mahasiswa dengan lapisan elite
politik nasional pada waktu itu.23 Sedangkan, dikalangan
tentara sendiri pada waktu itu daya kohesi internal sangat
rendah dan dengan sendirinya ini menerangkan ketiadaan
partisipasi politik mereka.
Elite nasional yang menguasai sistem politik pada
masa Demokrasi Parlementer adalah mereka yang menjadi
pimpinan pergerakan pada masa penjajahan dan periode
perjuangan fisik kemerdekaan. Elite ini cukup kecil jumlahnya
untuk ditampung perannya dalam sistem Demokrasi

23 Fischer dalam Burhan Magenda, Op., Cit, hal 133.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 81


Parlementer.Sistem politik ini memungkinkan terjadinya
pergantian lapisan elite secara merata dalam kesempatan
untuk menguasai kehidupan negara dan menjadikan mereka
sebagai apa yang oleh Soedjatmoko disebut “oligarki partai”.
Situasi itulah yang barangkali dapat menjelaskan mengapa
gerakan mahasiswa pada masa Demokrasi Parlementer
cenderung statis dan tidak memiliki fungsi politik yang
berarti.

2. Politik Aliran dan Demokrasi Terpimpin


Perubahan sebaliknya terjadi pada masa Demokrasi
Terpimpin. Keterlibatan mahasiswa mengalami peningkatan
dalam ranah politik nasional. Hal itu disebabkan oleh
beberapa hal: Pertama, terjadinya eksplosi pendidikan
tinggi yang memberi ruang bagi seluruh strata sosial untuk
memasuki dunia pendidikan dan mengakhiri monopoli
kelompok mapan, aristokrat dan priyayi. Eksplosi pendidikan
ini juga meningkatkan mobilisasi politik organisasi-organisasi
mahasiswa baik yang berafiliasi dengan partai politik
maupun independen.
Rocamora menyebut bahwa pada tahun 1964 jumlah
anggota GMNI mencapai 75 ribu orang, sedangkan Harsya
Bahtiar menyatakan bahwa HMI memiliki anggota sekitar
100 ribu orang, dan CGMI mencapai 32 ribu anggota.24
Kedua, upaya mobilisasi politik juga dilakukan oleh Angkatan
Darat yang pada tahun 1957 membentuk Badan Kerjasama
Pemuda Militer guna mengorganisasi kelompok mahasiswa

24 Ibid, hlm. 139.

82 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


yang independent dari partai politik.
Konsepsi Demokrasi Terpimpin diawali dengan
pidato Presiden Soekarno tanggal 21 Februari 1957 dalam
musyawarah Nasional dihadapan para pemimpin politik.
Secara konseptual Demokrasi Terpimpin merupakan model
demokrasi yang tidak meniru konsep Barat dan lahir dari
kepribadian dan nilai-nilai yang ada di Indonesia. Demokrasi
Terpimpin adalah manifestasi dari musyawarah mufakat
guna mengambil keputusan politik penting. Soekarno
mengecam pula Demokrasi Parlementer sebagai penyebab
dari berbagai gejolak dan instabilitas sosial politik.
Keluarnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 menjadi
tonggak baru sistem politik Demokrasi Terpimpin. Melalui
Dekrit Presiden, Soekarno membubarkan Konstituante
yang gagal menyusun konstitusi dan sekaligus penerapan
kembali UUD 1945 dan Pancasila. Kebijakan politik ini
dapat berjalan efektif berkat dukungan kuat tentara. Dekrit
menjadi momentum penting bagi tentara untuk mengambil
peran lebih luas dalam persoalan kenegaraan, termasuk
persoalan politik, yang sebelumnya sangat terbatas pada
masa Demokrasi Parlementer berlangsung.
Langkah Dekrit Presiden kemudian diikuti dua langkah
penting. Pertama, pembentukan kabinet Gotong Royong
yang didalamnya duduk semua partai-partai atau fraksi-fraksi
secara kekeluargaan. Penggunaan istilah gotong royong ini
merupakan istilah asli Indonesia sehingga menggambarkan
jiwa Indonesia yang semurni-murninya. Kabinet Gotong
Royong yang menteri-menterinya terdiri dari semua partai

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 83


atau fraksi. Kedua, adalah dibentuknya Dewan Nasional,
yang terdiri dari berbagai golongan fungsionil seperti wakil
Buruh, Tani, Intelektual, Pengusaha Nasional, Pendeta
Protestan, Katolik dan Ulama Islam, wanita, Kepala Staf
Tentara dari ketiga angkatan, Kejaksaan, Kepolisian dan
beberapa menteri penting yang pada nantinya akan dipimpin
sendiri oleh Soekarno.25
Dewan Nasional ini menurut Soekarno berfungsi untuk
memberikan nasehat kepada kabinet yang merupakan
perwujudan dari kekuatan-kekuatan politik dalam parlemen.
Bagi Bung Karno, Kabinet Gotong Royong dan Parlemen
merupakan dua kekuatan politik yang secara kelembagaan
memiliki peran dan fungsi berbeda namun unsur
pembentuknya berasal dari tempat yang sama. Jika
kemudian
Dewan Nasional dibawah kepemimpinan Bung Karno ini
dapat menjadi lembaga penasehat Kabinet maka kekuatan
politik Bung Karno akan semakin terpusat dan dengan
mudah menggerakan pemerintahan dalam mewujudkan
program pemerintahannya. Kedudukan tentara dalam
Dewan Nasional ini pulalah yang akan membuka peluang
bagi tentara untuk terlibat jauh dan menjadi kekuatan politik
penting selama Demokrasi Terpimpin, selain PKI dan Bung
Karno itu sendiri.
Demokrasi Terpimpin memberikan kekuasaan politik
lebih besar kepada Bung Karno untuk mengarahkan
kebijakan dan haluan politik pemerintah. Konflik politik
masa Demokrasi Parlementer menjadi pelajaran bagi Bung

25 Deliar Noer, Op.,Cit, hal 353.

84 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Karno untuk menata sistem politik dengan menekankan
perlunya persatuan nasional dari seluruh kekuatan politik.
Persatuan nasional itu juga penting dalam kerangka
menopang politik luar negeri Bung Karno yang anti Barat
dan upaya membendung neokolim dalam konfrontasi militer
di Irian Barat dan Kalimantan Utara. Gagasan Soekarno ini
diwujudkan dalam bentuk kebijakan NASAKOM (Nasionalis,
Agama dan Komunis) dengan merangkul seluruh kekuatan
politik.
Dalam konteks itulah, Bung Karno memerlukan
dukungan organisasi politik yang progresif, revolusioner,
cakap dalam memobilisir massa serta mendukung penuh
konsepsi politik tentang persatuan nasional berporoskan
Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom), Manifesto Politik-
UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Kepribadian Indonesia (Manipol-Usdek) dan sebagainya.
Bung Karno memandang, pilar pendukung itu hanya
dapat diperoleh dari kekuatan-kekuatan politik beraliran kiri
dan nasionalis radikal. Dalam konstelasi politik pada masa
itu, kekuatan sebagaimana dikehendaki Bung Karno tersebut
berada di tangan PNI dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Karena itu, dapat dipahami jika bandul politik Bung Karno
semakin mengarah ke kiri dan langgam politiknya dipenuhi
dengan slogan-slogan gerakan kiri.
Keberadaan PKI juga dimaksudkan sebagai kekuatan
penyeimbang untuk membendung pengaruh tentara yang
semakin kuat dalam kehidupan politik nasional. Karena
Bung Karno menilai tentara bersikap setengah hati dalam

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 85


mendukung konsepsi politiknya.
Angkatan Darat, melihat bahwa kebijakan ini dapat
memberi ruang yang luas bagi perkembangan komunisme
dibawah PKI. Kekhawatiran tentara ini dapat dimaklumi
mengingat pada pemilu 1955 PKI memperoleh suara
yang signifikan dan semakin berkembang sejalan dengan
kampanye mempertahankan Irian Barat dan Kalimantan
Utara dari serbuan Nekolim. Persaingan tentara dan PKI ini
semakin memuncak ketika meletus peristiwa G 30
September 1965 yang dianggap sebagai upaya kudeta dan
memaksakan Komunisme sebagai Dasar Negara
menggantikan Pancasila. Reaksi mahasiswa kala
itu terhadap peristiwa berdarah tersebut masih
belum jelas. Dalam beberapa hari, mahasiswa berdiam diri.
Respon mahasiswa yang lamban itu
sebagaimana ditulis John Maxwell dalam biografi Soe Hok
Gie, memunculkan kekuatan lain untuk mengawali sikap
memimpin opini publik. Selengkapnya Maxwell menulis
sebagai berikut:
“Respon mahasiswa terhadap peristiwa 1 Oktober
belum memunculkan kejelasan untuk sementara
waktu. Reaksi terhadap kudeta yang gagal itu
malah datang dari kekuatan lain. Ketika Soekarno
meminta rakyat tenang dan berupaya memperkecil
keterlibatan PKI, tentara memberitakan secara
besar-besaran kepada khalayak umum penemuan
dan pengangkatan jenazah enam jenderal dari
sebuah sumur tua di Halim pada 3 dan 4 Oktober.
Tentara melalui korannya sendiri, harian Angkatan
Bersenjata dan Berita Yudha mulai menyerang

86 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


PKI dan Aidit. Sampai 8 Oktober, tajuk tersebut
memuat tuduhan bahwa partai itu terlibat
langsung dalam percobaan kudeta. Koran-koran
PKI dilarang dan pencarian tokoh-tokoh komunis
di seluruh Jakarta segera di mulai.”26

Kampanye tentara itu menyulut gerakan


pengganyangan PKI dan organisasi komunis lainnya secara
besar-besaran. Tentara menghendaki adanya interpretasi
yang tunggal guna mengatasi polarisasi penafsiran. Bagi
tentara, upaya distorsi terhadap Pancasila dan UUD 1945
merupakan ancaman yang tidak perlu terjadi lagi dimasa
depan. Usaha pemantapan penerimaan dan interpretasi
tunggal tentang Pancasila dan UUD 1945 adalah jawaban
dari tentara terhadap ideologisasi politik di masa Demokrasi
Terpimpin.27 Berbagai demonstrasi menuntut pembubaran
PKI mulai muncul di berbagai daerah. Posisi politik Bung
Karno mulai terpojok dan tentara (khususnya Angkatan
Darat) secara perlahan mulai mengambil alih kekuasaan.
Reaksi mahasiswa baru muncul setelah berbagai aksi
massa menuntut pembubaran PKI terjadi secara terbuka.
Upaya mobilisasi politik juga dilakukan oleh Angkatan
Darat yang pada tahun 1957 membentuk Badan Kerjasama
Pemuda Militer guna mengorganisasi kelompok mahasiswa
yang independen dari partai politik. Organisasi-organisasi
mahasiswa antikomunis mulai bergerak dan terlibat
dalam kampanye anti PKI. Upaya mahasiswa antikomunis
26 Lihat, John Maxwell, (Terj.), Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual Muda
Melawan Tirani, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2001) hal 153-154.
27 Ibid, hlm. 142.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 87


menggunakan PPMI sebagai alat kampanye pengganyangan
PKI mengalami jalan buntu karena PPMI, yang dikendalikan
GMNI, mengambil sikap berdiam diri dan menunggu instruksi
Bung Karno.
Ketegangan politik terjadi antara kelompok pendukung
Soekarno dan anti Soekarno. Situasi itu kemudian
berkembang dan menyeret mahasiswa didalam pusaran
konflik politik. Pelajar dan Mahasiswa yang kritis terhadap
Soekarno ini kemudian mengorganisir dalam KAPI/KAMI,
yang oleh Marsilam Simandjuntak28 disebut sebagai “si
mata lembing Orde Baru”, menyatu dalam isu perubahan
politik dan perbaikan ekonomi. KAMI didirikan atas
anjuran dari Mayor Jenderal Syarif Thayeb, Menteri
Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, pada tanggal
25 Oktober 1965. KAMI terdiri dari organisasi-organisasi
mahasiswa dengan latar belakang religius–konservatif,
sebagaimana juga sejumlah organisasi yang didirikan
sebelum tahun 1965 dengan landasan yang jelas-jelas
menolak aktivitas politik. Dalam situasi itu, GMNI menolak
tawaran dari Syarief Thayeb untuk duduk dalam Presidium
KAMI.29
Mahasiswa KAMI memonopoli jalanan dan mendapat
sokongan dari tentara, Angkatan Darat. Sementara saingan-
nya dari sayap kiri dan Soekarnois, membentuk Barisan Pen-
dukung Soekarno, tidak terlalu dapat berbuat banyak kare-

28 lihat Marsilam Simandjuntak, Gerakan Mahasiswa Mencari Definisi?, Op.,


Cit. 168.
29 Lihat, Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya 1963-1969,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hal.58.

88 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


na lemahnya dukungan dan dianggap tidak popular. KAMI
dalam gerakannya melengkapi isu kisruh politik akibat perco-
baan kup PKI dengan momentum krisis ekonomi yang efektif
untuk untuk menggalang solidaritas masyarakat. KAMI mem-
formulasikan isu dalam slogan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat)
yang berisi tuntutan pembubaran PKI, retooling kabinet dari
unsur-unsur PKI, dan turunkan harga.
Selama kurun waktu 1965-1966, kelompok mahasiswa
anti Soekarno secara gencar melakukan aksi protes jalanan.
Berbagai harian dan surat khabar ramai memberitakan
setiap perkembangan di jalanan, terutama pers mahasiswa
milik KAMI, Harian KAMI. Kelompok mahasiswa ini dalam
propagandanya seolah-olah merepresentasikan keseluruhan
mahasiswa Indonesia, meski faktanya adalah sebagian kecil
jika dibandingkan dengan jumlah kelompok pro Soekarno,
GMNI, Germindo, Perhimi dan CGMI.30
Dinamika politik pada waktu itu disadari benar oleh
Angkatan Bersenjata sebagai momentum untuk memperkuat
posisi politiknya dalam konfigurasi kekuatan politik
nasional. Investasi politik Angkatan Darat dengan
membentuk Badan Kerjasama Pemuda Militer membuahkan
hasil. Aliansi kepentingan antara gerakan mahasiswa dan
Angkatan Bersenjata dalam menghadapi Soekarno
selanjutnya bekerja secara efektif dalam mendorong
kejatuhan Soekarno. Puncak dari “geger” politik itu adalah
pembersihan PKI dan pengikutnya, serta dijatuhkannya
Soekarno dari kursi

30 Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai; Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Soeharto, (Jakarta: Reform Institute, 2007), hal 56.

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 89


kekuasaan melalui Sidang Istimewa MPRS, yang sekaligus
menjadi pertanda berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin.

3. Stabilitas Politik dan Pembangunanisme Orde Baru


Orde Baru lahir dengan tema politik melaksanakan
UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, serta
pemulihan ekonomi yang sebelumnya terabaikan akibat
persoalan politik. Dalam strategi pembangunan nasionalnya,
Orde Baru mengadopsi paradigma pertumbuhan yang
menekankan pertumbuhan ekonomi dibandingkan
pemerataan. Konsep ini mensyaratkan terciptanya stabiltas
sosial politik yang mantap sebagai landasan pembangunan
ekonomi. Bagi Orde Baru, stabilitas itu tak hanya penting
bagi pembangunan nasional, tetapi juga bagi kekuasaan
yang baru diperolehnya. Asumsi inilah yang kemudian
menggerakan Orde Baru menjadi rezim politik yang represif
dan sentralistik guna menjamin terciptanya stabilitas sosial
politik.
Penataan dan restrukturisasi politik dilakukan Orde
Baru untuk mengikis sisa pengaruh Orde Lama baik
dalam birokrasi maupun partai politik. Permendagri No 12
tahun 1969 dikeluarkan untuk menjaga netralitas birokrasi
dan melarang menjadi anggota partai politik. Dalam hal
kepartaian, setelah Pemilu 1971 partai-partai didorong untuk
berfusi berdasarkan pengelompokan nasionalis sekuler dan
agama. Angkatan Bersenjata memperoleh konsensi politik
lebih besar dalam birokrasi pemerintahan sipil, peran-peran
ekonomi, begitu pula para pentolan aktivis mahasiswa
yang

90 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


kemudian diakomodir dalam jabatan-jabatan publik.
Politik balas jasa dilakukan oleh Orde Baru dengan
mengakomodir para aktivis 1966, terutama yang berasal dari
organisasi-organisasi pendukung KAPI/KAMI seperti HMI,
PMKRI, GMKI. Muncul nama-nama seperti Akbar Tanjung,
Cosmas Batubara, Marzuki Darusman, David Napitulu,
Ma’rie Muhammad, Rahmat Witular dalam struktur
kekuasaan Orde Baru. Sedangkan di sisi lain, kelompok-
kelompok yang dianggap sebagai pendukung Soekarno
harus menghadapi perlakuan represif. Di bawah payung
kebijakan pemulihan penciptaan stabilitas politik dan
keamanan, Orde Baru tidak hanya membersihkan PKI dan
pengikutnya, tetapi juga lawan- lawan politiknya, terutama
kelompok pendukung Soekarno.
Beberapa pimpinan pusat GMNI ditahan tanpa proses
peradilan, seperti John Lumingkewas, Bambang Kusnohadi,
Karceno dan lainnya.
Strategi Orde Baru untuk mengakomodir para tokoh
mahasiswa dalam struktur kekuasaan politik tampaknya
efek- tif meredakan dinamika politik mahasiswa. Depolitisasi
ma- hasiswa secara sistematis mulai dilancarkan guna
menjinakan mahasiswa dari geliat politik. Berbagai kebijakan
dirancang untuk membatasi persentuhan mahasiswa dengan
isu-isu politik dan pemerintahan. Puncak dari ini adalah
keluarnya kebijakan NKK/BKK untuk memendam mahasiswa
hanya se- bagai “insan akademis” yang steril dari
kepentingan politik praktis.
Kebijakan depolitisasi mahasiswa ini selain ditopang
oleh regulasi politik, juga menggunakan pendekatan
keamanan
Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 91
dengan apparatus represif negara sebagai instrument
dilapangan. Ruang bagi mahasiswa untuk mengekspresikan
sikap kritisnya menjadi sempit dan terbatas. Slogan politik
yang diteriakan pada tahun 1966 seperti keadilan,
kebebasan dan hak asasi manusia, kontradiktif dengan
kenyataan sentralisasi dan ketimpangan dalam struktur
sosial maupun ekonomi, yang mulai meningkat setelah
Pemilu 1971.
Kegelisahan mahasiswa mulai nampak pada tahun
1970an. Riak-riak protes terhadap pemerintah mulai
mengalami eskalasi. Praktek sentralisasi kekuasaan yang
diterapkan Soeharto bertentangan dengan konstruksi
ideal yang diusung oleh gerakan mahasiswa sebelumnya.
Sentralisasi ini telah menjadi faktor yang mendorong
munculnya budaya kroniisme baik dalam ekonomi maupun
politik. Tercipta pusat–pusat ekonomi baru yang bukan berasal
dari kekuatan ekonomi pribumi karena mereka ditopang oleh
oligarki politik dalam struktur kekuasaan negara. Hal lainnya
adalah eksplosi pendidikan tinggi, nampaknya liberalisasi
ekonomi ikut berkontribusi terhadap praktek komersialisasi
pendidikan yang menyebabkan meningkatnya biaya
pendidikan. Hal ini membuat pendidikan menjadi elitis dan
diskriminatif terhadap golongan sosial yang marginal.
Gerakan mahasiswa sepanjang tahun 1970-1980an
banyak menyoroti isu-isu pembangunan nasional. Korupsi,
pengangguran, kemiskinan dan ketergantungan modal asing
menjadi tema yang meramaikan protes jalanan mahasiswa.
Tahun 1970 mahasiswa bergerak dengan tema anti korupsi.
Meski para tokohnya mendapat perlakuan keras dari

92 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Kopkamtib Jaya Raya, namun gerakan ini telah mendapat
perhatian Soeharto yang kemudian membentuk Komisi
Empat pada Februari 1970 untuk menyelidiki korupsi. Protes
mahasiswa juga terjadi menjelang pemilu 1971. Mobilisasi
politik yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenangkan
Golkar memancing reaksi mahasiswa dengan menggalang
kampanye Golput.
Kelompok Golput ini aktif di beberapa kota, terutama
di Jakarta, Bandung dan Jogjakarta. Pada akhir 1973 hingga
1974 protes mahasiswa kembali mengalami eskalasi. Kali ini
yang menjadi perhatian utama adalah persoalan modal asing
dan ketergantungan ekonomi. Momentum kedatangan
Perdana Menteri Jepang, Tanaka disambut aksi unjuk rasa
yang dimotori oleh Dewan Mahasiswa gabungan
beberapa
perguruan tinggi dipimpin oleh Hariman Siregar, Ketua
Dema UI. Dibalik unjuk rasa yang dikenal dengan peristiwa
15 Januari 1974 (Malari) berkembang rumor tentang
perseteruan antara dua petinggi Angkatan Darat, yakni
Sumitro dan Ali Murtopo.
Protes mahasiswa kembali bergejolak bersamaan
dengan momentum Pemilu 1977. Mahasiswa kembali
mengajukan tema yang sama dengan tahun 1973;
kekuasaan tentara, ketidakadilan, kekerasan,
ketergantungan modal asing dan hutang luar negeri.
Represi yang terjadi pada periode sebelumnya rupanya
justru memupuk militansi mahasiswa. Antara tahun 1977-
1978, demonstrasi meningkat baik dalam segi jumlah
maupun keluasannya. Lebih dari 60 DEMA dari berbagai
perguruan tinggi di seluruh Indonesia
Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 93
berkoordinasi untuk melancarkan aksi protes.
Dalam suasana itulah, tahun 1978 Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Daoed Yoesoef, menerapkan kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Dalam konsep NKK,
normalisasi diterjemahkan sebagai pembatasan eksistensi
dan ruang gerak politik mahasiswa di kampus. Kebijakan
itu juga hendak memanipulasi kesadaran mahasiswa dalam
memaknai dan menjalani kehidupan di kampus.
Dalam konteks NKK, kehidupan kampus yang “nor-
mal” sama artinya dengan steril dari kegiatan politik. Keg-
iatan kampus diarahkan pada hal-hal yang bersifat
“student needs” (misalnya, pemenuhan kebutuhan buku
murah, bea- siswa), “student interest” (pengembangan minat
mahasiswa untuk berkesenian, penelitian) dan “student
welfare” (hubun-
gan belajar-mengajar dosen-mahasiswa yang harmonis dan
menyenangkan). Kebijakan lainnya, pemerintah menghapus-
kan lembaga-lembaga kemahasiswaan intra kampus, sep-
erti Dewan Mahasiswa dan Majelis Mahasiswa yang bersifat
otonom dan berperan seperti “pemerintahan mahasiswa”.
Sebagai gantinya, dimunculkan Badan Koordinasi Kemaha-
siswaan (BKK).
Namun, berbeda dengan Dewan Mahasiswa dan
Majelis Mahasiswa, lembaga baru itu tidak memiliki
otoritas pengambilan keputusan, berfungsi koordinatif, dan
sepenuh- nya berada dalam kontrol pemimpin kampus.
Pembubaran organisasi intra kampus itu mendapat
tentangan keras dari para mahasiswa. Meskipun demikian,
sikap rezim Orba tetap bersikukuh dan akhirnya gelombang
protes keras itu berhasil
94 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
dihentikan secara represif.
NKK/BKK menjadi pukulan hebat bagi radikalisasi
gerakan mahasiswa dari persentuhannya dengan politik
praktis. Aksi jalanan tidak terlalu menonjol pasca NKK/
BKK. Mahasiswa dipaksa hidup dalam penjara akademik
dan terisolasi dari ruang sosialnya. Situasi ini bukanlah tidak
disadari oleh mahasiswa, tetapi ancaman represi akademik
menyebabkan kritisisme harus berhadapan dengan
kenyataan pahit. Namun demikian, mahasiswa sebagai
elemen kritis secara kreatif tetap mencoba untuk
merumuskan strategi dan saluran baru bagi gagasan
kritisnya. Jika sebelumnya DEMA menjadi lembaga yang
efektif, maka periode selanjutnya mahasiswa melihat
kelompok diskusi, lembaga advokasi (LSM) sebagai wadah
strategis dalam melakukan
kritik terhadap rezim hingga NKK/BKK dicabut pada awal
1990-an dan diganti dengan Pedoman Umum Organisasi
Kemahasiswaan (PUOK).
Bentuk lembaga baru meski tidak serupa dengan
DEMA diperkenalkan, yakni Senat Mahasiswa Perguruan
Tinggi (SMPT) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEMPT).
Konsep dasar dari lembaga ini kemudian menjurus menjadi
bentuk student government yang mencoba bereksperimen
merumuskan gerakan keluar dari belenggu menara gading
akademik. SMPT dan BEMPT inilah yang kemudian menjadi
salah satu aktor penting dalam struktur gerakan mahasiswa
yang turut dalam gerakan protes menjatuhkan Soeharto
pada tahun 1998.
Pada akhirnya, kondisi subjektif dan objektif yang

Gerakan Mahasiswa dalam Lintasan Sejarah Politik Nasional 95


melingkupi mahasiswa akan memberikan kesempatan bagi
aksi-aksi protes oleh gerakan mahasiswa secara radikal.
Penyampaian protes melalui demontrasi, merupakan hasil
pengalaman sosialisasi politik selama kurun waktu yang
panjang, dan cara ini kemudian hari lazim dikenal sebagai
“gerakan ekstra parlementer”. Cara “ekstra parlementer” ini
menembus kebekuan saluran politik resmi yang disediakan
oleh negara.
Dalam kesejarahannya, cara ini merupakan tradisi
dalam sistem politik Indonesia. Pada zaman kolonial
mengambil bentuk “gerakan non kooperasi”, hingga pada
masa Demokrasi Terpimpin yang juga memperlihatkan cara-
cara “ekstra parlementer” par excellence. Gerakan
mahasiswa dari zaman ke zaman akan tetap menjadi
sesuatu yang
dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

96 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Bab 3

Dinamika Politik HMI dan GMNI


di Bawah Hegemoni
Kekuasaan Order Baru

A. Mahasiswa dan Pengorganisasian Politik

Organisasi mahasiswa yang lebih modern mulai


tumbuh berkembang paska diproklamirkannya kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Perkembangan ini dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi
internal pendidikan tinggi yang mengalami eksplosi hingga
memunculkan lapisan muda terdidik yang semakin besar,
tetapi juga lingkungan eksternal dimana sistem politik
nasional berlangsung semakin dinamis dengan munculnya
partai-partai politik dengan beragam aliran yang diusung.
Dinamika kepartaian semakin memuncak menjelang
Pemilu pertama yang diselenggarakan di Indonesia tahun
1955. Pada waktu itu terdapat sekitar 36 partai politik.
Pemilihan Umum ini kemudian mengokohkan komposisi
partai politik dalam kursi parlemen dimana terdapat 27
partai, dan terbentuknya kabinet koalisi partai partai dalam
sistem parlementer.
Perkembangan serupa juga terjadi disektor mahasiswa.
Berdirinya partai – partai politik ini sedikit banyak
mempengaruhi dinamika yang berlangsung dikalangan
mahasiswa. Berbagai organisasi mahasiswa mulai berdiri
dengan beragam ideologi dan platform politik yang
diusungnya. Dalam suasana politik yang semakin dinamis
itulah berdiri organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

1. HMI: Pembaharuan Islam dalam Pusaran Politik Aliran


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada
tanggal 5 Februari 1947 di Jogjakarta oleh aktivis mahasiswa
Islam yang sedang melangsungkan studi di kampus Sekolah
Tinggi Islam (STI, kini UII Jogjakarta), yakni Lafran Pane
(Yogya), Karnoto Zarkasyi (Ambarawa), Dahlan Husein
(Palembang), Maisaroh Hilal (yang kemudian pindah ke
Singapura), Suwali, Yusdi Ghozali (Semarang), Mansyur,
Siti Zainah (Palembang), M. Anwar (Malang), Hasan Basri,
Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi (Malang),
dan Baidron Hadi (Yogyakarta).1
Berdirinya HMI dimaksudkan untuk mempertinggi
derajat umat Islam, mempertinggi derajat bangsa Indonesia,
serta melibatkan diri dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia dari upaya agresi militer
Belanda.2 Penetapan tujuan ini kemudian disederhanakan

1 Syafinuddin Al Mandari, Demi Cita – Cita HMI; Ringkasan Perlawanan


Kader dan Alumni HMI Terhadap Rezim Orde Baru, (Jakarta: PT. Karya
Multi Sarana, 2003), hal 15.
2 Ibid

98 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


pada Kongres I HMI, 30 November 1947, menjadi: (1)
mempertinggi derajat umat Islam dan (2) mempertinggi
derajat bangsa Indonesia.3 Dalam konteks lingkup situasi
sosial politik pada masa itu, HMI muncul sebagai pengaruh
dari perkembangan sosial politik nasional serta pengaruh
dari gelombang gerakan pembaharuan dari dunia Islam.
Jelasnya situasi yang melingkupi kelahiran HMI itu dapat
dideskripsikan sebagai berikut:4
Pertama, munculnya gerakan pembaharuan di dunia
Islam yang dimaksudkan untuk mengembalikan ajaran Islam
kepada ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh kelompok
ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas kepada hal-hal yang
sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan
manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran Gerakan
Pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan
ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang
berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadis Rasullulah SAW.
Gerakan pembaharuan di dunia Islam bermunculan, seperti
di Turki (1720), Mesir (1807). Begitu juga penganjurnya
seperti Rifaah Badawi Ath Tahtawi (1801-1873), Muhammad
Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Saudi
Arabia (1703-1787), Sayyid Ahmad Khan di India (1817-
1898), Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-
lain.
Gelombang gerakan pembaharuan Islam kemudian
melanda Indonesia yang pada masa itu kondisi ummat Islam
sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4

3 Lihat dalam Dinamika Sejarah HMI, Badko Jawa Tengah, 1993


4 http://www.pbhmi.com/profile_isi.php?news_id=44, [8/4/ 2013]

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 99
(empat) golongan, yaitu: (1) Sebagian besar yang melakukan
ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan
seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran,
(2) Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang
mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, (3) Golongan alim
ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh
mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa
hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja, dan (4)
Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan
kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama
Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-
benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia dan
menggusur pengaruh mistikisme dan budaya sekuler yang
diusung oleh peradaban Barat.
Kedua, polarisasi politik aliran yang dibawa oleh partai-
partai politik telah berkembang dikalangan mahasiswa.
Berdirinya Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan
Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta dimana kedua
organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Sedangkan di
sayap politik Islam adalah Gerakan pemuda Islam Indonesia
(GPII) yang seideologi dengan partai Masyumi. HMI
beranggapan bahwa politik aliran ini telah menyebabkan
terkikisnya nilai-nilai religiusitas dan dan menyeret
mahasiswa dalam fragmentasi kepentingan.
Adanya polarisasi politik ini dipertegas oleh Dahlan
Ranuwihardjo mengenai situasi politik di wilayah RI,
khususnya Jogjakarta dimana pertentangan antara partai-
partai politik

100 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


pendukung pemerintahan Perdana Menteri Syahrir yang
berasal dari kubu sosialis dan kelompok oposisi seperti
Masyumi, PNI dan Persatuan Perjuangan, semakin tajam
dan melibatkan seluruh organisasi afiliasinya. 5 Menghadapi
kondisi ini HMI secara tegas kemudian menyatakan diri
sebagai organisasi kemahasiswaan yang independen.6
Ketiga, Republik Indonesia berada dibawah bayang-
bayang agresi militer I Belanda. Kondisi ini membuat seluruh
komponen masyarakat, termasuk HMI turut serta dalam
perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan
melawan Belanda. HMI yang baru saja didirikan secara
aktif terlibat membantu pemerintah, baik langsung dalam
konfrontasi bersenjata maupun sebagai staff, penerangan,
dan penghubung. Keterlibatan fisik HMI ini kemudian
berlanjut ketika menghadapi pemberontakan PKI di Madiun
18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad
Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan
Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro,
ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakan PKI
di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-
gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah
dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam
disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun 1964-
1965, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.
Situasi eksternal menjelang akhir tahun 1940-an

5 Dahlan Ranuwihardjo, Pengantar 50 Tahun Sejarah Perjuangan HMI, Op.,


Cit, hal 3.
6 Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006),
hal 28.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 101
yang demikian, membuat HMI kehilangan fokus untuk
melakukan penataan internal organisasi. Agus Salim
Sitompul menjelaskan bahwa kesempatan untuk melakukan
penataan organisasi mulai dapat dirintis kembali setelah
Indonesia memperoleh kembali pengakuan kedaulatannya
pada tanggal 27 Desember 1949.7 Selama tiga belas
tahun HMI mengadakan konsolidasi organisasi, sehingga
memungkinkan untuk tampil sebagai organisasi kader dan
perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan.
Pola pembinaan anggota yang diarahkan menjadi
sarjana muslim yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan
untuk menjadi kader umat dan kader bangsa. Selain upaya
pembinaan terhadap nilai-nilai ke-Islam-an juga membangun
rasa nasionalisme kebangsaan. Strategi yang digunakan
adalah rasa kecintaan organisasi sebagai wahana perkaderan
menuju tercapainya bangsa yang berkemanusiaan dan
bermartabat. Pola pembentukan pribadi melalui latihan
dan pengkaderan sebagai usaha mencetak kader bangsa
disegala bidang kehidupan dilakukan.
Faktor motivasi anggota masuk HMI dilakukan sejak
awal rekruitmen keanggotaan agar tidak mengalami
penyimpangan. Beberapa materi inti pembinaan meliputi:
ke Islaman, kebangsaan, kemasyarakatan, pengembangan
minat dan bakat, serta proses pengkaderan lainnya dengan
tingkat dan penjengjangan yang terstruktur.8 Upaya

7 Lihat Agus Salim Sitompul, Historiografi HMI 1947-1993, (Jakarta:


Intermessa, 1995), hal 56.
8 Ibid hal 42-43.

