Mikrohistory
Mikrohistory
Meskipun demikian, ada upaya untuk membedakan mikrohistori dari biografi dengan
menekankan bahwa mikrohistori sering kali memiliki tujuan nonbiografis, seperti
mengeksplorasi periode waktu, mentalitas, atau masalah-masalah sosial tertentu melalui
kehidupan individu. Ini menunjukkan bahwa mikrohistori lebih dari sekadar cerita tentang
kehidupan seseorang, tetapi lebih merupakan upaya untuk memahami konteks sosial dan
budaya di mana individu tersebut hidup. Dalam kesimpulannya, materi tersebut menyoroti
bahwa, meskipun ada perbedaan antara mikrohistori dan biografi, batas antara keduanya
menjadi semakin samar. Namun, fokus pada tujuan. dan konteks penelitian dapat membantu
membedakan keduanya.
Para biografer terkenal sering kali terlibat dalam hubungan yang kompleks dengan subjek
yang mereka tulis, terkadang jatuh cinta dan terkadang merasa terkhianati oleh mereka.
Sebagai contoh, Joseph Ellis dengan Thomas Jefferson adalah salah satu hubungan yang
menarik untuk dipertimbangkan. Ellis, dalam pengantar American Sphinx, dengan jujur
mengakui identifikasi pribadinya dengan Jefferson, mengaitkannya dengan asal geografis dan
fisik mereka yang serupa. Meskipun ja bersikeras bahwa ketika ia akhirnya menulis biografi
tentang Jefferson, ia telah "sembuh" dari cinta muda tersebut, namun cinta itu tetap hadir.
Banyak orang percaya bahwa kasih sayang seorang biografer terhadap subjeknya adalah
penting. Ann Douglas bahkan menyatakan bahwa keberhasilan sebuah biografi bergantung
pada hubungan emosional antara penulis dan subjeknya. Namun, seringkali hubungan ini
lebih mirip dengan penguntit gila daripada hubungan yang sehat. Sebagaimana diungkapkan
oleh Paula Backscheider, biografer sering kali merasa seperti musuh pribadi subjek mereka,
menggali detail yang paling tersembunyi dan merendahkan mereka dalam prosesnya.
Janet Malcolm, dalam esainya yang tajam, "The Journalist and the Murderer",
menggambarkan biografer dan jurnalis sebagai perampok profesional, memperoleh
kepercayaan subjek mereka hanya untuk mengkhianatinya di akhirnya. Dia menyoroti risiko
pengkhianatan yang melekat dalam hubungan antara biografer dan subjeknya. Bahkan ketika
seorang biografer mulai mengidentifikasi dirinya dengan subjeknya, perasaan tersebut dapat
berubah menjadi pengkhianatan yang nyata.
Meskipun demikian, sejarawan dan biografer jarang harus khawatir tentang reaksi subjek
mereka karena sebagian besar dari mereka telah meninggal. Bagi sebagian besar sejarawan
Amerika awal, yang mempelajari periode di mana kontak langsung dengan subjek atau
keturunan mereka jarang terjadi, dilema moral tentang pengkhianatan tidak sebesar bagi
mereka. Namun, mikrohistorian seperti Jonathan Spence dan John Demos tetap menghadapi
tantangan etis yang sama, terutama ketika mereka berusaha merekonstruksi kisah hidup
orang-orang yang tidak lagi hidup.
Secara keseluruhan, sementara hubungan emosional antara biografer dan subjeknya penting
dalam menulis biografi yang memuaskan, risiko pengkhianatan juga selalu mengintai. Bagi
sejarawan yang bekerja pada masa lalu yang jauh, dilema ini mungkin tidak sebesar, tetapi
tetap merupakan pertimbangan penting dalam menulis sejarah yang akurat dan beretika.
Sebagai contoh, Simon Schama dalam "The Death of a Harvard Man mungkin terdorong
secara emosional oleh kasus pembunuhan George Parkman, tetapi ia lebih mengidentifikasi
diri dengan Gubernur Briggs dalam memutuskan kesalahan John Webster. Begitu pula
Natalie Zemon Davis dalam "The Return of Martin Guerre" menggambarkan hakim Jean de
Coras sebagai karakter yang menarik, sementara ia sendiri menyampaikan keraguan tentang
kasus tersebut melalui Coras. Meskipun mikrohistorian menggunakan peran detektif atau
hakim sebagai alter ego mereka, mereka tetap mempertahankan jarak yang kurang umum
dalam biografi. Namun, perangkat ini membuat mikrohistoria terasa menyenangkan untuk
dibaca, karena pembaca dapat berperan sebagai penjelajah bersama dengan peneliti dalam
memecahkan misteri sejarah. Ini menunjukkan bahwa meskipun tidak ada kewajiban hukum
untuk mengungkapkan pikiran dan sikap, baik biografer maupun mikrohistorian tetap
mempertimbangkan keraguan dan pengaruh pribadi terhadap karyanya.
