Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH : PENGEMBANGAN EVALUASI PBA

NAMA : MUKHAMAD NAFIUL ULUM


NIM :

TES BAHASA ARAB : PENDEKATAN TES BAHASA

PENDAHULUAN
Berbicara tentang pembelajaran, ada beberapa istilah terkait, diantaranya adalah
pendekatan, strategi, metode, dan teknik. Pengertian masing–masing istilah tersebut sering
dikacaukan oleh banyak orang, antara satu sama lain dianggap sama, padahal masing–
masingnya memiliki konotasi yang berbeda. Pendekatan lebih kepada landasan yang
digunakan dalam proses pembelajaran, yang dalam hal ini adalah asesmen pembelajaran
bahasa Arab. Dalam proses pembelajaran, asesmen merupakan cara yang digunakan untuk
mengetahui tercapai atau tidaknya suatu standar kompetensi yang telah dipelajari oleh siswa
di setiap pembelajaran. Hal tersebut senada dengan pendapat ahli yang mengatakan bahwa tes
merupakan prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam
suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan.
Tes bahasa dan pengajaran bahasa merupakan dua kegiatan yang berhubungan secara
erat. Yang pertama merupakan bagian dari yang kedua. Tes bahasa dirancang dan
dilaksanakan untuk memperoleh informasi mengenai hal ihwal yang berkaitan dengan
keefektifan pembelajaran bahasa yang dilakukan. Keberhasilan proses belajar dan mengajar
di kelas dapat dilihat dari sejauhmana penguasaan kompetensi yang telah dikuasai oleh siswa.
Pada dasarnya hasil belajar siswa dapat dinyatakan dalam tiga aspek, yang biasa disebut
dengan domain atau ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.1
Dalam proses asesmen, termasuk asesemen pembelajaran bahasa Arab, ada sejumlah
pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan: (1) Diskret (2) Integratif (3) Pragmatik (4)
Komunikatif. Tulisan ini ingin menguraikan semua jenis pendekatan asesemen pembelajaran
bahasa Arab dimaksud.

1
Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011),
hal. 276
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan
Istilah pendekatan berasal dari bahasa Inggris “approach” yang memiliki beberapa
arti diantaranya diartikan dengan ’pendekatan’. Dalam dunia pembelajaran, kata approach
lebih tepat diartikan a way of beginning something ‘cara memulai sesuatu’. Karena itu, istilah
pendekatan dapat diartikan cara memulai pembelajaran. Dalam pengertian yang lebih luas,
pendekatan mengacu kepada seperangkat asumsi mengenai cara belajar-mengajar.
Pendekatan merupakan titik tolak dalam memandang sesuatu, suatu filsafat atau keyakinan
yang tidak selalu mudah membuktikannya.
Jadi, pendekatan bersifat aksiomatis. Aksiomatis artinya bahwa kebenaran teori-teori
yang digunakan tidak dipersoalkan lagi. Pendekatan pembelajaran (teaching approach) adalah
suatu rancangan atau kebijaksanaan dalam memulai serta melaksanakan pengajaran suatu
bidang studi atau mata pelajaran yang memberi arah dan corak kepada metode pengajarannya
dan didasarkan pada asumsi yang berkaitan. 2 Terkait dengan asesmen pembelajaran bahasa
Arab, terdapat sejumlah pendekatan yang hendaknya diperhatikan setiap guru bahasa Arab,
sebagai berikut:
B. Jenis – Jenis Pendekatan dalam Asesmen Pembelajaran Bahasa Arab
1. Pendekatan Diskret
Dari segi isi atau tugas, asesmen dengan pendekatan ini menyangkut satu aspek
kebahasaan saja pada satu kesempatan pengetesan, misalnya aspek fonologi, morfologi,
sintaksis, atau kosa kata saja. Setiap satu butir soal hanya dimaksudkan untuk mengukur satu
aspek kebahasaan saja. Dari segi model jawaban, tes dengan pendekatan ini berupa
penjodohan (matching), benar-salah (true-flase), pilihan ganda (multiple choiche), atau
mengisi kotak kosong yang disediakan dengan jawaban yang sudah tersedia pada kolom lain.
