Anda di halaman 1dari 18

HUKUM KEKERABATAN DAN PERJANJIAN ADAT (HKPA)

06-02-2017

Hukum Kekerabatan

Kerabat Keluarga perkawinan Dalih :


(kecil) (besar) - UU no 1/1974
- UU no 4/1979 atau UU
23/2002 – UU 35/2014
(UU perlindungan anak)
Hubungan darah

Kenapa masih disebut walau


Garis Garis Garis laki2 dan sudah dirubah?
Laki – laki perempuan perempuan Karena perubahan tidak sama
(patrilineal) (matrilineal (parental) dengan diganti. Masih ada bagian
) dari UU lama yang berlaku

 Kerabat terbentuk karena hubungan darah dan merupakan organisasi masyarakat


 Untuk kekerabatan parental, maka ketika anak sudah kawin, maka bukan kerabat lagi

 .Keluarga = unit terkecil dari masyarakat. Unit tersebut terbentuk karena perkawinan.
 Keanggotaan patrilineal : laki2 dan perempuan selama dari garis laki2 (ayah)
 Keanggotaan matrilinel : laki2 dan perempuan selama dari garis perempuan (ibu)

 Keluarga bisa punah, kererabatan tidak bisa punah kecuali parental

 Pada kekerabatan patrilineal, pada waktu tertentu pada anggota tertentu dia bukan lagi
anggota kerabatnya lagi. Yaitu wanita saat menikah. (ketika menikah maka
meninggalkan kerabatnya itu dan masuk ke dalam kerabat suaminya)

 UU no 1/1974  perkawinan ialah ikatan lahir batin

 Pasal 1 angka 3 UU no 35/2014


Keluarga ialah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami, isteri atau
suami isteri dengan anaknya atau ayah dengan anaknya atau ibu dengan anaknya atau
keluarga sedarah garis lurus keatas atau kebawah sampai dengan derajat ketiga.

8-02-2017

 istilah keluarga dapat ditemukan dalaam UU no 1/74 dalam pasal 1


Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
 persamaan pengertian keluarga dalam UU 1/74 dengan UU 3/2002 yg dirubah dgn
UU 35/2014 adalah bahwa keluarga terbentuk karena perkawinan
 perbedaan
- UU 35/2014  anggota keluarga lebih luas  suami, istri, anak dan
dimungkinkan garis keatas dan kebawah sampai pada derajat ketiga
- UU 1/1974  hanya membahas suami dan istri. Dalam UU 1/1974, cucu adalah
keluarga anak, karena anak telah keluar dr keluarga.

 Macam – macam anak :


1. Sah
2. Tidak sah
3. Luar kawin
4. Angkat
5. Tiri
6. Asuh

 Anak sah
- Dalam hukum positif kita ada yang mengaturnya :
1. Hukum adat
2. UU 1/1974
3. KHI
4. Putusan MK
- Anak sah menurut hukum adat memiliki pengertian yang sama dengan UU no
1/1974  pada pasal 42  anak yang lahir dalam / akibat perkawinan
 anak lahir dalam perkawinan  sepanjang dia lahir apabila ibunya punya
suami (misal 13.30 kawin, 13.35 dia melahirkan), misal hamilnya karena
A tapi nikah dengan B maka secara yuridis itu anak B, secara biologis itu
anak A
 akibat perkawinan  hamil setelah menikah (ayah biologis pasti ayah
yuridis)
 di jawa ada perkawinan tambahan untuk menutup malu maka
konsekuensinya ayah yuridis belum tentu ayah biologis
- dalam hukum islam, anak sah = anak yang lahir minimal 180 hari usai perkawinan
orangtuanya
- dalam KHI  anak sah diatur dalam pasal 99. “anak sah adalah anak yang
dilahirkan akibat perkawinan dan tidak ada batasan minimal hari”

 perbedaan KHI dengan hukum islam adalah sumbernya


 KHI merupakan kesepakatan. Sehingga belum tentu ada dalam hukum islam itu ada.
Contoh : anak angkat karena dalam hukum islam dikhawatirkan hubungan nasab akan
putus antara orangtuanya dengan anaknya.
 UU 1/1974  dimungkinkan berayahkan bukan ayah biologisnya

 Dewasa sempurna  sudah menikah atau diatas 21 th  bebas melalakukan


perbuatan hukum

 Anak diluar perkawinan

- Anak diluar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya


(UU 1/1974 & hk adat).
- KUHPer  ayah biologis dapat mengakui anak diluar perkawinannya dengan cara
melakuan pengakuan, pada saat sebelum atau sesudah perkawinan. (setelah
perkawinan tidak boleh)
- Hukum adat  dikenal juga pengakuan anal di lombok dengan nama “lilikur” 
pemberian ayah biologis kepada anak diluar kawin sebagai bentuk pengakuan.
Bedanya dengan KUHPer adalah lilikur dapan dilakukan kapanpun.