Esai ini membahas perbandingan antara pendekatan biografi dan mikrohistori dalam
menghubungi subjek yang diteliti, khususnya dalam konteks pertanyaan apakah
mikrohistorian memiliki lebih banyak atau lebih sedikit simpati terhadap subjek mereka
daripada biografer. Empat proposisi diajukan untuk membimbing pembahasan:
Proposisi 4: Biografer mungkin melihat subjek sebagai alter ego mereka, sementara
mikrohistorian mungkin menciptakan karakter lain yang menyelidiki atau menghakimi
subjek. Pembahasan kemudian diarahkan pada pertimbangan ini dalam konteks studi tentang
Noah Webster. Meskipun Webster adalah figur yang kurang cocok untuk pendekatan
mikrohistoris karena dokumentasi hidupnya yang kuat dan kurangnya misteri yang
substansial, pandangan penulis. terhadap Webster cenderung cenderung negatif. Ini
menimbulkan pertanyaan etis tentang menulis tentang seseorang yang tidak disukai
penulisnya.
Pada akhirnya, esai tersebut mencatat bahwa sementara seorang biografer mungkin lebih
mungkin untuk terlibat secara emosional dengan subjeknya, seorang mikrohistorian memiliki
kebebasan yang lebih besar untuk menjaga jarak emosional. Penulis kemudian
menyimpulkan bahwa mikrohistori cenderung menggunakan subjek mereka sebagai
perangkat, sementara biografi lebih cenderung untuk mengembangkan hubungan yang lebih
intim dengan subjek.
Dekade 1970 menyaksikan munculnya genre sejarah baru yang disebut "mikro-sejarah", yang
dikaitkan dengan sekelompok kecil sejarawan Italia seperti Carlo Ginzburg, Giovanni Levi,
dan Edoardo Grendi. Fenomena ini dapat dilihat dari tiga perspektif utama.
Pertama, mikro-sejarah merupakan respons terhadap gaya tertentu dalam sejarah sosial yang
mengikuti pola sejarah ekonomi dengan menggunakan metode kuantitatif untuk
menggambarkan tren umum, tanpa memperhatikan variasi atau spesifitas budaya lokal. Di
Jerman, persaingan antara kedua pendekatan ini menghasilkan debat, dengan mikro-sejarah
diwakili oleh Ilans Medick dan sejarah sosial makro oleh Hans-Ulrich Wehler dan Jürgen
Kocka. Kedua, mikro-sejarah adalah respons terhadap pertemuan dengan antropologi,
menawarkan model studi kasus yang lebih luas yang memperhatikan budaya, kebebasan dari
determinisme ekonomi atau sosial, dan individualitas. Ketiga, mikro-sejarah adalah
tanggapan terhadap kekecewaan terhadap narasi besar kemajuan, yang mengabaikan
kontribusi budaya dan kelompok-kelompok sosial lainnya, serta menekankan globalisasi.
Dua karya pada pertengahan 1970-an yang menonjolkan mikro-sejarah adalah "Montaillou"
oleh Emmanuel Le Roy Ladurie dan "Cheese and Worms" oleh Carlo Ginzburg. Montaillou
memberikan gambaran sejarah sebuah desa Prancis pada abad ke-14 berdasarkan catatan
Inkuisisi, sedangkan Cheese and Worms mengulas kepribadian individu yang diinterogasi
oleh Inkuisisi di Italia abad ke-16. Kedua buku ini memberikan kontribusi pada studi budaya,
menyoroti aspek-aspek material dan mentalitas. Studi mikro-sejarah lainnya, seperti yang
dilakukan oleh Charles Phythian-Adams dan David Underdown di Inggris, serta David
Fischer di Amerika Serikat, juga memberikan pandangan yang kaya terhadap kehidupan
lokal. Meskipun beragam, studi-studi ini menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara
komunitas dan konteks global.
Hasil menarik dari mikro-sejarah adalah pembahasan ulang tentang penjelasan sejarah, di
mana konflik-konflik seperti perang saudara dapat dipahami lebih baik ketika dilihat dari
tingkat lokal. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah menganalisis hubungan antara
komunitas lokal dan dunia luar.