Anda di halaman 1dari 55

GANGGUAN

MOTILITAS &
ABSORBSI
dr.Novi Wijayanti S, MSc, SpPD
Fakultas Kedokteran UAD –RS PKU
Muhammadiyah Bantul
CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mahasiswa mampu menjelaskan, melakukan pemeriksaan , diagnosis


dan penatalaksanaan gangguan motilitas dan penyerapan usus

 Malabsorbsi (3A)
Intoleransi makanan (4)
Irritable Bowel Syndrome
(3A)
◾ Inflammatory Bowel Disease (II)
KOnstipasi
MALABSORBSI

◾ Malabsorbsi  gangguan pada proses absorpsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih
zat gizi
◾ Malabsorpsi dan maldigesti dapat disebabkan oleh karena defisiensi enzim atau adanya gangguan
pada mukosa usus tempat absorbsi dan digesti dari zat nutrisi
ETIOLOG

◾ Reseksi lambung  malabsorbi lemak


◾ Reseksi usus halus yang mencapai 75%  malabsorbsi lemak, glukosa, protein, asam folat dan vitamin B12
◾ Reseksi pancreas  malabsorsi akibat dari defisiensi enzim-enzim pancreas
DIAGNOSI

◾ Gejala : diare kronis , biasanya feses cair jika kelainannya di usus halus, steatorea (malabsorbsi lemak)
◾ Pemeriksaan darah : hemoglobin,defisiensi besi , defisiensi asam folat ataupun B12
◾ Pemeriksaan Radiologi : foto polos abdomen dan Ultrasonografi  kalsifikasi pankreas, pemeriksaan foto
usus halus
◾ Pemeriksaan Histopatologi  biopsy usus halus/ileum
◾ Pemeriksaan Lemak Feses  fecal fat dengan pewarnaan Sudan (malabsorbsi lemak)
◾ Pemeriksaan fungsi pankreas, asam empedu, toleransi xylose, pemeriksaan absorbsi pankreas, absorbs vitamin B12
(schilling tes)
TATA LAKSANA

◾ Terapi Nutrisi
 jumlah sedikit-sedikit tapi sering, hindari laktosa, pembatasan lemak <30 gram/hari
 pemberian medium chain trglyceride
◾ Suplementasi Vitamin & Mineral
 suplementasi kalsium, suplemen vitamin larut lemak A,D,E dan K
 suplementasi vit B12 dan asam folat  gangguan di usus halus
 suplementasi enzim pancreas : lipase, amilase, protease
 pemberian antibiotik jika terjadi overgrowth bakteri enterotoksigenik seperti Eschericia coli, Kleibsella
pneumonia, Enterobacter cloacae pada usus halus
FOOD INTOLERANCE

◾ Adverse food reactions are defined as any abnormal reaction following the ingestion of food  food
hypersensitivity, including food intolerance and food allergy
◾ The definition of food intolerance is a non-immunological response initiatedby a food or food component
at a dose normally tolerated and account for most adverse food responses.
◾ Food allergy is an abnormal immune response to a food protein mediated by immunoglobulin E(IgE), non-IgE
or mixed IgE/non-IgE immunological mechanisms.
◾ The prevalence of food allergy varies affecting 1–2% of adults and less than 10% of children
◾ Food intolerance is estimated to affect up to 20% of the population
• Metabolic conditions  lactose intolerance (enzyme deficiency) and carbohydrate malabsorption (including
fructose, polyols, sucrose).
• Pharmacologic (chemical sensitivity) reactions to food components such as caffeine, monosodium
glutamate (MSG) and other naturally occurring food chemicals (salicylates and amines).
• Toxic reactions  such as food poisoning and scombroid fish toxin.
• Adverse reactions to artificial preservatives such as sulphites (often used in dried fruits) and benzoates
(often used in soft drinks) have been shown to cause symptoms  triggers for asthma and anaphylaxis.
TRIGGER FACTORS (FROM COMPONENTS OF FOOD)

• Lactose intolerance is an example of an enzyme deficiency  bloating, gas/flatulence, stomach upset and
diarrhoea after having dairy products.
• Monosodium glutamate  stimulates nerve endings, which may be why it is used as a flavour enhancer when it is
added to food.
• Vasoactive amines such as tyramine, serotonin and histamine are well known triggers of migraines , flushing, and
nasal congeston in some people.They are present naturally in pineapples, bananas, baked meat, vegetables, red
wine, wood-matured white wine, avocados, chocolate, citrus fruits and mature cheese.
• Salicylates are natural aspirin like compounds that are present in a wide variety of herbs, spices as well as fruit and
vegetables. Reactions to salicylates may be even more common than reactions to artificial colours and
preservatives. Aspirin can trigger hives by acting directly on skin mast cells, and therefore salicylates can also
worsen hives in some people.
• Toxins can cause severe symptoms. Contamination of food with micro-organisms (such as bacteria) or their
products (due to spoilage) can cause food poisoning due to toxins. For example, if some types of fish are
stored poorly, their gut bacteria can convert histidine to histamine, resulting in allergy like symptoms.
• Irritants. Caffeine and curry are gut irritants that can trigger indigestion in some people. It is important to realise
that reactions to these substances are not due to allergy.
HISTAMIN INDUCED RESPONSE

◾ Histamine intolerance can lead to unspecific GI symptoms and extra-intestinal symptoms, which occur
mainly during and immediately following meals.
HOW TO DIAGNOSE

◾ Symptoms are include stomach pain, bloating, gas/flatulence, diarrhoea, IBS, rashes, hives or headaches
◾ Diagnosis of adverse reactions to foods should be based on clinical history, response to treatment and testing.
◾ Skin prick tests or blood tests for allergen specific IgE are negative for food intolerances.
IRRITABLE BOWEL SYNDROME (IBS)
 Irritable bowel syndrome (IBS)  penyakit
gastrointestinal fungsional (gangguan bentuk
defekasi tanpa adanya gangguan organik
 Karakteristik : nyeri perut, diare dan atau
konstipasi, tinja yang disertai lender dan
adanya perubahan bentuk tinja.
 Prevalensi di ASIA : 3,5%- 25 %, dengan
terendah di Iran dan tertinggi di Jepang
 Paling banyak menyerang pada wanita
PATOFISIOLOGI
Perubahan respons dari respon STRESS kecemasan kronis
meningkatkan aktivitas amygladala yang mengarah pada pembentukan
aksis HPA  hyperalgesia visceral yang diinduksi

Perubahan system otonom dan neuroendokrin sebagai respons


terhadap stimulasi visceral infeksi, peradangan kronis, mikro-flora
gastrointestinal (GI) dan gangguan regulasi

Serotonin meningkatkan efeknya pada sistem GI melalui motilitas,


sekresi dan sensasi visceral  intoleransi dalam fungsi 5HT dalam
sistem GI non-organik, terutama di IBS setelah gangguan pada sekresi
dan reuptake
Respon imun terhadap post infeksi  peningkatan sel inflamasi
mukosa, terutama sel mast, peningkatan oksida nitrat, interleukin,
histamin dan protease mengarah pada stimulasi sistem saraf enteric
 penurunan motilitas, sekresi, dan hiperalgesia saluran GI.

Perubahan jumlah dan kualitas bakteri Lactobacillus &


Enterococcu  disfungsi sensorik-motorik yang dapat
dipengaruhi melalui malabsorpsi asam empedu, iritasi dan
peradangan mukosa, peningkatan fermentasi makanan dan
produksi gas.

Peran factor genetic dalam IBS  berperan dalam produksi


factor imunologik seperti T-helper 1, 2 ILs-4,6 dan IL-10.
MANIFESTASI KLINIS

 Nyeri perut kronik


 Perubahan bowel habit  baik dari jumlah, frekuensi dan konsistensi tinja
 Diare dan atau konstipasi
 Gejala lainnya : gejala gastroesofageal refluks, disfagia, dyspepsia, mual, nyeri dada non cardiac
 Peningkatan produksi gas di saluran cerna  kembung, abdominal bloating,flatus >>
 Gejala ekstraintestinal gangguang fungsi seksual, dysmenorrhea, dyspareunia dan peningkatan frekuensi
berkemih;hypertension, asthma atau fibromyalgia
KRITERIA DIAGNOSIS
TERAPI

