Anda di halaman 1dari 7

HISTORY AS RE-ENACTMENT ( R.G.

COLLINGWOOD’S IDEA OF HISTORY)


KARYA WILLIAM H DRAY

REVIEW BUKU

Oleh:
Iis Husnul Hotimah
Husnuliis12@gmail.com

JUDUL BUKU

Dray, W.H. (1995). History as Re-enactment: R.G. Collingwood’s Idea of History. Oxford:
Clarendon Press.

PENDAHULUAN

Buku ini mengupas tentang cara menghidupkan kembali sejarah atau merekonstruksi kembali
cerita sejarah dalam buku yang ditulis oleh R.G Collingwood, seorang sejarawan Inggris yang
berjudul “The Idea of History”. Dalam buku ini, Dray mencoba untuk mengkritisi kesesuaian
pandangan Collingwood dengan aliran yang ia pakai pada waktu itu yaitu idealism. Buku ini
memiliki 8 bab yang setiap bab nya memiliki masing-masing 7 sampai 8 subbab. Buku ini juga
dilengkapi dengan Abbreviations (singkatan-singkatan) dan Epilogue di akhir buku yang berupa
kesimpulan-kesimpulan dan komen atas buku. Buku ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk
mempertimbangkan penelitian tentang pendidikan sejarah di kelas. Kritik Dray terhadap
pnadnagan Collingwood dapat dijadikan sumber untuk mengkritisi sumber penelitian sejarah.

RINGKASAN

Seperti yang kita ketahui bahwa filsafat merupakan pemikiran tentang pemikiran dan tidak
saja memikirkan tentang suatu objek material, tetapi juga pemikiran tentang objek itu menurut
disiplin-disiplin ilmu yang lain. Bagi Collingwood dalam bukunya “The Idea of History”,
hubungan antara objek material dan pemikiran tentangnya yang dipikirkan oleh filsafat adalah
bentuk pengetahuan. Dalam pendekatan terhadap sejarah, perhatian para filsuf adalah pada
peristiwa-peristiwa masa lalu, bukan sebagai peristiwa itu sendiri, tetapi sebagai peristiwa yang
diketahui oleh para sejarawan. Oleh karena itu, para filsuf sejarah tidak mempertanyakan tentang
latar belakang peristiwa-peristiwa itu, tetapi tentang hakikat peristiwa-peristiwa itu sehingga
memungkinkan untuk diketahui oleh para sejarawan. Sejarah adalah “pemikiran tentang masa
lalu”, sedangkan filsafat sejarah adalah “pemikiran tentang pemikiran tentang masa lalu”.
(Anamofa, 2018. Hlm. 6). Dalam pendekatan Collingwood dalam bukunya, pemahaman sejarah
berbeda dari penjelasan dalam ilmu alam oleh karena sejarawan tidak memformulasi hipotesis-
hipotesis empiris tetapi berpikir lewat tindakan-tindakan dari agen-agen sejarah agar dapat
dipahami di masa kini. Sehingga menurutnya, “penyusunan ulang” atau re-enactment menjadi
kata kunci pemikiran Collingwood tentang filsafat sejarah. Menurut Day (2008), re-enactment
dari hasil pemikiran Collingwood ini dapat diibaratkan sebagai jembatan antara masa lalu dengan
masa kini. Pendapat Day ini menurut hemat penulis sangat masuk akal karena seorang sejarawan
tentu saja tidak mempunyai pengetahuan langsung tentang fakta-fakta sejarah, karena yang
disebut sebagai fakta sejarah adalah bukti-bukti dari masa lalu yang tersedia pada masa kini
melalui peninggalan-peninggalan. Sejarawan harus melakukan penyusunan ulang (re-enact)
masa lalu di dalam pikirannya sendiri. Pemikiran Collingwood tentang re-enactment sendiri
mendapatkan banyak tanggapan baik itu positif maupun negatif. Contohnya Dussen dalam
artikelnya yang berjudul “The Verification of Historical Theses”, menyebutkan bahwa re-
enactment bukanlah hal yang harus dilakukan oleh sejarawan dalam seluruh penyelidikannya
dengan cara menunjukkan bahwa ia memikirkan ulang pemikiran dan menggunakan pemikiran
ulang itu untuk menjelaskan tindakantindakan masa lalu. Memikirkan kembali pemikiran masa
lalu yang penting adalah tugas terakhir yang dapat dilakukan oleh sejarawan. Van Der Dussen
dalam ( Anamofa, 2018. Hlm. 12). Selain Dussen, tokoh lain yang memberikan kritik ialah
Douglas Mann yang mengemukakan bahwa thesis Collingwood tentang re-enactment mesti
dikritisi dan diformulasi ulang agar dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang apa
yang dikerjakan oleh sejarawan ketika menulis sejarah. Formulasi baru yang diusulkannya itu
adalah re-enactment sebagai rekonstruksi (Mann, 2002). Ada tiga hal yang dilakukan oleh Mann
untuk tiba pada tujuannya itu, yaitu: (1) menambahkan komponen struktural kepada tesis
Collingwood tentang re-enactment; (2) menyerang interpretasi intuisionis dari tesis itu; (3)
memperluas definisi tentang “pemikiran (thought)” yang dijadikan sejarawan 16 sebagai objek
untuk disusun ulang dalam konstruksi narasi sejarah. Sementara itu seorang filsuf Canada
bernama William H. Dray yang membuat buku berjudul “History as Re-enactment: R.G.
Collingwood’s Idea of History” sebagai bentuk kritiknya terhadap pendapat Collingwood yang
menjadi titik tekan dalam makalah ini.

