Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh
untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunkan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional,
kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus
dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk
pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan
adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplikasi atas fenomena
tersebut.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ontologi membahas apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek
ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya bisa dibatasi pada
hal-hal yang bersifat materi atau kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang
materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berarti bahwa aspek-
aspek alam bersifat kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologi membahas tentang
masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi
diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya
rasinalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu
pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah cara penemuan sebuah kebenaran.?
2. Apa saja jenis-jenis dari kebenaran.?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kebenaran ilmiah dan nonilmiah
4. Apa sajakah sifat-sifat dari kebenaran itu.?

C. Rumusan masalah
1. Untuk mengetahui cara penemuan sebuah kebenaran.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari kebenaran
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebenaran ilmiah dan non ilmiah
4. Untuk mengetahui sifat-sifat dari kebenaran

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Manusia Dan Pencari Kebenaran


Manusia senantiasa penasaran terhadap cita-cita hidup ini. Yang hendak diraih
adalah kebenaran hidup itu. Manusia merupakan makhluk yang berakal budi yang
selalu ingin mengejar kebenaran. Dengan akal budinya, manusia mampu
mengembangkan kemampuan yang spesifik manusiawi, yang menyangkut daya cipta,
rasa maupun karsa. Ketika orang menyaksikan sebuah pantai, semua orang akan
terheran-heran dengan pasir putih.
Kebenaran memang unik, tak pernah terjawab secara mudah. Berbagai
abstraksi sering dipakai untuk menjawab pertanyaan, untuk menemukan kebenaran.
Abstraksi lahir atas akal budi, yang berdaya nalar tinggi. Akal budi merupakan alat
abstraksi yang menemukan kebenaran yang lebih esensial. Dengan akal budinya,
maka kemampuan manusia bersuara bisa menjadi kemampuan berbahasa dan
berkomunikasi. Lewat bahasa dan komunikasi, manusia hendak menemukan
kebenaran. Kebenaran merupakan cita-cita tertinggi, yang selalu menjadi obsesi
hidup. Untuk menemukan kebenaran manusia dikelilingi oleh dunia simbol yang
bermacam-macam. Manusia mampu menciptakan dan menggunakan simbol-simbol
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga oleh Cassirer (Suriasumantri, 2005: 171)
disebut sebagai animal simbolucum. Lewat simbol, manusia meraba-raba makna,
hingga menemukan kebenaran hakiki. Simbol tersebut menyimpan tanda-tanda
kebenaran dialam semesta. Adanya akal budi juga menyebabkan manusia mampu
berpikir abstrak dan konseptual sehingga manusia disebut sebagai animal that
reason, dengan ciri utamanya selalu ingin mengetahui. Rasa ingin tahu itulah yang
menyebabkan manusia harus mengejar kebenaran. Manusia melekat kehausan
intelektual (intellectual curiousity), yang menjelma dalam aneka wujud pertanyaan
(Rinijn, 1996: 9). Pertanyaan yang ke arah dunia transcendental akan melahirkan
kebenaran metafisika. Pertanyaan yang kearah hal-hal yang dapat dilihat, akan
melahirkan kebenaran empiris. Kebenaran apa saja yang tidak bermasalah bagi
manusia, yang penting dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Manusia selalu bertanya karena terdorong oleh rasa ingin tahu terhadap hal
ihwal yang tersembunyi disekitar hidupnya. Rasa ingin tahu tersebut sudah muncul
pada awal perkembangan hidupnya. Manifestasi dari hasrat ingin tahu tersebut antara
lain berupa pertanyaan.
Hasrat ingin tahu manusia tersebut terpuaskan bila manusia memperoleh
pengetahuan yang benar mengenai hal-hal yang dipertanyakan. Dalam sejarah
perkembangannya, manusia ternyata selalu berusaha memperoleh pengetahuan yang
benar atau yang secara singkat disebut sebagai kebenaran (Suryabrata, 2002: 2).
Manusia senantiasa berusaha memahami, memperoleh, dan memanfaatkan kebenaran
untuk kehidupannya. Tidak salah jika satu sebutan lagi diberikan kepadanya, yaitu
manusia sebagai makhluk pencari kebenaran. Kebenaran dapat diraih dengan berpikir
logis.

2
Manusia adalah makhluk berpikir yang dengan itu menjadikan dirinya ada.
Beerling, seorang sarjana belanda mengemukakan teorinya tenyang manusia bahwa
manusia itu adalah makhluk yang suka bertanya. Dengan berpikir, dengan bertanya,
manusia menjelajahi pengembarannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian
lingkungannya bahkan kemudian sampai pada hal-hal lain yang menyangkut asal
mula atau mungkin akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuannya itu telah
menempatkan manusia sebagai makhluk yang sedikit berbeda dengan hewan.
Sebagaimana Aristoteles, filsuf yunani yang lain, mengemukakan bahwa manusia
adalah hewan yang berakal sehat, yang megeluarkan pendapat, yang berbicara
berdasarkan akal pikirannya (the animal that reason). Sebagai hewan yang berpikir,
manusia gemar bertanya demi pencarian kebenaran. Yang dikejar manusia dalam
hidup adalah kebenaran hakiki.
Hacking, dalam bukunya What Is Man (2000), menulis bahwa: “tiada cara
penyampaian yang meyakinkan mengenai apa yang dipikirkan oleh hewan-hewan,
namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berpikir dari
hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis
sejarah. Dengan berpikir, manusia mencoba menanyakan segala hal yang menggoda
dirinya. Pada saat itu manusia sebenarnya telah berusaha menyingkap kebenaran
dunia ini. Dunia ini bagi manusia dianggap menyajikan misteri yang luar biasa.
William P. Toolley, dalam bukunya Preface To Philosophy A Tex Book,
mengemukakan bahwa “our question are endless,...what is a man, what is a nature,
what is a justice, what is a god?Maksudnya, berbeda dengan hewan, maksud dan
tujuannya, makna dan hakikat kenyataan. Mungkin saja ia adalah anggota marga
satwa, namun ia juga warga dunia idea dan nilai. Dengan menempatkan manusia
sebagai hewan yang berpikir, berintelektual dan berbudaya ini, manusia daya, maka
dapat disadari kemudian bila pada kenyataanya manusialah yang memiliki
kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang
membiarkan pikirannya mengembara dan akhirnya bertanya. Berpikir adalah
bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari
kebenaran, mencari jawaban tentang alam dan tuhan adalah mencari kebenaran
tentang alam dan tuhan. Dari proses tersebut kahirlah pengetahuan, teknologi,
kepercayaan.
Aliran-aliran kebenaran cukup banyak yang muncul ditengah-tengah kita.
Berbagai aliran kebenaran, berupaya untuk menyajikan upaya yang terbaik. Aliran-
aliran termaksud yaitu:
a. Realisme : mempercayai sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri dan sesuatu
yang pada hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang
b. Naturalisme : sesuatu yang bersifat alami memiliki makna, yaitu bukti berlakunya
hukum alam dan terjadi menurut kodratnya sendiri
c. Positivisme : menolak segala sesuatu yang diluar fakta, dan menerima sesuatu yang
dapat ditangkap oleh pancaindera. Tolak ukurnya adalah nyata, bernanfaat, pasti,
tepat dan memiliki keseimbangan logika

3
d. Materialisme dialektik : orientasi berpikir adalah materi, karena materi merupakan
satu-satunya hal yang nyata, yang terdalam dan berada di atas kekuatannya diri.
Filsufi resmi dari ajaran komunisme
e. Idealisme : menjelaskan semua objek dalam alam dan pengalaman sebagai
pernyataan pikiran
f. Pragmatisme : hidup manusia adalah perjuanga hidup terus-menerus, yang sarat
dengan konsekuensi praktis. Orientasi berpikir adalah sifat praktis, karena praktis
berhubungan erat dengan makna dan kebenaran.

Berbagai aliran tersebut sering dipilih oleh manusia guna mencari kebenaran
sejati. Tiap bidang keilmuan memiliki aliran yang selalu ditaati. Tiap aliran kebenaran
akan membingkai pola pikir manusia dalam memaknai sebuah kebenaran. Aliran
kebenaran demikian paling tidak akan berimplikasi pada pola-pola berpikir dan logika
manusia. Oleh sebab itu manusia senantiasa memilih diantara aliran itu guna
mengekspresikan cita-citanya. Manakala manusia hendak menemukan kebenaran
dengan jalan penelitian lapangan, tentu berbeda dengan penemuan kebenaran lewat
studi pustaka. Kebenaran yang mereka daptkan juga memiliki perbedaan visi dan
misinya. Dalam konteks ini, implikasinya sampai tingkat metodologi.

B. Cara Penemuan Kebenaran


Cara menemukan kebenaran, terkait dengan sebuah pilihan hidup. Dalam
setiap berpikir filsatat, tentu berhadapan dengan kebenaran. Kebenaran sesungguhnya
memang merupakn tema sentral dalam filsafat ilmu. Problematika mengenai
kebenrana, sebenarnya seperti halnya problematik tentang pengetahuan, merupakan
masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat
ilmu.
Kebenaran tidak datang dengan sendirinya, melainkan perlu dicari dengan cara
yang tepat. Jika dapat menghitung dengan tepat, maka kebenaran dengan cara
matematik dia lakukan atas dasar faktual. Yang lebih tepat, dia lakukan dengan cara
menemukan kebenaran imajinatif dan intuitif.
Kebenaran selalu tersembunyi di balik fakta, fenomena, realita dan data. Cara
penemuan kebenaran berbeda-beda, kebenaran dapat dilihat secara ilmiah dan
nonilmiah. Menurut kasmadi dkk (1990) adalah sebagai berikut :
1. Penemuan secara kebetulan, adalah penemuan yang berlansung secara tanpa
disengaja
2. Penemuan coba dan ralat (trial dan error), terjadi tanpa adanya kepastian akan
berhasil kebenaran yang dicari
3. Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan, misalnya orang-orang mempunyai
kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun
pendapatnya tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah
4. Penemuan secara spekulatif, cara ini mirip dengan cara coba dan ralat. Akan tetapi,
perbedaanya denga coba dan ralat memang ada

4
5. Penemuan kebenaran lewat cara berpikir, kritis dan rasional. Cara berpikir yang
ditempuh pada tingkat permulaan dalam memecahkan masalah adalah dengan cara
berpikir analitis dan sintetis
6. Penemuan kebenaran melalui penelitian ilmiah, cara mencari kebenaran yang
dipandang ilmiah adalah yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah
penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan.

Dari enam menemukan kebenaran itu, masih boleh ditambah cara yang lain.
Yang penting, cara menemukan kebenaran itu konsisten dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena, setiap pilihan memang mengandung
konsekuensi, akan dipercaya banyak orang atau tidak. Tegasnya, kebenaran
sebenarnya amat beragam. Kebenaran jelas menurut siapa yang nerunut. Bebagai
pendapat tentang, kebenaran akan saling melengkapi. Menurut Mintaredja (1983),
kata kebenaran dapat digunakan disuatu kata benda konkret maupun abstrak. Jika
subjek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Lebih dari itu,
kebenaran juga amat luas, tergantung dari sisi pandang mana kebenaran itu digali.
Kebenaran juga ada yang disandarkan pada persoalan dara keilmuan yang dipakai.
Harus ada kesamaan dalam menilai kebenaran suatu pemikiran. Kebenaran adalah
kesesuaian objek dengan realita atau kesesuaian objek dengan pengetahuan parameter
kebenaran. Konsep kebenaran memiliki karakteristik, yaitu :

1. Kebenaran bersifat universal. Kebenaran suatu pemikiran harus bernilai universal,


artinya berlaku untuk kapan pun dan di mana pun. Jika tidak demikian maka
peserta diskusi yang tempat dan waktu mendapatkan pengetahuan baru tersebut
berbeda tidak dapat menerima kebenaran tersebut
2. Kebenaran bersifat mutlak. Tanpa pandangan tersebut, maka diskusi akan sia-sia.
Apapun pengetahuan baru yang ada dalam sebuah diskusi tidak dapat diterima
sebagai kebenaran. Sehingga semua perkataan yang dikemukakan dalam sebuah
diskusi tidak berbeda dengan kebohongan, ketidakwarasan dan omong kosong
3. Kebenaran bersifat manusiawi. Artinya bahwa pengetahuan yang disampaikan
secara alamiah dapat diterima atau dimengerti oleh manusia. Tak perlu ada
rekayasa seperti melalui bujukan, paksaan atau paksaan. Jika ada rekayasa seperti
itu maka perlu dipertanyakan kebenarannya. Kebenaran akan diterima jika hal itu
memang sebuah kebenaran, diakui secara lisan atau tidak
4. Kebenaran bersifat argumentatif. Dalam sebuah diskusi, pembuktian terhadap
kebenaran sebuah pendapat atau pengetahuan baru harus dimiliki. Argumentasi
digunakan untuk menjelaskan proses mendapatkan pengetahuan baru tersebut
sehingga orang lain dapat menilai kebenarannya dari proses tersebut. Argumentasi
adalah proses bergeraknya suatu pengetahuan yang menjadi patokan menuju
pengetahuan baru (kesimpulan). Dalam menilai kebenaran dan keabsahan
argumentasi, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah kebenaran dari
isi pengetahuan yang menjadi pijakan. Kedua adalah keabsahan penyusuna
pengetahuan-pengetahuan pijakan menjadi suatu kesimpulan (proses pengambilan
kesimpulan)

5
5. Kebenaran bersifat ilmiah. Ini dimaksudkan agar kebenaran suatu pengetahuan
dapat dibuktikan oleh orang lain bahwa pengetahuan tersebut sesuai dengan
kenyataan yang ada. Kebenaran yang tidak dapat dibuktikan oleh orang lain tidak
dapat didiskusikan. Artinya bahwa kebenaran tersebut tidak dapat dihukumi unutk
orang lain.

Kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu, yang


cenderung meletakkan kebenaran dalam koridor ilmiah. Kadar ilmiah inilah yang
banyak diyakini sebagai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum
orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran.
Problematik mengenai kebenaran merupakan masalah yang mengacu pada tumbuh
dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang taat pada aliran tertentu,
jenis kebenaran, dan sifat/karakteristik kebenaran akan melahirkan pendekatan dan
metode penemuan kebenaran. Kebenaran juga didukung oleh paradigma pemikiran
yang dipilih. Paradigma aplikasinya pada teori penemuan kebenaran.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
(judgement) dengan sesuatu yang lalu, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan
antara putusan-putusan itu sendiri. Berdasarkan teori ini, kebenaran ditegakkan atas
hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita
ketahui dan diakui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk
benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan proposisi yang benar,
atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan pengalaman
kita.

C. Jenis-jenis Kebenaran
Kebenaran dalam konteks filsafat ilmu sebenarnya tidak tunggal. Kebenaran
hampir selalu bersifat nisbi, tidak mutlak, dan ada tawar-menawar. Banyak para ahli
filsafat ilmu yang membagi jenis-jenis kebenaran menurut apa saja. Menurut cara
memperoleh kebenaran, dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam filsafat
ilmu, yaitu:
a. Kebenaran epistemologikal, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan
pengetahuan manusia
b. Kebenaran ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada
segala sesuatu yang ada maupun diadakan
c. Kebenaran semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam
tutur kata dan bahasa
d. Kebenaran aksiologikal, adalah kebenaran tergantung pada kegunaan sesuatu.

Jika berdasarkan asal-usul kebenaran, dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
1. Kebenaran diri sendiri, yaitu kebenaran atas dasar pertimbangan subjektif,
pribadi, dan individual
2. Kebenaran kolektif, adalah kebenaran menurut pertimbangan orang banyak. Jika
orang banyak menyatakan benar, seluruh hal dianggap benar

6
3. Kebenaran illahi, adalah kebenaran yang berasal dari tuhan. Kebenaran semacam
ini mutlak adanya, sulit dibantah.

Dari tiga kebenaran ini, memungkinkan terjadinya konflik dalam pemaknaan.


Pertentangan antara sisi kebenaran sangat mungkin terjadi, karena masing-masing
saling mempertahankan diri.

Kebenaran memang bagian substansi dari filsafat ilmu. Telaah tentang


substansi filsafat ilmu, menurut Ismaun (2001) terbagi dalam empat bagian, yaitu
substansi yang berkenaan dengan :
a) Fakta atau kebenaran
b) Kebenaran (truth)
c) Konfirmasi
d) Logika inferensi

Dari empat bagian pendukung filsafat ilmu tersebut, aspek kebenaran memang selalu
menjadi problem serius. Setiap ada penelitian ilmiah, aspek kebenatan yang paling
dilacak. Namun demikian, setiap lahir kebenaran pula, akan muncul bantahan.
Bantahan sebagai mosi tidak percaya pada kebenaran, dapat melemahkan kebenaran
itu sendiri.

Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari


sudut pandang filosofis yang melandasinya. Fakta merupakan fenomena yang
mendukung tercapainya sebuah kebenaran. Ada berbagai macam fakta yang mengitari
sebuah kebenaran, yaitu :
1. Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi
antara yang sensual satu dengan sensual lainnya
2. Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan
ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi
antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas,
kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai
3. Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik
dengan skema rasional
4. Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi
antara empiri dengan objektif
5. Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi

Disisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta objektif
dan fakta ilmiah. Fakta objektif, yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang
merupakan objek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah
merupakan refleksi terhadap fakta objektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud
refleksi adalah deskripsi fakta objektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan
dasar bagi bangunan teoretis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoretis itu mustahil.

7
Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan
kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun
secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi
dan pargmatik (Suriasumantri, 1983). Sementara, Michel William mengenalkan 5
teori kebenaran dalam ilmu, yaitu kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi,
kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng
Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik (Ismaun,
2001). Teori kebenaran memang perlu dipahami oleh para peneliti ilmiah. Peneliti
tergolong orang yang sering memanfaatkan penelitian untuk menemukan kebenaran.
Ada beberapa teori kebenaran yang dapat digunakan para pemerhati filsafat ilmu.
Teori-teori termaksud adalah:
a. Teori kebenaran saling berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth). Teori
ini berpandangan bahwa suatu proposisi bernilai kebenaran apabila berkesesuaian
dengan dunia kenyataan. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara langsung
pada dunia kenyataan.
b. Teori kebenaran inherensi (inherent theory of truth). Kadang-kadang teori ini
disebut juga teori pragmatis. Pandangannya adalah suatu proposisi bernilai benar
apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau bermanfaat
c. Teori kebenaran berdasarkan arti (semantic theory of truth). Teori kebenaran
semantik dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska
filsafat Betrand Russel sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika bahasa
d. Teori kebenaran sintaktis. Teori berkembang diantara filsuf analisis bahasa,
terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramtika
e. Teori kebenaran nondeskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat
fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan
mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari
pernyataan itu.
f. Teori kebenaran logik yang berlebihan (logical superfluity of truth). Teori ini
dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya
menurut teori kebenaran ini, problema kebenaran hanya merupakan kekacauan
bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya
apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama yang
masing-masing saling melingkupinya.

Secara rinci kebenaran juga dapat dijelaskan dalam aneka macam, yaitu

1. Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu


yang lain dengan sesuatu yang memiliki hierarki yang lebih tinggi dari sesuatu
unsur tersebut, baik berupa skema, sistem ataupun nilai. Koherensi ini bisa pada
tatanan sensual rasional maupun pada dataran tarnscendental
2. Berpikir benar korespondensial adalah berpikir tentang terbuktinya sesuatu itu
relevan dengan sesuatu yang lain. Korespondensi relevan dibuktikan adanya

8
kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan,
antara fakta dengan believe yang diyakini, yang sifatnya spesifik
3. Kebenaran performatif, yaitu ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya
dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang
praktis yang teoretik, maupun yang filsufik, orang mengetengahkan kebenaran
tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan
4. Kebenaran pragmatik, yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang
spesifik dan memiliki kegunaan praktis
5. Kebenaran proposisi, adalah suatu penyataan yang berisi banyak konsep
kompleks, yang merentang dari yang subjektif individual sampai yang objektif.
Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika
Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal atau
proposisi. Pendapat lain yaitu Euclides, bahwa prosisi benar tidak dilihat dari
benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
6. Kebenaran struktural paradigmatik ini adalah perkembangan dari kebenaran
korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis
statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan
lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang
dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau infernsi yang lebih
menyeluruh.

Dari keragaman menemukan kebenaran, sesungguhnya yang dipentingkan


adalah fakta, data, dan daya dukung sebagai modal konfirmasi. Tanpa konfirmasi,
kebenaran sering diragukan oleh banyak orang. Konfirmasi adalah unsur pencapaian
kebenaran filsafat ilmu yang esensial. Konfirmasi merupakan prediksi proses dan
produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat
ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi
absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan
benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan
bentuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian
probalistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.

Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX


adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan
kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan
korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang
memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak
general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan
ideografik.

Dalam pandangan post positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran


koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, fenomena Bogdan
dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral.
Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional

9
universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan
kebenaran struktural paradigmatik moral transesden. (Ismaun, 2000:9). Di lain pihak,
Suriasumantri (1983 : 46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru
dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu,
yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian
yaitu logika induksi dan logika deduksi.

Kebenaran memiliki aneka segi, tergantung cara pandang yang digunakan.


Kebenaran dalam filsafat ilmu, termasuk kebenaran ilmiah. Yakni kebenaran yang
koheren, tersistem, dan metodologis. Kebenaran filsafat ilmu, akan menguatkan suatu
bidang keilmuan. Sebaliknya jika kebenaran itu mampu diruntuhkan oleh penemuan
berikutnya, menandai kebenaran yang tidak mutlak. Kebenaran selalu berganti-ganti
dalam filsafat ilmu, tergantung jenis kebenaran yang diraih. Setiap subjek juga bebas
menentukan kebenaran

D. Kebenaran Ilmiah Dan Nonilmiah


Telah dipaparkan diatas bahwa dengan pendekatan ilmiah diperoleh
pengetahuan ilmiah atau ilmu. Pendekatan ilmiah adalah langkah menemukan
kebenaran ilmiah. Ilmu dapat dipahami sebagai proses, prosedur dan produk (The
Liag Gie, 2004 : 90). Pembahasan berikut ini ditekankan pada makna ilmu sebagai
produk. Sebagai produk ilmu tidak lain adalah pengathauan atau kebenaran ilmiah
yang memiliki karakteristik sistematisasi, keumuman, rasionalitas, objektivitas,
verifiabilitas dan komunalitas. Pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu bila
pengetahuan tersebut tersusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan tersebut
haruslah memiliki sifat keumuman (generality), artinya bahwa kebenaran yang
terkandung di dalamnya harus dapat berlaku secara umum atau luas jangkauannya.
Ciri rasionalitas mengandung makna bahwa kebenaran ilmiah besumber pada
pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Sedangkan ciri onjektivitas
menunjukkan pada kesesuaian antara hal-hal yang rasional dengan realitas. Ciri
veryfiabilitas mempunyai arti bahwa kebenaran ilmiah harus dapat diperiksa
kebenarannya, diuji ulang oleh setiap anggota masyarakat ilmuwan. Hal ini menunjuk
bahwa kebenaran ilmiah tidak bersifat mutlak atau final. Adapun ciri terakhir dari
kebenaran ilmiah itu merupakan pengetahuan yang menjadi milik umum.
Berbicara tentang karakteristik kebenaran ilmiah, Keraf A dan Mikhael Dua
(2000:75), menyatakan bahwa kebenaran ilmiah mempunyai sekurang-kurangnya tiga
sifat dasar yaitu rasionalogis, isi empiris, dan dapat diterapkan (pragmatis). Hal itu
berarti bahwa kebenaran ilmiah yang logis dan impiris itu pada akhirnya dapat
diterapkan dan digunakan bagi kehidupan manusia. Karena kebenaran tidak dapat
begitu saja terlepas dari kualitas, sifat hubungan, dan nilai itu sendiri, maka setiap
subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat
berbeda dengan yang lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dari kebenaran. Sifat
kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal yaitu :

10
1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap pengetahuan
yang dimiliki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan itu
berupa :
 pengetahuan biasa atau disebut ordinary knowledge atau common sense
knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenarannya yang
sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal
 pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang
khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah
mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis
 pengetahuan filsafat yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui
metodologi pemikiran filsafat, berdifat mendasar dan menyeluruh dengan
model pemikiran analitis, krisis, dan spekulatif
 kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.
Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh
keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci
agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan
utnuk memahaminya.
2. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagimana cara atau
dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya. Implikasi dari
penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan
karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara
tertentu untuk membuktikannya. Jadi jika membangun pengetahuan melalui indar
atau sense experience, maka pembuktiannya harus melalui indra pula.
3. Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan. Membangun
pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dengan objek, mana yang
dominan. Jika subjek yang berperan, maka jenis pengetahuan ini mengandung
nilai kebenaran yang bersifat subjektif. Sebaliknya, jika objek yang berperan,
maka jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif.

Harus kita pahami lebih dahuku bahwa meskipun kebenaran ilmiah sifatnya
lebih sahih, logis, terbukti, terukur dengan parameter yang jelas, bukan berarti bahwa
kebenaran nonilmiah atau filsafat selalu salah. Malah bisa saja kebenaran nonilmiah
dan kebenaran filsafat terbukti lebih benar daripada kebenaran ilmiah yang disusun
dengan logika, penelitain dan analisa ilmu yang matang. Contoh menarik adalah kasus
patung kuorus yang telah diteliti dan dibuktikan keasliannya oleh puluhan pakar
selama lebih dari 1,5 tahun di tahun 1983, bahkan juga dianalisis dengan berbagai alat
canggih seperti mikroskop elektron. Namun beberapa pakar lainnya (George
Despinis, Angelos Dellivorias) menggunakan pendekatan intuitif sebagai ahli geologi
dan mengatakan bahwa patung tersebut palsu. Akhirnya patung itu dibeli dengan
harga tinggi oleh museum J. Paul Getty di California dengan asumsi kebenaran ilmiah
lebih bisa dipertanggungjawabkan. Kenyataan kemudian membuktikan bahwa semua
dokumen tentang surat tersebut palsu, dan patung itu dipahat disebuah bengkel tempat
di roma tahun 1980.

11
Berbeda dengan kebenaran ilmiah yang diperoleh berdasarkan penalaran
logika ilmiah, ada juga kebenaran karena faktor-faktor nonilmiah. Beberapa
diantarannya adalah :
1. Kebenaran karena kebetulan. Kebenaran yang didapat dari kebetulan
dan tidak ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan karena
kadang kita sering tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan
2. Kebenaran karena akal sehat (Common sense). Akal sehat adalah
serangkaian konsep yang dipercayai dapat memecahkan masalah
secara praktis
3. Kebenaran agama dan wahyu. Kebenaran mutlak dan asasi dari allah
dan rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indera
manusia, tetapi sebagian hal lain tidak
4. Kebenaran intuitif. Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar
tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir
5. Kebenaran karena trial dan error. Kebenaran yang diperoleh karena
mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan parametr-
parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu
6. Kebenaran spekulasi. Kebenaran karena adanya pertimbangan
meskipun kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan dengan penuh
resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-error.
7. Kebenaran karena kewibawaan. Kebenaran yang diterima karena
pengaruh kewibawaan seseorang.

Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran


dengan realitas dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu
yaitu : statement (pernyataan), pesesuaian (agreemant), situasi (situation), kenyataan
(realitas), putusan (judgements). Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasio dan
kemauan individu. Kebenaran bersifat objektif, universal, berlaku bagi seluruh umat
manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari tuhan
yang disampaikan melalui wahyu.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas dapat kita simpulkan bahwa:

Manusia merupakan makhluk yang berakal budi yang selalu ingin mengejar
kebenaran. Dengan akal budinya, manusia mampu mengembangkan kemampuan yang
spesifik manusiawi, yang menyangkut daya cipta, rasa maupun karsa.Cara
menemukan kebenaran, terkait dengan sebuah pilihan hidup. Dalam setiap berpikir
filsatat, tentu berhadapan dengan kebenaran. Kebenaran sesungguhnya memang
merupakan tema sentral dalam filsafat ilmu. Problematika mengenai kebenaran,
sebenarnya seperti halnya problematik tentang pengetahuan, merupakan masalah-
masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Adapun jenis-jenis dar kebenaran adalah :
 Kebenaran epistemologikal
 Kebenaran ontologikal
 Kebenaran semantikal
 Kebenaran aksiologikal

B. Saran
Pada makalah ini ada banyak kesalahan baik kata-kata maupun cara
penyusunannya, untuk itu kami mohon kritikan dari pembaca guna perbaikan di masa
yang akan datang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, tafsir. 2013. Filsafat Umum. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Endraswara, swardi. 2012. Filsafat Umum. Yogyakarta: CAPS.

14

Anda mungkin juga menyukai