Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/331287545

Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa- Fitra Arsil- Jurnal


Legislasi Vol. 9 No. 4 - Desember 2012

Article · February 2019

CITATIONS READS

0 437

1 author:

Fitra Arsil
University of Indonesia
43 PUBLICATIONS 60 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Fitra Arsil on 22 February 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MENCEGAH PEMILIHAN UMUM MENJADI ALAT PENGUASA
(TO PREVENT THE GENERAL ELECTION FROM BEING A TOOL OF
THE AUTHORITY)
Fitra Arsil*
(Naskah diterima 12/11/2012, disetujui 23/11/2012)

Abstrak
Pada umumnya, negara-negara di dunia telah memberi tempat bagi demokrasi
dalam konstitusinya sebagai sistem yang mengatur hubungan rakyat dan
penguasa. Sebagai operasionalisasinya, negara-negara tersebut melaksanakan
pemilihan umum dalam pengisian jabatan para pemimpin atau wakil rakyatnya.
Namun kenyataannya pemilihan umum yang dianggap sebagai indikator utama
demokrasi tersebut telah terbukti dapat dijadikan sebagai alat penguasa atau
rezim-rezim berkinerja lemah untuk menambah legitimasinya. Rezim-rezim
non-demokratis melakukan berbagai reduksi dalam prosedur-prosedur
demokrasi yang terdapat dalam penyelenggaraan pemilihan umum terutama
dengan menghambat partisipasi.
Kata kunci: Demokrasi, pemilihan umum, prosedur demokrasi, alat penguasa

Abstract
In general, many countries in the world have already given enough space for
democracy as a system that regulates relation between the people dan their ruler. To
operasionalize it, those countries conduct a general election in order to elect the ruler
or their representatives. However, what really happens is that the general election
becomes the main indicator of democrary has proven to be manipulated by the low
performance ruler or the regimes to strengthen their legitimacy. Non-democratic
regimes reduces many procedures of democracy for a fair election especially by
restricting the participation.
Keywords: Democracy, election, procedures of democracy, participation.

A. Pendahuluan
Demokrasi telah menjadi arus besar yang melanda dunia sehingga
kini dianggap sebagai sistem yang paling populer1 dan dianggap terbaik
dalam mengatur hubungan antara rakyat dengan penguasa.2 Secara
massif konstitusi bangsa-bangsa di dunia telah memberi tempat bagi
demokrasi sebagai sistem utamanya.

*
Dosen dan Direktur Riset Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI
1
Penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1949 menggambarkan demokrasi dengan
menyebut bahwa “probably for the first time in history democracy is claimed as the proper ideal descrip-
tion of all systems of political and social organizations advocated by influential proponents.” .” Lihat
Miriam Budiardjo, Dasar-DasarIlmuPolitik, cet. 19. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 51.
2
HendraNurtjahyo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 1.

563
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012

Namun pada prakteknya, negara-negara yang mengaku menganut


sistem demokrasi seringkali hanya nilai nominalnya saja yang
demokrasi. Dalam banyak kasus, demokrasi tampil hanya sebagai
formalitas atau hanya sebagai dokumen pendirian negara dan cita-cita
pendiri bangsa. Pada negara-negara seperti ini, kenyataannya, rakyat
ditempatkan hanya sebagai alat penguat legitimasi. Menurut penelitian
Huntington, negara-negara yang menyatakan demokratis telah berubah
dari waktu ke waktu antara lain dengan mencampurkan nilai-nilai
demokrasi dengan nilai-nilai lain seperti totaliterisme dan otoriterisme
yang boleh jadi menghapus sedikit demi sedikit nilai-nilai
demokrasinya. 3 Pada kasus rezim yang mengalami kemerosotan
demokrasi yang lebih lunak, negara-negara demokrasi tersebut
melakukan pembatasan-pembatasan secara ketat prosedur-prosedur
demokrasi yang terdapat di negara tersebut.4
Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat yang dianggap sebagai salah
satu prosedur demokrasi yang penting, bahkan dianggap paling penting5,
ternyata merupakan sasaran utama bagi para rezim non-demokratis
untuk melakukan perekayasaan guna melanjutkan kekuasaannya.
Pemilihan umum untuk mendapatkan pemimpin utama dan wakil
rakyat sebagai esensi demokrasi justru menjadi salah satu titik utama
kemorosotan demokrasi yang sering terjadi. Pemilihan umum tetap
berlangsung karena hal itu merupakan simbol utama demokrasi di
negara tersebut namun prosedur-prosedur demokrasi di dalamnya
dibatasi sehingga pemilihan tidak lagi adil, bebas dan terbuka.6

B. Pemilihan Umum Sebagai Indikator Demokrasi


Menurut penelitian Amos J Peaslee tahun 1950, 90 persen negara
di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya masing-
masing bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan kekuasaan
pemerintah bersumber dari kehendak rakyat. Prinsip tersebut

3
Huntington menyebut pasang surut demokrasi di negara-negara di dunia mengesankan terdapat pola
“a two-step forward, one-step-backward”. Di samping terdapat berbagai kemajuan negara-negara dalam
menerapkan demokrasi namun terdapat pula kemunduran-kemunduran yang cukup berarti. Samuel P
Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (University of Oklahoma
Press, 1991), hlm. 25-26.
4
Korea dan Turki pada akhir dasawarsa 1950, dan Philipina pada tahun 1972. Ibid., hlm. 7.
5
Pakar yang memahami demokrasi secara prosedural selalu menyebut pemilihan umum sebagai salah
satu prosedur penting. Samuel Huntington malah menyebutnya sebagai prosedur utama; lihat Samuel
Huntington, Ibid, hlm. 5. Robert A, Dahl juga memasukkan pemilihan umum sebagai salah satu prosedur
demokrasi di antara prosedur-prosedur demokrasi yang seharusnya terdapat dalam suatu negara
demokrasi. Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1992), hlm. 17.
6
Huntington, Op. Cit., hlm. 8.

