Anda di halaman 1dari 11

Gangguan Multisensori

Multisensori terdiri dari dua kata yaitu multi dan sensori. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata “multi” artinya banyak atau lebih dari satu atau dua,
sedangkan “sensori” artinya panca indera. Maka gabungan kedua kata ini berarti
lebih dari satu panca indera.

Metode multisensori adalah metode pembelajaran yang memanfaatkan


fungsi dari masing-masing alat indera. Metode multisensori didasarkan pada
asumsi bahwa peserta didik akan belajar lebih baik jika materi pelajaran disajikan
dalam berbagai modalitas. Modalitas yang sering dilibatkan adalah visual
(penglihatan), auditory (pendengaran), kinesthetic (gerakan), dan tactile
(perabaan).

Metode multisensori dapat membangkitkan keinginan dan minat baru,


membangkitkan motivasi, memberikan rangsangan kegiatan belajar, bahkan
membawa pengaruh-pengaruh psikologis pada peserta didik yang akhirnya
meningkatkan konsentrasi peserta didik untuk belajar dan memahami pelajaran.
Dengan lingkungan yang multisensori tersebut akan memberikan hal baru bagi
peserta didik. Metode multisensori dikenal juga sebagai metode sistem fonik-
visualauditory-kinestetik yang dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman
(Gearheart, 1976:93).

Multisensori artinya memfungsikan seluruh indera sensori (indera


penangkap) dalam memperoleh kesan-kesan melalui perabaan, visual, perasaan,
kinestetis, dan pendengaran. Dengan mengembangkan berbagai kemampuan
pengamatan yang dimiliki oleh seseorang, guru memberikan rangsangan melalui
berbagai modalitas sensori yang dimilikinya. Metode multisensori meliputi
kegiatan menelusuri (perabaan), mendengarkan (auditori), menulis (gerakan), dan
melihat (visual). Dalam pelaksanaannya, keempat modalitas tersebut harus ada
agar belajar dapat berlangsung optimal.

Biasanya metode Multisensori digunakan sebagai Strategi Mengatasi


Disleksia Pembelajaran akan lebih kondusif jika melibatkan beberapa alat indera
peserta didik. Informasi atau stimulus yang mengenai alat indera akan diteruskan
oleh syaraf sensoris ke otak. Data data hasil penginderaan dari melihat,
mendengar, atau meraba akan dikembangkan kemudian akan memberikan sebuah
respon. Respon tersebut muncul karena adanya perasaan, kemampuan berpikir,
dan pengalaman individu yang berbeda-beda.

Dalam proses pembelajaran terdapat perbedaan tipe belajar peserta didik.


Perbedaan tipe belajar peserta didik berimplikasi pada pembelajaran yang harus
merangsang berbagai alat indera supaya diperoleh hasil yang optimal. Dalam hal
ini, metode multisensori berperan mengatasi hal tersebut. Penguasaan bahasa bagi
peserta didik disleksia perlu dikembangkan, sehingga perlu latihan dan bimbingan
yang lebih intensif. Metode multisensori merupakan salah satu program remedial
membaca untuk peserta didik disleksia.

