Anda di halaman 1dari 3

Jaranan Dan Representasi Abangan[sunting | sunting sumber]

Jaranan pada zaman dahulu adalah selalu bersifat sakral. Maksudnya selalu berhubungan dengan
hal-hal yang sifatnya gaib. Selain untuk tontonan dahulu jaranan juga digunakan untuk upacara-
upacara resmi yang berhubungan dengan roh-roh leluhur keraton. Pada zaman kerajaan dahulu
jaranan sering kali ditampilkan di keraton.
Dalam praktik sehari-harinya para seniman jaranan adalah orang-orang abangan yang masih taat
kepada leluhur. Mereka masih menggunakan danyangan atau punden sebagai tenpat yang
dikeramatkan. Mereka masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap roh-roh nenek moyangnya.
Mereka juga masih melaksanakan praktik-praktik slametan seperti halnya dilakukan oleh orang-
orang dahulu.
Pada kenyataanaya seniman jaranan yang ada di kediri adalah para pekerja kasar semua. Mereka
sebagian besar adalah tukang becak dan tukang kayu. Ada sebagian dari mereka yang bekerja
sebagai sebagai penjual makanan ringan disepanjang jalan Bandar yang membujur dari utara ke
selatan.
Cliford Geertz mengidentifikasi mereka dengan sebutan abangan. Geertz memberikan penjelasan
tentang praktik abangan. Masayarakat abangan adalah suatu sekte politio-religius di mana
kepoercayaan jawa asli melebur dengan Marxisme yang Nasionalistis yang memungkinkan
pemeluknya sekaligus mendukung kebijakan komunisdi Indonesia. Sambil memurnikan upacara-
upacara abangan dari sisa-sisa Islam (Geertz 1983).
Dalam perkembanganya kesenian jaranan mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan kondisi
social masyarakat yang sudah berubah dalam memaknai dan mengambangkan jaranan. dari tahun-
ke tahun jaranan mulai berubah dari yang sifatnya tuntunan menjadi tontonan dan yang paling
menarik adalah jaranan sebagai alat untuk menarik simpatisan dan untuk pengembangan
pariwisata.
Jaranan pada tahun 1960-an menjadi alat politik PKI untuk menopang kekuasaanya dan menarik
masa. Pada tahun-tahun itu kebijakan Sukarno tentang Nasakom sangat mempengaruhi
keberadaan lembaga-lembaga yang ada di bawah. Dari nasionalisme, Agama dan komunis ini,
memiliki lembaga-lembaga sendiri. Kelompok itu memiliki basis kesenian sendiri-sendiri. Lekra,
lesbumi dan LKN adalah lembaga kesenian yang ada di tingkat bawah.
Pada tahun itu jaranan sudah ada dan kebetulan bernaung dibawah pengawasan Lekra. Jaranan
pada saat itu sudah sangat digemari masyarakat. Bahkan dikediri pada saat itu sudah berdiri
beberapa kelompok jaranan. kelompok jaranan ini banyak digawangi oleh orang-orang yang berada
di lembaga kesenian. Dari ketiga lembaga kesenian yang ada, semuanya memiliki kesenian sendiri-
sendiri yang sesuai dengan misinya masing-masing.
Pada tahun 60an itu masing-masing kelompok jaranan berkontestasi dengan sehat. Walaupun
mereka berasal dari lembaga kesenian yang berbeda, tapi pada saat itu mereka masih bisa berbagi
ruang dan berkontestasi. Mereka saling mendukung dan mengembangkan kreatifitasnya dalam
berkesenian. Jaranan pada saat itu masih tampil dengan polos sekali. Pemainya hanya
mengenakan celana kombor dan tanpa make up. Tidak ada batas antara pemain, penabuh dan
penonton. Mereka sama-sama berada di tanah. Mereka bisa saling tukar main antara satu dengan
lainya. Berbeda dengan zaman jepang pada yang masih menggunakan goni sebagai pakaiannya.
Pada tahun-tahun 60an jaranan bisa tampil vulgar di manapun dia berada.
Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pembersihan dari kalangan agamawan kepada kelompok-
kelompok abangan. Pembersihan ini dilakukan tas kerjasamama Negara dengan kaum agamawan.
Akibat dari pembersihan itu masyarakat abangan yang ada di Kediri pada saat itu sempat kocar-
kacir. Terlebih pada orang-orang yang memang bergelut di lembaga PKI ataupun pernah terlibat.
Orang-orang yang terlibat sebagai anggota partai komunis dibunuh. Para seniman-seniman yang
berada dibawah PKI yaitu Lekra dihabisi semua. Danyangan dan beberapa punden banyak yang
