Anda di halaman 1dari 3

Problematika Pembaharuan Usul Fikih; Menolak Rekontekstualisasi Fikih dengan Kontruksi Alat

Istinbath Baru

Oleh: Muhammad Salman Umar

Diajukan untuk memenuhi tugas buhus

Di Ma’had Aly Fadhlul Jamil PP. MUS Sarang

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Dimensi kehidupan yang semakin berkembang pesat baik dalam segi ekonomi, politik, maupun
teknologi, menimbulkan masalah-masalah serius dan tantangan-tantangan berat yang harus dihadapi. Tak
ayal di masa sekarang muncul gagasan-gagasan baru yang dituangkan sebagai langkah persiapan
menghadapi tantangan tersebut dan mengurai masalah-masalah yang bermunculan. Salah satunya adalah
gagasan pembaharuan usul fikih.

Gagasan ini mulai disuarakan sebagai akibat dari banyaknya masalah dan pertanyaan terkait hal-
hal yang bersinggungan dengan kemodernan yang belum juga terjawab dengan memuaskan. Terlebih
dalam masa di mana kondisi peradaban umat Islam yang tertinggal jauh dari barat dalam segi kemajuan
kemodernan. Peradaban Eropa yang semakin melejit perkembangannya setelah memutuskan untuk
memisahkan diri dari kegerejaan menjadi daya tarik tersendiri bagi umat Islam.

Di lain sisi, gagasan ini memunculkan kontroversi di kalangan para cendekiawan muslim.
Keberlangsungan peradaban Islam yang bertahan selama 10 abad dengan sebuah konsep yang sudah
ditentukan seakan sudah usang, tidak berarti, dan patut untuk diperbarui. Tarik ulur antar kelompok yang
setuju dan tidak setuju masih terus berlangsung hingga kini, bahkan menjadi topik serius yang tak ada
habisnya untuk dikaji.

2. Rumusan Masalah

Kajian dalam tulisan ini bersumber dari beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dari gagasan pembaharuan usul fikih?


3. Tujuan Masalah
1. Mengetahui maksud dari pada gagasan pembaharuan usul fikih.
2.

Pembahasan

1. Maksud Pembaharuan Usul Fikih

Kebanyakan perdebatan yang terjadi di antara dua kelompok hingga tidak menemukan titik
kesepakatan disebabkan maksud dari objek yang diperdebatkan masih ambigu dan tidak dispesifikasikan.
Begitu juga dengan perdebatan yang terjadi seputar pembaharuan usul fikih yang tidak ada habisnya.
Maksud dari pembaharuan usul fikih sendiri masih ambigu di antara dua arti antara memperbarui
ketelitian terhadap kaidah dan aturan usul fikih, memperbaiki keretakan dalam strukturnya, memperkuat
hakikat dari dalil-dalinya, menutup celah konsep yang terbuka, membersihkan debu yang menutupinya
sehingga sering kali menjadikan usul fikih dilupakan dan ditinggalkan, dan menyajikannya dengan lebih
serius serta mudah dipahami, atau yang dimaksud dari pada pembaharuan usul fikih adalah mengganti
usul fikih, mengubah kaidahnya dan aturannya ke kaidah dan aturan yang lain.

Kemudian, apabila yang dimaksud dari pada “pembaharuan” adalah arti yang pertama, maka
pembaharuan usul fikih memang menjadi tempat lahirnya perbedaan dan perdebatan. Dan maksud
pembaharuan tersebut merupakan bagian dari pembaharuan agama yang memiliki arti umum yang
menjadi pusat perhatian nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya yang artinya: “sesungguhnya Allah
mengutus bagi umat ini (umat Islam) setiap seratus tahun seseorang yang memperbaharui keagamaan
bagi mereka”.

Dengan arti yang demikian, usul fikih layak untuk diperbaharui mulai sejak kelahirannya hingga
sekarang. Hal ini dibuktikan dengan mengalirnya alur penulisan dan pengarangan disiplin ilmu usul fikih
sebagai bentuk penguatan dalil-dalil usul fikih dan kaidahnya, berpartisipasi dalam menuangkan pikiran
tentang mana yang lebih unggul dalam masalah ijtihadi yang ada di dalamnya, serta menjelaskan maksud
penulis usul fikih dulu yang masih samar.