564
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa

merupakan ciri utama dalam konsep demokrasi, 7 artinya secara


konstitusional negara-negara di dunia telah memilih demokrasi sebagai
sistem utamanya.
Salah satu alasan penting untuk menjelaskan popularitas
demokrasi adalah karena demokrasi telah menjadikan rakyat sebagai
pusat dalam proses pemerintahan. Demokrasi meletakkan rakyat bukan
sebagai subyek yang didikte oleh sesuatu di luar dirinya, melainkan
bersama-sama dengan penguasa turut ke dalam proses pemerintahan
tersebut. Hal itu tergambar dalam defenisi Abraham Lincoln tentang
demokrasi yaitu “....that government of the people, by the people and for the
people...”8
Para ahli yang memandang demokrasi dari sudut prosedur, secara
konkret menjelaskan implementasi pelibatan rakyat dalam demokrasi
dilakukan melalui cara pengelolaan suara rakyat dalam pengambilan
putusan publik. Joseph Schumpeter, seorang perintis konsep demokrasi
prosedural, secara khusus memberikan penekanan bahwa demokrasi
seharusnya memang sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai
keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan
untuk membuat perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara
rakyat.9
Dalam negara yang menganut demokrasi, berdasar konsep
demokrasi prosedural, rakyat menentukan pemerintahan dan para
pejabat utama pemerintahan dipilih melalui pemilihan yang kompetitif
yang dapat diikuti oleh penduduk.10 Samuel Huntington menjelaskan
operasionalisasi dari konsep demokrasi prosedural dengan menyebut
pemilihan umum sebagai bentuk prosedur demokrasi. Menurutnya
pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala merupakan indikator utama

7
Amos J. Peaslee meneliti 83 konstitusi di dunia dan 74 di antaranya (90%) menganut ajaran kedaulatan
rakyat. Lihat Amos J Peaslee, Constitutions of Nations, vol. I, (New Heaven: The Rumford Press, 1950),
hlm. 8 sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam
Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi 1945-1980-an ,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 11-12.
8
Kalimat ini disampaikan oleh Abraham Lincoln pada 1863 ketika peresmian makam nasional
Gettysburg, di tengah kecamuk perang saudara besar-besaran demi mempertahankan keutuhan Amerika
Serikat sebagai sebuah negara. Dikutip dari tulisan Melvin I. Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi,
dalam Jurnal Demokrasi, Office of International Information Programs, US Department of State, tanpa
tahun.
9
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, (London dan New York: Routledge,
2003), hlm. 269.
10
Huntington, Op.Cit., hlm. 109

565
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012

demokrasi dalam sebuah rezim.11 Ahli lain, Robert Dahl, juga menyebut
pemilihan umum yang bebas dan adil sebagai syarat berjalannya
demokrasi.12 Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat memang dianggap
sebagai bentuk partisipasi yang terukur13 dan dinilai paling tua serta
terus dianggap tetap tidak boleh dihilangkan. 14 Bahkan pemilihan
pemimpin dengan melibatkan rakyat ini dianggap bukan saja sebagai
instrumen demokrasi, keberadaan pemilu telah membuat para pembuat
kebijakan menaruh perhatian serius terhadap warga negara.15 Melalui
keterlibatan rakyat dalam memilih pemimpin, dapat dianggap rakyat
terlibat dalam pembentukan kebijakan karena rakyat menentukan siapa
yang yang berhak membuat kebijakan.16
Begitu pentingnya pemilihan umum dalam suatu negara yang
menganut demokrasi, telah menyebabkan pemilihan umum dijadikan
dasar untuk menentukan keberadaan demokrasi di suatu negara.
Negara yang memilih pemimpin dan para wakilnya lewat pemilihan
umum menunjukkan negara tersebut demokratis dan sebaliknya, jika
tidak ada pemilihan umum maka negara tersebut tidak demokratis.

C. Kemerosotan Demokrasi Lewat Pemilihan Umum


Betapapun pemilihan umum dianggap sebagai prosedur utama bagi
operasionalisasi demokrasi, namun kenyataannya pemilu tidak selalu
menjadi alat pendorong keberlangsungan demokrasi di suatu negara.
Pemilihan umum ternyata juga dipakai sebagai alat untuk kepentingan
non demokrasi.
Tidak seperti rezim-rezim non demokratis di masa lalu yang
berkuasa tanpa melalui legitimasi suara rakyat, rezim non-demokratis

