Sejarah kota ini bermula dengan adanya Kesultanan Ternate yang berdiri sekitar abad ke-13
di Pulau Ternate, yang menjadikan kawasan kota ini sebagai pusat pemerintahannya. Kornelis
Matelief de Jonge pada tahun 1607 membangun sebuah benteng pada kawasan kota ini, yang
dinamakan Fort Oranje dan sebelumnya bernama Malayu. Berikut ini adalah pembagian
Sejarah awal mula kerajaan atau kesultanan Ternate sebagian besarnya bersumber dari
legenda dan hikayat. Salah satu hikayat yang terkenal luas dan banyak dijadikan rujukan
ialah Sejarah Ternate yang ditulis oleh Naidah, yang diterjemahkan oleh P Van der Crab,
Residen Ternate 1863-1864 dan diterbitkan pada tahun 1878. Sumber lainnya ialah catatan-
catatan yang ditulis oleh Rijali, seorang ulama Maluku asal Hitu yang dihimpun oleh
Asal usul komunitas atau penduduk Ternate disebutkan oleh sumber-sumber tersebut,
berasal dari Pulau Halmahera yang melakukan eksodus atau migrasi besar-besaran ke
beberapa pulau kecil di bagian barat Pulau Halmahera termasuk ke Ternate, disebabkan
terjadinya pergolakan dan konflik politik di Jailolo (Gilolo), di Pulau Halmahera pada tahun
1250.
Para migran pertama yang mendarat dan bermukim di Ternate tahun 1250 adalah
komunitas Tobona yang dipimpin oleh Momole Guna. Momole adalah sebutan kepada
pemimpin atau kepala marga, klan atau komunitas. Pada tahun 1254 migran kedua tiba dan
bermukim di Foramadiyahi yang dipimpin oleh Mole Matiti. Menyusul kemudian migran
ketiga yang bermukim di Sampala yang dipimpin oleh Momole Ciko/Siko, kedua
permukiman komunitas terakhir ini dibangun tidak jauh dari pantai. Sampala bahkan terletak
di tepi pantai. Dalam sumber sejarah lain menyebutkan terdapat 4 (empat) komunitas atau
klan awal di Ternate, yakni masing-masing: Komunitas atau Klan Tobona, yang mendiami
kawasan lereng Gamalama bagian Selatan (kini Kelurahan Foramadiyahi): Tubo yang
mendiami kawasan lereng Gamalama bagian Utara; Tabanga, yang mendiami kawasan
pesisir Utara Pulau Ternate, dan Komunitas atau Klan Toboleu, yang mendiami kawasan
pesisir Timur Pulau Ternate. Komunitas atau klan awal inilah yang pertama-tama
mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari beberapa belahan dunia untuk
Seiring waktu, penduduk pun kian bertambah dan semakin heterogen dengan
bermukimnya pedagang Arab, Cina, Jawa, dan Melayu. aktivitas perdagangan kian ramai.
Ancaman pun sering datang dari para perompak. Pada tahun 1257, Momole Guna, pemimpin
Klan Tobona memprakarsai musyawarah untuk membentuk komunitas yang lebih kuat dan
mengangkat seorang pemimpin sebagai Kolano atau Raja. Hasil musyawarah menetapkan
Momole Ciko, pimpinana Klan Sampala sebagai Kolano Ternate pertama dengan gelar Baab
Mansyur Malamo (1257-1272). Pusat Kerajaan ditetapkan di Sampala. Kawasan ibu kota
terletak di pantai Barat Pulau Ternate. Peristiwa ini disebut sebagai Tara No Ate yang
artinya Turun dan Merangkul. Tara No Ate adalah cikal bakal penyebutan nama Ternate.
Sementara ibu kota kerajaan di Sampala kemudian disebut Gam Lamo yang
artinya kampung atau perkampungan besar. Gam Lamo adalah cikal bakal penyebutan
nama Gamalama.
Sejak era itu, Kerajaan Ternate berperan penting di kawasan Maluku Utara sampai abad
ke-17. Dalam catatan sejarah Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi,
adalah salah satu kerajaan tertua dan sangat berpengaruh di nusantara. Setelah Mansyur
Malamo (1257-1272), Kolano Ternate dijabat oleh Kaiicil Jamin (1272-1284). Kaiicil adalah
sebutan untuk seorang Pangeran, atau putra Kolano. Setelah Kaiicil Jamin, Kolano Ternate
dijabat oleh Kaiicil Siale (1284-1298). Pada masa Kaiicil Siale, ibu kota kerajaan
dipindahkan dari Sampala ke Foramadiyahi. Setelah itu, Siale digantikan secara berturut-turut
oleh Kaiicil Kamalu (298-1304) dan Kaiicil Ngara Malamo (1304-1317). Di bawah
kepemimpinan Kaiicil Ngara Malamo, Ternate memulai ekspansi teritorialnya. Kaiicil Ngara
Malamo adalah peletak dasar politik ekspansi Kerajaan Ternate. Politik ekspansi inilah yang
mengantarkan Ternate menjadi Kerajaan paling besar, paling kuat dan paling berpengaruh
dalam jajaran kerajaan-kerajaan Maluku pada masa-masa selanjutnya, terutama dari akhir
abad ke-14 hingga awal abad ke-16. Namun, memasuki akhir abad ke-16 (pasca Sultan
Babullah w. 1583 M), pamor Ternate sebagai kerajaan paling tangguh mulai merosot.
Kaiicil Ngara Malamo diganti oleh Patsyaranga Malamo (1317-1322), kemudian Sida
Arif Malamo (1322-1331). Di masa Kolano Sida Arif Malamo, Ternate telah ramai didatangi
oleh pedagang mancanegara seperti pedagang dari Cina, Arab dan Gujarat, juga pedagang
Ternate di bawah Kolano Sida Arif Malamo berkembang menjadi bandar perdagangan
terbesar dan utama di Maluku. Aktivitas perdagangan antar bangsa kala itu berpusat di
Pelabuhan Talangame atau sekarang dikenal dengan nama Pelabuhan Bastiong. Ternate pun
telah memiliki pasar dengan fasilitas yang memadai, tempat bertemunya pedagang lokal,
rempah, komoditas penting dalam perdagangan pasar Internasional saat itu yang
menempatkan gugusan kepulauan ini menjadi ajang lalu lintas niaga yang sibuk. Pesatnya
perdagangan rempah-rempah para Raja Maluku pun saling bersaing memantapkan posisinya
masing-masing sehingga tidak jarang menimbulkan konflik di antara mereka. Kolano Sida
Arif Malamo pun mengambil prakarsa mengadakan pertemuan raja-raja se-Maluku untuk
membentuk persekutuan bersama yang dikenal dengan Persekutuan Moti (Motir Verbond),
atau juga dikenal sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Kerajaan Maluku).
musyawarah. Jailolo ditetapkan sebagai kerajaan yang menempati peringkat pertama dalam
senioritas, menyusul Ternate, Tidore dan bacan. disepakati pula pembagian peran masing-
masing kerajaan. Raja Ternate berperan sebgai Alam Makolano, penjaga dan penjamin
stabilitas perdagangan dan urusan keduniaan. Raja Bacan berperan sebagai Dehe Makolano,
penjaga perbatasan. Raja Tidore berperan sebagai Kie Makolano, penjaga dan penjamin
keamanan dalam negeri. Raja Jailolo berperan sebagai Jiko Makolano, penjaga serangan dan
Manfaat persekutuan ini adalah sejak 1322 Maluku mengalami masa aman dan damai.
