Anda di halaman 1dari 8

RINGKASAN ULASAN PADA ARTIKEL

Membaca Karya Sejarah Dengan Kerangka Kerja Filsafat Sejarah Kritis


Karya Jusuf Nikolas Anamofa Dan Bab III Pengertian Filsafat Sejarah
(Bahan Pertemuan Ke-9

Ringkasan Dan Ulasan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:
Filsasafat Sejarah

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Sulasman, M.Hum
Dr. Suparman, M.Ag

Oleh:
Sopian Suprianto
2230120017

PASCA SARJANA
PROGRAM MAGISTER STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2024
Ringkasan Dan Ulasan Pada Artikel
Membaca Karya Sejarah Dengan Kerangka Kerja Filsafat Sejarah Kritis
Karya Jusuf Nikolas Anamofa

Sopian Suprianto
Program Studi Sejarah Peradaban Islam
Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
e-mail : sopian.scr@gmail.com

Pada bagian pertama penulis akan membuat resume terkait artikel yang ditulis oleh
Jusuf Nikolas Anamofa dengan judul “Membaca Karya Sejarah Dengan Kerangka Kerja
Filsafat Sejarah Kritis. Berikut ringkasan dan ulasan.
Karya sejarah adalah hasil interpretasi para sejarawan yang berupaya menghubungkan
masa kini dengan masa lalu. Hasil interpretasi itu kemudian dibaca dan diinterpretasi oleh para
pembacanya, terkadang melampaui kepentingan sejarah itu sendiri. Membaca karya sejarah
tentu membutuhkan kaca mata tertentu. Salah satu kaca mata yang ditawarkan dalam tulisan
ini adalah kerangka kerja filsafat sejarah kritis.