11
Ibid.
12
Robert Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale University Press, 1971), hlm,
2 sebagaimana dikutip oleh Philips Jusario Vermonte, “Konsolidasi Demokrasi dan Perdebatan
Presidensialisme versus Parlementarisme” dalam Yudi Latif et al., Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas
Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan (Jakarta: Center for Presidential and Parliamentary Studies,
2002), hlm. 31.
13
Huntington, Op. Cit.
14
Menilai partisipasi hanya semata-mata sebagai seleksi pemimpin dan wakil-wakilnya memang dinilai
tidak akurat saat ini, namun hal tersebut disepakati sebagai bentuk partisipasi yang selalu ada dalam
setiap definisi yang disampaikan. Lihat Miriam Budiardjo dalam “Partisipasi dan Partai Politik”, Arbi
Sanit dalam “Mewadahi Partispasi Politik dan Perwakilan Politik di Indonesia”, Samuel P. Huntington dan
Joan M. Nelson dalam “No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries”, Herbert Mc Closky
dalam “International Encyclopedia of the Social Sciences”, Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam
“Handbook of Political Science”.
15
Lihat G. Bingham Powell Jr, Elections as Instruments of Democracy (Majoritarian and Proportional
Visions), (New Haven: Yale University Press, 2000), hlm 4.
16
Powell Jr, Ibid, hlm. 3-4.

566
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa

sekarang ini justru telah memakai proses pemberian legitimasi suara


rakyat sebagai alat yang membantu kekuasaan non demokratis mereka.
Di beberapa rezim yang berkinerja rendah, belakangan ini pemilihan
umum telah dijadikan alat untuk memperkuat legitimasi mereka.
Rezim-rezim tersebut justru menghendaki dilaksanakannya pemilihan
umum bukan malah menolaknya sebagaimana yang dilakukan rezim-
rezim otoriter di masa lalu. Para penguasa rezim gagal ini melaksanakan
pemilihan umum karena mereka percaya bahwa pemilihan umum dapat
memperpanjang masa hidup rezim mereka dengan legitimasi yang
baru.17 Bagi rezim seperti ini pemilu justru menyegarkan legitimasi
mereka dan menjadi sandaran untuk melanjutkan kekuasaan yang
dijalankan jauh dari nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pemilihan
umum sebagai sebuah prosedur dari demokrasi tidak selalu
menghasilkan pemerintahan yang demokratis dan efektif untuk
menjalankan program kesejahteraan rakyat.
Pemilihan umum yang dilaksanakan dalam rezim non-demokratis
dilakukan dengan berbagai rekayasa, yaitu dengan berbagai manipulasi
prosedur-prosedur pemilihan umum atau dengan kata lain mereka
melakukan reduksi terhadap prosedur demokrasi demi mendapatkan
legitimasi. 18 Reduksi terhadap prosedur demokrasi dalam suatu
pemilihan umum bukan saja menghasilkan rezim yang buruk dan tidak
efektif dalam menjalankan program kesejahteraan rakyat tetapi juga
menghasilkan rezim kuat yang sulit menerima perubahan.
Negara-negara non-demokrasi yang melaksanakan pemilihan
umum justru menjadi sangat berbahaya dalam perspektif perubahan.
Negara seperti ini tampil dengan jubah republik dan demokrasi sehingga
dianggap memiliki legitimasi cukup untuk memerintah, padahal rakyat
tidak mendapatkan kesempatan yang memadai untuk menyampaikan
kehendaknya. Che Guevara menyebut revolusi yang ditujukan terhadap
suatu pemerintah yang “telah memperoleh kekuasaannya melalui suatu
bentuk pemilihan umum berdasarkan suara rakyat, curang atau tidak
curang dan setidak-tidaknya tetap tampak sah secara konstitusional,”
tidak akan berhasil.19

17
Huntington Op.Cit., 174-175.
18
Ibid., 182
19
Che Guevara, Guerilla Warfare (New York: Vintage Books, 1961), hlm. 3 “Where a government has
come into power through some form of popular vote, fraudulent or not, and maintains at least an
appearance of constitutional legality, the guerrilla outbreak cannot be promoted, since the possibilities of
peaceful struggle have not yet been exhausted.”

567
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012

D. Rekayasa Hukum Pemilu di Indonesia


Pengalaman demokrasi Indonesia menunjukkan fakta-fakta di
mana prosedur demokrasi dalam pengisian jabatan termasuk pemilihan
umum di dalamnya20 telah menjadi sasaran rekayasa pemerintahan
non-demokratis. Negara yang dibangun Orde Baru, misalnya, telah
melakukan rekayasa untuk memperkuat dan melanggengkan
kekuasaan dengan melakukan pembatasan-pembatasan terhadap
prosedur-prosedur demokrasi dalam pengisian jabatan presiden dan para
wakil rakyat.21 Melalui peraturan perundang-undangan,22 negara Orde
Baru melakukan rekayasa sistem politik dan ketatanegaraan
Indonesia, khususnya mengenai pengisian jabatan pemimpin dan para
wakil rakyat.23
Penelitian Moh. Mahfud MD memperkuat fakta tersebut dengan
menyebutkan bahwa hukum pemilu yang dilaksanakan oleh negara Orde
Baru memang diadakan sesuai konstitusi, tetapi direkayasa melalui
berbagai peraturan perundang-undangan agar kekuataan pemerintah
saat itu harus tampil sebagai pemenang.24 Berbagai proses pengisian
jabatan dilakukan dengan proses yang tidak demokratis seperti
penggabungan partai politik yang dipaksakan, sistem pengangkatan
secara tetap, pemberlakukan penelitian khusus terhadap para calon
anggota DPR/MPR, organisasi penyelenggara pemilu yang tidak netral,
tahapan-tahapan pemilu yang penuh rekayasa hingga proses pemilihan
presiden dalam sidang paripurna MPR yang tidak adil dan
menghilangkan hak-hak politik rakyat.

