Ridha Amalia Hakim - UAS Risiko Ketengakerjaan
Ridha Amalia Hakim - UAS Risiko Ketengakerjaan
RISIKO KETENAGAKERJAAN
Disusun Oleh :
2023
HUMAN RESOURCES RISK MANAGEMENT
1. Teori
Manajemen risiko SDM adalah pendekatan yang mengintegrasikan pengelolaan risiko yang
terkait dengan SDM dalam sebuah organisasi. Risiko-risiko yang tercakup dalam manajemen
risiko SDM meliputi:
• Sumber Daya Manusia – Sumber daya manusia atau risiko manusia.
Pendekatan dalam manajemen Sumber Daya Manusia yang memperlakukan orang-orang
dalam organisasi sebagai faktor strategis tingkat tinggi yang merupakan aset positif dan aktif
yang perlu dikembangkan, bukan sekadar biaya pasif. Artinya, dalam pendekatan ini,
perusahaan menganggap karyawan sebagai sumber daya berharga yang dapat memberikan
kontribusi signifikan dalam mencapai tujuan organisasi. Dimana pendekatan ini menekankan
pentingnya menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam pengembangan karyawan
sehingga mereka dapat memberikan dampak positif pada kesuksesan perusahaan.
• Risiko operasional Sumber Daya Manusia
Risiko operasional Sumber Daya Manusia adalah risiko yang muncul akibat pengelolaan
operasional dari fungsi Sumber Daya Manusia dan dukungannya langsung terhadap
organisasi. Artinya, risiko ini terkait dengan bagaimana Sumber Daya Manusia mengelola
tugas-tugas sehari-hari mereka dan bagaimana mereka memberikan dukungan langsung
kepada organisasi.
• Risiko profesional Sumber Daya Manusia
Risiko profesional Sumber Daya Manusia adalah risiko yang muncul karena persepsi yang
dibentuk oleh manajer dan karyawan tentang peran dan kontribusi yang saat ini atau dapat
dilakukan oleh fungsi Sumber Daya Manusia terhadap organisasi, serta terhadap manajer dan
karyawan secara pribadi. Persepsi ini seringkali bersifat historis dan seringkali terbentuk di
organisasi lain. Artinya, risiko ini terkait dengan bagaimana orang-orang dalam organisasi
memandang peran dan nilai dari fungsi Sumber Daya Manusia.
• Risiko pribadi Sumber Daya Manusia
Risiko personal Sumber Daya Manusia adalah risiko yang muncul akibat kurangnya
pengembangan peran dan pribadi yang membatasi kemampuan individu yang bekerja di
bidang Sumber Daya Manusia untuk memberikan kontribusi yang efektif kepada organisasi.
Artinya, risiko ini terkait dengan kurangnya kesempatan bagi para profesional Sumber Daya
Manusia untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka secara pribadi
maupun dalam peran mereka. Ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk memberikan
kontribusi yang efektif kepada organisasi.
Fungsi Sumber Daya Manusia dianggap memiliki peran penting dalam mendukung
pengembangan dan keberhasilan organisasi. Beberapa peran tersebut meliputi:
• Membantu mengidentifikasi dan menjaga tujuan, strategi, dan objektif organisasi. Fungsi
SDM dapat membantu memastikan bahwa organisasi memiliki arah yang jelas dan konsisten.
• Mengelola hubungan di dalam organisasi. Fungsi SDM dapat membantu membangun
hubungan yang baik antara manajemen dan karyawan, serta memfasilitasi kolaborasi yang
efektif di antara mereka.
• Maksimalkan peluang dan meminimalkan risiko terkait dengan SDM dalam jaringan dan
organisasi secara keseluruhan. Fungsi SDM harus memastikan bahwa organisasi memiliki
tenaga kerja yang berkualitas, terampil, dan memiliki keterampilan yang sesuai untuk
mencapai tujuan.
• Memastikan bahwa individu dalam organisasi memiliki kompetensi, pengetahuan, dan
keterampilan yang diperlukan untuk mencapai tujuan, termasuk membangun hubungan yang
efektif dan jaringan yang sukses.
Ada lima konsep inti yang penting dalam pengelolaan risiko Sumber Daya Manusia (SDM),
meliputi:
• Organisasi harus menyertakan pengelolaan risiko SDM dalam sistem pengelolaan risiko
secara keseluruhan, tidak hanya terbatas pada asuransi dan operasi keuangan.