1. Sepintas Filsafat Sejarah


Voltaire adalah ia menghendaki para pembacanya untuk berpikir tentang sejarah dan
bukan membaca atau menelitinya untuk kepentingan sejarah semata (Lemon, 2003:7).
Walaupun telah diperkenalkan oleh Voltaire, istilah filsafat sejarah tidak mudah ditemukan
pembatasannya. Hal itu disebabkan karena istilah “sejarah” sendiri dalam bahasa dan tradisi
pemikiran Barat seperti history, histoire, Geschichte, pada umumnya merujuk pada dua
pengertian.
Bahwa filsafat sejarah meliputi filsafat sejarah spekulatif atau substantif dan filsafat
sejarah kritis atau analitis. Istilah filsafat sejarah spekulatif menunjuk pada rangkaian
peristiwa-peristiwa masa lalu sebagai suatu realitas khusus yang menjadi perhatian bagi para
sejarawan untuk diteliti. Tujuannya adalah untuk menemukan pola-pola makna umum yang
ada di balik setiap pandangan sejarawan tentang peristiwa-peristiwa masa lampau. Sementara
filsafat sejarah kritis atau analitis lebih menunjuk pada sejarah sebagai bidang penelitian
khusus yang dilakukan oleh sejarawan. Tujuannya adalah adalah untuk menjelaskan tentang
bidang penyelidikan sejarah, untuk menguji asumsi-asumsi dasar dari para sejarawan yang
digunakan sebagai dasar penyelidikannya, menjelaskan bagaimana konsep-konsep sejarawan
diorganisir dalam tulisannya, metode yang digunakan sejarawan dalam meneliti dan
menuliskan hasil penelitiannya, dengan mendudukkan semua itu dalam peta pengetahuan
secara keseluruhan. Namun, yang perlu diberikan catatan adalah inti dari filsafat sejarah
spekulatif bukan berarti kesimpulan- kesimpulannya sangat spekulatif, walaupun memang
spekulatif, tetapi hendak menjawab pertanyaan: “apakah sejarah sebagai suatu keseluruhan itu
memiliki makna atau tidak?” Filsafat sejarah kritis bukan berarti melulu melakukan kritik
terhadap pengetahuan tentang masa lalu yang dibangun oleh sejarawan, walaupun memang
berfungsi kritis, tetapi hendak menjawab pertanyaan tentang bidang penyelidikan sejarah
daripada proses sejarah itu sendiri (Dray, 1993: 1-5).
Tulisan ini hendak meneropong gagasan Robin George Coolingwood, seorang pemikir
filsafat sejarah kritis, tentang re-enactment sebagai salah satu kerangka kerja filsafat sejarah
kritis. Pemikiran Collingwood tersebut, agar tidak hanya merupakan konsep filosofis tetapi
juga mendapat kekuatan metodologisnya, coba dibingkai dalam pendekatan idealisme
struktural dari Douglas Mann.
2. Tesis R.G. Collingwood Tentang Re-enactment Pemikiran Agen Sejarah
R.G Collingwood menyatakan bahwa filsafat adalah suatu usaha refleksi. Pemikiran
filosofis tidak secara sederhana berpikir tentang suatu objek, tetapi lebih dari itu, ketika
seseorang berpikir tentang suatu objek, ia sekaligus berpikir tentang pemikirannya sendiri
mengenai objek itu. Pemikiran dalam hubungannya dengan objek bukan sekedar pemikiran,
tetapi adalah pengetahuan. Sebagai contoh, apabila Psikologi mempelajari tentang pemikiran
dan mendefinisikannya sebagai peristiwa- peristiwa mental yang merupakan hasil abstraksi
dari objek-objek, maka bagi filsafat, pemikiran itu adalah teori pengetahuan. Dalam hubungan
dengan sejarah, ketika para psikolog menanyakan tentang apa yang dipikirkan oleh para
sejarawan, maka para filsuf menanyakan tentang bagaimana para sejarawan dapat mengetahui.
Para filsuf sangat mempedulikan keberadaan objek bukan sebagai objek semata tetapi sebagai
sesuatu yang dapat diketahui oleh para sejarawan.
Filsafat tidak saja memikirkan tentang suatu objek material tetapi juga pemikiran
tentang objek itu menurut disiplin-disiplin ilmu yang lain. Filsafat adalah pemikiran tentang
pemikiran. Bagi Collingwood, hubungan antara objek material dan pemikiran tentangnya yang
dipikirkan oleh filsafat adalah bentuk pengetahuan.
Collingwood mengemukakan pendekatannya tentang filsafat sejarah secara baru sejak
diperkenalkan oleh Voltaire pada abad ke- 18. Pertama, sejarah adalah suatu upaya kritis, bukan
sekedar studi asal jadi dan spekulatif tentang masa lalu manusia. Dalam posisinya sebagai studi
kritis terhadap masa lalu manusia, menurut Collingwood, sejarah adalah filsafat. Kedua, pada
abad pertengahan, historiografi Kristen adalah upaya pencarian pola-pola umum dari peristiwa-
peristiwa masa lalu. Bagi Collingwood, upaya untuk menemukan dan menentukan pola-pola
umum yang mengarah pada sejarah universal adalah bagian dari filsafat sejarah. Ketiga,
Collingwood membedakan antara filsafat sejarah sebagai pemikiran tahap kedua dengan ilmu-
ilmu lain yang juga berkutat dengan proses sejarah dalam perkembangan pemikirannya. (Dray,
1995: 17).
Collingwood melakukan pembedaan penting antara ilmu alam dan sejarah.
Menurutnya, yang pertama kali menyatakan bahwa sejarah sebagai proses adalah Vico yang
menganggap sejarah sebagai suatu proses yang dengannya umat manusia membangun sistem
bahasa, budaya, hukum, pemerintahan dan sebagainya. Dalam arti itu, Vico memikirkan
sejarah sebagai sejarah dari penciptaan dan pengembangan masyarakat manusia dengan semua
institusinya (1993: 65). Dalam catatan yang diberikan oleh Dussen (1981, 68), dinyatakan
bahwa Collingwood melihat perbedaan- perbedaan itu dalam berbagai cara. Prinsip-prinsip
yang berbeda itu dapat disimpulkan menjadi tiga bagian: (1) ilmu alam terdiri dari peristiwa-
peristiwa (events) sedangkan sejarah terdiri dari tindakan-tindakan (manusia); (2) peristiwa
alam dilihat dari luar, sementara tindakan manusia secara esensi berada di dalam diri manusia;
(3) masa lalu dari peristiwa alam adalah kematian (dead), sementara masa lalu dari proses
sejarah adalah kehidupan pada masanya.
Pendekatan Collingwood terhadap sejarah secara umum dapat diketahui melalui tesis-
tesis yang dikemukakannya di bawah ini:
1) Semua sejarah adalah sejarah pemikiran. Bagi sejarah, obyek materialnya bukanlah
peristiwa semata tetapi pemikiran di balik peristiwa-peristiwa. (Collingwood, 1993:
214).
Collingwood menggunakan dua contoh, yaitu sejarah politik dan sejarah Militer. Baginya,
sejarah politik adalah pemikiran manusia yang terlibat dalam pekerjaan politik seperti
pengambilan kebijakan, perencanaan pelaksanaan kebijakan, upaya menemukan pihak-pihak
yang tidak menyetujui suatu kebijakan, apa saja yang dapat digunakan untuk mengatasi pihak-
pihak yang tidak menyetujui kebijakan itu dan seterusnya. Sejarah militer baginya bukanlah
deskripsi tentang latihan yang panjang dan melelahkan, medan pertempuran yang dingin,
korban-korban yang berjatuhan, tetapi adalah pemikiran tentang strategi dan taktik yang
berujung pada pertempuran (Collingwood, 1978: 110).
Oleh karena pemikiran adalah objek dari pengetahuan sejarah, maka timbul pertanyaan
“apa saja kondisi yang memungkinkan untuk mengetahui sejarah pemikiran?” Jawabannya
adalah tesis berikutnya:
2) Pertama: Pemikiran itu harus dapat diekspresikan
Kedua: Sejarawan harus memiliki kemampuan untuk memikirkan berulangkali bagi
dirinya sendiri ekspresi-ekspresi pemikiran yang coba diinterpretasikannya itu.
Tesis kedua berdasarkan dua hal di atas adalah: “pengetahuan sejarah adalah re-
enactment pemikiran agen sejarah yang dipelajari sejarawan di dalam pemikirannya
sendiri. (Collingwood, 1978: 111-2). (Collingwood, 1993: 215).
Menurutnya, menghadirkan kembali pemikiran Nelson adalah upaya menghadirkan
kembali dengan perbedaan. Perbedaannya ada pada konteks pemikiran. Bagi Nelson, itu adalah
pemikiran masa kini (present thought), sementara bagi Collingwood, itu adalah pemikiran masa
lalu (past thought) yang tetap ada sampai masa kini yang terbungkus, tidak bebas.
Dari masalah di atas, Collingwood tiba pada solusi yang merupakan tesisnya yang ketiga
tentang sejarah:
3) Pengetahuan sejarah adalah re-enactment suatu pemikiran masa lalu yang telah
terbungkus di dalam konteks pemikiran masa kini. Konteks pemikiran itulah yang
membedakan dan membatasinya. (Collingwood, 1978: 114).
Re-enactment adalah tindakan untuk berpikir secara aktif dan kritis. Artinya,
sejarawan tidak hanya menyusun ulang (re-enact) pemikiran masa lalu di dalam
pikirannya sendiri tetapi ia melakukan penyusunan ulang dalam konteks pemikiran
masa kini, mengkritisinya, membentuk penilaian-penilaian pribadinya atas nilai-nilai
dari pemikiran tersebut, membentuk konsep-konsep baru yang memperbaiki kesalahan-
kesalahan masa lalu. (Collingwood, 1993: 215).

