Anda di halaman 1dari 2

FILSAFAT ILMU

Manusia pada dasarnya selalu berupaya menggunakan akal pikirannya untuk mencari
pengetahuan. Memanfaatkan indera yang dimiliki untuk mencari keinginan pun kebutuhannya.
Kebenaran adalah salah satu hal yang tak pernah luput dari proses pencarian pengetahuan
manusia, bahkan tak jarang kita mengklaim bahwa apa yang kita katakan adalah sebuah
kebenaran, bahkan mungkin seringkali kita merasa paling benar lalu menyalahkan yang lain.
Manusia yang terus mencari kebenaran akan menemukan kebenaran tersebut dalam tiga hal,
yaitu agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Konsep kebenaran di dalam filsafat, meliputi :
1. Rasionalitas
Orang-orang rasionalis menganggap bahwa esensi manusia itu ada ketika berpikir dengan
akalnya, sehingga konsep kebenaran menurut paham rasionalitas adalah sesuatu itu dapat
dikatakan benar ketika sesuatu itu ada dalam akal pikiran.
2. Materialis
Materialisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar
adalah materi, atau benda, atau segala hal yang dapat dibuktikan langsung adanya. Orang-
orang materialis menjadikan panca indera sebagai satu-satunya alat untuk mencapai ilmu.
Orang materialis tidak mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib karena tidak dapat dibuktikan
kebenrannya secara nyata, dengan panca indera.
3. Eksistensialis
Paham ini mengatakan bahwa manusia sebagai individu bertanggung jawab atas kemauannya
yang bebas. Orang-orang yang menganut paham ini menganggap bahwa kebenaran itu bersifat
relatif karena lahir dari “keakuan” atau subjektivitas setiap manusia. Sesuatu dianggap sebagai
kebenaran apabila ia merupakan kebenaran bagiku atau sesuatu yang bermakna bagiku.
Sesuatu itu dianggap benar ketika apa yang kau pikirkan atau katakan sejalan dengan apa yang
kau lakukan.
Akhir-akhir ini muncul kebenaran baru yang tidak berdasarkan data dan fakta akibat dari
adanya hyperreality, seperti penggunaan media sosial akibat perkembangan teknologi informasi.
Keadaan baru ini, menurut penulis bukanlah suatu kebenaran seperti yang didefinisikan oleh
filasafat tersebut di atas, karena keadaan baru ini didasarkan pada rekayasa model seperti citraan,
halusinasi, simulasi dan lain sebagainya. Hyperreality digunakan di dalam semiotika dan filsafat
pascamodern untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotesis untuk membedakan
kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi. Hyperreality
adalah makna untuk mempersifatkan bagaimana kesadaran mendefinisikan “kenyataan” sejati di
dunia, dimana keanekargaman media dapat secara mengakar membentuk dan menyaring kejadian
sesungguhnya. Hyperreality menurut Jean Baudrillard adalah mempertentangkan simulasi dan

1
2

representasi. Simulasi bagi Jean Baudrillard adalah simulakra dalam pengertian khusus, yang
disebutnya simulakra sejati dalam pengertian bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain
sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri. Istilah ini digunakan untuk
menjelaskan kondisi runtuhnya realitas. Keadaan ini menjelaskan realitas diambil alih oleh
berbagai rekayasa model. Rekayasa model tersebut dianggap lebih nyata dari realitas sehingga
perbedaan antara realitas dan hyperreality menjadi kabur. Penggunaan media sosial akibat dari
perkembangan teknologi informasi telah membawa bentuk baru mengenai identitas serta
bagaimana subjek bekerja. Hyperreality ditandai dengan lenyapnya bentuk asli dari sebuah objek
karena diambil oleh duplikasi dan fantasi.

Anda mungkin juga menyukai