 Ada anak lahir diluar perkawinan, lalu ayah biologisnya mengawini ibu anak itu  (B
melahirkan tanggal 25 tapi tanggal 28 B menikah, bagaimana status anaknya itu?) 
dalam UU 1/1974 maka anak tersebut statusnya adalah anak diluar kawin, maka
hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya.
Namun di dalam hukum dimungkunkan anak biologisnya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ayahnya  karna kemajuan zaman (lihat kasus machicha
mochtar dalam putusan MK)

13-02-2017

 ARTI PENTING KEABSAHAN ANAK

1. Perwakilan anak yang belum dewasa


tidak lepas dari sistem kekerabatan
- Perwalian patrilineal : ialah bapak dan semua anggota kerabat / saudara laki2
bapak
- Matrilineal : walinya adlaah ibu dan kerabat ibunya
- UU no 1/1974 : walinya adalah kedua orangtuanya, baik bapak maupun ibu

 Menurut perwalian patrilineal, matrilineal maupun parental, putusnya


perkawinan karena kematian menyebabkan perubahan wali, sedangkan
jika sebabnya karna perceraian maka tidak mengakibatkan perubahan wali
 Penyebab perceraian :
1. Zina
2. Dihukum 5th
3. Tidak memenuhi kewajiban sebagai istri/suami
4. Perselisihan yang tidak dapat didamaikan
 Secara alamiah, hak asuk anak ada pada ibu. Namun manakala si ibu tidak
cakap / tidak pantas dan atau menjadi penyebab perceraian maka si ibu
akan kehilangan hak asuh.

2. Penentuan wali bagi anak perempuan islam yang akan kawin


- Yang dapat menjadi wali nikah  ayah biologi / ayah yang sah
- Rukun perkawinan :
1. Wali
2. Calon mempelai laki2, (perempuan dapat diwakili bapaknya  tidak harus
berada ditempat)
3. Mahar
4. Saksi

 Anak tidak sah


1. Uu no 1/1974  anak yang lahir diluar perkawinan
2. Hukum adat
3. Hukum islam  saat lahirnya kurang dari 180 hari dari perkawinan kedua
orangtuanya
4. KHI

 Pengingkaran anak
- Pasal 44 UU no 1/1974
1. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu
merupakan hasil dari perzinahan tersebut
2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah / tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan

 KHI
- Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya,
dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an
- Pasal 102
1. Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah
suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat
yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
2. Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat
diterima

 KUHPer ps 252
Suami tidak dapat mengingkari keabsahan anak, hanya bila dia dapat membuktikan
bahwa sejak hari ke 300 dan ke 180 hari sebelum lahirnya anak itu, dia telah berada
dalam keadaan tidak mungkin untuk mengadakan hubungan jasmaniah dengan
isterinya, baik karena keadaan terpisah maupun karena sesuatu yang kebetulan saja.

 Dalam hukum adat tidak mengenal pengingkaran anak tapi jutru mengenal pengakuan
anak
Tujuan : mendudukan seupaya anak luar kawin mempunyai hubungan keperdataan
dengan ayahnya dan kerabat ayahnya tanpa harus mengawini si ibu

 Cara agar anak luar kawin mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah
biologisnya  KUHPer

 Pengakuan anak :
1. Hukum adat  lilikur di ambon
2. UU no 1/1974  tidak mengatur
3. KUHper  pasal 280 s/d pasal 289
4. KHI  tidak mengatur

 Dalam hukum adat  pengakuan anak dapat dilakukan kapanpun (sebelum, saat,
sesudah perkawinan)
 Dalam KUHPer  hanya sebelum dan saat perkawinan
 KHI dan UU no 1/1974  tidak mengakuui pengakuan anak, karena apabila
mengakui sama saja menghalalkan zina
 Putusan MK no 46/2010
Mengoreksi pasal 43 ayat (1) yang mengatur hubungan antara seorang anak dengan
orangtuanya dimana anak diluar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan
dengan ibunya. Putusan MK  bisa diakui oleh ayah asalkan dapat dibuktikan
dengan teknologi dan ilmu pengetahuan.

 Putusan MK  machica mohtar dalam perkawinan yang sah dalam agama namun
tidak sah menurut negara. Jadi putusan MK no 46/2010 tidak mengakomodir
perzinahan (perkawinan siri) / tidak melegalkan perzinahan

20-02-2017

PENGANGKATAN ANAK

 Anak angkat  anak orang lain yang diangkat dan dimasukkan kedalam KK
 Mengkat anak memerlukan upaya hukum yang mengakibatkan adanya konsekuensi
hukum
Ex : waris
 Anak asuh  tidak ada upaya hukum sehingga tidak menimbulkan konsekuensi
hukum
 Anak angkat vs anak adopsi
- Persamaan
Sama – sama mengambil anak orang lain dan mendudukkannya secara hukum
sebagai anak sendiri
- Perbedaan
Adopsi selalu anak laki – laki

Staatblad th 1917 no. 129


Pengangkatan anak dilakukan dalam suatu perkawinan yang tidak mendapat
keturunan laki – laki

 Pada awalnya adopsi adalah cara untuk mengangkat anak yang dilakukan oleh kaum
tionghoa yang tidak memiliki keturunan laki – laki
 Nyentane / sentane  perkawinan dimana laki – lakinya kedudukannya diubah
menjadi perempuan (tukeran)

Q : apakah pengangkatan anak dalam hukum adat masih berlaku?


A: ya, dan memiliki kekuatan hukum.
UU perlindungan anak (UU 23/2002) diubah dengan UU 35/2014
“pengangkatan anak dapat dilakukan melalui penetapan pengadilan atau secara
hukum adat”

Pelaksanaannya diatur dalam PP 24/2007


Q : apa alat bukti pengangkatan anak melalui hukum adat?
A : ada, yaitu kesaksian (alat bukti tidak tertulis).
Menurut hukum adat, syarat sahnya pengangkatan anak adalah memenuhi asas terang,
yaitu jelas dan tidak sembunyi – sembunyi  memenuhi asas publisitas.
Ex : bikin bancakan untuk tetangga sebagai tanda syukur.
Sedangkan akta PPAT hanyan untuk pendaftaran, bukan syarat mutlak sebagai bukti.

Q : bagaimana akibat hukum antara anak angkat dengan orangtua kandungnya?


A:
1. Terputus hubungannya
Anak tersebut hanya mendapat waris dari ortu angkatnya
Ex : suku batak
2. Tidak putus hubungan keperdataannya
Anak tersebut berhak mendapat waris dari ortu angkat dan kandungnya

 Tujuan pengangkatan anak :


- UU
Untuk meningkatkan kesejahteraan anak tersebut (semata – mata hanya untuk
kepentingan si anak)
- Hukum adat
Untuk kepentingan orangtua angkatnya :
1. Agar menjadi pancingan
2. Untuk meneruskan garis keturunannya
3. Untuk menemani dan merawat ortu angkatnya

 Yang berhak mengangkat anak


- UU  orang yang dalam ikatan perkawinan (ada ketentuan lainnya, misal kalo
uda kebanyakan anak ya gaboleh)
- Hukum adat  siapapun bisa termasuk single parent, maupun udah nikah atau
belum.

Q : kenapa menurut UU single parent gaboleh ngangkat anak?


A : karena kembali lagi pada tujuan mengangkat anak menurut UU, yaitu untuk
kesejahteraan anak yang tidak hanya meliputi lahir, namun juga batin.
(agar anak angkat tsb dapat merasakan kasih sayang ayah dan ibu dengan lengkap)

PERKAWINAN

Q : apa arti penting perkawinan menurut hukum adat?


A : dalam hukum adat perkawinan tidak hanya sebatas hubungan suami-istri dan anak,
karena tidak bisa meninggalkan keluarga / kerabatnya, karena mereka juga sebagai penentu
sah/tidaknya pernikahan itu.
Ex :
- batak  tidak mungkin ada perkawinan dengan orang yg tidak punya marga
- bugis  laki – laki menjemput perempuan (jumputan). Kalau tidak dipenuhi (sirina
pace) maka ada sanksinya, yaitu ditusuk.
 Tujuan perkawinan
- UU 1/1974
Membentuk keluarga / rumah tangga
- Hukum adat
Tidak sebatas membentuk keluarga, melainkan juga mempertahankan dan
meneruskan garis keturunan

 3 sistim perkawinan adat :


1. Eksogami : seseorang hanya boleh menikah dengan orang diluat kelompoknya
Ex : masyarakat patrilineal
2. Endogami : hanya boleh kawin dengan orang sekelompoknya saja
Ex : hindu-bali yang mengenal kasta
3. Eleutherogami : seseorang bebas untuk memilih jodohnya dalam perkawinan, baik
itu dari klen sendiri maupun dari klen lainnya.