3. Pengetahuan Sejarah Sebagai Penyusunan Ulang (Re-enactment) Pemikiran


Masa Lalu
Dari tesis yang dikemukakan, “penyusunan ulang” atau re-enactment menjadi kata
kunci pemikiran Collingwood tentang filsafat sejarah.
Ide Collingwood tentang re-enactment didasarkan pada pernyataan:
If Then the historian has no direct or empirical knowledge of his facts, and no
transmitted or testimoniary knowledge of them, what kind of knowledge has he: in other
words, what must the historian do in order that he may know them? My historical review
of the idea of history has resulted in the emergence of an answer to this question:
namely, that the historian must re-enact the past in his own mind (Collingwood, 1993:
282).
Sejarawan harus melakukan penyusunan ulang (re-enact) masa lalu di dalam pikirannya
sendiri. Re-enactment diibaratkan sebagai jempatan antara masa lalu dan masa kini (Day, 2008:
124). Ide tentang re-enactment adalah jawaban Collingwood atas pertanyaan penting
epistemologis dalam filsafat sejarah: “Bagaimana masa lalu dapat diketahui?”
Baik Collingwood maupun Donagan dan Dray masih melihat re-enactment sebagai
jawaban filosofis terhadap pertanyaan tentang kondisi yang memungkinkan bagi adanya
pengetahuan sejarah. Masalahnya adalah ketika tesis Collingwood hendak digunakan baik
sebagai jawaban filosofis maupun metodologis, maka dibutuhkan kerangka kerja yang dapat
menempatkan re- enactment pada kedua posisi itu.