102 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


penataan organisasi ini berhasil meletakan dasar pergerakan
HMI sebagai organisasi yang lebih modern sekaligus
mengembangkan peranannya dalam ruang lingkup yang
lebih luas.
Hal itu ditunjukan dengan aliansi yang diikuti oleh HMI
dengan organisasi lainnya seperti, federasi Perserikatan Pe-
lajar Mahasiswa Indonesia (PPMI), Perserikatan Organisasi
pemuda Islam Seluruh Indonesia (PORPISI), dan bergabung-
nya HMI dalam organisasi mahasiswa sedunia (International
Union Of Student) serta dalam International Student Confer-
ence (ICS).9
Dalam konsolidasi organisasi ini, HMI merumuskan per-
anannya ditengah-tengah bangsa dan bernegara dalam se-
jumlah aspek penting. Pertama, sebagai organisasi pemuda
Islam, memiliki tanggungjawab menjadi agent of change
bangsa dan negara. Kedua, sebagai organisasi mahasiswa,
HMI memiliki tanggungjawab dalam persoalan kemaha-
siswaan khususnya, perguruan tinggi umumnya. Ketiga, seb-
agai pendukung dasar Islam, HMI bertanggungjawab
terha- dap penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
masyarakat dan kenegaraan.10
HMI sebagai ormas mahasiswa Islam menghadapi
suasana menjelang pemilu tahun 1955 yang diwarnai oleh
persaingan sengit antar partai politik. HMI yang semula
memiliki kedekatan politik dengan Masyumi, terutama
sebagai sarana untuk menyalurkan potensi kader dan

9 Ibid hal 27.


10 Agus Salim Sitompul, (Jogjakarta: Aditya Media, 1997), hal 87.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 103
aspirasi politiknya, memandang bahwa perlu ada suatu
upaya untuk menegaskan posisi politiknya keluar dari tarik
menarik partai politik. Independensi HMI yang ditempuh
sebagai sarana untuk menghindari friksi internal ini sekaligus
mengevaluasi sikap HMI yang pada tahun 1949 bersama
sejumlah organisasi Islam lainnya menyatakan bahwa aspirasi
politik umat Islam hanya diwakili oleh satu partai politik saja,
yakni Masyumi. Hubungan HMI dengan Masyumi semakin
merenggang ketika HMI memutuskan sikap politiknya
mendukung keempat partai politik Islam (Masyumi, NU, PSII
dan Perti).11
Upaya HMI untuk membangun independensi ini
bukanlah hal mudah mengingat kepentingan partai-partai
politik, terutama partai politik berbasis Islam yang melihat
HMI sebagai sumber rekruitmen politik yang potensial.
Penegasan independensi HMI dari afiliasi partai politik ini
kembali ditegaskan dalam Kongres HMI pada tahun 1953,
hingga Kongres kelima HMI pada tahun 1957. Salah satu
keputusan penting HMI dalam kongresnya adalah
pernyataan bahwa HMI merupakan milik dan anak
kandung umat Islam dan bukan menjadi underbouw suatu
partai politik Islam manapun juga. Keputusan itu diambil
dalam situasi nasional yang sedang carut marut akibat
penerapan demokrasi parlementer.
Perkembangan partai-partai politik ini kemudian

11 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran


Neomodernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadina–Pustaka Antara,1999), hal 58-
61.

104 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


mencapai puncaknya pada tahun 1955, menjelang
diselenggarakannya Pemilihan Umum pertama di Indonesia,
dimana pada waktu itu terdapat sekitar 36 partai politik.
Pemilihan Umum ini kemudian mengokohkan komposisi
partai politik dalam kursi parlemen dimana terdapat 27
partai, dan terbentuknya kabinet koalisi partai partai dalam
sistem parlementer.12
Situasi krisis politik nasional diawal 1957 diawali
dengan pergolakan dalam kabinet koalisi yang kemudian
memicu serentetan pemberontakan dibeberapa daerah.
Partai-partai politik yang pada masa itu beroposisi terhadap
Presiden Soekarno memberikan simpatinya pada gerakan-
gerakan didaerah yang mencoba melakukan pemberontakan
dan pembangkangan terhadap pemerintah pusat. Seperti
partai
Masyumi yang memiliki dukungan politik cukup kuat diluar
jawa, PSI, Parkindo dan Partai Katolik.13
Instabilitas politik akibat jatuh bangunnya kabinet
koalisi dan berbagai pemberontakan didaerah kemudian
ikut mendorong Presiden Soekarno mengambil langkah-
langkah pemulihan situasi dengan mengakhiri demokrasi
parlementer dan menerapkan apa yang disebut sebagai
demokrasi terpimpin. Langkah politik yang kemudian diambil
oleh pemerintah pada waktu itu adalah membekukan partai-
partai politik yang dianggap sebagai pemberontak dan

12 Daniel Dakidae, “Partai Politik dan Sistem Kepartaian”, Prisma, Desember


1981, hal 10.
13 Chusnul Mariyah, Soekarno dan Demokrasi, dalam Nazaruddin
Sjamsuddin; Soekarno; Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek, (Jakarta:
Rajawali Press, 1988), hal 173.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 105
kontra revolusioner, termasuk Masyumi.
Dengan demikian, maka sikap HMI yang meneguhkan
independensinya menjadi tepat dan bukan semata akibat
adanya polarisasi baik dalam konteks penafsiran maupun
afiliasi politik dikalangan umat Islam dan mengakhiri posisi
HMI yang sering terombang-ambing akibat tarik menarik
partai politik Islam, tetapi juga sekaligus memperbaiki citra
HMI yang dianggap memiliki kedekatan dengan Masyumi.
Mengenai hal ini Sulastomo menjelaskan bahwa persoalan
bagi HMI tidak saja apakah dapat diterima oleh keempat
partai politik Islam itu, tetapi juga pertimbangan demi
kepentingan bangsa dan negara.14
Menilik konteks berdirinya dan perjalanan sejarahnya,
maka corak Keislaman HMI adalah moderat. Nilai-nilai Islam
yang dituangkan dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI —
yang dikompilasi oleh Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin
Anshari dan Sakib Mahmud—, mengetengahkan Islam secara
substansial, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, antara
lain: (1) Tauhid/Keesaan Tuhan; (2) Universalitas Islam; (3)
Islam yang inklusif; (4) Islam yang dialogis; (5) Kemanusiaan/
persaudaraan/hak asasi manusia (HAM); (6) Islam sejalan
dengan modernitas/progresifitas dan demokrasi; (7) Islam
yang tidak ekstrim (ummatan wasathan/umat yang mampu
berdiri di tengah-tengah); dan (8) Islam yang toleran.
Dalam konteks itu, keberadaan HMI mengemban misi
untuk mewujudkan wajah Islam yang modern/maju, toleran,
dan tidak ekstrim. Yang dikedepankan dan diperjuangkan

14 Lihat Sulastomo, HMI dan Politik, Dalam 50 Tahun HMI, Op. Cit, hal 86.

106 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


oleh HMI adalah bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai
keberislaman semacam itu. Menurut Nurcholish Madjid (Cak
Nur), NDP HMI semacam itu, lebih terfokus pada upaya
mengetengahkan Islam secara substansial. Bukan formal.
Oleh sebab itulah, HMI tidak menghendaki formalisasi hukum
(syariat) Islam, melainkan bagaimana menanamkan nilai-nilai
(substansi) ajaran Islam itu di tengah-tengah masyarakat
Indonesia yang plural atau majemuk.
Di sisi lain, komitmen kebangsaan/Ke-Indonesiaan HMI
diwujudkan dalam berbagai peran nyata dalam mengisi
kemerdekaan dengan ikut serta menjadi bagian integral dari
proses-proses pembangunan, dan proses-proses
kebangsaan lainnya. Sebagai “sumber insani
pembangunan”, maka insan-insan HMI diharapkan
menjadi pelopor/penggerak
pembangunan bangsa di segala bidang. Oleh sebab itulah
kader-kader HMI dituntut untuk mampu tidak saja memahami
secara baik atas berbagai permasalahan pembangunan dan
permasalahan bangsa secara luas, tetapi juga diharapkan
mampu untuk berbuat sestau secara konstruktif, agar
tidak terjadi stagnasi pembangunan, serta mengupayakan
berbagai hal demi kemajuan dan kemandirian bangsa.

2. GMNI: Nasionalis Soekarnois Di Tengah Politik


Kepartaian
Gagasan untuk mendirikan suatu wadah bagi kalangan
muda terdidik yang mengusung pemikiran politik Soekarno
dan bersifat nasionalis berkembang dari pertemuan
para pimpinan tiga organisasi mahasiswa yang beraliran

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 107
marhaenisme yaitu, Gerakan Mahasiswa Demokrat
Indonesia di Jakarta (GMDI), Gerakan Mahasiswa Merdeka
di Surabaya dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis di
Yogyakarta. Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa
mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953,
Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan
pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang
dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang
diketuai oleh
S.M. Hadiprabowo.15 Dalam satu rapat pengurus GMDI yang
diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan
Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan
ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah.
Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua
organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan
positif.
Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajakan,
kemudian pada bulan September 1953 diadakanlah rapat
bersama antar ketiga pimpinan organisasi mahasiswa tadi di
rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan
Taman Suropati. Aktivis mahasiswa yang menghadiri
pertemuan itu adalah Wahyu Widodo, Subagio Masrukin dan
Sri Sumantri dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis. Slamet
Jayawijaya, Slamet Rahardjo dan Haruman mewakili
Gerakan Mahasiswa Merdeka serta M. Hadiprabowo,
Djawadi Hadiprakoso dan

15 Dalam proses pendiriannya, Hadiprabowo menjelaskan bahwa GMDI


memiliki peranan yang cukup besar mengingat gagasan fusi justru muncul
dari kalangan pimpinan GMDI. Pilihan tempat pertemuan di Jakarta,
yang merupakan basis Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, semakin
memperkuat dominasi peran itu. Lihat, Pidato sambutan mantan Ketua
Umum DPP GMNI M.Hadiprabowo dalam Kongres V GMNI di Salatiga,
arsip Presidium GMNI, tanpa tahun dan tanggal.
108 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
Sulomo dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia. Hasil-
hasil pertemuan itu antara lain: Pertama, tiga organisasi
mahasiswa itu mencapai kesepakatan untuk melakukan fusi.
Kedua, wadah hasil fusi merupakan organisasi berazaskan
marhaenisme. Ketiga, hasil-hasil itu akan ditindak lanjuti
dengan pelaksanaan kongres di Surabaya dalam jangka
waktu enam bulan setelah pertemuan di Jakarta tersebut.16
Kesepakatan untuk melakukan fusi menjadi organisasi
baru dengan menggunakan marhaenisme sebagai ideologi
politik tentunya tidak hanya memperkuat barisan yang
sekubu dengan Bung Karno, tetapi juga memberikan
keuntungan tersendiri bagi kepentingan politik PNI yang
memang merupakan partai berazaskan marhaenisme.
Kondisi politik sedemikian inilah yang kemudian
memberikan ruang bagi
penafsiran bahwa kelahiran GMNI sangat dimungkinkan
karena sedikit banyak ada kepentingan politik PNI untuk
menggalang dukungan dari kalangan muda terdidik. Hal
ini diperkuat dengan penjelasan salah satu pendiri PNI,
Prof. Soenario SH, bahwa gagasan agar PNI membidangi
pendirian organisasi dikalangan mahasiswa muncul dari
Sartono SH sewaktu PNI dipimpin oleh Sidik Djojosukarto.17
Peran PNI ini diakui oleh beberapa aktivis GMNI.
Mantan Ketua Umum DPP GMNI Hadiprabowo menuturkan,
PNI membantu pendanaan Kongres I GMNI pada 23 Maret
1954 di Surabaya. Meskipun pada akhirnya bantuan
keuangan

16 Lihat, Komite Organisasi Presidium GMNI, Panduan Organisasi, (Jakarta:


Penerbit Presidium GMNI), 2003, hal. 2.
17 Lihat, Prof. Soenario, SH, Banteng Segitiga (Jakarta: Yayasan Marinda,
1988) hal. 86.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 109
tersebut tidak dapat dicairkan dalam jumlah sebagaimana
yang dijanjikan, namun bantuan keuangan itu membuktikan
adanya keterlibatan aktor politik di luar mahasiswa dalam
Kongres GMNI.18 Kedekatan GMNI dan PNI semakin terlihat
jelas setelah GMNI melangsungkan Kongres II tahun 1956
di Bandung. Para pimpinan GMNI dan PNI semakin intens
dalam melakukan komunikasi maupun kerja-kerja politik
baik untuk kepentingan GMNI sendiri, maupun kepentingan
politik PNI. Hubungan itu kemudian dilegalisasi ke dalam
struktur formal kepartaian. PNI menempatkan GMNI sebagai
salah satu organ se-azas.19
Penetapan relasi GMNI-PNI sebagai organ seazas ini
merupakan hubungan simbiosa mutualistik bagi kedua belah
pihak. Bagi GMNI, terbuka kesempatan yang lebih luas untuk
mempengaruhi sikap dan kebijakan politik PNI, memperoleh
dukungan akses politik maupun logistik organisasi, serta
melakukan mobilitas struktural dalam jabatan-jabatan
politik yang lebih nyata dalam jenjang kepengurusan partai.
Sementara itu bagi PNI, GMNI merupakan organ sayap
yang potensial untuk menggalang dukungan mahasiswa
dan sumber rekruitmen politik guna kepentingan kaderisasi
politik partai. Posisi GMNI sebagai organ PNI ini oleh

18 Penolakan GMNI untuk menjadi onderbouw PNI berbuntut dikuranginya


bantuan dana kongres dari Rp. 100.000,00 menjadi Rp. 25.000,00. Hari
pertama pelaksanaan kongres kemudian ditetapkan sebagai hari lahir
GMNI. Dalam kongres itu Hadiprabowo terpilih sebagai Ketua Umum DPP
GMNI. Hadiprabowo, Loc.cit.
19 Lihat, J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi, Bangkit dan
Runtuhnya PNI 1946-1965 (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal.
321-324.

110 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Rocamora dideskripsikan memiliki pengaruh politik yang
cukup signifikan dalam mempengaruhi kebijakan politik
PNI.20
Upaya pengembangan GMNI selanjutnya tidak hanya
untuk memperluas struktur organisasi, tetapi juga diarahkan
pada kepentingan pemantapan ideologi. Kongres III GMNI di
Malang, Jawa Timur pada tahun 1959 memutuskan
mengenai perubahan model kepemimpinan organisasi di
tingkat pusat. Model Dewan Pimpinan Pusat (DPP) diganti
dengan bentuk Presidium. Perubahan itu dilakukan untuk
mengeliminasi sentralisasi kepemimpinan organisasi ke
dalam satu tangan.21 Perubahan itu juga dimaknai sebagai
bentuk penegasan simbolis mengayunnya ‘bandul’
pergerakan politik GMNI ke arah barisan kekuatan kiri
progresif revolusioner.22 Sikap
itu, tidak lepas dari garis politik Bung Karno saat itu yang
gencar membangkitkan semangat rakyat untuk menuntaskan
“revolusi yang belum selesai”. GMNI akhirnya terbentuk
menjadi organisasi mahasiswa yang paling radikal.

20 Rocamora, Ibid, hal. 321-324.


21 Presidium merupakan kepemimpinan kolektif yang terdiri dari beberapa
orang yang memiliki kedudukan dan hak yang sama. Dengan demikian,
maka kekuasaan organisasi tidak tersentral pada satu orang ketua umum
sebagaimana dalam model DPP, namun dipegang oleh beberapa orang
ketua yang memiliki status dan kedudukan yang sama. Pelaksana kebijakan
organisasi dipegang oleh satu orang sekretaris jenderal .
22 Model kepemimpinan kolektif seperti presidium sangat lazim dipakai
dalam struktur organisasi, partai politik maupun pemerintahan di negara-
negara yang menganut ideologi kiri seperti sosialis komunis. Misalnya, di
bekas USSR, kekuasaan tertinggi negara secara formal berada di tangan
Soviet Tertinggi. Soviet Tertinggi merupakan kepemimpinan kolektif
model presidium. Demikian pula struktur partai komunis di negara-negara
tersebut memakai model presidium sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
partai.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 111
Sikap politik itu makin dipertegas lagi dalam Konferensi
Besar (Konbes) GMNI pada tanggal 17 Februari 1959 di
Kaliurang, Yogyakarta. Dalam Konbes itu, Bung Karno
menyampaikan pidato politiknya berjudul, “Lenyapkan
Steriliteit dalam Gerakan Mahasiswa”. Dimana, inti pidato
tersebut, Bung Karno menyerukan agar GMNI selalu berada
dalam barisan kaum marhaen dalam melawan kapitalisme,
imperialisme dan kolonialisme.23
Seakan menjawab “tantangan” Bung Karno, Presidium
GMNI kemudian merumuskan garis pedoman ideologis
bagi perjuangan marhaenis yang diberi judul ”Beberapa
Tesis Pedoman Garis Perjuangan”. Rumusan pedoman
perjuangan GMNI merupakan hasil kristalisasi pemikiran
kritis para aktivisnya terhadap situasi sosial masa itu dan
juga
alternatif solusi yang ditawarkan oleh organisasi mahasiswa
tersebut. Berbagai kalangan menilai bahwa GMNI secara
ideologis lebih kiri dan radikal daripada organisasi induknya,
PNI. Hal ini menjadikan posisi politik GMNI sebagai variabel
determinan dalam pergerakan politik PNI. Petikan “Beberapa
Tesis Pedoman Garis Perjuangan” yang dinilai kiri dan
radikal itu berbunyi:

23 Barisan kaum marhaen terdiri dari tiga unsur, yaitu; kaum proletar, kaum
tani dan kaum melarat Indonesia lainnya. Ketiganya merupakan kekuatan
revolusioner dalam perjuangan melawan imperialisme, kapitalisme dan
kolonialisme. Menurut Bung Karno, tanpa massa marhaen, gerakan
GMNI akan menjadi steril dan teralienasi dari rakyat. Lihat, “Lenyapkan
Steriliteit dalam Gerakan Mahasiswa” Pidato tertulis Presiden Soekarno
pada Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Yogyakarta, 17 Februari 1959
dalam Iman Toto K. Rahardjo, Herdianto WK (Ed), Bung Karno Gerakan
Massa dan Mahasiswa, Kenangan 100 Tahun Bung Karno (Jakarta:
Grasindo, 2001), hal. 24-25.

112 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


”Tujuan revolusi Indonesia adalah menegakkan
kemerdekaan yang benar dan penuh serta men-
capai sosialisme Indonesia. Dalam revolusi, kami
mengakui dua jenis orang dan kelompok, seorang
atau sebuah kelompok yang revolusioner dan
kontrarevolusioner. Revolusi tidak mengakui ke-
pribadian ganda, karena komitmen kami kepada
revolusi bersifat total dan mutlak. Revolusi tidak
mengenal kompromi, karena kompromi meng-
halangi dan akhirnya menyebabkan kegagalan
revolusi. Dengan demikian, kami sadar dan tegas
memisahkan tipe revolusioner dari tipe kontra rev-
olusioner. Politik mengasingkan dan memisahkan
kaum kontra revolusioner dari massa adalah suatu
keharusan mutlak.”

Bagi GMNI, golongan yang termasuk kontra


revolusioner adalah, “...para kapitalis reaksioner, karena
kepentingan mereka menempatkan mereka ke dalam
persekutuan dengan modal kaum imperialis dan karena itu
bertentangan dengan massa; tuan tanah dan unsur-unsur
feodal lainnya; petualang politik; kaum konservatif-ortodoks-
doktriner-formalis, karena mereka seringkali gagal meraih
keuntungan dalam keadaan yang bisa memajukan revolusi;
kaum federalis, karena barisan mereka merupakan tanah
subur buat usaha imperialis yang memecah belah kekuatan
revolusi; kaum komprador- internasionalis yang ingin
menempatkan Indonesia di bawah pengaruh negara lain dan
dengan demikian menyebabkan kita kehilangan identitas
nasional.
Kekuatan-kekuatan marhaenis untuk revolusi harus
ditarik dari kelompok-kelompok berikut ini: “(1) buruh-

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 113
pemuda, karena kombinasi idealisme dinamis kaum
muda dan kesadaran politik kaum buruh yang timbul dari
kenyataan bahwa dia paling menderita di bawah kapitalisme,
menyebabkan buruh-pemuda menjadi unsur yang paling
radikal di kalangan penduduk; (2) petani, unsur revolusioner
yang penting, karena selain merupakan bagian terbesar
rakyat, petani juga ditindas tuan tanah dan penghisap
sehingga mau tidak mau menjadi revolusioner. Namun
karena tatanan masyarakat pedesaan sekarang yang
sifatnya masih rasional-religius dan konservatif, petani
kadang kala cenderung kurang radikal; (3) Angkatan
Bersenjata, karena mereka dilahirkan selama masa revolusi,
berasal dari kalangan unsur progresif, terutama kalau
mereka setia pada Sapta Marga; (4) Semua bagian rakyat
lainnya yang miskin,
seperti cendekiawan miskin...”
Untuk mempercepat akselerasi perubahan, kekuatan-
kekuatan itu harus dapat disatukan ke dalam barisan
revolusioner yang dipimpin oleh orang-orang terpilih dan
yang memahami dinamika revolusi.24
Disamping itu, Presidium GMNI meyakini, keberhasilan
revolusi sangat ditentukan oleh kerja politik aktivisnya di
tengah massa rakyat. Dalam konteks itu GMNI menyatakan:
“Agar perjuangan kita berhasil, pimpinan kekuatan
marhaenis harus memasukkan hanya mereka
yang sungguh-sungguh memahami dinamika
revolusi... Meskipun kendali atas lembaga
pemerintah
24 Petikan pernyataan Presidum GMNI dikutip dari J. Eliseo Rocamora,
Nasionalisme Mencari Ideologi, Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965,
(Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal 322-324.

114 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


adalah penting, kita harus mencurahkan sebagian
besar tenaga untuk bekerja di tengah massa agar
terhindar dari keterasingan dengan mereka...Kita
harus selalu ingat pada kenyataan bahwa gerakan
kita adalah sosialis dan karena itu merupakan
gerakan kiri...”25

Penyataan politik GMNI itu dapat dimaknai sebagai


berikut: Pertama, pernyataan itu merupakan hasil kristalisasi
pemikiran kritis para aktivis GMNI dalam menganalisa
realitas sosial, politik dan struktur sosial masyarakat yang
semakin jauh dari cita-cita terwujudnya tatanan masyarakat
sosialis Indonesia. Generasi GMNI pada masa itu
memberikan pelajaran, pergulatan pemikiran yang dilakukan
para aktivis pada masa itu telah melahirkan suatu pilihan
gagasan yang kemudian mempengaruhi pergerakan politik
partai dan situasi politik nasional.
Kedua, pernyataan politik itu sebagai satu upaya untuk
mendobrak kebekuan berpikir dan perilaku
kontrarevolusioner dari kaum konservatif di tubuh PNI.
Sebagai elemen muda, GMNI merasa memiliki
tanggungjawab moral untuk menjadi kekuatan pendobrak
terjadinya revolusi sikap dan pemikiran di tubuh PNI. Sikap
GMNI itu sejalan dengan kehendak Bung Karno yang
menginginkan tumbuhnya radikalisme sosial dan politik di
PNI.26
Ketiga, pernyataan itu merupakan hasil “pembacaan”
25 Ibid.
26 Secara ideologis, ditubuh PNI dapat dikategori menjadi tiga kelompok;
pertama, kelompok marhaenis yang sosialis. Kedua, kelompok birokratis
dan feodalistis. Ketiga, kelompok kapitalis. Kelompok kedua dan ketiga
merupakan kaum konservatif di tubuh PNI. Rocamora, Ibid hal. 325.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 115
peta politik pada saat itu. Situasi politik pada masa itu
telah menempatkan Bung Karno sebagai figur sentral
dalam konstelasi politik nasional. Dengan demikian, untuk
menjaga maupun memperoleh posisi dalam jalur kekuasaan,
maka tidak ada kata lain bagi segenap kekuatan politik di
Indonesia, selain mengikuti irama politik Bung Karno.27
Semula, sebagai organisasi baru, GMNI hanya
memainkan peranan yang kurang penting di PNI. Organisasi
mahasiswa itu, baru diperhitungkan secara politis dan
mendapatkan nilai lebih di mata Bung Karno setelah para
aktivisnya merumuskan “Beberapa Tesis Pedoman Garis
Perjuangan” (sebuah konsepsi perjuangan organisasi yang
dinilai lebih kiri, progresif dan radikal daripada metode
perjuangan dan sikap politik PNI) serta mendukung usulan
Dewan Nasional tentang Demokrasi Terpimpin.28
Sejalan dengan penguatan posisi politik tersebut,
beberapa pimpinan GMNI kemudian mendapatkan

27 Tidak jarang Bung Karno meminta tokoh-tokoh politik yang tidak memiliki
keselarasan pandangan dan pemikiran dengan konstruksi politiknya untuk
menyingkir dari jalur kekuasaan dan kepemimpinannya. Bung Karno
dalam pidato-pidato politiknya sering secara terbuka menyerang lawan-
lawan politiknya itu dengan menggunakan istilah-istilah provokatif seperti,
tendang keluar marhaenis-marhaenis gadungan. Lihat Deppenprop DPP
PNI, Pedoman Pokok Pelaksanaan Deklarasi Marhaenis (Jakarta: DPP PNI,
1965), hal.3.
28 “Beberapa Tesis Pedoman Garis Perjuangan” dinilai Bung Karno sebagai
pemikiran yang progresif dan radikal. Pemikiran GMNI itu menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi lahirnya Deklarasi Marhaenis yang menjadi
menjadi pijakan PNI dalam menerjemahkan ideologi marhaenisme.
Selain itu, dukungan GMNI terhadap konsep Demokrasi Terpimpin juga
mengejutkan kalangan pimpinan PNI yang belum menyatakan sikap
politiknya secara resmi terhdap konsepsi politik Bung karno tersebut. Lihat,
Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya 1963-1969 (Jakarta: CV.
Rajawali, 1984) hal. 10-14. Lihat juga, Rocamora, Ibid. hal. 322-323.

