MencegahPemiluMenjadiAlatPenguasa FitraArsil JurnalLegislasi2012
MencegahPemiluMenjadiAlatPenguasa FitraArsil JurnalLegislasi2012
net/publication/331287545
CITATIONS READS
0 437
1 author:
Fitra Arsil
University of Indonesia
43 PUBLICATIONS 60 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Fitra Arsil on 22 February 2019.
Abstrak
Pada umumnya, negara-negara di dunia telah memberi tempat bagi demokrasi
dalam konstitusinya sebagai sistem yang mengatur hubungan rakyat dan
penguasa. Sebagai operasionalisasinya, negara-negara tersebut melaksanakan
pemilihan umum dalam pengisian jabatan para pemimpin atau wakil rakyatnya.
Namun kenyataannya pemilihan umum yang dianggap sebagai indikator utama
demokrasi tersebut telah terbukti dapat dijadikan sebagai alat penguasa atau
rezim-rezim berkinerja lemah untuk menambah legitimasinya. Rezim-rezim
non-demokratis melakukan berbagai reduksi dalam prosedur-prosedur
demokrasi yang terdapat dalam penyelenggaraan pemilihan umum terutama
dengan menghambat partisipasi.
Kata kunci: Demokrasi, pemilihan umum, prosedur demokrasi, alat penguasa
Abstract
In general, many countries in the world have already given enough space for
democracy as a system that regulates relation between the people dan their ruler. To
operasionalize it, those countries conduct a general election in order to elect the ruler
or their representatives. However, what really happens is that the general election
becomes the main indicator of democrary has proven to be manipulated by the low
performance ruler or the regimes to strengthen their legitimacy. Non-democratic
regimes reduces many procedures of democracy for a fair election especially by
restricting the participation.
Keywords: Democracy, election, procedures of democracy, participation.
A. Pendahuluan
Demokrasi telah menjadi arus besar yang melanda dunia sehingga
kini dianggap sebagai sistem yang paling populer1 dan dianggap terbaik
dalam mengatur hubungan antara rakyat dengan penguasa.2 Secara
massif konstitusi bangsa-bangsa di dunia telah memberi tempat bagi
demokrasi sebagai sistem utamanya.
*
Dosen dan Direktur Riset Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI
1
Penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1949 menggambarkan demokrasi dengan
menyebut bahwa “probably for the first time in history democracy is claimed as the proper ideal descrip-
tion of all systems of political and social organizations advocated by influential proponents.” .” Lihat
Miriam Budiardjo, Dasar-DasarIlmuPolitik, cet. 19. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 51.
2
HendraNurtjahyo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 1.
563
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
3
Huntington menyebut pasang surut demokrasi di negara-negara di dunia mengesankan terdapat pola
“a two-step forward, one-step-backward”. Di samping terdapat berbagai kemajuan negara-negara dalam
menerapkan demokrasi namun terdapat pula kemunduran-kemunduran yang cukup berarti. Samuel P
Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (University of Oklahoma
Press, 1991), hlm. 25-26.
4
Korea dan Turki pada akhir dasawarsa 1950, dan Philipina pada tahun 1972. Ibid., hlm. 7.
5
Pakar yang memahami demokrasi secara prosedural selalu menyebut pemilihan umum sebagai salah
satu prosedur penting. Samuel Huntington malah menyebutnya sebagai prosedur utama; lihat Samuel
Huntington, Ibid, hlm. 5. Robert A, Dahl juga memasukkan pemilihan umum sebagai salah satu prosedur
demokrasi di antara prosedur-prosedur demokrasi yang seharusnya terdapat dalam suatu negara
demokrasi. Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1992), hlm. 17.
6
Huntington, Op. Cit., hlm. 8.
564
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
7
Amos J. Peaslee meneliti 83 konstitusi di dunia dan 74 di antaranya (90%) menganut ajaran kedaulatan
rakyat. Lihat Amos J Peaslee, Constitutions of Nations, vol. I, (New Heaven: The Rumford Press, 1950),
hlm. 8 sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam
Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi 1945-1980-an ,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 11-12.
8
Kalimat ini disampaikan oleh Abraham Lincoln pada 1863 ketika peresmian makam nasional
Gettysburg, di tengah kecamuk perang saudara besar-besaran demi mempertahankan keutuhan Amerika
Serikat sebagai sebuah negara. Dikutip dari tulisan Melvin I. Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi,
dalam Jurnal Demokrasi, Office of International Information Programs, US Department of State, tanpa
tahun.
9
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, (London dan New York: Routledge,
2003), hlm. 269.
