Anda di halaman 1dari 8

KAIDAH MUAMALAT KETUJUH: INTERVENSI HARGA BERDASARKAN ADA

DAN TIADANYA MASHLAHAH


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kaidah Fikih Ekonomi
Islam Dosen Pengampu : Umratul Mahbubah, S.H.I., M.H

RIZKY AMALIA PUTRI


215120234

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU
2023
2
‫التسعير يدور مع المصلحةوجودا وعدما‬
Intervensi Harga Berdasarkan Ada dan Tiadanya Maslahah

A. Pengertian Kaidah
Dalam bahasa Arab, kaidah ‫ التسعير يدور مع المصلحة وجودا وعدما‬dapat diartikan sebagai
“prinsip penetapan harga yang berputar seiring dengan kepentingan, baik itu dalam keberadaan
maupun ketiadaan.” Penerapan prinsip ini melibatkan pertimbangan yang cermat terhadap
faktor-faktor ekonomi dan bisnis untuk menentukan harga suatu produk atau layanan. “‫”وجودا‬
merujuk pada eksistensi atau keberadaan, sementara “‫ ”وعدما‬merujuk pada ketiadaan atau
adanya. Artinya, prinsip ini berlaku baik pada produk fisik yang nyata maupun pada situasi
persaingan di mana keberadaan dan nilai tambah menjadi kunci dalam menetapkan harga.
Penerapan kaidah ‫ التسعير يدور مع المصلحة وجودا وعدما‬melibatkan penggunaan prinsip
penetapan harga yang mempertimbangkan kepentingan, baik itu dalam konteks eksistensi
(wujud) maupun ketiadaan (adanya). Berikut adalah penjelasan lebih rinci:
1. Eksistensi (‫)وجودا‬:
- Produk Fisik: Pada produk fisik yang memiliki keberadaan nyata, penentuan harga
melibatkan biaya produksi, distribusi, dan keuntungan yang diinginkan.
- Produk Layanan: Untuk produk layanan, eksistensi dapat berkaitan dengan kualitas layanan,
keahlian yang diberikan, dan kepuasan pelanggan.
2. Ketiadaan (‫)وعدما‬:
- Penetapan Harga Bersaing: Dalam situasi di mana produk atau layanan bersaing dengan
alternatif lain, harga dapat dipengaruhi oleh strategi pemasaran, nilai tambah yang ditawarkan,
dan persepsi pelanggan.
- Keberlanjutan Bisnis: Pertimbangan jangka panjang, seperti mempertahankan pelanggan dan
membangun reputasi, dapat mempengaruhi keputusan penetapan harga.
3. Faktor yang Mempengaruhi:
- Permintaan dan Penawaran:Hubungan antara permintaan pasar dan penawaran produk atau
layanan berdampak pada penetapan harga.
- Biaya Produksi:Perhitungan biaya produksi, distribusi, dan operasional menjadi faktor kunci
dalam menentukan harga yang menguntungkan.
4. Kepentingan Ekonomi:
- Profitabilitas: Kaidah ‫ التسعير يدور مع المصلحة وجودا وعدما‬menekankan kepentingan ekonomi,
termasuk pencapaian profitabilitas yang seimbang.
- Efisiensi: Penerapan kaidah melibatkan upaya untuk mencapai efisiensi dalam proses bisnis,
3
yang dapat mencakup pengelolaan biaya dan sumber daya dengan optimal.
5. Fleksibilitas dan Responsivitas:
- Adaptasi terhadap Perubahan Pasar:Penerapan kaidah harus fleksibel dan responsif terhadap
perubahan kondisi pasar, termasuk dinamika persaingan dan preferensi pelanggan.
Penerapan kaidah ‫ التسعير يدور مع المصلحة وجودا وعدما‬menuntut keseimbangan yang cermat
antara mencapai keuntungan, memenuhi kebutuhan pasar, dan menjaga keberlanjutan bisnis. Ini
melibatkan pemahaman mendalam tentang faktor-faktor ekonomi dan strategi yang relevan
dengan jenis produk atau layanan yang ditawarkan.