 Tidak memiliki terapi Definitif


 Terapi berupa pengontrolan terhadap faktor yang dianggap berperan seperti factor
stress, obat-obatam ataupun factor diit
 Terapi Non farmakologi  psikoterapi, modifikasi diit
 Farmakologi  diberikan berdasarkan gejala dominan yang muncul yaitu mengatasi
nyeri abdomen, mengatasi konstipasi, diare dan obat anti depressant
 Anti Spasmodik  untuk mengatasi nyeri abdomen : mebeverine, hyosin
N- butilbromida, chlordiazepoksid, klidium, alverine, otolium bromide
 Untuk konstipasi  laksatif osmotic seperti laktulosa, tegaserod
 Untuk tipe diare  loperamid
 Anti depresan => amytriptilin , Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
seperti fluoxetine, fluvoxamine
INFLAMMATORY BOWEL DISEASE
(IBD)

 IBD  penyakit inflamasi kronik saluran cerna, bersifat remisi dan kambuhan, terdiri dari colitis ulseratif, penyakit
Chron, indeterminate Colitis
 Prevalensi IBD tinggi di Eropa dan Amerika, usia muda lebih banyak (25-30 tahun), wanita dan pria hamper sama
 Inflamasi mukosa di IBD  keterlibatan neutrophil dan makrofag dalam produksi sitokin, enzim proteolitik
dan radikal bebas yang menyebabkan inflamasi dan ulserasi  nyeri perut, diare, tinja berdarah, BB turun
PATOGENESIS

◾ I. Faktor GENETIK
◾  Nucleotide-binding oligomerization domain 2 (NOD2) merupakan gen yang banyak mutase dan
berhubungan dengan penyakit Chrons
◾  numerous single-nucleotide polymorphisms (SNP) di IL-23R berhubungan erat dengan Crohn’s disease dan
colitis ulceratif
◾ II. Faktor Mikroba Usus
◾  IBD terjadi karena adanya respon imun yang abnormal terhadap mikroba usus
◾  gangguan terhadap keseimbangan mikroorganisme komensal dan pathogen
◾ III. Faktor LINGKUNGAN
◾  Faktor yang meningkatkan risiko penyakit Chrons: makanan tinggi lemak, gula, merokok,
sedangkan intake sayur dan buah menurunkan risiko
◾ IV. Faktor IMUN
◾  gangguan respon imun ditandai dengan kerusakan epitel (produksi mucus abnormal), reaksi
inflamasi dari flora intestina dan sel yang menginfilatrasi lamina propria (sel T, Sel B, makrifag, sel
dendritic, dan netrofil) , kegagalan system imun dalam mengontrol inflamasi.
◾  Sel lamina propria yang teraktivasi akan menghasilkan sitokin proinflamatori dalam jumlah
yang banyak di dalam jaringan local yang terjadi inflamasi
MANIFESTASI

 Diare Kronik yang disertai atau tanpa darah


 Nyeri perut
 Manifestasi estraintestinal : artritis, uveitis, pyoderma gangrenosum, eritema
nodusum, kolangitis
 Klinis pada colitis ulseratif lebih banyak variannya, sedangkan distribusi anatomi
saluran cerna pada KU lebih sering kolon sedangkan pada PC lebih bervariasi
MANIFESTASI
Chron’
s • ural  seluruh
lapisan dinding colon
Inflamasi bersifat transm
Disease • Terjadi pada semua bagian saluran cerna

Kolitis • Inflamasi terbatas pada lapisan mukosa saja


• Rektum hamper selalu terlibat (proctitis

Ulseratif
ulseratif) dan progresif menjalar ke proximal
• Kadang terdapat fistula
Gambaran Klinik KU CD
Diare Kronik ++ ++

Hematochezia ++ +

Nyeri perut + ++

Massa intra abdomen 0 ++

Adanya fistulasi +/- ++

Terjadinya stenosis/striktur + ++

Keterlibatan usus halus +/- ++

Keterlibatan rektum 85% 50%

Tanda ekstraintestinal + +

Terjadinya megacolon toksik + +/-


PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Laboratorium : darah rutin, LED, CRP, antineutrofil cytoplasmic antibody (ANCA)