10
Huntington, Op.Cit., hlm. 109
565
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
demokrasi dalam sebuah rezim.11 Ahli lain, Robert Dahl, juga menyebut
pemilihan umum yang bebas dan adil sebagai syarat berjalannya
demokrasi.12 Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat memang dianggap
sebagai bentuk partisipasi yang terukur13 dan dinilai paling tua serta
terus dianggap tetap tidak boleh dihilangkan. 14 Bahkan pemilihan
pemimpin dengan melibatkan rakyat ini dianggap bukan saja sebagai
instrumen demokrasi, keberadaan pemilu telah membuat para pembuat
kebijakan menaruh perhatian serius terhadap warga negara.15 Melalui
keterlibatan rakyat dalam memilih pemimpin, dapat dianggap rakyat
terlibat dalam pembentukan kebijakan karena rakyat menentukan siapa
yang yang berhak membuat kebijakan.16
Begitu pentingnya pemilihan umum dalam suatu negara yang
menganut demokrasi, telah menyebabkan pemilihan umum dijadikan
dasar untuk menentukan keberadaan demokrasi di suatu negara.
Negara yang memilih pemimpin dan para wakilnya lewat pemilihan
umum menunjukkan negara tersebut demokratis dan sebaliknya, jika
tidak ada pemilihan umum maka negara tersebut tidak demokratis.
11
Ibid.
12
Robert Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale University Press, 1971), hlm,
2 sebagaimana dikutip oleh Philips Jusario Vermonte, “Konsolidasi Demokrasi dan Perdebatan
Presidensialisme versus Parlementarisme” dalam Yudi Latif et al., Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas
Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan (Jakarta: Center for Presidential and Parliamentary Studies,
2002), hlm. 31.
13
Huntington, Op. Cit.
14
Menilai partisipasi hanya semata-mata sebagai seleksi pemimpin dan wakil-wakilnya memang dinilai
tidak akurat saat ini, namun hal tersebut disepakati sebagai bentuk partisipasi yang selalu ada dalam
setiap definisi yang disampaikan. Lihat Miriam Budiardjo dalam “Partisipasi dan Partai Politik”, Arbi
Sanit dalam “Mewadahi Partispasi Politik dan Perwakilan Politik di Indonesia”, Samuel P. Huntington dan
Joan M. Nelson dalam “No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries”, Herbert Mc Closky
dalam “International Encyclopedia of the Social Sciences”, Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam
“Handbook of Political Science”.
15
Lihat G. Bingham Powell Jr, Elections as Instruments of Democracy (Majoritarian and Proportional
Visions), (New Haven: Yale University Press, 2000), hlm 4.
16
Powell Jr, Ibid, hlm. 3-4.
566
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
17
Huntington Op.Cit., 174-175.
18
Ibid., 182
19
Che Guevara, Guerilla Warfare (New York: Vintage Books, 1961), hlm. 3 “Where a government has
come into power through some form of popular vote, fraudulent or not, and maintains at least an
appearance of constitutional legality, the guerrilla outbreak cannot be promoted, since the possibilities of
peaceful struggle have not yet been exhausted.”
567
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
20
MPR yang melakukan Perubahan UUD 1945 menyatakan salah satu dasar pemikiran yang
melatarbelakangi Perubahan UUD 1945 adalah karena pengaturan mengenai pemilihan umum yang asli
tidak tegas sehingga memungkinkan diselenggarakannya pemilu hanya untuk memenuhi persyaratan
demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah. Lihat
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2005), hlm. 8.
21
Ramly Hutabarat, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di indonesia,
(Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 51-52.
22
Menurut Yusril Ihza Mahendra, kekuasaan dalam pemerintahan Orde Baru telah bertindak sebagai
pencipta hukum yang bertujuan untuk mempertahankan kepentingan diri, entah kepentingan status-
quo maupun kepentingan legitimasi kekuasaan. Lihat Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara
Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta
Gema Insani Press, 1996), hlm. 91.
23
Lihat analisis Ramly Hutabarat mengenai produk hukum yang dibentuk oleh negara orde baru dalam
paket undang-undang politik yang intinya melakukan rekayasa pengisian jabatan dan mekanisme
pengambilan putusan politik di indonesia, Ramly Hutabarat Op.Cit., hlm. 69—127
24
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hlm. 376-
377.
568
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
25
Republik Indonesia, Oendang-Oendang Dasar, BRI Tahun II No. 7 Tahun 1946, Pasal 2 ayat (1).
