Anda di halaman 1dari 43

PERKEMBANGAN SENI RUPA ISLAM

PERIODE NABI MUHAMMAD SAW

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Seni Rupa Islam

Dosen Pengampu : Dr. Taswadi, M.Sn.

Oleh :

Christopher Gunawan

2006212

KELAS A

JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPA DAN KERAJINAN

FAKULTAS PENDIDIKAN SENI DAN DESAIN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Perkembangan Seni Rupa Islam Periode Nabi Muhammad SAW”.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas dari Bapak Dr. Taswadi, M.Sn. pada mata kuliah Sejarah Seni Rupa
Islam. Selain itu, tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah
wawasan dan mencari tahu tentang Perkembangan Sejarah Seni Rupa Islam pada
Periode Nabi Muhammad SAW bagi para pembaca dan juga saya sebagai penulis.

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Taswadi, M.Sn.
selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Seni Rupa Islam yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan
seputar Perkembangan Seni Rupa Islam. Selain itu, saya juga berterimakasih
kepada semua pihak yang sudah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar saya dapat memperbaiki makalah ini untuk kedepannya.

Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Bandung, 19 September 2021

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB 1 : PENDAHULUAN............................................................................. 1

1.1.....................................................................................................................Latar
Belakang..................................................................................................... 1
1.2.....................................................................................................................Rum
usan Masalah.............................................................................................. 2
1.3.....................................................................................................................Tujua
n.................................................................................................................. 2
1.4.....................................................................................................................Manf
aat................................................................................................................ 2

BAB 2 : PEMBAHASAN............................................................................... 3

2.1. Perkembangan Islam Periode Nabi Muhammad SAW............................. 3

2.2. Latar Belakang Lahirnya Karya Seni Rupa pada Masa Nabi Muhammad
SAW................................................................................................................. 4

2.3. Karya yang Muncul pada Masa Nabi Muhammad SAW.......................... 5

BAB 3 : PENUTUP......................................................................................... 37

3.1. Kesimpulan................................................................................................ 37

3.2. Saran.......................................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 38

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Agama Islam merupakan sebuah agama yang hadir atau lanjutan dari agama-
agama yang sudah ada sebelumnya. Agama Islam disebarkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Agama Islam sendiri merupakan agama penyempurna dari
ajaran-ajaran agama sebelumnya. Islam menyebar dari daerah Timur Tengah
hingga ke Eropa bagian Barat.

Sebuah agama ataupun ajaran akan menjadi sebuah faktor yang


mempengaruhi sebuah kebudayaan dan kebiasaan kehidupan masyarakat. Sebuah
ajaran yang dapat diterima dengan terbuka oleh masyarakat setempat akan dengan
sangat mudah diterapkan pada kehidupan masyarakat bahkan lingkungan tempat
tinggal mereka. Hal ini akan menyebabkan sebuah akulturasi dan asimilasi
kebudayaan antara ajaran agama dan kebudayaan setempat sehingga kebudayaan
akan terus berkembang bahkan bisa berubah.

Seni rupa merupakan salah satu wujud dari produk kebudayaan yang lahir.
Seni rupa pada periode Islam mulai hadir pada masa awal hingga akhir keemasan
Islam. Penyebarannya meliputi daerah Jazirah Arab, Afrika Utara, Timur Tengah
dan Eropa. Namun, penyebaran kesenian Islam tidak hanya bertahan saat itu saja,
kesenian Islam terus menyebar dan berkembang hingga saat ini.

Seni rupa periode Islam tentunya memiliki aturan tertentu yang sesuai dengan
Al-Qur’an. Seperti tidak diperbolehkannya menggambar objek makhluk hidup
seperti manusia dan hewan. Seni rupa Islam cenderung menghadirkan prinsip
keindahan dengan menggunakan motif-motif hias yang berasal dari tumbuhan
seperti bunga dan penggunaan bidang-bidang geometri yang sering dipakai untuk
ornament karya seni Islam.

Ciri khas seni rupa periode Islam seperti yang disebutkan diatas biasanya
diterapkan pada sebuah bangunan-bangunan arsitektur yang meliputi bagian
eksterior dan interiornya. Selain pada bangunan, ciri khas lainnya dapat dijumpai
pada seni tulisan yang disebut dengan kaligrafi yang biasanya juga menggunakan

1
seni hias. Selain ketiga karya seni tadi, karya seni lainnya adalah seni miniatur,
makam, dan uang logam.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang ada dalam makalah ini diantaranya adalah:

1) Bagaimanakah perkembangan islam pada periode Nabi Muhammad SAW?


2) Apa yang melatarbelakangi lahirnya karya seni rupa pada periode Nabi
Muhammad SAW?
3) Karya apa saja yang muncul pada periode Nabi Muhammad SAW?
1.3. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:

1) Untuk mengetahui perkembangan Islam pada periode Nabi Muhammad


SAW.
2) Untuk mengetahui hal yang melatarbelakangi lahirnya karya seni rupa
pada periode Nabi Muhammad SAW.
3) Untuk mengetahui jenis karya seni yang berkembang pada periode Nabi
Muhammad SAW.
1.4. Manfaat

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai bahan ajar baik bagi
penulis maupun pembaca. Selain itu, manfaat lainnya adalah untuk menambah
wawasan seputar sejarah perkembangan seni rupa Islam.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Perkembangan Islam Periode Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama di Gua Hira di


Makkah pada tahun 610 M. dalam wahyu itu termaktub ayat Alquran yang
artinya: “Bacalah (ya Muhammad) dengan nama tuhanmu yang telah menjadikan
(semesta alam). Dia menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
tuhanmu maha pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan kepada
manusia apa yang belum diketahuinya. Kemudian disusul oleh wahyu yang kedua
termaktub ayat Alquran yang artinya: Hai orang yang berkemul (berselimut).
Bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu
bersihkanlah. dan perbuatan dosa tinggalkanlah. dan janganlah kamu member
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. dan untuk (memenuhi
perintah)Tuhanmu, bersabarlah.

Dengan turunnya wahyu itu Nabi Muhammad SAW telah diberi tugas oleh
Allah, supaya bangun melemparkan kain selimut dan menyingsingkan lengan baju
untuk member peringatan dan pengajaran kepada seluruh umat manusia, sebagai
tugas suci, tugas mendidik dan mengajarkan Islam.kemudian kedua wahyu itu
diikuti oleh wahyu-wahyu yang lain. Semuanya itu disampaikan dan diajarkan
oleh Nabi, mula-mula kepada karib kerabatnya dan teman sejawatnya dengan
sembunyi-sembunyi.Setelah banyak orang memeluk Islam, lalu Nabi
menyediakan rumah Al-Arqam bin Abil Arqam untuk tempat pertemuan sahabat-
sahabat dan pengikut-pengikutnya. di tempat itulah pendiikan Islam pertama
dalam sejarah pendidian Islam. Disanalah Nabi mengajarkan dasar-dasar atau
pokok-pokok agama Islam kepada sahabat-sahabatnya dan membacakan wahyu-
wahyu (ayat-ayat) Alquran kepada para pengikutnya serta Nabi menerima tamu
dan orang-orang yang hendak memeluk agama Islam atau menanyakan hal-hal
yang berhubungan dengan agama Islam.

3
Pada Fase Makkah kebijakan dakwa Rasulullah adalah dengan
menonjolkan kepemimpinan dengan menonjolkan aspek-aspek keteladanannya.
Dakwah yang dilakukan oleh Nabi pada Fase ini terbagi menjadi dua yaitu secara
sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan.Pada Fase Madinah ada beberapa
bidang yang dikembangkan sebagai wujud dari upaya Nabi untuk membentuk
Negara Islam diantaranya yaitu pembentukan sistem sosial kemasyarakatan,
militer, politik, dakwah, ekonomi, dan sumber pendapatan Negara. Pada fase ini
Islam menjadi agama yang sangat berkembang dengan visi dan misi yang satu
yaitu menjadi negara Islamiah dengan pedoman Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Dan
Nabilah yang memperkenalkan pertama kali konsep Negara Demokrasi yang
sekarang banyak di anut oleh negara-negara modern Islam maupun non Islam.

Perkembangan budaya Islam pada masa Nabi Muhammad SAW seperti


Pada masa awal Islam, Rasulullah Saw berkhutbah hanya sebuah pelepah kurma.
Kemudian, tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak,
dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan untuk Nabi sebuah
mimbar dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk khutbah Jumat dan munasabah-
munasabah lainnya. Kemudian dalam perang Ahzab, Rasul menerima saran
Salman al-Farisy untuk membuat parit (khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini
adalah salah satu metode pertahanan ala Persi.

Ada juga pembangunan Masjid Masjid Quba Ketika Rasulullah dan pura
sahabat hijrah menuju Madinah, orang-orang Anshar yang tak lain adalah kaum
Aus dan Khazraj menanti dengan kedatangan Rasulullah SAW. Tatkala
Rasulullah SAW tiba, mereka keluar rumah dan menyambutnya dengan pemah
suka cita. Rasulullah SAW berhenti di Quha' selama lima hari.

2.2. Latar Belakang Lahirnya Karya Seni Rupa pada Masa Nabi
Muhammad SAW

Seni rupa Islam merupakan salah satu produk kebudayaan Islam. Seni
rupa Islam hadir pada masa Zaman Awal hingga Akhir masa keemasan Islam.
Beberapa karya seni rupa islam muncul dengan sesuatu hal yang
melatarbelakanginya. Seni rupa menjadi sebuah keperluan dalam kehidupan
manusia karena seni merupakan fitrah ata tabii jadi manusia. Karya seni rupa

4
seperti seni Arsitektur Islam menjadi sebuah kebutuhan umat manusia. Salah
satunya yaitu untuk beribadah. Seni Islam juga mengharapkan menjadikan
manusia untuk selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan dan ciptakan untuk
mereka. Karenanya, dalam islam seni memiliki beberapa prinsip yang sesuai
dengan aturan Al-Qur’an.

Seni rupa periode Islam tentunya memiliki aturan tertentu yang sesuai dengan
Al-Qur’an. Seperti tidak diperbolehkannya menggambar objek makhluk hidup
seperti manusia dan hewan. Seni rupa Islam cenderung menghadirkan prinsip
keindahan dengan menggunakan motif-motif hias yang berasal dari tumbuhan
seperti bunga dan penggunaan bidang-bidang geometri yang sering dipakai untuk
ornament karya seni Islam.

Ciri khas seni rupa periode Islam seperti yang disebutkan diatas biasanya
diterapkan pada sebuah bangunan-bangunan arsitektur yang meliputi bagian
eksterior dan interiornya. Selain pada bangunan, ciri khas lainnya dapat dijumpai
pada seni tulisan yang disebut dengan kaligrafi yang biasanya juga menggunakan
seni hias. Selain ketiga karya seni tadi, karya seni lainnya adalah seni miniatur,
makam, dan uang logam.

2.3. Karya yang Muncul pada Masa Nabi Muhammad SAW

1) Seni Arsitektur

Seni arsitektur merupakan sebuah karya seni yang berwujud bangunan dan
berupa tata ruang yang memiliki fungsi untuk ditinggali ataupun sebagai fasilitas
umum. Kemunculan sebuah arsitektur akan mempengaruhi muncul dan
tenggelamnya sebuah peradaban.

Kemunculan seni arsitektur islam berawal dari abad ke-7 sampai ke-15
yang meliputi sebuah perkembangan struktur, seni dekorasi, ragam hias dan
tipologi bangunan. Arsitektur termasuk di dalam seni ruang dalam esensi seni
menurut Islam, hal ini dikarenakan arsitektur merupakan seni visual yang
mendukung kemajuan peradaban Islam (Al Faruqi, 1999: 158).

a. Masjid

5
Pada jaman nabi Muhammad SAW masjid yang pertama kali dibangun
adalah Masjid Quba, masjid ini awalnya merupakan pelataran yang kemudian
dipagari dengan dinding tembok yang cukup tinggi. Pada saat itu bangunannya
masih amat sederhana, tiang-tiangnya terbuat dari batang-batang pohon kormadan
atapnya terbuat dari pelepah daun korma yang dicampur atau diplester dengan
tanah liat, mimbarnya juga terbuat dari potongan batangbatang pohon korma yang
ditidurkan dan ditumpuk tindih-menindih.

Selain itu, di Madinah juga di bangun Masjid Nabawi dengan pola yang
sama dengan Masjid Quba, yaitu berbentuk segi empat panjang berpagar tembok
tinggi. Pola awal ini memang cenderung mengarah pada bentuk yang fungsional
sesuai kebutuhan yang diajarkan Nabi, yaitu masjid sebagai saran kegiatan ibadah
maupun muamalah. Masjid Nabawi yang awalnya berbentuk sederhana ini
nantinya diperluas dan dibangun kembali dengan megah oleh kholifah Al Walid
pada tahun 706 M.

Arsitektur Masjid Quba dan Masjid Nabawi dan Bahan Bangunannya

Sejarah masjid bermula sesaat setelah Rasulullah Saw, hijrah di Madinah.


Saat Rasulullah Saw tiba di Quba, pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun
ke-14 nubuwwah atau tahun pertama hijrah, bertepatan tanggal 23 September 662
M, beliau membangun masjid yang pertama yang disebut masjid Quba. Lokasinya
berada di sebelah tenggara Kota Madinah.

Jaraknya lima kilometer di luar Kota Madinah. Dijelaskan dalam sejarah,


tokoh Islam yang memegang peranan penting dalam pembangunan masjid ini
adalah sahabat Rasulullah yaitu ‘Ammar ra. Saat Rasulullah Saw hijrah dari
Makkah ke Madinah, pria ini mengusulkan untuk membangun tempat berteduh
bagi Rasulullah di kampong Quba yang tadinya hanya terdiri atas hamparan
kebun kurma.

Kemudian, dikumpulkannya batu-batu dan disusun menjadi masjid yang


sangat sederhana. Meskipun tak seberapa besar, paling tidak bangunan ini dapat
menjadi tempat berteduh bagi rombongan Rasulullah Saw, mereka pun dapat
beristirahat pada saat siang hari dan mendirikan shalat dengan tenang.

6
Rasulullah Saw, meletakkan batu pertama tepat di kiblatnya dan ikut
menyusun batu-batu selanjutnya hingga bisa menjadi pondasi dan dinding masjid.
Rasullullah Saw dibantu para sahabat dan kaum Muslim yang lain. Ammar
menjadi pengikut Rasulullah yang paling rajin dalam membangun masjid ini.
Tanpa kenal lelah, ia membawa batubatu yang ukurannya sangat besar, hingga
orang lain tak sanggup mengangkatnya. Ammar mengikatkan batu itu ke perutnya
sendiri dan membawanya untuk dijadikan bahan bangunan penyusun masjid ini.

Ammar memang selalu dikisahkan sebagai prajurit yang sangat perkasa


bagi pasukan Islam. Dia mati syahid pada usia 92 tahun. Pada awal
pembangunannya yang dibangun dengan tangan Rasulullah sendiri masjid ini
berdiri di atas kebun kurma. Luas kebun kurmanya kala itu 5.000 meter persegi
dan masjidnya baru sekitar 1.200 meter persegi. Rasulullah Saw, sendiri pula yang
membuat konsep desain dan model masjidnya.

Meskipun sangat sederhana, Masjid Quba boleh dianggap sebagai contoh


bentuk masjid-masjid selanjutnya. Bangunan yang sangat sederhana kala itu sudah
memenuhi syarat-syarat yang perlu untuk pendirian masjid. Masjid ini telah
memiliki sebuah ruang persegi empat dan berdinding disekelilingnya.

Di sebelah utara dibuat serambi untuk tempat sembahyang. Dulu, ruangan


ini bertiangkan pohon kurma, beratap datar dari pelepah, dan daun korma yang
dicampur dengan tanah liat. Di tengah-tengah ruang terbuka dalam masjid yang
kemudian biasa disebut sahn terdapat sebuah sumur tempat wudhu. Di sini,
jamaah bisa mengambil air untuk membersihkan diri. Dalam masjid ini,
kebersihan selalu terjaga, cahaya matahari dan udara pun dapat masuk dengan
leluasa.

Setelah masjid Quba, bangunan masjid yang selanjutnya dibangun oleh


Rasulullah Saw adalah masjid Nabawi di Madinah. Rasulullah Saw, membangun
Masjid Nabawi pada bulan Rabiul Awal di awal-awal hijrahnya ke Madinah. Pada
saat itu panjang masjid adalah 70 hasta dan lebarnya 60 hasta atau panjangnya 35
m dan lebar 30 m. Kala itu Masjid Nabawi sangat sederhana, kita akan sulit
membayangkan keadaannya apabila melihat bangunannya yang megah saat ini.

7
lantai masjid adalah tanah yang berbatu, atapnya pelepah kurma, dan terdapat tiga
pintu, sementara sekarang sangat besar dan megah.

Sumalyo (2006: 29) menyebutkan, Masjid Nabawi dibangun oleh


Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersama para Sahabat pada tahun 622
masehi atau tahun pertama hijriyah dengan luas area 805m2 yang dikelilingi
dinding setinggi 2,9 meter pada keempat sisinya.

Pada awalnya, Masjid Nabawi memiliki orientasi kiblat ke arah Utara,


yakni Baitul Maqdis di Yerusalem yang merupakan kiblat pertama umat Islam
selama 16 atau 17 bulan sebelum terjadinya perpindahan arah kiblat menghadap
Ka’bah di Mekah yang menyebabkan perubahan orientasi Masjid Nabawi dari
arah Utara berganti ke arah Selatan, sebagaimana termuat dalam Surah AlBaqarah
ayat 144 berikut (yang artinya), “Sungguh Kami sering melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.

Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan


sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang diberi Al-Kitab Taurat dan
Injil memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar
dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Lebih lengkap lagi Fanani (2009: 146) menggambarkan tata ruang Masjid Nabawi
pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, tepatnya pada masa awal
ketika kiblat umat Islam masih mengarah ke Jerusalem yang berada di sisi utara
masjid (lihat gambar).

Di sisi kiblat terdapat area salat yang disebut zulla atau haram, sementara
di dinding sisi Selatan terdapat ruang yang dinamakan shuffah, dan di dinding sisi
barat terdapat bilik-bilik hunian istri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
yang menjadikan perluasan Masjid Nabawi pada masa awal dilakukan ke arah sisi
timur karena tidak dimungkinkan memperluas masjid ke arah barat yang
merupakan tempat bagi bilik hunian keluarga Rasulullah.

8
Rekonstruksi denah Masjid Nabawi pada masa awal dengan kiblat mengarah
ke Baitul Maqdis di Jerusalem. Sumber: Achmad Fanani, 2009. Diakses
tanggal 25 September 2021 di
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/12399/Arsitektur
%20Masjid%20169-190.pdf

Pada masa ini, merujuk kepada Fanani (2009: 161), Masjid Nabawi
memiliki pintu masuk di dinding timur, selatan, dan barat. Ketika terjadi
perpindahan arah kiblat, pintu di selatan ditutup untuk dijadikan dinding kiblat
dan dibuatkan pintu baru di dinding utara yang sebelumnya merupakan dinding
kiblat ke arah Baitul Maqdis di Jerusalem. Fanani (2009: 162) menambahkan,
pintu di dinding barat dan selatan diperuntukkan untuk umum, sedangkan pintu di
dinding timur yang diberi nama Pintu Jibril karena pernah dimasuki oleh Malaikat
Jibril Alaihissallam dalam wujud manusia untuk menemui Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam di dalam masjid, merupakan pintu yang hanya diperuntukkan
bagi beliau Shallallahu Alaihi Wasallam untuk memasuki masjid.

Pada masa awal, bentukan tata ruang Masjid Nabawi didominasi area
terbuka tanpa atap. Hanya terdapat dua ruang beratap, yakni haram di sisi dinding
kiblat dan shuffah di sisi dinding yang berseberangan dengan arah kiblat. Fanani
(2009: 148) menggambarkan, area salat yang disebut haram merupakan ruang
selebar dua baris kolom dari batang kurma beratapkan anyaman daun kurma
sederhana tanpa olahan kedap air, sehingga ketika hujan menyebabkan area salat
tergenang air dan berlumpur.

Ketika terjadi perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis di Jerusalem ke


Ka’bah di Mekah dilakukan pembongkaran area salat, tetapi menurut Fanani

9
(2009: 148) tidak terdapat informasi yang menyatakan terjadinya perubahan
tampilan area salat maupun peningkatan kualitas ruang salat. Selain area salat,
ruang beratap di Masjid Nabawi pada masa awal adalah shuffah yang merupakan
ruang selebar satu baris kolom dengan spesifikasi kolom dan penutup atap yang
sama dengan area salat.