20
MPR yang melakukan Perubahan UUD 1945 menyatakan salah satu dasar pemikiran yang
melatarbelakangi Perubahan UUD 1945 adalah karena pengaturan mengenai pemilihan umum yang asli
tidak tegas sehingga memungkinkan diselenggarakannya pemilu hanya untuk memenuhi persyaratan
demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah. Lihat
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2005), hlm. 8.
21
Ramly Hutabarat, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di indonesia,
(Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 51-52.
22
Menurut Yusril Ihza Mahendra, kekuasaan dalam pemerintahan Orde Baru telah bertindak sebagai
pencipta hukum yang bertujuan untuk mempertahankan kepentingan diri, entah kepentingan status-
quo maupun kepentingan legitimasi kekuasaan. Lihat Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara
Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta
Gema Insani Press, 1996), hlm. 91.
23
Lihat analisis Ramly Hutabarat mengenai produk hukum yang dibentuk oleh negara orde baru dalam
paket undang-undang politik yang intinya melakukan rekayasa pengisian jabatan dan mekanisme
pengambilan putusan politik di indonesia, Ramly Hutabarat Op.Cit., hlm. 69—127
24
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hlm. 376-
377.

568
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa

Khusus pengisian jabatan presiden, rekayasa sudah dilakukan


mulai dari rekrutmen anggota MPR yang menjadi tempat dilakukannya
pemilihan Presiden. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 naskah asli,
keanggotaan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, utusan daerah dan
utusan golongan,25 Orde Baru menerjemahkan ketentuan konstitusi ini
dengan mengisi lebih dari separuh anggota MPR berdasar pengangkatan
oleh Presiden.26 Presiden mengangkat anggota-anggota yang berasal dari
utusan daerah, utusan golongan dan anggota DPR yang berasal dari
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sebagian anggota DPR yang
dipilih juga dilakukan dengan pemilihan umum yang penuh rekayasa27
sehingga Golkar sebagai partai pemerintah selalu dominan dengan
perolehan selalu di atas 60% suara.28
Dengan demikian, sangat wajar persidangan-persidangan MPR
berjalan di bawah kendali Presiden berkuasa ketika itu. Pemilihan
Presiden selalu berlangsung tanpa alternatif calon atau hanya memiliki
calon tunggal, bahkan wakil presiden pun nyaris juga selalu terdiri dari
calon tunggal. Ketidakwajaran dalam pencalonan ini, seperti disebut
Saldi Isra dilakukan berdasar peraturan perundang-undangan, yaitu
diatur dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 197329 yang mensyaratkan
pencalonan presiden dilakukan oleh fraksi secara tertulis dengan
persetujuan dari calon yang bersangkutan.30 Ketentuan ini dianggap
Saldi telah menyebabkan terjadinya “tradisi calon tunggal”31 dalam

25
Republik Indonesia, Oendang-Oendang Dasar, BRI Tahun II No. 7 Tahun 1946, Pasal 2 ayat (1).
26
Jumlah anggota MPR hasil Pemilihan Umum 1971, 1977, dan 1982 ialah dua kali jumlah anggota
DPR, yaitu 920 orang. Dari 460 orang anggota DPR terdapat ABRI yang diangkat oleh Presiden sejumlah
75 orang. Adapun MPR hasil Pemilu 1987, 1992, 1997 mengalami perubahan jumlah menjadi 1.000
orang, seperti diatur dalam UU No.2 tahun 1985.Anggota DPR terdiri dari 500 orang yang di dalamnya
terdapat 100 anggota ABRI yang diangkat. Lihat B.N. Marbun, DPR-RI : Pertumbuhan dan Cara Kerjanya
(Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 41-43.
27
Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 hingga 1997 diakui dilakukan dengan berbagai rekayasa
politik, termasuk dengan cara-cara pemaksaan dan represi aparat negara. Namun demikian mekanisme
tersebut secara berangsur dianggap berkurang dari Pemilu ke Pemilu. Lihat Akbar Tandjung, The
Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hlm. 42-43.
28
Pada Pemilu tahun 1971 Golkar mendapatkan 62,82 %, Pemilu 1977 mendapatkan 62,80%, Pemilu
1982 mendapatkan 64,34 %, Pemilu 1987 mendapatkan 73,16 %, Pemilu 1992 mendapatkan 68,10
%, dan Pemilu 1997 mendapatkan 74, 51 %. Data bersumber dari website resmi Komisi Pemilihan
Umum, lihat http://kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 (diakses
tanggal 21 Maret 2012 Pukul 11.16 WIB).
29
Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang Tata-
Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 1973.
30
Dalam Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 1973 disebutkan: “Calon Presiden diusulkan oleh
Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi
yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.” Ibid.
31
Harun Alrasid menyatakan sejak Sidang Umum (SU) MPR 1973 telah terjadi “tradisi calon tunggal”
dalam pemilihan Presiden. Lihat Harun Al-Rasyid, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam
Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1997), hlm. 36-37 sebagaimana dikutip Saldi Isra, op. Cit.