116 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


kedudukan di parlemen.29 Namun, secara perlahan tapi pasti,
organisasi mahasiswa itu mulai memainkan peran strategis
di PNI dan mulai mengintegrasikan diri dalam aktivitas para
elite di panggung politik nasional. Periode itu kerap disebut
sebagai masa keemasan GMNI.30
Pimpinan GMNI masa itu pun menyadari bahwa
tanpa membangun kerjasama dengan rakyat, pada akhirnya
para aktivis organisasi akan terperangkap ke dalam
tawanan aktivisme dan teralienasi dari lingkungan sosialnya.
Karena itu, kesadaran yang harus dibangun dalam benak
kader GMNI dalam konteks kekuasaan adalah kekuasaan
sangat penting, namun bekerja di tengah rakyat lebih
penting. Komitmen seperti itu mutlak dilakukan,
sebagaimana tertuang dalam Beberapa Tesis Pedoman
Garis Perjuangan:
“Meskipun kendali atas lembaga pemerintah
adalah penting, kita harus mencurahkan sebagian
besar tenaga untuk bekerja di tengah massa agar
terhindar dari keterasingan dengan mereka...”.31

Sementara itu, PNI mengalami pergolakan internal


dalam merespon tantangan politik Bung Karno agar partai-

29 Tumbuhnya kekuatan ormas yang menandingi kekuatan partai terlihat dari


beberapa pemimpin ormas yang ditarik masuk ke parlemen baru tanpa
melalui jalur partai. PNI mendapat tambahan wakil di parlemen baru itu.
Salah satu pemimpin ormas yang ditarik ke dalam parlemen berasal dari
GMNI, yaitu Sutamto Dirjosuparto. Padahal para pemimpin ormas itu tidak
termasuk dalam daftar yang disampaikan DPP PNI untuk masuk ke dalam
parlemen. Rocamora, Ibid, hal.326.
30 Presidium GMNI periode 2002-2005 menyebutkan rentang tahun 1962-
1965 merupakan masa keemasan GMNI. Lihat, Komite Organisasi
Presidium GMNI, Panduan Organisasi (Jakarta: Penerbit Presidium
GMNI, 2003), hal. 5.
31 Rocamora, Op.cit hal. 324.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 117
partai politik melakukan radikalisasi dan progresifitas
revolusioner dan dukungan terhadap Nasakom. PNI dan
PKI meningkatkan suhu persaingan dalam mobilisasi dan
militansi massa. PNI tampaknya terpancing dalam strategi
politik ini dan mengalami kesulitan dalam menandingi PKI.
Setiap langkah PNI ternyata diketahui oleh PKI sehingga PNI
semakin jauh tertinggal. Menurut Isnaeni, hal itu disebabkan
bahwa ada infiltrasi PKI dalam PNI sehingga rahasia
kebijakan politik PNI bocor di tangan PKI.
Upaya PNI melakukan konsolidasi internal dalam
kerangka menopang kebijakan politik Bung Karno terus
berlangsung. Kubu Ali–Surachman mulai menarik persoalan
ideologi Marhaenisme untuk dibicarakan dalam sidang
Badan pekerja Kongres (BPK), November 1964 di Lembang
Bandung. BPK merupakan lembaga partai yang mempunyai
kewenangan tertinggi diantara dua kongres. Forum sidang
BPK ini melahirkan rumusan “Marhaenisme adalah Marxisme
yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi
masyarakat Indonesia”. Penolakan atas rumusan ini
muncul dari kubu Osa Maliki yang beranggapan bahwa
ajaran Marxisme tidak seluruhnya dapat diterapkan di
Indonesia dan karenanya Marhaenisme tidak dapat
diidentikan dengan Marxisme.
Sidang BPK juga memutuskan dibentuknya Kader
Pelopor di seluruh wilayah. Pembentukan Kader Pelopor
ini selain digunakan sebagai langkah konsolidasi militansi
PNI, juga dimaksudkan untuk membendung usaha-usaha
PKI untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Sosialis
Komunis pada tahun 1970. Kursus Kader pelopor kemudian

118 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


secara intens dilakukan PNI di Jakarta pada bulan Maret
1965. sekitar 15 ribu aktivis PNI berkumpul di Istora Senayan
untuk mendengarkan gemblengan langsung dari Bung
Karno sebagai Bapak Marhaenisme. Dalam amanatnya,
Bung Karno sekali lagi menegaskan bahwa Marhaenisme
adalah Marxisme yang diterapkan sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakat Indonesia. Selain itu dikatakan pula
bahwa Marhaenisme adalah teori politik sekaligus teori
perjuangan.32
Penafsiran itu menempatkan Marhaenisme sebagai
faham revolusioner yang berdiri pada massa aksi yang
revolusioner dengan buruh dan tani sebagai soko guru
revolusi. Dalam kerangka revolusi itu, PNI bertindak sebagai
partai pelopor. Hasil BPK PNI itu kemudian dikenal sebagai
Deklarasi Marhaenis. Jauh hari sebelum mengeluarkan
Deklarasi Marhaenis, PNI sebenarnya telah merumuskan
Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme. Namun hasil kerja DPP PNI
itu ditolak Bung Karno karena dianggap kurang
revolusioner.33 Setelah penolakan itu, PNI
merevisi pemaknaan marhaenisme agar
sejalan dengan konsep Bung Karno.

32 Deppen Prop DPP PNI, Pokok-Pokok Pedoman Marhaenisme, (Jakarta:


DPP PNI, 1965), hal 24.
33 DPP PNI pada tahun 1961 menghasilkan rumusan Dasar-dasar Pokok
Marhaenisme sebagai penafsiran terhadap marhaenisme. Penafsiran itu
ditolak Bung Karno karena tidak memaknai marhaenisme sebagai
marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia.
Kemudian Bung Karno menyetujui Deklarasi Marhaenis yang dihasilkan
BPK I PNI di Lembang, Bandung pada tahun 1964. Deklarasi itu
menempatkan marxisme sebagai metode berjuang dan berpikir bagi para
marhaenis. Peter Kasenda (ed.), Bung Karno tentang Marhaen dan Proletar,
(Jakarta: Grasindo dan GNRI, 1999), hal. 13-17.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 119
Perubahan ini disambut gembira Bung Karno. Ekspresi sikap
Bung Karno tersebut tergambar dalam sambutan tertulisnya
pada Konferensi Kerja GMNI di Pontianak pada 16
Desember 1964. Dalam kesempatan itu, Bung Karno
menyampaikan persetujuan dan dukungannya terhadap isi
dan jiwa Deklarasi Marhaenis. Selain itu, Bung Karno juga
meminta GMNI untuk terus menerus menyalakan api
marhaenisme yang murni dengan melaksanakan
sepenuhnya isi Deklarasi Marhaenis.34 Pernyataan dukungan
Bung Karno terhadap Deklarasi Marhaenis secara terbuka
dalam forum GMNI itu dapat dimaknai sebagai berikut:
Pertama, Bung Karno memandang GMNI lebih revolusioner
daripada PNI. Karena di mata Bung Karno, GMNI lebih
tanggap dan mampu menerjemahkan
kehendak politiknya.
Kedua, untuk memperkokoh desain politiknya, Bung
Karno menginginkan pembaruan di tubuh PNI. Dalam
kerangka ini, GMNI sebagai elemen muda diharapkan
dapat melakukan pembaruan dengan menggusur kalangan
konservatif di tubuh PNI.35
Ketiga, sejalan dengan karakter pemuda yang penuh
dinamika dan gejolak emosi yang tinggi, pengaruh pemikiran
Bung Karno lebih cepat masuk ke dalam benak kader GMNI.

34 Deppen Prop. DPP PNI, PNI Penegak Pantjasila! (Jakarta: DPP PNI, 1965)
hal. 15.
35 Bung Karno berupaya meningkatkan kekuasaan politik ormas onderbouw
PNI. Hal itu dilakukan karena tidak puas dengan sikap sebagian besar
pimpinan PNI yang dinilai konservatif. Sebaliknya, para pemimpin ormas
berupaya keras untuk memaksakan perubahan dalam kebijakan PNI.
Salah satu ormas yang ditingkatkan kekuasaannya adalah GMNI. Lihat
Rocamora, Op.cit, hal. 327.

120 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Dalam sisi ini Bung Karno berharap, GMNI selalu setia
berada dalam barisan revolusioner di belakang Pemimpin
Besar Revolusi Indonesia.

B. HMI dan GMNI di Bawah Kekuasaan Hegemonik


Orde Baru

Eskalasi politik mahasiswa mengalami peningkatan


kembali menjelang jatuhnya kekuasaan Soekarno. Sistem
pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh
Soekarno dipenuhi oleh ketegangan antar faksi-faksi
politik. Peristiwa 30 September 1965, dimana PKI diduga
mendalangi percobaan kudeta dan berada dibalik operasi
penculikan para petinggi Angkatan Darat, telah
menggoyah stabilitas sosial politik masa Demokrasi
Terpimpin. Situasi itu diperburuk pula oleh keadaan
perekonomian nasional yang semakin merosot tajam
akibat pertikaian politik. Kondisi nasional yang demikian
telah memicu munculnya gelombang protes yang
didalamnya melibatkan mahasiswa sebagai kekuatan
utama.
Cosmas Batubara menggambarkan bahwa terjadi
polarisasi menjadi tiga kelompok dalam tubuh gerakan
mahasiswa.36 Pertama, mahasiswa nasionalis–soekarnois
yang memang sejak awal merupakan kelompok pendukung
Bung Karno. Berada dalam kelompok ini adalah organisasi-
organisasi sayap PNI, terutama yang berperan penting
adalah

36 Cosmas Batubara, Kilas Balik Kelahiran Orde Baru dan Peranan


Mahasiswa, dalam Pembangunan Politik, Situasi Global dan HAM di
Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1994, hal 150.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 121
GMNI. Kedua, kelompok mahasiswa yang sejalan dengan
garis politik tentara, Angkatan Darat, diantaranya HMI,
PMKRI, SOMAL. Kelompok ini secara intens berkomunikasi
dengan Angkatan Darat dan merupakan bagian yang dibina
oleh Angkatan Darat sejak awal melalui Badan Kerjasama
Pemuda Militer.37 Ketiga, kelompok mahasiswa berhaluan
sosialis komunis yang merupakan organisasi sayap PKI,
yakni CGMI.
Berbagai komite aksi didirikan untuk mengorganisir
mahasiswa dalam gerakan protes, seperti Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Mahasiswa Indonesia
(KAMI) yang bergerak dengan tuntutan yang dikenal
dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yakni pembubaran
PKI, retooling kabinet dan turunkan harga. Puncak dari
pergolakan politik dari peristiwa 1965 berakhir dengan
jatuhnya Soekarno dari kekuasaan dan berdirinya rezim
politik yang kemudian disebut sebagai Orde Baru di
bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.
Kampanye tentara itu menyulut gerakan
pengganyangan PKI dan organisasi komunis lainnya secara
besar-besaran. Tentara menghendaki adanya interpretasi
yang tunggal guna mengatasi polarisasi penafsiran. Bagi
tentara, upaya distorsi

37 Badan Kerjasama Pemuda Militer dibentuk pada tahun 1957 oleh Angkatan
Darat dengan maksud mendorong mahasiswa menjadi aktor dalam pentas
politik nasional yang bebas dari kooptasi kepentingan partai-partai politik.
Badan Kerjasama Pemuda Militer ini selain melemahkan pengaruh partai
politik, dikemudian hari memberikan keuntungan bagi Angkatan Darat
karena mampu mempengaruhi orientasi politik mahasiswa yang dibuktikan
dengan sokongan Angkatan Darat terhadap gerakan KAPPI/KAMI
menjelang jatuhnya Soekarno.

122 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


terhadap Pancasila dan UUD 1945 merupakan ancaman
yang tidak perlu terjadi lagi dimasa depan. Usaha
pemantapan penerimaan dan interpretasi tunggal tentang
Pancasila dan UUD 1945 adalah jawaban dari tentara
terhadap ideologisasi politik di masa Demokrasi Terpimpin.38
Berbagai demonstrasi menuntut pembubaran PKI mulai
muncul di berbagai daerah. Posisi politik Bung Karno mulai
terpojok dan tentara (khususnya Angkatan Darat) secara
perlahan mulai memegang kendali atas situasi politik
nasional.
Reaksi mahasiswa baru muncul setelah berbagai aksi
massa menuntut pembubaran PKI terjadi secara terbuka.
Upaya mobilisasi politik juga dilakukan oleh Angkatan
Darat yang pada tahun 1957 membentuk Badan Kerjasama
Pemuda Militer guna mengorganisasi kelompok mahasiswa
yang independen dari partai politik. Organisasi-organisasi
mahasiswa antikomunis mulai bergerak dan terlibat
dalam kampanye anti PKI. Upaya mahasiswa antikomunis
menggunakan PPMI sebagai alat kampanye pengganyangan
PKI mengalami jalan buntu karena PPMI, yang dikendalikan
GMNI, mengambil sikap berdiam diri dan menunggu instruksi
Bung Karno.
Dalam pembentukan KAMI, HMI, memiliki peranan
yang cukup sentral. Sejumlah organisasi lainya juga
tergabung didalamnya, yakni PMKRI,39 SOMAL, PMII,

MAPANCAS,
38 Ibid, hlm. 142.
39 Mengenai keterlibatan PMKRI dalam KAMI diduga ada dua alasan,
pertama, situasi geopolitik internasional dimana kelompok katolik
merupakan salah satu unsur anti komunis, dan kedua, PMKRI mengambil
momentum untuk menyongsong kekuasaan politik yang baru mengingat
kedudukan politik Bung Karno yang mulai melemah.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 123
PELMAS, SEMMI, IMM, IPMI, selanjutnya disusul dengan
GMNI OSA–USEP. Sementara itu, ditubuh GMNI terjadi
perpecahan yang merupakan imbas dari perpecahan
PNI. Konflik internal PNI telah menghasilkan dualisme
kepemimpinan yakni DPP PNI dibawah kepengurusan Ali
Sastroamidjojo dan Ir. Surachman (ASU) yang dicap
berhaluan kiri dan radikal, sementara itu, disisi lain adalah
DPP PNI dibawah pimpinan Osa Maliki dan Usep
Ranuwidjaja (OSA- USEP) yang oleh kelompok Ali
Sastroamidjojo dianggap kubu marhaenis gadungan.
Perpecahan PNI yang kemudian berimbas ke GMNI
mempengaruhi sikap politik GMNI dalam merespon gerakan-
gerakan komunis yang kemudian berkembang menjadi
anti Soekarno. GMNI ASU dibawah pimpinan Bambang
Kusnohadi secara tegas menyatakan dukungannya terhadap
kepemimpinan Bung Karno dan menolak untuk bergabung
dengan aksi protes yang dimotori oleh KAMI. Sementara
itu, GMNI OSA-USEP pimpinan Soerjadi memanfaatkan
kekosongan peran politik GMNI dalam KAMI sebagai strategi
untuk memperkuat eksistensi politik.
Perkembangan selanjutnya, mahasiswa KAMI atas
sokongan dari tentara, Angkatan Darat, secara gencar
melakukan tekanan terhadap Bung Karno. Isu anti komunis
yang semula dilontarkan berkembang menjadi anti Soekarno.
Merespon tekanan ini, PNI kubu ASU mengambil sikap
politik berdiri dibelakang Bung Karno dan siap melaksanakan
komando Bung Karno. Seruan Bung Karno untuk membentuk
Barisan Bung Karno ditanggapi secara positif oleh DPP PNI

124 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


ASU beserta seluruh organisasi sayapnya. Wakil Perdana
Menteri dr. Soebandrio dalam pidatonya dihadapan rapat
GSNI, ormas PNI untuk kalangan pelajar, memberikan
dorongan semangat yang kemudian terkenal dengan seruan
“teror balas dengan teror”. Sejak itu, konflik fisik antara
ormas-ormas PNI yang pro ASU dan KAPI/KAMI
berlangsung di Jakarta.
KAMI memformulasikan isu dalam slogan Tritura (Tiga
Tuntutan Rakyat) yang berisi tuntutan pembubaran PKI,
retooling kabinet dari unsur-unsur PKI, dan turunkan harga.
Selama kurun waktu 1965-1966, kelompok mahasiswa anti
Soekarno secara gencar melakukan aksi protes jalanan.
Berbagai harian dan surat khabar ramai memberitakan
setiap perkembangan di jalanan, terutama pers mahasiswa
milik KAMI, Harian KAMI. Kelompok mahasiswa ini dalam
propagandanya seolah-olah merepresentasikan keseluruhan
mahasiswa Indonesia, meski faktanya adalah sebagian kecil
jika dibandingkan dengan jumlah kelompok pro Soekarno,
GMNI, Germindo, Perhimi dan CGMI.40
Dinamika politik pada waktu itu disadari benar oleh
Angkatan Bersenjata sebagai momentum untuk memperkuat
posisi politiknya dalam konfigurasi kekuatan politik
nasional. Investasi politik Angkatan Darat dengan
membentuk Badan Kerjasama Pemuda Militer membuahkan
hasil. Mobilisasi politik yang dilakukan oleh Angkatan Darat
berhasil menggerakan mahasiswa KAMI menjadi instrumen
politik

40 Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai; Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Soeharto, (Jakarta: Reform Institute,2007), hal 56.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 125
yang penting dalam menggusur kekuasaan Bung Karno.
Aksi-aksi KAMI meski sempat mendapat tekanan dari tentara
dengan berujung pada peristiwa tertembaknya sejumlah
mahasiswa KAMI, namun tidak menyurutkan mahasiswa
KAMI untuk terus bergerak.
Bangkitnya kembali gerakan KAMI ini tidak lepas
dari dukungan yang muncul dari Jenderal Nasution yang
pada waktu itu dalam posisi politik terkucilkan.41 Kepada
Presidium KAMI, Nasution mengusulkan agar digunakan
nama “Angkatan 66” untuk menandaskan suatu kebangkitan
nasional yang baru. Aliansi kepentingan antara gerakan
mahasiswa dan Angkatan Bersenjata dalam menghadapi
Soekarno selanjutnya bekerja secara efektif dalam
mendorong kejatuhan Soekarno. Puncak dari “geger”
politik itu adalah
pembersihan PKI dan pengikutnya, serta dijatuhkannya
Soekarno dari kursi kekuasaan melalui Sidang Istimewa
MPRS, yang sekaligus menjadi pertanda berakhirnya masa
Demokrasi Terpimpin dan bangkitnya rezim politik baru,
yakni Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto.

1. Politik Akomodasi Sebagai Strategi Penataan Politik


Sejak semula HMI merupakan salah satu komponen
penting dalam berdirinya Orde Baru. Viktor Tanja melihat
bahwa terdapat kesamaan antara cita-cita Orde Baru dengan
HMI, misalnya Islam mendapat peranan dalam pemerintah,

41 Parakitri Tahi Simbolon, Di Balik Mitos Angkatan 66, dalam Prisma, Op.
Cit, hal 154.

126 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


tapi bukan negara agama.42 Hal itulah yang kemudian
menjadi salah satu faktor pendorong aktifnya HMI dalam
gerakan mendirikan Orde Baru.
Dalam perkembangan awal Orde Baru, HMI merupakan
elemen politik yang memiliki andil besar dalam pembentukan
struktur kekuasaan Orde Baru. HMI yang menerapkan politik
akomodasionis secara fleksibel mampu menyesuaikan diri
dengan rezim baru yang terbentuk. Sidratahta menjelaskan
bahwa Politik akomodasionis merupakan strategi HMI dan
selalu menggunakan cara-cara moderat dalam mencapai
tujuan politik organisasinya HMI yang menjadi bagian
pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai
sumber rekruitmen kepemimpinan nasional yang kemudian
dikenal dalam doktrin organisasi: ‘HMI sebagai sumber
insani pembangunan’. Sehingga tidak mengherankan bahwa
HMI memiliki kemampuan untuk mengisi struktur kekuasaan
siapapun yang memegang kekuasaan.
Banyak tokoh-tokoh HMI yang aktif dalam KAPI/KAMI
kemudian masuk dalam pos-pos strategis, baik dalam lini
politik, professional dan lainnya. Keterlibatan HMI ini dapat
dijelaskan sebagai berikut: Pertama, HMI merupakan elemen
penting yang merupakan mitra strategis utama dari Angkatan
Darat yang berjuang dalam menggusur Orde Lama dan
menaikan Soeharto sebagai penguasa Orde Baru.
Aliansi yang dibangun antara HMI dan Angkatan Darat
ini kemudian hari menjadi pintu masuk bagi HMI untuk

42 Viktor Tanja,”Orde Baru Sesuai Dengan Cita-Cita HMI” dalam http://


www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 15 Mei 2008.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 127
berpartisipasi dalam pengisian struktur kekuasaan negara
yang memang didominasi oleh kalangan militer dan sekber
Golkar. Menurut Hary Azhar Aziz, HMI merupakan satu-
satunya organisasi mahasiswa yang menandatangi
dukungan terhadap sekber Golkar diawal pendiriannya.
Kedua, bagi Soeharto, HMI merupakan organisasi yang
potensial dengan sumber daya politik dan pengalaman yang
teruji. Hal ini menjadi pertimbangan penting bagi Soeharto
untuk menarik HMI dan memberikan peranan politik lebih
luas sepanjang dapat bekerjasama dan menyokong
kekuasaan Orde Baru.
Ketiga, HMI memandang perlu mengambil momentum
politik yang dibuka oleh Soeharto dengan masuk dalam
struktur kekuasaan. Pertimbangan ini muncul dikalangan
HMI mengingat pada mulanya Orde Baru justru banyak
diisi oleh kelompok-kelompok non HMI dan minoritas.
Keikutsertaan HMI dalam pemerintahan dan lembaga
legislatif ini pada akhirnya mulai mampu menggeser
kelompok-kelompok pendukung Soeharto yang lama.43 Di
bawah patronase kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro
dan Sumitro Djojohadikusumo, kader-kader HMI memasuki
institusi-institusi pemerintahan khususnya lembaga politik
dan ekonomi. Di antara mereka yang menempati posisi
penting itu adalah Deliar Noer, Bintoro Tjokroamidjojo, Barli
Halim, Madjid Ibrahim, Bustanul Arifin, Zainul Zasmi, dan
Umar Tusin. Bahkan ada pula yang menduduki pos penting
dalam pemerintahan sebagai Menteri seperti Abdul Gafur,

43 Fuad bawazier dalam Sidratahta, HMI dan Kekuasaan, Op. Cit, hal 107.

128 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Akbar Tandjung, Mar’ie Muhammad, dan lainnya.
Di luar struktur kekuasaan, kader-kader HMI juga mulai
banyak yang muncul terutama sebagai cendekiawan. Hal
ini dimungkinkan mengingat kebijakan akomodasi yang
dilakukan oleh Soeharto juga dilakukan dengan memberikan
peluang melanjutkan studi keluar negeri bagi kader-kader
HMI. Sederetan nama cendekiawan HMI muncul mulai tahun
1970-an, diantaranya Nurcholis Madjid, Utomo Dananjaya,
Ekky Syahruddin, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib,
Imaduddin Abdurrahim, Adi Sasono, dan lainnya.
Pembangunan nasional melalui pelaksanaan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi tema
setelah Orde Baru berjalan. Maka sejak tanggal 1 April 1969
dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
HMI pun sesuai dengan aspek-aspek pemikirannya turut
pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam
era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik
anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi
diantaranya: 1) Partisipasi dalam pembentukan suasana,
situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya
pembangunan, 2) Partisipasi dalam pemberian konsep-
konsep dalam berbagai aspek pemikiran 3) Partisipasi dalam
bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.
Peran politik HMI tidak hanya berhenti pada pengisian
struktur kekuasaan negara, tetapi sekaligus berupa
dukungan HMI atas kebijakan penataan politik yang
dilakukan Soeharto pada tahun 1970-an. Kongres X HMI di
Palembang pada tanggal 3–10 Oktober 1971, HMI
mengusulkan

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 129
perlunya pembaharuan struktur politik. Pertama, perlunya
penyederhanaan partai politik dengan memfungsikan partai
politik secara wajar. Kedua, fungsionalisasi Golkar sebagai
lembaga pendukung pembangunan nasional. Disamping
itu, HMI juga menyerukan kepada seluruh komponen bangsa
agar melakukan pembinaan massa mengambang (floating
mass) agar pembangunan menjadi lebih favourable bagi
pembinaan karakter bangsa.44
Kedekatan penguasa Orde Baru dengan mantan
aktivis mahasiswa, termasuk alumni HMI, berdampak besar
terhadap peran HMI yang hampir-hampir absen dalam setiap
momentum kebangkitan gerakan mahasiswa.45 Tercatat dua
kali mahasiswa bangkit melawan penguasa Orde Baru.
Pertama, Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) pada 1974.
Ketika itu, digelar aksi penolakan mahasiswa terhadap
kapitalisme modal asing. Kedua, gerakan mahasiswa 1978
yang menolak pencalonan Soeharto kembali menjadi
presiden. HMI telah terpesona dengan kekuasaan Orde
Baru yang nyaris tak tergoyahkan, hal inilah yang kemudian
menjadi salah satu sebab krusial di tubuh organisasi dan
melahirkan perpecahan.
Sebagian kader HMI menyempal membentuk HMI–
MPO (Majelis Penyelamat Organisasi)46 sebagai bentuk

44 Lihat hasil-hasil Kongres X HMI, Palembang, 3-10 Oktober 1971.


45 Lihat Budi Gunawan, Ketua Badko HMI Jateng-DIY Bidang Eksternal
2006-2008, HMI dan Kevakuman Ideologi, dalam http://www.blogger.
com/profile/15225595571739747285, diakses tanggal 20 April 2013.
46 Perpecahan di tubuh HMI bermula ketika di tahun 1980-an pemerintah
melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang keormasan
memaksa semua organisasi massa menerima Pancasila sebagai asas
tunggal. Tak

130 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


penolakan terhadap kebijakan monolitik penguasa.
Puncaknya adalah pemberlakuan asas tunggal oleh Orde
Baru yang ditentang oleh HMI-MPO. Generasi HMI lain
yang muncul di luar kekuasaan Orde Baru mengambil jalur
intelektualisme sebagai gairah mewujudkan kontribusi HMI
terhadap bangsa. Generasi intelektual HMI berijtihad atas
kemandekan berpikir yang terjadi dalam tradisi Islam di
Indonesia. Gelombang pemikiran ini sudah tumbuh sejak
tahun 1960an akhir hingga tahun 1980an dan memunculkan
gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat
menonjol dengan ikon utamanya Nurcholis Madjid.
Meskipun aturan organisasi HMI menegaskan
independensi HMI, akan tetapi kedekatan HMI yang begitu
intens dengan kekuasaan Orde Baru ini sedikit banyak
mempengaruhi tingkat kekritisan HMI terhadap perilaku
rezim. Independensi formal HMI dimaknai dalam dua
aspek:47
Pertama, independensi etis adalah sifat independensi
secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang
sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat
manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung
pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader
sesuai

terkecuali HMI. HMI yang semula berasaskan Islam dipaksa menerima asas
tunggal sebagai satu-satunya asas. Buntutnya, pada 1986 ketika Kongres
HMI di Padang, Sumatera barat organiasi ini pecah menjadi dua: HMI-
DIPO dan HMI-MPO. Mereka yang menyepakati pancasila sebagai asas
HMI biasa disebut HMI DIPO karena berkedudukan di jalan Diponegoro.
Sementara HMI yang menolak, membentuk Majelis Penyelamat Organisasi
(MPO) HMI, yang kemudian dikenal dengan nama HMI MPO.
47 Lihat Tafisr Independensi HMI dalam www.pbhmi.or.id, diakses tanggal 11
juli 2013.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 131
dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada
hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan
pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah Allah
Subhanahu Wata’ala. Dengan demikian melaksanakan
independensi etis bagi setiap kader HMI berarti
pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan
berprilaku baik “habluminallah” maupun dalam
“habluminannas” hanya tunduk dan patuh dengan
kebenaran.
Kedua, Independensi organisatoris adalah watak
independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di
dalam kiprah dinamika HMI baik dalam kehidupan intern
organisasi maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa
dan bernegara. Independensi organisatoris diartikan bahwa
dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara
organisatoris
senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif
dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala
usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari
semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi
aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara
organisasi HMI hanya tunduk serta komit pada prinsip-prinsip
kebenaran dan obyektifitas.
Idealisme yang hendak dicapai dengan melaksanakan
prinsip independensi ini adalah HMI secara organisatoris
tidak pernah “commited” dengan kepentingan pihak
manapun ataupun kelompok dan golongan maupun
kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran
dan obyektifitas kejujuran dan keadilan. Dalam rangka
menjalin tegaknya “prinsip-prinsip independensi HMI”
maka implementasi
132 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut:48
Anggota-anggota HMI terutama aktifitasnya dalam
melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-
ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan
HMI. Oleh karena itu tidak diperkenankan melakukan
kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas
kehendak pihak luar manapun juga. Mereka tidak dibenarkan
mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun
dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah
diputuskan secara organisatoris.
Penegasan secara formal independensi HMI ini
menunjukan bahwa ada komitemen politik yang kuat
dalam internal organisasi HMI untuk tetap menjadi
kekuatan independen dan kritis. Akan tetapi, pada tataran
operasionalisasinya kadangkala HMI harus bersinggungan
dengan realitas dimana alumni HMI yang tersebar dalam
struktur kekuasaan negara memiliki kedudukan yang
potensial mempengaruhi independensi HMI dalam tataran
praktis.
Kritik terhadap independensi HMI ini terkait dengan
pandangan terhadap peran politik HMI yang tidak
terlalu menonjol pada saat gerakan mahasiswa mulai
mengalami eskalasi pada tahun 1974-an hingga 1990an.
Hal ini disebabkan oleh dua hal: Pertama, bahwa
pengaruh patronase antara alumni dan kader aktif
berdampak terhadap tingkat kritisisme HMI. Menurut
Hendardi, mantan ketua Dewan Mahasiswa ITB,

kedekatan HMI dengan kekuasaan


48 ibid.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 133
dimungkinkan karena alumnus HMI sebagian sudah masuk
dalam lingkaran kekuasaan.
Hal serupa ditegaskan mantan Ketua Harian Presidium
Majelis Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI), Dr. Ir. Beddu
Amang, antara KAHMI dan HMI punya hubungan yang
tegas seperti tertuang dalam Mukadimah Anggaran Dasar/
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KAHMI. Selain itu,
Beddu Amang juga menandaskan, sudah ada kesepakatan
bahwa peranan KAHMI adalah untuk mendukung
tercapainya cita- cita HMI. Artinya, bisa dikatakan, antara
HMI dan alumnusnya (KAHMI) tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Karena sudah banyak anggota KAHMI yang
berperan aktif di jajaran kekuasaan, maka dapat dipahami
jika HMI sering dituding terlalu dekat dengan kekuasaan.49
Kedua, sistem politik orde baru yang represif melalui
kebijakan NKK/BKK membuat ruang gerak mahasiswa
menjadi terbatas dalam mengekspresikan pandangan-
pandangan politiknya. Banyak organisasi ekstra universiter
yang justru kemudian larut dalam persaingan jabatan
lembaga formal intra universiter seperti senat mahasiswa,
dewan mahasiswa.
Ketiga, komite aksi, lembaga formal kampus, kelompok
studi, menjadi strategi baru untuk keluar dari upaya
hegemoni yang dilakukan oleh rezim dalam tubuh organisasi
ekstra universiter yang dilakukan melalui forum Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

49 http://www.ummat.co.id/218nas2.htm, diakses tanggal 6 mei 2013.

134 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Orientasi kekuasaan yang begitu kuat di kalangan
kader HMI ini dinilai memberikan dampak terhadap
melemahnya peran kritis HMI dalam memperjuangkan
kepentingan masyarakat di hadapan kekuasaan Orde Baru.
Secara moral dan politik bahwa pemikiran dan sikap politik
HMI justru lebih banyak memberikan justifikasi terhadap
kebijakan-kebijakan Orde Baru sebagaimana sejak awal
HMI mendukung penataan politik yang berujung pada
tindakan represif Orde Baru. Fahry Ali mendeskripsikan HMI
seperti kehilangan kemampuan dalam merespon apa yang
dibutuhkan anak muda terutama mahasiswa, sehingga HMI
tidak lagi terlalu diminati oleh kalangan dunia kampus,
kecuali yang memang sejak awal punya orientasi pada
kekuasaan.50
Seperti halnya HMI, pengalaman berinteraksi dengan
dinamika kekuasaan Orde Baru juga dialami oleh GMNI.
Perpecahan dalam tubuh PNI yang mengimbas di GMNI,
berpengaruh terhadap eksistensi organisasi ini setelah
Bung Karno jatuh. Kebijakan pembangunan nasional yang
dilakukan oleh Orde Baru menyaratkan stabilitas sosial politik
yang berarti efektifnya konsolidasi kekuasaan ditangan
pemerintahan Soeharto yang baru terbentuk. Soeharto
memandang, pembangunan nasional hanya dapat berjalan
jika ditopang oleh kekuasaan yang tunggal dan sistem sosial
politik yang stabil. Konsekuensi dari pandangan ini adalah
upaya penataan politik yang tidak hanya dimaksudkan untuk
mengokohkan kekuasaan, tetapi juga mengeliminasi peran
dari kelompok-kelompok yang dianggap potensial menjadi

50 Fahry Ali, dalam Sidratahta, Op., Cit, hal 121.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 135
ancaman bagi Orde Baru.
Secara bertahap, Soeharto mulai mengurangi
kekuasaan Bung Karno. Puncak kekuasan itu akhirnya
diperoleh. Setelah melalui berbagai rekayasa konstitusional,
pada 22 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan
kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto.51 Penguasa baru itu
menyadari, pendukung setia Bung Karno masih banyak dan
berada dalam setiap lini pemerintahan, angkatan bersenjata,
partai politik, ormas maupun di kalangan masyarakat luas.
Hal itu dianggap Soeharto dapat menjadi ganjalan bagi
kekuasaannya. Karena itu, langkah awal dari rezim Orba
adalah melakukan “pembersihan” terhadap pendukung-
pendukung setia Bung Karno.
PNI dan dan ormas-ormasnya merupakan sasaran
pertama pembersihan politik. Sebagaimana diungkapkan
J. Eliseo Rocamora dalam penelitiannya mengenai PNI,
pada tahun 1966 dan 1967, Angkatan Darat melakukan
pembersihan terhadap PNI dengan alasan bahwa PKI telah
melakukan penyusupan ke dalam pimpinan PNI. Tema
propaganda untuk pembersihan itu adalah pimpinan PNI
membiarkan dirinya diperalat Presiden Soekarno dan PKI
agar dapat memetik keuntungan dominasi keduanya dalam

51 Hal-hal lebih rinci mengenai rekayasa konstitusional di balik peralihan


kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto diuraikan secara
detail oleh mantan anggota MPRS 1966-1968 A. Dahlan Ranuwihardjo
dalam A. Dahlan Ranuwihardjo, Revolusi, Anti Imperialisme dan
Pancasila, (Jakarta: Instrans, 2002) hal 35-45. Lihat juga, Maruli Tobing,
Bung Karno dan Keterlibatan CIA dalam Peristiwa G30S, Konspirasi Asing
Dibalik Jatuhnya Bung Karno, (Jakarta: DPP Pakorba, tanpa tahun dan
tanggal).