1. Macam-Macam Pendekatan Metode Multisensori


Ada dua metode mengajar yang menggunakan pendekatan multisensori,
yaitu yang dikembangkan oleh Fernald dan yang dikembangkan oleh
Gillingham (Yusuf, 2005: 168).
a. Pendekatan Taktil-Kinestetik (Metode fernald) Metode taktil-
kinestetik dianggap cocok untuk diterapkan dalam pengajaran
membaca anak disleksia atau kesulitan membaca. Metode kinestetik
dikembangkan oleh Fernald dan Keller. Metode ini lebih dikenal
metode telusur dan kinestetik. Tujuan pokok metode ini adalah untuk
melatih pengamatan anak agar terarah, akurat, clan sistematis selama
melaksanakan kegiatan membaca. Dalam pelaksanaan pembelajaran
membaca dengan menggunakan metode ini, bila anak mengalami
kesulitan membaca suatu kata atau suku kata bahkan huruf, makna
huruf, suku kata atau kata yang sulit dibaca oleh anak tersebut harus
ditelusuri bentuk, konfigurasi dan urutannya dengan menggunakan jari
tangan atau alat tulis tertentu. Dengan cara demikian, ingatan anak atas
kata, suku kata, atau huruf tersebut dapat terbantu oleh respon visual
dan kinestetik.
Menurut Kirk, Kliebhan & Lerner (dalam Shodiq, 2001) ada empat
langkah penerapan metode ini, yaitu:
1) Guru menuliskan kata yang dipilih dengan kapur berwarna pada
papan tulis.
2) Anak mempelajari kata atau huruf dengan cara mengucapkannya
sendiri, serta bebas menulis dan membaca kata yang telah ditulis.
3) Anak mempelajari kata dengan cara mengucapkannya.
4) Anak dapat mengenal kata-kata baru dengan memperhatikan
kesamaannya dengan kata-kata yang telah dipelajarinya.
Sedangkan Ekwall & Shanker (dalam Shodiq, 2001) mengemukakan
empat tahapan penerapan pendekatan taktil-kinestetik dalam
pengajaran membaca adalah: Penelusuran (tracing), Menulis tanpa
penelusuran (writing without tracing), Pengenalan kata tercetak
(recognition in print) dan Analisis kata (word analysis).
b. Pendekatan Visual-Auditif-Kinestetik-Taktil (Metode Gillingham)
Metode ini dikenal juga sebagai pendekatan pembelajaran membaca
yang disebut pendekatan sistern fonik-visual-auditori-kinestetik.
Metode ini dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman (Gearheart,
dalam Sodiq, 2001). Asumsi yang mendasari metode ini adalah bahwa
dalam pengajaran membaca, menulis, dan mengeja kata dipandang
sebagai satu rangkaian huruf-huruf. Metode ini berangkat dari metode
abjad, yaitu bunyi yang disimbolkan oleh huruf dipandang mudah
dipelajari dengan menggunakan keterpaduan indra visual, auditori,
kinestetik dan taktil. Dengan demikian saat anak mempelajari suatu
kata anak melihat huruf tersebut, mendengar bunyi huruf menunjuk
dengan gerakan tangan atau telusuran jari tangan dan kemudian
menuliskannya dengan menggunakan visual, auditori dan kinestetik
secara terpadu. Secara umum metode VAKT ini ada kesamaannya
dengan metode sistesis pada pengajaran membaca permulaan. Dalam
metode sistesis, pengajaran membaca permulaan dimulai mengajarkan
bunyi setiap huruf, suku kata, kemudian kata, lalu frase dan
dilanjutkan pada kalimat.
Gangguan Ortopedi/ Gangguan Fisik

Disabilitas fisik adalah kelainan yang terjadi pada fisik yang terjadi akibat trauma
atau akibat bawaan.Disabilitas fisik dibagi menjadi empat yaitu tunadaksa,
tunanetra, tunarungu, tunawicara.

 Tuna daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang


disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan
lumpuh.
 Tunanetra(orang buta) adalah individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu:
buta total (blind) dan low vision.
 Tunarungu(tidak bisa mendengar/budek) adalah individu yang memiliki
hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen
 Tuna wicara(bisu) adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan
tidak dapat dimengerti oleh orang lain.

Cedera Otak Traumatik (COT)

Cedera Otak Traumatik / traumatic brain injury adalah gangguan fungsi otak yang
disebabkan oleh faktor eksternal seperti, benturan, pukulan, atau luka tebus
kepala. Hal ini dapat menyebabkan masalah jangka pendek atau jangka panjang
yang dapat mempengaruhi setiap bagian hidupnya. Jika penderita COT ringan
maka dapat sembuh dengan sendirinya dan apabila kasus COT berat maka dokter
akan melakukan penanganan khusus seperti terapi hingga pembedahan. Anak
penderita COT harus diidentifikasi dan diobat tepat waktu, agar dapat membatasi
cedera otak sekunder dan meningkatkan hasil pengobatan.

1. Gejala
Berikut ini ada gejala perilaku penderita COT :
1. Kecemasan/stres
2. Keseimbangan/Koordinasi
3. Komunikasi
4. Depresi
5. Kurang Empati emosional
6. Disregulasi emosional
7. Pengakuan Emosional
8. Fungsi eksekutif terganggu
9. Hubungan Keluarga
10. Sakit Kepala
11. Keterlambatan Bahasa
12. Kejang
13. Perilaku Pengaturan diri terganggu
14. Kesepian sosial dan isolasi
15. Interaksi sosial/keterampilan

Secara umum , gejala diatas lazim terjadi pada penderita COT.

2. Anamnesis
Informasi yang diperlukan :
- Identitas pasien ; Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
- Keluhan Utama
- Mekanisme Trauma
- Waktu dan perjalanan Trauma
- Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
- Amnesia retrograde atau antegrace
- Keluhan nyeri kepala seberapa berat, vertigo, penurunan kesadaran,
kejang
- Riwayat mabuk,alkohol, narkotika , pasca operasi kepala
- Penyakit menyerta seperti ; epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi
kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal
pembekuan darah.