 Endoskopi  kolonoskopi
 Radiologi kontras ganda  colon in loop  memperlihatkan lesi striktur, fistulasi, mukosa
yang ireguler, gambaran ulkus dan polip, ataupun penebalan dinding usus dan hilangnya haustra
 Histopatologi  specimen dari operasi nilai diagnostiknya >> disbanding hasil biopsy per
endoskopi
 Gambaran khas untuk KU : adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel mononukleus,
dan polimorfonukleur di lamina propia,
 pada CD : granuloma tuberculoid , infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina propia dan
ulserasi yang dalam
Double
Single Contrast contrast
TERAPI
 Pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi yang
berdampak pada hilang atau bekurangnya simtom
 Tujuan UMUM terapi :
- tercapai fase remisi
- memperpanjang masa remisi
- mencegah terjadinya komplikasi (pembedahan/admisi)
- Memperbaiki kualitas hidup
- memperbaiki status nutrisi
1. Pemberian antibiotic (terutama pada CD)  metronidazole, ciprofloxacin
2. Pengaturan pola diit terutama diit yang dianggap sebagai factor pencetus
3. Kortikosteroid  40-60 mg / hari prednisone
4. Asam Amino-salisilat  sulfasalazine yang akan dipecah diusus menjadi 5-
ASA (5 acetil salicylic acid)
5. Obat imunosupresan  bila steroid dan 5-ASA gagal mencapai remisi ,
contoh : 6-merkaptopurin, azathioprine, siklosporin, methotrexate, dan
anti TNF (Infliximab)
6. Terapi Bedah  bila terapi konservatif gagal atau terjadi komplikasi
seperti perforasi, obstruksi atau megacolon toksik, abses, fistula.
KONSTIPASI

◾ Konstipasi (kronik) adalah gangguan dari saluran usus yang berupa penurunan frekuensi pergerakan usus
(frekuensi BAB < 3x dalam seminggu), tinja yang keras, adanya tekanan saat BAB, rasa adanya penyumbatan di
anorectal, “anal digitation”, dan rasa tidak puas/komplit setelah defekasi
◾ Prevalensi pada dewasa sekitar 16%, terutama pada lanjut usia prevalensi lebih tinddi sebesar 33,5 % pada usia 60-
101 tahun
◾ Faktor Risiko : usia >>, wanita, status ekonomi rendah, tingkat Pendidikan orangtua, aktivitas fisik
yang menurun, obat-obatan, stress, kekerasan fisik dan seksual, dan kondisi depresi
◾ Konstipasi  disebabkan oleh penyakit sistemik, gastrointestinal dan neurologic.
◾ Jika tidak didapatkan penyebab lain/organk  idiopatik
◾ Konstipasi sekunder  kehamilan, pseudo-obstruksi intestinal, impaksi feses
PATOGENESIS

Diit tinggi serat  meningkatkan “transit time”, melunakkan tinja dan


Faktor Diit meningkatkan berat tinja

Fungsi Motilitas & absorbsi kolon


Konsistensi tinja dan kandungan air berhubungan erat dengan waktu transit kolon  ju

Fungsi saraf anorektal • Fungsi saraf motoric dan sensorik dari colorectal berperan dalam prosese
defekasi  tinja di rectosigmoid – distensi rektal – defekasi ( kontraksi
perut dan relaksasi puborectalis dan anus)

Pasien dengan konstipasi lebih sering mengalami gejala somatisasi, anxiety, dan depre
Faktor perilaku & psikologis
Tiga mekanisme primer dalam patofisiologi konstipasi : (1)
peningkatan absorbs cairan di kolon dengan transit
normal

(2) Melambatnya transit kolon dengan absorbsi yang normal


(3) Gangguan defekasi dimana pergerakan kolon tidak fungsional

Peningkatan waktu kontak tinja di kolon pengeringan tinja >>


 - mempersulit pendorongan tinja  segmentasi  gerakan
kolon melambat
PENEGAKAN DIAGNOSIS

EVALUASI KLINIS
◾ Adanya gangguan pada frekuensi BAB maupun perubahan konsistensi tinja
◾ Adanya keluhan proses defekasi yang sulit (merasa tidak lampias, merasa ada sumbatan,“digital evacuation”
◾ Faktor diit, gangguan psikologis, gangguan pola makan ataupun perilaku, riwayat pengobatan
◾ Pemeriksaan rectal  adanya nyeri, tonus otot spinchter, adanya feses, lender/darah, tumor/hemoroid
◾ Pemeriksaan penunjang :
 darah rutin, glukosa darah, status tiroid dan pemeriksaan kalsium
 barium enema, kolonoskopi, tes transit kolon (scitigrafi transit kolon), anorectal manometri
TERAPI

◾ Diit tinggi serat 20-30 gram/hari dan banyak minum


◾ Laxatives : laktulosa, bisacodyl (dulcolax®) (tabel)
◾ Terapi definitive  sesuai etiologi jika ditemukan kelainan structural
◾ Psikoterapi

Anda mungkin juga menyukai