136 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


politik Demokrasi Terpimpin.52
Beberapa hal yang menempatkan PNI sebagai
sasaran pembersihan adalah: Pertama, PNI dan ormas-
ormasnya memiliki keterkaitan historis dan psikologis
dengan Bung Karno. Untuk mengeliminasi kebangkitan
para pendukungnya, maka pertautan historis dan psikologis
antara Bung Karno dan kelompok-kelompok pendukungnya
itu harus dihapuskan sehingga tidak menjadi bumerang bagi
kelangsungan kekuasaan rezim Soeharto dikemudian hari.
Kedua, dimata rezim Soeharto, PNI tidak ada bedanya
dengan PKI. Rezim Soeharto juga berupaya mensosialisasikan
pemikiran itu kepada rakyat luas. Kampanye-kampanye PNI
dianggap memakai formula yang sama dengan PKI. Dengan
demikian, maka wacana yang diharapkan berkembang
dalam
masyarakat adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan
“hukuman” politik kepada PNI sebagaimana yang diterima
PKI merupakan hal yang sah dan legitimate.53
Ketiga, pada dasarnya rezim Soeharto tidak menyukai
keberadaan partai-partai politik dan cenderung antikonflik.
Partai maupun ormas yang memiliki kecenderungan bersifat
ekstrem, baik itu ke kiri maupun ke kanan dan berpotensi

52 Pembersihan itu terutama ditujukan kepada faksi progresif di tubuh


PNI. Faksi itu dijuluki sebagai PNI Asu-PKI. Asu dalam PNI Asu-PKI
berasal dari nama Ketua PNI Ali Sastroamidjoyo dan Sekretaris Jenderal
Surachman. Dalam bahasa Jawa, Asu berarti Anjing. Sebentuk penghinaan
dan upaya character assasination terhadap kelompok sayap kiri di PNI.
Lihat, J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi, Bangkit dan
Runtuhnya PNI 1946-1965 (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal.
436-437.
53 Lihat, Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya 1963-1969
(Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hal.16.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 137
menumbuhkan konflik, merupakan hal yang paling tidak
disukai Soeharto. PNI dan ormas-ormasnya dalam
pandangan penguasa dapat menjadi sarana untuk
mengobarkan kembali ideologi kiri.
Keempat, keberadaan rezim baru tidak dapat
dilepaskan dari dukungan internasional, terutama dari
negara-negara Barat. Dalam kerangka memperoleh
dukungan itu, Soeharto harus dapat meyakinkan bahwa
pemerintahannya bersih dari unsur-unsur kelompok kiri
maupun elemen-elemen radikal lainnya.
Sejalan dengan pembersihan kaum kiri dan nasionalis
radikal, GMNI sebagai ormas PNI mengalami nasib yang
sama dengan partai afiliasinya. Tekanan-tekanan itu juga
dimunculkan dari dalam organisasi. Perpecahan di tubuh PNI
yang memang telah terjadi sebelum Orde Baru terbentuk
mengalami eskalasi yang juga berimbas pada GMNI pada
saat Orde Baru berdiri. Jika di PNI muncul PNI Osa-Usep
dan PNI Ali-Surachman, GMNI pun terbelah menjadi GMNI
Osa- Usep dan GMNI Ali-Surachman.
Istilah Osa-Usep dan Asu seperti di PNI Osa-Usep dan
PNI Asu sebagai identifikasi sayap kanan dan kiri,
sebenarnya tidak terlalu populer di GMNI. Bahkan pada
akhirnya istilah kanan dan kiri pun maknanya semakin kabur.
Adakalanya istilah tersebut justru digunakan sebagai alat
melakukan intrik politik.
Setelah mengalami kekosongan kepemimpinan karena
sebagian besar anggota Presidium GMNI masuk tahanan
politik rezim Soeharto, DPP PNI Osa-Usep membentuk

138 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


kepengurusan pusat GMNI. Model presidium diganti DPP
dengan Soerjadi, staf kesekretariatan di DPP PNI, diangkat
menjadi Ketua Umum DPP GMNI.54 Selain itu, masih menurut
Soerjadi, sikapnya menerima penunjukkan dirinya sebagai
pimpinan GMNI yang berafiliasi kepada PNI Osa-Usep
didasarkan kepada pertimbangan, bahwa secara ideologis
PNI Osa-Usep adalah yang benar.
Tetapi kemudian berkembang penilaian bahwa GMNI
versi Osa-Usep inilah yang kemudian aktif dalam jaringan
KAMI dan terlibat dalam pengganyangan kelompok-
kelompok kiri, termasuk di GMNI. Hal tersebut dibantah
oleh Soerjadi. Sebab, menurut penuturannya, GMNI yang
dipimpinnya tidak tinggal diam melihat situasi yang
memojokkan para aktivis GMNI kala itu. Karena itu,
DPP GMNI kemudian
membentuk Tim Pembela Nasional yang dipimpin oleh salah
satu pengurus DPP GMNI, Budi Hardjono, untuk melakukan
pembelaan terhadap aktivis GMNI.
DPP GMNI juga melakukan pendekatan-pendekatan
untuk mempersuasi Departemen PDK, PTIP, Dephanham,
Mabes ABRI dan Akademi Kedinasan. Hasil kerja tim
menurut penjelasan Soerjadi sudah maksimal. Pendekatan
yang dilakukan DPP GMNI terhadap Departemen dan
instansi pemerintah dapat mengeliminasi munculnya
kebijakan yang merugikan anggota dan aktivis GMNI. Hanya
Soerjadi juga mengakui, tidak dapat membela John
Lumengkewas,

54 Ohiao Halawa, Membangun Citra Partai, Profil Drs. Soerjadi, Ketua Umum
DPP PDI 1986-1993, (Jakarta: PT. Nyiur Indah Alam Sejati, 1993), hal. 21-
22.
Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 139
Kartjono dan anggota Presidium GMNI lainnya yang
ditangkap rezim Orde baru.
Dalam rangka konsolidasi politik, upaya untuk kembali
menyatukan PNI sebagai wadah Front Marhaenis ini
mulai dipersiapkan. Kongres persatuan PNI digelar pada
tahun 1966 untuk mempertemukan kedua kubu. Dalam
Kongres ini, kubu Osa–Usep mendominasi pengisian
struktur kepengurusan yang terbentuk. Hal ini dikarenakan
memang kubu ASU sebelumnya telah berhasil dilemahkan
secara politik. Dengan penyatuan PNI maka secara alamiah
rekonsiliasi pun terjadi di sayap ormas partai, termasuk
GMNI.
Meski kubu Osa–Usep mendominasi struktur PNI dan
ormasnya, Orde Baru masih melihat bahwa PNI merupakan
kekuatan ideologis yang tetap diwaspadai. Hal ini disadari
betul oleh para pimpinan PNI. Oleh karenanya, dalam rangka
mengakomodasi tekanan rezim maka PNI akhirnya harus
bisa melakukan penyesuaian. DPP PNI beserta segenap
DPP/Presidium Organisasi Massa PNI, 20 Desember 1967
mengeluarkan Pernyataan Kebulatan Tekad yang memuat
hal-hal sebagai berikut: Dibidang ideologi, rumusan
marhaenisme sebagaimana tertuang dalam Deklarasi
Marhaenis diganti dengan Yudia Pratidina Marhaenis (YPM).
Dalam YPM, marhaenisme dirumuskan sebagai Ketuhanan
Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
Ditegaskan pula bahwa rumusan itu merupakan tafsiran asli
sejak tahun 1927. Rumusan marhaenisme itu juga
disebutkan bersih dari pengaruh marxisme.

140 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Dibidang politik, PNI dan ormas-ormasnya menyatakan
bertekad bulat untuk membuang mental Orde Lama dan
berkehendak untuk hidup bersama dengan Orde Baru serta
mengikis habis sisa-sisa G30S/PKI. Selain itu, PNI dan ormas-
ormasnya tidak menghendaki kembalinya Bung Karno dalam
kepemimpinan negara/pemerintahan. PNI juga memutuskan
untuk mencabut gelar Bapak Marhaenisme yang pernah
diberikan kepada Bung Karno.55
Sebagai imbal balik atas pernyataan kebulatan tekad
itu, Presiden Soeharto pada 21 Desember 1967
mengeluarkan Surat Presiden Republik Indonesia tentang
hak hidup PNI dan Instruksi Presiden Republik Indonesia
No. 16 Tahun 1967 tentang Kristalisasi dan Konsolidasi PNI.
Dengan adanya Instruksi dan surat presiden itu, PNI Osa-
Usep dan ormas-
ormasnya mendapatkan legalisasi dan dukungan pemerintah
untuk melakukan konsolidasi.
Dalam kerangka mengukuhkan kedudukan politiknya,
DPP PNI segera menginstruksikan kepada seluruh ormasnya
agar melakukan pembersihan dari unsur-unsur ASU.
Menanggapi instruksi ini Soerjadi menjelaskan bahwa
GMNI adalah satu-satunya ormas PNI yang menolak upaya
“pembersihan” internal sebagaimana dilakukan PNI terhadap
anggota-anggotanya yang dituduh terlibat G30S/1965.
Dalam pandangan Soerjadi, para aktivis GMNI yang dituduh
atau diduga terlibat serta memiliki keterkaitan dengan PNI
Ali-Surachman tidak melakukan pelanggaran organisasi.

55 Lihat, Prof. Soenario, SH, Banteng Segitiga,( Jakarta: Yayasan Marinda,


1988), hal. 126-129.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 141
Jadi, kalau pimpinan PNI Osa-Usep melakukan penindakan
terhadap para aktivis GMNI yang ada di PNI maka tindakan
yang diambil harus diletakkan dalam konteks partai.
Bagi pemerintah, keputusan politik GMNI menjadi
organisasi independen dengan tidak lagi berada di PNI
merupakan hal yang menguntungkan. Keluarnya GMNI
dari PNI setidaknya akan semakin memperlemah dukungan
terhadap PNI. Sejak awal berkuasa, rezim Orba berusaha
memperlemah kekuatan kelompok-kelompok yang
dipandang dapat menjadi ganjalan bagi stabilisasi
kekuasaan. PNI merupakan partai besar di masa lalu. Di
mata rezim Orba, partai itu juga dianggap masih memiliki
keterkaitan dengan Orla. Karena itu, PNI menjadi sasaran
utama untuk dilemahkan dan secara perlahan dieliminasi
dari kehidupan
politik Indonesia.56
Upaya Orde baru untuk “menjinakan” kelompok-
kelompok pendukung Soekarno selain mengambil bentuk
kebijakan politik yang ketat, juga melalui politik
akomodasi. Orde Baru tetap memberikan ruang meski
terbatas bagi kelompok-kelompok moderat GMNI yang
bisa menerima kehadiran Orde Baru sebagai realitas politik.
Selain sebagian besar alumni GMNI masuk kedalam
struktur lembaga legislatif melalui PDI seperti Budi
Harjono, Soerjadi, Aberson, maka sejumlah alumni lainnya
memilih menjadikan

56 Dalam upaya memenangkan pemilu 1971, berbagai upaya dilakukan


pemerintah dan kelompok pendukungnya untuk memperlemah PNI. Mulai
dari represi, intimidasi sampai pada kebijakan monoloyalitas pegawai
negeri dilakukan untuk “menggembosi” PNI. Lihat, Prof. Soenario, SH,
Banteng Segitiga , (Jakarta: Yayasan Marinda, 1988), hal.156-167.
142 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
Golkar sebagai sarana artikulasi politiknya, seperti Siswono
Yudohusodho, Theo L Sambuaga, Muladi, yang pada masa
Orde Baru pernah menduduki jabatan strategis baik dalam
Golkar maupun posisi sebagai menteri.
Keputusan politik GMNI seolah memperoleh
peneguhan kebenaran pada saat rezim Orba “memaksa”
partai-partai untuk melakukan fusi. Fusi merupakan bagian
dari strategi rezim Orba untuk mengkooptasi kehidupan
kepartaian dan membatasi partisipasi politik rakyat. Melalui
fusi dan kemudian diperkuat dengan UU Partai Politik Tahun
1985, rezim Orba hanya memberikan hak hidup kepada dua
partai politik dan Golongan Karya (Golkar).
Sejalan dengan berakhirnya eksistensi sebagai partai
politik, maka aktivitas ormas-ormas PNI dilakukan dalam
wadah baru bernama Lembaga Krida Budaya Nasional
(Krisdayana) yang didirikan pada 4 Juli 1973. Namun
lembaga baru ini pada akhirnya tidak berjalan dan pudar
dengan sendirinya. Eksistensi Krisdayana berakhir karena
tidak dapat memenuhi ketentuan UU No.8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).57
Dalam situasi itu, esksistensi GMNI “terselamatkan” dari
ekses peleburan partai-partai politik. Organisasi mahasiswa
itu sepenuhnya lepas dari PNI maupun Krisdayana. Realitas
politik itu semakin memperteguh keputusan politik GMNI
untuk memilih sebagai organisasi mahasiswa independen.
Karena itu, independensi GMNI kemudian dikukuhkan
kembali dalam kongres VI di Jakarta pada tahun 1976 dan

57 Ibid, hal. 169-170.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 143
kongres VII pada tahun 1979 di Medan, Sumatera Utara. 58
Meskipun dari kongres ke kongres sikap politik itu
diperteguh dan dikampanyekan ke publik namun stigma
kedekatan GMNI kepada salah satu partai politik tetap
tertanam di benak masyarakat. Kesamaan dalam simbol-
simbol organisasi dan kaitan sejarah masa lalu, memperkuat
asumsi masyarakat bahwa GMNI merupakan bagian tak
terpisahkan dari salah satu partai politik di masa Orla.
Terbentuknya citra tersebut tidak lepas dari banyaknya
mantan aktivis GMNI yang memilih meniti karier politik di
partai itu. Pandangan itu sesungguhnya kontras dengan
kenyataan pada masa Orba dimana justru GMNI menjadi
organisasi yang relatif steril dari pengaruh alumninya
mengingat belum terbentuknya organisasi alumni dan
fragmentasi di tubuh
alumni GMNI itu sendiri.
Pandangan masyarakat itu menjadi kendala tersendiri
bagi aktivis GMNI. Situasi pada masa itu sangat tidak
kondusif bagi aktivitas partai politik maupun organisasi
kemasyarakatan. Kebijakan depolitisasi massa yang
diterapkan rezim Orba telah menumbuhkan sikap “sensitif”
terhadap keberadaan ormas, partai politik dan kegiatan
politik praktis. Situasi itu sangat menyulitkan kader-kader
GMNI dalam menjalankan roda organisasi meskipun telah
menegaskan independensinya.59

58 Sejalan dengan semangat independensi, Kongres VI GMNI mengambil


tema “Pengukuhan Independensi GMNI serta Persatuan dan Kesatuan”.
Tema yang sama diangkat GMNI dalam kongres VII di Medan, Sumatera
Utara pada tahun 1979. Lihat, Komite Organisasi Presidium GMNI,
Panduan Organisasi, (Jakarta: Penerbit Presidium GMNI, 2004), hal. 8-9.
59 Kendala yang sering dihadapi GMNI di masa Orba adalah sulitnya

144 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


2. Kooptasi Negara di Sektor Kepemudaan
a. KNPI Sebagai Instrumen Kooptasi Negara
Paradigma pembangunan nasional Orde Baru
yang pro stabilitas dalam implementasinya
berwujud pada kebijakan penataan politik,
termasuk di sektor kepemudaan. Selain melalui
akomodasi politik bagi mantan aktivis mahasiswa,
maka Orde Baru juga menghendaki adanya suatu
kelembagaan politik yang dapat mewadahi
aktivitas organisasi pemuda dan mahasiswa yang
beragam. Dengan demikian diharapkan
keragaman organisasi ini tidak memunculkan
persoalan yang dapat mengganggu legitimasi
kekuasaan dan sekaligus menghambat
pembangunan nasional. Orde baru menghendaki
partisipasi mahasiswa dan pemuda dalam
pembangunan nasional ini sesuai dengan visi
politik pemerintah. Oleh karenanya, geliat
mahasiswa yang mulai menunjukan intensitasnya
pada awal 1970-an menjadi perhatian serius bagi
pemerintahan Soeharto.
Ridwan Saidi dalam “Kelompok Cipayung, Analisis
Gerakan Kebersamaan dan Pemikiran Ormas

mengurus perijinan untuk aktivitas organisasi yang bersifat terbuka kepada


khalayak umum. Kendala lain adalah minimnya minat mahasiswa untuk
masuk GMNI. Hal itu disebabkan oleh adanya larangan yang biasanya
muncul dari kalangan orang tua maupun resistensi dari diri mahasiswa
sendiri. Terbentuknya sikap itu, selain didorong oleh situasi politik yang
kurang kondusif bagi aktivitas politik juga disebabkan oleh citra GMNI
yang identik dengan partai politik tertentu dan aktivitasnya dinilai banyak
dipenuhi politik praktis.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 145
Mahasiswa Pasca Aksi Tritura 1966,60
menjelaskan bahwa mahasiswa mulai mengalami
kegelisahan politik akibat peran ormas mahasiswa
yang dirasa mulai surut setelah aksi heroisme
angkatan ’66. Romantisme gerakan yang timbul ini
bertemu dengan momentum situasi politik awal
Orde Baru yang mulai menunjukan sejumlah
kontradiksi.
Secara intens beberapa ormas mahasiswa meng-
gelar pertemuan dan diskusi yang membahas
mengenai perkembangan politik, perubahan sos-
ial dan tema-tema mengenai masa depan Indone-
sia. Pertemuan-pertemuan inilah yang kemudian
memunculkan gagasan untuk membentuk forum
kerjasama yang lebih intensif di antara ormas ma-
hasiswa.
Pada awalnya, forum kerjasama lima ormas ma-
hasiswa itu atau kemudian lebih populer disebut
sebagai Kelompok Cipayung itu hanya diikuti
oleh empat ormas mahasiswa, yaitu: Gerakan Ma-
hasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa
Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dan Ger-
akan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Dalam
perkembangan selanjutnya, Pergerakan Maha-
siswa Islam Indonesia (PMII) ikut bergabung
dalam

60 Lihat, Ridwan Saidi, Kelompok Cipayung, Analisis Gerakan Kebersamaan


dan Pemikiran Ormas Mahasiswa Pasca Aksi Tritura 1966 , (Jakarta: LSIP,
1993), hal. 33-51.

146 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


forum itu.
Momentum yang mencuatkan nama forum
kerjasama antar ormas mahasiswa itu adalah
diskusi bersama dengan tema “Indonesia yang
kita cita-citakan” pada 20-22 Januari 1972 di
Cipayung. Tema itu mampu membuka wacana
mengenai perlunya blue print atau platform politik-
sosial-ekonomi-kultural tentang Indonesia di
masa depan yang dicita-citakan oleh angkatan
muda Indonesia. Selepas munculnya konsepsi
“Indonesia yang dicita-citakan”, harapan kepada
kelompok ini sempat melambung tinggi. Sebutan
miniatur kerjasama kelompok sipil yang dilekatkan
pada Kelompok Cipayung menjadi salah satu
penegasan adanya ekspektasi politik bahwa
mereka dapat menjadi kekuatan kritis yang
mengawasi jalannya pemerintahan.
Dinamika dalam kelompok Cipayung ini memicu
kekhawatiran rezim akan potensi kritis yang ada
dalam tubuh mahasiswa. Rezim itu menghendaki
agar seluruh aktivitas mahasiswa dan pemuda
di lakukan serta disalurkan melalui satu wadah
organisasi, sehingga mudah untuk melakukan
fungsi pengendalian dan kontrol terhadap aktivitas
pemuda dan mahasiswa. Sinyalemen itu diperkuat
dengan peranan Ali Moertopo yang cukup besar
dalam menggalang komunikasi para pimpinan

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 147
organisasi itu untuk mendorong lahirnya KNPI.
Bahkan, Ali Moertopo dapat disebut sebagai
“bidan” lahirnya KNPI.61 Ali Moertopo tidak hanya
menunggui ketika KNPI lahir, tetapi juga secara
intens memberikan pengarahan-pengarahan
politik guna memuluskan jalannya KNPI. Secara
intens pembicaraan antar pimpinan-pimpinan
organisasi ini dilakukan. Para pimpinan ormas
ini menyadari bahwa penataan politik Orde Baru
ini adalah kenyataan yang sulit untuk dihindari.
Dalam momentum itu, mereka memanfaatkan
kesempatan untuk semakin mematangkan
komunikasi diantara ormas guna merumuskan
strategi yang masih memungkinkan mensiasati
kooptasi rezim.
Soerjadimenjelaskan,bahwaterbangunkomunikasi
yang intens antara pimpinan ormas, termasuk
HMI dan GMNI yang menurutnya ada jarak, untuk
memfungsikan KNPI yang akan dibentuk sebagai
forum komunikasi antar organisasi. Dengan
demikian, KNPI tidak dimaksudkan sebagai
wadah tunggal yang menghilangkan eksistensi
dan karakteristik organisasi yang membentuknya.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya KNPI
yang akhirnya didirikan pada 23 Juli 1973 oleh

61 Krissantono, Ali Moertopo di Atas Panggung Orde baru; Tokoh


Pembangunan dan Pembaharuan Politik, (Jakarta: Prisma, LP3ES, 1986),
hal 154.

148 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Orde Baru ditahbiskan sebagai satu-satunya
wadah berhimpun bagi seluruh organisasi pemuda
dan mahasiswa.
Lahirnya KNPI memunculkan kekhawatiran
tersendiri bagi Kelompok Cipayung. Kehendak
pemerintah untuk menjadikan KNPI sebagai
wadah tunggal organisasi pemuda dinilai dapat
mengeliminasi peran ormas-ormas mahasiswa
yang kondisinya sudah mengalami kesulitan.
Meskipun pada akhirnya para aktivis kelompok itu
terlibat dalam proses pendirian KNPI, namun hal
itu didorong dan dilatarbekangi semangat untuk
mencegah terkooptasinya organisasi pemuda
dalam wadah tersebut.62
Dalam merespon berdirinya KNPI, terlihat ada am-
bivalensi sikap yang ditunjukan oleh ormas Cipa-
yung. Meskipun disatu sisi muncul kekhawatiran
akan kooptasi dan independensi yang harus diper-
tahankan, namun itu tidak menghentikan peranan
mereka dalam berkecimpung di KNPI. Menurut
Tjahjo Kumolo, kader HMI pada masa Orde Baru
yang memilih masuk ke dalam ruas-ruas struktur
politik birokrasi dan mereka rata-rata sebelumnya
merupakan aktivis KNPI dan ormas kepemudaan.
Efektifitas HMI masuk dan mendominasi KNPI
nampak terlihat ketika Akbar tandjung menjadi

62 Lihat, Saidi, Op.cit. hal 69-70.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 149
Ketua Umum DPP KNPI.
Sementara itu, GMNI juga memberikan andil
tersendiri dalam KNPI. Soerjadi merupakan salah
seorang ketua DPP KNPI untuk periode 1974-
1978, bersamaan dengan kepengurusan Akbar
Tandjung. Selanjutnya, Palar Batubara menjelaskan
bahwa memang ada ambivalensi dalam tubuh
OKP, disatu sisi menolak upaya hegemoni,
namun disisi lain OKP melihat bahwa dukungan
dan kepentingan kuat Orde Baru dalam KNPI
merupakan momentum yang dapat dimanfaatkan
untuk mengakses ke pusat kekuasaan. Sebenarnya
tercipta relasi yang saling menguntungkan antara
Orde Baru dengan para elite OKP yang kemudian
menjadi pucuk-pucuk pimpinan di KNPI. Melalui
KNPI lah para pimpinan OKP ini dapat melakukan
mobilitas struktural dalam kekuasaan Orde Baru.
Kekhawatiran bahwa KNPI menjadi instrumen
kooptasi ini menimbulkan persoalan internal.
Meski tidak terlalu muncul kepermukaan, sejumlah
gerakan internal yang memprotes kebijakan
pengurus pusat dari masing-masing ormas ini
mulai bergulir. Di internal HMI, aktivis HMI
yang menguasai Dewan Mahasiswa disejumlah
perguruan tinggi di Indonesia menggalang
gerakan politik menentang berdirinya KNPI.
Dewan Mahasiswa UGM yang waktu itu dikuasai

150 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


oleh HMI mengambil inisiatif untuk melakukan
komunikasi politik dengan Dewan Mahasiswa
perguruan tinggi lainnya dimana sebagian besar
adalah jaringan aktivis HMI, sehingga keluar
pernyataan bersama yang mewakili Dewan
Mahasiswa se-Indonesia berupa penolakan
terhadap KNPI. Mereka beranggapan bahwa KNPI
tidak lebih dari instrumen pemerintah yang salah
satu fungsinya diarahkan untuk memandulkan
potensi kritis dari Dewan Mahasiswa.63 Sementara
itu, penolakan serupa juga terjadi di GMNI.
Beberapa Cabang GMNI di daerah mengirimkan
protes atas kebijakan DPP GMNI dan menyatakan
sikapnya untuk tidak masuk dalam KNPI yang
struktur organisasinya hingga ke daerah.
Besarnya dukungan pemerintah terhadap KNPI
baik berupa fasilitas maupun akses, membuat
peranan ormas kelompok Cipayung secara formal
mulai menyurut.64 Selain karena munculnya
beragam ormas mahasiswa dan pemuda yang
menginduk pada Golongan Karya (Golkar) dan
Keluarga Besar ABRI (KBA) semakin mempersempit
gerak Kelompok Cipayung.
Peran para aktivis ormas Kelompok Cipayung

63 Syafinuddin Al Mandari, Op. Cit, hal 37.


64 KNPI pada awalnya didesain seperti konfederasi ormas pemuda dan
mahasiswa di tingkat pusat, namun dalam perjalanan selanjutnya
berkembang menjadi organisasi tersendiri yang memiliki struktur
kepengurusan dari pusat sampai kecamatan.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 151
yang masuk dalam kepengurusan KNPI pun
tidak sepenuhnya leluasa. Kepengurusan KNPI
didominasi oleh aktivis dari ormas kekaryaan dan
KBA. Dukungan pemerintah terhadap ormas-
ormas itu tidak hanya dalam bentuk bantuan
“logistik”, namun juga menempatkan mereka
sebagai salah satu sumber rekruitmen elite politik.
Faktor lain yang menyebabkan surutnya peran
Kelompok Cipayung adalah longgarnya ikatan di
dalamnya. Sebagaimana karakter sebuah forum,
ikatan diantara anggotanya sangat cair. Selain
itu, tidak terdapat struktur yang dapat mengatur
intensitas anggota dalam aktivitas forum. Ikatan
yang terbentuk lebih besar dilatarbelakangi oleh
faktor kepentingan yang sama. Dengan demikian,
jika dalam kurun waktu tertentu dirasakan tidak
ada suatu kepentingan yang dapat menjadi titik
temu, maka forum itu tidak berjalan.
Penyikapan yang terkadang tidak sama terhadap
fenomena sosial politik, tidak jarang menjadi
faktor mengendurnya kerjasama itu. Dalam hal-hal
tertentu, HMI ditengarai oleh anggota Kelompok
Cipayung lainnya tidak kuasa lagi menjaga jarak
dengan penguasa. Dalam banyak hal, HMI
dinilai tidak sejalan dan meninggalkan anggota
Kelompok Cipayung lainnya. Gesekan antara
HMI dan empat ormas Kelompok Cipayung yang
lain semakin sering terjadi. Retaknya hubungan

152 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


itu, praktis menempatkan aktivitas Kelompok
Cipayung terganggu. Sementara di sisi lain,
kebutuhan akan adanya forum semacam itu tetap
diperlukan oleh GMNI, PMKRI, PMII dan GMKI.
Surutnya peran formal dari kelompok Cipayung
yang telah dijinakan melalui KNPI tidak lantas
mengendurkan radikalisasi dari mahasiswa.
Para aktvis mahasiswa justru memilih untuk
menggunakan lembaga formal intra kampus dan
komite aksi untuk menyuarakan protesnya atas
kebijakan rezim. Dalam lembaga ini selain unsur
aktivis Cipayung maka didalamnya termasuk
mahasiswa yang mulai kritis terhadap peran
organisasi ekstra universiter. Hal inilah yang
kemudian menjelaskan fenomena munculnya
aksi protes Dewan Mahasiswa dan komite aksi
yang mulai marak pada tahun 1970-an. Sejarah
mencatat, pada tahun 1970-an setidaknya
berlangsung sejumlah aksi seperti Gerakan Anti
Korupsi, Komite Anti Korupsi, peristiwa Malari
1974.
Strategi Orde Baru untuk mengakomodir para
tokoh mahasiswa dalam struktur kekuasaan
politik tampaknya efektif meredakan dinamika
politik mahasiswa. Depolitisasi mahasiswa
secara sistematis mulai dilancarkan guna
menjinakan mahasiswa dari geliat politik.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 153
Berbagai kebijakan dirancang untuk membatasi
persentuhan mahasiswa dengan isu-isu politik dan
pemerintahan. Puncak dari ini adalah keluarnya
kebijakan NKK/BKK untuk memendam mahasiswa
hanya sebagai “insan akademis” yang steril dari
kepentingan politik.
Kebijakan depolitisasi mahasiswa ini selain dito-
pang oleh beragam regulasi politik, juga menggu-
nakan pendekatan keamanan dengan apparatus
represif negara sebagai instrument dilapangan.
Ruang bagi mahasiswa untuk mengekspresikan
sikap kritisnya menjadi semakin sempit dan ter-
batas. Slogan politik yang diteriakan pada tahun
1966 seperti keadilan, kebebasan dan hak asasi
manusia, berhadapan dengan kenyataan sentral-
isasi kekuasaan dan ketimpangan dalam struktur
sosial maupun ekonomi, yang mulai meningkat
setelah Pemilu 1971.

b. Azas Tunggal: Stabilitas Atau Hegemoni?