INTI REVIEW
Menurut Walsh (1950: 38-43), Kaum positif beranggapan bahwa sejarah merupakan suatu
studi ilmiah yang memiliki sifat-sifat pengetahuan ilmiah sebagai berikut, (a). Penyelidikannya
secara metodis dan berhubungan secara sistematis, hal ini diperlukan untuk mendapat pengertian
yang mendalam dan penilaian terhadap kesaksian dan bukti menjadi lebih dapat dipercaya. (b).
Terdiri dari sekelompok besar kebenaran-kebenaran umum, istilah-istilah umum, dan bukannya
merupakan penilaian universal seperti perangai dan sifat-sifat dari seluruh jaman atau manusia,
tetapi penilaian universal tentang sifat-sifat umum dari orang-orang yang hidup pada suatu waktu
tertentu dan dalam suatu daerah tertentu pula. (c). Metode ilmiah dapat membuat kita melakukan
ramalan-ramalan yang gemilang sehingga menguasai jalannya peristiwa-peristiwa di masa
datang, walaupun ahli-ahli sejarah tidak mempunyai tugas meramalkan masa datang, tetapi tidak
pula dianggap tolol untuk mempertahankan keyakinan bahwa kita mempelajari masa lampau
karena kita beranggapan studi itu akan membuat terang masa sekarang. Selain itu jika waktu
lampau sama sekali tidak ada hubungannya dengan waktu sekarang, apakah kita masih menaruh
minat mempelajari sejarah?. (d). Sifatnya objektif, yaitu setiap orang yang menyelidiki sejarah
tidak berprasangka atau pun melibatkan kesenangan-kesenagan pribadi atau keadaan-keadaan
pribadinya ketika buktinya itu diperhadapkannya. Hal ini mendapatkan reaksi dari para idealis
yang mengatakan bahwa sejarah karena memberikan sejumlah besar pengetahuan yang saling
berhubungan dan dapat dicapai dengan cara yang metodis, merupakan suatu sains akan tetapi
suatu jenis sains yang istimewa. Walsh (1950: 46-47), mengungkapkan bahwa sejarah bukannya
suatu ilmu pengetahuan yang abstrak tetapi ilmu pengetahuan yang konkret, dan berakhir tidak
pada pengertian umum melainkan pada pengertian tentang masing-masing kebenaran. Sebab
tujuan akhir dari semua penilaian ialah untuk memberikan sifat kepada suatu realitas berdasarkan
tiap-tiap detailnya masing-masing. Jika Collingwood lebih memberikan perhatian terhadap
kebenaran-kebenaran umum, Dray dalam bukunya ini lebih memberikan perhatian terhadap
rangkaian peristiwa sejarah yang unik dan tidak berulang.