3. Pemeriksaan Fisik Umum


Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan askultasi, serta
pemeriksaan khusus untuk menenukan kelainan patologis, dengan metode
 Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau
 Perorgan B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

Pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan cedera otak

- Pemeriksaan kepala
Mencari Tanda
a. Jejas dikepala meliputi : hematoma sub kutan, sub galeal, luka
terbuka, luka tembus dan benda asing
b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi, ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan
otorhoe serta pendarahan di membran timpani atau leserasi kanalis
auditorius
c. Tanda patah tulang wajah meliputi ; fraktur maxilla (lefort), fraktur
rima, orbita dan fraktur mandibula
d. Auskultasi pasca arteri karotis untuk menentukan adanya bruit
yang berhubungan dengan diseksi karotis
e. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang
Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang
belakang dan cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi
jejas, ceromitas, status motorik, sensorik, dan automik.
- Pemeriksaan Neurologis
a. Tingkat Kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale
(GCS)
- GCS 14 – 15 : Cedera Otak Ringan (COR)
- GCS 9 – 13 : Cedera Otak Sedang (COS)
- GCS 3 – 8 : Cedera Otak Berat (COB)
b. Saraf Kranial :
Pemeriksaan Saraf II – III yaitu pemeriksaan pupil : besar &
bentuk, reflek cahaya
Reflek konsensuil  bandingkan kanan-kiri
Tanda lesi saraf IV perifer
c. Fundoskopi dicari tanda tanda edema pupil, pendaharahan pre
retina, retinal detachment.
d. Motoris dan sensoris : bandingkan kanan, kiri, atas, dan bawah
mencari tanda literalisasi
e. Automis bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek,
reflek tendon, reflek patologis, dan tonus spinter ani

Gangguan Kesehatan

Gangguan kesehatan pada anak dengan kebutuhan khusus merujuk pada kondisi
medis atau perkembangan yang memerlukan perhatian dan intervensi khusus
karena mempengaruhi kesejahteraan, perkembangan, atau fungsi anak secara
signifikan.

 Autisme :
Autis berasal dari kata autos yang artinya segala sesuatu yang mengarah
pada diri sendiri. Dalam Kamus Lengkap Psikologi, autisme didefinisikan
sebagai: (1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau
oleh diri sendiri, (2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan, harapan
sendiri, dan menolak realitas (3) keasyikan ekstrim dengan pikiran dan
fantasi sendiri (Chaplin, 2005). Gejala anak dengan ASD ditunjukkan
sejak bayi, adapun ciri-ciri terkait interaksi sosial yang biasanya muncul,
yaitu:
- Bayi atau balita autis tidak berespon normal ketika diangkat atau
dipeluk.
- Bayi autis ketika disusui ibu tidak mau menatap mata ibu dan tidak
mau menjalin interaksi nonverbal dengan ibu.
- Anak-anak autis tidak menunjukkan perbedaan respon ketika
berhadapan dengan orang tua, saudara kandung atau guru, dengan
orang asing. Enggan berinteraksi secara aktif dengan orang lain.
- Ia tidak berminat pada orang, melainkan asyik sendiri dengan benda-
benda dan lebih senang menyendiri.
- Tidak tersenyum pada situasi sosial, tetapi tersenyum atau tertawa
ketika tidak ada sesuatu yang lucu menurutnya.
- Tatapan mata berbeda, terkadang menghindari kontak mata atau
melihat sesuatu dari sudut matanya.
- Tidak bermain seperti selayaknya anak normal.
 ADHD
Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006), ADHD adalah attention deficit
hyperactivity disorder(Attention= perhatian, Deficit=berkurang,
Hiperactivity= hiperaktif, dan Disorder= gangguan) jika diartikan dalam
Bahasa Indonesia berarti gangguan pemusatan perhatian disertai
hiperaktif.

ADHD = kurang pemusatan perhatian + impulsivitas + hiperaktivitas.

Seseorang dapat memenuhi salah satu kriteria ADHD yaitu kurang


perhatian (Inattention) atau hiperaktifitas &impulsif, atau keduanya.
Kondisi ini terjadi selama periode paling tidak enam bulan, yang
mengakibatkanpertumbuhanseseorang tersebut menjadi tidak sesuai
dengan tingkat pertumbuhan usia normal (Widhata, 2008). Berdasarkan
pemaparan di atas, maka ADHD merupakan hambatan seorang individu
dalam pemusatan perhatian yang disertai perilaku hiperaktivitas.
 Anxiety
kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang
sangat mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya
ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang
burukakan terjadi.
 Tuna Laras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial. anak tunalaras adalah anak yang
mengalami gangguan emosi dan penyimpangan tingkah laku serta kurang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik di dalam keluarga,
sekolah, maupun masyarakat. Anak tunalaras juga mempunyai kebiasaan
melanggar norma dan nilai kesusilaan maupun sopan santun yang berlaku
dalam kehidupan seharihari, termasuk sopan santun dalam berbicara
maupun bersosialisasi dengan orang lain.
 Conduct disorder
Gangguan ini dapat diartikan sebagai suatu gangguan perilaku yang
termasuk dalam perilaku antisosial yang seringkali ditandai dengan
perilaku menyakiti orang lain. Walaupun demikian, perilaku yang muncul
lebih tereksternalisasi dan dibedakan dari perilaku menyakiti diri sendiri
(Dodge & Pettit, 2003).
Conduct disorder dalam DSM IV memiliki beberapa gejala antara lain,
sering mengintimidasi orang lain, memulai perkelahian yang
mengakibatkan cedera fisik, menyakiti orang lain maupun hewan, serta
tindakan yang melanggar aturan baik di institusi pendidikan, sosial,
maupun hukum (Wenar, 1994).
 Indigo
Anak indigo adalah anak-anak yang menunjukkan seperangkat atribut
psikologis yang baru dan tidak biasa serta sebuah pola tingkah laku yang
tidak pernah terdokumentasi sebelumnya. Pola ini memiliki faktor-faktor
unik umum sehingga orang-orang yang berinteraksi dengan anak indigo
disarankan untuk mengubah cara merawat mereka untuk mencapai
keseimbangan (Carrol & Tober, 1999 dalam Mangunsong, 2011).

Tuna Laras

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan


emosi dan kontrol sosial. anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan
emosi dan penyimpangan tingkah laku serta kurang dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Anak tunalaras juga mempunyai kebiasaan melanggar norma dan nilai kesusilaan
maupun sopan santun yang berlaku dalam kehidupan seharihari, termasuk sopan
santun dalam berbicara maupun bersosialisasi dengan orang lain.

Anak menjadi tunalaras bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk:


a. Lingkungan Keluarga: Lingkungan di rumah yang tidak stabil, kurangnya
perhatian atau dukungan dari orang tua atau anggota keluarga lainnya dapat
memengaruhi perkembangan emosional dan perilaku anak.
b. Pengaruh Teman Sebaya: Anak-anak sering kali terpengaruh oleh teman
sebayanya. Jika lingkungan sekolah atau teman-teman sebaya anak tidak
mendukung perkembangan sosial dan emosional yang sehat, ini dapat
menyebabkan perilaku yang tidak terkendali atau tunalaras.
c. Gangguan Mental atau Kesehatan: Beberapa kondisi kesehatan mental
seperti gangguan perilaku, gangguan mood, atau gangguan perkembangan
bisa menyebabkan anak menjadi tunalaras.
d. Ketidakseimbangan Hormonal: Perubahan hormonal yang terjadi selama
masa pertumbuhan dan perkembangan anak juga dapat memengaruhi
suasana hati dan perilaku mereka.
e. Pengalaman Traumatis: Pengalaman traumatis seperti pelecehan, kehilangan
orang yang dicintai, atau kejadian traumatis lainnya dapat memengaruhi
perkembangan emosional anak dan menyebabkan mereka menjadi tunalaras.
f. Masalah Genetik atau Neurologis: Beberapa kondisi genetik atau neurologis
tertentu dapat memengaruhi perilaku anak, membuatnya sulit untuk
mengendalikan emosi atau bertindak sesuai dengan norma sosial.
g. Kurangnya Pengawasan dan Perhatian: Kurangnya pengawasan dan
perhatian dari orang tua atau pengasuh juga dapat menyebabkan anak
menjadi tunalaras karena mereka tidak memiliki panduan atau batasan yang
jelas dalam perilaku mereka.
Daftar Pustaka

Cedera otak Traumatik. (2017, 9 10). Dipetik 4 22, 2024, dari Schoolar Unand:
http://scholar.unand.ac.id/29769/2/pdf%202%20bab%201.pdf

Desiningrum, D. R. (2016). PSIKOLOGI ANAK KEBUTUHAN KHUSUS.


Jogjakarta: psikosain.

F. F. (2017). EFEKTIVITAS METODE MULTISENSORI UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN.
SEMARANG: UNNES.

Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. (2014). Surabaya: Neurotrauma.

Anda mungkin juga menyukai