Dari segi penyekoran jawaban, model jawaban yang seperti itu sangat memudahkan guru atau
korektor dalam memberikan penilaian. Penyekoran berdasarkan model jawaban seperti itu
memiliki reliabilitas yang sangat tinggi. Dengan bantuan komputer misalnya, penyekoran
jawaban hampir 100% tidak diragukan lagi keakuratannya.3
Pendekatan diskret ini secara jelas mengadopsi prinsip-prinsip umum dalam
strukturalisme, behaviorisme, dan audiolingualisme. Dari strukturalisme, prinsip yang
diambil adalah (1) bahasa itu tuturan lisan dan bukan tulisan, dan (2) bahasa itu merupakan
suatu sistem. Pertama, prinsip bahwa bahasa itu tuturan lisan telah menyadarkan para ahli tes
bahasa bahwa tuturan lisan adalah bahasa yang pertama dan utama dari manusia. Karya sastra
yang selama ini diagung-agungkan sebagai satu-satunya sumber pengetesan bahasa akhirnya
disadari hanyalah rekonstruksi dari pemakaian bahasa yang sesungguhnya. Keyakinan baru
akan prinsip ini kemudian membongkar kebiasaan lama pengetesan bahasa yang melulu
hanya menggunakan karya sastra semata. Kedua, prinsip bahwa bahasa itu merupakan sistem
menunjukkan bahwa bahasa dipandang memiliki sub-sub unit yang saling berhubungan

2
J.S. Badudu, Pintar Berbahasa Indonesia 1: Petunjuk Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 17.
3
Rahmaini, PENDEKATAN ASESMEN PEMBELAJARAN BAHASA ARAB. JURNAL ITTIHAD, Vol. 1, No. 1,
Januari 2017
membentuk suatu struktur, mulai dari tingkat bunyi, kata, dan kalimat. Bentuk tes diskret
kebahasaan yang dapat dikembangkan:
Pertama adalah tes bunyi bahasa. Tes bunyi bahasa dapat berupa mengenal bunyi
bahasa, membedakan bunyi bahasa, melafalkan bunyi bahasa, melafalkan kata-kata,
melafalkan pasangan kata, melafalkan rangkaian kalimat, dan membaca teks.
Kedua adalah tes kosa kata. Tes ini bertujuan untuk mengungkapkan penguasaan kosa
kata, baik secara pasif reseptif maupun aktif produktif. Tes ini meliputi menunjukkan benda
berdasarkan kata yang disebutkan, memperagakan berdasarkan kata yang disebutkan,
memberikan padanan kata, memberikan sinonim kata, memberikan lawan kata, dan
melengkapi kalimat.
Ketiga adalah tes tatabahasa. Tes ini meliputi pembentukan kata, pembentukan frasa,
dan pembentukan kalimat. Variasi bentuk tes ini antara lain (a) pada pembentukan kata:
menunjukkan asal kata, membentuk kata turunan, menyesuaikan bentuk kata; (b) pada
pembentukan frasa: menyusun kata-kata, melengkapi kata menjadi frasa, membentuk frasa,
menjelaskan makna frasa; (c) pembentukan kalimat: mengenal kalimat, membentuk kalimat,
menyusun kalimat, dan mengubah kalimat.
Pendekatan diskret bersumber pada pendekatan struktural dalam kajian kebahasaan.
Dalam pendekatan struktural, bahasa dianggap sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang
tertata rapi, dan terdiri dari komponen-komponen bahasa, yaitu kompoonen bunyi bahasa,
kosa kata,dan tata bahasa. Komponen-komponen itu tersusun secara berjenjang menurut
suatu struktur tertentu. Dalam struktur itu, bagian-bagian kecil bersama-sama membentuk
bagian-bagian yang besar lagi, dan demikian selanjutnya, sampai terbentuknya bahasa
sebagai struktur terbesar. Dalam tes bahasa, pendekatan diskret dimaksudkan untuk
mengukur tingkat penguasaan terhadap satu jenis kemampuan berbahasa atau komponen
bahasa.4 Tes diskret adalah, suatu tes yang hanya menekankan satu aspek kebahasaan
(misalnya tata bahasa) pada satu waktu. Artinya, kemampuan yang akan diukur adalah
tunggal atau satu komponen saja. Istilah lain yang semakna dengan tes diskret adalah tes
atomistik. Tes atomistik mengukur butir-butir spesifik, misalnya tata bahasa, bunyi, dan kosa
kata yang pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan penggunaan bahasa nyata. Tes
atomistik ini memiliki beberapa keuntungan yaitu:
a. Dengan mudah tes ini dapat disusun untuk mengukur berbagai jenis butir (mudah dan/atau
sukar, pendek atau panjang).
b. Hasil tes atomistik dapat dengan mudah diproses secara statistik. Akan tetapi, di sisi lain
tes ini juga memiliki kelemahan, antara lain tes ini dilaksanakan dengan cara mengikat unsur-
unsur bahasa.
