Anda di halaman 1dari 42

STUDI KESIAPAN “CREATIVE CITY OF GASTRONOMY“

DI KOTA MAKASSAR DARI PERSEPSI EKONOMI KREATIF

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana
Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar

Oleh:

AHMAD ZUBAIR
NIM. 60800116020

JURUSAN TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................7
C. Tujuan Penelitian................................................................................7
D. Ruang Lingkup/ Batasan Masalah......................................................8
E. Manfaat Penelitian..............................................................................8
F. Kajian Pustaka....................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................14
A. Creative City (Kota Kreatif).............................................................14
B. Prasyarat Kota Kreatif.....................................................................25
C. Kota Kreatif Gastronomi..................................................................27
D. Definisi Kesiapan..............................................................................29
E. Kerangka Pikir..................................................................................29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................32
A. Metode Penelitian.............................................................................32
B. Waktu dan Tempat Penelitian...........................................................32
C. Variabel Penelitian...........................................................................34
D. Jenis Data dan Sumber Data............................................................34
E. Metode Pengumpulan Data..............................................................35
F. Populasi dan Sampel Penelitian.......................................................36
G. Teknik Analisis Data.........................................................................38
H. Defenisi Operasional........................................................................39

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................41
LAMPIRAN...........................................................................................................43

i
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization
(UNESCO) merupakan sebuah badan dunia bentukan Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) yang biasanya berfokus pada urusan budaya, pusaka, dan pendidikan,
sekarang disibukkan dengan konsep “Kota Kreatif”. Sejak 2004, UNESCO telah
meluncurkan UNESCO Creative Cities Network (UCCN) untuk mendorong kerja
sama setiap kota yang menganggap kreativitas merupakan faktor strategis
terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan. Dalam hal tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan kerjasama internasional setiap kota yang
berkomitmen untuk berkontribusi dalam kreativitas dalam rangka pembangunan
kota yang bersifat berkelanjutan, inklusi sosial dan pemeliharaan kebudayaan.
Kota Kreatif di seluruh dunia merupakan bagian dari program SDGs
(Sustainable Development Goals). Dengan tujuan menjadikan kebudayaan sebagai
suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap proses pembangunan,
terkhususnya di wilayah perkotaan. Gagasan ini terpengaruh oleh pengkajian
perkotaan yang mengidentifikasi tentang pentingnya komunitas kreatif yang
berperan dalam pembangunan perkotaan, seperti Manuel Castells (1982, 2000,
2010, 2016), Richard Florida (2004 dan 2006), Greffe (2011) dan banyak lagi.
Kota Kreatif versi UCCN berorientasi pada sinergitas setiap kota di dunia
yang berkomitmen dalam pengembangan pembangunan perkotaan yang
berkelanjutan dengan pemeliharaan kebudayaan. Hal tersebut diproyeksikan dapat
membentuk kekuatan kolaboratif untuk mempromosikan kreativitas serta industri
kreatif, dan penguatan elemen/nilai-nilai kultural dalam pembangunan
berkelanjutan perkotaan. Setiap kota yang terjaring dalam UCCN, terdapat
beberapa ranah kreatif. Terdapat hanya ada tujuh ranah kreatif, yaitu; kriya dan
kesenian tradisional, desain, film, kuliner, literatur, media kreatif, dan musik.
Kreatif secara epistemologi merupakan sebuah kemampuan untuk
mengelola sesuatu yang baru, namun membutuhkan ekosistem pendorong untuk

1
melakukannya, dan bersifat individual. Oleh karena itu yang dimaksud Kota
Kreatif adalah kota yang terdapat berbagai ekosistem kreatif yang mampu
memantik sebuah kota dalam menggerakkan sumber daya dalam memproduksi
sesuatu yang bersifat kontemporer. Ruang kreatif sebagai wadah kegiatan
kreativitas manusia dalam beraktivitas, jika dilihat secara luas, memiliki
keterkaitan dengan lingkup ruang kota. Hal ini disebabkan oleh pola aktivitas
kreatif manusia yang beragam jenisnya dan bersifat individual ataupun komunal.
Menurut Landry (1995), kota menjadi tempat bagi manusia untuk beraktivitas
menjalankan kehidupannya sehari- hari untuk memenuhi kebutuhan mereka dan
mengembangkan potensi, aspirasi, mimpi dan ide mereka. Interaksi manusia di
dalam kota ini dapat menciptakan ide- ide baru, yang tentunya dapat memicu
kekreativitasan (Landry, 1995). Oleh karena itu dapat jelaskan bahwa, suatu kota
dapat menjadi ruang fisik yang dapat memfasilitasi setiap aktivitas kreatif setiap
masyarakatnya.
Charles Landry dan Franco Bianchini merangkum gagasannya dalam
bukunya yang berjudul “The Creative City”. Mereka menjelaskan sebuah gagasan
konsep kota kreatif yang menjadi tanggapan terhadap beberapa masalah atau krisis
urban yang sedang dihadapi oleh beberapa kota di dunia. Gagasan utama dari
konsep kota kreatif adalah menjadikkan lingkungan urban yang sehat dan
menciptakan atmosfir perkotaan yang inspiratif.
Sejak tahun 2014, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berencana
mengusulkan Kota Makassar sebagai Kota Kreatif ke UNESCO, dengan ranah
kreatif “Gastronomi/Kuliner” namun sampai hari ini belum terwujudkan cita-cita
Kota Makassar sebagai Kota Kreatif yang dimaksud. Maka dari itu, diperlukan
kesiapan dalam membangun “Makassar Creative City of Gastronomy” itu sangat
diperlukan agar lebih mudah mengarahkan citra kota serta meningkatkaan
perkembangan ekonomi kreatif. Hal itu dikarenakan Kota Makassar selalu dikenal
memiliki potensi terkait kota kuliner khususnya, Coto Makassar dan Sop Saudara
sebagai kuliner yang diwariskan secara turun-temurun, memiliki sejarah panjang,
pengolahannya, rasanya, hingga mempertahankan kebudayaan lokal itu sendiri.
Menurut UNESCO (2004) ada 9 kriteria kota kreatif gastronomi/kuliner antara
lain:
(1) Adanya satu atau banyak industri kuliner yang sudah mapan; (2) Kontribusi
2
industri kuliner terhadap pembangunan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di
kota; (3) Adanya sejarah kota di bidang kuliner; (4) Adanya festival dan acara
skala besar lainnya yang diselenggarakan terkait industri kuliner; (5) Adanya
sekolah kejuruan maupun kursus di bidang kuliner; (6) Ketersediaan fasilitas
untuk pendukung pengembangan kota kreatif gastronomi. Fasilitas yang dimaksud
adalah pasar tradisional, restoran tradisional, dan pusat oleh-oleh makanan
tradisional; (7) Adanya rencana, program dan kerjasama yang dilakukan untuk
mengembangkan kota kreatif gastronomi; (8) Adanya kelompok-kelompok
masyarakat yang aktif dalam pengembangan kota kreatif gastronomi; (9)
Kemudahan pemanfaatan bahan baku lokal.
Pola aktivitas masyarakat perlu diperhatikan dengan pemanfaatan ruang
publik agar segala sesuatu dapat berkembang serta pengelolaan ruang publik harus
diperhatikan dengan baik agar mendapat rahmat pada kehidupan manusia. Allah
swt berfirman dalam QS. Luqman/ 31:20

Terjemahanya : “Tidaklah kamu perhatikan bahwa Allah menyediakan bagi kamu


segala sesuatu yang ada dibumi dan dilangit dan segala sesuatu yang ada dibumi
melimpahkan kepada kamu karunia-Nya baik yang nampak maupun yang tidak
nampak.”
Dari tafsir Quraish Shihab berdasarkan terjemahan ayat diatas dapat
dijelaskan bahwa telah kalian lihat bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada
di langit seperti matahari, bulan, bintang-bintang dan lain sebagainya untuk
kalian. Dia juga menundukkan apa yang ada di bumi, yaitu sungai-sungai, buah-
buahan dan binatang-binatang. Dia juga telah menyempurnakan nikmat-nikmat-
Nya yang nyata dan tersembunyi darimu. Di antara manusia ada yang membantah
tentang Zat dan sifat-sifat Allah tanpa bukti dan petunjuk yang didapatkan dari
seorang nabi dan juga tanpa wahyu yang menerangi jalan kebenaran. Bahwa
segala yang ada di bumi itu manfaatnya tergantung bagaimana manusia
mengelolanya, ada potensi