• Fungsi SDM harus fokus pada pengelolaan risiko manusia dan dianggap sebagai bagian
penting dalam pengelolaan risiko organisasi, bukan sekadar birokrasi administratif.
• Para profesional SDM harus menggunakan teknik pengelolaan risiko untuk mengidentifikasi
risiko dan mengevaluasi opsi pengendalian, serta menunjukkan nilai tambah yang diberikan
oleh pengelolaan risiko SDM.
• Para profesional SDM harus mengadopsi pendekatan proaktif yang berbasis risiko dan
berfokus pada bisnis, bukan hanya bersifat reaktif dan patuh pada peraturan.
• Para profesional SDM harus membentuk kemitraan bisnis dengan pihak-pihak terkait di
organisasi dan terlibat dalam proses strategi dan perencanaan bisnis sejak awal.
Manajemen risiko SDM yang efektif akan melibatkan peran SDM dalam mendukung
pengembangan dan keberhasilan organisasi. Ini menunjukkan pentingnya mengelola risiko SDM
secara proaktif dengan menggunakan pendekatan yang berfokus pada bisnis dan menggabungkan
teknik manajemen risiko serta melakukan kolaborasi dengan pemangku kepentingan kunci
lainnya, seperti manajemen keuangan, juga penting dalam meminimalkan risiko dan
memaksimalkan peluang.
Manajemen risiko SDM yang baik memiliki dampak yang signifikan terhadap keberhasilan
organisasi. Fungsi SDM harus dilihat sebagai mitra bisnis yang memberikan nilai tambah, bukan
hanya sebagai fungsi administratif. Dengan mengubah fokus dan persepsi terhadap fungsi SDM,
organisasi dapat mengidentifikasi prioritas dan solusi yang berbeda, serta meningkatkan
pengelolaan peluang bisnis dan komersial.
Kesimpulanya, Manajemen risiko SDM harus menjadi bagian integral dari sistem
manajemen risiko organisasi secara keseluruhan. Fungsi SDM harus terlibat secara aktif dalam
manajemen risiko organisasi secara luas, bukan hanya fokus pada aspek administratif.
Kolaborasi dengan pemangku kepentingan kunci lainnya, seperti manajemen keuangan, juga
ditekankan sebagai faktor penting dalam meminimalkan risiko dan memaksimalkan peluang.
2. Hasil Penelitian
Untuk mencapai hasil yang baik dalam hal mengurangi biaya dan meningkatkan pendapatan,
diperlukan sistem manajemen risiko yang baik. Sistem ini memberi peringatan tentang bahaya
yang mungkin terjadi tetapi tidak menghentikan investasi berisiko. Biaya tenaga kerja sering
menjadi bagian terbesar dari biaya total perusahaan. Saat ini, perusahaan menggunakan alat
manajemen sumber daya manusia baru untuk mengoptimalkan biaya dan menginvestasikan
kelebihan dana dalam kegiatan baru. Ini dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan
memotivasi karyawan. Manajemen risiko adalah salah satu alat tersebut.
Penelitian (Kozubíková et al., 2020) bertujuan untuk mengevaluasi sumber risiko sumber
daya manusia yang penting di beberapa negara dan menemukan perbedaan dalam persepsi risiko
antara negara-negara tersebut. Hasilnya menunjukkan perbedaan signifikan dalam persepsi risiko
sumber daya manusia antara negara-negara tersebut. Secara umum, risiko sumber daya manusia
adalah istilah yang semakin sering ditemukan dalam kosakata yang digunakan oleh manajer
sumber daya manusia dan perusahaan. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan secara statistik dalam persepsi sumber risiko sumber daya manusia
yang berbeda antara negara-negara V4 (CZ – Republik Ceko; SK - Slovakia; PL – Polandia dan
HU – Hongaria). Sebagai sumber risiko sumber daya manusia yang paling penting, responden di
Republik Ceko dan Slovakia menganggap "kualifikasi karyawan yang tidak memadai". Di
Hongaria, "tingkat pergantian karyawan yang tinggi" dan di Polandia, "kesalahan karyawan"
dianggap sebagai sumber risiko sumber daya manusia yang paling intens. Akibatnya, perbedaan
yang signifikan secara statistik terungkap antara Hongaria dan negara-negara V4 lainnya dalam
persepsi "tingkat pergantian karyawan yang tinggi" dan "kualifikasi karyawan yang tidak
memadai"; antara Polandia dan negara-negara V4 lainnya dalam persepsi "kesalahan karyawan"
dan terakhir, antara Slovakia dan negara-negara V4 lainnya dalam evaluasi "semangat kerja
rendah dan disiplin".