569
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012

pemilihan presiden di Indonesia pada masa orde baru. Ketentuan ini


seolah-olah mengeliminasi semangat yang terdapat dalam Pasal 6 ayat
(2) naskah asli UUD 1945 yang mengisyaratkan calon presiden
hendaknya lebih dari satu.32
Dalam masa Orde Lama, Soekarno pernah melakukan rekayasa
model ini dengan lebih buruk lagi. Soekarno pernah mengangkat seluruh
anggota MPRS 33 dan menentukan sendiri komposisi susunan
keanggotaannya melalui produk hukum yang dibuat oleh presiden.34
Maka wajar MPRS bentukan Soekarno tersebut mengeluarkan Ketetapan
yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.35
Ketentuan mengenai pencalonan dan mekanisme pemilihan,
termasuk di dalamnya mengenai formasi pihak yang melakukan
pemilihan, memang telah menjadi sasaran rekayasa dalam pengisian
jabatan presiden di Indonesia. Menurut Saldi Isra, jika melirik
sejarahnya, dalam dua kali periode berlakunya Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 periode 17 Agustus 1945 - 29 Desember 1949 dan periode 5
Juli 1959 – 19 Oktober 1999, belum pernah dilakukan pengisian jabatan
Presiden (dan Wakil Presiden) secara “wajar” yakni melalui proses
pemilihan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) UUD
1945.36

E. Memastikan Partisipasi sebagai Prosedur Demokrasi


Dalam kasus-kasus rekayasa hukum pemilihan umum yang
pernah terjadi di Indonesia seperti disebut di atas, nampak secara jelas
pembatasan partisipasi menjadi inti upaya reduksi prosedur demokrasi.

32
Menurut Saldi, ketentuan Dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 Naskah Asli bahwa presiden harus
dipilih mengisyaratkan bahwa calon presiden harus lebih dari satu. Secara lengkap bunyi ketentuan
tersebut sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara terbanyak.”
33
Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 melalui Penetapan Presiden Nomor
3 Tahun 1960 dan menggantinya dengan DPRGR melalui Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960.
DPRGR merupakan salah satu unsur dari MPRS, selain Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang
semuanya juga diangkat oleh Soekarno. Lihat Harmaily Ibrahim, Majelis Permusyawaratan Rakyat,
(Jakarta: Penerbit Sinar Bakti, 1979), hlm. 45-47.
34
Soekarno membentuk MPRS dengan susunan yang ditentukannya sendiri melalui Keputusan Presiden
Nomor 199 Tahun 1960. Lihat Harmaily Ibrahim, Ibid, hlm. 48-49.
35
Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang
Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup. Ketetapan
MPRS No. III/MPRS/1963.
36
Saldi Isra, “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden di Bawah Undang-Undang Dasar 1945”
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-peng-
isian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 diak-
ses 10 Desember 2011 pukul 10.12 WIB.

570
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa

Padahal partisipasi adalah inti dari demokrasi yang hendak dijalankan


melalui pemilihan umum itu sendiri. Artinya, menyelenggarakan
pemilihan umum dengan melakukan pembatasan-pembatasan
partisipasi dapat dikatakan sebagai menghilangkan demokrasi dalam
pemilihan umum.
Sejak awal demokrasi mulai dipraktekkan, partisipasi selalu
menjadi inti dalam pelaksanaannya. Di Athena kuno, seseorang
dianggap sebagai warga negara jika ia berpartisipasi dalam memberikan
putusan dan memiliki jabatan. Kewarganegaraan bagi para laki-laki
dewasa mengandung arti keterlibatannya dalam urusan-urusan publik.37
Partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan kenegaraan memang
merupakan pesan demokrasi klasik yang saat ini kembali menjadi
diskusi menarik, apalagi sejak tahun 1960-an38 berkembang konsep
demokrasi partisipatoris39 yang beranggapan bahwa hak yang sama pada
kebebasan dan pengembangan diri hanya dapat diperoleh dalam sebuah
masyarakat yang partisipatif.40
Jika melihat para ahli yang memaparkan prosedur–prosedur yang
tidak boleh hilang dalam negara demokrasi terlihat penguatan partisipasi
semacam itu menjadi kesepakatan bersama. Ketika Robert Dahl merinci
prosedur-prosedur demokrasi sebagai indikator suatu negara yang
dibangun atas dasar demokrasi, dapat dikatakan semuanya berhubungan
dengan penguatan partisipasi rakyat, yaitu:41
1) Para pejabat yang dipilih. Secara konstitusional pengawasan
terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan berada di
tangan para pejabat yang dipilih.
2) Pemilihan umum yang bebas dan adil. Para pejabat yang dipilih
ditentukan dalam pemilihan umum yang seringkali diadakan dan
dilaksanakan dengan adil, tanpa tindakan pemaksaan.
3) Hak suara yang inklusif. Semua orang dewasa berhak memberikan
suara dalam pemilihan para pejabat.

37
David Held, Models of Democracy, second edition, (Cambridge: Polity Press, 1997), hlm. 36.
38
Lihat Ibid, hlm. 263-264.
39
Dalam perkembangannya, gagasan ini menjadi wacana alternatif demokratisasi yang berpengaruh di
seluruh dunia. Dalam bidang hukum, gagasan ini mendorong lahirnya gerakan Critical Legal Studies.
Lihat Anis Ibrahim, “Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik dan Hukum Dalam
Proses Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur” Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang 2008.
40
David Held, Op. Cit.
41
Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm..
17. Dapat pula dilihat dalam Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol
(Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 18.

571
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012

4) Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan. Semua orang dewasa


berhak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan yang diisi
berdasarkan pemilihan umum, meskipun batasan umur mungkin
ditetapkan lebih tinggi untuk calon daripada untuk pemilih.
5) Kebebasan menyatakan pendapat. Warga negara berhak
menyatakan pendapat mengenai masalah-masalah politik yang
didefinisikan secara luas, termasuk kritik terhadap pejabat,
pemerintah, rezim, tatanan sosial ekonomi dan ideologi yang ada.
6) Informasi alternatif. Warga negara berhak mencari sumber informasi
alternatif, dan sumber informasi alternatif itu tersedia.
7) Otonomi asosiasi. Warga negara berhak membentuk perkumpulan
atau organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan
kelompok kepentingan yang bebas.
Dahl menyebutkan bahwa ketujuh indikator di atas dapat dijadikan
ukuran bagi suatu negara, untuk menilai sejauh mana pranata-pranata
politiknya mendekati kriteria tersebut. Semakin dekat dengan kriteria
tersebut, semakin demokratis suatu negara.42
Lyman Tower Sargent juga memaparkan kriteria-kriteria penting
dalam sebuah demokrasi secara prosedural yang memiliki kesamaan-
kesamaan dengan Dahl dalam menempatkan pentingnya posisi
partisipasi yaitu:43
1. Citizen involvement in decision making
2. A system of representation
3. The rule of law
4. An electoral system—majority rule
5. Some degree of equality among citizens
6. Some degree of liberty or freedom granted to or retained by citizens
7. Education, particularly but not solely citizenship education
Banyak kesamaan pandangan antara Sargent dan Dahl dalam
menjelaskan soal partisipasi dalam prosedur-prosedur demokrasi yang
harus ada dalam suatu negara demokratis yang kenyataannya telah
menjadi objek rekayasa. Persamaan tersebut antara lain; Pertama, ketika
Sargent menjelaskan tentang Some degree of equality among citizens,

42
Ibid., hlm. 15.
43
Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies: A Compative Analysis, (Wadsworth: Cengage
Learning, 2009), hlm. 62 .

572
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa

dengan menempatkan political equality menjadi poin pertama sebelum


equality before the law, economic quality dan lain-lain. 44 Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa political equality antara lain bermakna
kesamaan kesempatan bagi setiap warga negara baik dalam memilih
maupun dipilih. Kesamaan kesempatan dalam memilih dapat berupa
kemudahan akses menuju pemilihan, kebebasan untuk menentukan
pilihannya dan kesamaan nilai suara yang diberikan oleh warga negara
ketika dihitung.45 Sedangkan kesamaan kesempatan untuk ikut-serta
sebagai kandidat disebutkan bahwa setiap warga negara yang memiliki
hak memilih seharusnya juga mendapatkan kesempatan untuk ikut-
serta sebagai kandidat. Faktor-faktor ras, agama ataupun strata sosial
tidak dapat dijadikan halangan bagi warga negara untuk berpartisipasi
sebagai kandidat dalam suatu pemilihan di negara demokrasi.46
Dalam analisis tentang rekayasa hukum pemilu yang pernah
terjadi di Indonesia, pandangan Dahl dan Sargent ini jelas menempatkan
peristiwa yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru, seperti telah
disebut di atas, sebagai tindakan anti demokrasi. Orde Lama dan Orde
Baru telah membuat system yang memberi ruang terlalu sempit bagi
para kandidat (right to be candidate) untuk berpartisipasi dan kepada
para pemilih (right to vote) untuk tampil sebagai penentu dalam suatu
pemilihan.
Kedua, Sargent dan Dahl juga memiliki pendapat yang senada
mengenai hak partisipasi individu dalam demokrasi. Sargent
menjelaskan ketika membahas electoral system yang merupakan suatu
prosedur demokrasi yang memiliki tahapan dan dimulai dari penentuan
kandidat. Negara demokrasi seharusnya membuat prosedur keterlibatan
rakyat sudah dapat dilakukan mulai dari tahapan penentuan tersebut,
tidak hanya semata dilakukan oleh partai politik.47
Secara lebih umum, Robert Dahl juga membahas fenomena seperti
itu dalam pelaksanaan demokrasi saat ini. Dahl mengangkat terjadinya
salah satu dilema dalam demokrasi modern, mengenai seringnya
dilakukan pengorbanan terhadap hak-hak individu warga negara dalam
mekanisme demokrasi karena hak-hak individu tersebut sudah

44
Ibid., hlm. 74.
45
Ibid.
46
Ibid., hlm. 76.
47
Ibid., hlm. 71.

573
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012

dianggap terwakili secara organisasional.48 Berkembangnya populasi


dan semakin meluasnya wilayah sering menjadi alasan bahwa secara
pragmatis prosedur demokrasi cukup dilakukan dengan memberi tempat
bagi hak-hak masyarakat secara berkelompok atau organisasi.49
Menurut Dahl, tidak ada alasan yang absah untuk melakukan
pengorbanan hak-hak individu dan menganggapnya terwakili melalui
hak-hak organisasi dalam pelaksanaan prosedur demokrasi.50 Dahl
berpendapat, tidak mudah membuat penilaian kebajikan bersama di
masyarakat yang semakin heterogen. Semakin besar suatu kolektivitas,
semakin mungkinlah ia berisikan keanekaragaman kepentingan secara
subjektif dan objektif.51 Selain itu, semakin meningkatnya populasi,
pengambilan kesimpulan tentang kebaikan umum akan semakin sulit
karena pengetahuan orang terhadap posisi banyak orang hanya teoretis,
bukan praktis. Dengan demikian yang dianggap sebagai kepentingan
bersama atau kebaikan umum sebenarnya tidak akurat,52 bahkan dapat
dikatakan tidak pernah dapat dicapai secara efektif dan memang tidak
mungkin.53Oleh karena itu, prosedur demokrasi yang diciptakan tidak
boleh menghilangkan hak-hak dan kemampuan partisipasi individu.
Reduksi terhadap prosedur demokrasi jenis ini juga sering
dilakukan dengan cara yang lebih tidak terlihat perekayasaannya.
Misalnya dengan menganggap yang menjadi aspirasi rakyat hanyalah
suara yang disampaikan oleh partai politik atau bahkan oleh partai
politik dengan suara besar.
Dalam demokrasi perwakilan, lembaga-lembaga dalam sistem
politik memang diminta bekerja menjalankan fungsinya dari
pengelolaan aspirasi politik rakyat dan lembaga-lembaga tersebut
melakukan berbagai aktivitas yang secara terus menerus
mempengaruhi pendapat masyarakat.54 Peran lembaga-lembaga tersebut

48
Lihat Robert A. Dahl, Dilema.., Op. Cit, hlm. 152-155.
49
Ibid.
50
Ibid, 153-154.
51
Ibid, hlm 219.
52
Ibid, hlm 220-221.
53
Ibid, hlm. 230.
54
Gabriel Almond menggambarkan struktur dalam suatu sistem politik bekerja mengelola aspirasi
rakyat. Banyak lembaga politik yang terlibat seperti partai politik, kelompok kepentingan, birokrasi dan
lain-lain. Lihat Gabriel Almond “Studi Perbandingan Sistem Politik”, terjemahan dari “The Study of
Comparative Politics” dalam Comparative Politics Today (Boston: Little, Brown & Company, 1974) dalam
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univer-
sity Press, 2001), hlm. 27-29.

574
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa

dalam pemerintahan perwakilan memang dibutuhkan sebagai


mekanisme dan institusi bagi ekspresi kehendak rakyat yang diwakili.55
Partai politik, misalnya, bertugas menjadi penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.56
Hans Kelsen menyebut partai politik merupakan kendaraan essensial
dalam pembentukan kehendak publik.57
Namun demikian, partai politik hanya merupakan salah satu saja
dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-
pikiran, pandangan dan keyakinan bebas dalam masyarakat
demokratis.58 Dalam konteks infastruktur politik,59 partai politik bekerja
di wilayah itu bersama lembaga lain seperti kelompok kepentingan,
kelompok penekan, media massa dan tokoh politik.60
Di Amerika Serikat, betapapun dianggap sebagai negara yang
menganut sistem dua partai (two party system) dalam kepartaiannya,
namun di sana juga diakui konsep pemilu yang mempersilahkan calon
selain dari kedua partai yang ada untuk berkompetisi (Nonpartisan
Elections). 61 Konsep ini (The nonpartisan concept) menghilangkan
kewenangan tunggal pada partai politik dalam penentuan calon yang
berhak ikut pemilihan umum dan memberikan kesempatan kepada
semua pemilih untuk ambil bagian dalam pemilihan. 62 Konsep ini juga
menjanjikan berkurangnya politik partisan dan menganggap semua
pejabat yang terpilih konstituennya adalah seluruh pemilih bukan saja

55
Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik
dalam Pergulatan Republik, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 43.
56
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 52.
57
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), hlm. 294.
58
Assiddiqie, Ibid, hlm. 53.
59
Sri Sumantri membagi sistem politik suatu negara dalam dua suasana, yaitu (1) The governmental
political sphere yang merupakan hal-hal yang bersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga
negara yang ada serta perhubungan kekuasaannya antara satu dengan lainnya. dan (2) The socio-political
sphere atau disebut juga infra struktur politik yang terdapat di dalam masyarakat yang memberikan
pengaruhnya terhadap tugas-tugas daripada lembaga-lembaga negara dalam suasana pemerintahan.
Lihat Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945, (Bandung: Penerbit Alumni,
1983), hlm. 11.
60
Ibid., hlm. 12.
61
Robert M. La Follette, Sr dianggap sebagai pelopor ide nonpartisan elections, ketika ia mendirikan
partai yang diberi nama The Progressive Party sebagai partai politik baru yang semata-mata bekerja
untuk pencalonannya sebagai presiden dalam Pemilihan Presiden 1924 di Amerika Serikat. Lihat Robert
J. Huckshorn, Political Parties in America, second edition, (California, Brooks/Cole Publishing Company,
1984), hlm. 54. Mengenai Robert M. La Follette, Sr dan The Progressive Party dapat dilihat di artikel
berjudul “La Follette and His Legacy” di http://www.lafollette. wisc. edu/publications/otherpublications/
LaFollette/ LaFLegacy.html diakses 7 Maret 2012, pukul 12.30 WIB
62
Robert J. Huckshorn, Ibid, hlm. 54-55