Upaya memantapkan kooptasi Orde Baru atas
keberadaan ormas, termasuk mahasiswa semakin
kokoh dengan keluarnya kebijakan penerapan
azas tunggal Pancasila pada tahun 1985 melalui
Undang-undang partai politik dan ormas, yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan 5 paket
UU Politik 1985. Peraturan ini selain menjadi
perangkat kontrol administratif juga mengarahkan

154 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


pandangan dan orientasi ideologis seluruh ormas
agar sesuai dengan Pancasila sebagai visi politik
pemerintah. Persoalan muncul bukanlah pada
Pancasila itu sendiri, melainkan upaya represif
negara yang mengingkari adanya pluralisme
pandangan politik sekaligus penyeragaman.
Penerapan azas tunggal bagi Orde Baru
merupakan langkah untuk mengeliminasi
kemungkinan munculnya potensi radikalisme
akibat keyakinan ideologis yang bersifat
fundamental sehingga bertentangan dengan
ideologi negara. Selain itu, negara juga memiliki
legitimasi formal untuk mengarahkan orientasi
ideologis ormas-ormas yang beragam dan
menjinakan kelompok- kelompok yang kritis
terhadap pemerintah. Atas nama azas tunggal
Pancasila, pemerintah memiliki kewenangan
penuh untuk menafsirkan kesesuaian politik
antara ormas dengan pemerintah.
Kebijakan azas tunggal itu ditindaklanjuti
dengan indoktrinasi pancasila dalam versi Orba
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
yang lebih dikenal dengan sebutan P4,
penafsiran terhadap sila-sila pancasila dalam
nilai-nila normatif yang dikenal sebagai 36 butir-
butir pancasila) kepada rakyat melalui berbagai
penataran yang menjadi kurikulum wajib bagi
lembaga pendidikan di tingkat dasar sampai
perguruan tinggi dan aspek

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 155
kehidupan lainnya.
Dalam kepentingan itu, pemerintah membentuk
Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pe-
doman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(BP7) sebagai institusi resmi, tunggal dan pem-
beri tafsir yang sah terhadap ideologi Pancasila.
Tafsir pancasila di luar penafsiran BP7,
merupakan tafsir liar yang dapat dianggap
sebagai pemiki- ran subversif. Penolakan
terhadap Pancasila sama maknanya dengan
mengundang aparatus rezim Orba untuk
menindas dan mengakhiri kehidupan sebuah
organisasi dan para aktivisnya.
Merespon perkembangan itu, sebelum azas tung-
gal diterapkan, GMNI telah membaca kemung-
kinan bahwa pemerintah akan semakin ketat
dalam melakukan penataan politik. Setelah po-
tensi organisasi pemuda disatukan dalam wadah
KNPI, maka arah selanjutnya adalah penyeraga-
man ideologis sesuai dengan tafsir pemerintah.
Terkait dengan pembacaan itu, Presidium GMNI
menggagas usulan agar Kongres VIII tahun 1982
yang sedianya akan dilangsungkan di Jogjakarta
menangkap sinyalemen itu dan dapat memutus-
kan perubahan azas sebelum Orde Baru member-
lakukannya secara represif.
Menanggapi usulan Presidium itu, sejumlah
cabang diantaranya Cabang Jakarta, Manado,
Purwokerto,
156 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
Medan, menggalang penolakan terhadap upaya
perubahan azas GMNI dari Marhaenisme ke
Pancasila. Pertimbangan penolakan itu adalah
upaya untuk mempertahankan konsistensi
ideologis karena Pancasila yang di usung oleh
Orde Baru dianggap tidak sesuai dengan
Pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno pada
1 Juni 1945. Sedangkan bagi mereka yang setuju
perubahan Azas lebih karena didorong oleh upaya
untuk mensiasati tekanan rezim dan
penyelematan eksistensi organisasi.
Beberapa hal yang mendasari pandangan itu
sebagaimana dikemukakan Hari Fadillah, mantan
Presidum GMNI hasil Kongres VIII adalah:
Pertama, kelompok pendukung marhaenisme
berkepentingan untuk menjaga dukungan kelom-
pok-kelompok Soekarnois. Kelompok-kelompok
Soekarnois yang masih terikat pada pemikiran
formalistis masih sangat banyak di kalangan ma-
syarakat, termasuk di GMNI. Dalam kerangka itu,
marhaenisme dipandang masih dapat dipergu-
nakan sebagai alat untuk memperkuat ikatan ro-
mantisme, primordialisme dan sentimen-sentimen
psikologis masa silam.
Kedua, pendukung perubahan marhaenisme
menjadi pancasila memiliki kepentingan menjaga
kelangsungan hidup GMNI di masa depan. Dalam

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 157
konteks ini, pencatuman azas marhaenisme
secara formal dalam organisasi di mata rezim
Orba dapat dipandang sebagai sikap
pembangkangan, berparadigma Orla dan tidak
loyal terhadap pemerintahan baru. Selama
GMNI dianggap sebagai bagian dari Orla, maka
keleluasaan bergerak tidak akan pernah dapat
diperoleh organisasi itu.
Ketiga, meskipun penerapan azas tunggal baru
dilaksanakan pemerintah pada tahun 1985 melalui
Undang-undang partai politik dan ormas, yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan 5 paket
UU Politik 1985, namun sinyal untuk menerapkan
kebijakan itu sudah di lontarkan sejak tahun
1980- an.65 Karena itu, GMNI berkepentingan
pada saat pemerintah secara formal menetapkan
ketentuan azas tunggal, kebijakan itu tidak akan
menimbulkan konflik yang dapat memecahbelah
organisasi. Pertimbangan-pertimbangan itulah
yang kemudian dapat memperlancar jalannya
kongres VIII untuk memutuskan perubahan
azas GMNI dari marhaenisme ke pancasila.
Konflik dalam pra Kongres itu kemudian dapat
diselesaikan dalam Kongres VIII GMNI di Lem-

65 Presiden Soeharto dalam pidatonya di depan DPR/MPR pada 16 Agustus


1982 dan pada Hari Ulang Tahun ABRI ke 37, mengemukakan gagasan
tentang penerapan azas tunggal bagi partai politik dan ormas. Lihat, Deliar
Noer, Islam, Pancasila dan Azas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan,
1983), hal 41.

158 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


bang Jawa Barat pada tahun 1983. Kongres VIII
secara bulat memutuskan mengganti azas GMNI
dari marhaenisme menjadi Pancasila. Meskipun
keputusan itu pada mulanya menimbulkan resis-
tensi di internal, namun pada akhirnya secara per-
lahan dapat diterima sebagai keputusan dan fakta
organisasi. Menurut Ugik Kurniadi, mantan ketua
DPC GMNI Jakarta yang gigih menolak azas tung-
gal, penolakan azas tunggal dan polemik yang
muncul dianggap sebagai dinamika dan bunga-
bunganya berorganisasi di GMNI.
Sebagai upaya merasionalkan sikap penerimaan
itu, GMNI menilai dan menganggap pancasila
sebagai satu hal yang sama dan sebangun
dengan marhaenisme. Dalam sisi ini dibangun
pemaknaan, Pancasila dalam versi GMNI adalah
Pancasila sebagaimana disampaikan oleh Bung
Karno dalam pidatonya mengenai dasar negara di
depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, 1 Juni 1945.66
Perubahan azas memang tidak dapat menge-
liminasi munculnya konflik internal. Tetapi, pilihan

66 Dalam pidato tentang dasar negara 1 Juni 1945 di depan sidang Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai, Bung Karno menyampaikan 5 prinsip dasar, yaitu: (1)
Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan, (3)
Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, (5) Ketuhanan yang
berkebudayaan. Lima prinsip dasar itu oleh Bung Karno diberi nama
Pancasila. Bung Akrno juga mengemukakan, lima prinsip itu dapat diperas
menjadi tiga, yaitu; sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhanan.
Lihat, Soekarno, Lahirnya Pantja-Sila, (Cetak ulang), Jakarta, DPP PDI
Perjuangan, tanpa tahun dan tanggal.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 159
politik yang didasarkan pada pertimbangan taktik
strategis itu, setidaknya mengeliminasi terjadinya
perpecahan yang lebih parah di GMNI.
Pilihan menerima pancasila sebagai azas, meru-
pakan sikap yang didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan politik rasional dan pemikiran
yang matang. Situasi pada masa itu tidak
memungkink- an melakukan perlawanan secara
konfrontatif ter- hadap penguasa. Hampir semua
kekuatan politik di masa Orba tidak dapat
mengelakkan dari upaya penaklukan itu.67
Sementara itu dikalangan HMI sendiri muncul per-
soalan akibat penerapan azas tunggal Pancasila.
Kongres HMI XV di Medan tahun 1983 dengan te-
gas menolak upaya penyeragaman oleh negara.
Sikap penolakan ini menimbulkan reaksi dikalan-
gan senior alumni HMI yang berada dalam struktur
kekuasaan, Abdul Ghafur yang waktu itu menjabat
sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga. Abdu-
lah Hehamahua yang ketika itu merupakan salah
seorang anggota Majelis Pekerja Kongres (MPK)

67 Rezim Orba secara sistematis mengkooptasi segenap kehidupan rakyat


dengan menggunakan berbagai instrumen dan aparatus kekuasaan yang
dimilikinya. Upaya itu dilakukan melalui cara-cara kursif maupun
penguasaan dalam tataran wacana, monopoli tafsir dan sebagainya. Salah
satu cara penguasan itu melalui penyeragaman ideologi dari partai politik
maupun ormas, pembentukan lembaga-lembaga baru yang dibentuk negara
untuk mengkanalisasi peran politik masyarakat dan sebagainya. Lihat,
Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999).

160 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


secara tegas menyampaikan alasan penolakan-
nya atas penggantian azas HMI yang semula
Islam menjadi Pancasila.
Meski mengalami goncangan internal, PB HMI
akhirnya mengambil kebijakan untuk akomdatif
terhadap pemerintah. Dalam keputusannya, PB
HMI pada tahun 1985 menyatakan kesediaanya
untuk menerima Pancasila sebagai azas HMI dan
akan menjadi agenda yang akan ditetapkan dalam
Kongres HMI XVI tahun 1986 di Padang. Menurut
Hary Azhar Azis, penerimaan HMI atas Pancasila
merupakan wujud dari komitmen kebangsaan
HMI disatu sisi, sementara itu disisi lain HMI
harus realistis dalam mengambil kebijakan guna
menyelamatkan eksistensi HMI dimasa
mendatang.
Menanggapi keputusan PB HMI ini, sejumlah Ca-
bang HMI yang cukup berpengaruh, seperti Ja-
karta, Jogyakarta, Ujung Pandang, Pekalongan,
Tanjung Karang, Pinrang, Purwokerto, Bandung,
Surakarta, Metro, Medan, Kudus, Palopo, Pare-
Pare, menandatangani petisi yang menyatakan
bahwa Kongres HMI XVI tahun 1986 di Padang
cacat dan mengambil langkah penyelamatan or-
ganisasi dengan membentuk Majelis Penyelamat
Organisasi HMI. Mereka yang menyepakati pan-
casila sebagai azas HMI disebut HMI DIPO karena
berkedudukan di jalan Diponegoro. Sementara

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 161
HMI yang menolak membentuk Majelis Penyela-
mat Organisasi (MPO) HMI atau HMI MPO. Seb-
agai tindak lanjut dari penolakan itu, cabang-ca-
bang itu kemudian menyelenggarakan Kongres
tandingan di Jogjakarta pada tahun yang sama.
Kongres ini meneguhkan bahwa HMI tetap meng-
gunakan Islam sebagai azas organisasi dan seka-
ligus membentuk struktur kepengurusan organ-
isasi yang baru.
Dalam perkembangannya, kedua organisasi HMI
tersebut tetap eksis hingga saat ini, kendatipun
HMI Dipo kembali menggunakan Islam sebagai
Azas organisasi paska kejatuhan rezim Soeharto.
HMI Dipo dan HMI-MPO masing-masing
melakukan perkaderan sesuai dengan pedoman
perkaderannya. Upaya menyatukan kedua HMI
tersebut sejak masa awal era reformasi telah
diupayakan, tetapi para pihak berpandangan agar
eksistensi organisasi tetap di hormati. Para senior
pun dari kedua organisasi HMI yang terpecah itu
juga telah mengupayakan adanya rekonsiliasi,
tetapi selalu gagal dan lebih mengedepankan
mengurus organisasi sendiri-sendiri tanpa saling
mengalienasi.
Konflik yang terjadi akibat penerapan azas
tunggal Pancasila menunjukan bahwa terjadi
pergolakan internal di dalam tubuh ormas yang
menolak

162 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


campur tangan negara. Dalam masa Orde Baru,
hegemoni tidak hanya hadir secara fisik berupa
kontrol admisnistratif maupun kegiatan dan
kebijakan ormas, tetapi juga menjangkau wilayah
yang sifatnya kognitif dalam lingkup pengertian
dan tafsir ideologis. Dengan demikian, penerapan
azas tunggal Pancasila dapat dimaknai sebagai
bentuk hegemoni dan pengarahan partisipasi
(mobilized participation) politik publik sesuai
dengan kepentingan kekuasaan.

c. FKPI; Resistensi Kolektif Menentang Hegemoni


Menjelang pemilihan umum 1997 terjadi
peningkatan suhu politik nasional yang kemudian
berimplikasi pada munculnya gejolak sosial
dan gangguan keamanan. Disejumlah tempat
di tanah air muncul gejolak-gejolak sosial yang
mengganggu keamanan. Di Jawa Timur muncul
gejolak akibat isu dukun santet yang kemudian
merebak ke berbagai tempat dan memicu
keresahan sosial. Kerusuhan pertama kali
meledak di Situbondo pada 10 Oktober 1996,
dan segara menjalar ke beberapa temapt
seperti malang, tasikmalaya, dan lainnya.
Sementara itu, di luar Jawa juga merebak
pertikaian yang berlatar belakang SARA, seperti
kerusuhan Sampit, Sanggau Ledo. Hal inilah
yang kemudian menjadi latarbelakang munculnya
forum kerjasama baru

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 163
bagi ormas pemuda dan mahasiswa di luar
Kelompok Cipayung.
Beranjak dari Panitia Bersama Solidaritas
Kemanusiaan untuk Kasus Situbondo (PB-
SKKS) yang melibatkan delapan Organisasi
Kemasyarakatan Pemuda (OKP), kemudian
berkembang menjadi forum kerjasama yang lebih
luas. PB-SKKS itu menjadi bibit awal lahirnya
forum kerjasama baru yang kemudian
dideklarasikan sebagai Forum Kebangsaan
Pemuda Indonesia (FKPI).
Menurut Ahmad Baskara, FKPI muncul sebagai
antitesa terhadap dinamika sosial politik yang
semakin mengarah pada terjadinya keretakan
kohesi sosial yang dapat mengancam integrasi
nasional. Menurutnya, rezim yang telah berkuasa
lama kehilangan kemampuannya dalam
mempertahankan stabilitas kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan cara-cara yang demokratis.
Terjadi disintegrasi politik yang kemudian
berkembang menjadi konflik sosial, seperti
munculnya kerusuhan-kerusuhan yang merebak,
dimulai dari situbondo, tasikmalaya. Oleh karena
itu, FKPI merupakan jawaban dari kaum muda
atas kebutuhan untuk mengantisipasi kebutuhan
sosial politik dengan konsepsi kebersamaan dan
keberagaman yang diharapkan sebagai bentuk
ke-Indonesiaan yang harus digunakan untuk

164 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


menjawab masalah-masalah krusial dimasa depan.
Berdirinya FKPI yang disponsori oleh sebagian
besar anggota kelompok Cipayung, menimbulkan
pertanyaan tersendiri mengingat HMI yang juga
bagian dari kelompok Cipayung tidak turut
serta di dalamnya. Meskipun ditutup-tutupi
dengan alasan teknis, namun dapat dibaca
bahwa ketidaksepahaman dalam banyak hal dan
perbedaan-perbedaan dalam tataran prinsiplah
yang menyebabkan HMI tidak ikut serta dalam
empat ormas anggota Kelompok Cipayung
lainnya untuk membentuk FKPI. Sebagaimana
tertuang dalam FKPI, Pikiran dan Gagasan yang
disampaikan pada saat deklarasi, ormas-ormas
yang tergabung dalam FKPI menyatakan sejarah
pembentukan forum itu dilatarbelakangi oleh
berbagai fenomena sosial politik yang
mengarah pada tergerusnya sendi-sendi
kebangsaan.
Fenomena itu muncul dalam bentuk antara lain,
pereduksian pancasila dalam wujud ideologi
yang doktriner-formalis. Reduksi ideologi itu
ditengarai telah menyebabkan tergerusnya nilai-
nilai kemanusiaan, terciptanya kekuasaan
ekonomi dan politik yang sentralistik, sewenang-
wenang, monolitik dan hegemonik. Situasi itu juga
telah melahirkan terjadinya kontradiksi-kontradiksi
sosial dalam masyarakat seperti kesenjangan dan
ketimpangan sosial, ekonomi dan politik serta

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 165
penyalahgunaan kekuasaan.
Fenomena lain yang memprihatinkan adalah
adanya kecenderungan dari elemen-elemen
masyarakat, yang terorganisir maupun yang tidak
terorganisir, untuk mendiskreditkan satu sama
lain, melakukan pengadilan sepihak, tindak
kekerasan dan sebagainya. Insiden Dili, peristiwa
27 Juli 1996, kerusuhan Situbondo, Sanggau
Ledo, Rengas Dengklok dan Tasikmalaya
merupakan contoh dari adanya kecenderungan
anarkis tersebut. Menurut FKPI, beragam
peristiwa yang menyedihkan itu merupakan
indikator mulai retaknya ikatan psikologis sebagai
sebuah bangsa.68
Realitas itu ditegaskan oleh FKPI dalam
“Maklumat Kebangsaan Indonesia” yang
dikeluarkan pada 5 Februari 1997 di Jakarta.
Maklumat itu ditanda tangani oleh para pimpinan
pusat dari ormas anggota Kelompok Cipayung
minus HMI ditambah dengan Pimpinan Pusat
Ikatan Putri- putri Nadhlatul Ulama (IPPNU),
Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), Gerakan
Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan
Pemuda Demokrat. Maklumat itu, selain berisi
keprihatinan terhadap kenyataan sosial yang
semakin memperpuruk nasib rakyat dan bangsa
juga sekaligus sebagai

68 Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI), Forum Kebangsaan Pemuda


Indonesia, Pikiran dan Gagasan, (Jakarta: FKPI, 1997) hal 1-15.

166 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


deklarasi terbentuknya FKPI.69
Mengenai posisi HMI yang tidak ikut dalam FKPI
Ketua Presidium PMKRI, Riza Primahendra70,
menjelaskan bahwa tidak ikut sertanya HMI lebih
dikarenakan persoalan teknis komunikasi dan
kesibukan internal HMI dalam mempersiapkan
peringatan ulang tahunnya yang ke-50. Menurut
Ahmad Baskara, bahwa pembicaraan secara
intens antar beberapa OKP telah mulai dilakukan
pada awal 1996, termasuk dengan HMI. Akan
tetapi, HMI tidak terlalu memberikan merespon
dalam upaya pembentukan FKPI. Oleh karena
itu, ekslusivisme kelompok Cipayung kemudian
dibuka dengan melibatkan beberapa organisasi di
luar kelompok Cipayung seperti Pimpinan Pusat
Ikatan Putri – Putri Nadhlatul Ulama (IPPNU),
Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), Gerakan
Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan
Pemuda Demokrat.
Penjelasan mengenai absennya HMI dari forum-
forum yang mengawali pembentukan FKPI ini ke-
mudian mendapat sanggahan dari Ketua Umum
PB HMI, Taufik Hidayat.71 Menurutnya, HMI tak

69 FKPI, Ibid, hal. 12-15.


70 Namun, menurut sumber lainnya, terdapat beberapa perbedaan prinsip
antara ormas-ormas FKPI dengan HMI. Perbedaan itu antara lain muncul
dalam penyikapan kasus 27 Juli 1996, kasus-kasus kekerasan di masyarakat
dan semakin lengketnya HMI dengan kekuasaan. Lihat, Media Indonesia,
13 Februari 1997.
71 Lihat, Yang Dituduh Dekat dengan Kekuasaan dalam http://www.ummat.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 167
pernah diajak ikut dalam pembicaraan-pembicara-
an pendahuluan mengenai pembentukan FKPI.
Sehingga, ketidaksepakatan HMI itu menjadi hal
yang beralasan dan wajar, mengingat dalam Ke-
lompok Cipayung terdapat perbedaan-perbedaan
yang mendasar. Hanya saja, HMI prihatin karena
Kelompok Cipayung sudah terlalu jauh memasuki
wilayah politik praktis. Dalam menanggapi kasus
27 Juli 1996, misalnya, ada yang cenderung mem-
bela kelompok tertentu dalam PDI. Sedangkan
HMI dalam pengabdiannya tak ingin memasuki
wilayah politik praktis.
Tapi, justru di sinilah letak persoalannya.
Sementara HMI menuduh kelompok Cipayung
lainnya terlalu jauh terlibat politik praktis, dan
HMI sendiri malah dituding terlalu dekat dengan
kekuasaan. Hendardi, mantan Ketua Dewan
Mahasiswa ITB, berpendapat, dengan
terbentuknya FKPI, HMI harus instrospeksi diri.
Karena pembentukan FKPI harus dilihat sebagai
sikap terhadap fenomena perkembangan sikap
HMI belakangan ini. Menurutnya selanjutnya:
Apa yang dilakukan Kelompok Cipayung minus
HMI ini merupakan bentuk untuk
mengaktualisasikan diri dalam komitmen-
komitmen semula, di mana kelahiran-kelahiran
organisasi ini berfungsi sebagai

co.id/218nas2.htm , diakses tanggal 6 Mei 2013.

168 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


kontrol sosial terhadap kekuasaan.72
Dengan berdirinya FKPI maka organisasi ekstra
universiter ini telah merumuskan suatu aliansi
strategis baru keluar dari mainstream penataan
politik yang dilakukan oleh Orde Baru. Peran
politik FKPI menjadi strategis mengingat
cengkeraman Orde Baru yang telah berlangsung
lama dan kokoh ternyata sarat dengan berbagai
kontradiksi internal. Secara faktual, realitas
kesenjangan sosial ekonomi, pelanggaran HAM,
praktek diskriminasi dan ketidakadilan telah
menyemai bibit ketidakpuasan di masyarakat.
Sehingga ketika FKPI muncul dan melakukan
koreksi sosial atas praktek kekuasaan negara
yang ternyata menyimpan berbagai potensi
persoalan yang mulai mengemuka, segera
memperoleh respon publik yang cukup besar.
Meski HMI tidak berada didalamnya, FKPI tetap
dapat tampil sebagai kekuatan kritis dan pressure
group yang cukup diperhitungkan oleh rezim yang
mulai menunjukan ketidakmampuannya dalam
menjaga stabilitas sosial dan keamanan yang
mulai muncul bersamaan dengan rentetan konflik
menjelang pelaksanaan Pemilu 1997. Seiring
dengan waktu, pentolan FKPI setelah mengabdi
dipelbagai lapangan kemasyarakatan; profesional,

72 Ibid.

Dimamika Politik HMI dam GMwI di Bawah Hegemomi Kekuasaam Order Baru 169
politisi, pengusaha dan lain-lain, peran FKPI
pun semakin memudar dan saat ini semakin
redup karena kurangnya proses kaderisasi yang
berkesinambungan.

170 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Bab 4

Peran Politik HMI dan GMNI di


Pentas Politik Nasional Pasca
Order Baru

A. Reformasi dan Perubahan Politik Pasca Orde Baru

Krisis ekonomi global yang pada gilirannya melanda


Indonesia dipenghujung tahun 1997 memicu gelombang
besar kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan
Soeharto. Nilai tukar rupiah jatuh pada titik terendah
sepanjang sejarah Indonesia, harga membumbung semakin
tidak terjangkau, terjadi rush besar-besaran disejumlah Bank,
dan ledakan pengangguran terjadi akibat banyak perusahaan
yang melakukan PHK akibat jatuh bangkrut hingga gulung
tikar. Beban hidup rakyat terasa semakin berat, diikat oleh
perasaan senasib dalam ketertindasan dibawah belenggu
rezim Soeharto dan harapan akan perubahan yang lebih
baik, sehingga hampir seluruh komponen masyarakat,
terutama dimotori oleh para aktivis mahasiswa, bergerak
dalam aksi protes yang beberapa diantaranya diwarnai
kerusuhan sosial, menuntut agar Soeharto mengundurkan
diri dan segera diadili atas segala kesalahannya.
Meski aksi protes ini semakin luas, tampaknya belum
membuat Soeharto bergeser dari kekuasaannya. Operasi
intelejen dan penggunaan kekerasan untuk menghadapi
para pemrotes terus dijalankan secara intens. Korban jiwa
berjatuhan, termasuk diantaranya adalah para aktivisi
mahasiswa, baik akibat kekerasan aparat keamanan maupun
korban kerusuhan sosial. Pada awalnya metode kekerasan
ini memang efektif, akan tetapi kemudian justru menjadi
bumerang bagi Soeharto dan para pasukannya. Rakyat
semakin terkonsolidir dan energinya membesar untuk
menyampaikan aspirasi politik dan memberikan perlawanan
terhadap setiap upaya represif yang dilakukan Soeharto.
Selama aksi-aksi protes jalanan ini berlangsung, peran
organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI,
PMII,
dan lainnya meski muncul kepermukaan, tetapi intensitas dan
popularitasnya tidaklah terlalu menonjol. Hal ini dikarenakan
peran aktor lapangan lebih banyak diperankan secara
individual sekalipun aktivis gerakan tersebut merupakan
kader dari organisasi ekstra universiter. Aksi protes jalanan
justru marak dilakukan oleh organisasi formal kampus
seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat
Mahasiswa (SM), dan komite-komite aksi yang bersifat ad
hoc seperti dilakukan oleh Forum Salemba, Forkot, Famred,
FKSMJ, dan KAMAL (Komite Aksi Mahasiswa Alauddin) di
Sulsel serta kelompok penekan mahasiswa dipelbagai
daerah lainnya. Komite-komite aksi ini memperlihatkan
intensitas gerakan disertai dengan radikalisme yang justru
semakin memperkuat solidaritas di kalangan mahasiswa
dan masyarakat luas.
172 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
Mereka mampu membangun suatu gerakan politik yang
semakin efektif dalam memberikan tekanan politik terhadap
pemerintahan Soeharto dan menggalang solidaritas
mahasiswa dalam tema perubahan.
Meningkatnya peran dari lembaga formal kampus
dan komite-komite aksi ini dalam menggalang solidaritas
dan dukungan mahasiswa dapat dimaknai sebagai berikut:
Pertama, bahwa berkembang pandangan bahwa organisasi-
organisasi formal kampus relatif lebih steril dari kepentingan
politik praktis dibandingkan dengan ekstra kampus,
mengingat banyak alumninya merupakan bagian dari
kekuasaan yang sedang dikritisi. Pandangan ini diperkuat
pula dimana dalam konteks sejarah, organisasi ekstra
kampus merupakan bagian dari kepanjangan tangan dari
partai-
partai politik yang sibuk berebut kekuasaan baik pada masa
Orde Lama maupun awal kelahiran Orde Baru.
Kedua, politik NKK/BKK telah mengurangi pengaruh
dan peran politik dari organisasi ekstra kampus terhadap
dinamika kehidupan internal mahasiswa di dalam kampus.
NKK/BKK membuat mahasiswa relatif steril dari pengaruh
politik organisasi ekstra kampus sehingga menyebabkan
organisasi ekstra kampus tidak memiliki kemampuan
yang cukup efektif dalam memobilisasi mahasiswa secara
keseluruhan dalam gerakan-gerakan protes.
Meski peran dari organisasi ekstra kampus, HMI
dan GMNI, tidak sepopuler lembaga formal kampus dan
komite-komite aksi, sesungguhnya ada benang merah yang
mengkaitkan kedua komponen penting dalam struktur

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 173
gerakan protes mahasiswa tahun 1998. Banyak diantara
para pimpinan organisasi formal kampus dan komit-komite
aksi itu sebenarnya anggota dari organisasi ekstra kampus.
Sehingga, besar kemungkinan bahwa kemunculan lembaga
formal kampus dan komite-komite aksi ini merupakan
bagian dari desain politik dari organisasi ekstra kampus
dalam menyampaikan aspirasi politiknya secara lebih leluasa
dan bebas. Strategi ini menjadi pilihan yang efektif untuk
menghindari pengaruh maupun tekanan-tekanan politik
yang sangat mungkin dilakukan oleh para alumninya yang
menjadi bagian dari kekuasaan.
Pengaruh politik organisasi ekstra kampus dalam
lembaga-lembaga formal intra kampus sebenarnya telah
berlangsung jauh sebelum gerakan reformasi muncul. Dalam
sejarahnya, organisasi-organisasi ekstra kampus saling
berkompetisi untuk memperebutkan jabatan-jabatan dalam
struktur formal intra kampus seperti Dewan Mahasiswa,
maupun Senat Mahasiswa. Pengaruh HMI dan GMNI dapat
dilihat diberbagai kampus dimana sebagian besar dari
lembaga intra kampus dikuasai oleh mereka.
Aksi protes jalanan ini dalam perkembangannya mulai
menunjukan pengaruh politik yang signifikan. Kekuatan
protes mahasiswa tidak hanya menyatu dengan gerakan
massa, tetapi juga mulai berjalan seirama dengan gerakan
politik kelompok elite politik. Protes mahasiswa tidak lagi
menjadi variabel tunggal dalam proses politik reformasi.
Kelompok elite mulai mengambil bagian secara terbuka
dengan melancarkan kritik dan tekanan terhadap kekuasaan

174 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Soeharto. Mereka tidak hanya bermain dalam wilayah
opini tetapi juga sebagian melibatkan diri turun ke jalan
dalam penggalangan kekuatan mahasiswa. Elite politik
mulai membentuk poros politik untuk menyolidkan
gerakan menentang Soeharto dengan tema pergantian
kepemimpinan nasional. Hal itu dapat dilihat salah satunya
yakni pertemuan para elite politik di Ciganjur yang
difasilitasi oleh para mahasiswa yakni diantaranya Sri
Sultan Hamengkubuwono X, Amien Rais, Megawati, Gus
Dur, dan tokoh-tokoh lainnya. Keterlibatan elite dalam
reformasi ini tidak hanya mereka yang
berada di luar kekuasaan, tetapi juga yang berada di
dalam kekuasaan. Sejumlah menteri dipimpin oleh Ginandjar
Kartasasmita dan Akbar Tandjung justru beramai- ramai
menghadap Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998 untuk
menyampaikan pengunduran dirinya dan menolak untuk
duduk dalam kabinet yang akan dibentuk melalui reshufle
kabinet sebagaimana ditawarkan oleh Soeharto. Dengan
mundurnya sebagian besar menteri ini, membuat dukungan
politik Soeharto semakin melemah dan berada dalam kondisi
yang sangat potensial untuk diturunkan dari jabatannya.
Perubahan sikap mulai ditunjukan Soeharto ketika
para elite nasional mulai mendukung gerakan mahasiswa
bersama seluruh masyarakat. Pada tanggal 19 Mei 1998,
dalam pertemuan dengan sejumlah tokoh nasional,
Soeharto menawarkan sejumlah program untuk mengatasi
krisis nasional, termasuk melalui reshufle kabinet. Langkah
ini diharapkan dapat mengurangi ketegangan dan menjadi
jalan keluar krisis. Akan tetapi, Soeharto harus berhadapan

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 175
dengan kenyataan lain, karena lingkaran dalam kekuasaanya
justru menghendaki Soeharto untuk segara mengundurkan
diri dari jabatan presiden.
Krisis nasional 1997/1998 agaknya merupakan
drama politik yang menegangkan setelah peristiwa 1965
menjelang jatuhnya Soekarno. Tepat tanggal 21 Mei 1998
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai
Presiden dan kemudian MPR segera mengangkat B. J.
Habibie yang sebelumnya adalah Wakil Presiden sebagai
Presiden selanjutnya. Penyebab mundurnya Soeharto ini
memang belum dapat dipastikan. Berkembang berbagai
spekulasi yang menganalisis peristiwa mundurnya
Soeharto:1 1) Soeharto mengundurkan diri atas kemauan
dan keputusan yang diambil dalam hatinya sendiri, 2)
Gelombang protes dan tekanan rakyat yang semakin kuat
pada akhirnya memaksa Soeharto untuk realistis menerima
kenyataan bahwa sulit baginya untuk tetap bertahan
kecuali mengundurkan diri, 3) Bahwa ada tekanan kuat
dan sangat dimungkinkan sebagai bentuk konspirasi dari
sekutu dekatnya agar Soeharto mengundurkan diri, dan 4).
Soeharto tumbang akibat gelombang tekanan horizontal
dari luar Indonesia.
Tumbangnya Soeharto yang kemudian diganti oleh B.
J. Habibie sebagai Presiden tidak lantas memenuhi semua
tuntutan rakyat. Sejumlah perubahan mulai tampak sebagai

1 Lihat Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi,


Masyarakat, Tramsisi, Jakarta, The Asia Foundation dan PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001, hal 526.