3
kebaikan dalam proses pembangunan guna melancarkan produktivitas masyarakat
khususnya generasi muda untuk berkembang, dimana pembangunan tersebut
merupakan sebuah pemanfaatan sumber daya alam untuk menunjang kualitas
sumber daya manusia. Serta pentingnya perencanaan terkait keputusan dari pihak
pengambil kebijakan agar tidak ada yang tercederai dalam pengelolaan tata ruang.
Adanya ruang publik yang memadai sebagai nikmat nyata yang harus disyukuri,
ketika kreativitas dibangun dalam ruang publik yang dikelola dengan baik maka
nikmat yang tidak nampak itu akan berkembang menjadi kualitas peradaban
masyarakat madani yang diharapkan khususnya menjadi sebuah kota kreatif yang
lahir dari masyarakat itu sendiri tanpa mencontoh negara lain.
Maka dari itu, salah satu klasifikasi yang tepat untuk membangun
implementasi “Makassar Creative City of Gastronomy” yang bersifat perencanaan
sebagai pembelajaran sosial. Sistem ini bersifat learning by doing, pelimpahan
kewenangan lebih bersifat desentralisasi, mengutamakan partisipasi rakyat
(bottom up), pemerintah bertindak sebagai fasilitator berdasarkan kebijakan
politik yang bersifat terbuka disertai kebijakan dan peran dari setiap stakeholder
kunci. Setidaknya, dengan adanya gerakan dari bawah ke atas dapat mempercepat
Kota Makassar mencapai tujuannya sebagai Kota Kreatif dengan tersedianya
ruang- ruang kreatif sebagai wadahnya.
Fokus pada penelitian kali ini akan melakukan studi terkait kesiapan Kota
Makassar untuk menjadi “Creative City of Gastronomy” yang terjaring dalam
UNESCO Creative City Network (UCCN) dengan melalui peran stakeholder yang
menggunakan metode observasi, survei instansional dan kuesioner. Hasil dari
penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi setiap stakeholder dan
pengambil kebijakan dalam setiap merencanakan kegiatan pembangunan yang
berdampak pada ekonomi kreatif, sehingga Kota Makassar dapat menjadi kiblat
ekonomi kreatif dibidang kuliner untuk generasi muda sehingga dapat
terwujudnya “Makassar Creative City of Gastronomy” serta membantu
masyarakat agar dapat mendeskripsikan konsep pembangunan perkotaan secara
bottom up, hal ini membantu kota sekunder untuk dapat mendefinikan sendiri
konsep pembangunan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhannya tanpa harus
mencontoh transformasi

4
kota di negara-negara lain. Maka dari itu dianggap perlu melakukan penelitian
mengenai “Studi Kesiapan “Creative City of Gastronomy” di Kota Makassar
Dari Persepsi Ekonomi Kreatif”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu : Bagaimana kesiapan “Creative City of Gastromy” di Kota
Makassar dari persepsi ekonomi kreatif?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah: Mengetahui
sejauh mana kesiapan Kota Makassar dalam mewujudkan kota kreatif
kuliner/gastronomi yang terjaring di UCCN berdasarkan persepsi ekonomi
kreatif.
D. Ruang Lingkup /Batasan Masalah
Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari ruang lingkup materi dan ruang
lingkup wilayah. Ruang lingkup materi bertujuan untuk menjelaskan batasan dan
cakupan penelitian, sedangkan ruang lingkup wilayah bertujuan untuk membatasi
lingkup wilayah kajian.
1. Ruang Lingkup Materi
Secara umum, lingkup substansi materi dari penelitian ini yaitu mengkaji
tentang kesiapan Kota Makassar dalam mewujudkan “Creative City of
Gastronomy” khususnya Coto Makassar dan Sop Saudara melalui pelaku industri
kreatif subsektor kuliner yang ditinjau dari persepsi ekonomi kreatif yang dapat
memformulasikan kota kreatif.
2. Ruang Lingkup Wilayah
Lokasi penelitian yang menjadi objek studi adalah Kota Makassar, Provinsi
Sulawesi Selatan.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat berisi penjelasan manfaat yang akan diperoleh dari penelitian
yang akan dilakukan terutama kontribusinya dalam meningkatkan pemahaman
tentang topik penelitian, pengembangan ilmu, pengetahuan secara keseluruhan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan dan bagi
pembangunan bangsa dan negara.

5
1. Memberikan masukan bagi stakeholder dalam rangka pengembangan secara
berkelanjutan dengan melihat kesiapan Kota Makassar agar terwujudnya cita-
cita “Makassar Creative City of Gastronomy” dalam jejaring UCCN.
2. Menjadi motivasi bagi masyarakat agar dapat ikut berpartisipasi dalam
pengembangan kota kreatif kuliner dan masyarakat dapat mendeskripsikan
konsep pembangunan kota secara bottom-up, hal ini membantu kota sekunder
untuk dapat mendefinikan sendiri konsep pembangunan yang sesuai dengan
karakter dan kebutuhannya tanpa harus mencontoh transformasi kota di negara-
negara lain.
3. Sebagai referensi bagi peneliti yang akan melakukan penelitian serupa.
F. Kajian Pustaka
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dari penelitian-penelitian
terdahulu yang terkait dengan kota kreatif dan ketersediaan ruang publik. Untuk
lebih jelasnya dapat di lihat pada table berikut:

6
Tabel 1. Kajian Pustaka
Metode Peenelitian
Judul, Nama, Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Teori Pendukung
No Tahun Penelitian Variabel Metode Analisis
1 Peran Bandung Bagaimana peran Mengetahui peran 1. City Branding 1. Bandung Creative Hub Metode Analisis
Creative Hub infrastruktur Bandung Creative Hub adalah proses 2. Bandung Creative City Deskriptif Kualitatif
Dalam Membangun penunjang kegiatan dalam proses mengarahkan citra Forum
City Branding Kota suatu kota dalam pembentukan city suatu kota menjadi 3. Dinas Kebudayaan dan
Bandung Sebagai membangun city branding Bandung suatu identitas Pariwisata Kota Bandung
Kota Kreatif , Rizki branding Kota sebagai Kota Kreatif (Anholt, 2005) 4. Komunitas/Organisasi
Audina, Nur Atnan Bandung? 2. Kota kreatif adalah rumah Ekonomi Kreatif
, 2019 bagi kelas kreatif (Florida,
2 Peran UCCN Bagaimana Peran 1.Mendeskripsikan peran 2002) 1. Peran UCCN 1. Metode Analisis
(Unesco Creative UCCN (UNESCO UCCN sebagai aktor 2. Faktor agriculture Deskriptif Kualitatif
City Network) Creative City internasional dalam 1. Beberapa Kota juga ingin 3. Perkembangan 2. Analisis data
Dalam Mendukung Network) dalam mendukung kebijakan agar UCCN meningkatkan Tourism sekunder
Kebijakan Creative Mendukung pengembangan Kota pengaruh internasionalnya agar
City Di Kota Chiang Kebijakan Creative Kreatif Chiang Mai. dapat turut menawarkan
program-program kolaborasi
konkret yang dapat memberi
Mai (Thailand), City di Kota Chiang 2.Mendeskripsikan peran dampak terhadap pertukaran
Binanda Firsty Mai? UCCN sebagai budaya dan pembangunan
Alamanda, 2019 instrument yang ekonomi di antara kota anggota
mendukung kebijakan (Charles Landry)
pengembangan Kota 2. Bukan hanya bagaimana
Kreatif Chiang Mai. sebuah kota terbentuk tetapi
3.Mendeskripsikan juga bagaimana dapat
peran dann dampak meningkatkan pengalaman
UCCN sebagai arena/ hidup para masyarakat kota.
wadah kolaborasi dalam (Patrick Geddes, Lewis
mendukung kebijakan Mumford dan Jane Jacobs)
pengembangan Kota
Kreatif Chiang Mai.

3 Kota Kreatif Dan Studi Kasus: Dan Bagaimana gambaran kota nya Denganberkembangny
Strategi Kota kreatif dan strategi a ekonomi kreatif,
Keberlanjutannya Yogyakarta keberlanjutan pengembangan- maka Kota Kreatif

10
dapat berkembang. Riset Kota Kreatif, kreatif, ada beberapa 1. Pengembangan Ekonomi Kreatif 1. Metode
ini ingin mengetahui menganjurkan untuk hal yang dapat Kota Kreatif Bandung deskriptif kualitatif –
mencapai lingkungan dilakukan misalnya: dan Yogyakarta fenomenologi.
dan atmosfer yang mengubah 2. Kebijakan Terhadap 2. Analisis Naratif

11
Bandung, Dimas di kota Yogyakarta, bagaimana fenomena rintangan menjadi kreatifitas, 3. Ruang Publik 3. Analisis Data
Hastama Nugraha, dengan mengambil Kota Kreatif di menciptakan lebih banyak lagi 4. Peran Masyarakat Sekunder
2016 benchmark di Yogyakarta, dengan individu- individu kreatif, dan Komunitas
Bandung, Jawa mengambil menggunakan katalisator baik
benchmark
Barat? di Bandung ruang fisik maupun ruang
non-
fisik, menyeimbangkan
konsep
kosmopolitan dan lokalitas,
partisipasi
masyarakat,infrastruktur yang
memadai, dan manajemen
birokrasi. (Charles Landry,
1995)
4 KOTA KREATIF 1. Bagaimana 1. Untuk menyelidiki Kota menjadi tempat 1. Ekonomi Kreatif Metode Analisis
(CREATIVE CITY) melihat sejauh bagaimana konsep bagi manusia untuk 2. Creative Class Deskriptif
Penelusuran mana Kota beraktivitas (Golongan/Individu Kualitatif
terhadap Konsep Bandung dapat Kreatif dapat menjalankan kehidupannya Kreatif)
Kota Kreatif melalui mengambil dijalankan sehari-hari untuk memenuhi 3. Lingkungan Kreatif
Pengamatan Studi London sebagai konsep kebutuhan mereka dan
Kasus, Miranti sebagai sebuah pengembangan kota. mengembangkan potensi,
Manisyah, 2009 contoh 2. Memberikan aspirasi, mimpi dan ide
pengembangan gambaran mengenai mereka.
Kota strategi-strategi (Charles Landry, 1995)
Kreatif kreatif
2. Bagaimana dalammengembangka
mengetahui aspek- n
aspek apa saja konsep Kota Kreatif
yang melalui penelusuran
berperan dalam terhadap Creative
membangun Kota London yang dapat
Kreatif. dijadikan sebagai
contoh
pengembangan
Kota Kreatif bagi kota
Bandung.

12
5 Pengembangan 1. Bagaimana Untuk mengetahui Kekuatan kolaboratif muncul 1. Ketua BCCF 1. Metode
Bandung Kota mengidentifikasi peran komunitas kreatif jika, (1) adanya perpaduan 2. Pengurus BCCF, Analisis Data
Kreatif Melalui munculnya BCCF BCCF dalam pemikiran melalui proses 3. Anggota BCCF Kualitatif dengan
Kekuatan yang dapat pengembangan komunikatif dan interaktif 4. Non anggota melaku-kan reduksi
Kolaboratif menstimulasi Bandung sebagai Kota dalam pemecahan masalah BCCF, Data
Komunitas , kreativitas sistem Kreatif dengan maupun penyusunan rencana, 5. Masyarakat umum 2. Interpretasi
Freska Fitriyana, jejaring sebagai mengidentifikasi proses (2) kekuatan kolaboratif 6. Pemerintah Kota Data dengan teknik
2012 kekuatan kolaboratif munculnya BCCF muncul jika adanya komitmen Bandung analisis data
2. Bagai sebagai kekuatan yang sama dari semua pihak, dilakukan melalui
mana kolaboratif serta kemitraan yang tidak analisis isi
mengidentif mengidentifikasi proses berhirarkis serta semua pihak (ContentAnalysis)
ikasi faktor- komunikasi gagasan memiliki peran yang sama, dan dan analisis ring-
faktor yang yang dihasilkan BCCF (3) terjadi berbagi sumber kasan (Summary
mempengar baik kepada masyarakat daya (Healey 2006, Lowry Analysis).
uhi maupun Pemerintah dalam Bertha 2010, dan
munculnya Marullo 2009).
kekuatan
kolaboratif
3. Bagaimana
mengidentifikasi
strategi proses
komunikasi dalam
menyampaikan
gagasan kepada
berbagai pihak yang
meliputi penilaian
proses difusi
horisontal dan
vertical

6 Identifikasi 1. Bagaimana 1. Untuk 1. Menurut Lesil (2016), 1. Karakteri Metode yang


Pengaruh karakteristik ruang mengetahui karakteristik Ruang Terbuka Hijau (RTH) stik Ruang Terbuka digunakan dalam
Publik
Karakteristik Ruang terbuka publik Ruang Terbuka Publik adalah bagian dari ruang publik 2. Pola penelitian ini yaitu
Terbuka Publik berdasarkan berdasarkan karena pada dasarnya ia bersifat Bentukan Aktivitas dekskriptif kualitatif
Terhadap Pola bentuk,fungsi dan tip bentuk,fungsi dan tipe terbuka, ruang umum yang 3. Elemen dengan teknik analisis
Aktivitas Di terhadap pola aktivita terhadap pola aktivitas berada di luar bangunan dan Yang Mempengaruhi behavior setting.

13
Kawasan Bantaran yang ada di kawasan yang ada di kawasan merupakan bagian dari kota Pemanfaatan Ruang
Sungai Silo. Ariani, bantaran sungai silo? bantaran Sungai Silo. yang berfungsi secara ekologis.
Sarah. 2019 2. Faktor-faktor 2. Untuk
apa saja yang mengetahui faktor-
mempengaruhi faktor yang

14
ruang terbuka publik mempengaruhi Ruang
terhadap pola Terbuka Publik
aktivitas di kawasan terhadap pola aktivitas
bantaran Sungai di kawasan bantaran
Silo? Sungai Silo.

7 Strategi 1. Bagaimana 1. Mengetahui sejauh Menurut kementerian 1. Aparatur Menggunakan


Pengembangan Kota peran pemerintah mana peran pemerintah Perdagangan (2008, dalam pemerintah daerah, pendekatan penelitian
Kreatif Di daerah (kota) dalam daerah Bekraf 2016) ekonomi kreatif 2. Komunitas kota kualitatif yang
Indonesia: mewujudkan kota (kota/kabupaten) dimaknai sebagai upaya kreatif, melihat gambaran
Perspektif Pemajuan kreatif? dalam upaya untuk pembangunan ekonomi secara 3. Akademisi, dan secara holistik dari
Kebudayaan, Ihya 2. Bagaimanaka mewujudkan kota berkelanjutan dengan objek penelitian
Ulumuddin, M.Si. , h strategi yang kreatif. kreativitas dan iklim Pelaku usaha ekonomi dalam menjelaskan
Sugih Biantoro, digunakan oleh perekonomian yang berdaya kreatif. fenomena sosial yang
M.Hum. , Khairur pemerintah daerah 2. Merumu saing serta memiliki diteliti.
Raziqin, ME, (kota) untuk skan strategi sumberdaya yang terbarukan.
Novirina R.U, 2020 memajukan kota pengembangan
kreatif yang selaras kota kreatif di
dengan tujuan Indonesia yang
pemajuan sesuai dengan
kebudayaan? tujuan
pemajuan
kebudayaan.

8 Implementasi Konsep Bagaimana Tujuan penelitian adalah Tikson (2005) dalam Kartono Berdasarkan Parameter Metode Analisis
Kota Kreatif di Kota Ketersediaan dari menganalisis kondisi dan Nurcholis (2016) Kota Kreatif (Ekonomi Deskriptif Kualitatif
Bogor, Rana Keterlibatan dan eksisting Kota Bogor menyatakan bahwa Kreatif, Lingkungan
Fanindya Putri Keterkaitan berdasarkan parameter Pembangunan kota melalui Kreatif dan Golongan
Murad, Indarti Stakeholder Dalam kota kreatif serta kebijakan dan strategi yang Kreatif)
Komala Dewi, Menciptakan Kota menganalisis keterlibatan tepat dan sesuai dengan tujuan
Janthy Trilusianthy Kreatfi di Kota dan keterkaitan yang diharapkan, akan dapat
Hidayat, 2021 Bogor? stakeholder dalam mempengaruhi sektor ekonomi,
mewujudkan Kota Bogor sosial serta budaya kota
sebagai Kota Kreatif menjadi kreatif.

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Creative City (Kota Kreatif)


1. Konsep Kota Kreatif

Kota adalah wahana untuk penduduknya dalam beraktivitas, berinovasi


serta berkreasi. Kreativitas merupakan faktor penting dalam pembangunan
ekonomi kota. Untuk menumbuhkan perilaku kreatif dalam perekonomian kota
diperlukan dukungan simultan dari semua elemen baik pemerintah, pelaku
ekonomi, maupun masyarakat (Carta, 2007).
Kreatif secara epistemologi berarti sebuah kemampuan untuk membuat
sesuatu yang baru, namun membutuhkan ekosistem pendorong untuk
melakukannya, dan bersifat individual. Sehingga yang dimaksud Kota Kreatif
adalah kota yang memiliki berbagai ekosistem kreatif yang mampu memicu
sebuah kota untuk menggerakkan sumber daya manusia (individu) yang ada
didalamnya untuk memiliki kemampuan dalam membuat sesuatu yang baru.
Kreativitas tak dapat lepas dari aktivitas manusia karena untuk
merealisasikan gagasan kreativitas, manusia melakukan kegiatan kreatif.
Sedangkan untuk melakukan kegiatan, manusia membutuhkan ruang sebagai
wadahnya. Ruang inilah yang kemudian membentuk setting yang dapat mengatur
kehidupan, aktivitas dan hubungan manusia. Setting yang dimaksud dalam hal ini
adalah bagaimana sebuah tempat dirancang dengan tujuan tertentu dan ruang yang
terdapat di dalamnya membentuk tindakan manusia di dalamnya (Lawson, 2003).
Hal ini sesuai dengan yang dijabarkan oleh Kiswandono (2005) bahwa ruang
secara fisik dapat memfasilitasi aktivitas mengubah ide ke produk kreatif yang
nyata. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ruang fisik dapat menjadi wadah segala
aktivitas ekspresi kreativitas sekaligus pendorong proses kreatif manusia dalam
mewujudkan ide menjadi produk kreatif yang nyata.
Permasalahan yang timbul dalam kehidupan berkota, seperti kesenjangan
sosial dan kesemrawutan kota akibat meningkatnya penduduk, mendorong
masyarakatnya untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan memikirkan jalan

16
keluarnya. Permasalahan dan tantangan yang timbul di kota menjadi dorongan
bagi masyarakat untuk mengatasinya dengan cara yang kreatif dan inovatif.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Charles Landry menyatakan bahwa
salah satu solusinya adalah perencanaan kota yang dapat mendorong suatu kota
untuk berkembang menjadi lebih atraktif. Perancangan kota juga merupakan
strategi untuk mendorong masyarakat kota untuk lebih berinteraksi dan
berpartisipasi dalam menghasilkan dan mengembangkan sebuah konsep kota yang
baru. Untuk itu, perencanaan suatu kota memerlukan pemikiran yang kreatif dan
inovatif dengan memperhatikan aspirasi warga kota mengenai kebutuhan mereka
dan mempertimbangkan kehidupan keseharian masyarakat serta perubahan gaya
hidupnya (Landry, 2006). Penggunaan istilah Kota Kreatif ini sendiri dimulai
pada awalnya oleh Charles Landry dalam bukunya The Creative City: A Toolkit
for Urban Innovators tahun 1995.
Maka dari itu, untuk menjadi sebuah Kota Kreatif, Landry dan Bianchini
(1995) menganjurkan beberapa hal yang dapat dilaksanakan oleh sebuah kota
dalam usahanya untuk menciptakan lingkungan dan atmosfir yang kreatif, antara
lain:
a. Mengubah rintangan menjadi kreativitas.
Sebuah rintangan adalah kesempatan, rintangan dapat menjadi bahan
pemikiran kreatif dengan menganalisisnya secara kritis dan imajinatif,
sehingga menghasilkan suatu penemuan solusi sebagai hasil pemikiran
kreatif. Jadi rintangan tidak hanya menjadi penghalang, melainkan juga
pendorong untuk menimbulkan pemikiran kreatif.
b. Menciptakan lebih banyak lagi individu-individu kreatif.
Konsep Kota Kreatif ini juga membutuhkan individu-individu yang
kreatif, dimana individu inilah yang kemudian mengolah kota dan
lingkungannya, sehingga terbentuk lingkungan yang kreatif. Sesuai dengan
bahasan kreativitas didepan, telah ditunjukkan bahwa setiap orang sebenarnya
memiliki kemampuan kreatif ini, hanya saja bukan saja faktor bakat yang
menjadi penting tetapi juga faktor motivasi, yang mengakibatkan orang
kurang menggali kemampuannya sendiri. Padahal dengan semakin banyak
individu