Dalam praktik sumber daya manusia (SDM), manajemen risiko dan Manajemen data (besar)
bersinggungan dalam sejumlah bidang, terutama dalam hal bagaimana risiko dan praktik SDM
dan data dapat mengakibatkan atau memitigasi risiko reputasi atau hukum yang terkait. Menurut
Penelitian (Calvard & Jeske, 2018) terdapat tiga cara pengelolaan risiko seputar big data, yang
meliputi:
• Big data sebenarnya memperkuat kebutuhan akan strategi manajemen risiko yang
terinformasi secara menyeluruh dan praktik SDM yang tepat untuk mencegah risiko tertentu
terhadap individu, pemberi kerja, dan organisasi secara keseluruhan. Sehingga Fungsi SDM
dan professional memiliki peran penting di sini, karena data yang menjadi tanggung jawab
mereka untuk dikelola secara internal. Melalui tanggung jawab mereka terhadap data
karyawan, HR dapat berpartisipasi dalam manajemen risiko dan memastikan pengembangan
dan penerapan praktik terbaik ketika menghadapi tantangan big data yang timbul karena
pemangku kepentingan internal maupun eksternal dan saling ketergantungan
(misalnyadengan penyedia penyimpanan data dan konsultan).
• Upaya big data dalam organisasi merupakan faktor risiko yang muncul dalam bidang ini,
karena hal tersebut dapat mengganggu kesehatan karyawan dan kemampuan untuk menjaga
keseimbangan kehidupan kerja yang sehat, karena pemantauan yang terus menerus dan
meluas serta meningkatnya tekanan kinerja dan pekerjaan. intensifikasi yang mungkin
timbul.
• Menurut Becker dan Smidt (2016) dalam penelitian (Calvard & Jeske, 2018) juga mencatat
risiko yang timbul sehubungan dengan keputusan penempatan staf, keputusan untuk
melakukan outsourcing SDM atau pengurangan jumlah karyawan. Keputusan seperti itu
kemudian dapat menimbulkan risiko baru bagi penyedia layanan, penghematan biaya yang
mengecewakan karena penyedia layanan tidak memberikan penghematan yang diperkirakan,
dan hilangnya informasi rahasia
Selain itu, kompensasi dan tunjangan selalu menjadi aktivitas proses MSDM yang sangat
sensitif dan kompleks dalam sistem produksi. Model kompensasi menyajikan imbalan finansial
dan non-finansial yang terkait dengan upaya dan kinerja karyawan dan eksekutif. Kegiatan
kompensasi dan tunjangan dianggap sangat penting karena dua alasan utama, yaitu kompensasi
merupakan faktor motivasi bagi karyawan dan biaya operasional bagi perusahaan, maka terdapat
tuntutan agar proses pemberian penghargaan menjadi sangat efektif dan efisien untuk mencapai
kepuasan karyawan dan pemegang saham. Kedua, banyaknya penipuan, risiko dan masalah yang
terkait dengan jumlah kompensasi eksekutif di masa lalu menyebabkan perlunya manajemen dan
pengendalian yang tepat dalam proses ini. Salah satu cara yang mungkin untuk mencapai
efektivitas dan efisiensi proses kompensasi dalam hal tata kelola, manajemen risiko dan
pengendalian yang tepat adalah audit internal. Oleh karena itu, (Berber et al., 2012) melakukan
penelitian terkait hal tersebut. Temuan dari penelitian itu menunjukkan bahwa alasan utama
penerapan audit internal melalui sistem langkah-langkah yang terencana (mengumpulkan
informasi, evaluasi, analisis dan perencanaan tindakan) dan pendekatan (terutama melalui survei)
adalah untuk memperoleh informasi yang akan berguna bagi organisasi secara keseluruhan.
dalam hal perbaikan proses bisnis terkait kompensasi dan benefit. Selain itu, audit internal atas
paket kompensasi dan tunjangan dapat meminimalkan risiko yang terkait dengan proses
kompensasi SDM (risiko pasar kerja, risiko reputasi, risiko kepatuhan, risiko kemitraan
eksternal, risiko operasi, risiko pelaporan keuangan, dll.) dimana risiko reputasi adalah salah satu
risikonya. Alasan paling umum untuk melakukan audit internal
2. Hasil Penelitian
Beberapa peranan Fungsi SDM dalam perubahan minset dan suasana meliputi: membentuk
tata kelola perusahaan yang baik, berperan penting dalam keberhasilan merger dan akuisisi, dan
mengembangkan kemitraan yang strategis. Peran yang pertama, yaitu membentuk tata kelola
perusahaan yang baik. Tata kelola perusahaan memainkan peran dinamis dalam dunia bisnis.
Tata kelola yang baik di perusahaan menjamin kinerja serta daya saing perusahaan. Masalah
keagenan yang menghambat pertumbuhan perusahaan dapat dikurangi dengan tata kelola yang
baik. Hasil penelitian (Hossain et al., 2019) menunjukkan bahwa transparansi CEO, CRO dan
anggota dewan serta kesetiaan mereka dalam menjalankan tugas membentuk tata kelola yang
baik dan oleh karena itu menjamin budaya dan nilai-nilai perusahaan yang mempengaruhi
manajemen risiko bank. Peran manajemen senior dan supervisor diperlukan agar manajemen
risiko menjadi efisien karena merekalah yang paling bertanggung jawab dalam mengambil
strategi di unit bisnis.
Kedua, berperan penting dalam keberhasilan merger dan akuisisi. Merger dan akuisisi
merupakan salah satu bentuk perubahan bagi sebuah organisasi. Proses perubahan harus didekati
dengan hati-hati dan penuh pertimbangan karena hal ini akan mempengaruhi perilaku
psikososial. Perubahan menjadi permasalahan pribadi yang penuh dengan emosi dan jika dialami
secara negatif, menjadi faktor penghambat yang dipenuhi emosi seperti ketakutan, kemarahan,
dan dendam, sehingga membuat karyawan merasa lelah dan putus asa, serta perubahan tersebut.
Sebaliknya, Jika dialami secara positif, hal ini dapat menimbulkan perasaan gembira dan penuh
harapan, membuat karyawan bersemangat dan terlibat. Menurut Ivancevich dkk. (1987) dalam
penelitian (van Niekerk, 2023) mengusulkan proses akuisisi dibagi menjadi empat tahap, yang
meliputi: (1) perencanaan (mengeksplorasi kelayakan akuisisi); (2) in-play (menilai kelayakan
akuisisi); (3) terhenti atau transisi (kesepakatan selesai, pejabat akuisisi); dan (4) stabilisasi
(bisnis memasuki pola normal baru) Ini sejalan dengan yang diusulkan Seo dan Hill (2005) yang
mengusulkan Kerangka integratif empat tahap, meliputi: (1) pra-akuisisi; (2) perencanaan awal
dan kombinasi formal; (3) kombinasi operasional; dan (4) stabilisasi. Penelitian (van Niekerk,
2023) bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor psikososial yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi suatu perubahan inisiatif manajemen, yang merupakan penerapan
kerangka ORM selama akuisisi lintas batas, muncul tiga tema. Pertama, hasil penelitian ini
menekankan faktor psikososial yang menghambat dan menciptakan resistensi terhadap
perubahan. Kedua, Penelitian tersebut menegaskan pentingnya keterlibatan, komunikasi, dan
kolaborasi pemangku kepentingan, karena setiap tahapan memerlukan pengambilan keputusan
dan perencanaan yang ekstensif. Terakhir, penelitian ini menyoroti pentingnya integrasi
pemangku kepentingan dan tugas dalam mengubah perilaku psikososial.
Peran yang ke tiga dari Fungsi SDM dalam perubahan minset dan suasana yaitu
Mendapatkan Sumber Daya Manusia yang Strategis/Kompeten. Manajemen sumber daya
manusia memegang peranan penting dalam mengembangkan tenaga kerja yang lebih kompeten
secara budaya. Hasil temuan penelitian (Whitman & Valpuesta, 2010) menunjukkan bahwa
sebagian besar pembela HAM memfokuskan upaya mereka pada perekrutan berdasarkan ras/
kandidat yang beragam secara etnis dan melatih staf administrasi dan perawat untuk merawat
budaya dan pasien yang beragam Bahasa begitupun sebaliknya. Sumber daya manusia
profesional harus mengidentifikasi yang sesuai strategi untuk merekrut berdasarkan ras, etnis,
dan individu yang beragam secara linguistik berdasarkan demografi wilayah layanan mereka saat
ini. Oleh karena itu, upaya untuk mengembangkan tenaga kerja yang kompeten secara budaya
tidak boleh berhenti dengan merekrut individu yang beragam. Sehingga penting untuk
memberikan pelatihan keberagaman yang berkelanjutan kepada seluruh karyawan untuk
meminimalisir hambatan yang ada dan perbedaan yang mungkin tercipta. Selain itu, upaya untuk
mengembangkan kebutuhan tenaga kerja yang lebih beragam agar dimasukkan dalam strategi
organisasi secara keseluruhan untuk mendapatkan Sumber Daya Manusia yang Kompeten.
2. Hasil Penelitian
Salah satu faktor organisasi yang diyakini lebih signifikan dalam menciptakan kerangka kerja
structural suatu organisasi dan oleh karena itu memberikan fokus untuk pengembangan
organisasi adalah stress kerja yang merupakan faktor risiko. Menurut UK Health and Safety
Executive (HSE) tahun 2018 dalam penelitian (Hampton et al., 2019) mendefinisikan stres
terkait pekerjaan sebagai “reaksi merugikan yang dialami seseorang terhadap tekanan berlebihan
atau jenis tuntutan lain yang dibebankan pada mereka”. Tujuan dari Penelitian tersebut yaitu
untuk menyelidiki bagaimana stres berkembang dan memanifestasikan dirinya dalam pengaturan
konstruksi. Lebih tepatnya, penelitian ini difokuskan pada penyelidikan tiga aspek stress yang
berbeda, yaitu: (1) faktor stres; (2) akibat stres dan dampaknya terhadap pekerja konstruksi; Dan
(3) alat dan tindakan untuk mengatasi stres. Hasil Penelitian tersebut menunjukkan bahwa stres
lazim terjadi di bidang konstruksi dan pekerja sering kali mampu mengenali dan
membicarakannya. Jenis dan sumber stres juga diketahui oleh para pekerja. Terdapat implikasi
kebijakan dan kesehatan masyarakat yang signifikan terkait dengan penanganan sumber stres
pekerja konstruksi baik pada tingkat individu maupun organisasi. Pada tingkat individu, penting
untuk menemukan strategi baru yang memungkinkan pekerja menghadapi masalah stres yang
akan menjamin kompetensi, privasi, dan kecepatan mereka dalam mencegah perilaku berbahaya
(misalnya penggunaan narkoba, atau perjudian). Di tingkat organisasi, penting untuk
memberikan layanan yang berkesinambungan di tempat kerja, termasuk tindakan perlindungan
untuk mencegah sumber stres yang dapat diprediksi (misalnya memberikan dukungan yang
ditargetkan dengan akses langsung ke layanan psikologis dan konseling) yang dikombinasikan
dengan kegiatan pelatihan khusus untuk pekerja konstruksi mencakup beberapa aspek hubungan
(misalnya komunikasi yang dapat dinilai dan transparan di antara anggota staf, ketegasan,
kesetaraan dalam sistem hierarki) untuk meningkatkan ketahanan, kesejahteraan, dan
peningkatan fungsi kerja.
Faktor lainnya adalah desain pekerjaan. Penelitian (Belloc et al., 2022) sifat desain pekerjaan
tidak dapat dipahami secara terpisah dari fitur-fitur tata kelola perusahaan. Sejauh mana
karyawan diberi informasi, konsultasi, dan berbagi hak pengambilan keputusan dengan pemilik
modal melalui saluran ER yang dilembagakan yang membentuk sifat desain pekerjaan, dan
sebaliknya. Penelitian tersebut mengusulkan desain pekerjaan dan risiko otomasi yang terkait, di
satu sisi, dan tata kelola tempat kerja, sebagaimana tercermin dari kehadiran dan aktivitas saluran
yang dilembagakan untuk suara kolektif karyawan, di sisi lain – harus selaras. saling melengkapi
dan memperkuat satu sama lain. Hasil Penelitian tersebut adalah mengembangkan Kerangka
teoritis evolusioner yang menghubungkan keberadaan badan-badan ER dan desain pekerjaan
yang memiliki tingkat risiko otomasi yang berbeda-beda dalam hubungan dua arah: di satu sisi,
desain pekerjaan yang rawan otomatisasi membuat ER lebih kecil kemungkinannya untuk
dibentuk, karena pekerja tidak memilikinya. Selain itu, ER memfasilitasi penerapan desain
pekerjaan yang kaya dan ditandai dengan risiko otomasi yang rendah, karena ER mendukung
komitmen upaya kelompok dan mengurangi kebutuhan pengusaha untuk mengubah tugas
kompleks menjadi tugas rutin dan lebih mudah dipantau.
Selain itu, kerangka kerja komunikasi juga merupakan faktor organisasi yang diyakini lebih
signifikan dalam menciptakan kerangka kerja structural suatu organisasi yang memberikan fokus
untuk pengembangan organisasi. Salah satu implementasi kerangka kerja komunikasi adalah
pada saat krisis. Penelitian (Slabbert & Barker, 2011) memberikan kontribusi yaitu mendorong
proses komunikasi krisis strategis melalui fokus utama pada pembangunan hubungan pemangku
kepentingan melalui komunikasi dua arah, yang tidak ada dan/atau terbatas dalam literatur yang
ada. Namun, elemen penting lainnya yang perlu dipertimbangkan untuk berkontribusi terhadap
proses strategis ini, seperti penyelarasan strategi komunikasi krisis dengan strategi komunikasi
dan organisasi secara keseluruhan, belum ditangani. Selain itu, penelitian ini menunjukkan
perlunya komunikasi krisis harus memiliki hubungan timbal balik dengan Manajemen krisis,
sehingga menekankan bahwa komunikasi krisis tidak hanya merupakan proses reaktif tetapi
komunikasi krisis dua arah harus dipraktikkan sebelum, selama dan setelah krisis. Sebuah
koherensi yang unik dan hubungan yang saling melengkapi antara IC dan variabel teori
keunggulan diidentifikasi, menekankan proposisi ICC untuk memfasilitasi komunikasi krisis
strategis dengan media, dan pentingnya membangun hubungan pemangku kepentingan yang
berkelanjutan secara umum.
2. Hasil Penelitian
Ada beberapa klasifikasi kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia, meliputi: Slip and
Lapses, Mistakes, Kegagalan Laten dan Pelanggaran yang disengaja. Pertama, Slip and Lapses.
Slips terjadi karena kurangnya perhatian karena tugas-tugas biasa. Lapses terjadi karena
kegagalan ingatan. Slips and lapses sering terjadi karena stress seperti pekerjaan yang terlalu
banyak dalam durasi yang singkat. Pada sektor perdagangan keuangan kesalahan ini sering
terjadi yang menyebabkan insiden. Namun kesalahan ini dapat terdeteksi oleh sistem. Penelitian
(Leaver & Reader, 2016) menunjukkan bahwa faktor manusia yang mendasari insiden kritis
dalam perdagangan keuangan, kesalahan terkait slip/lapse (misalnya, kesalahan jari yang gemuk)
adalah kategori yang paling sering terjadi. Kesalahan ini sering terjadi sendiri tanpa masalah
faktor manusia lainnya (misalnya, kerjasama tim), dan lebih mungkin terkait dengan hasil hampir
terjadi (menunjukkan bahwa kesalahan tersebut terdeteksi oleh staf perdagangan). Kesalahan ini
lebih sering dilaporkan dalam catatan insiden operasional daripada yang lain (misalnya,
keterampilan pengambilan keputusan), karena kesalahan tersebut relatif mudah dideteksi secara
retrospektif, dan peserta mungkin memiliki kecenderungan untuk melaporkan kejadian yang
kurang menghukum dan mudah dideteksi (misalnya, kesalahan jari yang gemuk, mengikuti
prosedur) daripada masalah yang kompleks dan menghukum (misalnya, gagal
mempertimbangkan opsi). Secara umum, masalah slip/lapse tidak menyebabkan insiden serius,
karena sering kali dapat segera diperbaiki melalui prosedur organisasi (misalnya, pemeriksaan
silang tim).
Mistakes adalah kesalalan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman suatu proses atau situasi.
Kesalahpahaman terjadi karenan pelaku percaya bahwa apa yang mereka lakukan itu benar.
Dalam Penelitian (Morgan et al., 2016) disebutkan kecelakaan dan insiden itu dikaitkan dengan
kesalahan (kesalahan berbasis pengetahuan atau aturan). Secara signifikan terkait dengan
kekurangan pengetahuan dan pelatihan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan persepsi
responden mereka adalah bahwa kecelakaan dan insiden terjadi sebagai akibat tidak langsung
dari kurangnya pengalaman dan kurangnya kesadaran keselamatan (pekerja yang tidak
berpengalaman dianggap kurang “melek keselamatan”). Selain itu, faktor tuntutan tugas,
khususnya kelelahan dan tekanan waktu sering dikaitkan dengan kesalahan berbasis
keterampilan ini dengan responden menyoroti terjadinya kesalahan tindakan (seperti menekan
tombol yang salah, bahkan untuk pekerja yang rajin maupun staf berpengalaman. Misalnya,
salah satu peserta yang mengalami kejadian nyaris celaka menganggap hal ini sebagai
kehilangan konsentrasi karena kelelahan dan berkata, “jika saya benar-benar aktif, sadar akan
keselamatan sepanjang waktu, saya akan melihat sebelum saya turun dari mesin”. Yang lain
berkomentar, “jika Anda merasa tertekan dan mencoba memikirkan segala sesuatu yang perlu
Anda lakukan, siapa yang perlu Anda hubungi, apa pun itu, ada risiko lebih besar untuk
melupakan sesuatu”. Kombinasi dari kurangnya pengalaman dan tekanan dianggap sangat
problematis.
Klasifikasi kesalahan yang ketiga yaitu kegagalan laten. Kegagalan laten mengacu pada
kesalahan dan pelanggaran prosedur terkait risiko yang tidak memiliki dampak langsung namun
masuk dalam masa 'inkubasi' dalam sistem dan akan keluar saat dipicu. Penelitian yang berjudul
Memahami Kesalahan Manusia dalam Kecelakaan Penerbangan Angkatan Laut bertujuan untuk
lebih memahami faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja dan keputusan penerbang
yang terlibat dalam kecelakaan penerbangan Angkatan Laut. Penelitian tersebut meneliti 14
faktor kegagalan laten menggunakan Teorema Bayes untuk menunjukkan besaran peluang
masing-masing terhadap Pengaruh terjadinya kecelakaan penerbangan Angkatan Laut. Faktor-
faktor tersebut dibagi kedalam tiga kategori yaitu: 1). Prasyarat yang terdiri dari faktor kesadaran
mental, kerja tim, keadaan pikiran, kesalahpahaman sensorik, lingkungan teknologi, lingkungan
fisik dan masalah fisik. 2). Pengawasan yang tidak aman terdiri dari faktor pengawasan yang
tidak memadai, pelanggaran pengawasan dan merencanakan operasi yang tidak tepat. 3).
Pengaruh organisasi yang terdiri dari faktor masalah kebijakan dan proses, Pengaruh iklim dan
budaya, masalah sumber daya dan seleksi personel & penempatan staf. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan dari 14 faktor laten yang dianalisis, penerapan Bayes mengidentifikasi 6 faktor
yang berdampak pada aspek spesifik perilaku penerbang saat terjadi kecelakaan. Faktor
lingkungan teknologi, kesalahan persepsi, dan kesadaran mental berdampak pada keterampilan
dasar penerbangan. Tiga faktor sisanya digunakan untuk menginformasikan analisis isi informasi
kontekstual dalam laporan kecelakaan. Kegagalan kerja tim adalah akibat dari kelanjutan rencana
yang diperburuk oleh tanggung jawab yang tersebar. Keterbatasan sumber daya dan defisiensi
manajemen risiko berdampak pada penilaian yang dibuat oleh komandan skuadron (Miranda,
2018).
Terakhir adalah Pelanggaran yang Disengaja. Jenis kesalahan ini merupakan kesalahan yang
dilakukan dengan kesadaran dan pengetahuan bahwa sesuatu yang dilakukan itu memang
merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran yang disengaja kemungkinan akan meningkat dan
memperparah konsekuensi kesalahan dalam organisasi di mana penegakan aturan manajemen
risiko dibiarkan menyimpang. Salah satu bentuk pelanggaran yang disengaja ini di teliti oleh
(Boos et al., 2020). Penelitian tersebut menggabungkan pendekatan untuk mengevaluasi
kepatuhan pengemudi. Kerangka kerja ini dirancang untuk membedakan antara pelanggaran
yang tidak disengaja, seperti kesalahan mode, dan pelanggaran yang disengaja dalam
pemantauan sistem. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kesalahan yang tidak disengaja (dalam
hal ini kesalahan mode) harus ditangani dengan mengadaptasi antarmuka manusia-mesin,
misalnya dengan menambahkan penekanan pada mode saat ini dan tanggung jawab pengemudi
yang terkait. Pelanggaran yang disengaja membutuhkan solusi motivasi dan sosial, seperti
pelatihan pengemudi yang komprehensif termasuk kegagalan sistem dan materi informasi yang
mempromosikan tingkat kepercayaan yang memadai pada otomasi. Karena literatur, bersama
dengan studi yang ada, menunjukkan bahwa ketidakpatuhan yang disengaja mencakup sejumlah
besar pengemudi yang mengabaikan pemantauan sistem dalam pengemudi otomatis, hal ini
mengindikasikan bahwa prosedur saat ini untuk informasi pengemudi (manual sistem) dan
pelatihan (biasanya tidak ada pelatihan tambahan untuk bantuan pengemudi dan otomasi yang
disediakan) mungkin sudah tidak cukup lagi untuk memastikan pemahaman sistem yang
mendalam yang mencakup tingkat kepercayaan yang memadai pada otomasi dan persepsi risiko.
Belloc, F., Burdin, G., Cattani, L., Ellis, W., & Landini, F. (2022). Coevolution of job
automation risk and workplace governance. Research Policy, 51(3), 104441.
https://doi.org/10.1016/j.respol.2021.104441
Berber, N., Pasula, M., Radošević, M., Ikonov, D., & Kočić Vugdelija, V. (2012). Internal Audit
of Compensations and Benefits: Tasks and Risks in Production Systems. Engineering
Economics, 23(4), 414–424. https://doi.org/10.5755/j01.ee.23.4.1143
Boos, A., Feldhütter, A., Schwiebacher, J., & Bengler, K. (2020). Mode Errors and Intentional
Violations in Visual Monitoring of Level 2 Driving Automation. 2020 IEEE 23rd
International Conference on Intelligent Transportation Systems, ITSC 2020.
https://doi.org/10.1109/ITSC45102.2020.9294690
Calvard, T. S., & Jeske, D. (2018). Developing human resource data risk management in the age
of big data. International Journal of Information Management, 43(July), 159–164.
https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2018.07.011
Hampton, P., Chinyio, E. A., & Riva, S. (2019). Framing stress and associated behaviours at
work: An ethnography study in the United Kingdom. Engineering, Construction and
Architectural Management, 26(11), 2566–2580. https://doi.org/10.1108/ECAM-10-2018-
0432
Hossain, A., Sobhani, F. A., Omar, N., Mohamad, N., & Said, J. (2019). Corporate governance,
risk management and ethical investment: Evidence from banking industries. International
Journal of Financial Research, 10(5), 126–137. https://doi.org/10.5430/ijfr.v10n5p126
Kozubíková, L., Zámečník, R., & Výstupová, L. (2020). The perception of human resource risks
in the v4 countries. Polish Journal of Management Studies, 21(2), 210–222.
https://doi.org/10.17512/pjms.2020.21.2.15
Leaver, M., & Reader, T. W. (2016). Human Factors in Financial Trading: An Analysis of
Trading Incidents. Human Factors, 58(6), 814–832.
https://doi.org/10.1177/0018720816644872
Miranda, A. T. (2018). Understanding Human Error in Naval Aviation Mishaps. Human Factors,
60(6), 763–777. https://doi.org/10.1177/0018720818771904
Morgan, J. I., Abbott, R., Furness, P., & Ramsay, J. (2016). UK rail workers’ perceptions of
accident risk factors: An exploratory study. International Journal of Industrial Ergonomics,
55, 103–113. https://doi.org/10.1016/j.ergon.2016.08.003
Slabbert, Y., & Barker, R. (2011). An integrated crisis communication framework for strategic
crisis communication with the media: A case study on a financial services provider.
Communicatio, 37(3), 443–465. https://doi.org/10.1080/02500167.2011.609996
van Niekerk, A. (2023). Psychosocial factors influencing change management: An African cross-
border acquisition case. SA Journal of Human Resource Management, 21, 1–10.
https://doi.org/10.4102/sajhrm.v21i0.2279
Whitman, M. V., & Valpuesta, D. (2010). Examining human resources’ efforts to develop a
culturally competent workforce. Health Care Manager, 29(2), 117–125.
https://doi.org/10.1097/HCM.0b013e3181da892d