Anda di halaman 1dari 27

1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipotermi
2.2.1 Pengertian

Hipotermi adalah suatu kondisi dimana suhu tubuh manusia turun


dibawah suhu normal 37°C dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-
sel dan organ tubuh, dan jika tidak segera diterapi, dapat
menyebabkan kematian. Hipotermi dapat disebabkan oleh eksposur
terlalu lama pada lingkungan yang dingin, kehilangan cairan dan
kalori, dan beberapa kondisi medis lainnya. Mekanisme yang
mengatur suhu tubuh sebagian besar dikontrol oleh sistem saraf
umpan balik, yang hampir seluruhnya berada pada hipotalamus
sebagai pusat pengaturan suhu. Sistem ini bekerja dengan memantau
suhu tubuh melalui detector suhu, memperhatikan apakah suhu tubuh
terlalu panas atau dingin. Suhu tubuh terus dihasilkan dalam tubuh
sebagai hasil metabolisme dan juga dibuang ke lingkungan melalui
proses pembuangan panas secara berkelanjutan (Guyton 2017).

Hipotermi terjadi akibat obat-obatan general anestesi yang menekan


produksi panas tubuh melalui metabolisme oksidatif. Anestesi spinal
juga dapat mengganggu proses adaptasi dan mekanisme fisiologi yang
terkait dengan termoregulasi. Setiap pasien yang menjalani operasi
berisiko mengalami hipotermi (Harahap, Kadarsah and Oktaliansah,
2018). Hipotermi bisa terjadi karena pengaruh lingkungan seperti
lingkungan yang dingin, basah, atau memiliki suhu yang rendah. Suhu
tubuh normal adalah sekitar 36,6°C dan hipotermi didefinisikan
sebagai suhu tubuh yang lebih rendah dari ini (Majid, Judha &
Istianah, 2019). Hipotermi juga bisa terjadi karena kombinasi efek
dari tindakan anestesi dan operasi yang mengganggu

1
13

mekanisme pengaturan suhu tubuh dan menyebabkan penurunan suhu


inti (Yulianto, 2019).
Hipotermi adalah salah satu masalah yang mungkin muncul setelah
operasi. Hal ini sulit untuk dicegah pada pasien pasca operasi dan
dapat mempengaruhi kenyamanan pasien selama proses pemulihan.
Hipotermi ini disebabkan oleh suhu yang rendah di ruang operasi dan
ICU, serta luka terbuka, aktivitas otot yang membuang gas dingin,
infus cairan dingin, obat-obatan seperti bronkodilator, fenotiasin,
anestesi, usia lanjut, dan neonatus (Black, 2019).
Berdasarkan definisi hipotermi dari beberapa ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa Hipotermi adalah kondisi ketika suhu tubuh turun
di bawah 37°C, yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel dan
organ tubuh dan bahkan kematian jika tidak segera ditangani.
Hipotermi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti eksposur
terlalu lama pada lingkungan yang dingin, kehilangan cairan dan
kalori, serta kondisi medis lainnya. Sistem saraf umpan balik pada
hipotalamus menjadi pusat pengaturan suhu tubuh dan bekerja dengan
memantau suhu tubuh melalui detektor suhu, memperhatikan apakah
suhu tubuh terlalu panas atau dingin. Hipotermi juga dapat terjadi
pada pasien pasca operasi karena suhu rendah di ruang operasi dan
ICU, luka terbuka, infus cairan dingin, dan obat-obatan tertentu, yang
dapat mempengaruhi kenyamanan pasien selama proses pemulihan.
2.2.2 Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2018), hipotermi dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti berikut :
2.1.2.1. Kerusakan pada hipotalamus
2.1.2.2. Berat badan ekstrem, kekurangan lemak subkutan
2.1.2.3. Pemaparan pada suhu lingkungan yang rendah
2.1.2.4. Malnutrisi, pemakaian pakaian yang tipis
2.1.2.5. Penurunan laju metabolisme
14

2.1.2.6. Transfer panas seperti konduksi


2.1.2.7. Konveksi, evapori, dan radiasi, serta efek dari agen
farmakologis.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan hipotermi pada
pasien pembedahan menurut Black (2019) meliputi:
2.1.2.1. Suhu Kamar Operasi
Paparan suhu rendah dalam ruangan operasi dapat
menyebabkan pasien mengalami hipotermi, karena adanya
perbedaan antara suhu permukaan kulit dan suhu lingkungan.
Suhu kamar operasi selalu dipertahankan dingin (20-24°C)
untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.
2.1.2.2. Luasnya Luka Operasi
Kondisi hipotermi dapat dipengaruhi oleh luasnya
pembedahan atau jenis pembedahan besar yang membuka
rongga tubuh, seperti pada operasi ortopedi, toraks, atau
abdomen. Operasi yang berlangsung lama, insisi yang luas,
dan sering membutuhkan cairan untuk membersihkan ruang
peritoneum dikenal sebagai faktor yang dapat menyebabkan
hipotermi.
2.1.2.3. Cairan
Faktor cairan juga berpengaruh terhadap kejadian hipotermi.
Pemberian cairan infus dan irigasi yang berada pada suhu
ruangan dingin dapat menambah penurunan suhu tubuh.
Cairan intravena yang dingin yang masuk ke dalam sirkulasi
darah dapat mempengaruhi suhu inti tubuh dan menyebabkan
hipotermi yang semakin parah bila semakin banyak cairan
dingin yang masuk.
2.1.2.4. Usia
Menurut Harahap (2018), orang tua atau lansia termasuk
dalam golongan usia ekstrem dan memiliki risiko tinggi
untuk mengalami hipotermi selama masa perioperatif. Saat
15

melakukan anestesi umum pada pasien lansia, dapat terjadi


pergeseran ambang termoregulasi dengan tingkat yang lebih
besar dibandingkan dengan pasien muda. Lansia memiliki
faktor risiko yang menempati urutan ke-6 sebagai penyebab
hipotermi perioperatif. Selain lansia, pasien pediatrik, balita,
dan anak juga memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami
komplikasi setelah operasi.
Menurut Ardiansyah (2020) hipotermi pada orang lansia
dapat disebabkan oleh perubahan fungsi kardiovaskular, paru,
dan otot-otot pernapasan, serta perubahan fungsi metabolik.
Perubahan kardiovaskular termasuk kekakuan pada area
dinding arteri, peningkatan tahanan pembuluh darah perifer,
dan penurunan curah jantung. Kekakuan organ paru dan
kelemahan otot-otot pernapasan menyebabkan ventilasi,
difusi, dan oksigenasi tidak efektif. Adanya perubahan fungsi
metabolik seperti peningkatan sensitivitas pada reseptor
insulin periferal dan penurunan respons adrenokortikotropik
juga dapat mempengaruhi memelihara suhu tubuh.
2.1.2.5. Indeks Masa Tubuh
Ukuran tubuh dan Indeks Massa Tubuh (IMT) mempengaruhi
metabolisme dan berdampak pada sistem termoregulasi.
Dalam lingkungan dengan suhu lebih dingin dari suhu tubuh,
manusia harus menghasilkan panas secara internal untuk
mempertahankan suhu tubuh. Proses ini dipicu oleh oksidasi
bahan bakar metabolik dari makan dan lemak sebagai sumber
energi untuk menghasilkan panas (Ganong, 2019). Indeks
massa tubuh dan ukuran tubuh mempengaruhi metabolisme,
menyebabkan perbedaan dalam sumber energi yang
digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh. Orang yang
memiliki cadangan lemak yang lebih banyak akan cenderung
menggunakan cadangan lemak sebagai sumber energi dalam
16

mempertahankan suhu tubuh. Lemak adalah bahan atau


sumber energi yang memiliki bobot energi lebih besar
dibandingkan karbohidrat dan protein, dengan setiap gram
lemak menghasilkan kalori.
2.1.2.6. Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa hipotermi lebih sering terjadi
pada perempuan dan rentan terjadi pada jenis kelamin
tertentu. Berat badan juga mempengaruhi hipotermi, dengan
obesitas memiliki jumlah lemak tubuh yang lebih banyak.
Distribusi lemak tubuh juga berbeda berdasarkan jenis
kelamin, dengan pria cenderung mengalami obesitas viseral
(abdominal).
2.1.2.7. Obat Anastesi
Pada akhir anestesi dengan thiopental, halotan, atau enfluran
kadang-kadang menimbulkan hipotermi sampai menggigil.
Hal itu disebabkan karena efek obat anestesi yang
menyebabkan gangguan termoregulasi (Wiryana, 2017).
2.1.2.8. Lama Operasi
Tindakan pembedahan dan anestesi dapat memiliki pengaruh
besar karena obat anestesi dan konsentrasinya yang tinggi
dalam darah dan jaringan. Ini dapat menyebabkan kelarutan
dan durasi anestesi yang lebih lama. Induksi anestesi juga
menyebabkan vasodilatasi yang mempercepat proses
kehilangan panas tubuh. Produksi dan pengeluaran panas
dikontrol oleh tubuh untuk mempertahankan suhu inti yang
stabil antara 36-37,5°C. Durasi pembedahan yang lama
menyebabkan durasi anestesi juga menjadi lebih lama. Ini
akan menimbulkan akumulasi obat dan agen anestesi dalam
tubuh, meningkatkan pemanjangan penggunaan obat.
Pembedahan yang berlangsung lama juga menambah waktu
terpapar tubuh dengan suhu dingin.
17

2.2.3 Tanda dan Gejala


Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI tahun 2016, gejala dan tanda
hipotermi termasuk:
2.1.3.1. Gejala mayor
a. Kulit terasa dingin saat disentuh
b. Berkeringat atau menggigil
c. Suhu tubuh di bawah nilai normal (<36,5°C)
2.1.3.2. Gejala minor:
a. Kulit pucat pada ujung jari
b. denyut jantung lebih lambat dari normal (120-160
x/menit)
c. Dasar kuku pucat dan sianotik
d. Gula darah rendah
e. Kekurangan oksigen
f. Waktu pengisian kapiler lebih dari 3 detik
g. Konsumsi oksigen meningkat
h. Ventilasi menurun
i. Kemejuan pada bulu mata
j. denyut jantung lebih cepat dari normal
k. Vasokontriksi pada bagian perifer
l. Kulit berubah warna menjadi biru (pada neonatus).
2.2.4 Klasifikasi Hipotermi
2.1.4.1. Hipotermi sedang
Hipotermi Sedang adalah suatu kondisi hipotermi yang
disebabkan oleh lingkungan yang memiliki suhu rendah.
Terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 hari dan ditandai
oleh suhu tubuh antara 32°C-36°C. Pada kondisi ini, pasien
akan mengalami gangguan pernapasan, denyut jantung yang
lambat, malas minum dan mengalami letargi. Kulit pasien
18

akan berwarna tidak merata atau bercak, kemampuan


menghisap yang lemah dan kaki yang dingin saat ditekan.

2.1.4.2. Hipotermi Berat


Hipotermi terjadi pada bayi karena mereka terpapar suhu
lingkungan yang rendah selama waktu yang cukup lama,
kurang dari 2 hari. Tanda-tandanya adalah suhu tubuh y ang
mencapai 32°C atau lebih rendah, dan gejala lain seperti
hipotermi sedang. Kulit bayi akan terasa keras, napasnya
tampak pelan dan dalam, bibir dan kuku akan berwarna
kebiruan. Pernapasan bayi melambat, pola pernapasan tidak
teratur dan suara jantung melambat.
2.1.4.3. Hipotermi dengan Suhu tidak stabil
Gejala ini muncul tanpa adanya paparan suhu dingin atau
panas yang berlebihan, dan suhu tubuh bisa berada dalam
rentang 36-39°C meskipun lingkungan berada pada suhu
yang stabil (Dwienda et al., 2018).
2.2.5 Komplikasi Hipotermi
Hipotermi dapat menyebabkan berbagai masalah pada seluruh sistem
dalam tubuh, seperti peningkatan kebutuhan oksigen, meningkatnya
produksi asam laktat, apneu, penurunan kemampuan pembekuan
darah, dan hipoglikemia. Pada pasien yang dilakukan pembedahan,
hipotermi dapat menurunkan sekresi dan sintesis surfaktan,
meningkatkan mortalitas dan morbiditas, dan membahayakan
kesehatan.
Hipotermi setelah operasi sangat berbahaya bagi pasien karena dapat
menyebabkan peningkatan risiko pendarahan, disritmia jantung,
iskemia miokardium, gangguan penyembuhan luka, risiko infeksi,
menggigil, syok, dan kenyamanan pasien yang berkurang. Pada bayi
prematur, kondisi dingin dapat mengurangi sekresi dan sintesis
19

surfaktan dan meningkatkan mortalitas dan morbiditas (Buggy DJ,


2017).
Hipotermi memiliki dampak yang luas pada seluruh sistem tubuh,
termasuk peningkatan kebutuhan akan oksigen, produksi asam laktat,
apneu, penurunan kemampuan pembekuan darah, dan hipoglikemia.
Efek lain dari hipotermi termasuk menambah produksi
karbondioksida, peningkatan kadar ketokolamin dalam plasma, dan
meningkatnya laju nadi, tekanan darah, dan curah jantung, yang dapat
mengakibatkan kematian. (Harahap, 2018)
2.2.6 Penatalaksanaan
Penanganan hipotermi dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya
hipotermi selama periode operasi dan melakukan terapi setelah operasi
pada pasien yang mengalami fraktur colum femur. Ada dua
pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu non-farmakologi dan
farmakologi. Salah satu tindakan keperawatan yang umum dilakukan
adalah menggunakan blanket warmer. Menurut penelitian
Listiyanawati dan Mutiara Dewi pada tahun 2018 dan Dessy pada
tahun 2019, penggunaan blanket warmer adalah solusi efisien, cepat,
dan aman untuk mengatasi masalah hipotermi setelah operasi. Alat ini
berfungsi untuk menjaga suhu tubuh pasien normal (36°C) dan
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai suhu normal dengan menggunakan blanket warmer adalah
15,9 menit, lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan selimut
biasa yaitu 26,7 menit.
Penggunaan blanket warmer sebagai bentuk penghangatan eksternal
aktif terbukti efektif dalam mempercepat peningkatan suhu tubuh
setelah operasi. Miller (2017) menjelaskan bahwa metode
menghangatkan kembali (rewarming technique) adalah pendekatan
non farmakologis yang terdiri dari 3 bagian yaitu :
2.1.6.1 Penghangatan eksternal pasif
20

Teknik ini dilakukan dengan menyingkirkan baju basah dan


menutupi tubuh pasien dengan selimut atau insulasi lain. Ini
adalah terapi pilihan untuk hipotermi ringan.
2.1.6.2 Penghangatan eksternal aktif
Teknik ini digunakan untuk pasien yang tidak bereaksi
terhadap penghangatan eksternal pasif seperti selimut
penghangat, mandi air hangat, atau lempengan pemanas. Cara
lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan infus
cairan hangat (suhu 39°-40°C) secara intravena dan oksigen.
2.1.6.3 Penghangatan internal aktif.
Ada beberapa metode lain untuk mengatasi hipotermi, seperti
irigasi ruang pleura atau peritoneum, hemodialisis, dan operasi
bypass kardiopulmonal. Selain itu, bilas kandung kemih
dengan cairan NaCl 0,9% hangat, bilas lambung dengan cairan
NaCl 0,9% hangat (suhu 40°-45°C), atau menggunakan tabung
penghangat esophagus juga dapat dilakukan.
2.2 Usia
2.2.1 Definisi Usia
Usia didefinisikan sebagai periode waktu sejak seseorang lahir atau
diciptakan, dan dapat diketahui dengan mengukur kurun waktu secara
kronologis. Dengan menilai usia seseorang, dapat dilihat
perkembangan anatomi dan fisiologinya secara normal. Usia juga
menunjukkan seberapa lama seseorang sudah hidup sejak
kelahirannya atau adanya (Ganong, 2019).
Syamsuhidajat (2019) mendefinisikan usia sebagai masa hidup
individu yang dihitung dari saat kelahiran hingga ulang tahunnya.
Semakin bertambah usia seseorang, maka tingkat kematangan dan
kekuatannya dalam berpikir dan bekerja akan semakin meningkat.
Secara sosial, masyarakat percaya bahwa seseorang yang lebih dewasa
memiliki kepercayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang
21

yang belum mencapai kedewasaannya. Hal ini terkait dengan


pengalaman dan kematangan batin yang dimiliki oleh seseorang.
Usia merujuk pada rentang waktu sejak kelahiran individu hingga
ulang tahun tertentu. Usia merupakan sebuah batasan atau tingkat
ukuran kehidupan yang mempengaruhi kondisi fisik seseorang.
Semakin tua seseorang, maka keputusan yang diambil akan menjadi
lebih bijaksana karena orang tua cenderung lebih hati-hati dan tidak
ingin mengeluarkan uang secara berlebihan karena akan menjadi
beban bagi mereka (Black, 2019).
Berdasarkan uraian diatas usia dapat disimpulkan bahwa Usia
merupakan periode waktu sejak seseorang lahir atau diciptakan, yang
dapat diukur secara kronologis untuk melihat perkembangan anatomi
dan fisiologinya secara normal. Usia juga menunjukkan lama
seseorang hidup sejak kelahirannya. Semakin bertambah usia, tingkat
kematangan dan kekuatan dalam berpikir dan bekerja seseorang akan
meningkat. Secara sosial, masyarakat percaya bahwa seseorang yang
lebih dewasa memiliki kepercayaan yang lebih tinggi karena
pengalaman dan kematangan batin yang dimilikinya. Usia juga
mempengaruhi kondisi fisik seseorang, semakin tua seseorang maka
keputusan yang diambil cenderung lebih bijaksana karena orang tua
lebih hati-hati dan menghindari pengeluaran yang berlebihan.
2.2.2 Klasifikasi Usia
Menurut Depkes (2019), usia dapat diklasifikasikan secara biologis
menjadi beberapa golongan, yaitu:
2.2.2.1 Masa balita (0-5 tahun)
2.2.2.2 Masa kanak-kanak (5-11 tahun)
2.2.2.3 Masa remaja awal (12-16 tahun)
2.2.2.4 Masa remaja akhir (17-25 tahun)
2.2.2.5 Masa dewasa awal (26-35 tahun)
2.2.2.6 Masa dewasa akhir (36-45 tahun)
2.2.2.7 Masa lansia awal (46-55 tahun)
22

2.2.2.8 Masa lansia akhir (56-65 tahun)


2.2.2.9 Masa manula (65 tahun ke atas)
Sedangkan pembagian kategori usia menurut badan Kesehatan dunia
atau WHO dibagi menjadi:
2.2.2.1 Berusia 0 – 17 Tahun adalah Masa Anak – anak dibawah
umur
2.2.2.2 Berusia 18 – 65 Tahun memasuki Masa Pemuda
2.2.2.3 Berusia 66 – 79 Tahun adalah Masa Setengah baya
2.2.2.4 Berusia 80 – 99 Tahun merupakan Orang Tua
2.2.2.5 Berusia 100 Tahun keatas adalah Orang Tua berusia Panjang
2.2.3 Usia Rentan Terjadi Keluhan Hiportemia
Kapasitas fisik seseorang berhubungan langsung dengan usianya,
namun memiliki batas tertentu. Usia 25 tahun merupakan puncak
kapasitas fisik. Setelah usia 50-60 tahun, terjadi penurunan sekitar
25% kekuatan otot dan 60% kemampuan sensoris-motorik. Pada usia
60 tahun, kemampuan kerja fisik seseorang hanya mencapai 50% dari
yang dimiliki pada usia 25 tahun. Fleksibilitas otot dan tulang
belakang juga berkurang seiring bertambahnya usia, yang
mempengaruhi kondisi fisik dan menyebabkan peningkatan keluhan
Low Back Pain. Oleh karena itu, perlu mempertimbangkan pengaruh
usia saat memberikan pekerjaan pada seseorang (Balck, 2014)
2.2.4 Hubungan Usia Terhadap Resiko Terjadinya Hiportemia
Usia sering digunakan sebagai variabel dalam penelitian, karena
mempengaruhi bagaimana sistem tubuh berfungsi. Semakin
bertambahnya usia, fisiologi tubuh juga menurun seperti penurunan
kekuatan otot dan tulang belakang karena tidak lagi elastis seperti
pada usia muda, dan kondisi postur yang buruk yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan dan nyeri punggung bawah (Low
Back Pain). Usia diukur sebagai kurun waktu sejak seseorang ada, dan
dapat diketahui dengan mengukur satuan waktu secara kronologis.
23

Perkembangan anatomi dan fisiologi seseorang dapat diamati melalui


usianya (Buggy, 2016).
2.3 Berat Badan
2.3.1 Pengertian
Berat badan menjadi parameter yang mewakili massa tubuh. Berat
badan menunjukkan hasil peningkatan atau penurunan jaringan tubuh.
Saat ini, pengukuran berat badan menjadi indikator terbaik untuk
mengetahui kondisi gizi karena mudah untuk diamati, tidak memakan
banyak waktu dan bersifat objektif. Saat melakukan pengukuran berat
badan, harus memperhatikan usia seseorang dengan tepat dan juga
melakukan koreksi jika ada edema (Rahayuningtyas, 2017).Berat
badan adalah hasil dari peningkatan atau penurunan seluruh jaringan
tubuh, seperti tulang, otot, lemak, cairan tubuh, dan lain sebagainya.
Berat badan juga mencerminkan jumlah protein, lemak, air, dan
mineral yang terkandung dalam tulang. Perubahan berat badan terjadi
ketika terjadi peningkatan atau penurunan ukuran berat tubuh akibat
konsumsi makanan yang diubah menjadi lemak dan disimpan di
bawah kulit. Peningkatan berat badan disebabkan oleh penimbunan
lemak yang berlebihan di jaringan adiposa di seluruh tubuh. Berat
badan adalah sebuah ukuran untuk menunjukkan massa tubuh
seseorang. Berat badan yang dianggap normal atau ideal adalah ketika
tinggi badan dan berat badan seimbang.
Batasan berat badan normal dewasa ditentukan berdasarkan nilai berat
ideal. Seseorang dianggap memiliki berat badan normal apabila
bentuk tubuhnya tidak terlalu kurus atau gemuk, dan terlihat serasi
antara berat badan dan tinggi badannya. Dalam menjaga kesehatan
tubuh, setiap orang harus memiliki lemak minimal sebanyak 3% dari
berat badan ideal, baik pada pria maupun wanita, yang dikenal sebagai
lemak esensial. Jumlah lemak dalam tubuh yang melebihi 3% dari
berat badan dianggap sebagai timbunan lemak (Buggy, 2016).
24

Kebutuhan air setiap orang dipengaruhi oleh berat badan mereka.


Orang yang memiliki kelebihan berat badan memiliki kadar air tubuh
yang lebih rendah dibandingkan orang yang tidak obesitas karena
kandungan air di dalam sel lemak lebih sedikit dibandingkan
kandungan air di sel otot. Hal ini menyebabkan orang yang obesitas
lebih rentan terhadap kekurangan air dan membutuhkan air lebih
banyak dibandingkan orang yang tidak obesitas. Selain minum air
putih, serat juga membantu menunda pencernaan, mengurangi rasa
lapar, membantu pencernaan dan membantu mengurangi kelebihan
berat badan. (Santoso, 2019).
Beberapa uraian tentang berat badan dapat disimpulkan bahwa berat
badan merupakan parameter yang menggambarkan massa tubuh
seseorang. Pengukuran berat badan digunakan sebagai indikator utama
dalam menentukan kondisi gizi seseorang karena sifatnya yang mudah
diamati, tidak memakan banyak waktu, dan objektif. Berat badan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti konsumsi makanan,
penimbunan lemak, dan cairan tubuh. Berat badan yang dianggap
normal adalah ketika tinggi badan dan berat badan seimbang.
Kebutuhan air setiap orang dipengaruhi oleh berat badan mereka, dan
orang yang memiliki kelebihan berat badan cenderung membutuhkan
air lebih banyak. Selain minum air putih, serat juga dapat membantu
menurunkan berat badan dengan menunda pencernaan dan
mengurangi rasa lapar.
2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan
Beberapa faktor seperti aktivitas fisik dan asupan makanan
mempengaruhi berat badan. Kondisi gizi yang dialami selama masa
kanak-kanak akan mempengaruhi kesehatan di masa dewasa, yang
dapat menyebabkan penyakit degeneratif dan kematian (Domingo et
al, 2017).
2.3.2.1. Faktor Langsung
25

Faktor yang mempengaruhi berat badan secara langsung,


seperti yang dikemukakan oleh Gharib dan Rasheed (2019),
meliputi asupan makan. Pola makan dapat memengaruhi
kenaikan energi masuk ke dalam tubuh dan mempengaruhi
status gizi. Beberapa orang saat ini memiliki pola makan
dengan asupan tinggi karbohidrat dan rendah serat, vitamin,
mineral, bahkan mungkin juga mengkonsumsi makanan tanpa
zat gizi.
2.3.2.2. Faktor tidak Langsung
Berikut adalah faktor yang memengaruhi berat badan secara
tidak langsung menurut (Buggy, 2016) :

a. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik memengaruhi berat badan melalui
peningkatan pengeluaran energi dan kalori oleh otot
(Diyani, 2018). Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan
penumpukan lemak, membuat orang yang kurang
beraktivitas lebih rentan mengalami obesitas (Virgianto
dan Purwaningsih, 2019). Ini menunjukkan bahwa tingkat
aktivitas fisik memainkan peran dalam menentukan berat
badan, terutama karena pola hidup yang tidak aktif, seperti
duduk terus-menerus, menonton televisi, menggunakan
komputer, dan alat teknologi tinggi lainnya. Aktivitas fisik
memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dan mencegah
penyakit.
b. Konsumsi Air Putih
Menambah asupan air dapat mengurangi risiko
peningkatan berat badan dan obesitas jangka panjang. Hal
ini bisa terjadi karena minum air menurunkan asupan
kalori dan mempercepat metabolisme. Saat tubuh
26

kekurangan cairan, ginjal bekerja lebih keras dan membuat


hati kurang efektif dalam memecah lemak, sehingga lemak
cenderung disimpan dan tidak dibakar.
c. Pengetahuan
Pengetahuan tentang gizi memiliki peran penting dalam
membentuk kebiasaan makan seseorang karena ini akan
mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi, sehingga akan mempengaruhi berat badan
seseorang. (Mantarisa, 2019).
d. Genetik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik
memainkan peran dalam timbulnya obesitas. Anak-anak
dari orang tua dengan berat badan normal memiliki
peluang sebesar 10% untuk mengalami obesitas, namun
peluang ini akan meningkat menjadi 40-50% jika salah
satu orang tua menderita obesitas dan mencapai 70-80%
bila kedua orang tua menderita obesitas. (Henuhili, 2019).
Faktor genetik juga dapat mempengaruhi proses
metabolisme.
e. Jenis Kelamin
Obesitas lebih umum terjadi pada wanita. Ini disebabkan
karena jumlah sel lemak per kilogram berat badan lebih
tinggi pada wanita. (Putri, 2019).
f. Infeksi
Infeksi dan demam dapat mempengaruhi nafsu makan,
menyebabkan kesulitan menelan dan mencerna makanan,
dan akibatnya dapat menyebabkan penurunan berat badan.
g. Faktor hormonal
Hormon tidak hanya mengontrol jumlah lemak dalam
tubuh, tetapi juga membantu menjaga kinerja proses fisik
27

sehari-hari. Beberapa hormon dalam tubuh seseorang


mempengaruhi berat badan mereka.
h. Status Ekonomi
Kondisi ekonomi mempengaruhi cara orang memperoleh,
memilih dan membeli makanan. Populasi dengan tingkat
ekonomi yang tinggi lebih memiliki risiko obesitas, karena
mereka memiliki akses dan ketersediaan makanan yang
lebih baik (Septiana, 2018).
i. Psikologis
Gangguan emosional karena tekanan psikologis atau
lingkungan masyarakat yang tidak baik memiliki efek
negatif. Orang yang merasa cemas, sedih, kecewa, atau
tertekan, biasanya cenderung memakan lebih banyak
untuk mengatasi perasaan yang tidak menyenangkan.

2.3.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)


Indeks massa tubuh merupakan salah satu alat atau cara sederhana
untuk memantau status gizi orang dewasa terkait dengan kekurangan
atau kelebihan berat badan. IMT didefinisikan sebagai perbandingan
antara berat badan seseorang dalam kilogram dengan tinggi badannya
dalam meter yang dikuadratkan (kg/m2). Hanya orang yang berusia
antara 18 hingga 70 tahun dengan struktur tubuh yang normal, bukan
atlet atau binaragawan, dan tidak sedang hamil atau menyusui yang
dapat menggunakan rumus ini. Jika tidak memungkinkan untuk
melakukan pengukuran tebal lipatan kulit atau nilai lipatan kulit tidak
tersedia, maka dapat digunakan pengukuran IMT.
Tabel 2.1 Kategori IMT
No Kategori Berat Badan
1 Sangat kurus <17
2 Kurus 17- <18,5
3 Normal 18,5 – 25,0
28

4 Gemuk > 25 -27


5 Obesitas > 27
Sumber (Depkes, 2019)
Indeks Massa Tubuh terdiri dari dua komponen, yaitu tinggi
badan dan berat badan. Saat mengukur tinggi badan, seseorang harus
berdiri tegak lurus tanpa alas kaki, kedua tangan di samping badan,
punggung menempel pada dinding, dan pandangan lurus ke depan.
Lengan harus rileks dan alat pengukur harus diatur sejajar dengan
bagian atas kepala dan harus didukung dengan rambut yang tebal.
Sedangkan untuk mengukur berat badan, seseorang harus berdiri di
atas timbangan berat badan (Olfah, 2019)

2.3.3.1 Faktor yang mempengaruhi IMT


Indeks Massa tubuh setiap orang berbeda- beda.Menurut
Olfah (2019) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Indeks
Massa Tubuh diantaranya
a. Usia
Usia memiliki pengaruh terhadap Indeks Massa Tubuh
karena semakin seseorang bertambah usia, kegiatan
fisiknya cenderung menurun. Kegiatan fisik yang rendah
dapat menyebabkan peningkatan berat badan, yang pada
akhirnya akan mempengaruhi Indeks Massa Tubuh
b. Aktivitas fisik
Aktivitas Fisik merujuk pada gerakan tubuh yang
dihasilkan oleh kontraksi otot. Aktivitas fisik memiliki
hubungan terbalik dengan Indeks Massa Tubuh, di mana
semakin tinggi aktivitas fisik, semakin normal Indeks
Massa Tubuhnya. Sebaliknya, jika aktivitas fisik
29

menurun, maka Indeks Massa Tubuh akan cenderung


meningkat.
c. Jenis Kelamin
Jenis Kelamin dalam IMT Sebagian besar ditemukan
pada laki-laki, sedangkan obesitas lebih tinggi pada
perempuan. Selain itu, distribusi lemak tubuh pada laki-
laki dan perempuan juga berbeda.
d. Pola Makan
Pola makan adalah urutan makanan yang diulang saat
makan, menurut Abramowitz yang dikutip oleh Prada
(2014). Pola makan terkait dengan jenis, proporsi, dan
kombinasi makanan yang dikonsumsi oleh seseorang,
masyarakat, atau kelompok populasi tertentu. Makanan
cepat saji memiliki dampak negatif pada Indeks Massa
Tubuh seseorang, karena mengandung lemak dan gula
yang tinggi. Peningkatan frekuensi dan porsi makan juga
berpengaruh pada Indeks Massa Tubuh. Orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak lebih mudah
mengalami peningkatan berat badan dibandingkan
dengan orang yang mengkonsumsi makanan tinggi
karbohidrat dengan jumlah kalori yang sama.
e. Berat Badan
Berat badan juga dapat memengaruhi kesehatan
seseorang, terutama jika terjadi kelebihan berat badan
atau obesitas. Kondisi ini dapat menyebabkan risiko
terjadinya berbagai penyakit seperti diabetes, hipertensi,
dan penyakit jantung (Ginanjar, 2019). Oleh karena itu,
menjaga berat badan ideal dengan cara menjaga pola
makan yang sehat dan olahraga secara teratur sangat
dianjurkan untuk menjaga kesehatan tubuh dan
mencegah risiko terjadinya penyakit.
30

2.4. Operasi
2.4.1. Definisi
Operasi atau pembedahan adalah tindakan medis yang membutuhkan
invasi untuk membuka atau menampilkan bagian tubuh (LeMone,
2019). Biasanya, ini dilakukan dengan membuat incisi pada bagian
tubuh yang akan diterapi, lalu melakukan perbaikan dan menutup luka
dengan menjahit (Syamsuhidajat, 2018). Operasi dilakukan untuk
menemukan atau mengatasi penyakit, cedera, atau cacat, dan
memperlakukan kondisi yang sulit atau tidak bisa disembuhkan
dengan obat-obatan biasa (Perry, 2018).

Ada tiga faktor kritikal yang berhubungan dengan operasi, yaitu


kondisi pasien, jenis pembedahan, dan pasien sendiri. Dari ketiganya,
operasi dianggap sebagai tindakan yang tepat. Namun bagi pasien,
operasi merupakan pengalaman paling menakutkan yang pernah
mereka alami. Oleh karena itu, sangat penting untuk memasukkan
pasien dalam setiap tahapan persiapan sebelum operasi (Baradero &
Mary, 2019).

Balck (2019) Tindakan operasi atau pembedahan merupakan peristiwa


komplek yang menegangkan, sehingga selain mengalami gangguan
fisik akan memunculkan pula masalah psikologis yang dapat berakibat
pada perubahan fisiologis pasien sebelum menjalani operasi. Dengan
mengetahui berbagai informasi selama operasi maka diharapkan
pasien menjadi lebih siap menghadapi operasi.

Beberapa teori tentang operasi diatas menurut beberapa ahli dapat


disimpulkan bahwa Operasi adalah tindakan medis yang
membutuhkan invasi pada bagian tubuh yang akan diterapi. Tiga
faktor kritikal yang harus dipertimbangkan sebelum operasi dilakukan
adalah kondisi pasien, jenis pembedahan, dan kesiapan pasien itu
sendiri. Meskipun operasi dianggap sebagai tindakan yang tepat untuk
menangani penyakit, cedera, atau cacat, bagi pasien, operasi
31

merupakan pengalaman yang menakutkan dan dapat memunculkan


masalah psikologis yang mempengaruhi perubahan fisiologis pasien
sebelum menjalani operasi. Oleh karena itu, penting untuk
memberikan informasi yang cukup dan melibatkan pasien dalam
persiapan sebelum operasi agar mereka lebih siap menghadapi
operasi.
2.4.2. Indikasi
Ada beberapa alasan untuk melakukan tindakan operasi, antara lain :
2.4.2.1. Diagnostik, melalui biopsi atau laparotomy eksplorasi;
2.4.2.2. Kuratif, seperti mengatasi tumor atau memperbaiki apendiks
yang mengalami inflamasi; reparatif, untuk memperbaiki luka
multipel;
2.4.2.3. Rekontruksi/kosmetik, seperti mammaoplasty atau bedah
plastik; dan
2.4.2.4. Palliatif, seperti mengatasi nyeri atau memperbaiki masalah
seperti ketidakmampuan menelan makanan dengan
memasang selang gastrotomi. (Baradero, 2019)
2.4.3 Kontraindikasi Operasi
2.4.3.1 Syok
2.4.3.2 Anemia Berat
2.4.3.3 Infeksi Progenik
2.4.4. Klasifikasi Operasi
Tindakan pembedahan dapat diklasifikasikan berdasarkan urgensinya
menjadi 3 tingkatan (Effendy, dkk 2019)
2.4.4.1. Kedaruratan/Emergency
Tindakan pembedahan yang dikategorikan sebagai
kedaruratan atau emergency membutuhkan perhatian dan
tindakan yang cepat karena mengancam jiwa pasien.
Beberapa contoh indikasi pembedahan dalam kondisi ini
adalah pendarahan yang hebat, obstruksi pada sistem
32

pencernaan, fraktur tulang kepala, luka tembak atau tusuk,


atau luka bakar yang sangat luas.
2.4.4.2. Urgent
Tindakan pembedahan dalam kategori urgen harus dilakukan
segera, namun tidak terlalu darurat dan bisa ditunda dalam
jangka waktu 24-30 jam. Contohnya adalah infeksi akut pada
saluran kandung kemih dan batu pada ginjal atau uretra.
Pembedahan yang memerlukan perencanaan dan dapat
dilakukan dalam beberapa minggu atau bulan seperti
hiperplasia prostat tanpa obstruksi kandung kemih, gangguan
tiroid, dan katarak.
2.4.4.3. Efektif
Operasi harus dilakukan jika diperlukan. Beberapa contoh
indikasi pembedahan yang tidak terlalu membahayakan jika
tidak dilakukan, seperti perbaikan sesar, hernia sederhana,
dan perbaikan vagina. Pasien memiliki hak untuk
memutuskan apakah akan menjalani pembedahan atau tidak.
Pembedahan yang melibatkan estetika adalah pilihan pribadi
dan biasanya tidak membahayakan kesehatan. Contohnya
adalah bedah kosmetik.
Menurut faktor resikonya, operasi dapat diklasifikasikan sebagai besar
atau kecil, tergantung pada keseriusan dari penyakit, maka bagian
tubuh yang terkena, kerumitan pengoperasian, dan waktu pemulihan
yang diharapkan (Virginia, 2019).
2.4.3.1. Operasi kecil adalah tindakan medis yang dilakukan dengan
cara rawat jalan dan pasien bisa pulang pada hari yang sama.
Ini memiliki risiko komplikasi yang sedikit
2.4.3.2. Operasi besar adalah tindakan medis yang memasuki dan
mengungkapkan rongga tubuh, termasuk tengkorak, dan
termasuk pembedahan tulang atau kerusakan signifikan pada
anatomi atau fungsi tubuh.
33

Operasi besar termasuk operasi pada bagian kepala, leher,


dada, dan perut. Proses penyembuhan bisa berlangsung lama
dan mungkin membutuhkan perawatan intensif selama
beberapa hari di rumah sakit. Operasi ini memiliki risiko
komplikasi yang lebih tinggi setelah pembedahan. Operasi
besar sering mencakup salah satu dari rongga utama tubuh
seperti perut (laparotomy), dada (thoracotomy), atau
tengkorak (craniotomy) dan mungkin juga melibatkan organ
vital. Operasi ini biasanya dilakukan di rumah sakit dengan
anastesi umum oleh tim dokter. Setelah operasi, pasien
biasanya harus menjalani perawatan satu malam di rumah
sakit.
Operasi besar memiliki risiko potensial terhadap kesehatan
pasien, termasuk risiko kematian, atau cacat parah jika terjadi
kesalahan dalam tindakan medis. Dalam prosedur operasi
besar, dapat terjadi perubahan signifikan pada anatomi yang
terlibat, seperti penghilangan organ atau pemasangan sendi
dengan komponen buatan. Setiap penetrasi dalam rongga
tubuh dianggap sebagai operasi besar, seperti pembedahan
tulang yang ekstensif pada kaki. Bedah syaraf biasanya
dianggap sebagai operasi besar karena risikonya terhadap
pasien Contoh utama dari operasi besar meliputi penggantian
lutut, operasi kardiovaskular, dan transplantasi organ.
Prosedur ini pasti memiliki risiko bagi pasien seperti infeksi,
pendarahan, atau komplikasi lain yang dapat menyebabkan
kematian. Oleh karena itu, anastesi umum biasanya
digunakan dalam prosedur ini.
Aswari (2019) mengemukakan Persiapan yang dilakukan sebelum
pasien menjalani operasi antara lain:
2.4.3.1. Persiapan Mental
34

Pasien yang akan menjalani operasi seringkali merasakan


kecemasan dan ketakutan. Kebanyakan kali, emosi ini tidak
terlihat jelas, tetapi dapat muncul melalui tindakan dan
perilaku seperti bertanya secara berulang-ulang meskipun
sudah diterima jawaban, tidak mau berbicara dan
memperhatikan lingkungan sekitarnya, atau mengalihkan
perhatian dengan membaca buku. Namun, ada juga kalanya
pasien tersebut cenderung gelisah dan bergerak tidak berhenti
atau sulit untuk tidur.

Pasien seharusnya diberikan informasi bahwa mereka tidak


akan merasa sakit selama operasi karena ahli bedah anestesi
akan bersama mereka dan menjaga agar mereka tidak merasa
sakit. Perlu diterangkan bahwa selama operasi besar, transfusi
darah mungkin diperlukan untuk menggantikan darah yang
hilang selama operasi dan transfusi darah tidak menunjukkan
bahwa kondisi pasien sangat buruk. Proses operasi harus juga
diterangkan, mulai dari membawa pasien ke ruang operasi
dan menempatkan mereka di meja operasi di bawah lampu
yang sangat terang agar dokter dapat melihat dengan jelas.
Pasien harus juga diberitahu bahwa sebelum operasi dimulai,
mereka akan diberikan anastesi umum, lumbal, atau lokal.
Menurut (Depkes, 2019) Kategori lama operasi meliputi:
a. <1 jam (cepat)
b. 1-2 jam (sedang)
c. >2 jam (lama)
2.4.3.2. Persiapan fisik
a. Makanan
Pasien yang akan menjalani operasi harus mengonsumsi
makan yang rendah lemak dan tinggi karbohidrat,
protein, vitamin, dan kalori. Pasien harus berpuasa
selama 12-18 jam sebelum operasi dimulai.
35

b. Lavemen/Klisma
Klisma dilakukan untuk membersihkan usus besar
sebelum operasi sehingga tidak ada feses yang terbuang
saat operasi berlangsung.
c. Kebersihan mulut
Menjaga mulut bersih dan menyikat gigi dapat mencegah
terjadinya infeksi, khususnya pada paru-paru dan kelenjar
ludah.
d. Mandi
Sebelum operasi, pasien harus dalam keadaan bersih dan
harus menjaga kesehatan kuku. Hal ini dilakukan dengan
cara mandi atau dimandikan dan menghilangkan cat kuku,
agar ahli bius dapat melakukan pemeriksaan dengan jelas.
e. Daerah yang Akan dioperasi
Luas daerah yang harus dicukur pada pasien sebelum
operasi bergantung pada jenis operasi yang akan
dilakukan.
f. Sebelum masuk kamar bedah
Sebelum operasi, beberapa tindakan harus dilakukan untuk
mempersiapkan pasien secara fisik. Ini meliputi
pengukuran suhu, tensi, nadi, dan pernapasan. Jika pasien
sedang mengalami demam atau penyakit lain atau sedang
menstruasi, operasi bisa ditunda oleh dokter bedah atau
dokter anastesi. Pasien harus datang tepat waktu pada hari
operasi dan tidak terlalu cepat atau terlalu lama di ruang
tunggu, karena ini bisa menyebabkan kecemasan.
2.5. Kerangka Teori

Usia Berat Badan Lama Operasi


Faktor yang
1. Balita (0-5 Thn) 1. Sangat kurus : <17 1. <1 jam (cepat)
mempengaruhi
2. Kanak-Kanak (5-11 Thn) 2. Kurus : 17- <18,5 2. 1-2 jam
hipotermi
3. Remaja Awal (12-16 Thn) 3. Normal: 18,5 – (sedang)
1. Usia 4. Remaja Akhir (17-25 Thn) 25,0 3. >2 jam (lama)
2. BB 5. Dewasa Awal (26-35 Thn) (Depkes, 2019)
3. Lama Operasi 4. Gemuk: > 25 -27
6. Dewasa Akhir (36-45 Thn)
7. Lansia Awal (46-55 Thn) 5. Obesitas: > 27
4. Suhu 8. Lansia Akhir (56-65 Thn) (Depkes, 2019)
kamar operasi 9. Manula (65 Thn Ke Atas)
5. Luasnya (Depkes, 2019)
luka operasi
36

Keterangan:
: Di teliti
: Tidak di teliti

2.6. Kerangka Konsep


Kerangka konseptual dari penelitian ini dibuat untuk mempertemukan
tiga variabel yang akan dikaji. Berikut adalah kerangka konseptual dalam
penelitian ini:

Independentt Dependentt
1. Usia Hipotermi
2.7. Hipotesis
2. BB
3. Ada
2.7.1. Lamahubungan
Operasi usia, berat badan dan lama operasi terhadap kejadian
hipotermi post operasi
37

Anda mungkin juga menyukai