Secara keseluruahan baik Dray maupun Dussen setuju bahwa re-enactment bukanlah suatu
penjelasan tentang bagaimana seorang sejarawan dapat tiba pada pengetahuan tentang masa lalu
seperti yang dikemukakan penciptanya yaitu Collingwood, tetapi re-enactment menjelaskan
tentang bagaimana atau atas kondisi-kondisi apa saja pengetahuan tentang masa lalu
dimungkinkan. Dalam bukunya Dray mencoba untuk melihat beberapa lorong pemikiran
Collingwood tentang sejarah, namun titik fokusnya tetap pada Re-enactment (atau peragaan
kemabli atau melihat kembali): pada sifatnya, batasanya, dan hubungannya dengan beberapa ide
lain yang memiliki peran, atau dianggap memiliki peran yaitu peran yang sah dalam pemikiran
historis. Collingwood mengemukakan pendekatannya tentang filsafat sejarah secara baru sejak
diperkenalkan oleh Voltaire pada abad ke-18. Seperti yang kita ketrahui Voltaire merupakan
filsuf sejarah yang menghendaki para pembaca untuk berfikir tentang sejarah, seperti yang
dikemukakan oleh Lemon (2003:7) bahwa Ketika kita membicarakan tentang filsafat sejarah,
hampir semua literatur yang ada akan merujuk pada nama Voltaire, filsuf Perancis, sebagai yang
pertama menggunakan istilah itu. Hal yang sangat jelas dari Voltaire adalah ia menghendaki para
pembacanya untuk berpikir tentang sejarah dan bukan membaca atau menelitinya untuk
kepentingan sejarah semata. Pendekatan Collingwood tentang Filsafat sejarah walaupun banyak
mengadosi pemikiran Voltaire, namun Pendekatan Collingwood memiliki karakteristik, pertama,
sejarah adalah suatu upaya kritis, bukan sekedar studi asal jadi dan spekulatif tentang masa lalu
manusia. Dalam posisinya sebagai studi kritis terhadap masa lalu manusia, menurut
Collingwood, sejarah adalah filsafat. Kedua, pada abad pertengahan, historiografi Kristen adalah
upaya pencarian pola-pola umum dari peristiwaperistiwa masa lalu. Bagi Collingwood, upaya
untuk menemukan dan menentukan pola-pola umum yang mengarah pada sejarah universal
adalah bagian dari filsafat sejarah. Ketiga, Collingwood membedakan antara filsafat sejarah
sebagai pemikiran tahap kedua dengan ilmu-ilmu lain yang juga berkutat dengan proses sejarah
dalam perkembangan pemikirannya.

