Anda di halaman 1dari 9

lOMoARcPSD|26002711

Tugas 3 ILMU Perundang- Undangan

Ilmu Perundang,Undangan (Universitas Terbuka)

Studocu is not sponsored or endorsed by any college or university


Downloaded by Novita Putri (novitaptrh@gmail.com)
lOMoARcPSD|26002711

NAMA : VIANITA FEBRIANTI


NIM : 043221675
UPBJJ : SURABAYA
TUGAS 3 ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
1. Demo Buruh Tolak Omnibus Law di Jatim, Jokowi Diminta Terbitkan Perppu

Sekitar 750 orang dari Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (SPKEP SPSI) demo di depan Gedung DPRD Jawa Timur. Mereka
menuntut Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu sebagai pengganti Undang-
Undang omnibus law cipta kerja. Pantauan detikcom di lokasi sekitar pukul 13.30 WIB,
ratusan buruh dari SPKEP SPSI mulai berdatangan. Ratusan buruh tersebut berasal dari
beberapa kawasan industri di Surabaya. Seperti Rungkut Industri, Margomulyo dan
Karangpilang. Enam perwakilan buruh yang menaiki mobil komando bergantian
berorasi di hadapan ratusan buruh. Para buruh merasa dizalimi saat RUU omnibus law
Cipta Kerja disahkan jadi UU. Andika, perwakilan SPKEP SPSI yang ada di mobil
komando menyatakan, anggota DPR RI telah mengkhianati rakyat. Ia meminta seluruh
buruh tidak memilih partai politik yang turut mengesahkan RUU tersebut. "Kosongkan
suara partai yang mendukung RUU Omnibus Law saat Pemilu 2024 nanti. Tanggal 8
nanti, kita lumpuhkan Surabaya," ujarnya di atas mobil komando, Selasa (6/10/2020).
Andika menyindir anggota DPR RI yang selama ini melangsungkan reses di dapilnya
masing-masing tidak menyerap aspirasi masyarakat. "Dana reses katanya untuk serap
aspirasi masyarakat. Tapi mengesahkan RUU ini sama saja tidak mendengar rakyat,"
imbuhnya. Andika menegaskan, selama Omnibus Law ada, haram memilih parpol yang
mendukung UU tersebut. Ia juga meminta Presiden Jokowi menerbitkan Perppu
(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang), sebagai pengganti UU Omnibus
law cipta kerja. “Haram memilih Parpol yang mendukung UU tersebut. Ada 2 parpol
yang tidak mendukung. Apakah murni memperjuangkan hak pekerja, atau
mengamankan konstituen di 2024. Kita gak tahu tujuannya. Tapi kita minta Pak
Presiden untuk mengeluarkan Perppu," tambahnya. Hingga pukul 14.30 WIB, massa
masih berada di Gedung DPRD Jatim. Ada 15 perwakilan buruh yang memasuki
gedung untuk beraudiensi dengan perwakilan DPRD Jatim.

Pertanyaan :
Rincikanlah alasan pembentukan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang
(Perpu).

Jawaban :

Setiap negara senantiasa menghadapi ancaman bahaya yang membawa negara tersebut
dalam situasi 'kedaruratan' dan mengharuskan mengatasi kedaruratan itu. Dalam sebuah
negara yang berdasarkan konstitusionalisme dan prinsip negara hukum, cara-cara untuk
menanggulangi kedaruratan, baik berupa substansi maupun prosedur, tetap harus
berpijak pada asas-asas ataupun prinsip-prinsip kedua ajaran tersebut.

Downloaded by Novita Putri (novitaptrh@gmail.com)


lOMoARcPSD|26002711

Di Indonesia, Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan


wewenang kepada presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (perpu) saat menghadapi keadaan 'kegentingan yang memaksa'. Dalam Pasal
22, ada 'kebutuhan hukum yang mendesak yang semestinya diatur dengan undang-
undang'. Jadi, pengertian 'kegentingan yang memaksa' bukanlah karena ada ancaman
terhadap negara seperti ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Kebutuhan hukum yang mendesak itu timbul karena kemungkinan undang-
undang yang ada belum mengatur, undang-undang yang ada tidak memadai atau sudah
tidak dapat memenuhi kebutuhan hukum yang sangat diperlukan secara cepat.
Termasuk juga tidak menerapkan (buiten werking) atau mengubah (gewijzigd)
ketentuan undang-undang yang ada. Namun, UUD 1945 tidak memberikan rumusan
tegas mengenai makna 'kegentingan yang memaksa'. Dengan demikian, rumusan
kaidah-kaidahnya sangat bersifat 'open ended' atau 'overbroad' sehingga membuka
peluang yang terlalu lebar dan tidak mengandung ukuran kepastian.

Negara dinyatakan dalam keadaan bahaya apabila:

1. keamanan dan ketertiban hukum diseluruh atau sebagian wilayah RI terancam oleh
pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam yang tidak dapat diatasi oleh alat-
alat perlengkapan secara biasa;

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah


(maksudnya: 'pelanggaran wilayah') negeri RI dengan cara apapun juga;

3. hidup negara dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada
atau dikhawatirkan ada gejala-gelaja yang dapat membahayakan hidup negara.

4. menyatakan negara dalam keadaan bahaya mempunyai konsekuensi atau akibat


terhadap semua tatanan penyelenggaraan negara dan pemerintahan (hukum, politik,
pemerintahan), tidak hanya terbatas pada asal “kelancaran jalannya pemerintahan atau
administrasi negara”. Di bidang pemerintahan, menyatakan negara dalam keadaan
bahaya, antara lain, militer sebagai penyelenggara negara pemerintahan dan kekuasaan
sipil harus tunduk pada kekuasaan militer.

Namun, meski perkembangan ketatanegaraan Indonesia berusaha menegaskan kembali


prinsip pemisahan kekuasaan dalam UUD dimana kekuasaan legislatif yaitu
membentuk undang-undang dikembalikan kepada lembaga DPR, dan eksekutif
melaksanakan undang-undang, tetapi kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh Presiden
tetap memiliki kewenangan dibidang legislatif seperti pada kewenangan pembentukan
Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 Ayat (1) bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang”.

Downloaded by Novita Putri (novitaptrh@gmail.com)


lOMoARcPSD|26002711

Kewenangan Presiden membentuk PERPU didasarkan atas pertimbangan terjadinya


“kesenjangan hukum” sehubungan dengan adanya “hal ihwal kegentingan yang
memaksa” dalam jalannya roda pemerintahan. Kewenangan menyatakan Perpu sebagai
suatu “noodverordeningsrecht” Presiden, yaitu hak Presiden untuk mengatur dalam
kegentingan yang memaksa. Oleh karena itu, sistem perundang-undangan yang
berlaku, Perpu merupakan jenis peraturan perundang-undangan tersendiri. Secara
praktis penggunaan rumusan pasal ini menjadi salah satu instrumen pemerintah dalam
melaksanakan pemerintahan yang dinilai dalam kondisi darurat/tertentu sehingga
dibutuhkan penanganan yang harus dilakukan dengan segera.

Perpu dapat dikatakan memiliki derajat yang sama dengan undang-undang, hanya saja
prosedur pembentukannya yang berbeda. Tetapi pada prosesnya, Perpu akan berujung
menjadi undang-undang jika disetujui DPR atau jika tidak, maka harus dicabut kembali.

Namun, hal yang menjadi persoalan dalam Perpu sebagai suatu


“noodverordeningsrecht” Presiden, yaitu makna dari “hal ihwal kegentingan yang
memaksa” itu sendiri. Penilaian Presiden terhadap “hal ihwal kegentingan yang
memaksa” sebagai dasar pertimbangan membentuk Perpu dipandang cenderung
subjektif, sehingga dikhawatirkan tidak tepat sasaran dalam mengatasi kesenjangan
hukum yang terjadi. Subjektifitas Presiden dalam menyikapi “kesenjangan hukum”
yang terjadi, dikhawatirkan pula berimbas pada substansi materi muatan Perpu,
sehingga seyogyanya pembentukan Perpu didukung dengan kejelasan politik hukum
yang melatarinya.