22 - 02 – 2017
 Bentuk perkawinan

1. Perkawinan jujur

 Pemberian dari laki – laki kepada kerabat perempuan dengan tujuan untuk mengambil
anggota kerabatnya untuk dimasukkan kedalam kerabat pemberi jujur
 Tujuannya adalah untuk mengembalikan keseimbangan dari keguncangan kerabat
yang anggotanya diambil
 Batak  sinamot
Sinamot tidak selalu dalam bentuk uang, karena perempuan batak tidak / bukan dijual.
Jujur bukan pembayaran, tapi pemberian.
 Konsekuensi : wanita tsb dikeluarkan dari kerabatnya dan dimasukkan ke kerabat
suaminya, anak – anaknya juga masuk kedalam kerabat suaminya.
 Jujur TIDAK SAMA dengan mahar
- Kasih jujur, tidak kasih mahar  boleh
- Kasih mahar, tidak kasih jujur  tidak boleh

 Suku jawa tengah  peningset (simpul mati)  semua perkawinan terjadi karena
kesepakatan  diikat oleh panjer.
 Sinamot & jujur  boleh dihutang. Dengan konsekuensi perempuan beserta
keturunannya belum dimasukkan kedalam kerabatnya sampai jujur tsb dilunasi.
 Nyeburin = sentane
Karena laki – lakinya diposisikan sebagai perempuan, maka yang membayar jujur
adalah perempuannya

2. Perkawinan semenda

 Perkawinan tanpa adanya pemberian jujur baik dari pihak laki – laki maupun
perempuan
 Masing – masing pihak masih dalam kerabatnya
 Anak – anaknya ikut di kelompok ibunya
 Hanya dilakukan peminangan saja  seserahan
3. Perkawinan mentas / mandiri / keluar

 Perkawinan yang menjadikan para pihak keluar dari keluarga aslinya dan membentuk
keluarga baru, sehingga tidak ada kewajiban keperdataan.
Ada pada masyarakat bilateral / parental

4. Perkawinan lari

 Kemungkinan terjadinya :
1. Adanya hambatan
2. Hukum adat mengharuskan kawin lari

 Perkawinan silariang
- Perkawinan yang tidak mendapat restu dari pihak perempuan (di sulsel)
- Dianggap siri (harga diri diinjak – injak oleh si laki laki) bagi keluarga perempuan
- Konsekuensi : ;
 Bagi laki – lakinya : dapat dibunuh. Yang berhak membunuh adalah
semua anggota kerabat
 Bagi perempuan : dianggap mati (bahkan sampai ada yang dibikin upacara
kematiannya)

 Lombok  perkawinan harus dengan kawin lari (merarig)


- tanpa merarig tidak mungkin ada perkawinan
- merarig dilakukan oleh laki2 untuk membuktikan kejantanannya
- waktunya maghrib s/d isya
- dibawa kaburnya tidak boleh kerumah laki – lakinya, melainkan ketempat
seseorang yang dipercaya untuk melindungi ; tuan guru / imam majid
- setelah 3 hari si laki – lakinya lapor ke ortu perempuannya  setelah ini si
perempuan gabis alagi direbut – rebut sama cowo lain

 tahap – tahap perkawinan


1. peminangan
2. pengikat  apabila tenggang waktu peminangan dan pelaksanaannya jaraknya
jauh
3. pelaksanaan

27 – 02 – 2017
Pak Agus

 perkawinan dalam hukum adat


- tidak berdimensi lahiriah, tapi juga terkait dengan hal – hal gaib / irasional
- hazairin : “perkawinan adalah perbuatan magis”
ex : agar memperkuat pendirian, biasanya umat islam melakukan sholat istikharah.
Kalo bagi orang jaman dulu biasanya kasih sesajen
- djoyo diguno : perkawinan  perbuatan inisiasi / penerimaan

Q : bagaimana suatu perkawinan dikatakan sah menurut hukum adat?


A : apabila perkawinan dilakukan berdasarkan agama atau kepercayaan
 CARI
1. Perkawinan anak
2. Perkawinan bermadu
3. Perkawinan gantung

 Tahap perkawinan
1. Perkenalan
2. Peminangan
3. Pertunangan (masa tunggu)
4. Nikah
 Ijab qabul (serah terima)
 Yang diserahkan yaitu anak dan tanggungjawab keperluan istrinya

HARTA PERKAWINAN

 Terbagi menjadi 2
a. Harta bawaan
Harta yang dibawa masuk kedalam perkawinan oleh suami / istri
(bisa waris, hibah dll)
b. Harta bersama
Harta yang didapat selama pernikahan
 Tidak semua harta yang diperoleh setelah perkawinan menjadi harta
bersama
 Harta perkawinan
Seluruh harta yang dikuasai / dimiliki oleh pasangan suami – istri selama
perkawinan
Ex :
1. Tanah ulayat di minang  menguasai, tidak dimiliki
2. Jawa  tanah yang belum diwariskan, namun boleh di garap

Q : apa pentingnya pembagian harta?


A : apabila pada saat terjadinya perceraian  harta bersama dibagi (50 – 50)

 Perbandingan harta
a. Hukum islam
 Al-qur’an + hadist  tidak ada istilah harta bersama
 KHI  ada / mengenal harta bersama
b. KUHperdata
Bergitu menikah terjadi persatuan harta. Tidak mengenal harta bawaan. Kalo cerai
harta tsb dibagi 50-50
c. Hukum adat
Variatif.
Persatuan harta  masy. Patrilineal
Harta asal & harta bersama  masy. Matrilineal
 Sumber harta bawaan
- Waris
- Hibah
- Hasil usaha

 Sumber harta bersama


- Hibah (yang ditujukan untuk keduanya)
- Hasil usaha setelah menikah
- Hasil dari harta asal

 Harta perkawinan menurut teer haar


1. Harta bawaan
2. Harta bersama Tambahannya.
3. Harta penghasilan Sebenernya kalo di ringkes juga sama aja 2
4. Kado perkawinan

Q : kapan harta penghasilan masuk menjadi harta bersama?


A : ketika sudah menikah  pada umumnya
Pengecualian  harta penghasilan tetep bisa jadi harta bawaan. Misalnya kalo ada
perbedaan status sosial , atau karena kehidupan rumah tangganya tidak efektif .
Ex : suaminya pedagang (banyak lewatin waktu diluar)  benar – benar mandiri,
tidak melibatkan istri.
(di daerah minang, aceh, kudus kulon)

 Hadiah perkawinan
Kalo dikasih sama orang yang masih dalam kerabatnya biasanya masuk harta asal,
kecuali ada ikrar. Tergantung ijab qabulnya dan dilihat dari sifat barangnya (ditujukan
pada siapa)

 Harta pusaka
Harta turun temurun Pusako tinggi
harta dari nenek moyang
(7 – 10 turunan)
Harta
Materiil Ex : tn ulayat Pusako

Pusako rendah
Asalnya masih bisa
MINANG terdeteksi (ortu, mbah, uyut)

Harta
immateriil soko Ex : jabatan, kedudukan, tradisi

Iman sudiyat : “harta cita”


1 – 03 – 2017
 Fungsi / manfaat harta perkawinan :
1. Berkat dalam memulai kehidupan rumah tangga (dasar material)
2. Dapat dijadikan indikasi / simbol status sosial
3. Kadang dijadikan tempat / sarana ritual
4. Dapat dijadikan identitas suku / keluarga  apabi;a dimiliki secara bersama –
sama

PUTUSNYA PERKAWINAN

 Pasal 38 UU 1974  sebab


1. Kematian  paling ideal
2. Perceraian  masih ada intervensi manusia
3. Keputusan pengadilan
Oleh PN atau PA  untuk memperjelas status seseorang

 Sebab putusnya perkawinan menurut hukum adat


1. Kematian
2. Perceraian  didukung dengan melibatkan keluarga / peradilan / musyarawah
keluarga.
(jawa)  mo limo
 Sebab perceraian (menurut UUP)
1. Main
1. Cacat / penyakit
2. Mabuk
2. Zina / minum
3. Madon (zina)
3. Kekerasan  kekejaman / penganiayaan berat
4. Madat (rokok)
4. Pertengkaran
5. maling
5. Dapat / dikenai hukuman >5th
6. Minimal 2 thn berturut – turut pergi meninggalkan keluarganya
(harus diputus pengadilan)

 Sebab perceraian menurut hukum adat


1. Cacat / penyakit
2. Zina (mo limo)
3. Kekerasan
4. Pertengkaran

 Akibat putusnya perkawinan


 Terhadap anak
 Terhadap harta Dikaitkan dengan sistim kekerabatannya

 Berdasarkan UUP (pasal 27)


 Jika terjadi perceraian, maka anak menjadi tanggungjawab berdua
 Jika karena kematian, maka anak menjadi tanggungjawab pihak yang masih
hidup
 Ayah bertanggungjawab secara ekonomi terhadap anaknya
Jika berpisah (cerai) dan istri dalam keadaan tidak mampu, maka pengaadilan
dapat mewajibkan si mantan suami atas kehidupan si mantan istri (bego bgt
gasi gapunya duit minta cere ew)
 Terkait dengan harta perkawinan
Jika cerai diatur oleh hukum masing – masing, tergantung yang dipilih (hukum
agama / adat / perdata)
Paling besar dan banyak terjadi integrasi antara hukum islam dan hukum adat.

 Menurut hukum adat


 Masyarakat patrilineal
 Harta perkawinan seolah – olah dikuasai suami
 Jika suami meninggal, anak menjadi tanggungjawab kerabat suami
 Jika istri meninggal, yang tanggungjawab suami dan kerabatnya
 Pihak istri harus mengembalikan jujur
 Cerai
 Harta yang dibawa istri hanya harta pribadinya, harta bersama
jadi milik suami
 Anak mjd tanggungjawab kerabat suami

 Masyarakat matrilineal
 Karena kematian
Jika salah satu wafat  suami / istri yang hidup + kerabat perempuan
meneruskan harta dan mengurus anak sampai pewarisan ke anak
 Karena cerai
 Kalau belum punya anak yang dibawa adalah harta pribadi + ½
harta bersama.
 Kalau udah punya anak, suami tidak berhak dapat harta
apapun / hartanya untuk anak  kecuali harta – harta
kebendaan / pusaka suami tetap jd miliknya

 Masyarakat parental
 Karena kematian
Yang tanggungjawab yaitu suami / istri yang masih hidup, apabila
keadaan tidak mampu bisa minta bantuan kerabat suami / istri yang
mampu
 Karena perceraian
 Kalau belum punya anak yg dibawa adalah harta pribadi + ½
harta bersama
 Kalau udah punya anak biasanya yang mengasuh anak
mendapat bagian lebih banyak. Tapi tergantung kesepakatan
masing – masing.

06-03-2017
HUKUM WARIS ADAT

 Sebutan
- Waris  subyek (soepomo)
- Warissan  obyek (wirjono)
- Kewarisan  subyek + obyek (hazairin)

 Berbicara tentang subjek, objek, norma dan proses pewarisan


 Definisi
Aturan / norma yang mengatur proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi manusia kepada turunannya
Note :
- Penerusan : pewaris sudah meninggal
- Pengoperan : pewaris masih hidup

 Karakteristik / ciri – ciri hukum waris adat


1. Harta menurut hukum adat berupa harta material dan immaterial
2. Prinsip utama ahli waris adalah anak dan keturunannya  garis menurun /
vertikal kebawah.
Urutan pewaris :
1. Anak + keturunannya
2. Orangtua
3. Saudara + keturunannya
Perkembangan :
Untuk istri / suami yang hidup lebih lama atas pengaruh putusan
pengadilan (yurisprudensi), agama dll, juga berhak mendapat warisan

3. Proses penerusan / pengoperan ketika pewaris masih hidup


Pewarisan dimaknai sebagai bekal kehidupan ahli waris, bahwa pemberian
warisan menurut hukum adat itu secara bertahap / evolusioner.
Why?
Karena mengelola harta banyak itu butuh proses dan agar lebih siap menghindari
perubahan yang fundamental.
4. Hukum adat tidak mengenal bagian yang pasti (legitime portie)

Menurut hukum adat tidak dikenal hibah terhadap ahli waris. Karena
mnrt hukum adat namanya proses pewarisan apabila diberikannya
ketika pewarisnya masih hidup

5. Pewarisan sangat terkait dengan sistim kemasyarakatan / kekerabatan dan bentuk


perkawinan dalam masyarakat

 Dasar hukum waris

Waris Barat / Waris Islam Waris adat


KUHperdata
Dilihat dari norma BW Al-qur’an, KHI, hadist Hukum waris kontekstual
tergantung adatnya
Dilihat dari nilai Sesuatu yang dianggap Pembagian harta menurut Yang dipandang baik
baik kehendak Allah (nilai menurut masyarakat
ilahi) indonesia (tergantung
dimana tempatnya)

 Kesimpulan
- Waris barat dan adat berasal dari pengalaman hidup manusia  nilai  norma
- Waris islam berasal dari kehendak Allah

 Sistim pewarisan
1. Individual
Pewarisan dari pewaris kepada seluruh ahli waris dan dimiliki secara personal.
Berlaku pada BW dan hukum waris Islam.
Ex : jawa, sulawesi, sumatera, kalimantan
2. Kolektif
Proses pewarisan dari pewaris, diwariskan kepada seluruh ahli warisnya untuk
dimiliki / dikuasai secara bersama – sama.
biasanya di tanah pusaka
ex :
 Minang  tanah ulayat
 Ambon  tanah dati
 Minahasa  malageran (?)
3. Mayorat
proses pewarisan dari pewaris diwariskan kepada salah satu anak tertua. Bisa anak
laki2 tertua atau perempuan tertua.
- Laki2 tertua : di lampung (suku pepadun), irian
- Perempuan tertus : di sumsel (suku semendo), dayak landak (kalimantan)
Makna :
Bukan hak milik yang diberikan, melainkan penguasaannya. Anak tertus dianggap
sebagai pengganti orangtua. Dengan kata lain anak tertus diposisikan untuk
menajerial / pengatur, dengan tetap bertanggungjawab atas keperluan adik –
adiknya.