Pendekatan yang Dray pakai ialah menggabungkan penjelasan tentang apa yang
Collingwood katakan dengan disertai kritik yang Dray kemukakan, serta upaya untuk
mengembangkannya bersama dengan beberapa apa yang dikemukakan Dray sendiri. Dalam buku
ini, Dray menjelaskan bahwa ide Collingwood tentang pemahaman “menghidupkan kembali”
cerita sejarah telah diperiksa terlebih dahulu ketika ia menguraikannya dengan mengacu pada
jenis kasus yang paling sederhana dan masuk akal yaitu tindakan seorang agen individu yang
berusaha mencapai tujuan tertentu dengan cara tertentu. Interpretasi Dray sendiri tentang apa
yang Collingwood katakan dalam bukunya tentang kasus-kasus seperti itu, menurut Dray
merupakan interpretasi kuasi-normatif. Seperti Collingwood sendiri, ini kontras dengan
bagaimana memahami kejadian di masa lalu dengan cara yang nomologis, atau ilmiah.
Interpretasi quasi-normatif dari penjelasan “re-enactive” itu sendiri kontras dengan dua cara
menafsirkan posisi Collingwood yang lain. Salah satunya yang Dray sebut sebagai konseptual-
analitik, karena Dray berpendapat bahwa suatu tindakan dipahami ketika kinerjanya dapat dilihat
secara logis. Dalam bukunya ini, pemikiran Dray dan Collingwood jelas bertolak belakang,
bahkan Dray menjelaskan bahwa gagasan dan penjelasan tentang “re-enacted” atau
menghidupkan kembali peristiwa sejarah mungkin saja bentuk penjelasan ilmiahnya tidak
lengkap dicatat dan bisa saja ditolak serta Dray berpendapat bahwa posisi Collingwood sendiri
tidak sepenuhnya jelas. Ia berpendapat bahwa penjelasan sosial dan sejarah harus dilihat baik
dari sisi strukturalis maupun idealis pada saat yang sama bukan hanya lewat satu pandangan saja.
Ada hubungan timbal balik antara faktor-faktor struktural dalam tindakan-tindakan sosial dan
tindakan-tindakan individual.

Sementara itu dalam hal hubungan kausalitas dalam sejarah, Collingwood dalam bukunya
menjelaskan bahwa kausa dalam sejarah bukan peristiwa-peristiwa, tetapi tindakan sadar dan
bertanggung jawab dari pelaku sejarah. Kausa dari tindakan seseorang adalah motifnya untuk
melakukan tindakan tersebut. Motif itulah yang “membuat”, “menyakinkan”, “menyebabkan”,
atau “mendorong”, dan “memaksa” untuk berbuat. Collingwood menambahkan pula bahwa
motif kausa tersebut harus memberikan kebebasan untuk berkehendak (bertindak) untuk
menyangkal pengertian kausa menurut positivisme bahwa tindakan disebabkan oleh “kondisi
yang memadai atau seharusnya” dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Akan tetapi pada saat yang
sama menurut Dray patut pula dipertanyakan definisi Collingwood tentang kausa, bahwa kausa
itu adalah motif, dan motif itu, kata Collingwood yang “membuat” dan “memaksa” pelaku
sejarah untuk bertindak. William H. Dray mengatakan bahwa pandangan Collingwood tentang
kausalitas rupanya berbeda dengan teori positivisme tentang kausalitas. Positivisme memandang
kausalitas berdasarkan pengamatan ilmiah yaitu merujuk pada peristiwa-peristiwa alamiah yang
terjadi sebelumnya, sedangkan Collingwood memandang kausalitas sebagai ide atau pemikiran.
Dray mengemukakan bahwa kausalitas dalam sejarah memiliki tiga teori yaitu teori konspirasi,
teori konflik dan teori revisionis. Teori konspirasi mengemukakan bahwa sebagai kausa ialah
tindakan-tindakan dari individuindividu atau kelompok (para konspirator). Sementara kausa
konflik dalam hal ini bukanlah terdapat dalam respon dari berbagai para pelaku sejarah, tetapi
kausa itu terdapat dalam situasi pertikaian itu sendiri, atau kondisi yang mengandung persoalan
yang sulit. Sebagai reaksi dari teori konflik, para revisionis menuntut para sejarawan untuk
menegaskan kembali tanggung jawab manusia atas apa yang terjadi, dan para sejarawan juga
harus membuat jelas bahwa peristiwa perang adalah suatu hal yang tidak perlu harus terjadi.
Buku ini sangat bermanfaat dalam membantu sejarawan atau peneliti pembelajaran sejarah
di kelas dalam mengkritisi sumber. Karena dalam meneliti kita tidak dapat sepenuhnya
mengambil isi sumber tanpa mengetahui sumber tersebut relevan atau tidak dengan penelitian
kita. Selain itu kritik yang dilakukan Dray dalam buku ini sangat membuka fikiran para pembaca
tentang bagaimana kita seharusnya juga melihat pandangan apa yang diambil oleh si penulis
dalam bukunya sehingga kita dapat membandingan perspektif penulis dalam buku yang
dibuatnya dnegan buku pembanding. Kelebihan buku Dray ini juga pendapatnya atau kritiknya
dilengkapi dengan pendapat sejarawan lain seperti Van Der Dussen dan Mann yang telah
melakukan kritik sebelumnya dan kritiknya tersebut dibuat dalam bentuk jurnal, sehingga dapat
memperkuat pendapatnya. Kekurangan buku ini terdapat pada hermeneutika dimana Dray
terlihat subjektif karena tidak menerangkan sisi baik daru karya Collingwood. Padahal pemikiran
Collingwood patut untuk diapresiasi karena karyanya banyak membantu sejarwan dalam
melakukan penelitian sejarah. Dengan adanya teori re-enactment, sejarawan sangat terbantu
karena dapat menggunakan imajinasinya dalam merekonstruksi sejarah.