Di antara dua ruang beratap di Masjid Nabawi, dinyatakan oleh Fanani


(2009: 152-153), terdapat dua versi mengenai ruang beratap pertama di Masjid
Nabawi. Versi pertama menggambarkan bahwa ruang beratap pertama yang di
Masjid Nabawi adalah shuffah karena diperuntukkan untuk tempat berteduh dan
bermukim sementara bagi para sahabat yang disebut dengan kalangan Ahlul
Shuffah, sementara itu ruang salat pada awalnya terbuka tanpa atap sampai para
sahabat meminta Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membuatkan atap untuk
ruang salat agar terhindari dari panas matahari saat melaksanakan salat Zuhur
berjamaah.

Sedangkan versi kedua menyatakan ruang beratap pertama di Masjid


Nabawi adalah area salat, bukan shuffah sebagaimana menurut versi pertama.
Sepanjang sejarahnya, Masjid Nabawi telah mengalami berkali-kali
perkembangan. Perkembangan pertama, selain pemindahan kiblat yang terjadi
pada bulan ke-17 paska Hijrah, menurut Fanani (2009: 156, 165) pada tahun ke-7
hijriyah atau tepatnya pada tahun 629 masehi kembali dilakukan perkembangan
Masjid Nabawi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersama para
Sahabat selepas Perang Khaibar.

Pada perkembangan pertama ini Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam


melakukan perluasan masjid untuk meningkatkan kapasitas ruang salat hingga
Masjid Nabawi memiliki luas sekitar 2.500 m2 , sekaligus menambah bilik hunian
istri Nabi menjadi 9 ruang. Untuk memperluas ruang Masjid Nabawi, Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam membeli tanah di sebelah masjid melalui wakaf
Utsman bin Affan seharga 25.000 dirham. Fanani (2009: 157) menyatakan inilah
perkembangan terakhir Masjid Nabawi yang dilakukan langsung oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam.

10
Pasca perluasan yang pertama, sebagaimana digambarkan oleh Fanani
(2009: 160, 165), Masjid Nabawi memiliki panjang 45 meter untuk setiap sisi
dinding dengan rincian ruang salat menjadi seluas 3 baris kolom beratap, ruang
shuffah memenuhi sisi dinding yang berseberangan dengan arah kiblat dan
kemungkinan mengalami perluasan menjadi 2 baris kolom beratap. Fanani (2009:
160) menafsirkan denah pasca perluasan pertama Masjid Nabawi yang masih
mempertahankan bentuk bujur sangkar dikarenakan kesadaran Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam terhadap Ka’bah di Mekah yang dipersepsikan
secara psikologis oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai cetak biru
untuk membangun dan memperluas Masjid Nabawi.

Pasca perluasan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, kualitas


ruang Masjid Nabawi masih terbilang sederhana. Fanani (2009: 161) menuliskan,
pada masa tersebut dinding Masjid Nabawi merupakan susunan batu bata dari
balok tanah liat yang dikeringkan di bawah sinar matahari (labin), kolom dari
batang kurma (juzu’), atap masjid dari pelepah kurma (jarid) dan daun kurma
(khush) yang dilapisi dengan tanah liat. Untuk kondisi lantai Masjid Nabawi,
Fanani (2009: 160-161) mencatat dua versi berbeda yang menyebutkan lantai
Masjid Masjid Nabawi ditutupi dengan tanah atau ditutupi dengan perkerasan
batu. Kedua versi tersebut memiliki kemungkinan benar dengan
mengkompromikan bahwa terdapat bagian lantai Masjid Nabawi yang ditutupi
tanah dan bagian lainnya ditutupi batu.

Dari pemaparan di atas, Fanani (2009: 70-71, 146, 154) menyimpulkan


model awal tata ruang arsitektur masjid yang merujuk pada tata ruang Masjid
Nabawi masa awal berupa denah berbentuk bujur sangkar yang dikelilingi dinding
di keempat sisinya dengan ruang salat beratap berada di arah kiblat yang disebut
haram atau zulla, serambi yang disebut riwaq, dan halaman terbuka di tengah
masjid yang disebut sahn. Walaupun Umar bin Khattab pada periode selanjutnya
melakukan perubahan bentuk denah Masjid Nabawi, sehingga tidak lagi
berbentuk bujur sangkar, model denah bujur sangkar tetap menjadi panduan bagi
Sa’ad bin Abi Waqqas untuk mendirikan Masjid Kufah pada tahun yang sama
ketika Umar bin Khattab memperluas Masjid Nabawi dan bagi Amr bin Al-Ash
ketika mendirikan Masjid Fustat.

11
Fanani (2009: 173) menyatakan, persetujuan Umar bin KhaTtab terhadap
pembangunan Masjid Kufah dan Masjid Fustat yang meniru model awal Masjid
Nabawi dilatarbelakangi komitmen mempertahankan kesederhanaan yang
dicontohkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam mendirikan masjid.
Menurut Fanani (2009: 173), perubahan bentuk denah Masjid Nabawi didasari
pemahaman Umar bin Khattab terhadap konteks pendirian Masjid Nabawi oleh
Rasululllah Shallallahu Alaihi Wasallam yang pada beberapa hal dilatarbelakangi
kepraktisan semata, karenanya untuk hal tersebut diperbolehkan mengalami
perubahan, di antaranya ialah aspek bentuk denah.

Sementara beberapa hal lainnya merupakan panduan yang tidak dapat


mengalami perubahan, karenanya bersifat statik dan harus dipertahankan.
Pemahaman tersebut memampukan Umar bin Khattab untuk menangkap
semangat di balik pendirian Masjid Nabawi yang menjadikannya tidak serta merta
mempertahankan seluruh aspek model awal Masjid Nabawi. Mengenai asal usul
model awal Masjid Nabawi ditelusuri oleh Fanani (2009: 70-71) dengan merujuk
kepada Stierlin yang menyatakan bahwasanya model tata ruang demikian dengan
denah berbentuk bujur susunan batu bata dari balok tanah liat yang dikeringkan di
bawah sinar matahari (labin), kolom dari batang kurma (juzu’), atap masjid dari
pelepah kurma (jarid) dan daun kurma (khush) yang dilapisi dengan tanah liat.

Fanani (2009: 173) menyatakan, persetujuan Umar bin KhaTtab terhadap


pembangunan Masjid Kufah dan Masjid Fustat yang meniru model awal Masjid
Nabawi dilatarbelakangi komitmen mempertahankan kesederhanaan yang
dicontohkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam mendirikan masjid.
Menurut Fanani (2009: 173), perubahan bentuk denah Masjid Nabawi didasari
pemahaman Umar bin Khattab terhadap konteks pendirian Masjid Nabawi oleh
Rasululllah Shallallahu Alaihi Wasallam yang pada beberapa hal dilatarbelakangi
kepraktisan semata, karenanya untuk hal tersebut diperbolehkan mengalami
perubahan, di antaranya ialah aspek bentuk denah.

Sementara beberapa hal lainnya merupakan panduan yang tidak dapat


mengalami perubahan, karenanya bersifat statik dan harus dipertahankan.
Pemahaman tersebut memampukan Umar bin Khattab untuk menangkap

12
semangat di balik pendirian Masjid Nabawi yang menjadikannya tidak serta merta
mempertahankan seluruh aspek model awal Masjid Nabawi. Mengenai asal usul
model awal Masjid Nabawi ditelusuri oleh Fanani (2009: 70-71) dengan merujuk
kepada Stierlin yang menyatakan bahwasanya model tata ruang demikian dengan
denah berbentuk bujur.

Fungsi Masjid

Suyudi (2005: 225-226) menjelaskan bawa fungsi masjid pada masa


Rasulullah Saw. adalah sebagai tempat berkumpulnya umat Islam, yang tidak
terbatas pada waktu shalat (jamaah) saja, melainkan juga digunakan untuk
menunggu informasi turunnya wahyu. Di samping itu, masjid juga berfungsi
sebagai tempat musyawarah untuk menyelesaikan masalah sosial. Beberapa fungsi
masjid pada masa Rasulullah Saw, di antaranya: Tempat ibadah umat Islam,
seperti shalat, dzikir, dan sebagainya. Masjid pada masa Rasulullah Saw,
berfungsi untuk melaksanakan shalat fardhu lima waktu, shalat Jumat, berdzikir,
dan macam-macam ibadah yang lain.

Pada masa Rasulullah, masjid benar-benar menjadi sentra umat Islam


untuk beribadah.

1. Tempat ibadah umat Islam, seperti shalat, dzikir, dan sebagainya. Masjid pada
masa Rasulullah Saw, berfungsi untuk melaksanakan shalat fardhu lima
waktu, shalat Jumat, berdzikir, dan macam-macam ibadah yang lain. Pada
masa Rasulullah, masjid benar-benar menjadi sentra umat Islam untuk
beribadah.
2. Tempat menuntut ilmu umat Islam, yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Masjid
pada masa Rasulullah Saw, menjadi sentra kajian agama dan ilmu-ilmu umum
umat Islam. Masjid menjadi tempat umat Islam dalam mendiskusikan ilmu
agama dan ilmu umum. Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus (2013: 49)
memasukkan masjid sebagai salah-satu di antara fasilitas belajar-mengajar
pada masa Rasulullah Saw. Sebagai tempat menuntut ilmu, Rasulullah Saw
memang benar-benar mengoptimalkan fungsi masjid. Di dalam masjid ini,
Rasulullah mengajar dan memberi khutbah dalam bentuk halaqah, dimana
para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan

13
tanya-jawab berkaitan urusan agama dan kehidupan sehari-hari (Muhammad
al Shadiq Argun, tth.: 33). Sistem pendidikan yang diterapkan adalah
sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah, yaitu berupa halaqah-halaqah.
Sistem ini selain menyentuh dimensi intelektual para sahabat juga menyentuh
dimensi emosional dan spiritual mereka. Di sebelah selatan masjid terdapat
satu ruangan yang disebut al suffah, yakni tempat tinggal para sahabat miskin
yang tidak memiliki rumah. Mereka yang tinggal di al suffah ini disebut ahl al
suffah. Mereka adalah para penuntut ilmu. Di tempat inilah dilangsungkan
proses pendidikan kepada mereka dan para sahabat lain. Dengan demikian,
George Makdisi (1990: 4) menyebut masjid juga sebagai lembaga pendidikan
Islam.
3. Tempat memberi fatwa. Pada masa Rasulullah Saw., masjid menjadi tempat
mengeluarkan fatwa pada kaum muslimin, utamanya untuk memecahkan
problematika keumatan saat itu. Problematika yang dimaksud, tidak hanya
menyangkut persoalan agama tapi juga persoalan keduniawian.
4. Tempat mengadili perkara. Bila terjadi perselisihan, pertengkaran, dan
permusuhan di antara umat Islam, maka mereka harus didamaikan, diadili dan
diberi keputusan hukum dengan adil oleh Rasulullah Saw, yang
pelaksanaannya dilakukan di masjid. Upaya-upaya tersebut dilakukan oleh
Rasulullah Saw, agar umat Islam mendapatkan kedamaian jiwa dan
menemukan kenyamanan.
5. Tempat menyambut tamu, rombongan, atau utusan. Menurut sejarah,
Rasulullah Saw. pernah menyambut utusan dari Nashrani Najran di dalam
masjid. Rombongan tersebut berjumlah enam puluh orang, diantaranya adalah
empat belas orang yang menjadi pembesar mereka. Rombongan tersebut
memasuki masjid selesai shalat ashar. Mereka menginap di Madinah beberapa
hari untuk berdialog dengan Rasulullah Saw, tentang Isa as.
6. Tempat melangsungkan pernikahan. Aisyah ra. Berkata bahwa Rasulullah
Saw. bersabda, “Beritakanlah pernikahan ini dan selenggarakanlah ia di dalam
masjid, lalu pukullah rebana-rebana” (HR Turmudzi). Dengan demikian,
berdasarkan hadits ini, masjid pada masa Rasulullah Saw, menjadi tempat
yang paling suci untuk mengucap janji pernikahan (baca: akad nikah).