4. Re-enactment Dalam Perspektif Idealisme Struktural


Douglas Mann dalam studinya tentang structural idealism, melihat bahwa tesis tentang re-
enactment memiliki dua sisi, baik sebagai suatu kondisi a-priori bagi dimungkinkannya suatu
pengetahuan sejarah maupun sebagai suatu pernyataan metodologi.
Ada tiga hal yang dilakukan oleh Mann untuk tiba pada tujuannya itu, yaitu: (1)
menambahkan komponen struktural kepada tesis Collingwood tentang re-enactment; (2)
menyerang interpretasi intuisionis dari tesis itu; (3) memperluas definisi tentang “pemikiran
(thought)” yang dijadikan sejarawan sebagai objek untuk disusun ulang dalam konstruksi
narasi sejarah. tiga hal itu akan menghasilkan suatu teori umum tentang sejarah yang dapat
digunakan baik di bidang filsafat maupun sejarah. Di bidang filsafat, teori itu dapat digunakan
sebagai suatu dasar a-priori bagi pengetahuan sejarah, sedangkan di bidang sejarah, sebagai
metodologi yang bekerja untuk menginterpretasi evidensi-evidensi dan mengkonstruksi narasi
sejarah (Mann, 2002: 99).
Dalam perspektif Mann, oleh karena sejarah menurut Collingwood adalah tentang
pemikiran yang diekspresikan lewat tindakan-tindakan agen-agen sejarah yang disusun ulang
dalam pemikiran sejarawan, maka pendapat itu harus dapat dioperasionalkan. Artinya, re-
enactment harus mampu digunakan bukan saja sebagai jawaban filosofis terhadap pertanyaan
tentang kemungkinan adanya suatu pengetahuan sejarah, tetapi juga sebagai metode untuk
mengkritisi hasil kerja para sejarawan.

Ulasan Tentang Tulisan


Tulisan Karya Jusuf Nikolas Anamofa dengan judul Membaca Karya Sejarah Dengan
Kerangka Kerja Filsafat Sejarah Kritis, saya mencoba mengidentifikasi bagian-bagian tulisan
ini menjadi dua bagian; bagian pertama, Penulis menjelaskan tentang Filsfat Sejarah, yang
mengemukakan tentang pemikiran Voltaire yang menghendaki menghendaki para pembacanya
untuk berpikir tentang sejarah dan bukan membaca atau menelitinya untuk kepentingan sejarah
semata. Kemudian menjelaskan, bahwa filsafat sejarah meliputi filsafat sejarah spekulatif atau
substantif dan filsafat sejarah kritis atau analitis. Istilah filsafat sejarah spekulatif menunjuk
pada rangkaian peristiwa-peristiwa masa lalu sebagai suatu realitas khusus yang menjadi
perhatian bagi para sejarawan untuk diteliti. Bagian kedua, Penulis mengaskan bahwa
tulisannya merupakan tulisan yang bertujuan untuk menelaah gagasan Robin George
Coolingwood, seorang pemikir filsafat sejarah kritis, tentang re-enactment sebagai salah satu
kerangka kerja filsafat sejarah kritis. Pemikiran Collingwood tersebut, agar tidak hanya
merupakan konsep filosofis tetapi juga mendapat kekuatan metodologisnya, coba dibingkai
dalam pendekatan idealisme struktural dari Douglas Mann.
Kemudian penulis menyampaikan kesimpulan bahwa kemampuan pendekatan
Collingwood sebagai kerangka kerja filosofis yang dapat digunakan untuk membaca karya-
karya para sejarawan. Pendekatan Collingwood dapat digunakan untuk memetakan segala
pertarungan pemikiran terkait satu masalah oleh para agen sejarah yang berkepentingan.
Bagi penulis, re-enactment hanyalah kerangka kerja filsafat sejarah kritis. Selain
sebagai konsep Filosofis, ia juga cukup metodologis setelah diberi bingkai idealism struktural
sehingga dapat digunakan merekonstruksi pemikiran para agen sejarah. Namun, kerangka kerja
ini harus diuji dengan cara menggunakannya membaca karya-karya sejarah yang ditulis oleh
para sejarawan, termasuk karya-karya sejarah gereja.
Ringkasan Dan Ulasan Pada Artikel
Bab III Pengertian Filsafat Sejarah (Bahan Pertemuan Ke-9)