Ketika pemerintah mampu membuat peraturan yang bersifat mengatur, mengikat secara
umum dan membebankan hak dan kewajiban kepada warga negara, maka sejauh mana
pemerintah membatasi diri untuk menafsirkan makna kegentingan yang memaksa
tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga, bahwa kekuasaan
pemerintahan sudah demikian luas maka kekusaaan eksekutif dalam bidang legislasi
yaitu pembentukan Perpu sudah selayaknya juga diberikan batasan. Batasan ini bukan
mengarah kepada kekuasaan membentuk PERPU tetapi mengarah kepada alasan atau
dasar dari makna “kegentingan yang memaksa”. Hal ini dirasa penting bagi penulis
sebab subjektifitas pemerintah perlu untuk dibatasi misalnya dengan pembentukan
kriteria hukum dalam pembentukan Perpu, yaitu kriteria hukum seperti apa suatu
kondisi dapat digolongkan dalam keadaan genting dan memaksa sehingga PERPU
dapat dibentuk.

Sebagai contoh, dalam praktik yang berlaku, hal ihwal kegentingan yang memaksa
tidak sekedar diartikan sebagai adanya bahaya, ancaman, atau berbagai kegentingan
lain yang langsung berkenaan dengan negara atau rakyat banyak. Sebab, pernah terjadi
Perpu ditetapkan untuk menangguhkan berlakunya Undang- undang tentang Pajak
Penambahan Nilai 1984 dan Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menurut
ketentuan Pasal 21, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penambahan

Downloaded by Novita Putri (novitaptrh@gmail.com)


lOMoARcPSD|26002711

Nilai mulai berlaku 1 Juli 1984. Menjelang tanggal tersebut ternyata belum siap
sehingga perlu ditangguhkan.

2. UU Kehutanan Sudah Tidak Sesuai, DPR Siapkan Naskah Akademik

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi, menilai, Undang-Undang No.
41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan,
sudah tidak sesuai dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan. Kepala Badan
Keahlian Dewan (BKD), Jhonson Rajagukguk menyerahkan naskah akademik (NA)
perubahan kedua atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Menurut Yoga, begitu ia biasa disapa, dalam perkembangannya, banyak masalahan
dalam pengimplementasian Undang-Undang tersebut, seperti berkurangnya luas hutan,
alih fungsi kawasan hutan, kebakaran hutan, perubahan hutan dan konflik dengan
masyarakat hukum adat. Selain itu, Undang-Undang Kehutanan juga memiliki
disharmonis dengan Undang-Undang lainnya dan adanya beberapa putusan Mahkamah
Konstitusi yang perlu disesuaikan dengan keberlakuan UU Kehutanan ke depan.
“Segala permasalahan, perkembangan dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan
kebutuhan tersebut harus direspons dan diakomodasi dalam bentuk Peraturan
Perundangan Kehutanan yang lebih komprehensif dan mampu menjawab kebutuhan
penyelenggaraan kehutanan. Oleh karena itu, Komisi IV DPR RI bersama pemerintah
telah menyepakati revisi RUU Kehutanan tersebut untuk masuk dalam program
legislasi nasional periode Tahun 2018-2019 pada Nomor Urut 66 dari 169 RUU
Prolegnas yang ada,” ujar Viva, saat memimpin RDP Komisi IV DPR dengan Jhonson,
di ruang rapat Komisi IV DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (4/4/2018). Dijelaskan
politisi PAN ini, hutan sebagai salah satu sumber daya alam dalam pengelolaannya
harus sejalan dengan sesuai konstitusi. Artinya penyelenggaraan kehutanan harus
mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, keadilan, dan berkelanjutan.

Pertanyaan:
Uraikanlah tujuan dan landasan dalam pembentukan suatu naskah akademik (NA).