dirusak. Bahkan patung-patung dan arca yang sekarang berada di museum Airlangga terlihat
banyak yang hancur. Ini adalah akibat pertikaian politik 1965. segala property yang berhubungan
dengan tradisi orang abangan dimusnahkan. Termasuk didalamnya adalah jaranan.
Setelah kejadian berdarah tahun 1965 itu jaranan yang dahulu adalah kesenian yang sangat
dibangggakan masyarakat hilang seketika. Jaranan adalah representasi dari kaum abangan yang
mencoba untuk memberikan eksistensi dirinya pada kesenian. Mereka benar-benar mengalami
trauma yang berkepanjangan. Sehingga kesenian jaranan pada paska 65 mundur. Kondisi politik 65
ini telah membawa jaranan pada titik kemandekanya. Kecuali jaranan yang bernaung di bawah
komunis aman dari pembersihan ini. Keberadaan jaranan pada saat itu juga masih relative sedikit.
Trauma itu ternyata tidak dirasakan oleh orang-orang yang berasal dar lekra saja. Seniman dari
lesbumi dan LKN waktu itu juga agak ketakutan untuk tampil di public. Kebanyakan dari seniman
yang ada dikediri pada waktu itu juga berhenti dari kesenian untuk semantara waktu.
Pasca peristiwa berdarah itu seluruh elemen masyarakat memberikan identifikasi yang negatif
terhadap kesenian jaranan. dari kalangan agamawan. Para agamawan beranggapan bahwa
jaranan itu mengundang setan. Sehingga wajar jika pada saat itu para agamawan terlebih ansor
menghabisi seniman-seniman yang berbau komunis di kediri.
Negara yang mulai memberikan pengngontrolan seniman dengan membuatkan Nomor Induk
Seniman (NIS) pada kurun waktu tahun 1965-1967. Dengan memberikan NIS ini pemerintah bisa
mengontrol lebih jauh seniman yang terlibat dengan komunis. Bagi yang tidak memiliki NIS
biasanya mereka dikasih nomor aktif sebagai seniman. "Tanpa memiliki kartu ini, seniman tidak
boleh tampil di ruang publik" kata Mbah Ketang.
Praksis paska 65 jaranan jarang sekali tampil di ruang public. Seniman-seniman jaranan yang
berasal dari LKN mungkin masih bisa berunjuk kebolehanya di ruang public. Misalnya jaranan
Sopongiro di Bandar dan jaranan Turnojoyo Pakelan. Dua jaranan ini bisa eksis dan tidak
terberangus pada tahun 65 karena mereka adalah kelompok kesenian yang berasal dari LKN.
Stigmatisasi yang dikembangkan oleh agamawan dan Negara rupanya telah meberangus nalar
masyarakat. Paska 65 masyarakat secara tidak langsung memberikan identifikasi negatif terhadap
kesenian jaranan. Mereka masih menganggap bahwa kesenian jaranan itu adalah kesenian milik
PKI.
Masyarakat tidak mau dicap merah oleh pemerintah dan kaum agamawan sebagai pengikut PKI.
Akhirnya kesenian jaranan dijauhi oleh masyarakat. Pasca terjadi peristiwa berdarah rtahun 1965
itu, kesenian jaranan mulai lumpuh total. Baru pada tahun 1977 jaranan mulai menggeliat lagi.
Jaranan menjadi sebyuah idiom baru yang tampil berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Jaranan pada tahun sebeliumnya banyak berafiliasi dengan komunis akan tetapi pada tahun itu
jaranan mulai menggandeng militer untuk dijadikan alat untuk melindungi dirinya.
dan musikpun sudah mulai dilakukan. Para seniman jaranan mulai memodifikasi jaranan dari
pakaian, make up, dan tarian serta musiknya. Dalam berebagai pertunjukan jaranan pemain jaranan
harus memiliki sifat yang arif, sopan dan memiliki tata karama yang tinggi kepada masyarakat dan
para penanggap. Sifat itu harus diperankan oleh para Dalam rangka memperbaiki citra jaranan di
muka masyarakat, seniman jaranan mulai menghaluskan jaranan. Pada senimaSelainn dalam
berbagai waktu dan kesempatan.

Rrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr

Hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh

Jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj

Kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk

Lllllllllllllllllllllll

Tttttttttttttttttttttttttttt
Uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu

Kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk

Pppppppppppppppppp

Dddddddddddddddddddddddd

Cccccccccccccccccccccccccc

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv

Anda mungkin juga menyukai