Sopian Suprianto
Program Studi Sejarah Peradaban Islam
Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
e-mail : sopian.scr@gmail.com

Pada bagian bagian kedua ini penulis akan membuat resume terkait tulisan berjudul
“Bab III Pengertian Filsafat Sejarah (Bahan Pertemuan Ke-9)”. Berikut ringkasan dan ulasan:

Manusia dan Sejarah


Para ahli menunjukkan bahwa manusia mempunyai sejarah karena manusia
mempunyai kodrat. Itulah pendirian para sejarawan Renaisans, seperti Machiavelli, dan banyak
didukung oleh sejarawan modern. Di balik arus waktu dan di belakang beraneka corak
kehidupan manusia, mereka berharap bisa menggali ciri-ciri konstan kodrat manusia. Dalam
Thought on World History, Jakob Burckhardt merumuskan tugas sejarawan adalah untuk
mengetahui dengan pasti unsur-unsur konstan yang selalu berulang dan tipikal (Ernst Cassirer,
1990: 261).
Apa yang disebut dengan 'kesadaran historis' adalah hasil dari peradaban manusia yang
relatif baru. Sebelum tampilnya para tokoh sejarawan Yunani, kesadaran itu belum muncul.
Bahkan para pemikir Yunani masih belum mampu mengajukan analisis filsafat yang bercorak
khas pemikiran historis. Analisis semacam itu baru muncul abad abad kedelapan belas. Konsep
sejarah untuk pertama kali mencapai kematangannya dalam karya Gambattista Vico dan
Herder. Waktu pertama kali sadar akan persoalan waktu, manusia tidak lagi terkungkung oleh
lingkaran yang sempit berupa keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan sesaat. Ketika
manusia mulai mempersoalkan asal-usul benda, pertama-tama mereka memikirkan dan
menyatakannya dalam pengertian asal-usul yang bercorak mitis, bukan asal-usul yang bersifat
historis.

Pengertian Sejarah
Menurut Azyumardi Azra, istilah 'sejarah', berasal dari kata Arab 'syajarah' yang
berarti pohon. Pemakaian istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan bahwa 'sejarah'
setidaknya dalam pandangan orang yang pertama menggunakan kata ini-- berkaitan dengan
syajarah al-nasab, pohon geneologis yang dalam masa sekarang bisa disebut 'sejarah keluarga'
(family history). Dalam arti yang lain, bisa jadi karena kata kerja syajara juga punya arti to
happen, to accur, dan to develop. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, kata syajarah
dipahami mempunyai makna yang sama dengan kata tarikh (Arab), istoria (Yunani), history
(Inggris), geschiedenis (Belanda), atau geschichte (Jerman), yang secara sederhana mempunyai
arti kejadian-kejadian yang menyangkut manusia di masa silam (Azyumardi Azra, 2003: xi).
Pada hakekatnya sejarah (fann al-tarikh) adalah catatan tentang masyarakat manusia.
Sejarah itu sendiri identik dengan peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak
peradaban, seperti keliaran, keramah-tamahan, dan solidaritas atau ashabiyah; tentang revolusi
dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan lain dengan akibat timbulnya
kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan berbagai tingkatannya; tentang kegiatan dan
kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupan-nya, maupun dalam ilmu pengetahuan
dan pertukangan; dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban
karena watak peradaban itu sendiri (Ibn Khaldun, 1986: 57).
Menurut Murtadha Mutahhari (1986: 65), sejarah dapat didefinisikan dalam tiga cara:
Pertama, pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, dan keadaan-keadaan
kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan kejadian- kejadian masa kini. Semua
situasi, keadaan, peristiwa, dan episode yang terjadi pada masa kini, dinilai, dilaporkan, dan
dicatat sebagai hal-hal yang terjadi hari ini oleh surat kabar-surat kabar. Kedua, sejarah
merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa
lampau, yang diperoleh melalui penyelidikan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa
lampau. Ketiga, filsafat sejarah (kesejarahan) didasarkan pada pengetahuan tentang perubahan-
perubahan bertahap yang membawa masyarakat bergerak dari satu tahap ke tahap yang lain.
Filsafat sejarah membahas tentang hukum-hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini.
Dengan kata lain, filsafat sejarah adalah ilmu tentang proses menjadinya (becoming)
masyarakat, bukan hanya tentang maujudnya (being) saja.