KESIMPULAN

Dalam pendekatan Collingwood, pemahaman sejarah berbeda dari penjelasan dalam ilmu
alam oleh karena sejarawan tidak memformulasi hipotesis-hipotesis empiris tetapi berpikir lewat
tindakan-tindakan dari agen-agen sejarah agar dapat dipahami di masa kini. Dari tesis yang
dikemukakan,“penyusunan ulang” atau re-enactment menjadi kata kunci pemikiran Collingwood
tentang filsafat sejarah. Re-enactment merupakan sebuah kerangka kerja filsafat sejarah kritis
yang selain berfungsi sebagai konsep Filosofis, ia juga sangat metodologis setelah diberi bingkai
idealisme struktural sehingga dapat digunakan merekonstruksi pemikiran para agen sejarah.
Namun, kerangka kerja ini juga harus diuji dengan cara menggunakannya membaca karya-karya
sejarah yang ditulis oleh para sejarawan lain agar lebih mematangkan kajian.

Penilaian atau kritik terhadap suatu pandangan dan sudut pandang merupakan hal yang
lumrah dilakukan. Begitupula dengan pendekatan Collingwood terhadap sejarah. Walaupun
banyak kritik yang dilakukan filsuf lain seperti William H Dray, Dussen dan Mann, namun
penulis tetap meyakini kemampuan pandangan Collingwood sebagai sebuah kerangka pemikiran
sejarah serta referensi yang sangat ilmiah yang dapat digunakan untuk menela’ah dan
menganalisis karya-karya sejarawan. Pada perkembangannya banyak pula sejarawan yang
sepemikiran dengan Collingwood dan memakai serta merekonstruksi pendekatan Collingwood
sebagai bentuk penyempurnaan sejarah kritis.

REFERENSI

Day, M. (2008). The Philosophy of History: An Introduction. London: Continuum.

Dray, W. H. (1995) History As Re-Enactment: R.G. Collingwood’s Idea of History,. Oxford:


Oxford University Press.

Dussen, V.D . (2012). History as a Science: The Philosophy of R.G. Collingwood. doi:
10.1007/978-94-007-4312-0.

Lemon, M.C. (2003).Philosophy of History: A Guide for Students. London: Routledge.

Mann, D. (2002). Structural Idealism: A Theory of Social and Historical Explanation. Ontario:
Wilfrid Laurier University Press.

Walsh, W. H. (1950). Pengantar ke Arah Filsafat Sejarah (terj. Amir Harahap dan Pardjoko).
Jakarta: U.I. Press

Anda mungkin juga menyukai