Bentuk des diskret ini dilatar belakangi oleh pandangan struktural dalam kajian
kebahasaan. Dalam pandangan struktural, hakikat bahasa itu terdiri atas beberapa komponen
yang saling terpisah. Implikasinya tes bahasa juga dinilai dari berbagai komponen secara
terpisah, sehingga akan dijumpai tes fonem sendiri atau tes kosa kata sendiri, tes sintaksis
sendiri yang terpisah dari komponen lainnya. Berikut ini contoh tes diskret pada komponen
pengenalan bunyi bahasa arab (fonologi), pengenalan kosa kata, dan bentuk kata
4
Sri Wahyuni dan Abd. Syukur Ibrohim, Asesmen Pembelajaran Bahasa, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2007), hal. 5.
Contoh 1 (tes menyimak yang mengukur pembedaan bunyi yang mirip), seperti Kosa
kata berikut ini yang bunyi awalnya berupa ‫ ع‬adalah5 :
(guru memperdengarkan kosa kata berikut:)
‫حليم‬- ‫أ‬
‫ هليم‬- ‫ب‬
‫ عليم‬- ‫ج‬
‫ أليم‬- ‫د‬
Contoh 2 tes kosa kata/mufradat : Pengenalan arti kata, arti kata ‫ الجامعة‬adalah :
a. Masjid.
b. Perguruan tinggi.
c. Lab.bahasa.
d. Yayasan
Contoh 3 tes bentukan kata/sharf : Mengubah (mentashrif) kata : seperti Isim fa’il dari
kata ‫ َضَر َب‬adalah :
‫ َض ارب‬.‫أ‬
‫ ضّراب‬.‫ب‬
‫ مضروب‬.‫ج‬
‫ مضرب‬.‫د‬
Contoh tes tersebut mengukur satu aspek komponen kebahasaan saja. Pada contoh 1,
kemampuan teste yang diukur adalah bunyi yang mirip. Contoh 2 juga mengukur satu aspek
kemampuan, yakni arti kata. Contoh 3 juga mengukur satu aspek kemampuan saja, yakni
kemampuan mengenal perubahan bentuk kata dalam bahasa arab.
2. Pendekatan Integratif
Seiring dengan populernya Pendekatan Diskret, yang dikenal juga sebagai masa
gerakan ilmiah atau strukturalpsikomotrik dalam tes bahasa, muncul suatu pendekatan baru
dalam tes bahasa yang mengoreksi pendekatan diskret. Jika dalam pendekatan diskret, aspek-
aspek kebahasaan dan kemampuan berbahasa itu diperlakukan secara terpisah, maka dalam
pendekatan integratif aspek-aspek bahasa dan kemampuan berbahasa itu dicakup secara
bersamaan.6
Jika dalam tes diskret hanya diujikan satu aspek kebahasaan saja pada satu waktu,
maka dalam tes integratif berusaha diukur beberapa aspek kebahasaan secara bersamaan.
Prinsip ini sesuai dengan pandangan psikologi Gestalt yang intinya “bahwa tingkah laku itu
dipelajari sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan atau “gestalts”.
5
Imam Asrori, Evaluasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: Misykat Indonesia, 2014), hal. 43
6
Rahmaini, PENDEKATAN ASESMEN PEMBELAJARAN BAHASA ARAB. JURNAL ITTIHAD, Vol. 1, No. 1,
Januari 2017
Berdasarkan pandangan ini, maka tes integratif tidak secara khusus mengeteskan
salah satu aspek kebahasaan seperti fonologi, morfologi, sintaksis, atau kosa kata, atau salah
satu dari kemampuan berbahasa seperti membaca, menulis, berbicara, atau menyimak,
melainkan sebuah tes dalam satu waktu meliputi beberapa aspek kebahasaan dan kemampuan
berbahasa sekaligus. Pada tes integratif, terdapat penggabungan dari aspek-aspek terkecil itu
ke dalam satu butir tes. Penggabungan itu dapat terjadi antar bagian dalam kemampuan
bahasa atau berbahasa, atau bagian dalam kemampuan bahasa dengan bagian lain dalam
kemampuan berbahasa.