176 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


bagian dari upaya reformasi politik seperti yang dituntut oleh
masyarakat. Akan tetapi, Orde Baru sebagai suatu sistem
menyeluruh yang telah dibangun oleh Soeharto belum-
lah secara fundamental berubah. Soeharto sebagai simbol
kekuasaan Orde Baru memang telah turun dari
kekuasaanya, akan tetapi bangunan politik Orde Baru
secara keseluruhan masih berdiri kokoh.
Era pemerintahan Habibie dapat dikatakan sebagai
tahap awal dalam jalan panjang transisi politik menuju
demokrasi. Habibie tampak lebih proaktif dalam merespon
dinamika politik, bahkan dalam beberapa hal justru
cenderung berlebihan, seperti halnya kasus lepasnya Timor
Timur melalui referendum. Demokratisasi dilangsungkan
dengan membuka peluang bagi liberalisasi politik. Habibie
membuka kesempatan yang lebih luas bagi semua kegiatan
politik, pembebasan sejumlah tapol/napol, profesionalisme
TNI yang berarti adalah pencabutan Dwi Fungsi TNI, dan
termasuk kebebasan media massa.
Liberalisasi politik ini bagi Habibie tentunya bukan
sekedar memenuhi tuntutan masyarakat, tetapi juga
sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk
memperkuat legitimasi politik2 mengingat tipisnya
dukungan politik yang dimilikinya menjelang digelarnya
Pemilu 1999. Rendahnya dukungan politik terhadap
Habibie ini dibuktikan dengan ditolaknya pidato
pertanggungjawaban Habibie saat digelarnya Sidang
Istimewa MPR. Peristiwa itu tentu tidak berdiri sendiri

sebagai akibat kelemahan Habibie, tetapi


2 Lihat Donald K. Emerson, Ibid, hlm 597-598.

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 177
juga dapat dibaca bahwa dukungan politik yang dimiliki
Golkar sebagai salah mesin politik Habibie mulai
melemah. Disamping itu, tema anti kekuatan Orde Baru
menunjukan efektifitas dalam menghadang Habibie sebagai
representasi Soeharto untuk memperpanjang umur
kekuasaannya.
Realitas politik dan kuatnya tekanan yang menghendaki
diadakannya percepatan Pemilu memaksa Habibie untuk
segera mempersiapkan pelaksanaan Pemilu 1999. Suka
tidak suka maka Pemilu akan segera menjadi kenyataan
politik yangn harus dihadapi oleh seluruh komponen politik.
Kali ini Pemilu menjadi momentum yang sangat
menentukan arah perjalanan transisi politik, apakah dapat
menghasilkan suatu rezim politik yang demokratis ataukah
justru menjadi momentum rekonsolidasi rezim politik pro
Orde Baru?.
Terlepas dari kontroversi atas kebijakan-kebijakan
yang ditempuh oleh Habibie, baik yang muncul sebagai
strategi maupun kompromi akibat tekanan politik, masa
pemerintahan Habibie merupakan tonggak dari transisi politik
yang penting. Dengan kebijakan liberalisasi, Habibie telah
membuka kesempatan bagi semua kekuatan politik untuk
muncul kepermukaan dan melibatkan diri dalam persaingan
politik melalui mekanisme politik yang lebih demokratis.
Liberalisasi politik juga ditandai dengan tingginya
pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia, yakni kebebasan
untuk mengekspresikan hak–hak sipil politiknya, baik dalam
bentuk perserikatan maupun pernyataan-pernyataan politik
secara terbuka. Disektor media massa, kebebasan pers juga
mengalami perubahan secara drastis. Kehidupan media
178 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
massa yang sebelumnya dikontrol secara ketat kemudian
berubah secara drastis dan memasuki era pers bebas.
Liberalisasi politik yang dilakukan oleh Habibie dalam
masa transisi yang menjadi terobosan besar dalam refomasi
politik di Indonesia dan memberikan perubahan drastis
dalam sistem politik Indonesia adalah revisi terhadap paket
Undang- Undang di bidang politik. Undang-Undang
perpolitikan yang dianggap tidak mencerminkan dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi segara
diajukan untuk mengalami perubahan. Perubahan difokuskan
pada Undang-Undang Kepartaian, UU Keormasan, UU
Pemilihan Umum, UU Susunan dan Kedudukan DPR/MPR,
UU Referendum, UU Pemerintahan Daerah, serta UU
lainnya.
Revisi atas paket UU Politik ini memberi dampak
terhadap format politik Indonesia. Subtansi dari revisi itu
terletak pada dibukanya ruang bagi partisipasi politik publik
lebih luas. Secara tehnis aturan itu terkait dengan syarat-
yarat pendirian partai politik sebagai sarana artikulasi
kepentingan politik publik. Revitalitalisasi lembaga
perwakilan, baik pada aspek rekruitmen politik maupun
kinerja dan fungsi pengawasan. Harmonisasi hubungan antar
lembaga negara dengan meneguhkan prinsip pemisahan
kekuasaan. Dan, pengaturan mekanisme sirkulasi
kekuasaan periodik secara fair dan demokratis.
Dampak revisi paket UU politik ini tak hanya merubah
sistem politik saja, tetapi juga telah mendorong munculnya
gerakan disektor publik yang lazim berlangsung di negara-
negara demokrasi maju. Civil society tumbuh berkembang

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 179
seiring dengan arus kebebasan dan keterbukaan.
Keberadaan civil society ini mampu meningkatkan posisi
politik masyarakat dihadapan otoritas negara dan sekaligus
menjadi alternatif atas lemahnya pelembagaan politik
demokratis di tingkat negara. Dengan demikian, civil society
memiliki korelasi yang kuat dengan demokratisasi yang
hendak dilangsung di Indonesia.
Transisi politik di Indonesia tentunya tidak hanya
diarahkan pada perubahan prosedur-prosedur politik secara
formal, tetapi juga mensyaratkan tumbuh berkembangnya
budaya politik demokratis. Pada level prosedural, perubahan
politik telah secara bertahap berlangsung, akan tetapi
pada level subtantif praktek demokrasi belumlah
berlangsung secara sempurna dan efektif menjawab
berbagai persoalan
publik yang muncul. Demokratisasi haruslah mensinergikan
antara prosedur politik dan subtansi politik. Dengan
demikian, transisi politik di Indonesia dapat menciptakan
rezim politik yang demokratis serta mampu menjawab
berbagai persoalan publik lebih kongkrit.
Merujuk pada deskripsi diatas, pembangunan politik
yang terjadi pasca Orde Baru dapat dijelaskan dengan
pendekatan Lucian W Pye. Liberalisasi politik yang
memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya sistem
politik demokratis menggantikan sentralisme gaya Orde
Baru, merupakan operasionalisasi dari pembangunan politik
dalam kerangka membangun kehidupan politik yang
demokratis. Demokratisasi ini diasumsikan dapat menjadi
suatu landasan bagi terciptanya pembangunan nasional
yang lebih dapat
180 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
menjawab kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Meskipun demokratisasi telah menjadi paradigma baru
dalam pembangunan politik di Indonesia pasca Orde
Baru, sejumlah persoalan masih mengemuka sebagai
bagian dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam periode kepemimpinan pasca Soeharto, baik mulai
dari Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla, berbagai
persoalan pembangunan masih menjadi perhatian bagi
gerakan mahasiswa.
Pada masa Habibie, peran politik mahasiswa tetap
berlangsung secara dinamis. Dalam menghadapi Sidang
Istimewa MPR tahun 1999, mahasiswa terpecah dalam
dua kubu, mereka yang mendukung dan menolak SI MPR.
Menghadapi situasi itu, GMNI melihat bahwa penolakan
terhadap SI MPR merupakan bentuk konsistensi terhadap
tujuan politik membersihkan Orde Baru dan kroninya.
SI MPR disinyalir akan menjadi sarana bagi Orde Baru
untuk tetap mendudukan orang-orangnya dan kembali
menanamkan pengaruh kekuasaan. Oleh karenanya, SI
MPR mendapatkan resistensi dari kalangan mahasiswa.
Sementara itu, bagi kelompok pendukung SI MPR, melihat
bahwa SI MPR merupakan jalan konstitusional untuk
peralihan kekuasaan secara damai. SI MPR diyakini menjadi
pilihan politik yang paling tidak beresiko dan kecil potensi
konfliknya dibandingkan alternatif lainnya. Dalam konteks
SI MPR, HMI mengambil posisi politik mendukung SI MPR.
Pro kontra terhadap SI MPR ini dapat dipahami disatu sisi
situasi

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 181
politik pasca mundurnya Soeharto memang sarat dengan
ketidakpastian sebagai ciri intrinsik situasi transisi politik
pasca rezim otoritarian. Disisi lain, fragmentasi elit potensial
mempengaruhi struktur gerakan politik mahasiswa.
Situasi politik lainnya yang mendinamisir mahasiswa
adalah sinyalemen adanya upaya resentralisasi dan
pendekatan keamanan melalui Rancangan Undang-
Undang Penanggulangan Keamanan dan Bahaya (RUU
PKB). Mahasiswa mengkhawatirkan bahwa RUU PKB dapat
menjadi legitimasi konstitusional bagi tentara untuk kembali
meraih kursi kekuasaan. Hal ini muncul sebagai reaksi atas
sejumlah pasal dalam RUU PKB yang memberikan ruang
interpretasi bagi pimpinan TNI untuk menafsirkan keadaan
yang dianggap membahayakan negara tanpa melalui
konsultasi politik dengan otoritas sipil. Selain itu, atas nama
keamanan tentara memiliki kewenangan yang terlalu jauh
menjangkau pada kegiatan-kegiatan politik masyarakat sipil
diluar konteks tindakan militer yang dapat dikategorikan
sebagai upaya subversif. Poin-poin inilah yang menjadi
pemicu persoalan krusial mengingat trauma dimasa lalu
dan dorongan yang kuat untuk membangun suatu tatanan
masyarakat dan pemerintahan yang lebih demokratis.
Kritisisme gerakan mahasiswa juga terjadi pada masa
pemerintahan Gus Dur. Mereka melihat bahwa pemerintahan
Gus Dur tidak bersih dari praktek KKN. Kasus Bruneigate
yang mencuat membuat Gus Dur harus berhadapan dengan
kenyataan politik berhadapan dengan impeachment dalam
sidang Istimewa yang akhirnya membuatnya terjatuh dari
kursi

182 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


kekuasaan. Dalam suasana itu, protes mahasiswa kembali
marak dan secara gencar mendesak pengunduran diri Gus
Dur dari jabatan Presiden. Meski sikap mahasiswa tidak
sepenuhnya satu suara, namun sebagian besar
menghendaki agar Sidang Istimewa digelar untuk
memberhentikan Gus Dur.
Persoalan-persoalan pembangunan dan kinerja kekua-
saan masih berlangsung pada periode pemerintahan Mega-
Hamzah. Isu kenaikan BBM memicu protes mahasiswa dari
berbagai elemen. Bagi mereka, bahwa reformasi seharus-
nya sebangun dengan upaya memajukan kesejahteraan dan
penguranan beban hidup rakyat. Akan tetapi fakta bahwa
pemerintah justru menaikan BBM membuat mereka kembali
turun ke jalan melancarkan protes atas kebijakan ini.
Persoalan serupa juga terjadi pada masa pemerintahan
SBY-JK. Sejumlah kebijakan SBY-JK dinilai tidak sejalan
dengan kepentingan rakyat dan justru lebih mengedepankan
kepentingan-kepentingan pemilik modal. Meski aksi
protes selalu mewarnai kebijakan kenaikan BBM, itu tidak
menghentikan pemerintah SBY-JK untuk mencabut subsidi
dan menaikan harga BBM sesuai dengan tren harga pasar
dunia. Menyikapi hal ini, baik HMI dan GMNI memiliki
pandangan politik yang tidak terlalu jauh berbeda, dimana
HMI dan GMNI sama-sama memberikan sikap politik
menolak kenaikan BBM. Perpres No 5 tahun 2005 tentang
Kenaikan Harga Eceran BBM dianggap sebagai kebijakan
yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan
mengabaikan adanya alternatif kebijakan lain yang dapat
ditempuh guna mengatasi

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 183
persoalan yang timbul akibat dampak kenaikan BBM dunia.
Mereka melihat bahwa persoalan efektifitas pemberantasan
korupsi kasus BLBI, pencegahan illegal loging maupun illegal
fishing, revisi kontrak karya dengan sharing revenue yang
lebih berpihak kepada kepentingan nasional belum menjadi
opsi yang diseriusi oleh pemerintah.
Deskripsi diatas menunjukan bahwa organisasi GMNI
dan HMI senantiasa mencoba mempertahankan prinsip-
prinsip independensinya dihadapan kekuasaan dan keluar
dari dilema relasi antara mereka dengan alumninya. Sebagai
organisasi formal, HMI dan GMNI memiliki aturan yang tegas
mengenai independensi organisasi yang harus
diterjemahkan dalam berbagai praktek politik organisasi.
Berbagai sikap kritis terhadap kebijakan kekuasaan
merupakan bentuk dari peneguhan bahwa organisasi ini
membangun relasi kritis terhadap kekuasaan. Upaya menjaga
jarak guna mempertahankan independensi juga dilakukan
dengan alumninnya. Penolakan GMNI terhadap keberadaan
organisasi alumni pada tahun 1994 membuktikan bahwa ada
semangat kuat untuk menjaga independensi. Begitu halnya
dengan HMI, dimana antara HMI dan KAHMI tidak memiliki
relasi formal subordinat yang dapat menempatkan HMI
dalam kendali politik KAHMI. Antara GMNI dan HMI dengan
institusi alumni memang memiliki relasi historis dan ideologis
yang erat, namun demikian ini tidak dapat diartikan bahwa
secara organisatoris HMI dan GMNI tunduk pada kebijakan-
kebijakan institusi alumni masing-masing.

184 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


B. HMI dan GMNI: Upaya Merumuskan Peran
Politik Kaum Muda

Meski pemerintahan Orde Baru telah berakhir, namun


berbagai persoalan sebagai dinamika kehidupan berbangsa
dan bernegara tetap ada. Sepanjang persoalan itu ada
maka gerakan mahasiswa akan tetap ada menjadi kekuatan
kritis bagi kekuasaan. Jika pada masa Orde Baru gerakan
mahasiswa, HMI dan GMNI tidak terlalu menonjol dalam
mengkritik kekuasaan karena harus berhadapan dengan
kebijakan penataan politik yang represif, maka saat ini
keterbukaan politik memberikan kesempatan pada mereka,
terutama HMI dan GMNI untuk secara terbuka dan formal
muncul kepermukaan dalam mengartikulasikan kepentingan
politiknya, baik dalam memberikan dukungan politik maupun
kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Situasi ini dimungkinkan karena mekanisme represif
dan kontrol yang ketat terhadap kegiatan politik OKP-OKP
pada masa pasca Orde Baru ini tidak lagi berlangsung
seperti halnya sebelumnya. Sistem politik yang berlangsung
lebih demokratis ini memberikan kesempatan yang lebih
luas bagi setiap komponen masyarakat, terutama organisasi-
organisasi masyarakat, untuk mengekpresikan sikap politik
secara terbuka. Dalam konteks kehidupan politik yang lebih
demokratis ini maka peran politik OKP, terutama HMI dan
GMNI dapat dijelaskan sebagai berikut :

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 185
1. Training Ground dan Sumber Rekruitment Politik
Kekuasaan
Sejarah telah membuktikan bahwa organisasi-
organisasi pemuda memiliki peran dan kontribusi yang
penting dalam perubahan sosial. Lahirnya Budi Utomo
menjadi tonggak munculnya kesadaran dikalangan muda
terdidik tentang arti pentingnya suatu organisasi sebagai
intrumen dalam perjuangan kebangsaan. Tanpa organisasi
maka mahasiswa hanya akan menjadi kerumunan
masyarakat yang sangat mudah dipatahkan perjuangan
dalam menghadapi rezim yang sentralistik maupun dalam
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.
Kaderisasi merupakan salah satu agenda penting yang
dilakukan oleh OKP untuk meningkatkan kualifikasi dan
kompetensi yang dimiliki oleh anggotanya. Hal yang hendak
dicapai dalam kaderisasi ini adalah: Pertama, aspek kognitif,
dimana terjadinya tranformasi nilai-nilai yang menjadi
platform perjuangan organisasi. Kedua, psikomotorik dimana
anggota organisasi memiliki kemampuan tindakan-tindakan
praktis dalam menjalankan program-program organisasi, dan
Ketiga, aspek sosial, bahwa kaderisasi menjadi momentum
untuk berinteraksi dengan komunitas internal maupun
eksternal organisasi.
Dalam konteks kaderisasi, HMI merupakan organisasi
yang memiliki sistem kaderisasi anggota yang mapan,
baik dalam aspek kurikulum maupun metode yang
digunakan. Terdapat tiga hal penting yang membuat HMI
menjadi organisasi yang penting dan diperhitungkan,
yakni;

186 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


latihan kader (LK) yang berjenjang, tradisi intelektual, dan
independensi. Ketiga unsur itu merupakan kesatuan yang
saling terkait yang diarahkan untuk mencapai tujuan HMI,
yakni terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang
bernafaskan Islam dan bertanggunggjawab atas terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridloi oleh Allah SWT. Untuk
dapat mewujudkan hal tersebut, sistem kaderisasi HMI
diarahkan untuk dapat mencetak kader–kader yang memiliki
kualitas dan kemampuan yang mumpuni.
Disamping perkaderan formal seperti latihan kader ba-
sic training (LK I), intermediate training (LK II) dan advance
training (LK III) juga terdapat pelatihan kader yang bersifat
non-formal seperti pelatihan keterampilan kader (kebenda-
haran, kesekretariatan, kepemimpinan, dan lain-lain) dan
pembentukan lembaga profesi yang disesuaikan dengan
minat dan bakat kader serta keilmuannya; seperti pemben-
tukan Lembaga Konsultasi dan Bantuah Hukum (LKBH-HMI),
Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga Eko-
nomi Mahasiswa Islam (LEMI) dan lain-lain.
Pengkaderan bagi HMI merupakan suatu proses
organisasi untuk mengaktualisasikan potensi manusia bagi
para nggota HMI sesuai dengan ajaran Islam dalam rangka
meningkatkan kualitas dirinya menjadi kader yang memiliki
kemampuan serta kesediaan menghayati, mengamalkan,
dan mengembangkan dalam dimensi kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan. Hal itu berarti pengkaderan
HMI pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan kualitas
kader HMI yang meliputi pengetahuan, sikap dan penampilan

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 187
secara menyeluruh dalam menghadirkan kekhalifahan
menjadi rahmat bagi lingkungannya.
Dalam hal ini maka tujuan kaderisasi HMI dimaksudkan
pada suatu upaya untuk menciptakan insan berkualitas
dengan kriteria sebagai berikut; Pertama, insan akademis
(berpendidikan tinggi, mampu berpikir kritis, dan rasional),
Kedua, insan pencipta, kader HMI dituntut agar mampu
melahirkan gagasan-gagasan dan kreativitas serta dapat
menerjemahkan ajaran Islam secara kontekstual dalam
semangat ke-Indonesiaan. Ketiga, sebagai insan pengabdi,
kader HMI harus mampu berkarya yang berguna bagi
kepentingan umat, bangsa dan negara, keempat, insan yang
bernafaskan Islam, yaitu berpedoman pada al-Quran dan al-
Hadis. Dalam upaya mencapai hal tersebut maka HMI tidak
hanya menyusun kurikulum kaderisasi yang bersumber dari
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) tetapi juga menyelenggarakan
kaderisasi berjenjang sebagaimana disebutkan diatas.
Melalui sistem kaderisasi itulah HMI meneguhkan posisinya
sebagai gerakan pembaharu yang menjadikan Islam sebagai
spirit perjuangan politiknya.3
Bagi kader-kader HMI, tujuan HMI yang telah
ditanamkan sejak menjadi anggota merupakan panduan
dalam menjalankan peran sosialnya dalam segala sektor
kehidupan. Hal ini tidak hanya mengikat bagi kader HMI
yang masih aktif tercatat sebagai anggota, tetapi juga bagi
mereka yang telah menjadi alumni atau purna anggota.

3 Nanang Tahqiq, Bye Bye HMI, dalam HMI Beban Sejarah Bagi Kadernya?,
Wahyuni Nafis dan Rifki Mochtar (ed), Fosal PB HMI, 2002, hal 77.

188 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Tujuan HMI telah menjadi semacam pedoman dan cita-cita
perjuangan dan semangat dalam membangun masyarakat,
bangsa dan negara.4
Selanjutnya, GMNI telah menegaskan karakteristiknya
sebagai organisasi kader sebagaimana tercantum dalam
mukadimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
organisasi.5 Sebagai organisasi kader, GMNI merupakan
kawah candradimuka tempat menggodok anggotanya
sehingga dapat menjadi kader-kader organisasi yang
memiliki sejumlah kemampuan yang penting sehingga
dapat menjalankan mandat organisasi dan ideologi politik
yang dianutnya, yaitu terciptanya kader-kader bangsa
yang memiliki kecakapan organisasionil dan kematangan
ideologis sehingga dapat mengimplementasikan visi dan misi
organisasi, yakni terselenggaranya suatu tatanan masyarakat
sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam konteks itulah maka GMNI menyusun kurikulum
berupa silabus kaderisasi dan penjenjangan kaderisasi yang
bersifat formal maupun informal.
Dalam AD/ART organisasi, kaderisasi berjenjang GMNI
terdiri dari Kaderisasi Tingkat Dasar (PKTD), Kaderisasi
Tingkat Menengah (PKTM), dan Kaderisasi Tingkat Pelopor
(PKTP).6 Penjenjangan kaderisasi ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kualifikasi yang dimiliki oleh anggotanya dan

4 Harry Azhar Azis dalam Makalah Orasi Ilmiah Pelantikan PB HMI Periode
2003 – 2005, Membangun Kembali Keadilan dan Kesejahteraan, Jakarta,
12 November 2003.
5 Buku Panduan Organisasi Presidium GMNI, Op. Cit, hal 6.
6 Lihat Silabus Kaderisasi GMNI, Komite Kaderisasi Presidim GMNI,
Jakarta, 2005.

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 189
sekaligus menunjukan beban kewajiban kaderisasi yang harus
dilaksanakan setiap jenjang kepengurusan. Selain kaderisasi
berjenjang, GMNI juga memiliki sistem kaderisasi dengan
menggunakan model mentor dimana setiap anggota senior
menjalankan fungsi membimbing junior-junior dibawahnya
hingga dapat mengikuti jenjang kaderisasi selanjutnya.
Model ini biasanya berjalan lebih intens dan berkontribusi
terhadap penciptaan solidaritas yang kuat diantara anggota
mengingat intensitas interaksi yang lebih kerap.
Dalam proses kaderisasinya, baik GMNI maupun HMI
tidak hanya menjalankan kaderisasi yang bersifat formal.
Kegiatan-kegiatan organisasi diluar sistem kaderisasi ber-
jenjang juga merupakan bagian dari strategi yang ditempuh
untuk meningkatkan kualifikasi yang dimiliki oleh anggota.
Kegiatan yang dimaksud tidak hanya pada kegiatan berupa
program kerja formal organisasi, tetapi termasuk didalam-
nya adalah interaksi sosial yang terjadi baik didalam maupun
diluar organisasi. Kegiatan diskusi yang diselenggarakan
baik yang bersifat berkala maupun acak menjadi momen-
tum tersendiri yang penting dan mematangkan kemam-
puan analisis maupun pengetahuan politik para anggotanya
dalam melihat dan sekaligus merumuskan gagasan-gagasan
alternative terhadap berbagai tren maupun persoalan yang
sedang berkembang. Kegiatan inilah yang kemudian dimak-
nai sebagai kaderisasi informal atau swadidik.
Sebagai organisasi kader yang menjalankan kegiatan
kaderisasi, baik secara formal maupun non-formal dalam
setiap jenjang kepengurusan maupun dalam lembaga-

190 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


lembaga penyangga atau otonom yang dimilikinya, maka
keberadaan HMI maupun GMNI merupakan sarana berlatih
atau menjadi training ground bagi anggotanya sebelum
memasuki wilayah kehidupan sosial maupun politik yang
lebih nyata paska mahasiswa. Mengenai hal ini Sidratahta
Mukhtar mengatakan bahwa: “HMI itu merupakan organisasi
kader yang menjadikan Islam sebagaimana dalam NDP
sebagai sumber nilai dalam perjuangan politiknya. Karena
organisasi kader, maka setiap anggota HMI tentunya harus
memahami betul setiap nilai-nilai yang ada dalam HMI dan
mengerti arah tujuan perjuangan HMI. Tanpa kaderisasi, HMI
adalah organisasi yang tidak memiliki roh dan orientasi yang
jelas. Karenanya, kaderisasi merupakan elemen kunci yang
akan menjadikan kader-kader HMI mampu mengemban cita-
cita HMI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara“.
Sementara itu, mengenai kaderisasi di GMNI Yos
Dapa Bili menjelaskan: “GMNI memandang bahwa kader
merupakan tulang punggung organisasi. Kader menjadi
ujung tombak sekaligus kekuatan primer organisasi dalam
menjalankan tujuan dan cita-cita organisasi. Merupakan
hal penting bagi GMNI untuk selalu menempatkan proses
kaderisasi sebagai kegiatan inti organisasi. GMNI ibarat
kawah candradimuka, tempat yang menggembleng anggota-
anggotanya menjadi kader yang memiliki kemampuan lebih,
baik dalam hal kepemimpinan, manajerial organisasi maupun
kematangan ideologi. Menjadi kader artinya tidak hanya siap
memimpin organisasi, tetapi juga punya pengalaman yang
dapat menjadi pegangan untuk terjun ketengah-tengah

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 191
masyarakat nantinya”.
Deskripsi diatas menjelaskan bahwa memasuki dunia
organisasi kemahasiswaan, baik GMNI maupun HMI, berarti
memasuki suatu wilayah baru yang memberikan pendidikan
alternatif yang jauh berbeda dengan pengalaman akademis
sebagai mahasiswa. OKP dengan sistem kaderisasi serta
berbagai kegiatannya merupakan training ground bagi para
mahasiswa anggotanya untuk melatih dan mengembangkan
kemampuan dirinya.
Dalam perkembangannya, kader-kader organisasi
ini merupakan sumber daya potensial bagi kebutuhan
rekruitmen politik. Kader-kader dengan kemampuan yang
lebih inilah yang pada akhirnya memiliki kemampuan untuk
melakukan mobilitas struktural dalam struktur kekuasaan
negara. mengenai hal ini sejarah politik Indonesia telah
membuktikan bahwa para pimpinan dan kader organisasi
mahasiswa seperti tokoh-tokoh HMI, GMNI, dan OKP lainnya
yang menduduki pos-pos strategis dalam struktur kekuasaan
negara. Hal itu sesuai dengan pendapat Almond dimana
setiap sistem politik memiliki prosedur untuk melakukan
seleksi politik untuk menghasilkan orang-orang yang akan
menempati jabatan administratif dan jabatan politik. Orang-
orang itu adalah mereka yang memiliki kualifikasi dan
kompetensi baik karena pendidikan, pengalaman maupun
kemampuan dalam membangun akses terhadap kekuasaan.
Mengenai kedudukan GMNI sebagai sumber rekruitmen
politik ini dijelaskan oleh Willem Tutuarima bahwa saat PNI
dan Bung Karno berkuasa, GMNI merupakan sumber utama

192 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


dalam rekruitmen politik partai. Bahkan, sejumlah kader
GMNI juga masuk sebagai anggota legislatif waktu itu.
Kondisi berbeda terjadi pada saat Orde Baru, meski ada
sebagian kecil alumni GMNI duduk dalam kursi
pemerintahan, namun sebagian besar justru berada diluar
kekuasaan dan mendapat tekanan politik. Mungkin
dikarenakan GMNI dianggap masih belum steril dari Orde
Lama dan bibit Soekarnois yang perlu diwaspadai. Saat ini,
banyak alumni GMNI tersebar, terutama di PDIP. Sedangkan
mereka yang di pemerintahan mungkin diperlukan tidak
hanya untuk menopang kekuasaan tetapi juga dapat
bermanfaat untuk menjembatani komunikasi dengan
kelompok diluar pemerintah, terutama PDIP yang banyak
GMNI-nya.
Posisi sebagai sumber kader potensial dalam rekruitmen
politik juga ditempati oleh HMI. Hary Azhar Azis menjelaskan
bahwa masuknya HMI dalam kekuasaan bisa disebabkan oleh
dua hal, pertama, bahwa aktivis HMI berhasil secara efektif
dalam membangun akses terhadap kekuasaan sehingga
dapat menjadi sarana yang penting bagi orientasi pasca aktif
ber-HMI. Atau, kedua, siapapun yang berkuasa tetap melihat
HMI sebagai kekuatan yang nyata dan potensial untuk
diakomodir. Hal seperti ini diharapkan dapat mengeliminir
potensi persoalan yang mungkin ditimbulkannya. Sehingga,
pada pengalaman dimasa Pak Harto, HMI dianggap sebagai
semacam anak tangga menuju kekuasaan. Dan saya kira
hingga sekarang penguasa tetap melihat HMI sebagai
kekuatan yang perlu diakomodir.
Dalam konteks partisipasi politik, organisasi mahasiswa