Jawaban :

Penulisan tujuan dan kegunaan pembentukan naskah NA disesuaikan dengan ruang


lingkup permasalahan yang akan dijelaskan dalam NA. Oleh karena itu, rumusan
standar untuk tujuan penyusunan NA adalah

1. mengetahui perkembangan teori dan praktik empiris dari materi undang-


undang;
2. melakukan evaluasi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan
terkait dengan substansi UU;
3. merumuskan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis UU, serta
4. merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah danjangkauan pengaturan,
dan ruang lingkup materi muatan UU.

Downloaded by Novita Putri (novitaptrh@gmail.com)


lOMoARcPSD|26002711

Contohnya adalah RUU tentang Kehutanan diatas. Sesuai dengan permasalahan yang
dikemukakan diatas, maka tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai
berikut:

1. Terwujudnya penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai Kehutanan secara


holistik-terintegrasi, objektif, lebih maslahah, dan berkelanjutan;
2. Tertatanya aturan mengenai pelibatan masyarakat Indonesia dan swasta nasional
dalam usaha konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, sehingga kebijakan
mengenai Kehutanan dapat terlaksana dengan lebih maksimal; dan
3. Optimalisasi pemanfaatan hutan sebagai salah satu sumber daya alam dalam
pengelolaannya harus sejalan dengan sesuai konstitusi. Artinya penyelenggaraan
kehutanan harus mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, keadilan, dan
berkelanjutan.
Untuk penyusunan naskah akademik diperlukan beberapa landasan diantaranya :
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
UU yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Gagasan landasan filosofis adalah
perpaduan dari substansi Bab II dan Bab III terutama landasan filosofis terkait dengan
ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945. Landasan filosofis akan menjadi dasar dalam
menyusun salah satu konsiderans menimbang (unsur filosofis) dalam UU yang
dibentuk.
Keanekaragaman hayati merupakan anugrah dan karunia dari Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Kuasa. Sumber daya alam hayati merupakan sumber daya strategis, penyangga
kehidupan, landasan ketahanan nasional bangsa, serta memiliki beragam nilai penting,
baik nilai konsumsi, nilai produksi, nilai jasa lingkungan, nilai pilihan, maupun nilai
eksistensi yang jika dikelola secara bijaksana, terencana, holistic-terintegrasi dan
berkelanjutan akan memberikan dampak yang sangat besar bagi kualitas hidup manusia
dan alam, menguatkan ketahanan negara, peningkatan devisa negara, serta mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Secara filosofis, Pancasila memberikan bentuk materi muatan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) sebagai
grundgesetz untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut dielaborasikan
dalam pengelolaan sumber daya alam hayati yaitu dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 yang merupakan landasan bagi penguasaan dan pengelolaan sumber daya
alam hayati oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.”

Downloaded by Novita Putri (novitaptrh@gmail.com)


lOMoARcPSD|26002711

Selain itu, karena sumber daya alam hayati merupakan peyangga kehidupan, maka
wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber
dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya
demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Sebab secara ekologis
keanekaragaman hayati berupa makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya berada
dalam hubungan saling ketergantungan dan saling keterkaitan antara satu dengan yang
lainnya sebagai suatu kesatuan ekosistem. Oleh karena itu semua organisme dan
makhluk hidup serta benda-benda abiotis lainnya harus memperoleh martabat yang
sama. Cara pandang ini mengandung makna bahwa dalam upaya konservasi dan
pemanfaatan sumber daya alam hayati dituntut adanya penghormatan, pemenuhan, dan
perlindungan yang sama terhadap hak yang sama untuk hidup dan berkembang yang
tidak hanya berlaku bagi semua makhluk hayati tetapi juga bagi yang non hayati.
2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-
undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang
lebih rendah dari undang-undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah
ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Landasan
yuridis bersumber dari substansi analisa dan evaluasi hukum pada Bab III. Landasan
yuridis akan menjadi dasar dalam menyusun salah satu konsiderans menimbang (unsur
yuridis) dalam UU yang dibentuk.
Berdasarkan hukum, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
penyangga kehidupan dan ketahanan nasional, oleh karena itu kedaulatan dan hak
berdaulatnya harus dijaga. Dalam konteks sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
yang berada di wilayah Indonesia yang menempati posisi silang antara dua benua dan
dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi
alam dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya sebagai tempat
rakyat dan bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam segala aspeknya.
Dengan demikian, wawasan dalam menyelenggarakan konservasi dan pemanfaatan
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus mengacu pada wawasan nusantara,
kebijakan dan kepentingan nasional, kemanfaatan yang selaras dengan alam, dan
pembangunan keberlanjutan yang menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas
wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administrasi. Akan tetapi, sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi dan
pemanfaatannya harus jelas batas wilayah wewenang pemerintah (di antara

Downloaded by Novita Putri (novitaptrh@gmail.com)


lOMoARcPSD|26002711

kementerian dan lembaga), pemerintah daerah – sebagaimana amanat Pasal 18A UUD
NRI Tahun 1945, maupun pelibatan masyarakat dan swasta nasional. Oleh karena itu,
konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus selaras
dengan beberapa perundang-undangan terkait, di antaranya:
1) Undang Undang RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan (Lembaran 147 Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);
4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3556);
5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3656);
6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888);
3. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa UU yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan sosiologis
bersumber dari substansi yang telah diuraikan dalam Bab II. Landasan sosiologis akan
menjadi dasar dalam menyusun salah satu konsiderans menimbang (unsur sosiologis)
dalam UU yang dibentuk.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai sumber daya yang mutlak
dibutuhkan keberadaannya oleh manusia memiliki fungsi sosial, fungsi lingkungan
hidup dan fungsi ekonomi. Terkait dengan keberadaannya yang amat vital bagi
kehidupan manusia maka diperlukan pengaturan yang bertujuan untuk melestarikan
dan melindungi (konservasi) sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, memberi
pemasukan devisa negara, dan menyejahterakan masyarakat sekaligus mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya alam hayati dan pelibatan masyarakat dan swasta nasional
dengan tidak mengabaikan karakteristik dan keberlangsungan hidup ekosistem sebagai
public goods. Selaras dengan itu, tujuan pembangunan adalah mewujudkan suatu

Downloaded by Novita Putri (novitaptrh@gmail.com)


lOMoARcPSD|26002711

masyarakat adil, makmur yang merata materiil spirituil berdasarkan Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945 dalam wadah NKRI. Memperhatikan hal tersebut, landasan
sosial konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam hayati adalah:
a. Penguasaan sumber daya alam hayati oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah
untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di masa sekarang maupun masa yang
akan datang.
b. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dilaksanakan dengan tetap
menjamin sepenuhnya hakhak ekonomi, sosial dan budaya sehingga menunjang upaya-
upaya perwujudan kehidupan masyarakat yang sejahtera secara materil dan spiritual,
dengan menghormati keberadaan wilayah desa, masyarakat di sekitar hutan,
masyarakat adat, masyarakat pesisir, dan pemangku kepentingan lain berikut dengan
hak asal usul yang dimilikinya.
c. Pemanfaatan sumber daya alam hayati dengan tetap menjaga daya dukung
lingkungan serta penetapan wilayah keterwakilan ekosistem di Indonesia, baik di
wilayah pegunungan maupun di wilayah dataran rendah; serta penetapan
perlindungan/pengawetan serta pengendalian pemanfaatan terhadap satwa/ tumbuhan
liar yang menjadi kekayaan Indonesia.
d. Perkembangan pembangunan wilayah yang menimbulkan wilayah administrasi baru
(pemekaran) di kawasan konservasi dan munculnya/meningkatnya berbagai
kepentingan non konservasi di kawasan konservasi.
SUMBER :

• https://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/14776
• https://repository.unair.ac.id/33762/5/5.%20BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf
• https://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/reformasi-birokrasi-Quick-Win-Pedoman-
Penyusunan-Naskah-Akademik-Rancangan-Undang-Undang-1507775513.pdf
• https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20170710-121148-8581.pdf

Downloaded by Novita Putri (novitaptrh@gmail.com)

Anda mungkin juga menyukai