575
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012

terbatas pada konstituen partai tertentu seperti yang terdapat dalam


politik partisan.63
Dalam permasalahan yang lebih kompleks, gejala hambatan
terhadap prosedur demokrasi jenis ini dilakukan oleh partai-partai besar
yang dominan dalam setiap proses legislasi. Proses legislasi undang-
undang yang terkait proses politik seperti undang-undang partai politik,
pemilihan umum, pemilihan presiden dan parlemen selalu menjadi objek
perhatian besar di parlemen bahkan lebih besar porsi perhatiannya
dibanding undang-undang yang terkait kesejahteraan rakyat. Undang-
undang paket politik seperti disebut di atas merupakan undang-undang
yang selalu secara rutin mengalami perubahan di parlemen. Sistem
pemilihan umum termasuk pemilihan presiden di Indonesia sejak
dimulainya era reformasi hampir selalu mengalami perubahan hingga
kini. Penjelasannya memang bisa dilakukan dengan mengatakan bahwa
kita memang sedang mencari sistem yang tepat sehingga dalam era
transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi hal seperti ini wajar
terjadi. Namun jika proses pencarian sistem terlalu panjang dan jenis
perubahan yang terjadi bukanlah bersifat essensial serta hanya
menguntungkan kelompok tertentu terutama yang sedang berkuasa,
maka wajar jika mencurigai terdapat dominasi kekuatan politik besar
di parlemen.64

F. Penutup
Negara-negara demokrasi di dunia melaksanakan pemilihan
umum sebagai operasionalisasi dari demokrasi. Namun, pemilihan
umum ternyata juga digunakan untuk kepentingan non-demokratis.
Rezim-rezim non-demokratis, terutama yang berkinerja lemah justru
menginginkan pelaksanaaan pemilihan umum guna memperbaharui
legitimasinya sehingga dapat terus menjalankan kekuasaannya.
Demi kepentingan legitimasi tersebut, pemilihan umum inisiatif
rezim non-demokratis dan berkinerja lemah dilaksanakan dengan
melakukan reduksi terhadap prosedur-prosedur demokrasinya.

63
Ibid.
64
Kasus Legislasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dijadikan
contoh. Terutama mengenai syarat verifikasi partai politik yang dianggap diskrimantif karena hanya
diberlakukan bagi partai politik yang perolehannya tidak mencapai ambang batas dalam pemilihan
umum sebelumnya atau partai politik baru. Ketentuan ini dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi melalui putusannya terhadap perkara nomor Nomor 52/PUU-X/2012.

576
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa

Partisipasi luas yang disepakati sebagai prosedur penting dalam


demokrasi merupakan sasaran dari rekayasa hukum pemilu. Dengan
berbagai cara, pemaknaan dan ruang lingkup partisipasi diberi arti
sendiri oleh rezim-rezim berkuasa yang pada gilirannya membuat
partisipasi rakyat menjadi terhambat. Regulasi bagi partisipasi memang
harus dilakukan untuk efektivitas aspirasi, bukan untuk memberi
hambatan bagi aspirasi.

Daftar Pustaka

A. Buku
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara
Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik
dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi 1945-1980-
an , (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
___________, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 19. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1998).
Dahl, Robert A. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992).
___________, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol
(Jakarta: Rajawali, 1985).
Held, David. Models of Democracy, second edition, (Cambridge: Polity Press,
1997).
Huckshorn, Robert J. Political Parties in America, second edition,
(California, Brooks/Cole Publishing Company, 1984).
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late
Twentieth Century, (University of Oklahoma Press, 1991).
Hutabarat, Ramly. Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi
Politik di indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004).
Ibrahim, Harmaily. Majelis Permusyawaratan Rakyat, (Jakarta: Penerbit
Sinar Bakti, 1979).
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State, (New York: Russel &
Russel, 1961)

577
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012

Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual


Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian
(Jakarta Gema Insani Press, 1996).
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 1998).
Montesquieu, Charles Louis de Secondat Baron de. The Spirit of Laws,
Complete Works, Vol 1, (Indiana: The Online Library of Liberty,
Liberty Fund, Inc.,2009)
Nurtjahyo, Hendra. Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005).
Powell Jr, G. Bingham. Elections as Instruments of Democracy (Majoritarian
and Proportional Visions), (New Haven: Yale University Press,
2000).
Sargent, Lyman Tower. Contemporary Political Ideologies: A Compative
Analysis, (Wadsworth: Cengage Learning, 2009).
Schumpeter, Joseph A. Capitalism, Socialism and Democracy, (London dan
New York: Routledge, 2003).
Soemantri, Sri. Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945,
(Bandung: Penerbit Alumni, 1983).
Tandjung, Akbar. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah
Turbulensi Politik Era Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008).

B. Internet
Isra, Saldi. “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden di Bawah
Undang-Undang Dasar 1945” http://www.saldiisra.web.id/
index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-
pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-
1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 diakses 10 Desember
2011 pukul 10.12 WIB
http://www.lafollette.wisc.edu/publications/otherpublications/
LaFollette/ LaFLegacy.html diakses 7 Maret 2012, pukul 12.30
WIB.
h t t p : / / k p u . g o . i d /
index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66
(diakses tanggal 21 Maret 2012 Pukul 11.16 WIB).

578

Anda mungkin juga menyukai