17
kreatif, semakin maju pula sebuah daerah. Sebab daerah tersebut diolah
dengan pemikiran kreatif yaitu memanfaatkan peluang dan potensi secara
kreatif. Perlu diadakan suatu eksperimen untuk mendorong masyarakat agar
memiliki pandangan yang lebih kritis dan imajinatif.
c. Menggunakan katalisator berupa ruang kreatif baik fisik maupun non-fisik.
Ruang kreatif disini berupa ruang yang inspiratif yang berperan dalam
proses kreatif manusia dan ruang yang dapat mewadahi kegiatan mengubah
ide menjadi produk kreatif. Ruang tersebut juga dapat berperan untuk
mendorong interaksi manusia dimana manusia dapat bertukar pendapat dan
nilai-nilai sehingga mereka dapat saling belajar dan mempengaruhi. Contoh
dari ruang fisik yang dapat mewadahi kegiatan kreatif dan menarik orang
untuk berinterkasi adalah ruang publik (public spaces), sedangkan kegiatan
organisasional dapat menjadi ruang non-fisik yang memfasilitasi interaksi
sosial.
d. Menyeimbangkan kosmopolitanisme dan lokalisme kota.
Sebagai akibat dari makin majunya kota, kita terkadang tidak sadar bahwa
nilai-nilai lokal yang kita miliki makin lama makin tergantikan oleh nilai-nilai
baru yang lebih modern. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan nilai-nilai
baru ini, hanya saja yang disayangkan adalah hilangnya nilai-nilai lama.
Untuk itu, sebuah kota harus bisa menyeimbangkan antara kosmopolitanisme
dan nilai-nilai lokal. Jika identitas lokal terlalu banyak terkikis, maka kota
akan kehilangan ciri khas dan dasar pendiriannya. Oleh karena itu, prakarsa
internasional harus dibangun dengan tujuan memperkuat budaya lokal dan
menunjukkan kekhasan dari kota tersebut. Sehingga tercipta
kosmopolitanisme yang kontekstual.
Dengan keragaman budaya, hal ini dapat mendorong terjadinya proses
kohesi sosial yang inklusif. Selain itu, warga kota akan lebih terpacu untuk
dapat terlibat dan berpartisipasi dalam melakukan serangkaian eksplorasi
penciptaan nilai-nilai yang baru, karena proses interaksi budaya juga dapat
mendorong terjadinya proses negosiasi, adaptasi dan perubahan. Adapun
kegiatan yang dapat dilakukan untuk mempertinggi kemampuan untuk mau

18
menerima ide- ide baru, keterbukaan pikiran dan mewujudkan kota yang
berorientasi internasional, antara lain hubungan perdagangan, keanggotaan
pada jaringan kota dunia, pertukaran budaya dan pendidikan, kompetisi
internasional yang mengikusertakan kota-kota dari berbagai belahan dunia.
e. Partisipasi masyarakat yang tidak hanya sekedar slogan.
Peran partisipasi disini adalah dalam menumbuhkan rasa kepemilikan dari
masyarakat terhadap lingkungan kotanya, dimana masyarakat lebih berperan
sebagai stakeholder. Sosialisasi dan dukungan dari masyarakat dapat
diperoleh ketika mereka sendiri merasa terlibat dan merasakan manfaatnya
langsung dari kegiatan atau proyek yang melibatkan mereka. Hal ini
dilakukan untuk menumbuhkan rasa kepemilikan dan kesadaran bahwa
sebuah kota akan berhasil jika masyarakatnya juga berhasil ‘diatur’.
Maksudnya adalah sebuah kota yang merupakan kumpulan manusia dan
hubungan didalamnya (manusia dengan manusia dan manusia dengan
lingkuangan sekitarnya) dan bukanlah kumpulan bangunan atau jalan seperti
yang selama ini ditunjukkan dalam perencanaan kota, tetapi pengaturan
elemen fisik tadi juga secara tidak langsung mengatur manusia dan
kegiatannya. Untuk itu, partisipasi masyarakat disini sangat penting dan
bukanlah sekedar slogan. Apalagi untuk kota kreatif yang konsepnya berbasis
pada kultural dan kontekstual (liat pembahasan sebelumnya mengenai konsep
kota kreatif). Dengan begini, maka akan lebih mudah untuk mengembangkan
kota ke arah yang lebih baik.
f. Penyediaan layanan dan infrastruktur yang baik.
Untuk menunjang perencanaan kota, dibutuhkan adanya layanan dan
infrastruktur yang baik. Sehingga kelangsungan kegiatan didalam kota
tersebut dapat terjaga, apakah itu kegiatan kreatif atau bukan.
g. Manajemen birokrasi yang praktis dan efektif.
Birokrasi pemerintahan yang berbelit-belit dapat menghalangi kemudahan
warganya dalam menampilkan atau memamerkan produk kreativitasnya.
Dengan birokrasi yang praktis dan efektif akan menciptakan suasana kreatif
yang terorganisasi dan kompak, baik dari pihak kreator maupun pihak
pemerintah.

19
Dari penjabaran tersebut, dapat disimpulkan untuk mengembangkan Kota
Kreatif membutuhkan manajemen urban sebagai katalisator individu atau
golongan kreatif dengan mengembangkan ruang kota sebagai langkah untuk
menarik partisipasi mereka dengan menyediakan ruang dan tempat berkegiatan
yang fleksibel dan berkualitas.
2. Parameter Kota kreatif

Parameter dapat menjadi instrumen yang dapat mengategorikan sebuah


kota yang berpeluang menjadi Kota Kreatif. Landry (2006) menyebutkan tiga
aspek penting yang dapat memformulasikan Kota Kreatif, antara lain:
a. Ekonomi Kreatif
Landry (1995) menyatakan bahwa ekonomi kreatif menyandarkan
aktifitasnya pada proses penciptaan dan transaksi nilai. Menurut Howkins
(2002), Ekonomi Kreatif merepresentasikan transisi ide dan ekspresi
kreativitas menjadi suatu produk yang memiliki nilai komersial yang juga
merupakan intellectual property. Yang termasuk ke dalam intellectual
property antara lain desain, arsitektur, fashion, periklanan, percetakan dan
penerbitan, televisi dan radio, kuliner, seni rupa dan kriya, film, video,
animasi, musik, fotografi, peranti lunak, hiburan interaktif, mainan, seni
pertunjukan, serta riset dan pengembangan.
Menurut kementerian Perdagangan (Bekraf 2016) ekonomi kreatif
dimaknai sebagai upaya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan dengan
kreativitas dan iklim perekonomian yang berdaya saing serta memiliki
sumberdaya yang terbarukan. Kemudian Bekraf melakukan perubahan
definisi, yaitu ekonomi yang digerakkan oleh kreativitas yang berasal dari
pengetahuan dan ide yang dimiliki oleh sumber daya manusia untuk mencari
solusi inovatif terhadap permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya,
merumuskan empat elemen sumber daya manusia yang menjadi aktor aktif
dalam mendorong kemajuan ekonomi kreatif; pemerintah, akademisi,
komunitas, serta pelaku usaha yang disebut dengan quadruple-helix.
Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, Bekraf merumuskan ada
16