Ruang Lingkup Sejarah


Edward Freeman menyatakan bahwa sejarah adalah politik masa lampau (history is
past politics). Sebagian lagi ada yang mendefinisikannya secara lebih luas. Ernst Bernheim
pernah menyatakan bahwa sejarah adalah ilmu tentang perkembangan manusia dalam upaya-
upaya mereka sebagai makhluk sosial (Azyumardi Azra, 2003: xii). Menurut Azyumardi
Azra, sejarah sering diidentikan sebagai sejarah politik, yakni sejarah yang direkonstruksi dan
disosialisasikan kepada masyarakat terutama berkaitan dengan kekuasaan atau pemerintahan.
Intinya, sejarah politik adalah sejarah kerajaan-kerajaan, dinasti, raja dan elit kerajaan, bukan
sejarah tentang aspek-aspek lainnya dalam kehidupan manusia.
Menurut Azra (Azyumardi Azra, 2003: xii-xvi), ada tiga pengertian sejarah yang
masuk dalam kategori sejarah sosial.
Pertama, sejarah sosial dalam pengertian sejarah tentang gerakan sosial (social
movment) yang muncul dalam panggung sejarah. Sejarah sosial dalam pengertian ini kemudian
telah dipersempit lagi oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo menjadi sejarah tentang gerakan-
gerakan sosial yang cenderung marjinal dan menyempal dari arus utama masyarakat atau
tatanan sosial-politik yang mapan, seperti gerakan petani di Banten tahun 1888 atau gerakan-
gerakan radikal yang memang banyak dikaji Kartodirdjo.
Kedua, sejarah sosial dalam arti kombinasi dengan 'sejarah ekonomi'. Kombinasi ini
terjadi didasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi mampu menjelaskan tentang
struktur-struktur dan perubahan-perubahan sosial budaya dan politik masyarakat. Dimensi
sosial dalam sejarah ekonomi memang tidak dapat disembunyikan. Karena itulah terdapat
sejarawan yang berargumen bahwa sejarah ekonomi merupakan sejarah yang paling
fundamental dari berbagai jenis sejarah, karena ekonomi itu sendiri adalah dasar bagi sebuah
masyarakat.
Ketiga, sejarah sosial dalam pengertian sejarah total (total history) atau sejarah
struktural (structural history), yaitu sejarah sosial yang mengacu kepada sejumlah aktivitas
manusia yang agak sulit diklasifikasikan karena begitu luasnya, seperti kebiasaan (manners),
adat-istiadat (customs) dan kehidupan sehari-hari (everyday-life). Aktivitas-aktivitas manusia
seperti ini dalam istilah Jerman sering disebut sebagai kultur atau sittengeschichte. Sejarah
sosial seperti ini tidak harus selalu diorientasikan kepada masyarakat kelas bawah. Sejarah
sosial dalam kategori ini tidak mengikutsertakan politik terlalu banyak dalam orientasinya.
Sejarah sosial dalam pengertian ini banyak dikemukakan oleh mazhab Annales di Prancis
dengan tokoh-tokohnya seperti Lucien Febvre (1973), March Bloch (1954), dan Fernand
Braudel (1980).
Kutowijoyo, dalam bukunya yang berjudul Metodo-logi Sejarah, selain menyebut
sejarah politik, ia pun menyebutkan sejarah-sejarah lainnya sebagai sub-bab untuk bahan
kajiannya. Ia menyebut adanya sejarah lisan, sejarah sosial, sejarah kota, sejarah pedesaan,
sejarah ekonomi pedesaan, sejarah wanita, sejarah kebudayaan, sejarah agama, sejarah
pemikiran, biografi, sejarah kuantitatif, dan sejarah mentalitas (Kuntowijoyo, 2003: xxi).
Filsafat Sejarah
Menurut Ibn Khaldun bahwa dalam hakekat sejarah, terkandung pengertian observasi
(nadzar), usaha untuk mencari kebenaran (tahqiq), dan keterangan yang mendalam tentang
sebab dan asal benda maujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, essensi, dan
sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar terhunjam berakar
dalam filsafat, dan patut dianggap sebagai salah satu cabang filsafat.
Filsafat Sejarah, dalam pengertian yang paling sederhana, seperti dikemukakan oleh al-
Khudairi adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk
mengetahui faktor-faktor essensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa historis
itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan
perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi (Zainab al-
Khudairi, 1987: 54).
Sementara itu, menurut W.H. Walsh (W.H. Walsh, 1967: 16) dalam bukunya yang
berjudul An Intoduction to Phillosophy of History, menyatakan bahwa sebelum mendefinisikan
filsafat sejarah hendaknya memperhatikan pengertian kata sejarah. Sejarah kadang-kadang
diartikan sebagai peristiwa- peristiwa yang terjadi pada masa lalu (the totality of past human
actions) atau history as past actuality, dan kadang-kadang diartikan pula dengan penuturan kita
tentang pertistiwa-peristiwa tersebut (the narrative or account we construct of them now) atau
history as record. Dua arti dari kata sejarah tersebut penting karena dengan demikian membuka
dua kemugkinan terhadap ruang lingkup atau bidang kajian filsafat sejarah. Pertama, adalah
suatu studi dalam bentuk kajian sejarah tradisional, yaitu perjalanan sejarah dan
perkembangannya dalam pengertian yang aktual. Kedua, adalah suatu studi mengenai proses
pemikiran filosofis tentang perjalanan dan perkembangan sejarah itu sendiri.
Dalam kasus yang kedua, filsafat sejarah mengandung arti studi mengenai jalannya
peristiwa sejarah, atau studi terhadap asumsi dan metode para sejarawan. Ketika seseorang
berpikir tentang asumsi dan metode para sejarawan, kata Walsh, maka ketika itu ia sedang
bergumul dengan filsafat sejarah kritis atau analitis. Dalam kaitan dengan filsafat sejarah ini,
pembagian Walsh ke dalam filsafat sejarah kritis dan spekulatif telah diterima secara luas
(Marnie Hughes-Warrington, 2008: 660).