26
Jumlah anggota MPR hasil Pemilihan Umum 1971, 1977, dan 1982 ialah dua kali jumlah anggota
DPR, yaitu 920 orang. Dari 460 orang anggota DPR terdapat ABRI yang diangkat oleh Presiden sejumlah
75 orang. Adapun MPR hasil Pemilu 1987, 1992, 1997 mengalami perubahan jumlah menjadi 1.000
orang, seperti diatur dalam UU No.2 tahun 1985.Anggota DPR terdiri dari 500 orang yang di dalamnya
terdapat 100 anggota ABRI yang diangkat. Lihat B.N. Marbun, DPR-RI : Pertumbuhan dan Cara Kerjanya
(Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 41-43.
27
Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 hingga 1997 diakui dilakukan dengan berbagai rekayasa
politik, termasuk dengan cara-cara pemaksaan dan represi aparat negara. Namun demikian mekanisme
tersebut secara berangsur dianggap berkurang dari Pemilu ke Pemilu. Lihat Akbar Tandjung, The
Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hlm. 42-43.
28
Pada Pemilu tahun 1971 Golkar mendapatkan 62,82 %, Pemilu 1977 mendapatkan 62,80%, Pemilu
1982 mendapatkan 64,34 %, Pemilu 1987 mendapatkan 73,16 %, Pemilu 1992 mendapatkan 68,10
%, dan Pemilu 1997 mendapatkan 74, 51 %. Data bersumber dari website resmi Komisi Pemilihan
Umum, lihat http://kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 (diakses
tanggal 21 Maret 2012 Pukul 11.16 WIB).
29
Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang Tata-
Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 1973.
30
Dalam Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 1973 disebutkan: “Calon Presiden diusulkan oleh
Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi
yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.” Ibid.
31
Harun Alrasid menyatakan sejak Sidang Umum (SU) MPR 1973 telah terjadi “tradisi calon tunggal”
dalam pemilihan Presiden. Lihat Harun Al-Rasyid, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam
Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1997), hlm. 36-37 sebagaimana dikutip Saldi Isra, op. Cit.
569
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
32
Menurut Saldi, ketentuan Dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 Naskah Asli bahwa presiden harus
dipilih mengisyaratkan bahwa calon presiden harus lebih dari satu. Secara lengkap bunyi ketentuan
tersebut sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara terbanyak.”
33
Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 melalui Penetapan Presiden Nomor
3 Tahun 1960 dan menggantinya dengan DPRGR melalui Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960.
DPRGR merupakan salah satu unsur dari MPRS, selain Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang
semuanya juga diangkat oleh Soekarno. Lihat Harmaily Ibrahim, Majelis Permusyawaratan Rakyat,
(Jakarta: Penerbit Sinar Bakti, 1979), hlm. 45-47.
34
Soekarno membentuk MPRS dengan susunan yang ditentukannya sendiri melalui Keputusan Presiden
Nomor 199 Tahun 1960. Lihat Harmaily Ibrahim, Ibid, hlm. 48-49.
35
Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang
Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup. Ketetapan
MPRS No. III/MPRS/1963.
36
Saldi Isra, “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden di Bawah Undang-Undang Dasar 1945”
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-peng-
isian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 diak-
ses 10 Desember 2011 pukul 10.12 WIB.
570
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
37
David Held, Models of Democracy, second edition, (Cambridge: Polity Press, 1997), hlm. 36.
38
Lihat Ibid, hlm. 263-264.
39
Dalam perkembangannya, gagasan ini menjadi wacana alternatif demokratisasi yang berpengaruh di
seluruh dunia. Dalam bidang hukum, gagasan ini mendorong lahirnya gerakan Critical Legal Studies.
Lihat Anis Ibrahim, “Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik dan Hukum Dalam
Proses Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur” Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang 2008.
40
David Held, Op. Cit.
41
Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm..
17. Dapat pula dilihat dalam Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol
(Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 18.
571
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
42
Ibid., hlm. 15.
43
Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies: A Compative Analysis, (Wadsworth: Cengage
Learning, 2009), hlm. 62 .
572
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
44
Ibid., hlm. 74.
45
Ibid.
46
Ibid., hlm. 76.
47
Ibid., hlm. 71.
573
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
48
Lihat Robert A. Dahl, Dilema.., Op. Cit, hlm. 152-155.
49
Ibid.
50
Ibid, 153-154.
51
Ibid, hlm 219.
52
Ibid, hlm 220-221.
53
Ibid, hlm. 230.