08-03-2017
 Perbandingan hukum waris
a. Barat
 BW ps 830 : pewarisan hanya berlangsung karena kematian
 Ps 852 BW : anak pria dan wanita mendapat bagian sama (1:1)
 Dasar BW – insaaniah barat
b. Islam
 Annisa” : 7
Bagi pria – wanita ada bagian dari HP ibu – bapak kerabatnya menurut
bagian yang telah ditetapkan
 Annisa’ : 11
Anak lelaki – perempuan, 2 : 1
c. Adat
 Pewaris masih hidup atau setelah meninggal
 Tidak dikenal legitime portie (bagian mutlak)  dibagi menurut
kepentingannya
 Dasar living law : nilai insaniah bangsa indonesia

Q : mengapa sila – sila pancasila dijadikan sebagai dasar acuan asas waris adat?
A : karena pancasila menjadi pandangan hidup bagi bangsa indonesia pada umumnya,
sedang asas – asas hukum adat lebih sempit, yakni hanya terkait pada kebendaan.

 Harta peninggalan
Harta yang ditinggal pemiliknya dan merupakan bagian dari harta perkawinan dan
baru menjadi harta warisan karena harus dikurangi biaya kubur dll.

 Harta perkawinan  harta peninggalan  harta warisan

 Asas waris adat (Hilman)


1. Ketuhanan (religiusitas) dan pengendalian diri (rela berkorban)
2. Kesamaan dan kebersamaan hak
Semua ahli waris punya hak yang sama jadi jangan sampai ada yang semena –
mena  sifatnya : tenggang rasa
3. Kerukunan dan kekeluargaan
Menempatkan persatuan kekeluargaan diatas masalah harta (diutamakan)
4. Musyawarah dan mufakat
Jangan hanya mengutamakan rasionalitas, tapi juga harus ada titik temu diantara
rasa / emosi dengan nalar / pikiran
5. Keadilan dan parimemo (?)
Keadilan bagi seluruh anggota ahli waris dalam pembagian harta warisan 
adilnya itu kontekstual

 Waris (orang yang benar – benar menerima harta warisan)


1. Ahli waris
2. Non (bukan) ahli waris
Ex : anak tiri  misal dia lebih baik dari anak kandung, atau berdasar pada belas
kasihan

 Inti / esensi semua asas adalah harmonisasi nilai2 insaniyah dan ilahiyah
 Menurut moh koesnoe :
- Keselarasan (sila 1)
Sinkronisasi kehendak tuhan dan kepentingan manusia
- Kerukunan (sila 2-4)
Akumulasi 3 sila. Tidak ada pertentangan dan perselisihan sehingga damai
- Kepatutan (sila 5)
Berasal dari adil / layak sehingga patut / pantas

13 – 03 – 2017
 Dampak putusan MK 46/PUU-VIII/2010
positif Negatif
Pertanggungjawaban lelaki Memperluas / toleransi perzinahan
Kepastian hukum tentang ayah bagi anak Kurang menghargai perkawinan formal
Anak dan ayah ada hubungan keperdataan Poligami terselubung
tanpa pengakuan
Hak waris istri dan anak sah menjadi
lemah / berkurang