Tes bahasa dengan pendekatan integratif melakukan pengukuran penguasaan
kemampuan berbahasa atas dasar penguasaan testi terhadap gabungan antara beberapa
komponen bahasa dan kemampuan berbahasa. Mengubah bentuk suatu kalimat menjadi
bentuk kalimat yang lain, misalnya, tidak saja menuntut kemampuan testi tentang
pengetahuan struktur kalimat, melainkan juga memerlukan penguasaan perubahan bentuk
kata, dan bahkan makna kata yang merupakan bagian dari penguasaan kosa kata.
Dilihat dari sudut pembelajaran bahasa dewasa ini, tes integratif terlihat lebih
menjanjikan daripada tes diskret. Walau demikian, pemilihan tes haruslah disesuaikan dengan
pendekatan, metode, dan teknik, bahkan juga bahan pembelajaran, yang dipergunakan dalam
pembelajaran bahasa di kelas. Jika dalam tes diskret pada satu waktu hanya mengevaluasi
satu aspek kebahasaan saja, pendekatan integratif berusaha mengukur kemampuan siswa
mempergunakan berbagai aspek kebahasaan atau beberapa keterampilan berbahasa. Dengan
demikian pendekatan integratif beranggapan bahwa bahasa merupakan penggabungan dari
bagianbagian atau komponen-komponen bahasa, yang bersama-sama membentuk bahasa.
Evaluasi pembelajaran bahasa dengan pendekatan integratif dilakukan dengan cara
mengukur penguasaan kemampuan berbahasa atas dasar penguasaan terhadap gabungan
beberapa bagian dari komponen bahasa atau kemampuan berbahasa. Tes integratif
mempunyai landasan teori linguistik yang sama dengan tes diskret. Akan tetapi, dalam tes
integratif terdapat penggabungan dari bagian-bagian terkecil pada suatu butir tes. Dapat
dikatakan, bahwa tes integratif ini sebagai koreksi terhadap kelemahan yang terdapat dalam
tes diskret.
Dengan demikian, pada tes integratif ini, pihak teste dalam menjawab suatu butir soal
dituntut mengarahkan kemampuan kebahasaan dan keterampilan secara simultan. Yang
termasuk tes integratif baik yang menyangkut aspek kebahasaan maupun keterampilan
berbahasa adalah menyusun kalimat, menafsirkan wacana singkat yang dibaca atau didengar,
memahami bacaan yang dibaca atau didengar, menyusun sebuah alinea berdasarkan kalimat-
kalimat yang disediakan. Berikut ini dikemukakan contoh tes bahasa arab secara integratif.