54
Gabriel Almond menggambarkan struktur dalam suatu sistem politik bekerja mengelola aspirasi
rakyat. Banyak lembaga politik yang terlibat seperti partai politik, kelompok kepentingan, birokrasi dan
lain-lain. Lihat Gabriel Almond “Studi Perbandingan Sistem Politik”, terjemahan dari “The Study of
Comparative Politics” dalam Comparative Politics Today (Boston: Little, Brown & Company, 1974) dalam
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univer-
sity Press, 2001), hlm. 27-29.
574
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
55
Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik
dalam Pergulatan Republik, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 43.
56
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 52.
57
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), hlm. 294.
58
Assiddiqie, Ibid, hlm. 53.
59
Sri Sumantri membagi sistem politik suatu negara dalam dua suasana, yaitu (1) The governmental
political sphere yang merupakan hal-hal yang bersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga
negara yang ada serta perhubungan kekuasaannya antara satu dengan lainnya. dan (2) The socio-political
sphere atau disebut juga infra struktur politik yang terdapat di dalam masyarakat yang memberikan
pengaruhnya terhadap tugas-tugas daripada lembaga-lembaga negara dalam suasana pemerintahan.
Lihat Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945, (Bandung: Penerbit Alumni,
1983), hlm. 11.
60
Ibid., hlm. 12.
61
Robert M. La Follette, Sr dianggap sebagai pelopor ide nonpartisan elections, ketika ia mendirikan
partai yang diberi nama The Progressive Party sebagai partai politik baru yang semata-mata bekerja
untuk pencalonannya sebagai presiden dalam Pemilihan Presiden 1924 di Amerika Serikat. Lihat Robert
J. Huckshorn, Political Parties in America, second edition, (California, Brooks/Cole Publishing Company,
1984), hlm. 54. Mengenai Robert M. La Follette, Sr dan The Progressive Party dapat dilihat di artikel
berjudul “La Follette and His Legacy” di http://www.lafollette. wisc. edu/publications/otherpublications/
LaFollette/ LaFLegacy.html diakses 7 Maret 2012, pukul 12.30 WIB
62
Robert J. Huckshorn, Ibid, hlm. 54-55
575
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
F. Penutup
Negara-negara demokrasi di dunia melaksanakan pemilihan
umum sebagai operasionalisasi dari demokrasi. Namun, pemilihan
umum ternyata juga digunakan untuk kepentingan non-demokratis.
Rezim-rezim non-demokratis, terutama yang berkinerja lemah justru
menginginkan pelaksanaaan pemilihan umum guna memperbaharui
legitimasinya sehingga dapat terus menjalankan kekuasaannya.
Demi kepentingan legitimasi tersebut, pemilihan umum inisiatif
rezim non-demokratis dan berkinerja lemah dilaksanakan dengan
melakukan reduksi terhadap prosedur-prosedur demokrasinya.
63
Ibid.
64
Kasus Legislasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dijadikan
contoh. Terutama mengenai syarat verifikasi partai politik yang dianggap diskrimantif karena hanya
diberlakukan bagi partai politik yang perolehannya tidak mencapai ambang batas dalam pemilihan
umum sebelumnya atau partai politik baru. Ketentuan ini dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi melalui putusannya terhadap perkara nomor Nomor 52/PUU-X/2012.
576
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
Daftar Pustaka
A. Buku
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara
Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik
dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi 1945-1980-
an , (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
___________, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 19. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1998).
Dahl, Robert A. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992).
___________, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol
(Jakarta: Rajawali, 1985).
Held, David. Models of Democracy, second edition, (Cambridge: Polity Press,
1997).
Huckshorn, Robert J. Political Parties in America, second edition,
(California, Brooks/Cole Publishing Company, 1984).
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late
Twentieth Century, (University of Oklahoma Press, 1991).
Hutabarat, Ramly. Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi
Politik di indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004).
Ibrahim, Harmaily. Majelis Permusyawaratan Rakyat, (Jakarta: Penerbit
Sinar Bakti, 1979).
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State, (New York: Russel &
Russel, 1961)
577
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
B. Internet
Isra, Saldi. “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden di Bawah
Undang-Undang Dasar 1945” http://www.saldiisra.web.id/
index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-
pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-
1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 diakses 10 Desember
2011 pukul 10.12 WIB
http://www.lafollette.wisc.edu/publications/otherpublications/
LaFollette/ LaFLegacy.html diakses 7 Maret 2012, pukul 12.30
WIB.
h t t p : / / k p u . g o . i d /
index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66
(diakses tanggal 21 Maret 2012 Pukul 11.16 WIB).
578