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 193
merupakan salah satu sumber penting bagi proses
rekruitmen politik untuk mengisi maupun membentuk struktur
kekuasaan. GMNI maupun HMI merupakan organisasi yang
menciptakan lapisan baru berupa kelas menengah terdidik
dalam struktur sosial masyarakat. Pengalaman dan
kemampuan yang diperoleh baik dalam proses kaderisasi
formal maupun berbagai kegiatan organisasi membuat
mereka memiliki sumber daya atau kualifikasi yang lebih
dibandingkan kelompok lainnya. Lapis sosial baru berupa
kelompok menengah terdidik ini merupakan sumber
rekruitmen politik potensial dan diperlukan sebagai sumber
daya kekuasaan, baik dalam birokrasi pemerintahan, partai
politik maupun sektor publik lainnya. Mereka memiliki
kemampuan untuk melakukan mobilitas struktural baik
melalui kompetisi atau
seleksi maupun dengan memanfaatkan relasi patronase atau
jaringan yang dimiliki oleh organisasi asalnya.
Posisi sebagai sumber daya bagi rekruitmen politik
potensial inilah yang menjelaskan mengapa sebagian
besar elite politik di Republik ini merupakan mantan aktivis
organisasi mahasiswa. Mereka yang telah menjadi alumni ini
kemudian banyak mengisi struktur kekuasaan negara dan
berkecimpung dalam berbagai profesi dan sektor kehidupan.
Hal itu dapat dilihat dengan keberadaan tokoh-tokoh alumni
GMNI maupun HMI yang tersebar dan memegang posisi-
posisi strategi dalam berbagai lini kehidupan.
Di lembaga legislatif sejumlah nama merupakan kader-
kader HMI dan GMNI, dari GMNI seperti Bambang Wuryanto
(Sekretaris Fraksi PDIP DPR RI), Aria Bima (FPDIP), Theo L

194 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Sambuaga (FPG), Williem Tutuarima (FPDIP) Ganjar Pranowo
(FPDIP sekarang Gubernur Jawa Tengah), Alm. Taufik
Kiemas (FPDIP), dan lainnya. Di birokrasi pemerintahan juga
kita lihat seperti Joyo Winoto (mantan Kepala BPN), Muladi
(mantan Gubernur Lemhanas), Antasari azhar (mantan Ketua
KPK), TB Silalahi (Penasehat Presiden). Selain itu juga
disejumlah partai politik seperti Megawati Soekarno Putri
(mantan Presiden/ Ketua Umum PDIP), Siswono Yudohusodo
(Dewan Penasehat Partai Golkar).
Sedangkan kader-kader alumni HMI juga tersebar
diberbagai sektor, di legislatif terdapat Akbar Tanjung
(mantan menteri/mantan Ketua DPR/mantan Ketum Golkar),
Harry Azhar Azis (FPG), Ade Komaruddin FPG), Ibnu Munzir
(FPG), Taufik Hidayat (FPG), Viva Yoga Mauladi (FPAN),
Marzuki Alie (FPD), Anas Urbaningrum 9FPD), Ahmad Yani
(FPPP), Irgan Chairul Mahfiz (FPPP), Arif Budimanta (FPDIP),
Desmond J. Mahesa (Gerindra) dan lainya. Sementara itu di
pemerintahan; M. Jusuf Kalla (mantan Wakil
Presiden/Mantan Ketum Golkar), Mahfud, MD (Mantan
Meteri/PKB), Fahmi Idris (mantan Menteri), Andi Matalatta
(Mantan Menkeham), Muhammad Nuh (Mendkbud) dan lain-
lain.
Namun demikian, jika kita tilik baik dalam konteks
sejarah maupun realitas saat ini, jika dibandingkan secara
kuantitatif maka jumlah alumni GMNI dan HMI memiliki
perbedaan yang cukup siginifikan. Alumni HMI memiliki
jumlah yang relatif lebih besar dan tersebar dalam berbagai
sektor negara dibandingkan dengan alumni GMNI. Hal ini
diperkuat dengan keterangan Hasanuddin yang
menyebutkan bahwa
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 195
dari seluruh jumlah menteri dalam kabinet pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla (Periode 2004-
2009) diperkirakan terdapat 14 menteri yang memiliki latar
belakang sebagai alumni HMI. Perbedaan ini menunjukan
bahwa HMI memiliki kemampuan adaptasi yang lebih efektif
terhadap dinamika politik yang berlangsung dibandingkan
organisasi-organisasi lain, termasuk GMNI.
Mengenai banyak mantan aktivis mahasiswa yang masuk
dalam struktur kekuasaan ini Soerjadi memberikan
penjelasan bahwa GMNI tidak mengenal oposisi, oleh
karenanya menjadi hal yang wajar jika GMNI ikut
berpartisipasi dalam pembangunan nasional dengan cara
memasuki semua sektor pengabdian, termasuk dalam
lembaga-lembaga pemerintah. Keikutsertaan kader GMNI
dalam pemerintahan
ini sudah terjadi sejak awalnya. Dulu sebagian pimpinan
GMNI merupakan anggota DPR GR dari PNI pada masa
Bung Karno. Pada masa Orde Baru juga meski kesempatan
terbatas sebagian mantan GMNI ikut dalam pemerintahan.
Oleh karenanya, jika sekarang ada alumni GMNI yang di
pemerintahan ya wajar. Tetapi sebaiknya tidak mengabaikan
hal terpenting yakni digunakan untuk kepentingan rakyat
banyak, untuk perjuangan kebangsaan.
Kiprah HMI dalam berbagai lembaga ini juga ditegaskan
oleh Akbar Tandjung sebagai berikut :
“Pada era Orde Baru, sejalan dengan
bertambahnya kuantitas dan kualitas para sarjana
Muslim yang telah berkiprah dalam organisasi
HMI, maka dapat dipahami apabila banyak

196 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


alumni HMI yang berkiprah di segala bidang
baik di pemerintahan maupun non-
pemerintahan (swasta). Pada era 1970-an,
Nurcholish Madjid menyebut hadirnya booming
sarjana Muslim yang semakin meningkat pada
era 1980-an dan 1990- an. Dan, pada saat ini,
tatkala HMI telah berusia 61 tahun, kita
merasakan bahwa betapa almuni HMI telah
berada di mana-mana, di berbagai tempat atau
pos-pos yang strategis di dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Alumni HMI tidak saja mewarnai kehidupan di
dunia pendidikan perguruan-perguruan tinggi
atau kampus-kampus baik negeri maupun swasta,
tetapi juga di wilayah-wilayah pengabdian yang
lain, sebagai pejabat negara, maupun di wilayah
politik sebagai pengurus-pengurus dan kader-
kader partai-partai politik. Singkat kata, alumni
HMI telah menempati spektrum kehidupan yang
luas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.”7

Banyaknya kader alumni GMNI maupun HMI yang


berada pada lapisan elite kekuasaan membuktikan bahwa
organisasi ini merupakan sumber rekruitmen politik yang
potensial bagi siapapun yang memegang kendali atas
kekuasaan. Baskara menjelaskan bahwa GMNI memandang
kekuasaan adalah instrumen politik untuk menjalankan
keyakinan dan cita-cita ideologis. Kekuasaan menjadi
penting jika dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat. Oleh

7 Naskah Pidato Akbar Tandjung dalam Dies Natalis HMI ke-61Di Graha
Insan Cita, Depok, 17 Februari 2008.

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 197
karena itu, kepentingan GMNI terhadap kekuasaan adalah
dilandasi oleh kesadaran bahwa kekuasaan hanyalah
sekedar alat bagi perjuangan politik untuk mewujudkan
kepentingan rakyat. Hal serupa disampaikan oleh
Hasanuddin yang melihat bahwa dalam setiap periode
kekuasaan kader-kader HMI selalu mampu mengambil
peran. Hal ini bukti dari posisi strategis HMI sekaligus
kemampuan HMI dalam membangun komunikasi dengan
siapapun yang berkuasa selama berjalan sesuai dengan
amanat rakyat.
Selain itu, tersebarnya potensi alumni organisasi ini
membuat baik GMNI maupun HMI memiliki kemampuan
untuk meningkatkan peran dan partisipasi politiknya, seperti
melakukan loby-loby dalam kerangka mempengaruhi
kebijakan negara. Melalui jaringan yang dimilikinya, mereka
dapat melakukan komunikasi dengan para alumninya yang
berada dalam struktur kekuasaan negara guna mengkontrol
kinerja kekuasaan yang dianggap menyimpang, termasuk
memanfaatkan untuk kepentingan mobilitas struktural
menuju kursi kekuasaan pasca aktifitas formal mereka sebagai
anggota aktif.

2. Penguatan Civil society dan Demokratisasi


Perkembangan civil society tidak terlalu menonjol pada
masa Orde Baru berkuasa. Hal ini disebabkan oleh kontrol
politik yang ketat atas dinamika kehidupan masyarakat.
Bahkan, Orde Baru seringkali menggunakan pendekatan
keamanan untuk menyikapi kelompok-kelompok masyarakat
yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan. Aparatus

198 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


represif negara, baik kepolisian, intelejen maupun tentara
yang memiliki struktur organisasi hingga ke desa-desa
menjadi alat efektif untuk melakukan deteksi secara dini dan
kontrol terhadap semua kegiatan dalam masyarakat. Dalam
alam seperti itulah sulit diharapkan bahwa civil society akan
berkembang.
Dalam konteks itu, keberadaan organisasi mahasiswa,
baik HMI maupun GMNI dapat dimaknai sebagai bagian
dari civil society. HMI maupun GMNI merupakan suatu
komunitas sosial yang terdiri dari mahasiswa sebagai bagian
dari masyarakat luas yang bertindak secara kolektif dalam
lingkungan publik untuk mengekspresikan kepentingan-
kepentingannya, keinginan dan pemikiran-pemikiran,
pertukaran informasi, mencapai tujuan bersama, membuat
tuntutan kepada negara, dan mengawasi tanggung jawab
pejabat negara. Keberadaan HMI dan GMNI juga tidak
tergantung terhadap support yang diberikan negara.
Organisasi ini relatif independen dan menggunakan
sumber daya internalnya untuk menopang kegiatan-
kegiatan organisasinya. Relasi politik yang dibangun dengan
kelompok lain bersifat independen. Begitupula kontribusi
atau bantuan pendanaan organisasi yang diterima dari
luar tetap ditempatkan dalam kerangka independen dan
tidak mengikat, sebagaimana diatur dalam aturan
organisasi.
Sebagai bagian dari entitas sosial yang luas, kedua
ormas ini tidak hanya bergerak dalam lingkup kepentingan
domestiknya, tetapi juga banyak mengangkat isu-isu publik.
Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan politik baik HMI

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 199
maupun GMNI yang tidak hanya mencerminkan kepentingan
internalnya sebagai mahasiswa. Isu-isu sosial politik menjadi
concern mereka dalam kerangka mengawasi kinerja
kekuasaan. Agenda-agenda reformasi seperti
pemberantasan KKN, penegakan hukum, reformasi birokrasi,
penghargaan terhadap HAM, dan isu kesejahteraan
merupakan bukti bahwa HMI dan GMNI menjalankan
tanggungjawab sosial terhadap masyarakat.
HMI dan GMNI juga dapat dimaknai sebagai suatu
entitas sosial yang dapat menjembatani antara masyarakat
umum dan negara. Peran mediasi antara kepentingan
negara dan masyarakat ini tercermin dari berbagai kebijakan
dan isu yang diangkat. Salah satu persoalan aktual yang
menjadi perhatian dari kedua ormas ini adalah mengenai
pencabutan
subsidi BBM yang mengakibatkan kenaikan harga BBM
akibat kebijakan yang ditempuh SBY-JK. Dalam instruksi
nasionalnya, Presidium GMNI telah menyerukan sikap
penolakannya terhadap kenaikan BBM.8 Langkah serupa
juga dilakukan oleh PB HMI yang secara tegas menolak
kenaikan BBM.9 Pertimbangan-pertimbangan kebijakan ini
lebih condong pada aspek society yang menerima dampak
dari kebijakan, dibanding state sebagai pembuat kebijakan.
Sikap ini menunjukan bahwa ada mediasi yang dilakukan
oleh organisasi ini antara kepentingan rakyat disatu sisi yang
jelas akan menerima dampak yang lebih berat akibat
kenaikan

8 Lihat instruksi Nasional Presidium GMNI tentang Penolakan Kenaikan


BBM tahun 2008.
9 Lihat sikap Politik PB HMI Menolak Kenaikan BMM tahun 2008.
200 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
BBM dengan negara sebagai pemegang kendali kebijakan.
Fungsi mediasi inilah yang oleh Larry Diamond dijelaskan
sebagai bagian dari aktivitas civil society.
Kedudukan HMI dan GMNI sebagai civil society
juga dapat dilihat dari bentuk-bentuk pengorganisiran
dimasyarakat yang dilakukan, maupun kiprah dari para
alumni keduanya yang juga tersebar dalam lembaga-
lembaga non pemerintahan. Lembaga-lembaga yang
diarahkan untuk melakukan advokasi dan pendampingan
masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya menjadi
salah satu modus untuk mengaktualisasikan pandangan-
pandangan politiknya. Dalam rangka kontribusi HMI
mengembangkan civil society, Bursah Zarnubi menjelaskan
bahwa HMI memiliki visi keumatan yang telah menjadi
bagian dari doktrin organisasi.
Hal ini berarti bahwa HMI memiliki tanggungjawab sosial
terhadap persoalan-persoalan umat. Wujud nyatanya secara
politik adalah HMI banyak mengangkat isu-isu masyarakat
seperti masalah pengangguran, kemiskinan, hak asasi
manusia, dan masalah sosial lainnya sebagai tema untuk
melihat kinerja kekuasaan dalam menjalankan mandatnya.
Selain itu, tertanam dibenak sebagian kader HMI bahwa
duduk dalam kursi kekuasaan bukan satu-satunya pilihan
untuk menyalurkan orientasinya, ada hal lain semisal dalam
dunia NGO yang memang secara spesifik difokuskan pada
isu penguatan hak-hak masyarakat dihadapan negara.
Pandangan ini menjelaskan bahwa HMI tidak dapat
lepas dari keterkaitannya dengan masyarakat sebagai
entitas sosial yang lebih luas. Sehingga tidak terlalu sulit

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 201
untuk ditemukan banyaknya tokoh-tokoh HMI yang bergiat
disektor publik, terutama lembaga-lembaga non pemerintah
seperti PBHI, YLBHI, Kontras maupun lainnya.

Sedangkan Akbar Tandjung menjelaskan bahwa :


“…HMI, termasuk generasi alumninya dalam
KAHMI sebenarnya bagian dari civil society itu.
Sekarang tinggal bagaimana kita bisa menjadikan
KAHMI sebagai aktor civil society yang benar-
benar mampu memberikan kekuatan bagi
masyarakat. Lanjutnya, sebagai KAHMI, setidak-
tidaknya kita bisa ikut mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur. Dan tentunya
agar nilai-nilai Islam itu senantiasa terus
berkembang dalam kehidupan kita bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Jika ingin
membangun kekuatan
dalam dunia politik, maka harus dibangun juga
kekuatan di masyarakat. “Masyarakat yang kuat
mempunyai mempunyai posisi tawar pada
partai- partai dan tentunya pemerintah. Inilah
pentingnya kita membangun civil society.”10

Sedangkan Riad Oscha Chalik mengatakan bahwa


peranan GMNI sebagai civil society tidak hanya ditunjukan
dari kebijakan politik memperjuangkan rakyat, tetapi
juga kontribusinya dalam pendirian organisasi-organisasi
swadaya masyarakat yang dimaksudkan untuk memperkuat
posisi masyarakat dihadapan negara. Selanjutnya Riad
mencontohkan berdirinya Humanika yang didirikan bersama
aktivis HMI, diantaranya Bursah Zarnubi, sebagai kekuatan

10 http://www.bangakbar.com, diakses tanggal 11 Mei 2013.

202 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


sosial yang mampu bernegoisasi dengan negara, terutama
mengawasi jalannya pemerintahan yang dianggap sarat
dengan praktek penyimpangan.
Ide dasarnya Humanika yang dibentuk pada 30 Juli
1990 berangkat dari pembacaan para tokoh organisasi
mahasiswa, baik didalamnya tokoh HMI dan GMNI, akan
kenyataan yang memperlihatkan bahwa pembangunan
nasional di masa Orde Baru menimbulkan ekses-ekses
negatif, baik di bidang sosial, politik, hukum, ekonomi
maupun budaya. Kesadaran ini kemudian mengantarkan
pada suatu sikap politik untuk mendirikan suatu wadah
perjuangan yang kemudian disebut dengan Humanika.
Menurut Bursah Zarnubi, Humanika ini dimaksudkan untuk
membangun sikap kritis dan menggugah komitmen
masyarakat guna mewujudkan masyarakat yang
bermartabat, berkeadilan sosial, demokratis, sejahtera lahir
batin serta terbebas dari segala bentuk penjajahan baik
sosial, politik, hukum dan lain-lain.
Selain organisasi non pemerintah seperti Humanika
yang didirikan oleh mantan aktivis HMI maupun GMNI,
kader-kader kedua organisasi ini juga banyak yang
beraktivitas di sejumlah lembaga swadaya masyarakat
seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia Indonesia (PBHI), Indonesian Corruption Watch
(ICW), Monopoly Watch, YLBHI, dan sebagainya.
Keberadaan organisasi ini dimaksudkan untuk menjalankan
fungsi pengawasan dan advokasi masyarakat sehingga
mereka memiliki kemampuan dalam bernegosiasi dengan
negara sebagai pengambil kebijakan.
Sedangkan Sidratahta menjelaskan HMI tidak
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 203
mungkin menghindarkan diri dari ranah kekuasaan, hal ini
sesuai dengan sejarah dan desain HMI yang memang pro
kekuasaan. Untuk memperjuangkan keadilan sosial perlu
mengisi struktur kekuasaan negara. Negara adalah alat yang
efektif untuk membawa misi penciptaan keadilan sosial
bagi kelompok-kelompok yang kurang beruntung dalam
kehidupan bangsa dan negara. Oleh karena itu, HMI tetap
menaruh perhatian terhada isu-isu kerakyatan sebagai fokus
utama, seperti kemiskinan, pengangguran, kesejahteraan,
HAM, dan sebagainya.
Dalam konteks peranan HMI dan GMNI pasca Orde
Baru sebagai Civil society maka dapat dijelaskan lebih jauh
sebagi berikut; Pertama, dan yang paling mendasar adalah
memberikan dasar untuk pembatasan kekuasaan negara,
mengawasi negara oleh masyarakat dan lembaga-lembaga
politik demokratis sebagai cara yang paling efektif melakukan
pengawasan tersebut. Pengawasan ini diwujudkan melalui
relasi kritis yang dibangun oleh ormas ini dengan kekuasaan
negara. Setiap bentuk kebijakan negara yang dianggap
menyimpang akan selalu mendapat reaksi kritis berupa kritik
kebijakan negara baik melalui gerakan-gerakan protes
secara formal maupun melalui networking politik yang dimiliki
untuk memberikan tekanan kepada negara. Dalam beberapa
kasus protes GMNI dan HMI terhadap kebijakan negara
seperti aksi protes terhadap kebijakan pasca Orde Baru
seperti pemberlakuan Perpres No 5 Tahun 2005 yang
menyebabkan naiknya harga BBM, kebijakan privatisasi
BUMN (Indosat) merupakan bentuk pengawasan kekuasaan
negara.

204 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Kedua, dalam sistem politik yang berlangsung saat
ini maka posisi GMNI dan HMI adalah melengkapi peranan
partai politik dalam menstimulasi penguatan partisipasi
politik. Kelemahan partai politik dalam menjalankan fungsi
agregasi dan artikulasi kepentingan masyarakat menjadi
terjembatani dengan keberadaan dan peranan politik
organisasi ini. Efek yang diharapkan dari peranan ini adalah
meningkatkan kemampuan masyarakat demokratis, dan
mempromosikan sebuah apresiasi kewajiban-kewajiban
selayaknya hak-hak kewarganegaraan demokratis. Peranan
GMNI dan HMI dalam merespon aspirasi politik masyarakat
dan mendorong penguatan partisipasi politik masyarakat
ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan advokasi dan
pendampingan yang dilakukan. Disejumlah cabang GMNI
berlangsung advokasi masyarakat seperti halnya advokasi
petani karet di Garut, advokasi petani di Jember, advokasi
konflik tanah di Batang, dan sebagainya. Hal serupa juga
dilakukan oleh HMI dimana sejumlah cabang HMI sering kali
terlibat pendampingan masyarakat urban korban kebijakan
penggusuran seperti halnya aksi HMI Makasar menentang
penggusuran pedagang kaki lima, dan sebagainya.
Ketiga, civil society juga dapat menjadi arena penting
bagi pengembangan atribut-atribut demokratis lainnya,
seperti toleransi, sikap yang tidak berlebihan, kemauan
berkompromi, dan menghargai perbedaan pendapat atau
pandangan. dan Keempat, civil society dapat menjalankan
demokrasi adalah dengan menciptakan saluran-saluran
lain dari partai politik untuk artikulasi, pengumpulan dan

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 205
perwakilan kepentingan. Peran sebagai saluran politik
alternatif bagi masyarakat ini telah dijalankan oleh GMNI dan
HMI jauh sebelum reformasi dan masih berlangsung saat ini.
Lemahnya fungsi lembaga-lembaga politik formal, termasuk
partai politik dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat
ini membuat organisasi-organisasi diluar negara dan parpol
memiliki kedudukan strategis.

3. Kelompok Penekan (Pressure group) dan Kontrol


Kinerja Kekuasaan
Sejak awal keberadaannya gerakan mahasiswa
merupakan kelompok yang senantiasa kritis terhadap
kekuasaan. Kritisisme mahasiswa ini oleh Arif Budiman
dianalogikan dengan sosok Resi atau Begawan yang akan
turun dari tempatnya bertapa ketika ada persoalan. Sikap
kritis ini telah berlangsung sepanjang sejarah politik Indonesia
berjalan. Pada masa pemerintahan Orde Lama, gerakan
mahasiswa secara aktif turut serta menyuarakan berbagai
persoalan yang berkembang di masyarakat. Berbagai
komite aksi didirikan untuk mengorganisir mahasiswa dalam
gerakan protes, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), Kesatuan Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang bergerak
dengan tuntutan yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat
(Tritura), yakni pembubaran PKI, retooling kabinet dan
turunkan harga. Puncak dari pergolakan politik dari peristiwa
1965 berakhir dengan jatuhnya Soekarno dari kekuasaan
dan berdirinya rezim politik yang kemudian disebut sebagai
Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.

206 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Pada masa Orde Baru, kritik terhadap kekuasaan
lebih banyak dilakukan oleh komite-komite aksi, lembaga-
lembaga formal kampus seperti Senat Mahasiswa maupun
badan eksekutif mahasiswa, dan lembaga taktis lainnya.
Keberadaan organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI,
PMII, dan lainnya meski tetap muncul, namun dalam
intensitas yang terbatas dan cenderung dilakukan secara
berkelompok baik melalui forum KNPI, Cipayung, maupun
FKPI. Aksi-aksi protes radikal justru dilakukan oleh mahasiswa
yang tergabung dalam komite-komite aksi baik yang berada
di Jakarta maupun daerah-daerah.
Hal ini dapat maknai dalam dua kemungkinan: Pertama,
bahwa kooptasi rezim Orde Baru telah berlangsung secara
efektif dalam tubuh organisasi-organisasi ekstra kampus
seperti HMI maupun GMNI, atau Kedua, bahwa ini merupakan
bagian dari strategi yang dilakukan oleh organisasi ekstra
kampus dalam menghadapi tekanan politik rezim Orde Baru
yang terlalu kuat.
Dalam konteks itu, maka organisasi-organisasi
mahasiswa, termasuk HMI dan GMNI merupakan kelompok
penekan yang bertindak baik atas lingkup kepentingan
domestiknya maupun kepentingan masyarakat secara
luas. Mereka bertindak biasanya jika ada kebijakan yang
dianggap terkait dengan kepentingan domestiknya seperti
isu-isu pendidikan, maupun hal lainnya yang dianggap akan
mempengaruhi keberadaannnya.
Fungsi HMI sebagai pressure group itu menjadi
strategis menurut Hary Azhar Azis mengingat adanya

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 207
kesenjangan antara realitas dan cita-cita politik. Bagi kader
HMI yang telah memasuki struktur kekuasaan, mereka harus
menerima kenyataan politik yang terkadang bertentangan
dengan keyakinan politiknya. Namun demikian, mereka
harus tetap bisa menyesuaikan dengan keadaan itu. Oleh
karenanya, organisasi formal HMI tetap diharapkan dapat
menjadi kekuatan kritis yang selalu mengawasi jalannya
kekuasaan hingga tidak menyimpang. HMI akan selalu
mengawasi kekuasaan, karena kekuasaan selalu berpotensi
menyimpang.
Hal yang krusial menurutnya saat ini adalah ketidak-
mampuan pemerintahan dalam mengambil keputusan poli-
tik yang sesuai dengan kepentingan rakyat. Kenaikan BBM
meski jika ditilik dari tren naiknya harga minyak dunia
menjadi
hal yang sulit dihindarkan, tetapi hal yang tampak pemerin-
tah sepertinya lebih akomodatif terhadap kepentingan para
pemodal disektor energi dibandingkan kepentingan rakyat.
Oleh karenanya, HMI dalam menyikapi kenaikan BBM telah
menegaskan posisinya yakni menolak kenaikan BBM.
Secara nasional, PB HMI telah mengeluarkan kebijakan
penolakan kenaikan BBM dan menyerukan kepada seluruh
cabangnya untuk melakukan aksi protes diseluruh tanah air.
Aksi protes ini merupakan bentuk tekanan politik terhadap
kekuasaan dengan tujuan dapat mempengaruhi, bahkan
merubah ke- bijakan.
Fungsi GMNI sebagai kelompok penekan ini juga
tercermin dalam kebijakan menentang kenaikan BBM.
GMNI beranggapan bahwa rezim SBY tidak memiliki blue

208 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


print kebijakan disektor energi yang jelas dan berorientasi
pada kepentinga nasional. Hal inilah yang menyebabkan
pemerintah lebih memilih opsi menaikan BBM dibandingkan
mencari alternatif lain dalam menghadapi gejolak harga
BBM dunia. Bahkan, mereka menilai pemerintahan SBY
gagal memenuhi hak dasar rakyat atas energi murah. Oleh
karenanya, dalam kebijakan GMNI secara nasional diajukan
gagasan-gagasan alternatif yang diharap dapat menjadi
pertimbangan dalam mengatasi dampak kenaikan BBM
seperti, renegosiasi seluruh kontrak karya minyak dan gas,
moratorium dan hair cut hutang luar negeri, pemberantasan
korupsi BLBI dan menyita aset-asetnya untuk subsidi
terhadap rakyat.11
Sebagai kelompok penekan, GMNI maupun HMI
tidak memiliki orientasi secara langsung untuk menduduki
kursi kekuasaan dan menempatkan perwakilannya dalam
lembaga-lembaga politik seperti halnya yang dilakukan oleh
partai politik. Tujuan utama dari perannya sebagai kelompok
penekan adalah mempengaruhi kebijakan negara. Menilik
dari gerakan politik yang dilakukan oleh kedua organisasi ini,
maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, tekanan politik diarahkan secara langsung
pada pejabat pembuat kebijakan. Tekanan politik ini
dilangsungkan melalui loby-loby politik baik melalui kontak
politik dalam jaringan alumninya maupun secara langsung
berkomunikasi dengan aktor-aktor pembuat kebijakan
negara. Tekanan seperti ini dapat dilihat dari pertemuan

11 Lihat Instruksi Nasional Presidium GMNI, Op. Cit.

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 209
politik maupun audensi yang dilakukan dalam kerangka
membicarakan kebijakan pemerintahan yang sedang
berlangsung.
Kedua, bahwa GMNI maupun HMI berupaya
mempengaruhi pendapat dan opini publik melalui kegiatan-
kegiatan yang bersifat demonstratif seperti halnya unjuk rasa
sehingga dapat tergalang kesadaran dan kekuatan kolektif
yang lebih besar di kalangan masyarakat luas. Strategi ini
dilakukan dengan harapan bahwa isu-isu yang diangkat
dapat menjadi pembicaraan dan perhatian khalayak
sehingga pada akhirnya akan terkonsolidasi kekuatan yang
lebih besar yang akan diperhitungkan oleh rezim.
Posisi GMNI dan HMI sebagai kelompok penekan
ini dimana disatu sisi memperjuangkan kepentingan-
kepentingan domestiknya, tetapi disisi lain juga
memperjuangkan kepentingan-kepentingan publik ini dapat
pula dimaknai dalam pendekatan Almond sebagai kelompok
assosiasional (associational groups). Kelompok ini
memainkan peranan penting dalam masyarakat demokratis
dimana mendorong masyarakat untuk merumuskan
kepentingannya, memasok informasi bagi publik mengenai
perkembangan- perkembangan politik, serta
mengartikulasikan kepentingan masyarakat secara jelas dan
tepat jika dibandingkan dengan partai politik melalui
pemilihan umum.

