Anda di halaman 1dari 6

B.

Sikap Nabi Terhadap Tafsir Bil Ra’yi

Nabi Muhammad SAW memiliki sikap yang berhati-hati terhadap tafsir bil ra’yi,
yaitu tafsir yang didasarkan pada pendapat atau penalaran manusia. Beliau sering
menekankan pentingnya merujuk kepada wahyu Al-Quran dan hadis dalam memahami ajaran
Islam. Sikap Nabi terhadap tafsir bil ra’yi cenderung waspada karena penafsiran semacam itu
dapat mengarah pada kesalahan atau penyimpangan dari ajaran agama. Oleh karena itu,
beliau lebih menekankan pentingnya mengikuti ajaran yang telah ditetapkan dalam Al-Quran
dan hadis daripada mengandalkan pendapat pribadi.

Sikap Nabi Muhammad SAW terhadap Tafsir bir-ra’yi dapat kita lihat dari beberapa

riwayat seperti :
‫ْأ‬ ‫ْأ‬
‫َو َم ْن َقاَل ِفى اْلُقْر آِن ِبَر ِيِه َفْلَيَتَبَّو َم ْقَع َد ُه ِم َن الَّناِر‬

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia


mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan
bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).1

Kemudian ada pun do’a Nabi Muhammad SAW yang dipanjatkan kepada Ibnu Abbas,
dan ini juga salah satu sikap Rasul yang membolehkan Tafsir bi al-Ra’yi. Ada pun bunyinya
sebagai berikut:

‫َالَّلُهَّم َفِّقْهُه ِفى الِّدْيِن َو َع َلَم ُه الَتْأِو ْيِل‬

“ Ya Allah berilah pemahaman pada Ibnu Abbas dalam masalah Agama dan ajarkanlah Ibnu
Abbas dalam menafsurkan al-Qur’an.”(HR. Ahmad)2

Bahkan ath-Thabari dalam Tafsirnya meriwayatkan dari Jundub bin Abdullah bahwa
Rasulullah SAW bersabda :

‫َم ْن َتَك َّلَم ِفي اْلُقْر آِن ِبَر ْأِيِه َفَأَص اَب َفَقْد َأْخ َطَأ‬

“Barang siapa yang berpendapat pada Al-Qur’an dengan pendapatnya, ia telah melakukan
kesalahan meskipun pendapatnya benar”. (HR.Tirmidzi dan Jundub).3

1
M. Quraish Shihab. Kaidah tafsir,( Ciputat:Penerbit lentera hati,2013), hal. 368.
2
Dr. H.Anshori LAL.,MA. Tafsir bil ra’yi,(Ciputat:Gaung Persada Press Jakarta,2010), hal. 9
3
M. Quraish Shihab. Kaidah tafsir,( Ciputat:Penerbit lentera hati,2013), hal. 368.
Maksud hadits ini bukan menyalahkan penafsiran dengan akal secara mutlak.
Menurut Ibnu ‘Athiyah, hadits ini ditunjukkan kepada orang yang terburu-buru dalam
menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa mengambil pendapat para ulama tafsir serta tanpa
menerapkan kaidah ilmu seperti kaidah ilmu gramatika bahasa arab. Hadits ini tidak
ditunjukkan kepada seorang ahli tafsir yang berlandaskan ilmu dan pertimbangan. Karena,
para ahli tafsir yang berlandaskan ilmu tidak sekedar menggunakan pendapat pribadi.

Dari riwayat di atas itu bermaksud untuk menekankan perlunya menempuh cara yang
benar dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini serupa dengan sikap guru mengajarkan matematika
ketika memeriksa jawaban siswanya. Bisa jadi hasil yang diperoleh sang siswa benar, tetapi
jika cara yang mengantarnya ke jawaban itu keliru, maka tetap saja sang siswa di nilai keliru.

Bisa jadi ada penafsiran yang sudah sesuai dengan pengertian kebahasaan dan kaidah-
kaidah kebahasaan, namun ia tetap tertolak kalau makna yang ditarik dari ayat bertentangan
dengan hakikat keagamaan.

Secara umum penafsiran yang terlarang tercemin dalam penafsiran seseorang untuk
mendukung prakonsepsinya yang tidak memiliki dasar agama dan logika yang kukuh, tetapi
sekedar apa yang terlintas dalam benaknya atau ide keliru yang telah meresap dalam dirinya.