20
sub-sektor dari industri kreatif yaitu; aplikasi dan pengembang game;
arsitektur; desain interior; desain komunikasi visual; desain produk; fashion;
film, animasi, dan video; fotografi; kriya; kuliner; musik; penerbitan;
periklanan; seni pertunjukan; seni rupa; televisi dan radio. Sebagai inti dari
ekonomi kreatif, industri kreatif dapat didefinisikan sebagai industri yang
berkaitan dengan eksplotasi ide menjadi produk dengan nilai ekonomi yang
tinggi. Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008)
mengelompokkan industri kreatif ke dalam 14 sub sektor yaitu periklanan,
arsitektur, seni dan pasar barang seni, kerajinan, desain, fashion, film,
fotografi dan video, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan,
layanan computer dan piranti lunak, riset dan pengembangan serta permainan
interaktif.
Industri kreatif telah memberikan kontribusi ekonomi yang cukup tinggi.
Untuk mengukur ekonomi dan analisis struktural salah satu indikatornya
adalah lapangan pekerjaan, dengan membandingkan antara lapangan kerja
industri kreatif desain dengan industri (UNESCO, 2009). Evans (2009)
menyebutkan bahwa kota kreatif memiliki lapangan kerja 2-5% pada tingkat
nasional dan 5-15% pada tingkat kota, serta memiliki tenaga kerja dengan
persentase sebesar 40- 50%.
b. Creative Class (Golongan Atau Individu Kreatif)
Sumber daya manusia merupakan hal yang penting dalam pengembangan
Kota Kreatif (Landry, 2006). Creative Class yang membangkitkan kekritisan
dalam kehidupan berkota, bagaimana mereka berperan dalam menemukan
solusi kreatif untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari
dalam kehidupan berkota. Florida (2005) menyatakan Creative Class perlu
dipelihara dengan memberikan lingkungan yang kondusif bagi mereka untuk
kegiatan pengembangan kreativitas, jika tidak mereka akan berpindah ke
lingkungan lainnya yang merupakan pusat dari kegiatan kreatif. Landry
(2006) juga menyatakan pentingnya lingkungan kota yang dapat mendukung
kegiatan kreatif masyarakatnya dengan menyediakan apa yang mereka
butuhkan.
Hildebrand Frey (1999) menyebutkan beberapa hirarki kebutuhan manusia
menurut Maslow (Maslow’s hierarchy of human needs) yaitu penyediaan
21
kebutuhan fisik yang memberikan rasa aman; lingkungan sosial yang
kondusif; kesempatan untuk menjadi kreatif; dan lingkungan yang
menyenangkan secara estetis. Disini terlihat keterkaitan antara kebutuhan
manusia dengan lingkungannya sebagai wadah berhabitasi.
c. Lingkungan Kreatif
Peningkatan aspek lingkungan urban yang merupakan wadah dari kegiatan
ekonomi dan sosial. Landry (2006) menyatakan bahwa untuk menciptakan
atmosfer kota yang inspiratif dibutuhkan dukungan berupa lingkungan psikis
dan lingkungan fisik dimana masyarakat dapat berkreativitas dengan optimal.
Lingkungan psikis terkait dengan sikap sosial yaitu dukungan dan toleransi
terhadap kreativitas dari pemerintah kota dan masyarakat dalam mewujudkan
kota kreatif. Sedangkan lingkungan fisik terkait dengan fasilitas atau ruang
yang mewadahi kegiatan manusia berkreativitas. Lingkungan menjadi
panggung dan wadah, dimana aktivitas mengambil tempat dan berkembang.
Lingkungan yang inspiratif dapat mempengaruhi pengalaman ruang manusia,
dimana manusia merasa nyaman dan terdorong untuk mengeluarkan ide-ide
kreatifnya.

Ketiga aspek tersebut menjadi penting karena aspek tersebut mencakupi


semua yang ada pada kota yaitu terkait dengan aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan. Terdapat keterkaitan antara ketiga aspek tersebut yaitu Creative Class
berperan dalam pengembangan ekonomi kreatif dimana mereka-lah yang
berkreativitas sehingga menghasilkan produk berupa intellectual property yang
memiliki nilai komersial. Creative Class pun membutuhkan lingkungan yang
kondusif dan inspiratif sehingga mereka dapat melakukan kegiatan kreatif.
Lingkungan juga dibutuhkan sebagai wadah aktivitas ekonomi kreatif dimana
manusia dapat mengembangkan produk kreatifnya.

3. UNESCO Creative City Network (UCCN)

United Nation, Educational, Scientific and Cultural Organization


(UNESCO) adalah badan khusus yang dibentuk oleh PBB yang memiliki kontribusi

22
untuk membangun perdamaian, mengurangi kemiskinan, mewujudkan
pembangunan berkelanjutan, dan juga melakukan dialog antar budaya melalui
pendidikan, sains, budaya, komunikasi dan informasi. Sebagian besar tugas
UNESCO lainnya adalah, mengembangkan negara-negara anggotanya yang tidak
hanya berfokus pada negara termiskin saja namun juga bersikap adil dalam
kesamarataan negara anggota. Sebagai organisasi internasional, UNESCO
memiliki visi yang tertera dalam konstitusinya yaitu ““...Since wars begin in the
mind of men, it is in the minds of men that the defenses of peace must be
constructed...”. Yang memiliki arti bahwa UNESCO memili keyakinan penuh
akan kesempatan yang setara dalam bidang pendidikan, pertukaran ide maupun
wawasan sehingga dapat meningkatkan sarana komunikasi antar masyarakat yang
lebih baik untuk mencapai perdamaian dunia.
Kota kreatif dianggap sebagai solusi yang dapat mengatasi tantangan
persaingan ekonomi global pada saat ini. Hal ini mengakibatkan kota kreatif
dijadikan sebagai panduan bagi kota-kota industri yang sedang berjuang pada
perubahan konsumsi dan produksi di daerah perkotaan. Maka dalam
perwujudannya, dibutuhkan kerjasama bukan hanya antar pemerintah dan
masyarakatnya melainkan juga kerjasama yang baik dengan organisasi
internasional yang dapat mewadahi aspirasi negara-negara dalam mewujudkan
tujuan bersama. Dalam konteks kota kreatif, PBB yang merupakan organisasi
internasional telah membentuk UNESCO sebagai badan yang dapat menaungi
masalah-masalah pendidikan dan kebudayaan yang pada tahun 2004 membentuk
program UNESCO Creative Cities Network (UCCN) yang bertujuan untuk
memberikan dukungan dan panduan bagi kota-kota yang berada di suatu negara
untuk dapat memanfaatkan sebagian besar keanggotaannya. Dengan cara
mendorong kerjasama antar kota dinegara-negara keanggotaan lainnya untuk
berinvestasi pada bidang kreativitas guna menciptakan pembangunan yang
berkelanjutan.
UCCN merupakan suatu program yang diluncurkan oleh UNESCO pada
bulan Oktober tahun 2004, keputusan ini diambil oleh Dewan Eksekutif ke-170.
UCCN adalah program UNESCO yang dirancang untuk mempromosikan

23
pembangunan sosial, ekonomi serta budaya pada level kota dengan menggunakan
industri budaya sebagai penggeraknya. Kota-kota yang sudah menjadi anggota
UCCN juga diharuskan untuk berusaha mempromosikan budaya lokal mereka.
Dalam hal ini kota para angggota berbagi minat kreativitas budaya lokal mereka
dengan UCCN sehingga memiliki visi yang sama untuk melakukan perlindungan
keanegaraman budaya serta kegiatan promosi.
UCCN ini juga merupakan program yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Sustainable Development Goals (SDG’s) yang salah satu poinnya
adalah kota dan komunitas yang berkelanjutan. Tujuannya ialah “strengthen
cooperation with and among cities that have recognized creativity as a strategic
factor of sustainable development as regards economic, social, cultural and
environmental aspects”. Dengan demikian diketahui bahwa ada batasan
konseptual antara ekonomi kreatif dengan kota kreatif yang sama-sama
dikembangkan oleh UNESCO. Dalam dokumen yang lain dalam portal resmi
UNESCO, kota kreatif dimaknai dengan “the principal breeding grounds for the
emergence and development of cultural and creative industries”.
Kota Kreatif versi UCCN ditujukan untuk membangun kerjasama antar
kota- kota di dunia yang memiliki komitmen untuk mengembangkan
pembangunan kota berkelanjutan dengan pendekatan kebudayaan. Jejaring
tersebut diproyeksikan akan membentuk kerjasama untuk mempromosikan
kreativitas dan industri kreatif, serta penguatan elemen kultural dalam
pembangunan berkelanjutan di perkotaan. Dalam UCCN, hanya ada tujuh ranah
kreatif yang diajukan, yaitu; kriya dan kesenian tradisional, design, film, kuliner,
literatur, media kreatif, dan musik.
Dari sisi akademik, khusunya kajian sosiologi diketahui kajian kota kreatif
sudah terlacak sejak tahun 80an, khususnya melalui kajian Manuel Castells.
Melalui City, Class, and Power (1982), Castells mengkaji kota dengan perspektif
kuasa, dalam hal ini yang dikembangkan ialah kuasa modal dan kuasa negara.
Castelss menekankan pentingnya perspektif ekologis yang tidak menafikan peran
dari masyarakat dalam upaya pembangunan kota. Dalam kajian yang lain, Castells
(2000, 2010, 2016) mulai menambahkan elemen jejaring dan komunikasi dalam
konteks urban. Hal ini dipahami karena arus jejaring dan komunikasi semakin
cepat
24
dan mudah dilakukan antar tempat- tempat di dunia, terutama melalui jaringan
atau internet. Dengan demikian, globalisasi kini sudah menunjukan wajah yang
paling nyata.
Kajian selanjutnya, dilakukan oleh Florida (2004 dan 2006) membaca
perubahan besar pasca perkembangan teknologi informasi, Florida mengatakan
bahwa ke depan pertumbuhan ekonomi akan digantungkan kepada kelompok
kreatif. Menurutnya, dalam era teknologi informasi ini profesi yang dilakukan
oleh para pelaku ekonomi kreatif sabagaimana yang dijelaskan sebelumnya, akan
menjadi inti dari pertumbuhan ekonomi. Sedangkan, profesi yang bersandar pada
pengetahuan semata hanya akan menjadi komponen sekunder yang memiliki
fungsi penunjang semata.
Gambar 1. Orientasi Kota Kreatif

Sumber : Smith dan Warfield (2008)

Gambar di atas, merupakan jabaran dari Smith dan Warfield (2008)


tentang masalah problematika terkait dengan konsep kota kreatif. Dalam konteks
UNESCO diketahui bahwa lembaga tersebut mencoba memadukan kedua nilai,
namun dalam pandangan Florida, ia menekankan pada sisi ekonomi. Belakangan,
diketahui konsepsi Florida yang mengedepankan sisi ekonomi banyak dikritik
karena bagi beberapa kota, pandangan itu terbukti gagal. Bahkan pada tahun 2017,
Florida meluncurkan buku terbaru The New Urban Crisis (2017) yang merupakan
bentuk permohonan maafnya terhadap kesalahannya menganalisa tentang
ekonomi kreatif. Oleh karena itu, kota kreatif perspektif UNESCO yang
memadukan nilai kultural dan ekonomi dalam bingkai pembangunan
berkelanjutan dengan ketersediaan ruang publik (public spaces) yang memadai
menjadi peranan penting dalam studi ini.