14
Difungsikannya masjid sebagai tempat melangsungkan pernikahan ditujukan
agar pihak keluarga yang melangsungkan acara pernikahan kala itu dapat
menampung banyaknya tamu yang hadir. Selain itu, pasangan pengantin yang
melangsungkan akad nikah di masjid diharapkan lebih dapat menjaga ikatan
tali pernikahan mereka. Demikian pula para saksi, dapat memelihara
persaksian atas pernikahan tersebut.
7. Tempat layanan sosial. Dari Utsman bin Yaman, ia berkata, “Ketika para
Muhajirin membanjiri kota Madinah, tanpa memiliki rumah dan tempat
tinggal, Rasulullah Saw menempatkan mereka di masjid dan beliau namai
ashabush-shuffah. Beliau juga duduk bersama mereka dengan sikap yang
sangat ramah” (HR Baihaqi).
8. Tempat latihan perang. Pada masa Rasulullah Saw, masjid berfungsi sebagai
tempat latihan perang, baik untuk pembinaan fisik maupun mental. Aisyah ra.
Berkata, “Aku melihat nabi Saw, menghalangi pandanganku dengan
sorbannya, padahal aku sedang memperhatikan orang-orang Habsyi sedang
bermain-main di masjid, sehingga aku keluar (hendak melihat mereka
kembali), memperkirakan merekamasih bermain” (HR Bukhari). Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam Fathul Bari mengomentari hadits ini, bahwa yang dimaksud
“bermain-main” dalam hadits ini, bukan semata-mata “bermain”, melainkan
latihan perang, atau permainan yang didalamnya melatih keberanian
bertempur atau menghadapi musuh. Sementara Ibn Mahlab dalam Fathul Bari
berkata, “masjid merupakan tempat untuk memberi rasa aman kepada kaum
muslimin. Perbuatan apapun yang membuahkan kemanfaatan bagi agama dan
bagi keluarganya boleh dilakukan di masjid.
9. Tempat layanan medis atau kesehatan. Rasulullah Saw menjadikan masjid
sebagai tempat untuk mengobati orang sakit, khususnya pada masa perang.
Aisyah ra. Berkata, “Pada hari terjadinya perang Khandaq, Sa‘ad ibn Muadz
mengalami lukaluka karena dipanah oleh seorang kafir Quraisy. Kata
Khabban bin Araqah, orang tersebut memanah Sa‘ad pada bagian lehernya.
Maka, nabi Saw, membuatkan tenda di masjid, agar beliau bisa beristirahat,
karena jarak yang dekat.”
2) Makam

15
Makam menurut Islam adalah tempat tinggal, kediaman, bersemayam
yang merupakan tempat persinggahan terakhir manusia yang sudah meninggal
dunia dan kuburan adalah tanah tempat menguburkan mayat. Dalam
perkembangannya, pada masa Nabi Muhammad SAW terdapat beberapa makam
diantaranya adalah Al-Baqi’ dan Jannatul Mu’alla.

a. Al-Baqi’
Al-Baqi’ adalah kompleks pemakaman pertama umat Islam di dunia, yang
terletak di Madinah. Kompleks pemakaman ini dibangun pada tahun 622 Masehi,
yang mana juga menjadi peristirahatan terakhir para sahabat Nabi Muhammad,
menjadikannya satu dari dua makam paling suci umat Islam.
Pemakaman ini pada awalnya masih berupa tanah yang ditumbuhi
tanaman Lycium Shawii (sejenis tanaman berduri padang pasir) ketika Nabi
Muhammad sampai ke Madinah pada September 622 Masehi. Sejak saat itu,
perumahan mulai dibangun di kawasan Al-Baqi. Sementara bagian baratnya
dijadikan perumahan, bagian timurnya dikonsentrasikan sebagai pemakaman bagi
para muslim yang meninggal di Madinah.
Sayangnya, Al-Baqi telah dua kali dihancurkan sepanjang sejarah. Pertama
dihancurkan oleh pasukan aliansi Wahhabi-Saudi di 1806 atau 1925 Masehi dan
yang kedua dimulai pada 21 April 1926 sesuai perizinan dari raja Ibn Saud dan
otoritas keagamaan dari Qadi Abd Allah ibn Bulayhid.
Pemakaman pertama ini masih berupa pekuburan sederhana, dimana tubuh
orang yang meninggal dikuburkan dalam sebuah liang, kemudian ditutup dengan
tanah. Batu nisan yang digunakan masih berupa batu biasa sebagai penanda
bahwa tempat tersebut telah terisi, tanpa adanya tulisan siapa atau kapan ia
meninggal.

16
Makam Halimah Makam ketiga putri Nabi
Muhammad

Makam Uthman, dengan Masjid Nabawi di belakangnya

b. Jannatul Mu’alla
Jannatul Mu’alla atau Jenat Al-Mala adalah pemakaman Islam bersejarah
yang ada di Mekah. Pemakaman ini adalah salah satu makam penting bagi umat
muslim setelah pemakaman Al-Baqi di Madinah. Pemakaman ini menjadi religius
karena terletak sangat dekat ke Ka’bah. Bahkan, tempat ini sudah dianggap sakral
sebelum kedatangan Nabi Muhammad.
Sekitar awal abad keenam, suku Quraish mengambil alih Mekah dan
menetapkan tempat ini sebagai pemakaman pribadi mereka. Banyak anggota
mereka khususnya klan Bani Hasyim dimakamkan di area ini beberapa puluh
tahun menjelang kelahiran Nabi Muhammad. Pemakaman ini juga menjadi
peristirahatan bagi Abdul Muttalib, kakek dari Nabi Muhammad, dan ibu Nabi
Muhammad, Aminah. Seperti Al-Baqi, pemakaman ini juga sempat dihancurkan
pada tahun 1925 di bawah perintah Raja Arab Saudi, Ibn Saud.

Pemakaman Janat Al-Mala sekarang. Batuan nisannya tidak diubah sama sekali
sejak penempatannya pertama kali.

17
Makam Khadija di Janat Al-Mala sebelum dihancurkan tahun 1925.

c. Makam Nabi Para Nabi


Ada sejumlah makam di berbagai wilayah di dunia yang diyakini
merupakan makam para nabi. Dari foto-foto yang beredar, ukuran makam para
nabi itu tampak lebih panjang dibanding ukuran makam normal saat ini. Kendati
demikian, tidak diketahui secara pasti kebenaran akan makam-makam tersebut.
Hanya makam Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim AS yang diketahui pasti

letaknya.

Makam para nabi mempunyai ukuran panjang berbeda dengan makam sekarang.
Ilustrasi Makam Nabi Yusuf di Nablus

18
Nabi Muhammad SAW dimakamkan di rumahnya di Madinah, yang kini
berada di dalam lingkup Masjid Nabawi. Sementara itu, Nabi Ibrahim
dimakamkan di Goa Alkalil Palestina. Ada salah satu makam yang diyakini
merupakan makam Nabi Adam AS. Bentuk makam yang diyakini makam Nabi
Adam itu berukuran sangat panjang. Hal ini tampaknya sesuai dengan apa yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW tentang postur Nabi Adam, manusia pertama
yang diciptakan Allah dan turun ke muka bumi.

Seperti dinukilkan dari buku berjudul Kala Kanjeng Nabi Bercerita oleh
Rizem Aizid, disebutkan bahwa Nabi Adam memiliki ukuran tinggi badan berkali
lipat dari manusia di masa kini. Hal demikian sebagaimana dikatakan oleh Nabi
Muhammad SAW.

Abu Hurairah RA menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,


"Allah menciptakan Adam dalam bentuknya setinggi 60 hasta. Setelah
menciptakannya, Allah berfirman, 'Pergilah dan ucapkanlah salam kepada
sekelompok itu, yaitu beberapa malaikat yang sedang duduk, dan dengarkanlah
apakah jawaban mereka karena itulah ucapan selamat untukmu dan keturunanmu.'
Maka, Adam pergi menghampiri lalu mengucapkan, 'Semoga keselamatan
menyertai kalian.' Mereka menjawab, 'Semoga keselamatan dan rahmat Allah
menyertai kalian.' Mereka menambahkan 'rahmat Allah,' maka setiap orang yang
memasuki surga itu seperti bentuk Adam yang tingginya 60 hasta. Seluruh
makhluk setelah Adam terus berkurang tingginya sampai sekarang." (HR
Muslim).

Hadits yang sama yang diriwayatkan Bukhari juga mengatakan bahwa


Rasulullah SAW bersabda, "Allah menciptakan Adam dengan tinggi 60 hasta."
Hasta merupakan ukuran yang biasa digunakan oleh orang Arab. Satu hasta sama
dengan 45,72 cm. Dengan demikian, 60 hasta sama dengan 27,432 meter atau 90
kaki. Lalu, di mana Nabi Adam dimakamkan? Menurut Ibnu Asakir dari berbagai
sumber disebutkan bahwa Nabi Adam dimakamkan di al-Quds. Sementara itu,
pendapat lainnya menyebut Nabi Adam dimakamkan di India.

19
Dalam Al Bidayah wa An Nihayah 1/119 yang dikutip Jihad Muhammad
Hajjaj dalam Umur dan Silsilah Para Nabi dikatakan bahwa ketika terjadi banjir
bah pada zaman Nabi Nuh AS, jenazah Adam dan Hawa dibawa serta oleh Nabi
Nuh AS di dalam sebuah kotak dan kemudian dikuburkan di Baitul Maqdis.
Sementara itu, menurut kitab Qashash Al Anbiya yang dikutip oleh Bambang
Pranggono dalam buku Percikan Sains dalam Al Qur'an dijelaskan bahwa Nabi
Adam dimakamkan di antara Hebron dan Yerusalem.

d. Makam Rasulullah dan Sahabat

Suliman Muhammad Suliman, seorang sarjana dari Sudan sebagai


pemandu di museum itu menjelaskan dengan terperinci sejarah pembangunan
Makam Rasulullah. Seturut catatan sejarah, ia mengatakan bahwa Rasulullah
dimakamkan persis di lokasinya wafat pada 632 Masehi, yakni di sebuah kamar di
kediamannya bersama Aisyah di bagian luar tembok timur bangunan awal Masjid
Nabawi. Saat itu, lebar Masjid Nabawi sepanjang 35 meter di sisi barat dan timur
serta 30 meter di sisi utara dan selatan.

Kamar tempat Rasulullah wafat seluas tiga kali tiga meter. Kamar dengan
atap pelepah kurma itu langsung ditutup untuk kegiatan lainnya begitu Rasulullah
dikuburkan di sana. Rasulullah dikuburkan seturut ajaran Islam, yakni
dimiringkan bersandar di bagian kanan tubuh dengan wajah menghadap kiblat.
Sehubungan arah kiblat di Madinah hampir sejajar arah utara, ujung kepala
Rasulullah menghadap barat dan kakinya di timur. Ia dikuburkan tak jauh dari
tembok selatan kamar tersebut.

Dua tahun kemudian, saat Khalifah Abu Bakar Siddiq wafat, ia


dikuburkan di kamar yang sama di sisi utara kuburan Rasulullah. Mereka tak
dikuburkan sejajar. “Kepala Abu Bakar Radhiyallahu Anhu sejajar bahu
Rasulullah,” kata Suliman.

Setelah Khalifah Umar bin Khattab sebagai pengganti Abu Bakar dibunuh
dan kemudian gugur pada 644, beliau juga dikuburkan di ruangan yang sama.
Kepalanya disejajarkan dengan bahu pendahulunya Abu Bakar. Dengan
pengaturan tiga makam tersebut, tiga lingkaran keemasan di pintu makam saat ini

20
mengarah persis ke kepala masing-masing. Lingkaran paling barat dan yang
paling besar mengarah kepala Rasulullah, lingkaran di tengah mengarah ke kepala
Abu Bakar, dan lingkaran paling timur mengarah ke kepala Umar.

Sepanjang masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, Masjid Nabawi dua
kali diperluas hingga mencapai 50 kali 50 meter. Kendati demikian, posisi rumah
Rasulullah dan Aisyah yang menjadi lokasi Makam Rasulullah tetap di luar
masjid sementara kediaman istri nabi lain di sekitarnya mulai diratakan. Baru
pada sekitar 705 Masehi, saat Khalifah Walid bin Abdulmalik dari Dinasti
Umayyah berkuasa, Makam Rasulullah masuk dalam perluasan kompleks Masjid
Nabawi. Saat itu, bangunan asli kamar Rasulullah dipugar dan diganti dengan
tembok baru yang tak beratap.

Pada masa kepemimpinan Umar bin Abdulaziz sekitar 717 Masehi, ia


membangun tembok yang lebih kokoh di perimeter kamar suci tersebut. Tembok
itu memiliki lima sisi dengan ujung lancip di bagian utara. Tinggi tembok dari
batu-batu hitam tersebut sekira 11 meter. “Bangunannya dibuat seperti itu supaya
tidak disangka Ka'bah oleh pengunjung,” kata Suliman.

Selain bangunan utama itu, dibangun juga tembok rendah mengelilingi


Makam Rasulullah. Tembok luar itu kemudian ditinggikan dan kelak jadi batas
dinding yang tersisa hingga saat ini. Pada pertengahan abad ke-12, Sultan
Nuruddin Zengi dari Turki meninggikan tembok itu dan menggali parit yang diisi
timah untuk mencegah usaha-usaha pencurian jenazah Rasulullah.

Pada 1279, Sultan Al Mansur Qalawun dari Dinasti Mamluk di Masir


menambahkan bangunan berkubah tepat di atas Makam Rasulullah di dalam
lokasi tembok hitam. Kubah tersebut berwarna putih dan berdiri di atas pondasi
kayu bersegi enam. Pada 1481, pada masa Sultan Qa'it Bay dari Dinasti Mamluk,
kubah putih itu tersambar petir da mengalami kebakaran. Pondasi kayu kemudian
diganti dengan bata merah.

Pada 1818, seturut perluasan besar-besaran pertama oleh Sultan Mahmud


II dari Turki Utsmani, kubah yang lebih besar dibangun di atas Makam
Rasulullah. Kubah tersebut dicat dengan warna hijau pada 1837 dan bangunannya

21
bertahan hingga saat ini. Pada 1925, Bani Saud yang menguasai Hijaz dan dua
Tanah Suci sempat merencanakan penghancuran bangunan-bangunan di Makam
Rasulullah. Kendati demikian, rencana tersebut gagal menyusul aksi penolakan
besar-besaran dari ulama di berbagai wilayah mayoritas Muslim, termasuk dari
Indonesia yang saat itu masih dikuasai Kerajaan Belanda.

Saat ini, lokasi bangunan dari masa Sultan Umar bin Abdulaziz ditutupi
kain sutra berwarna hijau yang diimbuhi hiasan kaligrafi dari ayat-ayat Alquran.
Hanya tamu-tamu penting Kerajaan Saudi yang diperkenankan masuk bangunan
tersebut. Dalam ruangan Makam Rasulullah, kata Suliman, disisakan sekutip
ruang. Suliman mengatakan, hal itu seturut riwayat bahwa saat Nabi Isa bin
Maryam turun kembali ke bumi dan akhirnya meninggal, ia akan dikebumikan di
ruangan tersebut. "Kita saat ini tak bisa tahu pasti posisi kuburan Isa Alaihissalam.
Nanti Allah yang akan memberi petunjuk pada akhir zaman," kata dia.

3) Seni Hias

Seni hias dalam Islam, sebagaimana seni yang lainnya dalam Islam, tidak
berkembang sendiri-sendiri seperti seni rupa Buddha atau seni rupa barat,
melainkan hasil penggabungan berbagai kesenian di wilayah jajahan di Timur
Tengah, Afrika Utara, Asia kecil, dan Eropa, termasuk di dalamnya seni rupa
Persia, Mesir, Moor, Spanyol, Bizantium, India, Mongolia, dan Seljuk. Ini
disebabkan oleh sedikitnya seni rupa yang ada di Arab pada waktu itu.

Meskipun merupakan akumulasi berbagai kebudayaan, ada satu ciri khas


dari seni rupa Islam, yaitu tidak adanya bentuk seni rupa yang merujuk langsung
pada makhluk hidup. Ini dijelaskan pandangan dari kaum konservatif yang
populer pada awal kemunculan Islam. Pandangan tersebut menganggap bahwa
segala bentuk peniruan dari bentuk alam adalah suatu usaha menyaingi Tuhan dan
wujud keinginan menciptakan Tuhan baru. Namun, banyak pula yang
beranggapan bahwa sebaik apapun manusia tidak akan mampu menyaingi Tuhan,
sehingga model makhluk hidup dengan stilasi masih diperbolehkan.

22
Seni hias Islam adalah suatu bahasan yang khas dengan prinsip seni rupa
yang memiliki kekhususan jika dibandingkan dengan seni rupa yang dikenal pada
masa ini. Tetapi perannya sendiri cukup besar di dalam perkembangan seni rupa
modern. Antara lain dalam pemunculan unsur kontemporer seperti abstraksi dan
filsafat keindahan. Seni rupa Islam juga memunculkan inspirasi pengolahan
kaligrafi menjadi motif hias.

Dekorasi di seni rupa Islam lebih banyak untuk menutupi sifat asli
medium arsitektur daripada yang banyak ditemukan pada masa ini, perabotan.
Dekorasi ini dikenal dengan istilah arabesque.

Seni Islam berkembang daripada banyak sumber, dengan gaya-gaya seni


Roma, seni Kristen awal, dan seni Romawi Timur diserap ke dalam seni dan seni
bina Islam yang awal, khususnya seni Sassanid Persia pra-Islam. Gaya Asia
Tengah juga diserap menerusi serangan mendadak oleh berbagai pengembara.
Seni Cina juga merupakan salah satu pengaruh yang penting dalam lukisan,
tembikar, dan tekstil Islam. Pada masa ini ragam hias mosaik dan stucco yang
dipengaruhi oleh pengulangan geometris sebagai tanda berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan. Selain itu ciri khas lapangan di tengah masjid mulai diganti oleh
ruangan besar yang ditutup kubah. Arsitektur Islam dan kemudian menjadi corak
yang simbolis bagi arsitektur Islam. Elemen hias Masjid tumbuh dari seni hias
negara-negara tempat berkembangnya arsitektur Islam seperti Siria, Mesir, Iran,
dan negara-negara Afrika Utara serta Asian Kecil yang mempunyai kecakapan
dalam bidang seni rupa

Fungsinya

Dibuat seni hias ini hanya untuk menghias demi keindahan suatu bentuk
(benda) atau bangunan di mana ornamen tersebut ditempatkan Penerapannya
biasanya pada alat-alat rumah tangga, arsitektur, pada pakaian (batik, bordir,
kerawang) pada alat transportasi dan sebagainya. Seni hias di seni rupa Islam
lebih banyak untuk menutupi sifat asli medium arsitektur daripada yang banyak
ditemukan pada masa ini, perabotan. Dekorasi ini dikenal dengan istilah
arabesque.

23
selain mempunyai fungsi sebagai penghias suatu benda juga memiliki nilai
simbolis tertentu di dalamnya, menurut norma-norma tertentu Bentuk, motif dan
penempatannya sangat ditentukan oleh norma-norma tersebut terutama norma
agama yang harus ditaati, untuk menghindari timbulnya salah pengertian akan
makna atau nilai simbolis yang terkandung didalamnya, oleh sebab itu pengerjaan
suatu ornamen simbolis hendaknya sesuai dengan aturan-aturan yang ditentukan.

Corak

Seni hias kemudian menjadi corak yang simbolis bagi arsitektur Islam.
Elemen hias Masjid tumbuh dari seni hias negara-negara tempat berkembangnya
arsitektur Islam seperti Siria, Mesir, Iran, dan negara-negara Afrika Utara serta
Asian Kecil yang mempunyai kecakapan dalam bidang seni rupa, Motif yang
biasa digunakan dalam seni hias ornamentik bangsa Arab merupakan bentuk
stilasi dari tumbuh-tumbuhan yang dibuat melingkar-lingkar dan meliuk-liuk
mengikuti pola ornamen yang kemudian dikenal dengan nama hiasan Arabesk.

Dibandingkan jenis tulisan lain, huruf Arab memiliki karakter huruf yang lentur
dan artistik sehingga menjadi bahan yang sangat kaya untuk penulisan kaligrafi.
Selain memiliki karakter yang unik, pada hakikatnya seni tulisan Arab bukan
sekadar representasi sisi artistik budaya Arab-Islam, tetapi juga gabungan
keindahan, abstraksi, kreativitas, serta pesan moral yang dikandungnya. Setiap
garis, spasi, dan alur tulisan memiliki ciri khas dan falsafah sendiri.

4) Seni Kaligrafi

Seni adalah produk aktivitas yang dilakukan secara sadar, bertujuan untuk
mendapatkan atau mencapai estetika, dan sekaligus berfungsi sebagai salah satu
jalan atau cara untuk menerjemahkan simbol-simbol. Kualitas simbol-simbol dan
estetika tersebut dipengaruhi oleh sublimasi antara harmoni, kontras, frekuensi,
ritme serta intensitas dalam proses kelahiran seni. Karena itu, seni seringkali
berkonotasi estetika atau keindahan.

Islam, atau tepatnya kebudayaan Islam-seperti dikatakan Ismail al


Faruqimemandang keindahan sebagai nilai tempat bergantungnya seluruh
validitas Islam, yang terpancar melalui nilai- nilai keindahan absolut al- Quran.

24
Al- Quran Maha Mulia, tidak ada yang melebihi otoritas al Quran selain Allah
sebagai pemberi sumber-Nya. Al Faruqi selanjutnya mengisyaratkan, estetika
dalam Islam adalah sublimasi bukti keilahian, yaitu i’jaz (kualitas) al Quran tidak
dapat ditiru atau ditandingi, baik dalam hal sastra, komposisi, irama, keindahan,
balaghah, kesempurnaan gaya serta kekuatan dalam menampilkan makna. Dalam
konsep Islam, Allah adalah pusat dari nilai-nilai estetika ini.

Kaligrafi adalah salah satu karya kesenian Islam yang paling penting.
Kaligrafi Islam yang muncul di dunia Arab merupakan perkembangan seni
menulis indah dalam huruf Arab yang disebut khat. Definisi tersebut sebenarnya
persis sama dengan pengertian etimologis kata kaligrafi dari kata Yunani
kaligraphia (menulis indah). Dalam perkembangannya, huruf Arab yang menjadi
obyek seni khat berkembang sesuai dengan perkembangan tempat dimana tempat
asal seni khat berada. Demikian pada abad ke-10, misalnya, gaya kufi merupakan
awal perkembangan khat yang tadinya agak kaku menjadi semakin lentur dan
ornamental meskipun tetap angular. Kemudian berkembang pula bentuk khat yang
bersifat kursif (miring) yang diwujudkan dalam seni yang disebut sulus, naskhi,
raiham, riqa dan tauqi. Pada fase berikutnya gaya riqa dan tauqi tidak tampak lagi
penggunaannya. (Ambary, 1998: 181-184).

Kaligrafi Islam adalah pengejawantahan visual dari kristalisasi


realitasrealitas spiritual (al haqa'iq) yang terkandung di dalam wahyu Islam.
Kaligrafi datang untuk menduduki posisi khusus yang sangat istimewa dalam
Islam sehingga dapat disebut sebagai leluhur seni visual Islam tradisional dan
memiliki jejak yang sangat istimewa dalam peradaban Islam. (Nasr, 1993: 28-29).
Munculnya al khat al Arabi dengan bentuk yang baik dan indah sangat penting
pada masa Islam, dikarenakan al khat adalah seni asli dan di dalamnya terdapat
ruh peradaban dan falsafah Islam. (Jaudi, 1998: 170). Dengan demikian, kaligrafi
menjadi salah satu seni tulisan yang berkembang hingga kini, dan memiliki
peranan penting dalam perkembangan agama Islam di penjuru dunia.

PERKEMBANGAN SENI KALIGRAFI


1. Periode Umayyah (661-750) Memasuki zaman kekhalifahan Bani
Umayyah (661-750), mulai timbul ketidakpuasan terhadap khaṭ kufī yang

25
dianggap terlalu kaku dan sulit digoreskan. Lalu mulailah pencarian bentuk lain
yang dikembangkan dari gaya tulisan lembut (soft writing) non-kufī, sehingga
lahirlah banyak gaya. Jenis khat yang terpopuler diantaranya adalah tumar, jalīl,
nisf, suluts, dan sulutsain. Khalifah pertama Bani Umayyah Mu‟awiyah bin Abū
Sufyan (661-680), adalah pelopor pendorong upaya pencarian bentuk baru
kaligrafi tersebut.
2. Periode ‘Abbāsiyah (750-1258) Gerakan perkembangan seni khat telah
mencapai masa keemasan pada masa ini disebabkan motivasi para khalifah dan
pedana menteri „Abbāsiyah, sehingga bermunculan kelompok para kaligrafer
yang ulet dan jenius. Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang
terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya al-
Dahhāk Ibn Ajlān yang hidup pada masa khalifah Abū „Abbās al-Ṣaffaḧ (750-754
M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manṣūr (754-775 M) dan
al-Mahdī (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan
tulisan suluts dan sulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian
kaligrafer lain yaitu Abū Yusuf al-Sijzī yang belajar jalīl kepada Ishaq. Yusuf
berhasil menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya
3. Periode Lanjut (Pasca ‘Abbasiyyaḧ) Sementara itu di wilayah Islam
bagian barat (Maghribi), yang mencakup negeri Arab dekat Mesir, termasuk
Andalusia (Spanyol), pada abad pertengahan berkembang bentuk tulisan yang
disebut khaṭ maghribī atau kufī Barat, terdiri atas cabang khaṭ Qairawani,
Andalusī, Fasi dan Sudanī. Disini, telah dikembangkan pula suluts andalusī dan
naskhī andalusī.

FUNGSI KALIGRAFI

1. Kaligrafi sebagai Media Ibadah dan Dakwah


Menurut Salad setiap karya seni Islam selalu bertujuan untuk
mengagungkan nama Tuhan. Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan kaligrafi
seperti juga produk seni lainnya di dalam masyarakat muslim tak dapat dilepaskan
dari unsur-unsur ibadahnya dan dakwah. Bagi kaligrafer kegiatan menuliskan
ayat-ayat Tuhan adalah Zikrullah , kegiatan yang bergelimang pahala yangtak
henti-hentinya diperoleh si penulisnya. Nasr mengatakan “kaligrafi adalah dasar

26
dari seni yang tiada habis-habisnya serta tak pernah berhenti merangsang ingatan
(tidzkar atau zikir) kepada Illahi bagi mereka yang mampu merenungkannya”. Di
samping itu kaligrafi juga berfungsi sebagai media dakwah bagi kaligrafer
tersebut, karena didalam kaligrafi yang dijumpai pada makam banyak dijumpai
kalimat-kalimat berisi nasehat, ajakan, dan peringatan yang ditujukan kepada
pembaca. Kalimat-kalimat tersebut bertujuan „mendakwahi‟ para pembacanya.
Hal ini tampak pada puisi-puisi sufi yang dijumpai pada makam-makam, yang
banyak memberikan nasehat, ajakan, dan peringatan kepada pembaca untuk
meningkatkan keimanan, bersikap sabar dalam menjalani hidup di dunia yang tak
abadi, dan selalu mengingat bahwa kematian akan selalu dialami oleh setiap
makhluk.
2. Kaligrafi sebagai Sarana Penyaluran Kreatifitas Seni
Kaligrafi Islam masa Aceh Darussalam adalah merupakan sarana
penyaluran refleksi kreatifitas seni dari senimannya. Para kaligrafer Aceh dengan
kreatif berhasil memadukan seni kaligrafi Islam dengan unsur-unsur seni lokal.
Sehingga muncul karya kaligrafi beridentitas Aceh. Pola hias tradisional yang
sudah berkembang sebelumnya dipertahankan sedemikian rupa sehingga
menghasilkan karya kaligrafis yang indah tanpa menghilangkan karakter
tulisannya. Beberapa karya kaligrafi masa Aceh Darussalam yang merupakan
stilisasi pola hias tersebut muncul dalam bentuk kaligrafi Figural yang menawan,
dan penuh dengan unsur local genius.
3. Kaligrafi sebagai Penghias
Fungsi utama kaligrafi yang dijumpai pada makam adalah untuk menghias
makam agar tampak lebih indah, meskipun sebetulnya kegiatan memberi tulisan
pada tanda makam merupakan hal yang bertentangan dan dilarang dalam Islam.
4. Kaligrafi sebagai Pengungkapan Rasa Hormat Terhadap Tokoh
Besarnya minat seniman muslim untuk menuangkan kreatifiatas seni,
muncul secara bersamaan dengan tingginya rasa hormat mereka terhadap tokoh
yang dikuburkan. Oleh sebab itu karya seni, termasuk kaligrafi dapat dianggap
sebagai media penyampaian rasa hormat masyarakat dan seniman terhadap tokoh
yang dihormatinya. Beberapa kata seperti, al-malik (Raja, Penguasa), al-karim
(yang pemurah), al-masyhur (yang mashur), al-waly (Wali), al-hajj (Haji) dan

27
masih banyak yang lainnya dijumpai pada makam dipilih sedemikian rupa untuk
menghormati dan menyanjung tokoh yang meninggal.
5. Kaligrafi sebagai Media Komunikasi
Kaligrafi dapat berfungsi sebagai media komunikasi, sebagai alat untuk
menyampaikan maksud tertentu (termasuk di dalamnya komonukasi politik).
Fungsi ini barangkali telah diwujudkan oleh beberapa sultan yang memerintah
Kerajaan Aceh Darussalam, karena di antaranya ada yang telah berkirim surat
kepada penguasapenguasa negara luar. Sayangnya surat-surat tersebut sangat sulit
dijumpai. Salah satunya yang dijumpai saat ini adalah yang dikirim oleh Iskandar
Muda kepada Raja James I pada tahun 1615 M. Surat tersebut merupakan balasan
surat yang dikirim oleh Raja James I kepada Iskandar Muda sebagai permohonan
agar ia memberikan izin bagi pedagang-pedagang Inggris untuk berdagang dan
berkedudukan di Tiku dan Pariaman. Di dalam surat balasan yang indah itu,
Iskandar Muda telah menolak secara halus permohonan Raja James I, sebagai
kilahnya ia menawarkan peluang bagi pedagang Inggris untuk berdagang di
sekitar Aceh.
6. Kaligrafi sebagai Alat Meningkatkan Solidaritas Kelompok
Usaha untuk menuliskan puisi-puisi sufi di makam-makam dan usaha para
ulama untuk menulis dan menyalin beberapa kitab-kitab keagamaan
sesungguhnya bertujuan di samping untuk meningkatkan keimanan juga untuk
meningkatkan solidaritas antara pengikutnya.
7. Kaligrafi sebagai Profesi
Kaligrafi dapat juga dianggap sebagai sumber pencarian nafkah terutama
bagi kaligrafer dan pedagang-pedagang. Karya-karya kaligrafi yang dihasilkan
oleh para pande, telah menjadi komoditi perdagangan komersial semenjak masa-
masa awal Islam masuk ke Indonesia. Munculnya nisan-nisan berhias kaligrafi
pada masa awal Islam di Indonesia merupakan bukti nisan-nisan tersebut telah
diperjualbelikan. Mequette dalam beberapa tulisannya berkeyakinan bahwa
seperti nisan Malik Ibrahim di Jawa Timur, dan nisan yang dijumpai di Bringin
(Pasai) adalah produk impor yang didatangkan dari Cambay, India. Begitu juga
Yatim memastikan bahwa batu Aceh, yang terdapat di Malaka telah didatangkan
dan diperdagangkan semenjak zaman Samudera Pasai sampai masa Aceh

28
Darussalam, dan sudah berlangsung selama beberapa abad. Apalagi dengan
dijumpainya beberapa keramik bertulisan Shini di Aceh Darussalam,
memperlihatkan betapa keligrafi dijadikan barang dagangan, sebagai sumber
keuangan bagi masyarakat.
JENIS-JENIS KALIGRAFI
Menurut Husain (1971), jenis kaligrafi Arab pada akhirnya menjadi paten
dan memiliki kaidah masing-masing. Jenis-jenis kaligrafi Arab yang masih
dikenal pada masa kini antara lain:
1. Kufī
a. Kufī Awal

Kufī ini digunakan pada salinan awal al-Qur‟an, garis horizontal tulisan
kufī ini sering diperpanjang untuk menghasilkan tulisan pendek, gemuk dan
kompak. Khaṭ kufī awal mempunyai huruf yang bersegi-segi dan mempunyai
sapuan lembut ke atas dan ke bawah. Sapuan vertikalnya mempunyai ujung yang
dilebarkan dan berakhir dengan lekuk yang serong.
b. Kufī Timur atau Bengkok

29
Kufī jenis ini merupakan pengembangan dari kufī awal, dimana garis
vertikal diperpanjang dalam gaya baru yang dikembangkan oleh penduduk Persia.
Bentuk ini lazim dikenal sebagai “kufī Timur”, karena contoh-contohnya sangat
umum dalam salinan al-Qur‟an yang dibuat di Timur. Juga disebut “kufī
bengkok”, karena condong kesebelah kiri coretan vertical pendeknya. Hiasan
huruf-hurufnya sering ditempatkan di bawah baris tulisan. Keseluruhannya,
tulisan ini jauh lebih halus ketimbang bentuk kufī lain di masa itu.
c. Kufi Bunga

Selain variasi gaya tulisan kufī yang diperpanjang secara vertikal dan
horizontal, ahliahli muslim mengembangkan varian baru bentuk yang pada
dasarnya bundar. Tiap ragam tulisan kufī yang paling terkenal merupakan hasil
dari perpanjangan hurufhurufnya sendiri menjadi berbagai motif non kaligrafi.
Salah satu diantara gaya-gaya ini, dimana vertikal tulisan diperpanjang menjadi
bentuk daun dan bunga hingga dikenal dengan nama “kufī bunga”.
d. Kufī Berjalin

30
Kufī ini sama halnya dengan kufī bunga dimana garis vertikal
diperpanjang menjadi jalinan yang saling terhubung dengan huruf lainnya,
sehingga menghasilkan suatu jalinan yang dekoratif., unik dan sangat menarik.
Gaya ini banyak dipakai untuk dekorasi hiasan dinding rumah dan masjid.
e. Kufī Kotak

Gaya ini merupakan gaya kufī yang lebih menyederhanakan bentuk kufī
itu sendiri menjadi berbentuk kotak-kotak geometris, sangat kaku. Tetapi dengan
jalinan satu huruf dengan huruf yang lain sehingga menjadi suatu harmoni yang
baik dan enak dilihat. Bentuk dan karakter masing-masing huruf lebih cenderung
menampakkan sebuah ornamen (hiasan), atau timbulnya sifat keterkaitan antara
huruf satu dengan yang lain, yang membentuk hiasan.
2. Naskhī

Menurut Didin Sirojuddīn (2006), Jenis kaligrafi Arab naskhī ini muncul
pada akhir abad ke- 5 Hijriyah. Ini adalah jenis kaligrafi Arab modifikasi dari
tulisan kufī, yang muncul mengiringi maraknya penulisan buku dan al-Qur‟an.
Karena itu ia disebut "naskh". Karena secara luas digunakan untuk “naskh al-

31
Qur’an”. Pada awal kemunculannya, jenis kaligrafi Arab ini disebut “badi’”.
Kaidah kaligrafi Arab ini di sempurnakan oleh al-Wazīr Ibn Muqlaḧ. Kaligrafi
Arab naskhī ini memiliki karakteristik lembut, dan jelas dibaca. Apalagi bila
kemudian diberi syakal dan titik. Naskhī tidak digunakan dalam bentuk ”tarkīb”
(bertumpuk tumpuk seperti halnya suluts), melainkan datar mengikuti garis. Pada
masa belakangan, gaya naskhī menjadi tulisan baku untuk buku dan karya-karya
ilmiah.
3. Farisī/Nasta’liq

Disebut farisī karena ia muncul dan populer dinegeri negeri Persia (Farsi).
Disebut ta’liq karena cara penulisannya seperti gaya penulisan catatan kaki yang
lazimnya miring kebawah dari kanan kekiri. Disebut nasta’liq karena fungsinya
mirip dengan naskhī yaitu sebagai tulisan standar bagi buku buku pengetahuan.
Jadi nasta’liq adalah gabungan dari kata naskh dan ta’liq.
4. Khaṭ Suluts

Menurut Didin Sirojuddīn (2006), seperti halnya gaya kufī, kaligrafi gaya
suluts diperkenalkan oleh Ibn Muqlaḧ yang merupakan seorang menteri (wazir) di

32
masa Kekhalifahan „Abbasiyyah. Tulisan kaligrafi gaya suluts sangat ornamental,
dengan banyak hiasan tambahan dan mudah dibentuk dalam komposisi tertentu
untuk memenuhi ruang tulisan yang tersedia. Karya kaligrafi yang menggunakan
gaya suluts bisa ditulis dalam bentuk kurva, dengan kepala meruncing dan
terkadang ditulis dengan gaya sambung dan interseksi yang kuat. Karena
keindahan dan keluwesannya ini, gaya suluts banyak digunakan sebagai ornamen
arsitektur masjid, sampul buku, dan dekorasi interior. Kaligrafi ArabTsuluts
dibagi 2 (dua): suluts ‘ādy atau suluts biasa. Ditulis menggunakan pena berukuran
minimal 4 mm, ditulis dengan gaya biasa, jarang dibuat menjadi bentuk bentuk
yang rumit. Yang kedua adalah suluts jalī ditulis dengan pena berukuran dua kali
lipat suluts biasa, dan sering dikreasikan dalam bentuk bentuk yang rumit.
5. Khaṭ Diwanī

Menurut Didin Sirojuddin (2006), gaya kaligrafi diwanī dikembangkan


oleh kaligrafer Ibrahim Munif. Kemudian, disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah
dan kaligrafer Daulah Usmani di Turki akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16.
Gaya ini digunakan untuk menulis kepala surat resmi kerajaan. Karakter gaya ini
bulat dan tidak berharakat. Keindahan tulisannya bergantung pada permainan
garisnya yang kadangkadang pada huruf tertentu meninggi atau menurun, jauh
melebihi patokan garis horizontalnya. Keindahan diwanī terletak pada
keluwesannya dan banyak menggunakan huruf memutar. Diwanī memiliki kreasi
selanjutnya yang disebut diwanī jalī. Bentuk hurufnya mirip dengan diwanī biasa,
hanya saja hiasannya lebih ramai. Penulisannya juga menggunakan pena
berukuran lebih besar dan biasanya menggunakan 2 mata pena yaitu pena besar
untuk tulisan dan pena kecil untuk hiasan.

33
6. Riq‟ah

Riq'aḧ dalam bahasa Arab berarti qith’ah (potongan). Sepotong kain, kayu,
atau tanah semuanya disebut ruq’ah. Dalam kaligrafi Arab, riq’aḧ adalah nama
untuk salah satu jenis kaligrafi. Namun lebih populer dengan sebutan riq’aḧ.
Dinamakan ruq’ah atau riq’aḧ karena biasa dituliskan diatas potongan kulit
(riq’atun min al-jildi). Khaṭ Riq’aḧ adalah tulisan sehari hari masyarakat umum.
Riq’aḧ jenis tulisan yang bisa ditorehkan dengan cepat. Penulis tidak perlu susah
susah memutar mutar tangannya seperti menulis suluts. Riq’aḧ jarang sekali
dikreasikan dalam bentuk bentuk yang beragam.
5) Seni Miniatur (Artefak Peninggalan Rasulullah)

Banyak benda peninggalan Rasullah SAW yang tersimpan di beberapa


museum di antaranya museum Topkapy di Istanbul Turki, Yordania, Irak dan
negara-negara Timur Tengah lainnya. Beberapa benda peninggalan Rasullah
SAW yang dapat kita lihat di antaranya : kunci Ka’bah zaman Nabi Muhammad
SAW, jejak kaki, baju gamis, beberapa helai rambut dari janggut Nabi
Muhammad SAW, pedang milik Nabi Muhammad SAW, surat yang pernah
ditulis Nabi Muhammad SAW, pintu emas makam Nabi Muhammad SAW, dan
lainnya.

Semua benda peninggalan tersebut sangat indah dan menunjukkan betapa


gagah, berwibawa dan perkasanya beliau sehingga dapat meningkatkan iman dan
kecintaan kita terhadap Nabi Muhammad SAW.

Artefak lainnya seperti kantong kulit yang senantiasa dibawa Rasulullah


saat shafar maupun saat berperang seperti Perang Badar dan Perang Khandak.
Kantung kulit yang terbuat dari kulit unta, yang berkapasitas 25 orang saja.
Setelah beliau wafat lalu diwariskan kepada Saidin Ali Zainal Abidin.

34
Kemudian ada juga tongkat yang Rasulullah senangi adalah tongkat
bernama Al Saaja, tongkat peninggalan dari nabi Ibrahim. Tongkat Rasullah
banyak terbuat dari Kayu Al Ayusiah dan Kayu Lus Putih.

Guna mengenang perjuangan Nabi Muhammad SAW membela Islam


dipamerkan juga busur panah, busur komando untuk menandakan mulainya
pertempuran di medan perang. Busur panah berukuran panjang 160 sentimeter
dengan berat 929 gram dan terbuat dari kayu Al Ayusiah, dan anak panah terbuat
dari walnut. Cemeti kulit digunakan semasa menunggang unta atau kuda. Terbuat
dari kulit dan berbentuk tali dan ada juga berbentuk lurus.

Artefak yang digemari oleh pengunjung lainnya yakni surban/imamah yang


paling sering digunakan Rasullah SAW. Surban ini diberikan kepada sahabatnya
Mu'adz bin Jabal. Beliau memiliki banyak sorban/imamah terbuat dari serat kayu,
kain, dan kulit unta berukuran 5 meter berwarna hitam dan hijau.

6) Uang Logam

Orang Arab pada zaman Rasulullah tidak mengenal kata Nuqud mereka
menggunakan kata Dinar dan dirham sebagai alat tukar. Sedangkat fulus adalah
uang tembaga yang juga merupakan uang tambahan untuk membeli barang-barang
yang murah. Adapun pengertian dinar dan dirham adalah :

a. Dinar merupakan barasal dari bahasa romawi yaitu kata Denarius yang artinya
emas cetakan

b. Adapun dirham berasal dari bahasa yunani yaitu Drachma yang berarti perak
cetakan.

Cendikiawan muslim Al-ghazali dan Ibn Khaldun uang dapat diartikan


sebagai segala sesuatu yang digunakan sebagai :

1. standar ukuran nilai harga

2. Media transaksi

3. Media penyimpan nilai.

35
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa fungsi dari uang yang
terpenting adalah stadarnya bukan bentuk uang itu sendiri. Uang emas diterbitkan
ole Raja Dinarius dari kerajaan Romawi. Uang emas sendiri memiliki nilai yang
stabil. Hal ini juga berlaku untuk dirham yang berasal dari persia tepatnya dari
keraan Sasanid. Oleh sebab itu walaupun bukan diterbitkan oleh negara Islam
Rasululla SAW mempergunakannya sebagai alat tukar. ( Susanti, 2017 :34-35)

Ketika Nabi Muhamad SAW diutus sebagai nabi dan Rasul, beliau
menetapkan apa yang sudah menjadi tradisi penduduk mekkah. Beliau
memerintahkan penduduk madinah untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk
Mekkah ketika itu mereka bertransaksi menggunakan dirham dalam jumlah
bilangan bukan timbangan Rasulullah SAW bersabda : “Timbangan adalah
timbangan penduduk Mekkah sedangkan takaran penduduk Madinah”.

Karena adanya perintah tersebut adanya pernedaan ukuran dirham di


Persia karena terdapat 3 bentuk pencetakan uang yaitu :

a. Ukuran 20 karat

b. Kuran 12 karat

c. Ukuran 10 karat

Dinar biasanya berupa kepingan logam emas, sedangkan Dirham terbuat


dari perak. Berdasarkan hukum Syariah Islam, dinar merupakan uang emas
murni yang memiliki berat 1 mitsqal atau setara dengan 1/7 troy ounce. Lalu
ditetapkan dalam dirham Islam menjadi 14 karat denan membagi semuanya
dengan rata-rata 3. Dengan perhitungan 20+12+10:3 = 14 Nilai ini sama dengan
nilai daniq seukuran dengan 7 mitscal di masa sekarang disamakan dengan gram.

36
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran

37
DAFTAR PUSTAKA

 Toha, Muchammad. ____. Sejarah Dan Fungsi Masjid Di Indonesia.


Diakses tanggal 24 September 2021 di http://bdksurabaya-
kemenag.id/p3/data/uploaded/dokumen/WEB%20TOHA%20MASJID.pdf
 Kurniawan, Syamsul. 2014. Masjid Dalam Lintasan Sejarah Umat Islam.
Jurnal Khatulistiwa. 4(2). 160-183.
 Fadilla. (2019). Sejarah Penggunaan Uang Sejak Masa Rasulullah SAW
Sampai Sekarang. Islamic Banking, 2(4). 97-106.
 Saputra, Andika dan Rahmawati, Nur. 2020. Arsitektur Masjid. Surakarta:
Muhammadiyah University Press
 Hafiddin, H. (2015). Pendidikan Islam pada Masa Rasulullah. TARBIYA:
Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 1(1), 17-30.
 Yamin, M. (2017). Peradaban Islam Pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Ihya al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab, 3(1).
 Al-Amri, L., & Haramain, M. (2017). Akulturasi Islam Dalam Budaya
Lokal. KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial dan Keagamaan, 10(2),
87-100.
 Al-Baqi, Wikipedia, Wikipedia bahasa Inggis. Terakhir disunting 2
September 2021. Diakses tanggal 25 Sepetember 2021.
https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Baqi%27
 Makam para nabi, Republika. Terakhir disunting 11 Mei 2020. Diakses
tanggal 26 September 2021. https://m.republika.co.id/amp/qa501s320
 Sejarah makam Rasulullah dan para sahabatnya, Republika. Terakhir
disunting 18 September 2019. Diakses tanggal 26 September 2021.
https://m.republika.co.id/amp/pf7c6t415
 Jannat Al-Mu’alla. Wikipedia. Wikipedia bahasa Inggris. Terakhir
disunting 7 September 2021. Diakses tanggal 25 September 2021.
https://en.wikipedia.org/wiki/Jannat_al-Mu%27alla
 “Jannatul Mualla”. https://www.tribunnewswiki.com/2019/08/06/jannat-
al-mualla. Tribun News wiki. Disunting 6 Agustus 2019. Diakses 25
September 2021.

38
 Fikriarini, Aulia. 2010. Arsitektur Islam: Seni Ruang dalam Peradaban
Islam. Jurnal el- Harakah 12 (3).
 Jannah, Shofiatul. 2020. “Arsitektur Bangunan Masjid Masa Rasulullah”.
https://bincangsyariah.com/khazanah/arsitektur-bangunan-masjid-masa-
rasulullah/.
 Robinson, B. W., Islamic painting and the arts of the book, London, Faber
and Faber, 1976.
 Lumen
learning.https://courses.lumenlearning.com/boundless-arthistory/chapter/
introduction-to-islamic-art/.
 “Seni Rupa Islam”. http://p2k.unimus.ac.id/id1/3040-2937/Seni-
Islam_35079_p2k-unimus.html. Ensiklopedia Dunia Unimus. Diakses
tanggal 25 September 2021.
 “Seni Rupa Islam”. http://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Seni-Rupa-
Islam_35079_s2-unkris_p2k-unkris.html. Diakses tanggal 26 September
2021.
 Sasangko, Agung. 2019. “Arsitektur Islam dari Masa ke
Masa”.https://www.republika.co.id/berita/islampedia/arsitektur-kota/
19/01/07/pkydoy313-arsitektur-islam-dari-masa-ke-masa. Diakses tanggal
26 September 2021.
 “Al-Masjjid an-Nabawi”. Wikipedia. Wikipedia bahasa Inggris.
https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Masjid_an-Nabawi. Disunting 23
September 2021.Diakses tanggal 26 September 2021.
 Nirmala, A.P.H., dkk. (2019). Ornamen Islam Pada Bangunan Arsitektur
Dian Al Mahri Emas Depok. Dimensi, 1(16), 29-42.
 Al- Iskandari, Ahmad, dan Mushthofa ‘ Anani. (1961). Al – Al-Wasit Fi
Al-Abad Al-‘Arabi Wa Tarikhihi. Misr: Dar al – Ma’arif
 Ambary, Hasan Muarif. (1998). Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis
dan Historis Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
 Al-Faruqi, Isma'il R dan Lois Lamya al-Faruqi. (1998). Atlas Budaya
Islam. Bandung: Mizan.

39
 AR Sirojuddin, H D. 2002. "Lukisan Tembok, Kaligrafi, dan Arabes"
dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve.
 Armando, Nina. 2005. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve. Israr, C. (1978). Sejarah Kesenian Islam Jilid 2. Jakarta:
Bulan Bintang.
 Jaudi, Muhammad Husain. (1998). Al-Fan al-‘Araby al-Islami. Oman: Dar
alMasirah.
 Nasr, Seyyed Hossein. (1993). Spiritualitas Dan Seni Islam. Bandung:
Mizan.
 Ali Akbar. (1994) “Kaidah Menulis dan Karya-Karya Master Kaligrafi
Islam”. Jakarta: Pustaka Firdaus.
 Herwandi, “Kaligrafi Islam Pada Makam-Makam Aceh Darussalam:
Tinjauan Sejarah Seni (Abad 16- 18 M)”, Jakarta: Disertasi UI,
2002.
 Kramers dan Gibs, “De Groote Moskee te Koete Radja”, dalam N.I.O.N.
vijfde jaargang, hlm. 90.
 Moquette, “De Grafsteenen te Passe and Grisse vergeleken met dergelijke
Monumenten Uit Hindoestan”, dalam TBG LIV. Batavia: Albrech & Co,
hlm. 532-548
 Moh. Ottman Yatim, Batu Aceh Early Islamic Gravestones in Peninsular
Malaysia. Kuala Lumpur United Selangor Press. Sdn. Bhd, 1988.
 Edward, Muhamad. 2015. Inilan Peninggalan Nabi Muhammad yang
Paling Berharga untuk Umat Islam. Diakses tanggal 26 September
2021 di https://sumsel.tribunnews.com/2015/07/05/inilan-peninggalan-
nabi-muhammad-yang-paling-berharga-untuk-umat-islam
 Michella, Widya. 2021. Ini Dia 35 Artefak Peninggalan Nabi Muhammad
dan Para Sahabat. Diakses tanggal 26 September 2021 di
https://kalam.sindonews.com/read/416786/786/ini-dia-35-artefak-
peninggalan-nabi- muhammad-dan-para-sahabat-1620036344

40

Anda mungkin juga menyukai