C. Pendapat Ulama Seputar Tafsir Bil Ra’yi

Ada beberapa pendapat Ulama tentang seputar tafsir bir-ra’yi. Sebagian ulama
mufassir menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan sendiri ayat Al-Qur’an,
meski ia dikatakan ‘alim (ulama), mengenai bahasa dan sastra Arab (adid), banyak menguasai
dalil-dalil agama, mengerti ilmu nahwu,hadis Nabi dan mengetahui atsar para sahabat Nabi.
Yang diperbolehkan hanyalah menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diriwayatkan
dari Nabi saw melalui sahabat dan tabi’in.

Sementara itu sebagian ulama yang lain berpandangan sebaliknya. Mereka


berpandangan bahwa bagi mereka yang memiliki pengetahuan luas, hendaknya menafsirkan
al-Qur’an dengan akal dan ijtihadnya

1) Ulama yang menolak tafsir Al Quran bil ra’yi

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai Tafsir bi al-Ra’yi sebagian


menolak dan sebagian lain mendukung. Ulama yang menolak Tafsir bi al-Ra’yi antara lain
adalah Ibn Taimiyah. Dia menyatakan dalam kitabnya “Majmu’ Al-fatawa” bahwa tafsir
dengan menggunakan akal semata termasuk tafsir yang harus dijauh dan juga tafsir harus
didasarkan pada dalil yang kuat dari Al-Quran dan hadis, bukan hanya pendapat pribadi
semata.

Ibn Katsir menyatakan dalam kitab tafsirnya “Tafsir ibn’ Katsir” bahwa Tafsir bi al-
Ra’yi yang dipahami oleh ulama salaf sebagai suatu metode penafsiran yang pelik, sebab
yang dimaksudkan adalah menafsirkan ayat-ayat al Quran tanpa berdasarkan ilmu
pengetahuan dan argumen yang kuat. Penolakan sebagian ulama pada Tafsir bi al-Ra’yi
didasarkan pada alasan tertentu yang disandarkan pada berbagai argumen yang terdapat
dalam al Quran dan Hadis.4

Al-Qurtubi juga dalam kitabnya yang berjudul “Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran”
adalah seorang ulama yang menekankan pentingnya tafsir berdasarkan dalil-dalil yang kuat,
seperti tafsir berdasarkan asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat) dan riwayat hadis yang sahih

Ulama yang menolak tentang penafsiran secara bil ra’yi dikarenakan mereka tidak
yakin tentang metode penafsiran tersebut bahwa apa yang dikemukakan oleh mufassir bil
Ra’yi sama dengan yang dikehendaki Allah SWT. Artinya mufassir bir-Ra’yi, hanya
berdasarkan pada perkiraan (dzhan) saja. Menafsirkan atas dasar dzhan adalah menafsirkan
ayat Allah SWT dengan tanpa ilmu. Ini dilarang sebagaimana Firman Allah SWT:

‫ُقۡل ِاَّنَم ا َح َّر َم َر ِّبَى اۡل ـَفَو اِحَش َم ا َظَهَر ِم ۡن َها َو َم ا َبَطَن َو اِاۡل ۡث َم َو اۡل َبـۡغ َى ِبَغ ۡي ِر اۡل َح ـِّق َو َاۡن ُتۡش ِرُك ۡو ا ِباِهّٰلل َم ا َلۡم ُيَنِّز ۡل ِبٖه ُس ۡل ٰط ًنا َّو َاۡن‬

٣٣ ‫َتُقۡو ُلۡو ا َع َلى ِهّٰللا َم ا اَل َتۡع َلُم ۡو َن‬

Artinya : “Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji


yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang
benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu sedangkan Dia
tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah
apa yang tidak kamu ketahui.”(Q.S Al-A’raf : 33)

Dan juga ulama yang menolak tafsir bir-Ra’yi karena berkeyakinan bahwa yang
berhak menjelaskan al-Qur’an hanya Nabi Muhammad SAW. Baik melalui perbuatan,

4
https://www.pecihitam.org/perbedaan-pendapat-ulama-tentang-tafsir-bi-al-rayi/ (25 Oktober 2023)
perkataan atau penetapan dan sikap serta beliau. Argumen ini berlandaskan pada firman Allah
SWT:

٤٤ ‫ِباۡل َبِّيٰن ِت َو الُّز ُبِؕر َو َاۡن َز ۡل َنۤا ِاَلۡي َك الِّذ ۡك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِاَلۡي ِهۡم َو َلَع َّلُهۡم َيَتَفَّك ُر ۡو َن‬

Artinya : “(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan


kitab-kitab. Dan Kami turunkan Aż-Żikr (Alquran) kepadamu, agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”.
(Q.S An-Nahl : 44)

Dan pendapat itu pun dibantah para ulama pendukung tafsir bir-Ra’yi, karena menurut
mereka, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, maka penjelasan Al-Qur’an memang
menjadi otoritas beliau. Tetapi sepeninggal Nabi SAW, sementara masalah-masalah baru
bermunculan, maka penjelasan mengenai masalah-masalah tersebut, khususnya terkait tafsir
Al-Qur’an, adalah penafsiran yang dilakukan oleh (Mufasir) dengan menggunakan akal dan
ijtihadnya.