Contoh 1 : Tes menulis secara terbimbing, misalnya: menyusun kata menjadi kalimat :
‫رتب الكلمات التاليه لتكون جمله كامله مفيدة‬
‫ الى‬- ‫ و‬- ‫ أصلي‬- ‫ اذهب‬- ‫ فيها‬- ‫ المسجد‬.١
‫ اشرب‬- ‫ ثلثه‬- ‫ الصباح‬- ‫ القهوة‬- ‫ آكل‬- ‫ الخبز‬- ‫ في‬- ‫ ثم‬.٢
‫ أن‬- ‫ ينبغي‬- ‫ و‬- ‫ تدخن‬- ‫ االكل‬- ‫ بعد‬.٣
Contoh 2. Memahami wacana yang disimak (fahmūl masmū’), seperti menentukan
informasi tersurat dari teks lisan, misalnya:
! ‫اقرا النص االتي قراءه جيده ثم اجب عن االسئله االتيه‬
‫وا في‬ŽŽ‫ون اذا بك‬ŽŽ‫ير كي تك‬ŽŽ‫ل لخ‬ŽŽ‫ واعم‬،‫رورا‬ŽŽ‫قال عبد الرحمن وحيد "ولدتك امك يا ابن ادم باكيا والناس حولك يضحكون س‬
‫يوم موتك ضحكا مسرورا‬
‫ من بكى إذا ُو لد ؟‬.١
‫ لماذا أعمل الخير ؟‬.٢
Contoh 3. Tes qawâ’id (Nahwu), seperti menentukan kedudukan nahwu, misalnya:
‫ليس التواضع من يطأطئ راسه انما التواضع من عرفع نفسه‬
‫ما موقوع "التواضع" بعد اللفظ ليس ؟‬
‫ اسم ليس‬.‫أ‬
‫ خبر ليس‬.‫ب‬
‫ مبتدا‬.‫ج‬
Contoh tes 4, 5, dan 6 diatas bukan saja mengukur satu aspek kemampuan, melainkan
mengukur lebih dari suatu kemampuan secara integratif. Seorang siswa tidak akan mampu
menjawab contoh tes 4 (menyusun kalimat), kalau dia hanya memodalkan kosa kata. Hal
yang sama juga terjadi pada contoh tes 5, dalam hal ini siswa bukan hanya mengandalkan
kosa kata dan struktur, tetapi juga mengandalkan kemampuan memahami teks yang
diperdengarkan secaraa cermat. Meskipun contoh tes 6 ini lebih menekankan pengukuran
kemampuan tatabahasa (nahwu), akan tetapi dalam menjawab soal tersebut diperlukan
kemampuan lain, yakni kemampuan kosa kata.
3. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik pada awalnya digunakan dalam kaitannya dengan teori tentang
kemampuan memahami berdasarkan kemampuan tata bahasa pragmatik (pragmatic
expectancy grammar). Kemampuan itu merupakan kemampuan untuk memahami teks atau
wacana, tidak hanya dalam konteks linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan
kemampuan pemahaman unsur-unsur ekstra linguistik. Dalam memahami wacana, seseorang
tidak saja mengandalkan kemampuan linguistik dalam bentuk pemahaman terhadap bentuk
dan susunan kalimat, frasa, kata-kata, dan unsur linguistik lain yang secara eksplisit terdapat
dalam penggunaan bahasa. Pemahaman yang lebih dalam terdapat dalam konteks ekstra
linguistik (exstralinguistic context), yaitu aspek-aspek pemahaman bahasa di luar apa yang
diungkapkan secara eksplisit melalui bahasa, dan yang meliputi segala sesuatu dalam bentuk
kejadian, pikiran, antar hubungan, perasaan, persepsi, ingatan, dan lain-lain.7
Kendala alamiah yang terdapat dalam suatu wacana pragmatik mengharuskan
pembaca atau pendengar untuk:

7
Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional), hal. 29
 Mengolah dan memahami wacana itu dengan segala macam kendala, yang bersifat
linguistik maupun ekstralinguistik, yang secara alamiah selalu mewarnai setiap
wacana yang diungkapkan,
 Memahami hubungan-hubungan pragmatik antara konteks linguistik dan
ekstralinguistik.
Dalam hal itu kendala yang bersifat linguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap
susunan wacana, tata bahasa, atau kata-kata yang digunakan dalam wacana. Sedangkan
kendala ekstralinguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek diluar linguistik
dalam bentuk abstraksi pengalaman hidup yang diperlukan untuk memahami isi wacana yang
tengah dihadapi.
Penerapan pendekatan pragmatik dalam tes bahasa paling sering dikaitkan dengan Tes
cloze, disamping dikte. Pada tahap ini beberapa ciri khas Tes cloze dapat digunakan sebagai
sarana untuk mendes-kripsikan ciri-ciri tes pragmatik seperti disebutkan di atas. Pada
umumnya Tes cloze terdiri dari teks bacaan sepanjang kira-kira 400-500 kata. Kemudian ada
beberapa kata yang dihapus. Kemampuan untuk menemukan dan menuliskan kata-kata yang
sama dihapus berdasarkan teks yang masih tertinggal tersebut, ditafsirkan sebagai ceminan
dari kemampuan untuk memahami teks secara keseluruhan berdasarkan kemampuan
pragmatik yang meliputi kemampuan memahami bacaan, susunan bacaan, tata bahasa, dan
kosa kata (kemampuan linguistik), serta pengetahuan tentang seluk-beluk bidang yang
dibahas dalam teks bacaan (kemampuan ekstralinguistik). Jenis tes bahasa yang bersifat
pragmatik cukup beragam diantaranya adalah :
a. Dikte
Dikte merupakan salah satu bentuk tes pragmatik yang dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan berbahasa siswa. Dalam dikte ini, diperdengarkan atau dibacakan
suatu wacana untuk dituliskan oleh orang lain. Dalam bahasa Arab, dikte bukan saja
mengukur kemampuan memahami wacana yang disimak, melainkan juga mengukur
kemampuan siswa untuk mentranskrip wacana tersebut dengan benar.