25
B. Prasyarat Kota Kreatif
Dikutip dari laman resmi UNESCO dilansir sejumlah indikator kota kreatif
yang harus dipenuhi oleh semua kota yang mengajukan aplikasi ke UNESCO. Ke-
18 indikator kota kreatif itu antara lain:
1. Peran dan dasar-dasar bidang kreatif dalam sejarah kota.
2. Pentingnya ekonomi dan dinamika sektor budaya dan, jika mungkin, dari
bidang kreatif yang menjadi perhatian: data pada kontribusinya terhadap
pembangunan ekonomi dan lapangan kerja di kota, jumlah perusahaan budaya,
dan lain-lain.
3. Pameran, konferensi, konvensi, dan peristiwa nasional dan atau internasional
lainnya yang diselenggarakan oleh kota selama lima tahun terakhir, ditujukan
untuk para professional di bidang kreatif yang menjadi perhatian (pencipta,
produsen, pemasar, promotor, dan lain-lain.)
4. Festival, konvensi, dan acara skala besar lainnya yang diselenggarakan oleh
kota dalam lima tahun terakhir di bidang kreatif yang menjadi perhatian dan
ditujukan pada penonton lokal, nasional, dan atau internasional.
5. Mekanisme, kursus, dan program untuk mempromosikan pendidikan
kreativitas dan seni bagi kaum muda di bidang kreatif yang menjadi perhatian,
baik dalam sistem pendidikan formal maupun informal.
6. Belajar seumur hidup, pendidikan tinggi, sekolah kejuruan, sekolah musik dan
drama, residensi dan pembentukan pendidikan tinggi lainnya yang
mengkhususkan diri di bidang kreatif yang menjadi perhatian.
7. Pusat penelitian dan program di bidang kreatif yang menjadi perhatian.
8. Ruang dan pusat kreasi yang diakui, produksi, dan penyebaran kegiatan barang
dan jasa di bidang kreatif yang menjadi perhatian, di tingkat profesional
(misalnya inkubator perusahaan budaya, kamar dagang).
9. Fasilitas utama dan ruang-ruang budaya yang didedikasikan untuk berlatih,
promosi, dan sosialisasi di bidang kreatif yang menjadi perhatian dan ditujukan
untuk masyarakat umum dan atau pemirsa tertentu (pemuda, kelompok rentan,
dan lain-lain.).
10. Menunjukkan maksimal tiga program atau proyek yang dikembangkan oleh
kota dalam lima tahun terakhir untuk mempromosikan partisipasi yang lebih
luas
26
dalam kehidupan budaya, khususnya di bidang kreatif yang menjadi perhatian,
terutama yang ditujukan kelompok sosial yang rentan atau tidak beruntung.
11. Menunjukkan maksimal tiga program atau proyek yang dikembangkan dalam
lima tahun terakhir di bidang kreatif yang bersangkutan yang telah membantu
dan atau memperkuat hubungan kerja sama antara kota, sektor swasta,
pencipta, masyarakat sipil, dan atau akademisi.
12. Peran profesional utama dan organisasi masyarakat sipil non-pemerintah yang
aktif dalam kota di bidang kreatif yang menjadi perhatian.
13. Kebijakan dan langkah-langkah utama yang dilakukan kota dalam lima tahun
terakhir untuk meningkatkan status pencipta dan mendukung karya kreatif
khususnya di bidang kreatif yang menjadi perhatian.
14. Kebijakan dan langkah-langkah utama yang dilakukan oleh kota dalam lima
tahun terakhir untuk mendukung pendirian dan pengembangan industri budaya
lokal yang dinamis di bidang kreatif yang menjadi perhatian.
15. Inisiatif kerjasama internasional utama di bidang kreatif yang menjadi
perhatian, dikembangkan dengan kota dari berbagai Negara dalam lima tahun
terakhir.
16. Mekanisme dukungan, program, dan proyek yang dilakukan oleh kota dalam
lima tahun terakhir dengan mendirikan sinergi antara bidang kreatif yang
menjadi perhatian dengan sedikitnya satu bidang kreatif lainnya yang
difasilitasi oleh jaringan (cross-cutting atau proyek lintas sektoral).
17. Inisiatif kerjasama internasional dan atau kemitraan yang dikembangkan dalam
lima tahun terakhir yang melibatkan sedikitnya dua dari tujuh bidang kreatif
yang difasilitasi oleh jaringan (cross-cutting atau proyek lintas sektoral).
18. Fasilitas utama dan ketersediaan infrastruktur dan acara, seperti pameran,
konferensi, dan konvensi, yang diselenggarakan oleh kota dalam lima tahun
terakhir dengan tujuan mempromosikan bidang kreatif yang dicakup oleh
jaringan daripada bidang kreatif utama yang menjadi perhatian oleh aplikasi.
Semua kota yang memenuhi indikator tersebut akan bergabung menjadi
bagian dari anggota UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Menurut
Mission Statement Bologna Creative Cities Meeting, Creative Cities Network ini
bertujuan

27
untuk memperkuat kreasi, produksi, distribusi dan menikmati barang-barang dan
layanan budaya pada level lokal.
Selain itu, mempromosikan kreativitas dan ekpresi kreatif khususnya di
tengah kelompok rentan, termasuk perempuan dan generasi muda; meningkatkan
akses dan partisipasi dalam dan untuk kehidupan budaya sama baiknya dengan
menikmati barang-barang budaya itu sendiri; serta mengintegrasikan budaya dan
industri kreatif ke dalam rencana pembanguan lokal.
C. Kota Kreatif Gastronomi
Gastronomi atau tata boga merupakan seni atau ilmu makanan yang baik
(good eating) (Gilleisole, 2001). Dibandingkan dengan istilah kuliner, mungkin
kata gastronomi memang terdengar agak asing di telinga. Meski secara ranah
hampir mirip, namun istilah “Kota Gastronomi” berbeda dengan “Kota Kuliner”.
Secara umum, gastronomi merupakan ilmu yang membahas tentang
kebiasaan makan yang baik (good eating habit) atau bisa juga dikaitkan sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan makanan dan minuman. Namun,
gastronomi bukan hanya soal makanan dan minuman yang dihidangkan di atas
meja, tapi ilmu yang mempelajari seluk beluk cerita dibalik makanan itu sendiri,
mulai sejarah makanan, asal bahan pangan, pengolahan, cara masak hingga
bagaimana makanan itu dimakan.
Indonesia Gastronomy Network menjabarkan bahwa Gastronomi adalah
kebiasaan makan yang baik yang berasal dari suatu wilayah atau daerah yang
berkaitan dengan budaya setempat dan pangan lokalnya. Misalnya di daerah
pesisir, masyarakat di sana kebanyakan memakan hidangan laut atau seafood.
Artinya, gastronomi juga berkaitan erat dengan letak geografis suatu daerah,
budaya dan tentu saja kearifan lokal masyarakatnya.
Gastronomi merupakan ekosistem yang mencakup segala hal tentang
makanan dari hulu ke hilir. Jika dilihat dari hulu, maka gastronomi akan melihat
asal bahan pangan, misalnya bagaimana cara tanaman pangan tumbuh, dari mana
lokasi asalnya, bagaimana budidayanya. Selanjutnya juga membahas bagaimana
pangan tersebut dipanen serta bagaimana distribusinya.

28
Setelah panen, gastronomi juga melihat bagaimana pangan tersebut masuk
ke dapur dan melihat bagaimana cara mengolahnya. Hingga akhirnya bagaimana
pangan tersebut sudah menjadi makanan dan bagaimana cara makanan itu hadir di
tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian dari budaya dan tentu saja sebagai
kebutuhan sehari-hari. Jadi, gastronomi ini bicara tentang pengalaman dan
pengetahuan kita tentang makanan, bukan hanya soal rasa.
Selain tentang pangan, gastronomi juga melihat bagaimana suatu makanan
sebagai bagian dari kearifan lokal. Misalnya, masyarakat Papua mengkonsumsi
sagu atau masyarakat Nusa Tenggara Barat Timur yang mengkonsumsi jagung
sebagai makanan pokok dan lain sebagainya. Kedua, gastronomi juga melihat
bagaimana makanan sebagai bagian dari lifestyle atau gaya hidup suatu
masyarakat, contohnya adalah jika ada suatu makanan yang dikonsumsi secara
turun temurun. Ketiga, gastronomi juga melihat budaya, yaitu bagaimana tradisi
yang berkaitan dengan makanan, misalnya makanan yang juga digunakan dalam
upacara adat, untuk sesajen atau persembahan. Jadi dapat disimpulkan ada tiga
konsep gastronomi yaitu makanan, sejarah dan budaya.
Menurut UNESCO (2004) ada 9 kriteria kota kreatif gastronomi/kuliner
antara lain: (1) Adanya satu atau banyak industri kuliner yang sudah mapan; (2)
Kontribusi industri kuliner terhadap pembangunan ekonomi dan penyerapan
tenaga kerja di kota; (3) Adanya sejarah kota di bidang kuliner; (4) Adanya
festival dan acara skala besar lainnya yang diselenggarakan terkait industri
kuliner; (5) Adanya sekolah kejuruan maupun kursus di bidang kuliner; (6)
Ketersediaan fasilitas untuk pendukung pengembangan kota kreatif gastronomi.
Fasilitas yang dimaksud adalah pasar tradisional, restoran tradisional, dan pusat
oleh-oleh makanan tradisional; (7) Adanya rencana, program dan kerjasama yang
dilakukan untuk mengembangkan kota kreatif gastronomi; (8) Adanya kelompok-
kelompok masyarakat yang aktif dalam pengembangan kota kreatif gastronomi;
(9) Kemudahan pemanfaatan bahan baku lokal.
D. Definisi Kesiapan
Kesiapan adalah adalah kondisi seseorang atau individu yang membuatnya
siap memberikan respon atau jawaban di dalam cara tertentu terhadap suatu
situasi.