2) Ulama yang memperbolehkan tafsir Al Quran bil ra’yi

Di dunia Islam, pendekatan tafsir berdasarkan pendapat pribadi atau ra’yi kurang
dianjurkan, sehingga tidak banyak ulama yang secara khusus memperbolehkan tafsir
semacam itu. Imam Al-Maturidi adalah salah satu yang dikenal memperbolehkan tafsir bil
ra’yi dalam beberapa situasi. Namun, mayoritas ulama Islam cenderung mengutamakan tafsir
yang didasarkan pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Quran dan hadis. Dalam sejarah Islam,
Imam Al-Maturidi adalah salah satu yang mencatat pandangan ini. Namun, penting untuk
diingat bahwa pemahaman dan pendapat ulama dapat berbeda, dan pendekatan tafsir yang
dianggap lebih kuat adalah yang didasarkan pada dalil-dalil yang jelas dan kuat.
Meskipun banyak ulama salaf yang menolak eksistensi dari Tafsir bi al-Ra’yi, tetapi
mayoritas ulama, terutama ulama tafsir kontemporer menerimanya. Syaikh Muhammad
Abduh, misalnya, menyatakan bahwa tafsir Tafsir bi al-Ra’yi sebagai salah satu metode
memahami al Quran dapat diterima, sebab antara akal dan wahyu tidak mungkin
bertentangan.
Penggunaan akal secara bebas dalam menafsirkan ayat al-Quran dimungkinkan sepanjang
tidak membawa kemudaratan dan sesuai dengan ruh syariat.
Demikian pula Imam Fakhruddin Ar-Razi mendukung Tafsir bi al-Ra’yi; terbukti
dalam kitab tafsirnya banyak menggunakan pemikiran filsafat, teologi dan ilmu kealaman
Penerimaan sebagian ulama pada tafsir al ra’yi mengacu kepada firman Allah :
٢٤ ‫َاَفاَل َيَتَدَّبُر ۡو َن اۡل ُقۡر ٰا َن َاۡم َع ٰل ى ُقُلۡو ٍب َا ۡق َفاُلَها‬

Artinya : “Maka tidakkah mereka menghayati Alquran, ataukah hati mereka sudah
terkunci?”
(Q.S Muhammad : 24)

Dan juga hadits Nabi Muhammad SAW yang mana Nabi memanjatkan do’a untuk
Ibnu Abbas, dan ini juga salah satu sikap Rasul yang membolehkan Tafsir bi al-Ra’yi. Ada
pun bunyinya sebagai berikut:

‫َالَّلُهَّم َفِّقْهُه ِفى الِّدْيِن َو َع َلَم ُه الَتْأِو ْيِل‬

“ Ya Allah berilah pemahaman pada Ibnu Abbas dalam masalah Agama dan ajarkanlah Ibnu
Abbas dalam menafsurkan al-Qur’an.”(HR. Ahmad)

Dan juga lanjut sang ulama tersebut berpendapat demikian dikarenakan Seandainya Tafsir bi
al-Ra’yi tidak dibolehkan, maka banyak ayat ayat hukum yang tidak dapat diamalkan. Lagi
pula, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda :

‫ َفَلُه َأْج ٌر‬،‫ َوِإَذ ا َح َك َم َفاْج َتَهَد ُثَّم َأْخ َطَأ‬، ‫ َفَلُه َأْج َر اِن‬، ‫ِإَذ ا َح َك َم اْلَح اِكُم َفاْج َتَهَد ُثَّم َأَص اَب‬

“Apabila seorang hakim menghukumi suatu masalah lalu dia berijtihad kemudian dia benar,
maka dia mendapat dua pahala. Apabilia dia menghukumi suatu masalah lalu berijtihad dan
dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala.”(HR. Muslim : 1716 dari Amer bin Al-Ash)

Anda mungkin juga menyukai