 Fatwa MUI no 11/2012


Mewajibkan ayah biologis untuk mencukupi kebutuhan hidup anak luar kawin

 Subyek waris
1. Anak sah
Tidak semua anak sah kedudukannya sebagai ahli waris, tergantung struktur
kemasyarakatan, bentuk perkawinan, sistim pewarisan dan sistim kekerabatannya.
Variasinya :
 Bisa seluruh anak laki - laki dan perempuan sebagai ahli waris
 Hanya seluruh anak laki – laki sebagai AW (patrilineal), ex : batak, NTT
 Hanya satu orang anak perempuan (mayorat)
 Hanya seluruh anak perempuan sebagai AW  lampung.
2. Anak tidak sah
Hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan kerabat ibu. Dalam hukum
adat, ayah biologis dapat mengakui melalui lembaga lilikur (lembaga pengakuan
anak) di minahasa. Maknanya tidak untuk menikahi si perempuan, namun hanya
untuk memberi bekal kepada si anak.
Kedudukan anak yang diakui dengan lilikur adalah sebagai yang mendapat waris
(punya hak), namun bukan ahli waris.
3. Anak angkat
Menurut hukum adat ada 2 pilihan :
a. Sebagai ahli waris
Diminta untuk sebagai garis penerus keturunaan sehingga hanya punya hak
waris dari orangtua angkatnya.
Contoh :
Pengangkatan anak tegak tegi (di lampung), kalau di jawa anak angkat
statusnya menjadi ahli waris dari orangtua kandung dan orangtua angkat
(berhak mewarisi kedua – duanya) istilahnya “ngangsu sumur loro”
b. Sebagai bukan ahli waris
 Biasanya mengangkat anak hanya dalam rangka memenuhi tradisi
perkawinan / syarat perkawinan. Misal di patrilineal  di batak
(cewenya batak, cowonya jawa)  maka yang jawa diambil anak oleh
orang batak.
 Bisa juga terjadi kalau perkawinan ambil anak, maksudnya perkawinan
yang memang nanti diangkat anak untuk kemudian dinikahkandengan
anak perempuannya. (anaknya jadi kerabat mertuanya / pihak
perempuan)
4. Janda / duda
Dikaitkan sistim kekerabatan, misal patrilineal ; yang menguasai harta ialah
dominasi suami sehingga janda bukan ahli waris suaminya, karena ketika
memiliki anak, janda dimaknai sebagai perantara jembatan emas  tapi keperluan
hidupnya dijamin oleh kerabat suaminya.
 Misal di matrilineal
1. Punya anak  tidak ada hubungan waris mewaris karena bagi lelaki
yang punya keturunan membawa harta itu adalah hal yang tabu, baik
karena kematian maupun perceraian.
2. Tidak punya anak  janda / duda punya hubungan waris mewaris
 Misal di parental
Suami / istri sebelum 1950 tidak ada hubungan mewaris, namun setelah
ada putusan – putusan pengadilan mengakibatkan suami / istri ada
hubungan waris mewaris  sesuai teori teer haar  hukum adat ada
karena putusan pejabat fungsionaris hukum.
 Proses pewarisan
Bisa dijalankan ketika sebelum dan setelah meninggal.
a. Pra kematian  ada 3 cara :
1. Pengalihan  sudah dialihkan baik hak milik maupun penguasaannya
2. Penunjukan  acungan (jawa)  yang dialihkan baru pengelolaan /
penguasaan tetapi hak milik masih di perwaris.
3. Pesan  wasiat  yang dipegang hanya janji / ucapan yang pelaksanaannya
akan dijalankan ketika pewaris meninggal dunia.

15 – 03 – 2017

Q : kapan waktu bagi waris dan seberapa besar?


A:
1. Saat semua ahli waris berkumpul
2. Dianggap sudah melewati masa berkabung
(syarat waktu pembagian)

 Menurut hukum islam the sooner the better, menurut hukum adat belum tentu, bisa
the sooner (dibagi sebelum orangtua meninggal) the better atau the slower the better.
 Juru bagi
Orangtua, anak tertua, anggota keluarga yang adil dan bijaksana, tetangga – tokoh
masyarakat.
 Besarnya bagian
- Sangat dinamis – tergantung kondisi ahli waris
- Wujud benda, kebutuhan ahli waris
- Kesamaan hak
- Contoh : jawa
1. Sigar semangka / dundum kupat  1 : 1
2. Segendong sepikul  2 : 1
Dinilai kemanfaatannya.
 Hutang
- Negatif : ahli waris tidak dapat dituntut
- Positif : ahli waris tanggungjawab sepanjang kesangupan.

 Hilangnya hak mewaris


1. Membunuh / mencoba membunuh pewaris lainnya
2. Penganiayaan / merugikan
3. Menjatuhkan nama baik pewaris dan kerabatnya
4. Murtad untuk daerah tertentu

 Musyarawah mufakat  sarana dalam rangka menciptakan hubungan hukum dan


penyelesaian sengketa.
Hubungannya dengan waris apabila ada sengketa pasti diselesaikan dengan
musyawarah.
- Hilman  3 tahap dalam menyelesaikan sengketa waris
1. Musyawarah keluarga (win-win solution)
2. Musyawarah adat (anti win-win solution)
3. Pengadilan (ultimum remedium)

 Proses peradilan (PN)


1. Pasal 2(2) UU 48/2009
Peradilan menegakkan hukum kan keadilan berdasarkan pancasila  sesuai
hukum adat
2. Pasal 5 (1)
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat  indikasi living law
3. Pasal 50 (1)
Dasar hakim mengadili : peraturan perundang – undangan atau hukum tak tertulis
 living law/hk adat.

 Proses peradilan (PA)

UU 50/2009 KHI (inpres 1/1991)

UU 3/2006 KMA 154/1991

UU 7/1989 Pedoman hakim - KHI

KHI kadang tidak sesuai dengan al-qur’an, karena KHI merupakan ijtihad (dibawah al-qur’an
dan hadist) yang beberapa ketentuan disesuaikan dengan kemaslahatan umat manusia.

 Dalam membagi kasus waris agar mudah : (langkah teknis)


1. Menggambar skema keluarganya  subyek
2. Inventarisasi harta warisan (obyek)  harus tau hartanya yang mana
3. Tahu yang berhak terima waris
4. Porsi bagian / besarnya warisan.

Anda mungkin juga menyukai