29
Penyesuaian pada suatu saat akan berpengaruh untuk memberikan suatu respon
(Slameto, 2010).
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesiapan memiliki
kata dasar “siap” yang berarti “sudah sedia” sedangkan kesiapan adalah kondisi di
mana orang, sistem atau organisasi siap dalam menghadapi sebuah situasi dan
melaksanakan serangkaian tindakan yang terencana. Kesiapan terjadi jika ada
ketuntasan dalam rencana, ada kecukupan dan latihan dari pelaku, serta
ketersediaan dukungan pelayanan atau system.
1) Ketuntasan dalam rencana
Tuntas memiliki arti selesai secara menyeluruh. Ketuntasan dalam rencana
berarti rencana- rencana yang dibuat harus selesai secara menyeluruh.
2) Kecukupan dan latihan dari pelaku
Kecukupan berasal dari kata dasar cukup yang artinya “dapat memenuhi
kebutuhan, tidak perlu ditambah lagi.”
3) Ketersediaan dukungan pelayanan atau sistem.
Ketersediaan (sedia), berarti sudah ada. Kesiapan suatu sarana (dukungan
pelayanan) atau sistem untuk dapat digunakan atau dioperasikan dalam waktu
yang telah ditentukan.
E. Kerangka Pikir
Kerangka pikir dibangun dari tinjauan teori sebelumnya yang
memproyeksikan jawaban dari permasalahan peneltian. Kerangka pikir terdiri dari
input, proses, dan output penelitian yang dituangkan dalam bentuk deskripsi dan
diagram alir yang dapat dilihat pada gambar berikut :

30
Creative City

Kesiapan Kota Kreatif Parameter Kota Kreatif

Ekonomi Kreatif
Kota Kreatif Lingkungan Kreatif
Gastronomi Golongan/Komunitas Kreatif

Ekonomi Kreatif

Aktivitas Industri
Kuliner
Kontribusi Industri
Kuliner
Bahan Baku Industri
Kuliner

UCCN (2019), ICCN (2019)


Siap

Cukup Observasi, Survei instansional dan Kuesioner


Siap

Tidak Analisis Skoring Likert


Siap

Kesimpulan

Gambar 2. Kerangka Pikir

31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian berdasarkan rumusan masalah adalah jenis penelitian
kuantitatif. Jenis penelitian kuantitatif dapat di artikan sebagai metode penelitian
yang memandang realita, gejala, ataupun fenomena itu dapat di klasifikasikan,
relatife tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat.
Penelitian kuantitaf merupakan jenis penelitian dengan menggunakan data- data
tabulasi, data angka sebagai bahan pembanding maupun rujukan dalam
menganalisis secara deskriptif.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang di perlukan bagi peneliti dalam menyusun karya


tulis ilmiah yang meliputi kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam penelitian.
Kegiatan tersebut seperti mencari data baik data primer maupun sekunder, serta
observasi lapangan, maka waktu penelitian dilakukan dalam kurun waktu bulan
April 2021 hingga saat ini.
2. Tempat Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.


Peneliti memilih lokasi ini karena ada banyak industri kreatif kuliner khususnya
Coto Makassar dan Sop Saudara yang tersebar diberbagai tempat yang membuat
Kota Makassar berpotensi menjadi sebuah kota kuliner.

32
Peta 1. Peta Administrasi Kota Makassar

Sumber : RTRW Provinsi Sul-Sel 2009-2025

31
C. Variabel Penelitian
Variabel dapat di artikan sebagai ciri individu, obyek, gejala yang dapat di
ukur secara kuantitatif. Variabel dipakai dalam proses identifikasi, ditentukan
berdasarkan standar kesiapan ekonomi/industri kota kreatif bersumber dari
UNESCO Creative City Networks yang terdiri dari 3 variabel dan 4 indikator.
Variabel dan indikator penelitian dalam penelitian ini yaitu
Tabel 3 Variabel dan Indikator Penelititan

Variabel Indikator
Aktivitas Industri Kuliner 1. Jumlah Industri Kuliner
Kontribusi Industri Kuliner 1. Besarnya kontribusi industri kuliner
terhadap penyediaan lapangan kerja
masyarakat
2. Besarnya kontribusi industri kuliner
terhadap penyerapan lapangan kerja
Bahan Baku Industri Kuliner 1. Lokasi asal bahan baku industri kuliner
dan tingkat kejenuhan jalan
Sumber : (ICCN, 2019), (UCCN,2019)
D. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang di gunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer bersumber dari hasil survey langsung di lokasi studi dan
hasil pengamatan responden yang terpilih (Pelaku Ekonomi/Industri Kreatif
Subsektor Kuliner). Data sekunder di peroleh dari instansi terkait di Kota
Makassar. Adapun rincian jenis data dan sumber data dalam penelitian ini yaitu:
Tabel 4 Jenis Data dan Sumber Data
Jenis Data Sumber Data
1. Data Primer a. Survey Lapangan
a. Data Aksebilitas Jalan (yang b. Survey Instansional
dilalui untuk mendapatkan bahan c. Kuesioner Kepada Pelaku Ekonomi
baku bagi industri kuliner) Kreatif (Kuliner)
b. Jumlah Industri Kuliner Coto
Makassar dan Sop Saudara
c. Kontribusi Industri Kuliner
2. Data Sekunder a. Kementerian Pariwisata dan
a. Aspek fisik dasar (Geologi, Ekonomi Kreatif
Hidrologi dan Klimatologi) b.Kantor Dinas Perindustrian dan
b. Tata Guna Lahan Perdagangan
c. Data Lapangan Kerja Industri c. Dinas Pekerjaan Umum dan Tata
Kreatif Subsektor Kuliner Ruang

34
d. Data Penyerapan Tenaga Kerja d. Badan Pusat Statistik
Industri Kreatif Subsektor Kuliner
e. Data Perdagangan & Jasa

E. Metode Pengumpulan Data


Proses pengumpulan data dan informasi yang di perlukan dalam penelitian
ini, pada prinsipnya di lakukan dengan melaksanakan observasi lapangan yaitu
dari hasil identifikasi pengamatan langsung di lokasi penelitian dan interview pada
instansi terkait guna mengumpulkan data-data yang kaitannnya dengan objek
penelitian.
1. Observasi Lapangan
Observasi lapangan merupakan metode pengamatan langsung kelokasi
studi, untuk mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan penelitian
serta mencari tahu bagaimana variabel penelitian dalam menciptakan fenomena
yang berkembang di lokasi penelitian. Observasi dilakukan untuk mengetahui
kondisi lapangan terkait industri kreatif kuliner Coto Makassar dan Sop Saudara
di Kota Makassar.
2. Survei Instansional
Survei instansional merupakan metode yang dilakukan dengan
mengumpulkan informasi dari instansi terkait tentang lokasi penelitian. Data dapat
di sajikan dalam bentuk tabulasi, gambar maupun secara deskriptif. Data yang
diperlukan berupa data aspek fisik dasar, data tata guna lahan, data perdagangan
dan jasa, dan data industri kuliner.
3. Pendekatan Kuesioner
Pendekatan Kuesioner di lakukan melalui penyebaran daftar pertanyaan
yang relevan dengan masalah yang di teliti. Kuesioner di maksudkan untuk
memperoleh data yang objektif terkait kesiapan Kota Makassar dalam mendukung
kota kreatif melalui persepsi ekonomi kreatif. Kuesioner ini diberikan kepada
Pelaku Ekonomi Kreatif/Industri Kuliner Kreatif. Untuk jelasnya kuesioner dapat
dilihat pada lampiran.

35
F. Populasi dan Sampel
1. Populasi

Populasi merupakan semua aspek ciri, fenomena, atau konsep tertentu


yang menjadi pusat perhatian. Definisi lain dari populasi adalah keseluruhan atau
totalitas objek psikologis yang dibatasi oleh kriteria tertentu (Sedarmayanti &
Hidayat, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah pelaku industri kreatif
subsektor kuliner, tokoh masyarakat (ketua camat dan lurah) dan SKPD Kota
Makassar yang terkait penelitian ini (Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata
Ruang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Pedagangan,
Dinas)
2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan sifat-sifat yang dimiliki oleh
populasi. Teknik penentuan sampel pada penelitian ini yaitu purposive sampling.
Purposive sampling yaitu pengambilan sampel secara sengaja dengan
pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2015).

G. Teknik Analisis Data


Metode analisis dalam studi kesiapan “Creative City of Gastronomy” di

Kota Makassar dari pesepsi ekonomi kreatif menggunakan metode analisis

Skoring Likert tiap parameter yang menjadi input. Analisis skoring Likert adalah

analisis yang digunakan untuk mengukur sikap, persepsi atau pendapat seseorang

atau kelompok mengenai suatu peristiwa atau fenomena sosial. Setiap jawaban

yang menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari positif sampai

negatif (Sugiyono, 2015). Masing-masing indikator ditentukan dulu parameternya

dengan membagi parameter menjadi 3, yaitu siap, cukup siap dan tidak siap.

36
H. Definisi Operasional

1. Kota Kreatif adalah kota yang secara kreatif mampu mengakumulasi dan
mengkonsentrasikan energi dari individu-individu kreatif sehingga menjadi
magnet yang menarik minat orang-orang kreatif berkelas dunia untuk tinggal,
berkolaborasi dan berkarya di kota-kota tersebut.
2. Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi yang berkembang
berdasarkan aset kreatif yang berpotensi menghasilkan pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi.
3. Standar Kesiapan Kota Kreatif Gastronomi Dari Persepsi Ekonomi
Kreatif
a. Kesiapan Aktivitas Industri Kuliner ; Kesiapan aktivitas industri kuliner
yang dimiliki oleh kota kreatif gastronomi dapat dilihat dari adanya lebih
dari satu jenis industri kuliner yang telah mapan (UNESCO, 2004).
Menurut Chengdu City of Gastronomy (2012), kesiapan kota kreatif dilihat
dari keberadaan industri kuliner yang menjadi ikon kota.
b. Kesiapan Kontribusi Industri Kuliner ; kesiapan ini dilihat dari dua hal,
yaitu kotribusi industri kuliner terhadap penyediaan lapangan kerja dan
kontribusi industri kuliner terhadap penyerapan tenaga kerja (UNESCO,
2004). Suatu kota dapat disebut siap dalam penerapan konsep kota kreatif
gastronomi apabila persentase penyediaan lapangan kerja sub sektor
industri kuliner lebih dari 5% dari total jumlah lapangan kerja sektor
industri (Evans, 2009). Kesiapan kontribusi industri kuliner terhadap
penyerapan tenaga kerja dapat dilihat dari persentase jumlah tenaga kerja
industri kreatif subsektor kuliner terhadap jumlah tenaga kerja sektor
industri. Apabila persentasenya lebih dari 40%, maka kota tersebut
termasuk dalam kategori siap (Evans, 2009).
c. Kesiapan Kemudahan Pemanfaatan Bahan Baku Lokal Bagi Industri
Kuliner ; Kemudahan pemanfaatan bahan baku lokal dilihat dari asal
bahan baku dan tingkat aksesibilitas jalan yang dilalui untuk mendapatkan
bahan

37
baku tersebut. Kota dapat dikatakan siap dalam penerapan konsep kota
kreatif gastronomi apabila industri kuliner mendapatkan bahan baku dari
dalam kota dan tingkat aksesibilitas jalan yang dilalui kurang dari 1
(UNESCO, 2004).
4. Operasional Variabel

Tabel 5 Operasional Variabel


Skor Variabel
3 2 1
Variabel Indikator Parameter
(Siap) (Cukup (Tidak
Siap) Siap)
Aktivitas Jumlah 1 = tidak terdapat jenis Jika Jika Jika
Industri Industri industri kreatif kuliner hasil hasil hasil
Kuliner Kuliner skoring skoring skoring
2 = terdapat 1 jenis dari dari dari
industri kreatif kuliner variabel variabel variabel
namun tidak mapan industri industri industri
kreatif kreatif kreatif
3 = terdapat lebih dari 1 9,4- 12 6,7- 9,3 4- 6,6
jenis industri kreatif
kuliner yang mapan
Kontribusi 1. Besarnya 1 = tidak tersedianya
Industri kontribusi lapangan kerja industri
Kuliner industri kuliner
kuliner
terhadap 2 = lapangan kerja industri
penyediaan kuliner memiliki
lapangan kerja persentase kurang dari 5%
masyarakat
3 = lapangan kerja industri
kuliner memiliki
persentase lebih dari 5%
2. Besarnya 1 = tidak adanya tenaga
kontribusi kerja industri kreatif
industri kuliner
kuliner
terhadap 2 = persentase tenaga
penyerapan kerja industri kreatif
lapangan kerja kuliner kurang dari 40%

3 = persentase tenaga
kerja industri kreatif
kuliner lebih dari 40%
Bahan Lokasi asal 1 = bahan baku tidak dari
Baku bahan baku dalam Kota Makassar dan

38
Industri industri tingkat kejenuhan jalan di
Kuliner kuliner dan atas 1
tingkat
kejenuhan 2 = bahan baku tidak dari
jalan dalam Kota Makassar dan
tingkat kejenuhan jalan
kurang dari 1/ bahan baku
dari dalam Kota Makassar
dan tingkat kejenuhan
jalan di atas 1

3 = bahan baku tidak


dalam Kota Makassar dan
tingkat kejenuhan jalan di
bawah 1

39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

40
DAFTAR PUSTAKA

Landry, C. dan Bianchini, F. 1995. The Creative City. Bournes Green: Comedia.
Frey, Hildebrand. 1999. Designing the City: Towards a More Sustainable Urban
Form. New York: Routledge
Howkins, John. 2002. The Creative Economy: How People Make Money from
Ideas. London: Penguin Press.
Lawson, Bryan. 2003. Language of Space. Italy: Architectural Press.
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Florida, R. L. 2005. Cities and The Creative Class. New York: Routledge
Kiswandono, Istiawati, 2005. “Ruang Kreativitas”: Gudang 1000.000 ide?.
Makalah Seminar. Surabaya: HDII Jatim.
Al-Qur'an dan Terjemahannya. 2012. Kementerian Agama.
Landry, Charles. 2012. The Origins & The Futures Of The Creative City. London.
Comedia.
John Hartley, Jason Potts, Trent MacDonald. 2012. CCI-Creative City Index.
Cultural Science Journal Vol. 5 No. 1 Issn 1836-0416
Charles Landry, Jonathan Hyams. 2012. The Creative City Index: Measuring The
Pulse Of The City. Comedia. London.
Mulyanto, Harri. 2012. Ruang Publik Kreatif Di Jakarta Dengan Pendekatan
Folding Architecture. Perpustakan UNS
Gusti Ayu Made Suartika, dkk. 2014. Jurnal Lingkungan Binaan. Ruang-Space.
Volume 1, No 1, April 2014 ISSN: 2355-570X
Badan Ekonomi Kreatif. 2016. Sistem Ekonomi Kreatif Nasional Panduan
Pemeringkatan Kabupaten/Kota Kreatif 2016. Kedeputian Infastruktur Badan
Ekonomi Kreatif.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Manajemen. Alfabete: Bandung.
Zulkhair Burhan, S.IP, MA. 2017. Analisis Kebijakan Pemerintah Kota Makassar
terkait Sektor Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya dan Potensi
Pengembangannya dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jurnal
Transformasi Global Vol 4 No
Ully Irma Maulina Hanafiah. 2017. Redefinisi Ruang Publik Pada Kampung
Kreatif Pasundan Studi Kasus : Koridor Tepian Sungai Cikapundung, Rt 02
Rw 04, Kelurahan Balonggede, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Jawa Barat.
Ide dan Dialog Indonesia Vol.2 No.2, Agustus 2017 ISSN Cetak 2477 – 0566
ISSN Elektronik 2615 - 6776
Aswar, Muhammad. 2018. Ketersedian Dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau
Publik Di Kelurahan Polewali Kabupaten Polewali Mandar.

41
Achmad Rizal Hak Bisjoe, Retno Prayudyaningsih, Asikin Muchtar. 2019. Kajian
Ruang Terbuka Hijau: Peluang Pengembangan Hutan Kota Di Kota Makassar.
Jurnal Inovasi dan Pelayanan Publik Makassar Volume 1, Nomor 2.
[UCCN] UNESCO Creative Cities Network. 2019. Application Guidelines.
[ICCN] Indonesia Creative Cities Network. 2019. Catha Ekadaksa 11 Program
Kota Kreatif. Pokok Pembahasan Workshop Indonesia Creative Cities
Conference VTernate, Maluku Utara, 04-05 September 2019
Rizki Audina, Nur Atnan. 2019. Peran Bandung Creative Hub Dalam Membangun
City Branding Kota Bandung Sebagai Kota Kreatif.
Anggit Pratomo, Soedwiwahjono, Nur Miladan. 2019. Kualitas Taman Kota
Sebagai Ruang Publik Di Kota Surakarta Berdasarkan Persepsi Dan Preferensi
Pengguna. DesaKota. Volume 1, Nomor 1, 2019, 84-95
Dr. Mochamad Rozikin, M.AP. 2019. Kolaborasi Antar Stakeholders Penta Helix
Dalam Pengembangan Kota Kreatif (Studi Di Kota Malang). PANGRIPTA:
Jurnal Ilmiah Kajian Perencanaan Pembangunan, Vol.2, No.2 ISSN: 2620-
5785. EISSN: 2615-5702
Sutrisno, Hening Anitasari. 2019. Strategi Penguatan Ekonomi Kreatif Dengan
Identifikasi Penta Helix Di Kabupaten Bojonegoro. JIABI – Vol. 3 No. 2
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. 2020. Strategi Pengembangan Kota
Kreatif Di Indonesia: Perspektif Pemajuan Kebudayaan. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Dan Perbukuan Pusat Penelitian Kebijakan.
Muhammad Fadel Rustan. 2020. Pusat Pengembangan Industri Kreatif Di
Makassar.
Lintang Suminar. 2021. Pola Aktivitas Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Di
Alun-Alun Karanganyar. Jurnal Arsir Universitas Muhammadiyah Palembang
p-ISSN 2580–1155 e-ISSN 2614–4034
Rana Fanindya Putri Murad. 2021. Implementasi Konsep Kota Kreatif Di Kota
Bogor. Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia
(ASPI) 2021 “Inovasi dalam Percepatan Penataan Ruang di Indonesia”. ISBN:
978-602-5872-98-3
Menteri Pekerjaan Umum. Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka
Hijau di Kawasan Perkotaan.

42

Anda mungkin juga menyukai