210 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


C. Revitalisasi Organisasi dalam Arus Perubahan

Dalam sejarahnya organisasi mahasiswa memang telah


teruji dalam berdialektika dengan kekuasaan rezim. Dalam
masa Orde Lama, mahasiswa menjadi kekuatan potensial
yang diperhitungkan dalam konstelasi politik nasional. Pada
masa Orde Baru, mereka berhasil mensiasati tekanan politik
rezim dan menunjukan kreativitas politiknya keluar dari
belenggu hegemoni. Menjelang akhir Orde Baru, gerakan
mahasiswa memiliki signifikansi yang besar dalam proses
politiknya jatuhnya kekuasaan Soeharto, hingga saat ini
tetap menjadi kekuatan strategis dalam perpolitikan nasional.
Dalam periode-periode yang sulit itu justru organisasi
mahasiswa menunjukan kemampuannya, tidak hanya untuk
survive tetapi juga sekaligus beradaptasi dan membangun
irama gerakan politik yang tetap diperhitungkan oleh
siapapun rezim yang berkuasa. Situasi represif itu
menghadirkan tantangan- tantangan serta ancaman yang
nyata dan kongkrit dihadapi oleh organisasi mahasiswa
seperti GMNI maupun HMI.
Saat ini, situasi sosial politik telah mengalami
perbedaan secara mendasar dengan masa sebelumnya.
Demokratisasi politik yang sedemikian liberal menghadirkan
tantangan- tantangan yang lebih abstrak dan absurd
dibandingkan masa represif. Keterbukaan politik memberikan
kesempatan pada siapapun baik sebagai individu maupun
dalam kapasitas sebagai kelompok untuk mengekspresikan
aspirasi politiknya. Organisasi mahasiswa, meski masih
memiliki peranan politik yang signifikan, tidak lagi
menempati posisi yang sentral
Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 211
dalam gerakan kritis seperti halnya pada masa Orde Baru
dimana mahasiswa menjadi satu-satunya kekuatan yang sulit
untuk dijinakan oleh rezim sehingga menjadi harapan bagi
masyarakat dalam menyuarakan kepentingannya.
Dalam kerangka keterbukaan politik dan demokratisasi
inilah HMI dan GMNI perlu untuk melakukan revitalisasi
organisasi. Hal ini sangat terkait dengan suatu upaya yang
diarahkan untuk memfungsikan secara efektif organisasi
sebagai training ground atau wahana untuk meningkatkan
kemampuan dan kapasitas para kadernya sehingga mampu
memahami persoalan-persoalan masyarakat dan
beradaptasi dengan perubahan zaman.
Mengenai hal ini, HMI harus kembali membenahi
internalnya baik dalam kerangka kaderisasi maupun
penataan organisasi. Melalui kaderisasi maka diharapkan
para kader HMI memiliki kemampuan untuk mengurai
kontradiksi-kontradiksi yang berkembang di masyarakat
dan berdialektika dengan kekuasaan dalam kerangka
memperjuangkan kepentingan umat. Jika para kader HMI
dapat meningkatkan pemahamannya, maka HMI dapat
menjadi kekuatan strategis yang tidak hanya hadir dengan
networking serta massa politik yang besar, tetapi juga
dengan gagasan-gagasan pembaharuan yang visioner yang
diilhami dari spirit dasar yang terkandung dalam ajaran Nilai
Dasar Perjuangan (NDP).
Misi pengkaderan HMI harusnya proporsional antara
menciptakan kader-kader politik dengan kader diluar
orientasi kekuasaan. Lebih jauh menurutnya, revitalisasi visi

212 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


dan etos perjuangan HMI dapat diterapkan melalui dua
aspek: Pertama, memperkuat moralitas organisasi sehingga
tidak terlalu terpesona dengan perilaku pragmatisme politik
disemua tingkatan. Kedua, isu mengembalikan HMI sebagai
organisasi intelektual. Dengan demikian, HMI secara
pemikiran menghindari patronase dengan kekuasaan yang
selama Orde Baru HMI identik dengan orientasi kekuasaan.
Sedangkan penataan organisasi dimaksudkan untuk
membuat struktur organisasi berjalan secara efektif
dan mampu membangun sinergi dengan komponen-
komponen civil society lainnya. Penataan organisasi ini juga
dimaksudkan dalam kerangka mengelola hasrat kekuasaan
HMI yang terlalu dominan saat ini dibandingkan dengan
pengabdian sosialnya. Orientasi kekuasaan HMI ini menjadi
persoalan yang membuat HMI kehilangan spirit dasarnya
sebagai gerakan intelektual yang kritis dan responsif
terhadap isu-isu sosial yang menyangkut kepentingan
publik. Salah satu penyebab hal ini adalah rancang bangun
organisasi HMI yang disesuaikan dengan model pengisian
struktur kekuasaan negara yang pada akhirnya justru
menjadi perangkap kekuasaan.
Seperti halnya HMI, maka GMNI perlu menangkap
momentum keterbukaan politik saat ini dengan melakukan
penataan organisasi. Menurut Baskara, sistem politik
yang begitu liberal saat ini menghadapkan GMNI pada
suatu pilihan untuk melakukan konsolidasi organisasi dan
ideologis. Sebagai kekuatan intelektual, GMNI tentunya
harus mampu menterjemahkan gagasan–gagasan besar

Peram Politik HMI dam GMwI di Pemtas Politik wasiomal Pasca Order Baru 213
dalam marhaenisme menjadi lebih operasional dan dapat
menjadi gagasan alternatif ditengah menguatnya liberalisme
kapitalisme. Jika konsolidasi organisasi dan ideologis ini
dapat dicapai oleh GMNI maka kedepan tentunya GMNI
dapat menjalankan fungsi-fungsi sosial politiknya sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia dengan lebih maksimal
dan sesuai dengan keyakinan politiknya.

214 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Bab 5

PENUTUP

Dari uraina diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan


sebagai berikut :
Pertama, pembangunan politik yang terjadi pasca Orde
Baru dapat dijelaskan dengan pendekatan Lucian W Pye.
Liberalisasi politik yang memberikan peluang bagi tumbuh
berkembangnya sistem politik demokratis menggantikan
sentralisme gaya Orde Baru, merupakan operasionalisasi
dari pembangunan politik dalam kerangka membangun
kehidupan politik yang demokratis. Demokratisasi ini
diasumsikan dapat menjadi suatu landasan bagi terciptanya
pembangunan nasional yang lebih dapat menjawab
kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Liberalisasi politik yang dilakukan oleh Habibie dalam
masa transisi yang menjadi terobosan besar dalam refomasi
politik di Indonesia dan memberikan perubahan drastis
dalam sistem politik Indonesia adalah revisi terhadap paket
Undang- Undang di bidang politik. Undang-Undang
perpolitikan yang
dianggap tidak mencerminkan dan bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi segara diajukan untuk mengalami
perubahan. Perubahan difokuskan pada Undang-Undang
Kepartaian, UU Keormasan, UU Pemilihan Umum, UU
Susunan dan Kedudukan DPR/MPR, UU Referendum, UU
Pemerintahan Daerah, serta UU lainnya.
Revisi atas paket UU Politik ini memberi dampak
terhadap format politik Indonesia. Subtansi dari revisi itu
terletak pada dibukanya ruang bagi partisipasi politik publik
lebih luas. Secara tehnis aturan itu terkait dengan syarat-
syarat pendirian partai politik sebagai sarana artikulasi
kepentingan politik publik. Revitalitalisasi lembaga
perwakilan, baik pada aspek rekruitmen politik maupun
kinerja dan fungsi pengawasan. Harmonisasi hubungan
antar lembaga negara
dengan meneguhkan prinsip pemisahan kekuasaan. Dan,
pengaturan mekanisme sirkulasi kekuasaan periodik secara
fair dan demokratis.
Dampak revisi paket UU politik ini tak hanya merubah
sistem politik saja, tetapi juga telah mendorong munculnya
gerakan disektor publik yang lazim berlangsung di negara-
negara demokrasi maju. Civil society tumbuh berkembang
seiring dengan arus kebebasan dan keterbukaan.
Keberadaan civil society ini mampu meningkatkan posisi
politik masyarakat dihadapan otoritas negara dan sekaligus
menjadi alternatif atas lemahnya pelembagaan politik
demokratis di tingkat negara. Dengan demikian, civil society
memiliki korelasi yang kuat dengan demokratisasi yang
hendak dilangsung di Indonesia.

216 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Kedua, demokratisasi politik yang berlangsung pasca
Orde Baru memberikan kesempatan yang lebih terbuka
bagi organisasi-organisasi masyarakat, termasuk ormas
mahasiswa, HMI dan GMNI untuk mengekspresikan aspirasi
politiknya secara terbuka. Hal ini jauh berbeda pada masa
Orde Baru dimana peran formal HMI dan GMNI tidak terlalu
menonjol baik dalam kehidupan kampus maupun lingkup
eksternalnya. Pasca Orde Baru, GMNI dan HMI muncul lebih
leluasa secara terbuka dengan atribut formalnya.
Ketiga, dalam perkembangan pasca Orde Baru, HMI
dan GMNI merumuskan peran politik sebagai berikut :
a. Sebagai training ground kaderisasi dan sumber
rekruitmen politik. Sebagai organisasi kader yang
menjalankan kegiatan kaderisasi, baik secara formal
maupun non formal dalam setiap jenjang kepengurusan
maupun dalam lembaga-lembaga penyangga atau
otonom yang dimilikinya, maka keberadaan HMI
maupun GMNI merupakan sarana berlatih atau menjadi
training ground bagi anggotanya sebelum memasuki
wilayah kehidupan sosial maupun politik yang lebih
nyata pasca mahasiswa. Selain itu, organisasi ini juga
merupakan sumber daya penting bagi pengisian
struktur kekuasaan negara dan masyarakat. Baik HMI
maupun GMNI memberikan partipasi politiknya baik
dalam kerangka mensuply kader-kadernya sebagai
sumber daya potensial bagi kepentingan rekruitmen
politik. GMNI dan HMI dalam partisipasi politiknya
juga melakukan kegiatan-kegiatan politik yang

PENUTUP 217
dimaksudkan untuk mempengaruhi kekuasaan bagi
bagi kepentingan domestiknya maupun dalam konteks
sebagai penyambung kepentingan publik.
b. Baik HMI maupun GMNI dapat dimaknai sebagai bagian
dari civil society. Mereka merupakan suatu komunitas
sosial yang terdiri dari mahasiswa sebagai bagian dari
masyarakat luas yang bertindak secara kolektif dalam
lingkungan publik untuk mengekspresikan kepentingan-
kepentingannya, keinginan dan pemikiran-pemikiran,
pertukaran informasi, mencapai tujuan bersama,
membuat tuntutan kepada negara, dan mengawasi
tanggung jawab pejabat negara. Keberadaan HMI dan
GMNI juga tidak tergantung terhadap support yang
diberikan negara. Organisasi ini relatif independen
dan menggunakan sumber daya internalnya untuk
menopang kegiatan-kegiatan organisasinya. Sebagai
bagian dari entitas sosial yang luas, kedua ormas ini
tidak hanya bergerak dalam lingkup kepentingan
domestiknya, tetapi juga banyak mengangkat isu-isu
publik. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan
politik baik HMI maupun GMNI yang tidak hanya
mencerminkan kepentingan internalnya sebagai
mahasiswa.

HMI dan GMNI juga dapat dimaknai sebagai suatu


entitas sosial yang dapat menjembatani antara masyarakat
umum dan negara. Dalam konteks peranan HMI dan GMNI
pasca Orde Baru sebagai Civil society maka dapat
dijelaskan

218 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


lebih jauh sebagi berikut:
Pertama, adalah memberikan dasar untuk pembatasan
kekuasaan negara, mengawasi negara oleh masyarakat dan
lembaga-lembaga politik demokratis sebagai cara yang
paling efektif melakukan pengawasan tersebut. Pengawasan
ini diwujudkan melalui relasi kritis yang dibangun oleh ormas
ini dengan kekuasaan negara. Setiap bentuk kebijakan
negara yang dianggap menyimpang akan selalu mendapat
reaksi kritis berupa kritik kebijakan negara baik melalui
gerakan-gerakan protes secara formal maupun melalui
networking politik yang dimiliki untuk memberikan tekanan
kepada negara.
Kedua, dalam sistem politik yang berlangsung saat ini
maka posisi GMNI dan HMI adalah melengkapi peranan
partai
politik dalam menstimulasi penguatan partisipasi politik.
Kelemahan partai politik dalam menjalankan fungsi agregasi
dan artikulasi kepentingan masyarakat menjadi terjembatani
dengan keberadaan dan peranan politik organisasi ini. Efek
yang diharapkan dari peranan ini adalah meningkatkan
kemampuan masyarakat demokratis, dan mempromosikan
sebuah apresiasi kewajiban-kewajiban selayaknya hak-hak
kewarganegaraan demokratis.
Ketiga, civil society juga dapat menjadi arena penting
bagi pengembangan atribut-atribut demokratis lainnya,
seperti toleransi, sikap yang tidak berlebihan, kemauan
berkompromi, dan menghargai perbedaan pendapat atau
pandangan.
Keempat, civil society dapat menjalankan demokrasi

PENUTUP 219
adalah dengan menciptakan saluran-saluran lain dari partai
politik untuk artikulasi, pengumpulan dan perwakilan
kepentingan. Fungsi ini sangat penting untuk memberikan
kesempatan bagi kelompok-kelompok yang secara tradisi
tidak dibolehkan-seperti kelompok perempuan dan ras
atau etnis minoritas-untuk masuk ke dalam kekuasaan
“lembaga eselon tertinggi” dari politik formal.
Sebagai kelompok penekan (pressure group), GMNI
maupun HMI tidak memiliki orientasi secara langsung
untuk menduduki kursi kekuasaan dan menempatkan
perwakilannya dalam lembaga-lembaga politik seperti
halnya yang dilakukan oleh partai politik. Tujuan utama dari
perannya sebagai kelompok penekan adalah mempengaruhi
kebijakan negara. Menilik dari gerakan politik yang dilakukan
oleh kedua organisasi ini, maka dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pertama, tekanan politik diarahkan secara langsung
pada pejabat pembuat kebijakan. Tekanan politik ini
dilangsungkan melalui loby-loby politik baik melalui kontak
politik dalam jaringan alumninya maupun secara langsung
berkomunikasi dengan aktor-aktor pembuat kebijakan
negara. Tekanan seperti ini dapat dilihat dari pertemuan
politik maupun audensi yang dilakukan dalam kerangka
membicarakan kebijakan pemerintahan yang sedang
berlangsung.
Kedua, bahwa GMNI maupun HMI berupaya
mempengaruhi pendapat dan opini publik melalui
kegiatan- kegiatan yang bersifat demonstratif seperti halnya
unjuk rasa

220 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


sehingga dapat tergalang kesadaran dan kekuatan kolektif
yang lebih besar di kalangan masyarakat luas. Strategi ini
dilakukan dengan harapan bahwa isu-isu yang diangkat
dapat menjadi pembicaraan dan perhatian khalayak
sehingga pada akhirnya akan terkonsolidasi kekuatan yang
lebih besar yang akan diperhitungkan oleh rezim.
Bagi HMI dan GMNI, demonstrasi tentu bukanlah jalan
satu-satunya bentuk tekanan kepada rezim penguasa jika
abai dalam pencapaian cita-cita bersama. Melalui gagasan
dan pikiran cerdas yang dituangkan dalam bentuk konsep
merupakan konsesi awal antara mahasiswa dan rezim,
jika penguasa rezim mulai tak mendengar aspira rakyat,
maka kekuatan parlemen jalanan sebagai moral force akan
bicara. Penggalangan aksi, demonstrasi besar-besaran dan
bahkan tindakan radikal pun menjadi solusi atas keangkuhan
pemerintah. Kadang, penyakit penguasa jika hanya berupa
konsep kritis yang lahir dari pikiran cerdas mahasiswa
dianggap angin lalu, maka disaat itu pula lah kekuatan
massa akan menjadi jawaban nyata sebagaimana kami bisa
menumbangkan rezim otoriter Soeharto.

PENUTUP 221
222 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
f
Daftar Pustaka

Agus Salim Sitompul, Historiografi HMI 1947–1993,


Intermessa, 1995
––––––, Sejarah Perjuangan HMI (1947–1975), Bina Ilmu,
Surabaya, 1976
Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS,1974
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta
Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995
Bjorn Hettne, Ironi Pembangunan di Negara Berkembang,
terj. Ismu Martoyo: Sinar Harapan, Jakarta, 1985
Bonar Tigor Naipospos,” Mahasiswa Indonesia dalam
Panggung Politik, Ke Arah Gerakan Rakyat?”
Prisma, 7 Juli 1996
Burhan D. Magenda, Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya
dengan Sistem Politik: Suatu Tinjauan, dalam
Analisa Kekuatan Politik Indonesia, Jakarta :
LP3ES, 1985
Burhanuddin, ed., Mencari Akar Kultural Civil society di
Indonesia, Jakarta, INCIS, 2003
Chaniago, JR., Di antara Hempasan dan Benturan: Kenang–
Kenangan dr. Abdul Halim 142–1945, Arsip
Nasional, Jakarta, 1981
Chusnul Mariyah, Soekarno dan Demokrasi, dalam
Nazaruddin Sjamsuddin; Soekarno; Pemikiran
Politik dan Kenyataan Praktek, Jakarta; Rajawali
Press, 1988
Claude E. Welch, Jr., ed, Political Modernization,
Wordsworth Publishing Co., Belmont, 1969
Cosmas Batubara, Kilas Balik Kelahiran Orde Baru dan
Peranan Mahasiswa, dalam Pembangunan Politik,
Situasi Global dan HAM di Indonesia, Gramedia,
Jakarta, 1994
Dahlan Ranuwihardjo, Revolusi, Anti Imperialisme dan
Pancasila, Jakarta: Instrans, 2002
Daniel Dakidae, Partai Politik dan Sistem Kepartaian,
Prisma, Desember 1981,
Yahya Muhaimin dan Colin MacAndrews, Masalah–Masalah
Pembangunan Politik, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1982
Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Azas Tunggal Jakarta:
Yayasan Perkhidmatan, 1983
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945–1965,
Grafiti Pers, Jakarta, 1987
Deppen Prop DPP PNI, Pokok–Pokok Pedoman Marhaenisme,

224 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Jakarta, DPP PNI, 1965
Deppen Prop. DPP PNI, PNI Penegak Pantjasila! Jakarta:
DPP PNI, 1965
Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto; Negara,
Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta, The Asia
Foundation dan PT. Gramedia Pustaka Utama,
2001
Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik Indonesia; Pilihan
Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES, 1988
Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI), Forum
Kebangsaan Pemuda Indonesia, Pikiran dan
Gagasan, Jakarta: FKPI, 1997
Gabriel Almond, and Sidney Verba, The Civic Culture:
Political Attitudes and Democracy in Five Nations,
Princeton: Princeton University Press, 1963.
Gabriel A. Almond, G. Bingham Powell, Jr., K. Strom, and R.
J Dalton, Comparative Politics Today: A World
View, Seventh Edition, New York: Longman, Inc.,
1999
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran
Neomodernisme Nurcholis Madjid, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid,
Paramadina–Pustaka Antara, Jakarta, 1999
Harry Azhar Azis dalam Makalah Orasi Ilmiah Pelantikan PB
HMI Periode 2003–2005, Membangun Kembali
Keadilan dan Kesejahteraan, Jakarta, 12 November
2003
Hasanuddin M Saleh, HMI dan Rekayasa Azas Tunggal
Pancasila, Yogjakarta, 1996
Dafiar Pustaka 225
Hasil–hasil Kongres X HMI, Palembang, 3–10 Oktober 1971
Huntington, Tertib Politik di Dalam Masyarakat yang Sedang
Berubah, Rajawali; Jakarta, 1983
Iman Toto K. Rahardjo, Herdianto WK (Ed), Bung Karno
Gerakan Massa dan Mahasiswa, Kenangan 100
Tahun Bung Karno Jakarta: Grasindo, 2001
J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi, Bangkit
dan Runtuhnya PNI 1946-1965 (Jakarta: PT
Pustaka Utama Grafiti, 1991
John A. MacDougall, dalam Indonesia Reports, No. 14
(Maret), 1986; sebagaimana dikutip oleh Harold
Crouch, “Pasca Angkatan 45: Militer dan Politik
Indonesia,” dalam Prisma, Th. XV (8), Agustus
1986.
John Maxwell, (Terj.), Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual
Muda Melawan Tirani, PT. Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2001
John W. Creswell, Research Design, Jakarta: KIK Press, 2002
Komite Organisasi Presidium GMNI, Panduan Organisasi
Jakarta: Penerbit Presidium GMNI, 2003
Krissantono, Ali Moertopo di Atas Panggung Orde baru;
Tokoh Pembangunan dan Pembaharuan Politik,
Prisma, LP3ES, Jakarta, 1986
Larry Diamond, Civil society and Development Democracy,
TIM IRE Press, Jakarta 2003
LJ. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1998

226 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Lucian W. Pye, Concepts of Political Development, maupun
juga dalam Aspect of Political Development,
dalam Yahya Muhaimin dan Colin MacAndrews,
ed, Masalah–Masalah Pembangunan Politik, Gajah
Mada University Press, 1982
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2004, PT.
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,2005, hal 320
Maruli Tobing, Bung Karno dan Keterlibatan CIA dalam
Peristiwa G30S, Konspirasi Asing Di balik Jatuhnya
Bung Karno, (Jakarta: DPP Pakorba, tanpa tahun
dan tanggal).
Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok–Kelompok
Penekan, terj Dra. Laila Hasyim, Bina Aksara,
Jogjakarta, 1981
Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai; Indonesia, Sebelum
dan Sesudah Soeharto, Reform Institute, Jakarta,
2007, hal 56
Michael Rush & Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik,
RajaGrafindo, Jakarta, 2003
Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik; Suatu
Pengantar, dalam Partisipasi dan Partai Politik;
Sebuah Bunga Rampai, Miriam Budiarjo, Jakarta,
Yayasan Obor, 1998
Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, Jakarta: Bulan
Bintang, 1976
Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

Dafiar Pustaka 227


Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan
Sistem Politik, Jogyakarta, Gadjah Mada University
Press, 1983
Nanang Tahqiq, Bye Bye HMI, dalam HMI Beban Sejarah
Bagi Kadernya?, Wahyuni Nafis dan Rifki Mochtar
(ed), Fosal PB HMI, 2002
Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya 1963-1969,
CV. Rajawali, Jakarta, 1984
Nicos Poulatzas, State, Power, Socialism, London: New Left
Books,1978
Onghokham, Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik,
dalam Analisa Kekuatan Politik Indonesia, LP3ES,
1985
Ohiao Halawa, Membangun Citra Partai, Profil Drs. Soerjadi,
Ketua Umum DPP PDI 1986-1993, Jakarta: PT. Nyiur
Indah Alam Sejati, 1993
Peter Kasenda (ed.), Bung Karno tentang Marhaen dan
Proletar, Jakarta: Grasindo dan GNRI, 1999
Prof. Soenario, SH, Banteng Segitiga, Jakarta: Yayasan
Marinda, 1988
Ralf Dahrendorf, Economic Opportunity, Civil society and
Liberty, dalam Cornelis Lay, Presiden, Civil society
dan HAM, Pensil 324, Jakarta
Ridwan Saidi, Kelompok Cipayung, Analisis Gerakan
Kebersamaan dan Pemikiran Ormas Mahasiswa
Pasca Aksi Tritura 1966 Jakarta: LSIP, 1993
––––––––, Mahasiswa dan Lingkaran Politik, Jakarta: Lembaga

228 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Pers Mahasiswa Mapussy Indonesia (LPMI), 1989
Roeslan Abdulgani, Dr. Soetomo Yang Saya Kenal, Yayasan
Idayu, Jakarta, 1976
Salim Said, The Genesis of Power: Civil–Military Relations in
Indonesia During The War for Independence 1945–
1949. Ph.D. Thesis, Ohio State University, 1985
Samuel P. Huntington & Joan Nelson, Partisipasi Politik di
Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2006
Silabus Kaderisasi GMNI, Komite Kaderisasi Presidim GMNI,
Jakarta, 2005
Sjahrir, Refleksi Pembangunan Orde Baru: Ekonomi Indonesia
1968–1992, Jakarta: Gramedia, 1992
Soedjatmoko, “Iman, Amal dan Pembangunan”, dalam
Agama dan Tantangan Zaman: Pilihan Artikel Prisma
1975–1984: LP3ES, Jakarta 1985, hal 4
Soekarno, Lahirnya Pantja-Sila, (Cetak ulang), Jakarta, DPP
PDI Perjuangan, tanpa tahun dan tanggal.
Soemitro Djojohadikusumo, “Perkembangan Ekonomi
Indonesia Selama Empat Tahap Pelita, 1969/1970–
1988/1989,” Prasaran Untuk Sidang Pleno ISEI.
Bukit Tinggi, 29 Juni 1989.
Subagio Reksodipuro SH, Peranan Pemuda dan Pergerakan
Pemuda dalam Perjuangan Nasional, Bunga
Rampai Soempah Pemoeda, PN Balai Pustaka,
Jakarta 1978

Dafiar Pustaka 229


Susanto Tirtoprodjo, SH., Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1970
Swa Sembada, No. 9/VII, Desember 1992, “Bonus Proyeksi
Bisnis 1993”, hlm. 4
Syafinuddin Al Mandari, Demi Cita–Cita HMI; Ringkasan
Perlawanan Kader dan Alumni HMI Terhadap
Rezim Orde Baru, PT. Karya Multi Sarana, Jakarta,
2003
Syamsuddin Haris, Menggugat Politik Orde Baru, Jakarta:
Grafiti, 1998
Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, dan Daniel Dakidae,
Manusia Dalam Kemelut Sejarah, Jakarta, cetakan
keenam, LP3ES, 1994
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945–1967;
Menuju Dwi Fungsi ABRI, terj. Hasan Basri, Jakarta
:LP3ES, 1986
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, terj. A.
Setiawan Abadi, Jakarta: LP3ES, 1990
Yozar Anwar, Pergolakan Mahasiswa Abad Ke 20; Kisah
Perjuangan Anak–Anak Muda Pemberang, Jakarta:
Sinar Harapan, 1981

Wawancara
Wawancara Arif Mustopha, Ketua PB HMI, periode 2008–
2010, di Jakarta, 4 Juni 2008
Wawancara Bursah Zarnubi, Pengurus Cabang HMI Jakarta,
Mantan Ketua Humanika, di Jakarta, 27 April 2008

230 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


Wawancara dengan Ahmad Baskara, Sekjend Presidium
GMNI, Periode 1996–1999, di Jakarta, 23 Maret
2008
Wawancara dengan Hary Azhar Aziz, mantan Ketua Umum
PB HMI periode 1983–1986, di Jakarta, 15 Mei 2008
Wawancara dengan Hasanuddin, Ketua Umum PB HMI,
periode 2003–2005, di Jakarta, 10 Mei 2008
Wawancara dengan Palar Batubara, Ketua Presidium Alumni
GMNI periode 2005–2010, di Jakarta, 19 Februari
2008
Wawancara dengan Riad Oscha Chalik, Ketua GMNI
Jakarta, periode 1982–1984, di Jakarta, 11
Februari 2008
Wawancara dengan Sidratahta Mukhtar, Ketua PB HMI
Bidang Hubungan Internasional, Periode 2003–
2005, di Jakarta, 15 Maret 2008
Wawancara dengan Willem Tutuarima, Pengurus DPC GMNI
Semarang periode 1977–1979, saat ini menjabat
sebagai Wakil Sekretaris FPDIP DPR RI periode
2004–2009, di gedung DPR, Jakarta, 9 April 2009
Wawancara dengan Yos Dapa Bili, Ketua Komite Kaderisasi
Presidium GMNI Periode 2003–2006, Jakarta, 5
April 2008
wawancara Hari Fadillah, Mantan Presidium GMNI 1983–
1986, di Semarang, 8 Februari 2008.

Dafiar Pustaka 231


Koran
Media Indonesia, 13 Februari 1997.

Internet
http://www.bangakbar.com, diakses tanggal 11 Mei 2008
http://www.blogger.com/profile/152255955, diakses tanggal
20 April 2008
http://www.pbhmi.com/profile_isi.php?news_id=44, diakses
tanggal 8 april 2011,
http://www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 15 Mei
2009
http://www.ummat.co.id/218nas2.htm, diakses tanggal 6
mei 2010

232 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


f
Tentang Penulis 1

S yamsuddin Radjab atau lebih akrab dipanggil


dengan Ollenk, lahir di Jeneponto, Sulawesi
Selatan
24 Pebruari 1974. Menyelesaikan SD (1987) dan nyantri
pada Pondok Pesantren Muhammadiyah “Darul-Arqam”
Gombara (1987-1993), sempat menjadi Ketua OSIS
sekaligus Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
Makassar (1992- 1993). Menyelesaikan Studi di 2 (dua)
perguruan tinggi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar (1999) dan Fakultas Hukum Universitas
Muslim Indonesia (UMI) Makassar (2001), menjadi
wisudawan terbaik dengan predikat Cumlaude dalam
kajian Hukum dan Politik Islam. Semasa Mahasiswa ia
seorang aktivis, baik intra
maupun ekstra kampus. Pernah menjadi Ketua Umum Senat
Mahasiswa Fakultas (SMF) Syariah UIN Alauddin (1996-
1997), membentuk pelbagai Kelompok Studi Mahasiswa dan
jaringan gerakan aksi yang diberi nama Jaringan Komunikasi
Mahasiswa Makassar (JKMM). Ia dan kelompoknya bertolak
ke Jakarta mengepung parlemen beserta puluhan ribu
mahasiswa lainnya hingga rezim Soeharto tumbang (1998),
Ketua Umum HMI KORKOM UIN Alauddin (1997-1998),
Ketua Umum Lembaga Hukum Mahasiswa Islam (LHMI) HMI
Cabang Makassar (1999-2000), Ketua BADKO HMI Sulawesi
(2000-2002), Ketua PB HMI (2003-2005), Koordinator
Majelis Pengawas dan Konsultasi (MPK) PB HMI (2010-
2012). Tahun 2008-2011 Ketua DPP KNPI Bidang Hukum
dan HAM, Koordinator SC Kongres XIII Pemuda/KNPI 2011,
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (PBHI) (2007-2010). Anggota Tim Perumus Revisi
UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Staf Ahli DPD RI Tahun 2010-sekarang.
Sejak tahun 2003 menjadi staf pengajar pada Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Alauddin dan aktif dipelbagai seminar,
pelatihan dan penelitian dalam dan luar negeri serta aktif
menulis dipelbagai media lokal dan nasional. Saat ini sedang
menyelesaikan studi doktoral (S3) program Ilmu Hukum pada
Universitas Padjadjaran Bandung.

234 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan


f
Tentang Penulis 2

A de Reza Hariyadi, lahir di Demak 30 Desember


1979 menyelesaikan pendidikan S1 pada dalam
Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro (1997), Strata
2 dalam Ilmu Politik Universitas Indonesia (2005), dan
sekarang sedang menempuh pendidikan program doktor
Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Pengalaman organisasi
kemahasiswaannya ditempah di Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI), pernah menjabat sebgai Ketua Komite
Politik Presidium GMNI (2002-2005), Sekjend Lembaga
Pemantau Pemilu Persatuan Alumni GMNI (2009), Ketua
Kompartemen Advokasi dan Pemberdayaan Rakyat, PPPA
GMNI (2010-2015) dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat
Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI), (2008–
2011). Sementara itu, pengalaman lainnya adalah, Delegasi
World Youth Peace Summit Asia Pacific, Bangkok, Thailand
(2004). Pelatihan Pemantau Pemilu 1999, Kerjasama Ikatan
Alumni Jerman–Kopma Undip, Semarang, 1999. Pelatihan
Pemantauan Partisipatif Pemilu 2004, Lembaga Kajian
Strategis dan Informatika Rakyat ( Lekstra ), Semarang,
2004. Training Voters Education, LKJK Indonesia,
Semarang, 2004. Workshop Civil Society dan Strategi
Meningkatkan Partisipasi Politik Publik dalam Pemilu
2009, FISIP UBK, 2009. Pelatihan Fasilitator Pengawasan
Pemilu 2009, Bawaslu, Jakarta, 2009. Fasilitator Pelatihan
Pengawasan Pemilu Panwaslu Kabupaten/Kota Untuk
Propinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Nusa
Tenggara Timur, 2009.
sejak 2006 terdaftar sebagai dosen tetap FISIP Universitas
Bung Karno (UBK) dan juga mengajar di STIAMI Jakarta
serta Aktif diberbagai seminar dan pelatihan baik sebagai
peserta maupun pembicara. Email; rezahariyadi@yahoo.
com, Telephone 081380167168.

236 GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan

Anda mungkin juga menyukai