B. Konsep Intervensi Harga


Konsep intervensi pasar dikenal dalam konteks hukum positif Indonesia dan juga hukum
Islam. Konsep intervasi pasar tersebut diarahkan pada penetapan harga oleh pemerintah
terhadap suatu komuditas harga barang. Istilah “intervensi pasar” tersusun dari dua kata yaitu
intervensi dan pasar. Kata intervensi bermakna campur tangan. Adapun kata pasar bermakna
pekan, bazar, tempat perdagangan atau tempat jual beli. Berdasarkan dua pemaknaan ini dapat
dipahami intervensi pasar adalah campur tangan atau ikutr terlibat di dalam manajemen pasar,
seperti misalnya dalam masalah harga. Intervensi pasar atau dalam istilah lain disebut market
intervention, atau penentuan harga (price mixing), merupakan turut campurnya pemerintah di
dalam menintervensi pasar, yaitu dengan membuat kebijakan yang bisa mempengaruhi dari
sisi permintaan maupun dari sisi penawaran (market intervention) oleh sebab terjadinya
distorsi pasar karena faktor alamiah. Intervensi pasar juga bermakna bahwa apabila distorsi
pasar terjadi karena sifatnya alamiah maka kebijakan yang ditempuh adalah intervensi harga
pasar. Jadi, intervensi pasar berkait erat dengan keikutsertaan pemerintah dalam mekanisme
harga pasar.
Dalam hukum Islam, atau lebih tepatnya dalam perspektif fikih, intervensi pasar
diistilahkan dengan tas’ir yang asalnya dari kata sa’ara berarti menyalakan atau mengobarkan,
mempercepat, melintasi, dari kata sa’ara,kemudian muncul istilah al-sa’ru, bentuk jamak atau
plural as’ar artinya harga. Selanjutnya muncul istilah al-tas’ir, artinya al-tatsmin, yaitu
penaksiran harga atau penetapan harga. Dari mana ini, tas’ir atau intervensi pasar dimaknai
sebagai penentuan harga pada pasar yang tidak seimbang. Menurut makna terminologi atau
istilah, terdapat beberapa definisi tas’ir atau penetapan harga yang dikemukakan oleh para ahli.
Di antaranya ialah Yusuf al-Qaradhawi. Menurutnya, penetapan harga (tas’ir) adalah
penentuan harga oleh pemerintah sementara para pelaku pasar dilarang menaikkannya dan
menurunkan harganya. Menurut Abdus Sami‟ Ahmad Imam, tas’ir atau intervensi pasar

4
adalah tindakan hakim membatasi harga barang dagangan sehingga penjual tidak boleh
melewati harga yang telah ditetapkan. Definisi lainnya dari keterangan Sayyid Sabiq, tas’ir
ialah penetapan harga barangbarang yang hendak diperjual belikan tanpa menzalimi pemilik
dan tanpa memberatkan pembeli. Berdasarkan dua definisi terakhir memberi pemahaman
bahwa intervensi pasar diarahkan kepada penetaoan atau ikutnya pemerintah di dalam
menentukan nilai harga suatu barang. Melalui penentuan harga suatu komuditas barang, maka
pemilik barang tidak diperkenankan meninggikan dan menurunkan harga tersebut sepanjang
tidak dicabut oleh pemerintah. Para pedagang ataupun pemilik barang secara umum akan
meninggikan harga barang ketika permintaan terhadap barang itu tinggi, sementara barangnya
sudah tidak banyak. Demikian juga ketika jumlah suatu barang banyak, sementara permintaan
sedikit, maka harga barang biasanya akan turun secara drastis. Sebab itu, intervensi pasar atau
penetapan harga (tas’ir) dimaknai sebagai hadirnya pemerintah dalam menentukan batasan
harga yang wajib dipatuhi pihak pemilik barang
C. Pendapat Ulama Tentang Intervensi Pasar Dalam Jual Beli
Kajian hukum tentang penentuan harga dalam jual beli berawal dari kajian sejarah di
mana pada masa Rasulullah Saw, keadaan pasar sudah sangat pesat. Pada masa itu,
Rasulullah SAW menolak permintaan para sahabat membatasi harga barang yang mahal pada
waktu itu, karena dorongan dari permintaan dan penawaran yang alami. Penolakan
Rasulullah Saw dalam hal ini dapat dipahami dari keterangan Rasul padda waktu itu muncul
kasus-kasus di mana para pelaku pasar justru melakukan praktik monopoli, kezaliman
terhadap harga komuditas barang. Atas dasar muncul pula gagasan dan pendapat para ulama
membolehkan penentuan harga dalam jual beli, dan ada juga yang masih tetap melarang
dalam menentukan harga atas keterlibatan pemerintah. Untuk itu, masing-masing dari
pandangan ini dapat dikelompokkan ke dalam dua pendapat berikut:
a. Pendapat yang Melarang Intervensi Pasar dalam Jual Beli
Imam Syafi‟i berpendapat, penetapan harga atau intervensi pasar yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap para pelaku usaha atau
Pegadang adalah haram. Demikian juga pendapat Imam Ahmad bahwa pemerintah tidak
berhak menetapkan harga, masyarakat yang mempunyai kebebasan untuk memperjualbelikan
suatu harta (barang) berdasarkan apa yang telah mereka tetapkan.
Dalilnya adalah QS. Al-Nisa‟ [4] ayat 29.
‫ٰٓي َاُّيَه ا اَّلِذْي َن ٰا َم ُنْو ا اَل َت ْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِباْلَباِط ِل ِآاَّل َاْن َت ُك ْو َن ِتَج اَر ًة َع ْن َت َر اٍض ِّم ْنُكْۗم َو اَل َت ْقُت ُلْٓو ا َاْنُفَس ُكْۗم ِاَّن َهّٰللا َك اَن ِبُك ْم‬
‫َر ِحْيًما‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu

5
dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di
antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”
Selain itu juga mengacu kepada riwayat hadis yang menyebutkan bahwa ada larangan
penetapan harga dalam riwayat Abi Dawud yang artinya;
“Dari Anas, orang-orang berkata; wahai Rasulullah, harta telah melonjang, maka tetapkanlah
harga untuk kami! Maka beliau berkata: “Sesungguhnya Allahlah yang menentukan harga,
Yang menggenggam dan Yang menghamparkan, dan Pemberi rizqi. Dan sungguh aku
berharap berjumpa dengan Allah sementara tidak ada seorang pun dari kalian yang
menuntutku karena suatu kezhaliman dalam hal darah, dan harta.” (HR. Abi Dawud).
Dalam redaksi yang lain disebutkan:
“Janganlah kalian menentukan harga, karena sesunggungnya Allah yang membatasi, yang
mencabut, yang membeber, dan yang memberi rezeki.”
Berdasarkan beberapa riwayat di atas, dapat diketahui bahwa hadis-hadis di atas secara
tekstual jelas melarang tas’ir (penetapan harga) melalui intervensi pasar. Adapun dasar logis
para ulama yang melarang intervensi pasar mengacu kepada beberapa poin argumentasi
berikut:
1) Manusia bebas dalam menentukan harta mereka.
2) Seorang hakim diperintahkan untuk menjaga kemaslahatan bersama. Penjagaannya
terhadap pihak pembeli untuk mendapat kemaslahatan jangan sampai melebihi upaya
penjagaannya bagi pihak penjual untuk mendapatkan kemaslahatan.
3) Terkadang dalam pembatasan harga akan menimbulkan kemudharatan bagi penjual
dan pembeli. Bagi pihak penjual, pembatasan harga akan menjadikannya
menyembunyikan barang dagangan sehingga barang dagangan menjadi langka dan
sulit dicari pada pasaran.
Mengacu kepada keterangan di atas, dapat diketahui bahwa ulama Mazhab Syafi‟i dan
juga Hanbali melarang adanya intervensi pasar dalam konteks mu‟amalah Islam karena tidak
sejalan dengan dalil- dalil Alquran dan juga beberapa riwayat hadis sebelumnya. Di samping
itu, intervensi pasar justru dapat menghilangkan nilai-nilai saling rida antara pedagang
dengan konsumen.
b. Pendapat yang Membolehkan Intervensi Pasar dalam Jual Beli
Berbeda dengan itu, dalam mazhab Hanafi dan Maliki, justru mengakui adanya
kewenangan pemerintah menetapkan harga komuditas suatu barang. Di dalam mazhab
Hanafiyah dan Malikiyah, membolehkan penetapan harga untuk barang-barang hajiyyat

6
(sekunder), hal tersebut dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Apabila
pemilik barang dagangan mematok harga yang tinggi, maka dalam kondisi seperti ini,
pemerintah dan stafnya berhak (memiliki wewenang) menentukan harga dengan tujuan untuk
kemaslahatan masyarakat.28 Dasar hukum adanya kewenangan pemerintah dalam
menetapkan harga menurut pandangan ini mengacu kepada kemaslahatan atau mashlahah.

7
KESIMPULAN
Berdasarkan prinsip penetapan harga yang mempertimbangkan kepentingan, baik dalam
konteks eksistensi maupun ketiadaan, pendapat ulama tentang intervensi pasar dalam jual beli
dibagi menjadi yang melarang dan yang membolehkan intervensi pasar. Mazhab Syafi’i dan
Hanbali melarang intervensi pasar, sementara Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkannya
dengan tujuan kemaslahatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abī Dāwud Sulaimān bin al-Asy‟aṡ al-Sajastānī, Sunan Abī Dāwud, (Riyadh: Bait al- Afkār
al-Dauliyyah Linnasyr, 1420 H)
Yusuf al-Qaradawi, Hadi al-Islam Fatawa Mu’asirah, (Terjemahan: As‟ad Yasin), Jilid 2, Cet.
5, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008)
Supriadi, Konsep Harga dalam Ekonomi Islam, (t.pt: Guepedia, 2018)
Achmad Warson Munawwir, Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir Indonesia Arab
Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007)
Akram Kassab, al-Manhāj al-Da’wī ‘inda al-Qaraḍāwī, (Terj: Muhyiddin Mas Rida), (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2010)

Anda mungkin juga menyukai