Ulasan Tulisan
Tulisan Bab III Pengertian Filsafat Sejarah (Bahan Pertemuan 9) merupakan bagian
dari tulisan sebuah buku tentang sejarah atau silabus. Pada tulisan tersebut terdapat 4 subjudul
yang terdiri dari; Manusia dan Sejarah, Pengertian Sejarah, Ruang Lingkup Sejarah, dan
Filsafat Sejarah. Manusia dan Sejarah, Para ahli menunjukkan bahwa manusia mempunyai
sejarah karena manusia mempunyai kodrat. Pengertian Sejarah, dalam tulisan diatas
setidaknya ada 3 pengertian tentang sejarah menurut para ahli, Azyumardi Azra, Ibn Khaldun,
dan Murtadha Mutahhari. Ruang Lingkup Sejarah, dalam tulisan diatas tidak hanya terbatas
pada sejarah politk saja akan tetapi, sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah total, bahkan
kuntowijoyo menyebut adanya sejarah lisan, sejarah sosial, sejarah kota, sejarah pedesaan,
sejarah ekonomi pedesaan, sejarah wanita, sejarah kebudayaan, sejarah agama, sejarah
pemikiran, biografi, sejarah kuantitatif, dan sejarah mentalitas. Filsafat Sejarah, Pertama,
adalah suatu studi dalam bentuk kajian sejarah tradisional, yaitu perjalanan sejarah dan
perkembangannya dalam pengertian yang aktual. Kedua, adalah suatu studi mengenai proses
pemikiran filosofis tentang perjalanan dan perkembangan sejarah itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai