Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No.

1 2021
Homepage: https://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/

Perlambatan migrasi sirkuler: Penilaian terhadap perubahan pola


migrasi sirkuler di pedesaan Jawa

The deceleration of circular migration: Assessment of change in


the pattern of circular migration in Rural Java

Agung Wicaksono1 dan Ardana Kusumawanto2

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada


*
Korespondensi penulis: agungwicaksono1987@ugm.ac.id

ABSTRACT
Circular migration has become a well-established institution for rural dwellers in Java. For farmers or
unskilled rural workers, informal sectors, construction, or small trade in urban areas provides an adequate working
opportunity and, at the same time, a relatively higher wage compared to the agricultural sector. It is frequently
argued that migration could reduce poverty in rural areas. Although many harsh critics had been addressed to
such arguments, there was relatively little attention given to the dynamics of circular migration itself, as most
studies tend to argue that these activities are a constant phenomenon. Based on a comparative survey conducted
in Tegal Nduwur Village in 2010 and 2020, this study finds that the rate of circular migration among farmers has
significantly decreased. Better market opportunities and deindustrialisation, combined with a shifting development
paradigm toward decentralisation since 1999, have gradually improved the village’s infrastructure. Under such
conditions, the agroecosystem has been transformed from a slow to a fast one. The fast agroecosystem has yielded
a more promising outcome for farmers’ household economy and absorbed many labor forces, i.e., people who
previously migrated to various cities. This condition has decelerated the circular migration flows.

Keywords: infrastructure, circular migration, decentralisation, fast agroecosystem, deceleration of migration

ABSTRAK
Migrasi sirkuler telah menjadi institusi yang mapan di daerah pedesaan di Pulau Jawa. Bagi para petani atau
penduduk desa yang tidak memiliki keterampilan memadai, sektor informal, konstruksi, dan perdagangan skala
kecil di wilayah perkotaan dianggap mampu menyediakan peluang kerja yang melimpah sekaligus tingkat upah
yang jauh lebih tinggi. Sering kali dinyatakan bahwa migrasi dapat mengurangi kemiskinan di daerah perdesaan.
Meski telah banyak studi yang mengkritik secara tajam dalil tersebut, tetapi gugatan yang diajukan memiliki satu
kelemahan mendasar sebab migrasi sirkuler ke daerah perkotaan dianggap sebagai suatu realitas yang konstan.
Berbasis pada data survei komparatif pada tahun 2010 dan 2020 di Desa Tegal Nduwur, studi ini menunjukkan
bahwa tingkat migrasi sirkuler pada kalangan petani menurun dengan cepat. Peluang pasar yang lebih baik dan
deindustrialisasi, yang dikombinasikan dengan pergeseran paradigma pembangunan menuju desentralisasi sejak
1999, secara perlahan menyediakan infrastruktur yang lebih baik. Kondisi ini membantu mengubah agroekosistem,
dari yang lambat ke cepat. Kehadiran agroekosistem cepat tidak hanya menghasilkan penghasilan yang lebih baik,
tetapi juga menyerap sebagian besar tenaga kerja yang sebelumnya bermigrasi sirkuler. Hal ini memperlambat
arus migrasi sirkuler.

Kata kunci: infrastruktur, migrasi sirkuler, desentralisasi, agroekosistem cepat, perlambatan migrasi.

DOI: 10.14203/jki.v16i1.428 39
Naskah masuk: 12 Oktober 2020 Revisi akhir: 15 Maret 2021 Naskah diterima: 1 April 2021
ISSN 1907-2902 (Print) | e-ISSN 2502-8537 (online) | © 2021 The Author(s). Published by LIPI Press. This is an open access
article under the CC BY-NC-SA license (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0).
Agung Wicaksono & Ardana Kusumawanto

PENDAHULUAN masa jeda antara masa tanam dan panen. Sebagian


lagi, terutama pada rumah tangga yang memiliki
Tegal Nduwur, dari Zaman Miskin ke surplus tenaga kerja, memilih untuk bekerja
Makmur kontrak dalam waktu yang lebih lama. Dalam
jumlah kecil, sebagian perempuan juga bekerja
Desa Tegal Nduwur terletak di Kecamatan Bambu
ke kota untuk menjadi asisten rumah tangga. Pada
Kuning dan berada pada ketinggian 1.522 mdpl.
2010, lebih dari setengah penduduk dewasa Tegal
Sebagaimana dataran tinggi dengan ketinggian
Nduwur telah atau sedang bermigrasi.
di atas 1.000 mdpl, jagung yang dikombinasikan
dengan umbi-umbian menjadi makanan utama Pada Idul Fitri 2010, penulis menyempatkan
penduduk. Dahulu, jagung ditanam dengan sistem diri untuk merayakannya di Tegal Nduwur. Penu-
non-intensif yang secara lokal dikenal sebagai lis menyaksikan bagaimana selepas sholat Ied
sistem bedogan. Dalam sistem ini, lahan yang dan halalbihalal singkat, banyak laki-laki paruh
telah dibuka dibersihkan dengan kayul, lembar baya langsung berangkat ke Jakarta Utara untuk
logam yang diberi tangkai mendatar dan diguna­ berjualan Es Cincau. Lebaran adalah kesempatan
kan dengan cara disusupkan ke lapisan tanah terbesar untuk meraup penghasilan karena seba-
atas untuk memotong akar rumput. Permukaan gian besar warga Jakarta akan membelanjakan
lahan yang sudah bersih dari rumput kemudian tabungan mereka pada libur panjang. Hingga ta-
ditugal dan diisi bibit jagung serta dibiarkan hun 2010, migrasi sirkuler ke Jakarta merupakan
tum­buh alami (Wicaksono, 2011). Akibatnya, aktivitas yang lazim, baik untuk berjualan cincau
produktivitas pertanian sangatlah rendah sebab maupun masuk ke berbagai sektor lain seperti
setiap hektar lahan hanya menghasilkan sekitar konstruksi, perdagangan skala kecil, maupun
5 kuintal gabah jagung, yang dipanen sekali sektor informal lainnya. Selain Jakarta, mereka
dalam setahun. Masa ini mereka kenal sebagai juga bermigrasi ke kantong-kantong perkebunan
zaman nyara atau sengsara karena hasil panen di Jawa, utamanya menjadi buruh tebang tebu
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan ketika musim panen tiba.
rumah tangga (Wicaksono, 2011). Hingga 2010, migrasi sirkuler ke wilayah
Pada tahun1980-an, revolusi hijau yang ber- perkotaan merupakan salah satu jalan utama
langsung agak lambat di dataran tinggi mengubah untuk memperoleh tambahan penghasilan rumah
produktivitas pertanian. Dengan penggunaan tangga. Migrasi sirkuler tidak hanya menjadi
bibit unggul, jagung dapat ditanam dua kali da­ strategi untuk memperoleh uang tunai, tetapi
lam setahun. Sementara itu, penggunaan pupuk juga untuk mengalirkan surplus tenaga kerja
juga telah meningkatkan produktivitas pertanian ketika masa jeda pertanian. Migrasi sirkuler ke
hingga nyaris dua kali lipat. Meski mereka sudah perkotaan nyaris menjadi aktivitas yang tidak
tidak lagi kekurangan pangan, kondisi ekonomi bisa dihindari. “La priwe maning mas, mbarang
rumah tangga belum bisa dikatakan mapan karena langka gawean ning umah [mau bagaimana lagi
terbatasnya penghasilan tunai. Zaman nyara atau Mas, kenyataannya tersedia sedikit sekali peker-
sengsara telah berlalu, namun zaman makmur jaan di desa]” kata Kang Musta kepada penulis
juga belum direngkuh. pada tahun 2010. Ketika melakukan riset di Tegal
Desakan untuk memperoleh uang tunai Nduwur pada Januari 2020, penulis tercengang
men­dorong sebagian penduduk Tegal Nduwur dengan ucapan Kang Musta, “siki nana wong
untuk bekerja di luar daerah. Pada tahun 1980-an, ngrantau Mas, kabeh balik maning kerja ning
mereka mulai bermigrasi ke wilayah Dieng dan ndesa [sekarang tidak ada orang merantau Mas,
Batur, wilayah dengan kebutuhan tenaga kerja semua kembali ke desa dan bekerja disini].”
untuk sektor pertanian intensif yang tinggi. Pada Banyak orang mungkin menyatakan bahwa
dekade berikutnya, generasi yang lebih muda fenomena yang saat ini berlangsung di Tegal
mulai bermigrasi ke wilayah perkotaan dan Nduwur ini nampak sebagai anomali, karena
memasuki sektor informal terutama perdagangan umumnya ada anggapan bahwa intensitas migrasi
kecil dan konstruksi. Sebagian bermigrasi selama sirkuler dan urbanisasi semakin meningkat. Kasus

40
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Perlambatan migrasi sirkuler:
Penilaian terhadap perubahan pola migrasi sirkuler di pedesaan Jawa Barat

dari Tegal Nduwur menunjukkan kondisi yang dari Desa Tegal Nduwur yang dianalisis. Data
bertolak belakang sebab aliran tenaga kerja ke kualitatif dan kuantitatif ditelaah secara hati-hati
perkotaan justru melambat. Fakta empiris tersebut untuk melihat perubahan pola migrasi pada 2010
menuntun studi ini mengajukan satu pertanyaan dan 2020.
mendasar yaitu mengapa laju migrasi sirkuler
penduduk Tegal Nduwur ke perkotaan menurun HASIL DAN PEMBAHASAN
drastis? Dengan menyandingkan data mengenai
sejarah migrasi pada tingkat desa (mikro) dan Migrasi Sirkuler dan Pasang Surut
perubahan politik ekonomi yang berlangsung di
Pembangunan Perdesaan
tingkat regional (makro), studi ini ­berargumen
bahwa dalam derajat tertentu, perlambatan Pada tahun 1950-an, penduduk yang menetap
migrasi dari wilayah perdesaan ke perkotaan di perkotaan Asia Tenggara berkisar pada angka
bu­kanlah sekedar pencilan atau outlier, tetapi 14%. Pada tahun 1975 dan 2000, jumlah tersebut
menggambarkan perubahan sosial ekonomi yang meningkat menjadi 22% dan 37%, dan diproyeksi­
berlangsung di perdesaan jawa pasca berakhirnya kan mencapai 53% pada 2025 (Jones, 2002).
rezim yang sentralistik. Proses yang lazim disebut sebagai urbanisasi ini
terkait erat dengan gagasan ekonom neoklasik
mengenai tumbuhnya ekonomi modern yang
METODE
berlangsung seiring dengan transisi dari p­ ertanian
Desa Tegal Nduwur yang terletak di Kecamatan ke industri (Lewis, 1954). Namun, proses pertum­
Bambu Petung, Kabupaten Pekalongan, meru- buhan sektor industri tidaklah berlangsung secara
pakan lokus dari studi ini. Desa ini berada pada merata di semua negara, contohnya di Indonesia.
ketinggian sekitar 1500 mdpl sehingga dapat Sebagaimana diungkapkan oleh Gordon (1982),
dikategorikan sebagai wilayah dataran tinggi. mode produksi kolonial mungkin telah mengham-
Secara metodologis, data etnografis dan data bat tumbuhnya sektor industri berbasis manufak-
kuantitatif digunakan sebagai dasar untuk mem- tur. Perkiraan Gordon tersebut bukanlah isapan
bangun tulisan ini. Sebagian besar data etnografis jempol semata karena data empiris yang disajikan
dikumpulkan selama penelitian terdahulu, yang oleh White (1991) menunjukkan bahwa hingga
dilakukan pada tahun 2009‒2010 selama kurang menjelang kemerdekaan, sebagian besar sektor
lebih 12 bulan. Selama periode tersebut, sebagian ini diisi oleh industri skala kecil dan rumahan.
besar waktu peneliti utama dialokasikan untuk Pasca-kemerdekaan, turbulensi politik eko-
melakukan partisipasi observasi di Desa Tegal nomi yang datang bertubi-tubi pada dekade 1950-
Nduwur. Pada periode tersebut, pengumpulan an dan 1960-an (Booth, 2016) menghadirkan
data kuantitatif pada rumah tangga petani juga halangan besar bagi tumbuhnya sektor industri
dilakukan, terutama terkait dengan kepemilikan yang mapan. Pada dekade 1960-an, pergerakan
tanah, ternak, riwayat migrasi, jenis tanaman, dan tenaga kerja yang lazim berlangsung bukanlah
jumlah anggota rumah tangga. dari desa ke kota, tetapi antarwilayah (McNicoll,
Pada bulan Januari dan Februari tahun 2020, 1968). Kondisi yang membuat Indonesia dilabeli
peneliti utama yang kali ini dibantu asisten pe­ dengan ekonomi suram ini mulai luntur seiring
ne­liti melakukan penelitian survei di 4 desa di dengan kemampuan pemerintah menekan inflasi,
Kecamatan Bambu Kuning, termasuk Desa Tegal penyediaan kebijakan pro-investasi, dan ledakan
Nduwur. Secara total, ada 400 responden yang harga minyak (Booth, 2016). Hasilnya adalah
diwawancarai. Enumerator adalah mahasiswa pertumbuhan output industri yang pesat dari
sarjana yang berjumlah 10 orang. Di tiap desa, 13,3% pada 1971 menjadi 33,8% pada 1995
100 responden dipilih secara purposive random (Booth, 2016, 66‒67). Tingginya tingkat ekonomi
sampling. Responden diutamakan berasal dari terutama di wilayah urban tidak hanya memicu
dusun induk dan, jika belum memenuhi jumlah urbanisasi, tetapi juga migrasi sirkuler.
yang dibutuhkan, responden diambil dari dusun-
Migrasi sirkuler didefinisikan sebagai per­ge­
dusun berikutnya. Pada tulisan ini, hanya data
rakan sistematis dan reguler dari migran antara

41
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Agung Wicaksono & Ardana Kusumawanto

negara asal dan luar negeri, terutama untuk bekerja Beragam studi tersebut memberikan pema­
(Constant & Zimmerman, 2011). Secara lebih haman komprehensif atas berbagai isu yang
jeli, Hugo (2009) menyatakan bahwa m ­ igrasi me­­­le­kat pada migrasi sirkuler. Namun, keduanya
sirkuler juga dapat berlangsung dalam batas terjebak pada lubang yang sama karena c­ enderung
geo­grafis suatu negara. Ia mendefinisikan migrasi melihat migrasi sirkuler sebagai peristiwa sosial
sirkuler tipe ini sebagai merantau, atau tinggal yang berlangsung konstan. Kalaupun ada pasang
dalam jangka waktu tertentu di luar wilayah surut, hal ini ditempatkan sebagai outlier atau
untuk bekerja (Hugo, 1977). Dalam aktivitas ­pencilan semata berdasarkan asumsi bahwa dalam
ini, masing-masing aktor memiliki latar belakang konteks domestik, wilayah perkotaan senantiasa
dan tujuan yang berbeda. Bagi para tuna kisma, menyediakan peluang kerja yang lebih baik, baik
migrasi sirkuler ditujukan untuk menyambung secara kualitas maupun kuantitas, sehingga tenaga
hidup ketika pekerjaan pertanian sangat terbatas kerja dari perdesaan terus mengalir ke wilayah
setelah masa tanam dan sebelum panen berlang- ini. Ada dua kelemahan mendasar dari gagasan
sung. Pada desa-desa dengan surplus tenaga kerja yang demikian. Pertama, kondisi politik eko-
yang tinggi, mereka bahkan bermigrasi sirkuler nomi suatu negara senantiasa mengalami o­ skilasi
secara lebih lama (Hugo, 1977). Sebagian petani ­bahkan kadangkala mencapai krisis. Ketika kri­sis
pemilik tanah juga melakukan migrasi sirkuler menyapu, baik urbanisasi maupun migrasi sir­
dengan tujuan untuk mengalirkan tenaga kerja ku­­ler tidak hanya mengalami kontraksi, tetapi
produktif ke luar sektor pertanian (Hetler, 1989). bahkan mengalir melalui arah yang berlawanan,
Selain latar belakang ekonomi, politik, umur, dari perkotaan ke perdesaan (Mizuno, 2016).
gender dan aspirasi dari para migran, berbagai Dalam konteks terkini, pandemi Covid-19 telah
studi mengenai migrasi sirkuler seringkali me­ menghasilkan kondisi serupa (Srivastava, 2020).
ni­tik­beratkan pada aspek positif atau negatif Kembali ke kasus Indonesia, krisis ekonomi yang
aktivitas ini. Sebagian membahas efek positif berlangsung pada 1998 adalah contoh yang tepat
dan negatif secara bersamaan (Hugo, 2009), (Mizuno, 2016). Kedua, gagasan yang demikian
se­mentara sebagian lagi membahasnya secara juga cenderung pro status quo karena mengang-
terpisah. Mereka yang menitikberatkan pada sisi gap bahwa daerah pinggiran senantiasa miskin
positif dan optimistik menyatakan bahwa migrasi dan kurang sumber daya. Alih-alih melihatnya
sirkuler mampu mengurangi kemiskinan dan sebagai sesuatu yang tercipta secara alamiah,
berkontribusi positif terhadap ekonomi rumah kemiskinan perdesaan juga harus dilihat dalam
tangga (Hugo, 1977; Hetler 1989), mendorong kaitannya dengan struktur politik ekonomi yang
kosmopolitanisme perdesaan (Gidwani & Sivara- sentralistik, khususnya selama Orde Baru (1966-
makrishnan, 2003), dan dalam kasus antarnegara, 1998). Dalam pandangan Syaukani dkk. (2016),
menghindari brain drain serta menghasilkan win- sistem sentralistik cenderung mengutamakan
win wsituation, suatu kondisi yang memberikan pusat sehingga wilayah pinggiran yang hanya
manfaat bagi negara pengirim, negara penerima, menerima sedikit manfaat (Semedi, 2006).
dan migran itu sendiri (Vertovec, 2007; Zim- Runtuhnya Orde Baru diikuti oleh dua hal
mermann, 2014). Meski tidak mutlak, ini juga yang membantu merekonfigurasi migrasi sirkuler.
berkontribusi terhadap pembangunan (Skeldon, Pertama, proses deindustrialisasi. Kondisi ini
2013). Di sisi lain, mereka yang melihat migrasi membuat wilayah perkotaan tidak menyediakan
sirkuler secara kritis menyatakan bahwa aktivitas lapangan kerja dalam jumlah besar karena pada
ini justru menghasilkan kerugian ganda bagi para derajat tertentu, penggerak roda ekonomi nasional
pelakunya (Moniruzzaman & Walton-Roberts, justru wilayah pinggiran melalui budi daya ta­
2018), posisi yang senantiasa ambivalen dan nam­an komoditas (Mizuno, 2016). Kedua, transisi
insecure (Triandafyllidou, 2013), atau bahkan kebijakan desentralistik yang berlangsung secara
memperburuk kondisi di wilayah asal (Makhrova bertahap, dimulai dari otonomi daerah (Syaukani
dkk., 2016). Meski demikian, ada pula studi yang dkk., 2016) hingga otonomi desa (Antlöv dkk.,
melihat migrasi sirkuler dalam perspektif yang 2016). Dikeluarkannya UU Desa No. 6 Tahun
lebih realistis (Wickramasekara, 2011). 2014 memungkinkan desa untuk memperoleh

42
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Perlambatan migrasi sirkuler:
Penilaian terhadap perubahan pola migrasi sirkuler di pedesaan Jawa Barat

dana kerja kurang lebih satu milyar per tahun. Meluasnya agroekosistem cepat dengan
Dengan ketersediaan sumber dana rutin dalam budi­daya intensif nan spekulatif tidak hanya ber­
jumlah cukup besar setiap tahunnya, pembiayaan langsung di Tegal Nduwur, namun juga menyapu
berbagai proyek, baik infrastruktur, kelembagaan, sebagian besar wilayah frontier Indonesia melalui
maupun pemberdayaan menjadi semakin fisibel kelapa sawit dan berbagai tanaman komoditas
untuk dijalankan. lain (Hidayat dkk., 2018; Petrenko dkk., 2016;
Di Tegal Nduwur, sebagian dana desa dialoka- Semedi, 2014; Li, 2014). Selain magnitude dan
sikan untuk membangun jalan tani. Meski nampak jenis komoditas yang ditanam, apa yang mem-
sederhana, pembangunan infrastruktur pertanian bedakan Tegal Nduwur dengan wilayah frontier
ini mampu merangsang perubahan agroekosistem tersebut adalah peran negara dan sumber tenaga
secara cepat. Santoso (2015) menge­lompokkan kerja. Di wilayah frontier, peran negara dalam
karakter agroekosistem ke dalam tiga kategori, menggerakkan transformasi tidaklah begitu
yaitu (i) agroekosistem lambat; (ii) agroeko- signi­fikan sementara budidaya dilakukan dengan
sistem sedang; dan (iii) agroekosistem cepat. memanfaatkan tenaga kerja yang dioperasikan
Agroekosistem lambat di­cirikan oleh kondisi untuk menjalankan budidaya didatangkan dari
ekologis rentan, tidak dikelola secara intensif, supra desa, terutama transmigran. Di Tegal
dan umumnya hanya ditujukan untuk memenuhi Nduwur, meski insentif pasar cukup besar, namun
kebutuhan subsisten. Pertanian lahan kering dan peran negara juga tidak kalah besar. Sementara
ladang mewakili tipe ini. Agroekosistem sedang dari sisi tenaga kerja, budidaya intensif yang
dicirikan oleh kondisi ekologis yang stabil, menghasilkan agroekosistem cepat dipenuhi dari
­di­kelola dengan cukup i­ntensif, dan berproduksi tenaga kerja domestik (Santoso, 2015). Penggu-
untuk memenuhi ­kebutuhan subsisten sekaligus naan tenaga kerja domestik untuk mendukung
pasar. Sawah mewakili tipe ini. Kategori ketiga agroekosistem cepat inilah yang mengerem
adalah agroekosistem cepat, yang dicirikan oleh laju migrasi sirkuler. Apalagi saat ini, wilayah
kondisi ekologis rentan, namun dikelola den- perdesaan memungkinkan generasi muda untuk
gan sangat intensif dan spekulatif, sementara seek out and enact a rural modern lifestyle –
produknya ditujukan untuk kebutuhan pasar baik menemukan dan menjalankan gaya hidup modern
domestik maupun ekspor (Santoso, 2015). perdesaan (White, 2020, 116).

Artikel ini berargumen bahwa insentif pa­sar Lanskap Pertanian dan Migrasi Sirkuler
yang semakin besar dengan naiknya harga komo-
Petani Tegal Nduwur pada 2010
ditas sayuran, dikombinasikan ­deng­an kebijakan
desentralisasi yang memudahkan pem­bangunan Hingga tahun 2010, pertanian padat modal dan
infrastruktur perdesaan seperti jalan tani telah tenaga kerja hanya dilakukan dalam skala terba-
berperan besar dalam mengubah sebagian agro­ tas. Keterbatasan modal, jejaring, informasi, dan
ekosistem di wilayah perdesaan. Di dataran tinggi, infrastruktur membuat hanya sedikit petani yang
transformasi ini berlangsung dari agroekosistem mau dan mampu berspekulasi. Sebagian besar
lambat ke agroekosistem cepat. Dibangunnya penduduk Tegal Nduwur, seperti halnya desa-
jalan tani memangkas biaya produksi baik untuk desa di lereng utara Pegunungan Serayu yang
penanaman, perawatan maupun pemanenan se- membentang dari Kabupaten Temanggung hingga
hingga menyediakan insentif besar bagi petani Tegal, cenderung melakukan diversifikasi tana-
untuk mengubah agroekosistem mereka. Orientasi man yaitu tanaman subsisten, semi komersial, dan
pasar terutama domestik yang menguntungkan, tanaman pendukung seperti kayu-kayuan untuk
dikombinasikan dengan b­ udidaya intensif nan memasak, atau rerumputan untuk pakan ternak.
spekulatif menyediakan peluang besar bagi pen­ Gambar 1 menyajikan data mengenai penggunaan
duduk desa untuk meningkatkan penghasilan lahan di Tegal Nduwur pada tahun 2010.
pertanian, menyerap tenaga kerja dalam jumlah Pada 2010, budi daya tanaman subsisten
besar, dan memberikan tingkat upah yang lebih sangat dominan karena 347 petak lahan (50%)
baik. ditanami jagung. Meski beras sudah mulai lazim

43
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Agung Wicaksono & Ardana Kusumawanto

Sumber: Data penelitian lapangan (2009‒2010)


Gambar 1. Jenis Tanaman Utama pada Tiap Petak Lahan

dikonsumsi oleh masyarakat lapis ekonomi atas, pertahankan subsistensi rumah tangga. Namun,
jagung merupakan makanan pokok bagi sebagian tafsir yang demikian cenderung menempatkan
besar warga. Secara agregat, budidaya tanaman petani sebagai aktor-aktor yang pasif dan kurang
komersial juga cukup signifikan (33%). Tanaman peka terhadap peluang pasar. Sebagaimana dapat
komersial atau yang sepenuhnya ditujukan untuk dicermati dari kasus Tegal Nduwur, keengganan
pasar dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok untuk mengadopsi budidaya tanaman komersial
berdasarkan masa panen yaitu harian, musiman dan berlangsung karena kehati-hatian mereka untuk
tahunan. Tanaman komersial harian secara umum melakukan investasi.
berbiaya produksi agak rendah dan memberikan Selain dari sektor pertanian, subsistensi rumah
penghasilan yang lumayan bagi petani. Teh dan tangga dipenuhi dengan mencadangkan sebagian
daun bawang termasuk dalam kelompok ini lahan untuk tanaman kayu sementara tambahan
dan persentasenya cukup dominan yaitu 19%. penghasilan tunai diperoleh dari ternak. Secara
Ta­naman komersial musiman adalah tanaman historis, pemeliharaan ternak terintegrasi dengan
(terutama sayuran) yang dibudidayakan selama pertanian terutama untuk mendukung penyediaan
satu musim tanam seperti kentang, wortel, cabai, pupuk dan mekanisme tabungan. Pada awalnya,
dan kubis. Tanaman komersial musiman, terutama meski tidak saklek, petani yang cukup makmur
kentang, memerlukan biaya produksi yang sangat memilih untuk memelihara sapi karena kondisi
tinggi. Pada 2010, sebanyak 12% petak lahan ekonomi sehari-hari yang relatif stabil. Sementara
ditanami kentang. Untuk tipe ketiga, yaitu tanaman itu, para petani kecil cenderung memilih k­ ambing
komersial tahunan seperti tembakau, budidayanya agar mudah diperjualbelikan ketika ekonomi
terus menerus mengalami penurunan sehingga dapat ru­mah tangga mengalami pasang surut. Pola ini
dikesampingkan. sedikit mencair ketika sistem nggaduh muncul
Secara agregat, Gambar 1 juga menunjukkan sehingga para petani kecil dapat memelihara sapi
bahwa proporsi lahan yang ditanami pepohonan dengan modal dari petani kaya. Pemeliharaan sapi
dan rerumputan yang digunakan untuk kayu bakar di kalangan petani Bambu Kuning meluas pada
dan pakan ternak cukup besar, yaitu sekitar 17%. awal 1980-an seiring dengan tingginya kebutuhan
Pola tanam agregatif kurang lebih merepresentasi­ daging di pasar domestik (Nusrat, 2003). Gambar
kan pola tanam rumah tangga Ketika para petani 2 menyajikan distribusi pemeliharaan kambing di
mengombinasikan budidaya tanaman subsisten Desa Tegal Nduwur.
dengan tanaman komersial. Diversifikasi tanaman Pemeliharaan kambing pada petani Tegal
dapat ditafsirkan sebagai upaya petani untuk mem- Nduwur cukup merata sebab 78% rumah tangga

44
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Perlambatan migrasi sirkuler:
Penilaian terhadap perubahan pola migrasi sirkuler di pedesaan Jawa Barat

Sumber: Data penelitian lapangan (2010)


Gambar 2. Kepemilikan Kambing Petani Tegal Nduwur

Sumber: Data penelitian lapangan (2010)


Gambar 3. Kepemilikan Sapi Petani Tegal Nduwur

memeliharanya. Tingginya angka pemeliharaan nentukan berapa jumlah kambing yang dapat di­
kambing memiliki berbagai alasan yaitu harga pelihara oleh sebuah rumah tangga.
yang tidak terlalu mahal, cepat beranak (satu tahun Di Tegal Nduwur, pemeliharan sapi juga
satu kali), dan mudah diperjualbelikan. Sebagian cukup tinggi (50%). Secara ekonomi, harga sapi
besar petani memelihara antara 4-8 kambing per jauh lebih mahal dibanding kambing. Dengan
rumah. Hal ini terkait erat dengan kebutuhan semakin mudahnya sistem maro (nggaduh), lebih
tenaga kerja. Setiap ekor kambing dewasa memer­ rendahnya pemilikan sapi dipengaruhi oleh faktor
lukan sekitar 10 kg rumput perhari sehingga secara non-ekonomi. Ada dua faktor yang berpengaruh
agregat, satu unit rumah tangga harus menyediakan ter­hadap pemeliharaan sapi yaitu adalah tenaga
40-80 kg rumput. Setiap merumput, laki-laki kerja dan lahan untuk merumput. Setiap ekor sapi
dewasa menghabiskan waktu sekitar 2 jam untuk dewasa memerlukan sekitar 40 kg rumput per
menghasilkan 50 kg rumput (satu pikul) sehingga hari. Sementara itu, sebagian besar rumah tangga
jika memelihara lebih dari 8 ekor kambing, setiap petani telah memelihara kambing. Oleh karena itu,
rumah tangga perlu mengalokasikan 6 jam kerja pemeliharaan sapi memaksa mereka untuk men-
tenaga laki-laki dewasa per hari untuk p­ enyediaan goptimalkan penggunaan tenaga kerja. Pada 2010,
rumput. Pada titik ini, ketersediaan tenaga kerja rata-rata anggota keluarga rumah tangga petani di
rumah tangga menjadi variabel penting dalam me- Tegal Nduwur adalah 4,36. Jika diperkirakan bahwa

45
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Agung Wicaksono & Ardana Kusumawanto

sepertiganya non produktif – karena terlalu muda Peneliti: Kemarin katanya mau berangkat ke
atau terlalu tua – maka tenaga kerja yang tersedia Jakarta (untuk berjualan es cincau) Pak?
untuk segala jenis urusan, mulai dari rumah tangga,
Pak Rusli: Dereng ngertos Mas, dereng kober,
pertanian hingga ternak hanya tiga orang saja. sakniki nembe med pasir, med kayu, ajeng manja
Faktor lain yang berpengaruh adalah ketersediaan Lombok (Belum tahu Mas, masih sangat sibuk,
lahan merumput. Jenis rumput yang dikonsumsi sekarang sedang mengumpulkan pasir, mencari
dan lahan sumber rumput relatif sama. Oleh karena kayu, dan masih harus menanam cabai). (Catatan
itu, terjadi kompetisi di antara pemeliharaan kedua penelitian 5 Maret 2009)
jenis ternak ini sehingga pemeliharaan ­kambing
berkorelasi negatif terhadap pemeliharaan sapi. Percakapan tersebut mengindikasikan bahwa
Artinya, semakin banyak jumlah kambing, se­ sebelum berangkat bermigrasi, baik ke Jakarta atau ke
ma­kin sedikit jumlah sapi yang dipelihara dan kota lain, mereka ingin memastikan bahwa kebutuhan
seba­liknya. Selain untuk pemeliharaan ternak, para dasar di rumah seperti kayu bakar telah disediakan
petani mengalirkan sebagian tenaga mereka untuk dan pekerjaan-pekerjaan pertanian yang berat telah
melakukan migrasi sirkuler dalam upaya menambah diselesaikan. Para perempuan cenderung tinggal
penghasilan. Hal ini dapat dicermati pada Gambar 4. di desa, untuk mengurus beragam persoalan do-
mestik, kerja pertanian, dan dalam batas tertentu,
Pada 2010, sekitar 56% penduduk Tegal
memelihara ternak. Terbatasnya sumber uang tunai
­Nduwur yang berusia minimal 17 tahun pernah
di desa juga mendorong generasi muda Tegal Ndu-
dan masih melakukan migrasi sirkuler. Sebagai­
wur berangkat ke Jakarta. Pada 2010, Fatah yang
mana pola umum di pedesaan Jawa, Gambar 4
berumur 13 tahun sudah bekerja bersama teman-
me­nunjukkan bahwa sebagian besar bekerja di
teman sebayanya di sebuah kantin perusahaan.
Jakarta. Sejak awal 1990-an, tenaga kerja laki-laki
Tidak hanya di Jakarta, sebagian pemuda bahkan
mengalir secara temporer di sektor konstruksi dan
memiliki pengalaman migrasi yang lebih luas.
perdagangan skala kecil. Sebagian lain memilih
bekerja secara temporer di Pekalongan yang relatif Pada awalnya, Anto mulai bekerja sebagai kuli
lebih dekat sementara aliran tenaga kerja di luar bangunan di Jakarta dan Bogor. Ia juga pernah
kedua tempat tersebut sangatlah minor. Dalam bekerja sebagai buruh pemanen tebu di Lampung.
Anto juga pernah bekerja di Kabupaten Pati
menjalankan migrasi sirkuler, ada perbedaan aspirasi
sebagai buruh ukir kayu (Catatan penelitian 4
dan keleluasaan yang signifikan antara penduduk Maret 2009).
yang sudah menikah dan belum menikah, atau lajang.
Bagi mereka yang sudah menikah, migrasi sirkuler Kasus Anto di atas menunjukkan bagaimana
benar-benar ditempatkan sebagai salah satu tumpuan upaya generasi muda Tegal Nduwur untuk men-
ekonomi rumah tangga. Bagi kelompok ini, kapan coba bekerja di berbagai sektor. Harapan utamanya,
waktu bermigrasi sangat ditentukan oleh kondisi mereka memiliki tabungan yang dapat digunakan
rumah tangga sebagaimana muncul dari percakapan untuk membeli motor, modal perayaan pernikahan,
penelitian tahun 2009: memperbaiki rumah, atau membantu kehidupan

Sumber: Data penelitian lapangan, 2010


Gambar 4. Riwayat Migrasi Penduduk Tegal Nduwur

46
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Perlambatan migrasi sirkuler:
Penilaian terhadap perubahan pola migrasi sirkuler di pedesaan Jawa Barat

orang tua. Meski demikian, gagasan yang begitu Pembangunan Infrastruktur dan Adopsi
baik tersebut tidak selalu dapat direalisasikan dengan Agroekosistem Cepat
mudah. Dalam beberapa kasus, mereka mengatakan
Pada tahun 1985, Kecamatan Bambu Kuning di­
bahwa kalau kerja di luar, “uang banyak atau sedi­
tetapkan sebagai wilayah paling terisolisasi kedua
kit sama saja, sama-sama pulang dengan tangan
di Provinsi Jawa Tengah, setelah Karimunjawa.
kosong”. Hal ini karena sering kali, uang hasil kerja
Persoalan utama keterisolasian ini bukanlah sema­
digunakan untuk berfoya-foya, main ke tempat
ta geografis, tetapi ketiadaan infrastruktur yang
hiburan dan rekreasi, membeli pulsa dan rokok
memadai. Jalan yang dibangun antar desa hanya
secara berlebihan, atau sekedar kencan dengan
bertahan selama satu hingga tiga tahun sebelum
teman wanita mereka. Ketika Marto ditanyai oleh
akhirnya berubah kembali menjadi makadam.
bibinya mengenai uang hasil kerja di Jakarta, ia
Sementara akses penduduk untuk menuju areal
menjawab dengan sekenanya “duit apa, inyong
pertanian hanya memanfaatkan jalan tanah selebar
kerjo ra entuk apa-apa [uang apa, saya bekerja,
setengah hingga satu meter. Buruknya infrastruktur
namun tidak mendapatkan banyak uang]” karena
jalan bukan semata karena ketiadaan program
memang tabungannya hanya tersisa sedikit sete­
pem­bangunan, tetapi kebijakan top-down yang
lah dibelanjakan di sana.
mem­ buatnya menjadi kue rayahan (Semedi,
Realitas di atas menunjukkan bahwa orientasi 2006). Orientasi pembangunan bottom-up yang
utama bermigrasi bagi setiap aktor berbeda. Bagi diinisiasi sejak tahun 1999 mulai memunculkan
yang telah menikah, tambahan penghasilan untuk hasil dalam satu dekade terakhir. Jenis dan skala
menopang rumah tangga adalah tujuan utama. program-program pembangunan yang diusulkan
Sementara bagi yang belum menikah, migrasi dari tingkat bawah tidak hanya memungkinkan
sirkuler tidak hanya terkait uang dan tabungan, sistem pengawasan yang lebih transparan, tetapi
tetapi juga pemenuhan aspirasi mereka sebagai juga mengurangi potensi salah sasaran. Pada tahun
anak muda. Jika dilihat dengan kacamata non-kritis, 2011, memanfaatkan program PNPM, dibuat jalan
kita menyaksikan suatu citra ideal rumah tangga usaha tani selebar 1,2 meter yang menghubungkan
petani yang memiliki kemampuan mengombinasi­ antara jalan utama dengan wilayah pertanian di sisi
kan beragam aktivitas ekonomi. Pertanian untuk utara desa sepanjang satu kilometer. Pada periode
pemenuhan subsistensi, ternak untuk tabungan atau 2016-2018, jalan serupa dibuat di sisi selatan desa
kebutuhan mendesak, sementara uang hasil m­ igrasi yang panjangnya hampir mencapai satu kilome-
digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari- ter. Bagi orang luar, jalan usaha tani selebar 1,2
hari. Namun, karena basis utama ketiga variabel meter mungkin dilihat sebagai sesuatu yang tidak
ini adalah tenaga kerja, perubahan konfigurasi terlalu bermanfaat. Namun di Tegal Nduwur yang
pada satu variabel dengan segera memengaruhi berlokasi di pegunungan, infrastruktur ini membuat
variabel-variabel lainnya. Tingginya migrasi dan aksesibilitas ke wilayah pertanian sehingga mampu
pemeliharaan ternak di kalangan petani Tegal mengubah agroekosistemnya. Jalan tani yang di­
Nduwur harus ditempatkan sebagai variabel ter- bangun sejak tahun 2011 mampu menekan biaya
pengaruh atas pola pertanian yang bercorak sub- produksi. Sebelum adanya jalan tani, pengangkutan
sisten. Pertanian subsisten yang tidak memerlukan bibit, pupuk, dan hasil panen hanya dapat dilakukan
pengelolaan intensif memungkinkan atau bahkan dengan cara dipikul. Adanya jalan tani membuat
memaksa mereka untuk mengoptimumkan tenaga berbagai aktivitas tersebut dapat diselesaikan
kerja yang tersedia untuk memelihara ternak dan dengan menggunakan sepeda motor sehingga jauh
migrasi. Implikasinya, sebagaimana akan kita lihat lebih cepat dan murah.
pada bagian berikutnya, ketika terjadi perubahan
Gambar 5 menggambarkan bagaimana agro­
mode pertanian dari subsisten ke komersial yang
ekosistem cepat berlangsung di Tegal Nduwur.
padat modal dan tenaga kerja, pemeliharaan ternak
Pertama, dari 100 responden, tidak ada satupun
dan migrasi sirkuler memperoleh dampak yang
yang telah menjadi tuna kisma meski jumlah
begitu besar.
rumah tangga yang memiliki banyak petak tanah
semakin sedikit. Dari jenis tanaman yang dibudi­

47
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Agung Wicaksono & Ardana Kusumawanto

dayakan, terjadi perubahan signifikan karena semakin intensif, apalagi jika dibandingkan dengan
pada musim tanam 2019, hanya satu responden desa-desa di sekitarnya.
yang menanam jagung, itupun di petak kelima. Upaya untuk menekan biaya produksi juga
Perubahan pola budidaya tanaman subsisten juga dila­kukan dengan pemusatan tenaga kerja ru­mah
diterangkan oleh perubahan konsumsi. Ketika tangga. Jika tenaga kerja rumah tangga di­anggap
penulis menjalankan riset pada bulan Januari konstan, maka skema zero sum game ber­langsung.
2020, mereka mengatakan bahwa saat ini, pangan Disini, skema zero sum game ­berlangsung
utama mereka adalah beras. Namun, karena beras ke­tika meningkatnya kebutuhan tenaga kerja
tidak diproduksi disini, sebagian besar warga untuk budidaya tanaman komersial dipenuhi
Tegal Nduwur harus membelinya di pasar dan ini dengan mengurangi aliran tenaga kerja ke sek-
hanya dapat berlangsung jika mereka memiliki tor pemeliharaan ternak dan migrasi. Gambar 6
uang tunai secara lebih stabil. menunjukkan bagaimana kondisi zero sum game
Gambar 5 menunjukkan bahwa budidaya yang berlangsung pada pemeliharaan ternak.
ta­­­­naman komersial harian dan tahunan hanya me­ Data survei terhadap 100 rumah tangga
ngalami sedikit perubahan. Meski jenis dan pola
petani di Desa Tegal Nduwur menunjukkan hasil
budidaya­nya berbeda, keduanya dapat diklasifikasi­
yang begitu mengejutkan karena tidak satupun
kan ke dalam agroekosistem sedang. Hal ini
responden memelihara sapi, baik milik sendiri atau
dikarenaka keduanya dianggap stabil, serta ke­
dengan sistem gaduhan. Padahal pada 2010, 50%
bu­tuhan modal dan tenaga kerjanya relatif tidak
rumah tangga petani di desa ini memelihara sapi.
terlalu besar. Perubahan signifikan berlangsung
Jika melihat Gambar 6, merosotnya pemeliharaan
pada budidaya tanaman komersial musiman
sapi di kalangan petani Tegal Nduwur sepertinya
se­perti kentang, cabai, dan wortel. Berbagai
bukan implikasi atas berkurangnya areal merumput
tanaman ini, terutama cabai dan kentang, dapat
karena lahan untuk rumput tidaklah mengalami
diklasifikasikan ke dalam tanaman agroekosistem
perubahan signifikan. Selain itu, mereka masih
cepat karena memerlukan modal yang tinggi,
curahan tenaga kerja yang intensif, serta risiko bisa mengandalkan rumput di areal Perhutani.
kegagalan yang sangat tinggi. Transisi ke arah Oleh karena itu, merosotnya pemeliharaan sapi
agroekosistem cepat memaksa petani melakukan lebih tepat ditafsirkan sebagai implikasi atas
beberapa penyesuaian. Besarnya ongkos yang ketidakmampuan mereka menyediakan tenaga
harus dikeluarkan untuk biaya produksi mendorong kerja rumah tangga untuk penyediaan rumput.
sebagian rumah tangga petani berhutang. Implikasi­ Pemeliharan kambing juga menghadapi ke­
nya, sistem hutang untuk budidaya tanaman menjadi me­rosotan yang tidak kalah signifikan. Pada 2010,

Sumber: Data survei rumah tangga, 2020 (n=100)


Gambar 5. Jenis Tanaman pada Lahan Petani

48
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Perlambatan migrasi sirkuler:
Penilaian terhadap perubahan pola migrasi sirkuler di pedesaan Jawa Barat

Sumber: Data survei ekonomi rumah tangga, 2020 (n=100)


Gambar 6. Pemeliharaan Ternak di Kalangan Petani Tegal Nduwur

Sumber: Data survei ekonomi rumah tangga (n=100; AK= anggota keluarga)
Gambar 7. Riwayat Migrasi Anggota Rumah Tangga Petani Tegal Nduwur

sekitar 78% rumah tangga petani memelihara Data survei rumah tangga 2020 menunjukkan
kambing dengan rata-rata enam ekor. Pada Januari fakta yang sangat kontradiktif dengan anggapan
2020, hanya 34% rumah tangga yang memelihara umum mengenai migrasi sirkuler ke kota. Pada
kambing, pun dengan rata-rata yang lebih rendah. 2010, sekitar 56% penduduk Tegal Nduwur yang
Turunnya pemeliharaan kambing memiliki latar berumur minimal 17 tahun pernah dan masih
belakang yang serupa sebagaimana pemeliharaan me­lakukan migrasi sirkuler, baik ke wilayah
sapi. Namun, kambing masih relatif dapat bertahan Peka­longan maupun kota-kota besar lain di Jawa,
karena kebutuhan masukan rumput dan jam kerja terutama Jakarta. Pola ini sepertinya cukup me-
yang jauh lebih sedikit daripada sapi. Alasan lain wakili kondisi di tingkat regional. Namun, survei
yang melatarbelakangi pemeliharaan kambing rumah tangga pada tahun 2020 menunjukkan
adalah, hewan ini dipelihara oleh mereka yang bahwa hanya 4% dari penduduk Tegal Nduwur
tanah pertaniannya tidak terlalu luas sehingga masih yang masih melakukan aktivitas migrasi dalam
memiliki sedikit tenaga kerja yang bisa dialokasi- rentang waktu lima tahun terakhir (2015‒2020).
kan untuk merumput. Selain pemeliharaan ternak, Data survei 2020 tersebut menunjukkan bahwa
pemusatan tenaga kerja ke sektor pertanian telah tingkat migrasi sirkuler di Desa Tegal Nduwur
membuat aliran tenaga kerja ke luar desa melalui turun dengan tajam.
migrasi sirkuler turun drastis sebagaimana ditunjuk- Dalam konteks ini, merosotnya intensitas
kan dalam Gambar 7. migrasi sirkuler di kalangan petani Tegal Nduwur

49
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Agung Wicaksono & Ardana Kusumawanto

adalah sesuatu yang harus diterangkan, dan oleh informasi akurat mengenai penghasilan tambahan
karenanya harus ditempatkan sebagai variabel inilah yang sulit untuk didapatkan secara detail.
terikat. Jika migrasi sirkuler dianggap sebagai Berdasarkan perkiraan ini, besar kemungkinan
variabel terikat, variabel bebasnya adalah keterse- jika rata-rata penghasilan rumah tangga untuk
diaan lapangan kerja yang lebih baik di tingkat masing-masing kategori jauh lebih tinggi di­­­­­­­­
desa. Dalam konteks ini, perubahan menuju banding apa yang muncul pada Gambar 8.
agro­­ekosistem cepat yang intensif tenaga kerja Turunnya tingkat migrasi sirkuler juga di-
dan modal tidak hanya menyediakan kesempatan pengaruhi oleh perubahan sistem ketenagakerjaan
yang lebih baik bagi petani untuk memperoleh di desa. Pada 2010, sebagian besar petani masih
pendapatan yang lebih tinggi, tetapi juga lapangan menggunakan sistem tukar menukar tenaga kerja
kerja yang lebih besar dan upah yang lebih baik. atau sambatan. Pada tanaman subsisten, sistem
Dalam derajat tertentu, kondisi ekonomi sambatan memiliki jangkauan luas, sementara un-
ru­mah tangga yang semakin baik ditunjukkan tuk tanaman komersial seperti kentang pertukaran
oleh Gambar 8. Sekitar 47% rumah tangga yang tenaga kerja berlangsung antar petani kentang
disurvei memiliki penghasilan di atas 12 juta per saja. Pada 2020, praktik sambatan menjadi sangat
tahun atau satu juta per bulan. Namun, besar ke- minor dan sebagian besar menggunakan sistem
mungkinan bahwa agregat penghasilan riil yang pengupahan. Brahma, pemuda Tegal Nduwur ber­
mereka peroleh dalam satu tahun jauh lebih besar umur sekitar 16 tahun mengatakan bahwa ketika
dari data tersebut. Secara faktual, setiap petak musim panen, Ia bisa memperoleh setidaknya 250
lahan sering kali ditanami berbagai jenis tanaman ribu rupiah per hari. Jumlah tersebut bisa dicapai
misalnya kentang dikombinasikan dengan wortel, karena wilayah pertanian di Tegal Nduwur dapat
cabai, atau bawang daun. Dalam survei kali ini, dijangkau dengan motor. Dengan demikian, para
hanya tanaman utama saja yang dicatat. Kedua, pemuda Tegal Nduwur seperti Brahma tidak
meski memiliki tanah sendiri, mereka juga bekerja meng­eksploitasi kekuatan tubuh seperti generasi
sebagai buruh tani pada tetangga-tetangga mereka sebelumnya, tetapi memanfaatkan motor untuk
ketika agak longgar. Padahal, upah buruh tani mengangkut hasil panen sehingga ora remek awake
baik untuk perempuan maupun laki laki mening­ atau tidak rusak badannya. Oleh karena berbagai
kat dengan tajam. Pada tahun 2008‒2009, upah sayuran tidak ditanam mengikuti kalender musim
buruh tani perempuan untuk pekerjaan menanam yang kaku, peluang kerja tersedia nyaris sepanjang
atau menyiangi berkisar antara 6‒8 ribu rupiah tahun meski dengan kebutuhan tenaga kerja
per hari. Pada 2020, upah buruh tani perempuan yang berbeda. Selain itu, kerja pertanian saat ini
naik menjadi 40‒50 ribu rupiah per hari. Pada relatif lebih ringan dibanding dahulu sehingga para
periode yang sama, upah laki-laki juga meningkat pemuda Tegal Nduwur seperti Brahma cenderung
dari 10 ribu rupiah menjadi 50‒60 ribu rupiah mengesampingkan pilihan migrasi sirkuler dan
per hari. Dalam ketiadaan pencatatan yang rinci, memilih bekerja di desa.

Sumber: Data survei ekonomi rumah tangga (n=100; AK= anggota keluarga)
Gambar 8. Perkiraan Penghasilan Petani Tegal Nduwur Setahun Terakhir

50
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Perlambatan migrasi sirkuler:
Penilaian terhadap perubahan pola migrasi sirkuler di pedesaan Jawa Barat

Selain persoalan penghasilan, wilayah perkota­ atas pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan
an senantiasa menarik karena menyediakan sarana proyek-proyek pembangunan. Kombinasi antara
hiburan. Namun saat ini, infrastruktur di kawasan kedua hal tersebut telah membuat kota menjadi
pinggiran juga semakin baik sehingga bahkan relatif kurang atraktif dibanding dahulu dan pada
di perdesaan, generasi muda dapat seek out and saat yang bersamaan, menyediakan prakondisi
enact a rural modern lifestyle – menemukan dan yang baik bagi tumbuhnya ekonomi pinggiran.
menjalankan gaya hidup modern perdesaan (White, Seiring dengan semakin baiknya kondisi
2020, 116). Ketika penulis menjalankan riset pada pa­sar, perhatian pemerintah Desa Tegal Nduwur
Januari 2020, para pemuda ini sudah memiliki mo- untuk membangun jalan tani menyediakan pondasi
tor, berdandan ala pemuda kota, nongkrong di kafe yang kokoh bagi transformasi agroekosistem, dari
atau bermain futsal di kota kecamatan, serta bermain lambat menjadi cepat. Berdasarkan perbandingan
game online seiring dengan dipasangnya Wi-Fi di data survei antara tahun 2010 dan 2020, pertanian
kantor desa. Apa yang dahulu hanya mereka temui komersial sebagai karakter utama agroekosistem
di perkotaan, saat ini tersedia di sekitar mereka. cepat telah diintroduksi oleh hampir semua ru­
Melihat data survei dan pengamatan empiris yang mah tangga petani. Dalam perhitungan petani,
muncul dari Desa Tegal Nduwur, agaknya tidak ter- agro­ekosistem cepat memberikan lebih banyak
lalu berlebihan ketika Kang Musta berkata bahwa peluang untuk menjadi makmur. Namun, introduksi
saat ini, tidak ada lagi orang Tegal Nduwur yang agroekosistem cepat bukanlah sesuatu yang murah
merantau atau bermigrasi secara sirkuler. Di sini, sehingga mereka harus mengeluarkan modal dalam
perbaikan infrastruktur dan pasar telah mendorong jumlah yang lebih besar dan potensi kerugian yang
perubahan agroekosistem sehingga menyediakan lebih tinggi. Hal ini mendorong mereka untuk meng­
lapangan kerja yang cukup besar di desa. Pada titik a­lirkan sebagian besar tenaga kerja rumah tangga
inilah, migrasi sirkuler mengalami perlambatan ke sektor pertanian. Upaya pemusatan tenaga
yang signifikan. kerja ke sektor pertanian salah satunya ditunjukkan
oleh merosotnya pemeliharaan ternak. Selain itu,
KESIMPULAN introduksi agroekosistem cepat juga menurunkan
Bagi petani Jawa, migrasi sirkuler bukanlah sesuatu intensitas migrasi sirkuler ke perkotaan yang dapat
yang baru. Sejak industrialisasi di wilayah perkotaan dilihat dari perbandingan data survei 2010 dan
mulai mapan, mereka berangsur-angsur bermig­ 2020. Dengan menyandingkan realitas di tingkat
rasi secara sirkuler ke kota, membanjiri sektor ­supra desa (makro) dan tingkat desa (mikro), stu­
konstruksi, jasa informal, atau perdagangan. Bagi di ini memberikan indikasi bahwa perlambatan
rumah tangga petani, migrasi sirkuler merupakan migrasi sirkuler ke perkotaan bukanlah sekedar
mekanisme untuk mengalirkan sebagian suplus pencilan atau outlier, tetapi merupakan implikasi
tenaga kerja, sekaligus mendiversifikasi sumber atas perubahan sosial ekonomi kawasan perdesaan
penghasilan selain pertanian dan ternak. Ironisnya, yang nyata seiring dengan insentif pasar yang sema-
sebagian besar studi hanya membahas sisi positif kin besar dan otonomi relatif yang semakin besar.
dan negatif aktivitas ini, tanpa memberikan perha-
tian serius terhadap dinamika migrasi sirkuler di UCAPAN TERIMA KASIH
kalangan petani. Dengan kata lain, migrasi sirkuler Terima kasih kepada ARC (Australian Research
dianggap sebagai fenomena yang konstan. Council) yang telah menyediakan dana untuk
Studi ini menempatkan migrasi sirkuler seba­ penelitian survei. Terimakasih juga kepada FIB
gai variabel terpengaruh sehingga tinggi rendahnya UGM yang telah menyediakan dana untuk riset
aktivitas migrasi ditentukan oleh beragam faktor. etnografis bagi peneliti utama dan asisten peneliti.
Secara ekonomi, pasca krisis ekonomi 1998,
­Indonesia mengalami deindustrialisasi sehingga DAFTAR PUSTAKA
penggerak roda ekonomi justru wilayah pinggiran,
Antlöv, H., Wetterberg, A., & Dharmawan, L. (2016).
terutama melalui sawit dan tanaman komoditas lain- Village governance, community life, and the
nya. Secara politis, desentralisasi juga memung­kin­ 2014 village law in Indonesia. Bulletin of
kan daerah untuk memiliki kewenangan lebih besar Indonesian Economic Studies, 52(2), 161‒183.

51
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Agung Wicaksono & Ardana Kusumawanto

https://doi.org/10.1080/00074918.2015.11290 Economics, 57(6), 802–818. https://doi.org/10


47 .1080/15387216.2016.1274663
Booth, A. (2016). Economic change in modern McNicoll, G. (1968). Internal migration in Indonesia:
Indonesia: Colonial and post-colonial com- Descriptive notes. Indonesia, 5, 29–92. https://
parisons. Cambridge University Press. https:// doi.org/10.2307/3350764
doi.org/10.1017/CBO9781316271438 Mizuno, K., (2016). The macro-economy, the rural
Constant, A. F., & Zimmermann, K. F. (2011). Circular sector, and sustainability. Dalam K. Mizuno
and repeat migration: Counts of exits and & S.S. Mugniesyah (Ed.), Sustainability and
years away from the host country. Population crisis at the village: Agroforestry in West Java
Research and Policy Review, 30(4), 495‒515. Indonesia. UGM PRESS.
https://doi.org/10.1007/s11113-010-9198-6 Moniruzzaman, M., & Walton-Roberts, M. (2018).
Gidwani, V., & Sivaramakrishnan, K. (2003). Migration, debt and resource backwash:
Circular migration and rural cosmo- How sustainable is Bangladesh-Gulf circular
politanism in India. Contributions to Indian migration? Migration and Development, 7(1),
Sociology, 37(1‒2), 339‒367. https://doi. 85‒103. https://doi.org/10.1080/21632324.20
org/10.1177/006996670303700114 17.1358799
Gordon, A. (1982). Indonesia, plantations and the Nusrat, M. (2003). Politik dagang sapi: Studi tentang
“post-colonial” mode of production. Journal perdagangan ternak di kalangan petani Jawa
of Contemporary Asia, 12(2), 168‒187. https:// [Skripsi]. Universitas Gadjah Mada.
doi.org/10.1080/00472338285390141 Petrenko, C., Paltseva, J., & Searle, S. (2016).
Hetler, C. B. (1989). The impact of circular migration Ecological impacts of palm oil expansion in
on a village economy, Bulletin of Indonesian Indonesia. ICCT International Council on
Economic Studies, 25(1), 53‒75. https://doi.org Clean Transportation.
/10.1080/00074918812331335509 Santoso, H. (2015). Bertani itu berjudi: Ketika
Hidayat, N. K., Offermans, A., & Glasbergen, P. mekanisme pasar bias spekulasi [Disertasi
(2018). Sustainable palm oil as a public Doktoral]. Universitas Gadjah Mada.
responsibility? On the governance capacity of Semedi, P. (2006). Petungkriyono: Mitos wilayah
Indonesian Standard for Sustainable Palm Oil terisolir. Dalam H. S. Ahimsa-Putra (Ed.),
(ISPO). Agriculture and Human Values, 35(1), Esei-esei antropologi: Teori, metodologi dan
223‒242. https://doi.org/10.1007/s10460-017- etnografi. Kepel Press.
9816-6
Semedi, P. (2014). Palm oil wealth and rumour panics
Hugo, G. (1977). Circular migration. Bulletin of Indo- in West Kalimantan. Forum for Development
nesian Economic Studies, 13(3), 57‒66. https:// Studies, 41(2), 233–252. https://doi.org/10.10
doi.org/10.1080/00074917712331333184 80/08039410.2014.901240
Hugo, G. (2009). Circular migration and develop- Skeldon, R. (2013). Managing migration for develop-
ment: An Asia-Pacific perspective. https:// ment: Is circular migration the answer? The
aa.ecn.cz/img_upload/6334c0c7298d6b396d21 Whitehead Journal of Diplomacy and Inter-
3ccd19be5999/GHugo_CircularMigrationAnd- national Relations, 11(1), 21–33. https://www.
Development.pdf ciaonet.org/record/29175
Jones, G. W. (2002). Southeast Asian urbanization and Srivastava, R. (2020). Understanding circular migra-
the growth of mega-urban regions. Journal of tion in India: Its nature and dimensions, the
Population Research, 19, 119‒136. https://doi. crisis under lockdown and the response of
org/10.1007/BF03031973 the state. http://www.ihdindia.org/working-
Lewis, W. A. (1954). Economic development with papers/2020/IHD-CES_WP_04_2020.pdf
unlimited supplies of labor. Manchester School Syaukani, H. R., Gaffar, A., & Rasyid, M. R.
of Economic and Social Studies, 22(2), 139– (2016). Otonomi daerah dalam negara kes-
191. https://doi.org/10.1111/j.1467-9957.1954. atuan. Pustaka Pelajar & Pusat Pengkajian
tb00021.x Etika Politik dan Pemerintahan.
Li, T. M. (2014). Land’s end: Capitalist relations on Triandafyllidou, A. (2013). Circular migration at
an indigenous frontier. Duke University Press. the periphery of Europe: Choice, opportu-
https://doi.org/10.1215/9780822376460 nity, or necessity? Dalam A. Triandafylli-
Makhrova, A.G., Nefedova, T.G., & Pallot, J. (2016). dou (Ed.), A circular migration between
The specifics and spatial structure of circular Europe and its neighbourhood: Choice or
migration in Russia. Eurasian Geography and necessity? (212–236). Oxford University

52
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53
Perlambatan migrasi sirkuler:
Penilaian terhadap perubahan pola migrasi sirkuler di pedesaan Jawa Barat

Press. https://doi.org/10.1093/acprof:o Wicaksono, A. (2011). Wong cukup lan wong nduwe:


so/9780199674510.003.0010 Ekualisasi sosial ekonomi pada masyarakat
Vertovec, S. (2007). Circular migration: The way pegunungan Jawa abad ke 20 [Tesis Master].
forward in global policy? https://www.migra- Universitas Gadjah Mada.
tioninstitute.org/publications/wp-04-07 Wickramasekara, P. (2011). Circular migration:
White, B. (1991). Economic diversification and agrar- a triple win or a dead end? Global Union
ian change in rural Java, 1900-1990. Dalam P. Research Network, International Labour Office.
Alexander, P. Boomgaard, & B. White (Ed.), http://www.migration4development.org/sites/
In the shadow of agriculture: Non-farm activi- m4d.emakina-eu.net/files/no15-mar11-circular-
ties in the Javanese economy, past and pres- migration-a-triple-win-or-a-dead-end.pdf
ent (41–69). Royal Tropical Institute. https:// Zimmermann, K. F. (2014). Circular migration:
doi.org/10.2307/2058014 Why restricting labor mobility can be coun-
White, B. (2020). Agriculture and the generation terproductive. IZA World of Labor. https://
problem. Practical Action Publishing https:// doi.org/10.15185/izawol.1
dx.doi.org/10.3362/9781780447421

53
Jurnal Kependudukan Indonesia Volume 16 No. 1 2021, hlm. 39–53

Anda mungkin juga menyukai