b. Tes cloze
Tes cloze merupakan salah satu contoh tes pragmatik. Dalam Tes cloze ini, teste
diminta mengisi kata – kata yang dihilangkan dalam teks.
c. Pemahaman Parafrase
yang dimaksud dengan pemahaman parafrase adalah kemampuan teste untuk memilih
satu parafrase yang paling benar dari beberapa parafrase alternatif yang tersedia yang
maknanya paling sesuai dengan wacana yang disajikan, baik secara lisan maupun tertulis.
d. Jawaban Pertanyaan (Question Answering)
Jawaban pertanyaan merupakan salah satu contoh bentuk tes pragmatik yang meminta
teste untuk memilih jawaban yang paling sesuai dengan pertanyaan yang diperdengarkan
secara lisan (baik secara langsung maupun menggunakan tape recorder). Alternatif jawaban
(option) yang dimaksud terdapat dalam lembar jawaban (answer sheet).
e. Wawancara
Dalam tes bahasa, wawancara merupakan salah satu bentuk tes untuk mengukur
kemampuan berbicara yang memiliki unsur – unsur pragmatik.
f. Menulis
Tes menulis merupakan salah satu contoh tes pragmatik. Tes ini mengukur
kemampuan teste dalam menuangkan gagasan, pikiran, perasaan, maupun idenya dalam
bentuk tulis.
g. Bercerita
Bercerita pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan menulis. Keduanya
merupakan suatu kegiatan untuk mengekspresikan suatu objek fenomena. Perbedaannya,
bercerita dalam konteks ini dilakukan secara lisan, tidak dalam bentuk tulis.
h. Terjemah
Terjemah merupakan salah satu bentuk tes bahasa yang memiliki unsur pragmatik. Tes
terjemahan mengukur kemampuan teste untuk mentransfer suatu pikiran, ide, atau pesan dari
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Proses transfer dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran merupakan suatu aktifitas yang kompleks, karena kegiatan ini melibatkan totalitas
kognisi dan perfomansi penerjemah yang bukan saja terbatas pada kemampuan berbahasa,
melainkan juga memahami sosial budaya kedua bahasa.
4. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan Pragmatik bagaimanapun juga masih dipandang banyak memiliki
kekurangan dan masih terjebak pada aspek usage dan bukan use dalam pengetesan bahasa.
Tes bahasa yang benar-benar komunikatif adalah tes bahasa yang mengukur performansi testi
dalam komunikasi yang sesungguhnya yang di dalamnya tercermin kompetensi gramatikal,
kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategik.8
Dalam Pendekatan Komunikatif ini, peranan konteks diperluas, yakni dengan
memperhatikan unsur-unsur yang mengambil bagian dalam terwujudnya suatu komunikasi
yang baik. Oleh karena perlu dalam tes bahasa dengan pendekatan komunikatif perlu
diadakan analisis kebutuhan komunikatif, yang terdiri atas: identifikasi partisipan, tujuan
komunikasi, latar, pola interaksi, dialeg, aktivitasaktivitas kejadian, dan sebagainya. Dalam
tes bahasa, penerapan pendekatan komunikatif berdampak terhadap beberapa segi
penyelenggaraannya, terutama jenis dan isi wacana yang digunakan, kemampuan berbahasa
yang dijadikan sasaran serta bentuk tugas, soal dan pertanyaannya. Semua itu harus
ditentukan atas dasar ciri komunikatif, yakni hubungan dan kesesuaiannya dengan
penggunaan bahasa dalam komunikasi senyatanya.