Oleh karena itu, seruan untuk memperbaharui usul fikih dengan menggunakan arti pembaharuan
yang pertama, di masa sekarang merupakan seruan yang tidak berarti serta menyimpan pengingkaran
terhadap upaya keras yang telah dilakukan para pembaharu untuk usul fikih yang berusaha menguatkan
hal-hal primer usul fikih, menjelaskan hal-hal samar di dalamnya, dan menciptakan gaya kepenulisan
baru dalam usul fikih.

Sehingga yang dimaksud dari pembaharuan usul fikih bukan pembaharuan dengan arti yang
pertama, tetapi dengan arti yang kedua yakni mengganti usul fikih, mengubah kaidah dan hukumnya ke
kaidah dan hukum yang lain sehingga bisa merekontekstualisasi dan merekontruksi hukum fikih yang
lama ke hukum fikih yang baru.

2. Pengertian Usul Fikih dan Hukum Merekontruksinya

Disiplin ilmu usul fikih memiliki keragaman pengertian yang dapat ditemukan dalam pembukaan
buku-buku yang ditulis untuk membicarakan usul fikih. Akan tetapi, seluruh pengertian yang ada
memiliki titik kesamaan bahwa ilmu usul fikih adalah metode yang harus diikuti dalam menafsiri teks-
teks syariat, atau kaidah-kaidah bahasa dan ilmiah yang harus dilalui ketika menggali hukum-hukum
yang spesifik dari sumber-sumbernya meliputi Al-Quran, hadis, ijma’, qiyas, dan lain sebagainya yang
juga tercantum dalam buku-buku yang mengkaji usul fikih.

Kemudian, apakah metode ini memang diciptakan oleh pencetus disiplin ilmu oleh usul fikih
atau pencetus disiplin ilmu usul fikih hanya berusaha menjelaskan sebuah kaidah yang sebenarnya sudah
ada namun belum tersusun secara sistematis? Pertanyaan ini adalah kunci untuk menjawab hukum terkait
perekontruksian usul fikih. Karena jika pencetus disiplin ilmu usul fikih adalah orang yang menciptakan
metode atau kaidah yang digunakan dalam memahami teks-teks syariat maka bagi cendekiawan lain juga
diperbolehkan untuk merekontruksinya. Dan apabila pencetus disiplin ilmu usul fikih hanya berupaya
untuk menjelaskan dan mengingatkan bahwa ada kaidah dan metode dalam memahami teks-teks syariat
dan berusaha menyusunnya dengan berpegangan pada kaidah bahasa yang dulunya sudah ada dan
menyelaraskannya dengan parameter ilmiah dan berpikir, maka bagi cendekiawan lain tidak
diperkenankan untuk merekontruksinya.

Jawabannya sudah jelas bahwa para pencetus dan penulis buku usul fikih hanyalah mencoba
menjelaskan kaidah memahami bahasa arab yang sebelumnya tidak tersusun dengan rapi dan hanya
tertanam dalam pikiran-pikiran orang arab. Ini dibuktikan dan diperkuat oleh realitas bahwa ilmu usul
fikih sendiri lahir setelah 200 tahun dari diutusnya baginda nabi Muhammad yang membawa risalah
ketuhanan. Sehingga mustahil jika kita mengatakan bahwa umat Islam yang hidup sebelum lahirnya ilmu
usul fikih beragama dengan pemahaman yang tidak berdasarkan kaidah memahami teks-teks syariat.
Selain itu, mengatakan bahwa usul fikih merupakan produk buatan yang lahir dari pikiran pencetus usul
fikih merupakan tuduhan keji yang menyatakan bahwa para pencetus usul fikih seakan membuat hukum
sendiri dan tidak berpijak pada risalah ketuhanan yang dibawa oleh nabi Muhammad.

3. Ruang Perbedaan di dalam Usul Fikih

Perlu dipahami dengan seksama bahwa adanya perbedaan pendapat di dalam disiplin ilmu usul
fikih tidaklah mengindikasikan bahwa kaidah dan metode yang tercantum dalam disiplin ilmu usul fikih
merupakan pikiran pribadi para ulama yang menulis ilmu usul fikih. Perbedaan tersebut bersumber dari
perbedaan kaidah bahasa arab dan kelompok-kelompok orang arab.

4. 2
5. 2

Penutup

1. Kesimpulan
2. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai