Anda di halaman 1dari 27

Ujian Akhir Semester

RISIKO KETENAGAKERJAAN

Disusun Oleh :

Ridha Amalia Hakim 242221067

PROGRAM STUDI MAGISTER


MANAJEMENFAKULTAS EKONOMI DAN
BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA

2023
HUMAN RESOURCES RISK MANAGEMENT

1. Teori
Manajemen risiko SDM adalah pendekatan yang mengintegrasikan pengelolaan risiko yang
terkait dengan SDM dalam sebuah organisasi. Risiko-risiko yang tercakup dalam manajemen
risiko SDM meliputi:
• Sumber Daya Manusia – Sumber daya manusia atau risiko manusia.
Pendekatan dalam manajemen Sumber Daya Manusia yang memperlakukan orang-orang
dalam organisasi sebagai faktor strategis tingkat tinggi yang merupakan aset positif dan aktif
yang perlu dikembangkan, bukan sekadar biaya pasif. Artinya, dalam pendekatan ini,
perusahaan menganggap karyawan sebagai sumber daya berharga yang dapat memberikan
kontribusi signifikan dalam mencapai tujuan organisasi. Dimana pendekatan ini menekankan
pentingnya menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam pengembangan karyawan
sehingga mereka dapat memberikan dampak positif pada kesuksesan perusahaan.
• Risiko operasional Sumber Daya Manusia
Risiko operasional Sumber Daya Manusia adalah risiko yang muncul akibat pengelolaan
operasional dari fungsi Sumber Daya Manusia dan dukungannya langsung terhadap
organisasi. Artinya, risiko ini terkait dengan bagaimana Sumber Daya Manusia mengelola
tugas-tugas sehari-hari mereka dan bagaimana mereka memberikan dukungan langsung
kepada organisasi.
• Risiko profesional Sumber Daya Manusia
Risiko profesional Sumber Daya Manusia adalah risiko yang muncul karena persepsi yang
dibentuk oleh manajer dan karyawan tentang peran dan kontribusi yang saat ini atau dapat
dilakukan oleh fungsi Sumber Daya Manusia terhadap organisasi, serta terhadap manajer dan
karyawan secara pribadi. Persepsi ini seringkali bersifat historis dan seringkali terbentuk di
organisasi lain. Artinya, risiko ini terkait dengan bagaimana orang-orang dalam organisasi
memandang peran dan nilai dari fungsi Sumber Daya Manusia.
• Risiko pribadi Sumber Daya Manusia
Risiko personal Sumber Daya Manusia adalah risiko yang muncul akibat kurangnya
pengembangan peran dan pribadi yang membatasi kemampuan individu yang bekerja di
bidang Sumber Daya Manusia untuk memberikan kontribusi yang efektif kepada organisasi.
Artinya, risiko ini terkait dengan kurangnya kesempatan bagi para profesional Sumber Daya
Manusia untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka secara pribadi
maupun dalam peran mereka. Ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk memberikan
kontribusi yang efektif kepada organisasi.
Fungsi Sumber Daya Manusia dianggap memiliki peran penting dalam mendukung
pengembangan dan keberhasilan organisasi. Beberapa peran tersebut meliputi:
• Membantu mengidentifikasi dan menjaga tujuan, strategi, dan objektif organisasi. Fungsi
SDM dapat membantu memastikan bahwa organisasi memiliki arah yang jelas dan konsisten.
• Mengelola hubungan di dalam organisasi. Fungsi SDM dapat membantu membangun
hubungan yang baik antara manajemen dan karyawan, serta memfasilitasi kolaborasi yang
efektif di antara mereka.
• Maksimalkan peluang dan meminimalkan risiko terkait dengan SDM dalam jaringan dan
organisasi secara keseluruhan. Fungsi SDM harus memastikan bahwa organisasi memiliki
tenaga kerja yang berkualitas, terampil, dan memiliki keterampilan yang sesuai untuk
mencapai tujuan.
• Memastikan bahwa individu dalam organisasi memiliki kompetensi, pengetahuan, dan
keterampilan yang diperlukan untuk mencapai tujuan, termasuk membangun hubungan yang
efektif dan jaringan yang sukses.
Ada lima konsep inti yang penting dalam pengelolaan risiko Sumber Daya Manusia (SDM),
meliputi:
• Organisasi harus menyertakan pengelolaan risiko SDM dalam sistem pengelolaan risiko
secara keseluruhan, tidak hanya terbatas pada asuransi dan operasi keuangan.
• Fungsi SDM harus fokus pada pengelolaan risiko manusia dan dianggap sebagai bagian
penting dalam pengelolaan risiko organisasi, bukan sekadar birokrasi administratif.
• Para profesional SDM harus menggunakan teknik pengelolaan risiko untuk mengidentifikasi
risiko dan mengevaluasi opsi pengendalian, serta menunjukkan nilai tambah yang diberikan
oleh pengelolaan risiko SDM.
• Para profesional SDM harus mengadopsi pendekatan proaktif yang berbasis risiko dan
berfokus pada bisnis, bukan hanya bersifat reaktif dan patuh pada peraturan.
• Para profesional SDM harus membentuk kemitraan bisnis dengan pihak-pihak terkait di
organisasi dan terlibat dalam proses strategi dan perencanaan bisnis sejak awal.
Manajemen risiko SDM yang efektif akan melibatkan peran SDM dalam mendukung
pengembangan dan keberhasilan organisasi. Ini menunjukkan pentingnya mengelola risiko SDM
secara proaktif dengan menggunakan pendekatan yang berfokus pada bisnis dan menggabungkan
teknik manajemen risiko serta melakukan kolaborasi dengan pemangku kepentingan kunci
lainnya, seperti manajemen keuangan, juga penting dalam meminimalkan risiko dan
memaksimalkan peluang.
Manajemen risiko SDM yang baik memiliki dampak yang signifikan terhadap keberhasilan
organisasi. Fungsi SDM harus dilihat sebagai mitra bisnis yang memberikan nilai tambah, bukan
hanya sebagai fungsi administratif. Dengan mengubah fokus dan persepsi terhadap fungsi SDM,
organisasi dapat mengidentifikasi prioritas dan solusi yang berbeda, serta meningkatkan
pengelolaan peluang bisnis dan komersial.
Kesimpulanya, Manajemen risiko SDM harus menjadi bagian integral dari sistem
manajemen risiko organisasi secara keseluruhan. Fungsi SDM harus terlibat secara aktif dalam
manajemen risiko organisasi secara luas, bukan hanya fokus pada aspek administratif.
Kolaborasi dengan pemangku kepentingan kunci lainnya, seperti manajemen keuangan, juga
ditekankan sebagai faktor penting dalam meminimalkan risiko dan memaksimalkan peluang.

2. Hasil Penelitian
Untuk mencapai hasil yang baik dalam hal mengurangi biaya dan meningkatkan pendapatan,
diperlukan sistem manajemen risiko yang baik. Sistem ini memberi peringatan tentang bahaya
yang mungkin terjadi tetapi tidak menghentikan investasi berisiko. Biaya tenaga kerja sering
menjadi bagian terbesar dari biaya total perusahaan. Saat ini, perusahaan menggunakan alat
manajemen sumber daya manusia baru untuk mengoptimalkan biaya dan menginvestasikan
kelebihan dana dalam kegiatan baru. Ini dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan
memotivasi karyawan. Manajemen risiko adalah salah satu alat tersebut.
Penelitian (Kozubíková et al., 2020) bertujuan untuk mengevaluasi sumber risiko sumber
daya manusia yang penting di beberapa negara dan menemukan perbedaan dalam persepsi risiko
antara negara-negara tersebut. Hasilnya menunjukkan perbedaan signifikan dalam persepsi risiko
sumber daya manusia antara negara-negara tersebut. Secara umum, risiko sumber daya manusia
adalah istilah yang semakin sering ditemukan dalam kosakata yang digunakan oleh manajer
sumber daya manusia dan perusahaan. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan secara statistik dalam persepsi sumber risiko sumber daya manusia
yang berbeda antara negara-negara V4 (CZ – Republik Ceko; SK - Slovakia; PL – Polandia dan
HU – Hongaria). Sebagai sumber risiko sumber daya manusia yang paling penting, responden di
Republik Ceko dan Slovakia menganggap "kualifikasi karyawan yang tidak memadai". Di
Hongaria, "tingkat pergantian karyawan yang tinggi" dan di Polandia, "kesalahan karyawan"
dianggap sebagai sumber risiko sumber daya manusia yang paling intens. Akibatnya, perbedaan
yang signifikan secara statistik terungkap antara Hongaria dan negara-negara V4 lainnya dalam
persepsi "tingkat pergantian karyawan yang tinggi" dan "kualifikasi karyawan yang tidak
memadai"; antara Polandia dan negara-negara V4 lainnya dalam persepsi "kesalahan karyawan"
dan terakhir, antara Slovakia dan negara-negara V4 lainnya dalam evaluasi "semangat kerja
rendah dan disiplin".
Dalam praktik sumber daya manusia (SDM), manajemen risiko dan Manajemen data (besar)
bersinggungan dalam sejumlah bidang, terutama dalam hal bagaimana risiko dan praktik SDM
dan data dapat mengakibatkan atau memitigasi risiko reputasi atau hukum yang terkait. Menurut
Penelitian (Calvard & Jeske, 2018) terdapat tiga cara pengelolaan risiko seputar big data, yang
meliputi:
• Big data sebenarnya memperkuat kebutuhan akan strategi manajemen risiko yang
terinformasi secara menyeluruh dan praktik SDM yang tepat untuk mencegah risiko tertentu
terhadap individu, pemberi kerja, dan organisasi secara keseluruhan. Sehingga Fungsi SDM
dan professional memiliki peran penting di sini, karena data yang menjadi tanggung jawab
mereka untuk dikelola secara internal. Melalui tanggung jawab mereka terhadap data
karyawan, HR dapat berpartisipasi dalam manajemen risiko dan memastikan pengembangan
dan penerapan praktik terbaik ketika menghadapi tantangan big data yang timbul karena
pemangku kepentingan internal maupun eksternal dan saling ketergantungan
(misalnyadengan penyedia penyimpanan data dan konsultan).
• Upaya big data dalam organisasi merupakan faktor risiko yang muncul dalam bidang ini,
karena hal tersebut dapat mengganggu kesehatan karyawan dan kemampuan untuk menjaga
keseimbangan kehidupan kerja yang sehat, karena pemantauan yang terus menerus dan
meluas serta meningkatnya tekanan kinerja dan pekerjaan. intensifikasi yang mungkin
timbul.
• Menurut Becker dan Smidt (2016) dalam penelitian (Calvard & Jeske, 2018) juga mencatat
risiko yang timbul sehubungan dengan keputusan penempatan staf, keputusan untuk
melakukan outsourcing SDM atau pengurangan jumlah karyawan. Keputusan seperti itu
kemudian dapat menimbulkan risiko baru bagi penyedia layanan, penghematan biaya yang
mengecewakan karena penyedia layanan tidak memberikan penghematan yang diperkirakan,
dan hilangnya informasi rahasia
Selain itu, kompensasi dan tunjangan selalu menjadi aktivitas proses MSDM yang sangat
sensitif dan kompleks dalam sistem produksi. Model kompensasi menyajikan imbalan finansial
dan non-finansial yang terkait dengan upaya dan kinerja karyawan dan eksekutif. Kegiatan
kompensasi dan tunjangan dianggap sangat penting karena dua alasan utama, yaitu kompensasi
merupakan faktor motivasi bagi karyawan dan biaya operasional bagi perusahaan, maka terdapat
tuntutan agar proses pemberian penghargaan menjadi sangat efektif dan efisien untuk mencapai
kepuasan karyawan dan pemegang saham. Kedua, banyaknya penipuan, risiko dan masalah yang
terkait dengan jumlah kompensasi eksekutif di masa lalu menyebabkan perlunya manajemen dan
pengendalian yang tepat dalam proses ini. Salah satu cara yang mungkin untuk mencapai
efektivitas dan efisiensi proses kompensasi dalam hal tata kelola, manajemen risiko dan
pengendalian yang tepat adalah audit internal. Oleh karena itu, (Berber et al., 2012) melakukan
penelitian terkait hal tersebut. Temuan dari penelitian itu menunjukkan bahwa alasan utama
penerapan audit internal melalui sistem langkah-langkah yang terencana (mengumpulkan
informasi, evaluasi, analisis dan perencanaan tindakan) dan pendekatan (terutama melalui survei)
adalah untuk memperoleh informasi yang akan berguna bagi organisasi secara keseluruhan.
dalam hal perbaikan proses bisnis terkait kompensasi dan benefit. Selain itu, audit internal atas
paket kompensasi dan tunjangan dapat meminimalkan risiko yang terkait dengan proses
kompensasi SDM (risiko pasar kerja, risiko reputasi, risiko kepatuhan, risiko kemitraan
eksternal, risiko operasi, risiko pelaporan keuangan, dll.) dimana risiko reputasi adalah salah satu
risikonya. Alasan paling umum untuk melakukan audit internal

3. Keterkaitan Teori dengan Hasil Penelitian


Teori manajemen risiko SDM menjelaskan bahwa organisasi harus mengintegrasikan
pengelolaan risiko yang terkait dengan SDM dalam sistem pengelolaan risiko secara
keseluruhan, dan bahwa fungsi SDM harus fokus pada pengelolaan risiko manusia sebagai
bagian penting dalam pengelolaan risiko organisasi12. Teori ini juga menekankan pentingnya
menggunakan teknik pengelolaan risiko, mengadopsi pendekatan proaktif yang berbasis risiko
dan berfokus pada bisnis, serta membentuk kemitraan bisnis dengan pihak-pihak terkait di
organisasi.
Hasil penelitian pertama (Kozubíková et al., 2020) mengevaluasi sumber risiko SDM yang
penting di beberapa negara dan menemukan perbedaan dalam persepsi risiko antara negara-
negara tersebut3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan secara
statistik dalam persepsi sumber risiko SDM yang berbeda antara negara-negara V4 (CZ, SK, PL,
dan HU)4. Hasil penelitian ini berkaitan dengan teori manajemen risiko SDM, karena
menunjukkan bahwa organisasi perlu memahami dan mengelola risiko SDM yang berbeda
di berbagai konteks budaya dan geografis, serta menyesuaikan strategi dan praktik SDM
mereka sesuai dengan kebutuhan dan harapan karyawan mereka.
Hasil penelitian kedua (Calvard & Jeske, 2018) mengidentifikasi tiga cara pengelolaan risiko
seputar big data, yaitu: big data memperkuat kebutuhan akan strategi manajemen risiko yang
terinformasi secara menyeluruh dan praktik SDM yang tepat; big data merupakan faktor risiko
yang muncul dalam bidang ini, karena dapat mengganggu kesehatan karyawan dan
keseimbangan kehidupan kerja yang sehat; dan big data juga menimbulkan risiko yang terkait
dengan keputusan penempatan staf, outsourcing SDM, atau pengurangan jumlah karyawan.
Hasil penelitian ini berkaitan dengan teori manajemen risiko SDM, karena menunjukkan
bahwa organisasi perlu mempertimbangkan dampak dan implikasi dari penggunaan big
data dalam pengelolaan SDM, serta mengembangkan praktik terbaik untuk mencegah
atau memitigasi risiko yang terkait dengan big data.
Hasil penelitian ketiga (Berber et al., 2012) menunjukkan bahwa audit internal atas paket
kompensasi dan tunjangan dapat meminimalkan risiko yang terkait dengan proses kompensasi
SDM, seperti risiko pasar kerja, risiko reputasi, risiko kepatuhan, risiko kemitraan eksternal,
risiko operasi, risiko pelaporan keuangan, dll5. Hasil penelitian ini berkaitan dengan teori
manajemen risiko SDM, karena menunjukkan bahwa organisasi perlu melakukan audit
internal secara teratur untuk memastikan bahwa proses kompensasi SDM berjalan dengan
efektif dan efisien, serta sesuai dengan tujuan dan strategi organisasi.
CHANGING MINDSETS AND SETTING THE SCENE
1. Teori
Para profesional SDM harus mengubah pola pikir mereka dan menyadari bahwa manajemen
risiko bukan hanya tanggung jawab departemen lain, tetapi juga merupakan bagian penting dari
pekerjaan mereka. Dalam menghadapi risiko, para profesional SDM dapat berperan dalam
mengidentifikasi risiko yang mungkin merugikan organisasi dan mengadopsi pendekatan
manajemen risiko untuk meningkatkan produktivitas. Mereka juga dapat membantu
mengidentifikasi peluang yang mungkin terlewatkan dan memastikan bahwa risiko kehilangan
peluang tersebut diminimalkan.
Dalam rangka mengelola risiko dan menciptakan peluang, para profesional SDM perlu
memiliki keterampilan dalam mengevaluasi risiko, merencanakan strategi mitigasi risiko, dan
mengembangkan kebijakan dan prosedur yang tepat. Mereka juga harus membangun komunikasi
dan kerjasama yang baik dengan departemen lain dalam organisasi untuk mengelola risiko yang
terkait dengan sumber daya manusia.
Risiko SDM ialah risiko yang berkaitan dengan sumber daya manusia dan pada umumnya
terdiri dari tiga jenis cakupan risiko, yaitu:
• Kepatuhan – risiko yang menyebabkan kerusakan finansial atau reputasi organisasi karena
kegagalan memenuhi persyaratan hukum atau peraturan yang berlaku.
• Produktivitas – risiko yang menyebabkan hilangnya produktivitas atau output karena
karyawan yang kurang terampil atau kurang termotivasi, atau budaya organisasi yang tidak
mendorong upaya diskresioner dari karyawan.
• Pertumbuhan – Risiko yang menyebabkan terjadinya kegagalan terkait memaksimalkan
kemampuan organisasi dalam mengidentifikasi dan mencapai peluang internal atau eksternal
untuk inovasi atau pertumbuhan/perkembangan bisnis.
Terdapat empat tahapan yang dilakukan dalam Identifikasi Risiko SDM, meliputi:
• Penetapan Konteks organisasi: di mana organisasi tersebut beroperasi, misalnya jenis
kegiatan organisasi, di mana mereka berbasis, status kepemilikan, faktor-faktor organisasi.
• Menentukan Kebijakan dan sistem untuk manajemen risiko secara umum.
• Identifikasi Risiko terkait sumber daya manusia, termasuk risiko operasional, profesional,
dan risiko pribadi.
• Identifikasi Risiko yang ditimbulkan oleh bisnis dan operasional organisasi yang memiliki
dampak langsung atau tidak langsung terhadap terhadap pengelolaan risiko sumber daya
manusia.
Terdapat 3 Jenis Risiko terkait Sumber Daya Manusia, yakni:
• Risiko sumber daya manusia secara umum.
• Risiko operasional Sumber Daya Manusia pada tiga tingkatan: strategis, taktis dan
operasional.
• Risiko SDM yang berasal dari profesional dan pribadi
Fungsi SDM memiliki beberapa peranan dalam perubahan minset dan suasana, yang meliputi:
• Membentuk Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
Tata kelola yang baik merujuk pada sistem, proses, dan praktik yang digunakan oleh
organisasi untuk mengelola dan mengarahkan entitas secara efektif, efisien, transparan, dan
bertanggung jawab. Prinsip tata kelola yang baik bertujuan untuk menciptakan lingkungan di
mana organisasi dapat mencapai tujuannya dengan mempertimbangkan kepentingan semua
pemangku kepentingan yang terlibat. Risiko SDM yang muncul akibat dari tidak
dilibatkannya Fungsi SDM dalam penyusunan tata kelola adalah terjadinya perilaku
ketidakpatuhan pegawai terhadap tata kelola yang telah dibentuk oleh perusahaan.
• Berperan Penting dalam Keberhasilan Merger dan Akuisisi
Menurut Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) (2004), mengatakan
bahwa proses Merger dan akuisisi akan berhasil bila Fungsi SDM lebih aktif terlibat di dalam
proses nya. Karena pada umumnya organisasi organisasi hanya berfokus terutama pada aspek
keuangan, ekonomi dan komersial, padahal dengan memperhatikan secara penuh atas isu-isu
sumber daya manusia dalam proses merger atau akuisisi dan mengelolanya secara efektif
maka dapat mengurangi risiko yang terkait dengan merger.
• Mengembangkan kemitraan yang Strategis
Peran Fungsi SDM tidak hanya berkaitan dengan masalah administrasi saja seperti mengurus
gaji atau upah karyawan, namun Fungsi SDM harus sudah dilibatkan sejak awal dalam
proses pemikiran dan perencanaan suatu organisasi, tidak hanya terlibat saat imlementasi
saja. Fungsi SDM harus mampu membawa perubahan dengan mempengaruhi perilaku
karyawan dan mengubah cara orang melakukan sesuatu di dalam organisasi dan dapat
berinteraksi dengan pelanggan dan pemasok.
Selanjutnya terdapat Strategi Untuk Mengembangkan Efektivitas Fungsi SDM, antara lain:
• Mempunyai Keunggulan Administratif
• Meningkatkan Kemampuan Manajemen Proses
• Memahami dan Terlibat di dalam Kemitraan Bisnis
• Mendapatkan Sumber Daya Manusia yang Strategis/Kompeten.

2. Hasil Penelitian
Beberapa peranan Fungsi SDM dalam perubahan minset dan suasana meliputi: membentuk
tata kelola perusahaan yang baik, berperan penting dalam keberhasilan merger dan akuisisi, dan
mengembangkan kemitraan yang strategis. Peran yang pertama, yaitu membentuk tata kelola
perusahaan yang baik. Tata kelola perusahaan memainkan peran dinamis dalam dunia bisnis.
Tata kelola yang baik di perusahaan menjamin kinerja serta daya saing perusahaan. Masalah
keagenan yang menghambat pertumbuhan perusahaan dapat dikurangi dengan tata kelola yang
baik. Hasil penelitian (Hossain et al., 2019) menunjukkan bahwa transparansi CEO, CRO dan
anggota dewan serta kesetiaan mereka dalam menjalankan tugas membentuk tata kelola yang
baik dan oleh karena itu menjamin budaya dan nilai-nilai perusahaan yang mempengaruhi
manajemen risiko bank. Peran manajemen senior dan supervisor diperlukan agar manajemen
risiko menjadi efisien karena merekalah yang paling bertanggung jawab dalam mengambil
strategi di unit bisnis.
Kedua, berperan penting dalam keberhasilan merger dan akuisisi. Merger dan akuisisi
merupakan salah satu bentuk perubahan bagi sebuah organisasi. Proses perubahan harus didekati
dengan hati-hati dan penuh pertimbangan karena hal ini akan mempengaruhi perilaku
psikososial. Perubahan menjadi permasalahan pribadi yang penuh dengan emosi dan jika dialami
secara negatif, menjadi faktor penghambat yang dipenuhi emosi seperti ketakutan, kemarahan,
dan dendam, sehingga membuat karyawan merasa lelah dan putus asa, serta perubahan tersebut.
Sebaliknya, Jika dialami secara positif, hal ini dapat menimbulkan perasaan gembira dan penuh
harapan, membuat karyawan bersemangat dan terlibat. Menurut Ivancevich dkk. (1987) dalam
penelitian (van Niekerk, 2023) mengusulkan proses akuisisi dibagi menjadi empat tahap, yang
meliputi: (1) perencanaan (mengeksplorasi kelayakan akuisisi); (2) in-play (menilai kelayakan
akuisisi); (3) terhenti atau transisi (kesepakatan selesai, pejabat akuisisi); dan (4) stabilisasi
(bisnis memasuki pola normal baru) Ini sejalan dengan yang diusulkan Seo dan Hill (2005) yang
mengusulkan Kerangka integratif empat tahap, meliputi: (1) pra-akuisisi; (2) perencanaan awal
dan kombinasi formal; (3) kombinasi operasional; dan (4) stabilisasi. Penelitian (van Niekerk,
2023) bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor psikososial yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi suatu perubahan inisiatif manajemen, yang merupakan penerapan
kerangka ORM selama akuisisi lintas batas, muncul tiga tema. Pertama, hasil penelitian ini
menekankan faktor psikososial yang menghambat dan menciptakan resistensi terhadap
perubahan. Kedua, Penelitian tersebut menegaskan pentingnya keterlibatan, komunikasi, dan
kolaborasi pemangku kepentingan, karena setiap tahapan memerlukan pengambilan keputusan
dan perencanaan yang ekstensif. Terakhir, penelitian ini menyoroti pentingnya integrasi
pemangku kepentingan dan tugas dalam mengubah perilaku psikososial.
Peran yang ke tiga dari Fungsi SDM dalam perubahan minset dan suasana yaitu
Mendapatkan Sumber Daya Manusia yang Strategis/Kompeten. Manajemen sumber daya
manusia memegang peranan penting dalam mengembangkan tenaga kerja yang lebih kompeten
secara budaya. Hasil temuan penelitian (Whitman & Valpuesta, 2010) menunjukkan bahwa
sebagian besar pembela HAM memfokuskan upaya mereka pada perekrutan berdasarkan ras/
kandidat yang beragam secara etnis dan melatih staf administrasi dan perawat untuk merawat
budaya dan pasien yang beragam Bahasa begitupun sebaliknya. Sumber daya manusia
profesional harus mengidentifikasi yang sesuai strategi untuk merekrut berdasarkan ras, etnis,
dan individu yang beragam secara linguistik berdasarkan demografi wilayah layanan mereka saat
ini. Oleh karena itu, upaya untuk mengembangkan tenaga kerja yang kompeten secara budaya
tidak boleh berhenti dengan merekrut individu yang beragam. Sehingga penting untuk
memberikan pelatihan keberagaman yang berkelanjutan kepada seluruh karyawan untuk
meminimalisir hambatan yang ada dan perbedaan yang mungkin tercipta. Selain itu, upaya untuk
mengembangkan kebutuhan tenaga kerja yang lebih beragam agar dimasukkan dalam strategi
organisasi secara keseluruhan untuk mendapatkan Sumber Daya Manusia yang Kompeten.

3. Keterkaitan Teori dengan Hasil Penelitian


Bagian teori membahas tentang peran fungsi SDM dalam mengubah pola pikir dan suasana
organisasi, khususnya dalam mengelola risiko SDM. Teori tersebut menjelaskan beberapa jenis
risiko SDM, empat tahapan identifikasi risiko SDM, dan beberapa strategi untuk meningkatkan
efektivitas fungsi SDM. Selain itu, dalam teori juga menguraikan beberapa peran fungsi SDM,
antara lain: berperan dalam membentuk tata kelola perusahaan yang baik, berperan penting
dalam keberhasilan merger dan akuisisi, dan mengembangkan kemitraan yang strategis.
Beberapa hasil penelitian yang mendukung teori yang dijelaskan sebelumnya. menunjukkan
bahwa transparansi, kesetiaan, dan keterlibatan manajemen senior dan supervisor dalam tata
kelola perusahaan mempengaruhi budaya dan nilai-nilai organisasi yang berdampak pada
manajemen risiko. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa faktor-faktor psikososial yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi perubahan inisiatif manajemen, seperti resistensi,
komunikasi, dan kolaborasi pemangku kepentingan. Selain itu, hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa upaya untuk mengembangkan tenaga kerja yang kompeten secara budaya
harus dimasukkan dalam strategi organisasi secara keseluruhan.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian, keduanya saling berkaitan dan saling mendukung.
Teori memberikan kerangka konseptual dan landasan teoretis untuk memahami peran fungsi
SDM dalam mengelola risiko SDM dan menciptakan peluang. Hasil penelitian memberikan
bukti empiris dan contoh nyata dari penerapan teori dalam praktik. Keterkaitan antara teori dan
hasil penelitian dapat membantu para profesional SDM untuk mengembangkan pola pikir dan
suasana yang kondusif untuk menghadapi risiko dan peluang di era yang dinamis dan kompetitif.
ORGANIZATIONAL FACTORS
1. Teori
Faktor organisasi adalah sistem, prosedur, dan praktik yang pada akhirnya menentukan
budaya organisasi. Faktor ini mempengaruhi nilai, keyakinan dan harapan yang dimilki oleh
anggota organisasi. Menerapkan manajemen risiko yang efektif akan membutuhkan pemahaman
tentang bagaimana faktor organisasi mempengaruhi perilaku terkait risiko. Merancang faktor
organisasi yang meminimalkan risiko kerugian dan kecelakaan, memaksimalkan pengambilan
risiko untuk mengembangkan peluang akan menghasilkan budaya risiko yang efektif.
Ketika faktor organisasi tidak selaras untuk meminimalkan risiko, kegagalan laten dapat
terjadi. Kegagalan laten adalah akumulasi dari risiko yang tidak terkendali seperti kurangnya
tanggung jawab yang jelas atas pekerjaan, komunikasi yang buruk, dan kurangnya pelatihan.
Kegagalan organisasi seringkali merupakan hasil dari faktor organisasi yang tidak dikelola
dengan baik.
Terdapat beberapa faktor organisasi yang diyakini lebih signifikan dalam menciptakan
kerangka kerja structural suatu organisasi dan oleh karena itu memberikan fokus untuk
pengembangan organisasi. Faktor-faktor tersebut meliputi :
• Komitmen manajemen terhadap proses manajemen risiko
Penerapan strategi manajemen risiko mempunyai manfaat seperti menghindari bahaya,
meminimalkan kemungkinan kegagalan dan pencegahan kerugian. Selain itu, manajemen
risiko yang efektif juga memiliki hasil positif termasuk meningkatkan kinerja, meningkatkan
sistem komunikasi, serta memberi peluang pengembangan organisasi.
• Budaya organisasi dan manajemen risiko
Budaya organisasi mencakup nilai-nilai, keyakinan, dan harapan yang dipegang oleh anggota
organisasi. Faktor-faktor seperti prosedur organisasi, tujuan, gaya manajemen, struktur, dan
manajemen sumber daya mempengaruhi dan membentuk budaya organisasi. SDM dalam
organisasi merupakan modal yang penting. Budaya organisasi juga dipengaruhi oleh variabel
yang lebih luas, seperti fungsi, ukuran, sejarah, dan budaya nasional. Tujuan Sebagian besar
organiasi adalah untuk mengembangkan budaya terpadu yang konsisten dengan tujuan
strategis organisasi. Budaya organisasi berusaha menciptakan identitas Perusahaan dengan
membangkitkan komitmen karyawan terhadap tujuan yang lebih besar daripada kepentingan
pribadi dan kelompok. Budaya organisasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
- Budaya Risiko yang Positif
- Menanamkan Budaya Manajemen Risiko yang Positif
• Kerangka kerja tanggung jawab
Proses manajemen risiko memerlukan siklus berulang untuk mengidentifikasi risiko, menilai
dampak, dan memprioritaskan dan mengurangi risiko. Oleh karena itu tanggung jawab dalam
setiap siklus harus didefinisikan dengan baik. Akuntabilitas harus jelas dan pihak yang
bertanggung jawab harus memiliki peran dan wewenang. Untuk meningkatkan tanggung
jawab atas manajemen risiko, terutama di tingkat operasional, manajer menengah dan
karyawan harus dilibatkan dalam identifikasi dan penilaian risiko. Hal ini membantu
menanamkan budaya risiko yang positif. Secara tradisional fungsi yang paling banyak
terlibat dalam MR adalah keuangan dan asuransi.
• Stres kerja sebagai faktor risiko
Stres dapat didefinisikan sebagai respons fisiologis, psikologis, dan emosional terhadap
situasi atau peristiwa yang mengancam. Hal ini terjadi Ketika ada ketidaksesuaian antara
tuntutan yang dirasakan dari suatu situasi dan kemampuan yang dirasakan individu untuk
mengatasi tuntutan tersebut. Stres merupakan faktor manusia namun penyebab stres di
tempat kerja adalah faktor organisasi. Stres di tempat kerja dapat disebabkan beberapa hal,
seperti Beban Kerja yang Berlebihan, Ambiguitas Peran dan Konflik Peran, Kontrol
Pekerjaan dan Keleluasaan Mengambil Keputusan, Dukungan dan Hubungan di Tempat
Kerja. Untuk mengatasi stress kerja, Manajemen dapat Melakukan strategi seperti Program
Bantuan Karyawan dan Pendekatan Manajemen Risiko Terhadap Stres Kerja.
• Desain pekerjaan
Komponen penting dalam menciptakan budaya manajemen risiko yang positif adalah
merancang pekerjaan/peran yang dapat mengurangi dampak kesalahan manusia. Sebagian
besar adalah merancang pekerjaan/peran yang mengurangi stres dan meningkatkan kepuasan
kerja. Upaya yang dilakukan untuk mendesain ulang pekerjaan, biasanya melibatkan
peningkatan beberapa karakteristik berikut :
- Variasi tugas/keterampilan → meningkatan penggunaan kemampuan
- Otonomi → kontrol lebih besar atas kapan dan bagaimana pekerjaan dilakukan
- Kelengkapan → pekerjaan menghasilkan hasil akhir yang dapat diidentifikasi sehingga
lebih signifikan dan bermakna
- Umpan balik pekerjaan → peningkatan pengetahuan tentang hasil aktivitas kerja
Karakteristik lain yang penting adalah kualitas interaksi sosial dengan rekan kerja dan atasan,
seperti:
- Pertumbuhan Tim Kerja
- Meningkatkan Efektivitas Tim Kerja
- Keterbatasan Tim
• Kerangka kerja komunikasi
Komunikasi yang efektif adalah fondasi yang mendasari sistem manajemen risiko.
Menanamkan budaya risiko membutuhkan tingkat efisiensi komunikasi yang tinggi.
Profesional SDM memiliki posisi untuk merencanakan, mengimplementasikan dan
memantau kerangka kerja komunikasi, juga terlibat dalam menetapkan strategi manajemen
risiko. Hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengembangkan kerangka kerja komunikasi :
- Menggabungkan kosakata umum
- Peran dan tanggung jawab yang jelas
- Mencakup semua pemangku kepentingan
- Mengidentifikasi elemen-elemen kunci yang didistribusikan pada pemangku kepentingan
- Tersedia sistem untuk proses komunikasi, agar komunikasi efektif dan tidak menciptakan
informasi yang berlebihan
- Metode khusus untuk mengkomunikasikan informasi tertentu, misalnya email, bulletin,
laporan tertulis, lokakarya, dll
- Mendorong individu dan tim untuk bertanggung jawab atas komunikasi yang akurat
- Memasukkan isu-isu komunikasi dan penggunaan kerangka kerja komunikasi dalam
program pembelajaran dan pengembangan manajemen risiko
- Menyiapkan audit independen untuk memeriksa apakah kerangka kerja komunikasi telah
memadai untuk digunakan
- Memastikan tanggung jawab komunikasi termasuk dalam tujuan dan menerapkan
penghargaan dan sanksi yang efektif
• Pembelajaran dan pengembangan Serta Manajemen Risiko
Manajemen risiko menyediakan mekanisme yang efektif untuk pertumbuhan dan
peningkatan organisasi. Hal ini dikarenakan risiko yang tidak terkendali diakibatkan oleh
inefisiensi yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan kesalahan, kerugian dan
kecelakaan. Menerapkan sistem manajemen risiko, seperti halnya proses perubahan
organisasi, akan membutuhkan pembelajaran dan pengembangan untuk memberikan
karyawan keterampilan, pengetahuan dan sikap yang diperlukan untuk mencapai tujuan
strategis organisasi. Kurangnya pembelajaran dan pengembangan yang tepat merupakan
penyebab mendasar dari kerugian dan kecelakaan di tempat kerja. Pada tingkat dasar, setiap
program pembelajaran dan pengembangan yang berfokus pada risiko, program pembelajaran
dan pengembangan kemungkinan besar akan beroperasi pada tiga tingkatan:
- Tingkat organisasi secara keseluruhan.
- Tingkat manajemen.
- Tingkat pekerjaan/peran atau tugas.
Proses-proses berikut ini merupakan bagian dari program pembelajaran dan pengembangan
tetapi fokusnya akan bervariasi tergantung pada tingkat organisasi di mana proses-proses
tersebut diterapkan:
- Identifikasi risiko.
- Penilaian risiko.
- Pengembangan keterampilan, kompetensi dan pengetahuan untuk penggunaan sistem
pengendalian risiko secara efektif.
- Memantau efektivitas program pembelajaran dan pengembangan.

2. Hasil Penelitian
Salah satu faktor organisasi yang diyakini lebih signifikan dalam menciptakan kerangka kerja
structural suatu organisasi dan oleh karena itu memberikan fokus untuk pengembangan
organisasi adalah stress kerja yang merupakan faktor risiko. Menurut UK Health and Safety
Executive (HSE) tahun 2018 dalam penelitian (Hampton et al., 2019) mendefinisikan stres
terkait pekerjaan sebagai “reaksi merugikan yang dialami seseorang terhadap tekanan berlebihan
atau jenis tuntutan lain yang dibebankan pada mereka”. Tujuan dari Penelitian tersebut yaitu
untuk menyelidiki bagaimana stres berkembang dan memanifestasikan dirinya dalam pengaturan
konstruksi. Lebih tepatnya, penelitian ini difokuskan pada penyelidikan tiga aspek stress yang
berbeda, yaitu: (1) faktor stres; (2) akibat stres dan dampaknya terhadap pekerja konstruksi; Dan
(3) alat dan tindakan untuk mengatasi stres. Hasil Penelitian tersebut menunjukkan bahwa stres
lazim terjadi di bidang konstruksi dan pekerja sering kali mampu mengenali dan
membicarakannya. Jenis dan sumber stres juga diketahui oleh para pekerja. Terdapat implikasi
kebijakan dan kesehatan masyarakat yang signifikan terkait dengan penanganan sumber stres
pekerja konstruksi baik pada tingkat individu maupun organisasi. Pada tingkat individu, penting
untuk menemukan strategi baru yang memungkinkan pekerja menghadapi masalah stres yang
akan menjamin kompetensi, privasi, dan kecepatan mereka dalam mencegah perilaku berbahaya
(misalnya penggunaan narkoba, atau perjudian). Di tingkat organisasi, penting untuk
memberikan layanan yang berkesinambungan di tempat kerja, termasuk tindakan perlindungan
untuk mencegah sumber stres yang dapat diprediksi (misalnya memberikan dukungan yang
ditargetkan dengan akses langsung ke layanan psikologis dan konseling) yang dikombinasikan
dengan kegiatan pelatihan khusus untuk pekerja konstruksi mencakup beberapa aspek hubungan
(misalnya komunikasi yang dapat dinilai dan transparan di antara anggota staf, ketegasan,
kesetaraan dalam sistem hierarki) untuk meningkatkan ketahanan, kesejahteraan, dan
peningkatan fungsi kerja.
Faktor lainnya adalah desain pekerjaan. Penelitian (Belloc et al., 2022) sifat desain pekerjaan
tidak dapat dipahami secara terpisah dari fitur-fitur tata kelola perusahaan. Sejauh mana
karyawan diberi informasi, konsultasi, dan berbagi hak pengambilan keputusan dengan pemilik
modal melalui saluran ER yang dilembagakan yang membentuk sifat desain pekerjaan, dan
sebaliknya. Penelitian tersebut mengusulkan desain pekerjaan dan risiko otomasi yang terkait, di
satu sisi, dan tata kelola tempat kerja, sebagaimana tercermin dari kehadiran dan aktivitas saluran
yang dilembagakan untuk suara kolektif karyawan, di sisi lain – harus selaras. saling melengkapi
dan memperkuat satu sama lain. Hasil Penelitian tersebut adalah mengembangkan Kerangka
teoritis evolusioner yang menghubungkan keberadaan badan-badan ER dan desain pekerjaan
yang memiliki tingkat risiko otomasi yang berbeda-beda dalam hubungan dua arah: di satu sisi,
desain pekerjaan yang rawan otomatisasi membuat ER lebih kecil kemungkinannya untuk
dibentuk, karena pekerja tidak memilikinya. Selain itu, ER memfasilitasi penerapan desain
pekerjaan yang kaya dan ditandai dengan risiko otomasi yang rendah, karena ER mendukung
komitmen upaya kelompok dan mengurangi kebutuhan pengusaha untuk mengubah tugas
kompleks menjadi tugas rutin dan lebih mudah dipantau.
Selain itu, kerangka kerja komunikasi juga merupakan faktor organisasi yang diyakini lebih
signifikan dalam menciptakan kerangka kerja structural suatu organisasi yang memberikan fokus
untuk pengembangan organisasi. Salah satu implementasi kerangka kerja komunikasi adalah
pada saat krisis. Penelitian (Slabbert & Barker, 2011) memberikan kontribusi yaitu mendorong
proses komunikasi krisis strategis melalui fokus utama pada pembangunan hubungan pemangku
kepentingan melalui komunikasi dua arah, yang tidak ada dan/atau terbatas dalam literatur yang
ada. Namun, elemen penting lainnya yang perlu dipertimbangkan untuk berkontribusi terhadap
proses strategis ini, seperti penyelarasan strategi komunikasi krisis dengan strategi komunikasi
dan organisasi secara keseluruhan, belum ditangani. Selain itu, penelitian ini menunjukkan
perlunya komunikasi krisis harus memiliki hubungan timbal balik dengan Manajemen krisis,
sehingga menekankan bahwa komunikasi krisis tidak hanya merupakan proses reaktif tetapi
komunikasi krisis dua arah harus dipraktikkan sebelum, selama dan setelah krisis. Sebuah
koherensi yang unik dan hubungan yang saling melengkapi antara IC dan variabel teori
keunggulan diidentifikasi, menekankan proposisi ICC untuk memfasilitasi komunikasi krisis
strategis dengan media, dan pentingnya membangun hubungan pemangku kepentingan yang
berkelanjutan secara umum.

3. Keterkaitan Teori dengan Hasil Penelitian


Teori yang digunakan adalah teori manajemen risiko, teori budaya organisasi, teori desain
pekerjaan, teori stres kerja, teori komunikasi, dan teori pembelajaran dan pengembangan. Pada
bagian teori tersebut menguraikan beberapa faktor organisasi yang diyakini lebih signifikan
dalam menciptakan kerangka kerja struktural suatu organisasi, yaitu: komitmen manajemen,
budaya organisasi, kerangka kerja tanggung jawab, stres kerja, desain pekerjaan, kerangka kerja
komunikasi, dan pembelajaran dan pengembangan. Selain itu juga menjelaskan bagaimana
faktor-faktor tersebut mempengaruhi perilaku terkait risiko, kegagalan laten, dan budaya risiko
yang efektif.
Selanjutnya, beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor organisasi
tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bagaimana faktor-faktor organisasi tersebut
dapat meminimalkan atau memaksimalkan risiko, mengatasi atau menimbulkan stres,
meningkatkan atau menurunkan kinerja, dan memberikan peluang atau hambatan untuk
pengembangan organisasi. Hasil penelitian lainnya juga memberikan rekomendasi atau implikasi
untuk praktik manajemen risiko dan pengembangan organisasi.
Secara keseluruhan, teori dan hasil penelitian saling mendukung dan konsisten dalam
menjelaskan hubungan antara faktor-faktor organisasi dengan manajemen risiko dan
pengembangan organisasi. Selain itu juga menunjukkan bahwa faktor-faktor organisasi
merupakan variabel penting yang harus diperhatikan dalam merancang, mengimplementasikan,
dan memantau sistem manajemen risiko yang efektif dan efisien.
HUMAN FACTORS
1. Teori
Human Factors dalam konteks risiko berfokus pada kemampuan manusia dengan praktik
kerja untuk mengurangi kelelahan fisik, tekanan dan cidera serta digunakan untuk menjelaskan
bagaimana faktor-faktor organisasi seperti desain pekerjaan atau perannya mempengaruhi
perilaku manusia. Faktor-faktor manusia memiliki dampak terhadap perilaku pengambilan risiko
di lingkungan kerja yaitu:
• Persepsi terhadap risiko
Persepsi terhadap risiko dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya, nilai-nilai, sikap dan
karakteristik kepribadian individu. Setiap orang akan berbeda-beda dalam cara mereka
memandang risiko tergantung pada seberapa banyak kontrol yang mereka rasakan atas situasi
tersebut dan apakah mereka pernah mengalami konsekuensi negatif sebelumnya. Terdapat
dua teori yang menjelaskan tentang persepsi risiko yaitu:
- Teori ‘risk-homeostasis’ (Wilde, 1982) atau teori keseimbangan risiko yang mengatakan
bahwa individu akan menjaga tingkat risiko yang mereka anggap nyaman untuk suatu
tugas. Contoh semakin aman mobil maka semakin berisiko seseorang mengendarainya
karena merasa mobilnya dapat melindungi mereka.
- Teori ‘zero-risk’ (Naatanen dan Summak, 1976) atau teori risiko nol yang mengatakan
bahwa individu akan cenderung mencari situasi dimana risiko dianggap minimal. Risiko
yang berdampak besar tidak dipertimbangkan sampai batas peraturan dilanggar. Contoh:
Pengemudi akan mempertimbangkan risiko jika mengendarai sudah di luar batas
kecepatan yang diatur.
• Motivasi dan perilaku yang berkaitan dengan risiko
Motivasi merupakan peran penting dalam sebagain besar aktvitas manusia karena akan
mempengaruhi perilaku dan sikap individu. Dalam lingkungan organisasi, untuk memahami
bagaimana orang berperilaku terkait dengan pengambilan risiko maka penting untuk
memahami apa yang memotivasi perilaku tersebut. Motivasi ditempat kerja merupakan isu
yang kompleks karena melibatkan berbagai faktor manusia dan organisasi yang saling terkait.
Terdapat beberapa teori menjelaskan tentang bagaimana faktor motivasi mempengaruhi
perilaku terkait risiko di tempat kerja yaitu:
- Teori penguatan (reinforcement theory) oleh skinner. Teori ini menyatakan bahwa
perilaku yang mendapatkan reward akan cenderung diulang sedangkan perilaku karena
mendapatkan punishment akan cenderung dihindari. Selain itu, teori ini juga mengatakan
bahwa perilaku karena menghindari konsekuensi negative juga dapat menjadi sebuah
motivasi.
- Teori pembelajaran social (social learning theory), dimana individu termotivasi karena
pengamatan mereka terhadap orang lain yang mendapatkan reward dan punishment.
- Teori tujuan (Goal Theory), sistem reward dan melibatkan individu dalam penetapan
tujuan pribadi. Prinsipnya didasarkan bahwa karyawan termotivasi untuk mencapai
tujuan yang dirumuskan secara khusus, bukan hanya dengan mendorong mereka untuk
meminimalkan pengambilan risiko.
• Dampak stress yang dipengaruhi oleh faktor-faktor organisasi.
Kesalahan teknis biasa terjadi saat menjalankan tugas yang sudah rutin. Keadaan stress dapat
membuat kesalahan teknis lebih mudah terjadi. Dampak stress yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor organisasi dapat sangat signifikan dalam lingkungan kerja. Beberapa dampak stress
yang mungkinakan timbul yaitu keputusan yang tidak rasional (ketika seseorang merasa
terlalu tertekan atau cemas karena tekanan organisasi maka mungkin aka cenderung
membuat keputusan yang tidak terencana yang dapat meningkatkan risiko), kesalahan dan
kelalaian, kurangnya kepatuhan terhadap prosedur (karyawan yang stress akan cenderung
mengabaikan prosedur dan mengambil jalan pintasyang lebih berisiko), kurangnya kreativitas
dan inovasi dan kesejahteraan mental dan fisik yang buruk (ini dapat mengakibatkan
penurunan motivasi, absensi yang tinggi dan penurunan kinerja). Sehingga penting bagi
organisasi untuk mengidentifikasi dan mengatasi faktor-faktor organisasi yang dapat
menyebabkan stress. Dalam hal ini melibatkan perbaikan budaya organisasi, manajemen
yang efektif, komunikasi yang baik dan dukungan karyawan yang memaddai untuk
mengurangi dampak stress.
• Sifat kesalahan manusia
Reason (1990) menyatakan bahwa kesalahan manusia adalah kegagalan tindakan yang
direncanakan untuk mencapai tujuan, sehingga ketidaksengajaan tidak termasuk kesalahan
manusia. Pendekatan faktor manusia terhadap suatu kesalahan tidak dianggap bahwa harus
ada seseorang yang disalahkan atau karena kesalahan dari manusia tetapi perilaku berisiko ini
muncul merupakan hasil dari faktor organisasi yang tidak efektif seperti program
pembelajaran dan pengembangan yang buruh, prosedur yang tidak efektif atau kegagalan
dalam menetapkan prosedur.
• Klasifikasi dan pembatasan kesalahan manusia
Istilah “ kesalahan manusia” menggambarkan situasi dimana niat untuk melakukan tindakan
tertentu tidak menghasilkan hasil yang diinginkan. Niat untuk mencapai hasil yang
diiinginkan mungkin gagal karena tindakan tidak berjalan sesuai rencana atau karena rencana
itu sendiri yang tidak memadai (kesalahan). Hal ini menjadi dasar untuk membedakan dua
kategori kesalahan manusia yang berbeda. Adapun pengklasifikasian kesalahan akibat human
factor adalah sebagai berikut:
- Slips and Lapses
Slips terjadi karena kurangnya perhatian karena tugas-tugas biasa. Lapses terjadi karena
kegagalan ingatan. Slips and lapses sering terjadi karena stress seperti pekerjaan yang
terlalu banyak dalam durasi yang singkat.
- Mistakes
Mistakes adalah kesalalan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman suatu proses atau
situasi. Kesalahpahaman terjadi karenan pelaku percaya bahwa apa yang mereka lakukan
itu benar.
- Kegagalan Laten
Kegagalan laten mengacu pada kesalahan dan pelanggaran prosedur terkait risiko yang
tidak memiliki dampak langsung namun masuk dalam masa 'inkubasi' dalam sistem dan
akan keluar saat dipicu.
- Pelanggaran yang Disengaja
Pelanggaran yang disengaja kemungkinan akan meningkat dan memperparah
konsekuensi kesalahan dalam organisasi di mana penegakan aturan manajemen risiko
dibiarkan menyimpang.

2. Hasil Penelitian
Ada beberapa klasifikasi kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia, meliputi: Slip and
Lapses, Mistakes, Kegagalan Laten dan Pelanggaran yang disengaja. Pertama, Slip and Lapses.
Slips terjadi karena kurangnya perhatian karena tugas-tugas biasa. Lapses terjadi karena
kegagalan ingatan. Slips and lapses sering terjadi karena stress seperti pekerjaan yang terlalu
banyak dalam durasi yang singkat. Pada sektor perdagangan keuangan kesalahan ini sering
terjadi yang menyebabkan insiden. Namun kesalahan ini dapat terdeteksi oleh sistem. Penelitian
(Leaver & Reader, 2016) menunjukkan bahwa faktor manusia yang mendasari insiden kritis
dalam perdagangan keuangan, kesalahan terkait slip/lapse (misalnya, kesalahan jari yang gemuk)
adalah kategori yang paling sering terjadi. Kesalahan ini sering terjadi sendiri tanpa masalah
faktor manusia lainnya (misalnya, kerjasama tim), dan lebih mungkin terkait dengan hasil hampir
terjadi (menunjukkan bahwa kesalahan tersebut terdeteksi oleh staf perdagangan). Kesalahan ini
lebih sering dilaporkan dalam catatan insiden operasional daripada yang lain (misalnya,
keterampilan pengambilan keputusan), karena kesalahan tersebut relatif mudah dideteksi secara
retrospektif, dan peserta mungkin memiliki kecenderungan untuk melaporkan kejadian yang
kurang menghukum dan mudah dideteksi (misalnya, kesalahan jari yang gemuk, mengikuti
prosedur) daripada masalah yang kompleks dan menghukum (misalnya, gagal
mempertimbangkan opsi). Secara umum, masalah slip/lapse tidak menyebabkan insiden serius,
karena sering kali dapat segera diperbaiki melalui prosedur organisasi (misalnya, pemeriksaan
silang tim).
Mistakes adalah kesalalan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman suatu proses atau situasi.
Kesalahpahaman terjadi karenan pelaku percaya bahwa apa yang mereka lakukan itu benar.
Dalam Penelitian (Morgan et al., 2016) disebutkan kecelakaan dan insiden itu dikaitkan dengan
kesalahan (kesalahan berbasis pengetahuan atau aturan). Secara signifikan terkait dengan
kekurangan pengetahuan dan pelatihan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan persepsi
responden mereka adalah bahwa kecelakaan dan insiden terjadi sebagai akibat tidak langsung
dari kurangnya pengalaman dan kurangnya kesadaran keselamatan (pekerja yang tidak
berpengalaman dianggap kurang “melek keselamatan”). Selain itu, faktor tuntutan tugas,
khususnya kelelahan dan tekanan waktu sering dikaitkan dengan kesalahan berbasis
keterampilan ini dengan responden menyoroti terjadinya kesalahan tindakan (seperti menekan
tombol yang salah, bahkan untuk pekerja yang rajin maupun staf berpengalaman. Misalnya,
salah satu peserta yang mengalami kejadian nyaris celaka menganggap hal ini sebagai
kehilangan konsentrasi karena kelelahan dan berkata, “jika saya benar-benar aktif, sadar akan
keselamatan sepanjang waktu, saya akan melihat sebelum saya turun dari mesin”. Yang lain
berkomentar, “jika Anda merasa tertekan dan mencoba memikirkan segala sesuatu yang perlu
Anda lakukan, siapa yang perlu Anda hubungi, apa pun itu, ada risiko lebih besar untuk
melupakan sesuatu”. Kombinasi dari kurangnya pengalaman dan tekanan dianggap sangat
problematis.
Klasifikasi kesalahan yang ketiga yaitu kegagalan laten. Kegagalan laten mengacu pada
kesalahan dan pelanggaran prosedur terkait risiko yang tidak memiliki dampak langsung namun
masuk dalam masa 'inkubasi' dalam sistem dan akan keluar saat dipicu. Penelitian yang berjudul
Memahami Kesalahan Manusia dalam Kecelakaan Penerbangan Angkatan Laut bertujuan untuk
lebih memahami faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja dan keputusan penerbang
yang terlibat dalam kecelakaan penerbangan Angkatan Laut. Penelitian tersebut meneliti 14
faktor kegagalan laten menggunakan Teorema Bayes untuk menunjukkan besaran peluang
masing-masing terhadap Pengaruh terjadinya kecelakaan penerbangan Angkatan Laut. Faktor-
faktor tersebut dibagi kedalam tiga kategori yaitu: 1). Prasyarat yang terdiri dari faktor kesadaran
mental, kerja tim, keadaan pikiran, kesalahpahaman sensorik, lingkungan teknologi, lingkungan
fisik dan masalah fisik. 2). Pengawasan yang tidak aman terdiri dari faktor pengawasan yang
tidak memadai, pelanggaran pengawasan dan merencanakan operasi yang tidak tepat. 3).
Pengaruh organisasi yang terdiri dari faktor masalah kebijakan dan proses, Pengaruh iklim dan
budaya, masalah sumber daya dan seleksi personel & penempatan staf. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan dari 14 faktor laten yang dianalisis, penerapan Bayes mengidentifikasi 6 faktor
yang berdampak pada aspek spesifik perilaku penerbang saat terjadi kecelakaan. Faktor
lingkungan teknologi, kesalahan persepsi, dan kesadaran mental berdampak pada keterampilan
dasar penerbangan. Tiga faktor sisanya digunakan untuk menginformasikan analisis isi informasi
kontekstual dalam laporan kecelakaan. Kegagalan kerja tim adalah akibat dari kelanjutan rencana
yang diperburuk oleh tanggung jawab yang tersebar. Keterbatasan sumber daya dan defisiensi
manajemen risiko berdampak pada penilaian yang dibuat oleh komandan skuadron (Miranda,
2018).
Terakhir adalah Pelanggaran yang Disengaja. Jenis kesalahan ini merupakan kesalahan yang
dilakukan dengan kesadaran dan pengetahuan bahwa sesuatu yang dilakukan itu memang
merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran yang disengaja kemungkinan akan meningkat dan
memperparah konsekuensi kesalahan dalam organisasi di mana penegakan aturan manajemen
risiko dibiarkan menyimpang. Salah satu bentuk pelanggaran yang disengaja ini di teliti oleh
(Boos et al., 2020). Penelitian tersebut menggabungkan pendekatan untuk mengevaluasi
kepatuhan pengemudi. Kerangka kerja ini dirancang untuk membedakan antara pelanggaran
yang tidak disengaja, seperti kesalahan mode, dan pelanggaran yang disengaja dalam
pemantauan sistem. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kesalahan yang tidak disengaja (dalam
hal ini kesalahan mode) harus ditangani dengan mengadaptasi antarmuka manusia-mesin,
misalnya dengan menambahkan penekanan pada mode saat ini dan tanggung jawab pengemudi
yang terkait. Pelanggaran yang disengaja membutuhkan solusi motivasi dan sosial, seperti
pelatihan pengemudi yang komprehensif termasuk kegagalan sistem dan materi informasi yang
mempromosikan tingkat kepercayaan yang memadai pada otomasi. Karena literatur, bersama
dengan studi yang ada, menunjukkan bahwa ketidakpatuhan yang disengaja mencakup sejumlah
besar pengemudi yang mengabaikan pemantauan sistem dalam pengemudi otomatis, hal ini
mengindikasikan bahwa prosedur saat ini untuk informasi pengemudi (manual sistem) dan
pelatihan (biasanya tidak ada pelatihan tambahan untuk bantuan pengemudi dan otomasi yang
disediakan) mungkin sudah tidak cukup lagi untuk memastikan pemahaman sistem yang
mendalam yang mencakup tingkat kepercayaan yang memadai pada otomasi dan persepsi risiko.

3. Keterkaitan Teori dengan Hasil Penelitian


Bagian teori membahas tentang faktor-faktor manusia dalam konteks risiko, yaitu bagaimana
kemampuan, persepsi, motivasi, stress, dan kesalahan manusia mempengaruhi perilaku
pengambilan risiko di lingkungan kerja. Selain itu, bagian tersebut juga mengklasifikasikan
kesalahan manusia menjadi empat kategori, yaitu slips and lapses, mistakes, kegagalan laten, dan
pelanggaran yang disengaja. Setiap kategori memiliki karakteristik, penyebab, dan dampak yang
berbeda.
Bagian selanjutnya mengulas beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan masing-
masing kategori kesalahan manusia. Penelitian-penelitian tersebut berasal dari berbagai sektor,
seperti perdagangan keuangan, industri konstruksi, penerbangan angkatan laut, dan otomotif.
Penelitian-penelitian tersebut menggunakan berbagai metode, seperti analisis insiden, survei,
wawancara, dan pendekatan statistik.
Kedua bagian tersebut menunjukkan bahwa teori faktor-faktor manusia dapat digunakan
untuk memahami dan menganalisis kesalahan manusia yang terjadi dalam berbagai situasi dan
konteks. Sehingga dapat memberikan kontribusi untuk pengembangan manajemen risiko yang
lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Belloc, F., Burdin, G., Cattani, L., Ellis, W., & Landini, F. (2022). Coevolution of job
automation risk and workplace governance. Research Policy, 51(3), 104441.
https://doi.org/10.1016/j.respol.2021.104441
Berber, N., Pasula, M., Radošević, M., Ikonov, D., & Kočić Vugdelija, V. (2012). Internal Audit
of Compensations and Benefits: Tasks and Risks in Production Systems. Engineering
Economics, 23(4), 414–424. https://doi.org/10.5755/j01.ee.23.4.1143
Boos, A., Feldhütter, A., Schwiebacher, J., & Bengler, K. (2020). Mode Errors and Intentional
Violations in Visual Monitoring of Level 2 Driving Automation. 2020 IEEE 23rd
International Conference on Intelligent Transportation Systems, ITSC 2020.
https://doi.org/10.1109/ITSC45102.2020.9294690
Calvard, T. S., & Jeske, D. (2018). Developing human resource data risk management in the age
of big data. International Journal of Information Management, 43(July), 159–164.
https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2018.07.011
Hampton, P., Chinyio, E. A., & Riva, S. (2019). Framing stress and associated behaviours at
work: An ethnography study in the United Kingdom. Engineering, Construction and
Architectural Management, 26(11), 2566–2580. https://doi.org/10.1108/ECAM-10-2018-
0432
Hossain, A., Sobhani, F. A., Omar, N., Mohamad, N., & Said, J. (2019). Corporate governance,
risk management and ethical investment: Evidence from banking industries. International
Journal of Financial Research, 10(5), 126–137. https://doi.org/10.5430/ijfr.v10n5p126
Kozubíková, L., Zámečník, R., & Výstupová, L. (2020). The perception of human resource risks
in the v4 countries. Polish Journal of Management Studies, 21(2), 210–222.
https://doi.org/10.17512/pjms.2020.21.2.15
Leaver, M., & Reader, T. W. (2016). Human Factors in Financial Trading: An Analysis of
Trading Incidents. Human Factors, 58(6), 814–832.
https://doi.org/10.1177/0018720816644872
Miranda, A. T. (2018). Understanding Human Error in Naval Aviation Mishaps. Human Factors,
60(6), 763–777. https://doi.org/10.1177/0018720818771904
Morgan, J. I., Abbott, R., Furness, P., & Ramsay, J. (2016). UK rail workers’ perceptions of
accident risk factors: An exploratory study. International Journal of Industrial Ergonomics,
55, 103–113. https://doi.org/10.1016/j.ergon.2016.08.003
Slabbert, Y., & Barker, R. (2011). An integrated crisis communication framework for strategic
crisis communication with the media: A case study on a financial services provider.
Communicatio, 37(3), 443–465. https://doi.org/10.1080/02500167.2011.609996
van Niekerk, A. (2023). Psychosocial factors influencing change management: An African cross-
border acquisition case. SA Journal of Human Resource Management, 21, 1–10.
https://doi.org/10.4102/sajhrm.v21i0.2279
Whitman, M. V., & Valpuesta, D. (2010). Examining human resources’ efforts to develop a
culturally competent workforce. Health Care Manager, 29(2), 117–125.
https://doi.org/10.1097/HCM.0b013e3181da892d

Anda mungkin juga menyukai