Penerapan kemampuan komunikatif pada tes bahasa komunikatif didasarkan pada
rincian rumusan yang banyak digunakan, yang memahami kemampuan komunikatif itu
sebagai kemampuan linguistik (linguistc competence), kemampuan wacana (discourse
competence), dam kemampuan strategis (strategic competence). Di tengah berbagai upaya
untuk memahami dan mendefinisikan kemampuan komunikatif yang masih dalam
perkembangan itu, kemampuan komunkatif yang dimaknai sebagai upaya untuk
menggunakan kemampuan linguistik yang cocok dengan situasi nyata kiranya dapat
8
Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional), hal. 29
digunakan. Secara umum tes bahasa komunikatif adalah tes yang mengedepankan
penggunaan kemampuan komunikatif, yang tidak mengedepankan pengetahuan gramatikal.
Secara umum pula tes bahasa komunikatif merupakan tes yang pengembangan dan
penggunaannya didasarkan atas penerapan teori kemampuan bahasa komunikatif, meskipun
bentuknya tergantung pada dimensi mana yang perlu diutamakan seperti konteks, keaslian
(authenticity), atau simulasi bahasanya.
Faktor pragmatik/faktor penentu ada banyak jenisnya, misalnya siapa yang
berkomunikasi, apa tujuan komunikasi, masalah yang dikomunikasikan, tingkat formalitas
ketika komunikasi terjadi, dll. Tes pragmatik mengukur kemampuan berbahasa pembelajar
dalam konteks yang sesungguhnya. Namun, itu harus kesesuaian dengan metode
pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa haruslah menekankan pada kemampuan
berbahasa, bukan sistem bahasa. Dengan begitu ada keselarasan antara model pembelajaran
dan model penilaian.
Namun, pada praktiknya tidak mudah menguraikan pembelajaran bahasa yang benar-
benar kontekstual dan komunikatif. Artinya pembelajaran “penggunaan bahasa”, kemampuan
berbahasa, masih saja artifisial, namun itu sudah lebih baik daripada yang benar-benar diskret
dan terisolasi. Tes pragmatik yang masih berwujud penggunaan dalam konteks artifisial juga
sudah lebih baik daripada yang benar-benar diskret yang hanya bertujuan mengukur
pengetahuan tentang sistem bahasa.
Pendekatan komunikatif mendasarkan pandangannya terhadap penggunaan bahasa
dalam komunikasi sehari-hari senyatanya. Sebagai suatu pendekatan dengan orientasi
psikolinguistik dan sosiolinguistik, pendekatan komunikatif mementingkan peranan unsur-
unsur non kebahasaan, terutama unsur-unsur yang terkait dengan terlaksananya komunikasi
yang baik. Pendekatan komunikatif memperluas konteks itu dengan memerhatikan unsur-
unsur yang mengambil bagian dalam terwujudnya komunikasi yang baik. Sebagai akibatnya,
pendekatan komunikatif secara rinci mempersoalkan seluk beluk komunikasi (siapa yang
berkomunikasi, bagaimana hubungan mereka yang melakukan komunikasi, apa maksud dan
tujuan dilakukannya komunikasi, dalam keadaan bagaimana komunikasi terjadi, dan
sebagainya) yang merupakan tujuan pokok penggunaan bahasa.
Dalam tes bahasa, penerapan pendekatan komunikatif berdampak terhadap beberapa
segi penyelenggaraanya, terutama jenis dan isi wacana yang digunakan, kemampuan
berbahasa yang dijadikan sasaran, serta bentuk tugas, soal, atau pertanyaannya. Semua itu
harus ditentukan atas dasar ciri komunikatifnya, yaitu hubungan kesesuaiannya dengan
penggunaan bahasa dalam komunikasi.
Pendekatan pragmatik mempunyai persamaan dengan pendekatan komunikatif.
Keduanya menekankan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa dalam situasi
tertentu. Penilaian terhadap kemampuan siswa lebih ditekankan pada kemampuan
menghasilkan dan atau memahami informasi dan bukan pada semata-mata ketetapan bahasa
yang dipergunakan.9

9
Rahmaini, PENDEKATAN ASESMEN PEMBELAJARAN BAHASA ARAB. ITTIHAD, Vol. 1, No. 1, Januari
2017

Anda mungkin juga menyukai