Berhasil meredam sementara waktu ambisi, permusuhan dan ekspansi para anggota
persekutuan. Rakyat Maluku menikmati suasana aman dan damai selama kurang lebih 20
tahun. Tetapi perdamaian yang ditegakkan dengan susah payah itu sirna ketika Kolano Tulu
Lamo naik tahta sebagai Kolano Ternate (1334-1347). Ia secara sepihak membatalkan hasil
persekutuan Moti dan menyatakan hasil persekutuan tersebut tidak lagi mengikat bagi
Ternate. Tulu Lamo menempatkan Ternate pada peringkat teratas sebagai yang tertua.
Keputusan itu mendapat reaksi keras dari ketiga kerajaan lainnya. Ia juga menyerang makian,
bandar niaga rempah terbesar kedua di Maluku setelah Ternate. Ternate setelah
kepemimpinan Kolano Tulu Lamo terus menyerah beberapa daerah sekitarnya. Sula diserbu
oleh Kolano Ngolo Macahaya (1350-1375), menyusul Jailolo diserang oleh Kolano
Naiknya Kolano Zainal Abidin (1468-1500) menandai berakhirnya era kerajaan dan
berganti ke era kesultanan. Gelar Kolano atau Raja berubah menjadi Sultan. Sultan Zainal
Abidin memproklamirkan Islam sebagai agama resmi Kesultanan Ternate, dan pembentukan
lembaga Jolebe, lembaga baru dalam struktur kesultanan yang membantu sultan dalam
Sultan Zainal Abidin diganti oleh Sultan Bayan Sirrullah (1500-1522), kemudian diganti
oleh Sultan Hidayat alias Deyalo. Pengangkatan Sultan Hidayat yang usianya belum akil
baligh, sehingga ibunya Boki Rainha Nukila diangkat sebagai Mangkubumi
digantikan oleh Sultan Abuhayat alias Boheyat (1530-1532), Sultan Tabariji (1532-
1535), Sultan Khairun Jamil (1535-1570), kemudian Sultan Baabullah Datu Syah (1570-
1583).
Kesultanan ternate membentang dari Mindanao di Utara sampai Bima di Selatan dan dari
Makassar di Barat sampai Banda di Timur. Karena itu, Baabullah, Sultan Ternate terbesar ini
berpengaruh dalam politik maupun militer di kawasan Timur Nusantara. Baabullah menurut
sebuah sumber, mampu mengerahkan 90.700 tentara bila diperlukan. Kontributor terbesar - di
atas 10.000 - pasukan ini adalah dari Veranullah dan Ambon (15.000 tentara), Teluk Tomini
(12.000 tentara), Batu Cina dan sekitarnya termasuk Halmahera Utara (10.000 tentara),
Gorontalo dan Limboto (10.000 tentara) serta Yafera (10.000 tentara). Penyumbang pasukan
Keberhasilan Sultan Baabullah tidak terlepas dari kecakapan sejumlah panglima dan
komandan tentara, seperti Kapita Laut Kapalaya dan Rubohongi. Kapalaya adalah
penakluk pantai timur Sulawesi, khususnya Buton, dan Rubohongi adalah penakluk Maluku
Tengah. Enam tahun setelah bertahta, Baabullah telah menguasai pulau-pulau di Ambon,
Hoamoal di Pulau Seram, Buru, Manipa, Ambalau, Kelang dan Buano. Empat tahun setelah
itu, ia juga menguasai desa-desa sepanjang pantai timur Sulawesi, Banggai, Tobongku,
Buton, Tiboro, dan Pangasani. Setelah itu giliran Makassar dan Selayar datang ke Ternate.
Orang Portugis pertama yang tiba di Ternate pada awal 1512 adalah Fransico
Serrao beserta awak kapalnya sebagai bagian dari ekspedisi d'Alburquerque menaklukkan
Malaka pada 1511. Sultan Bayan Sirullah alias Bayanullah (1500-1522) mengirim utusan
dengan sembilan juanga yang dipimpin oleh saudaranya sendiri, Kaicil Vaidua, menjemput
Serrao dan awak kapalnya dari Nusa Tellu di Hitu Barat ke Ternate. Sultan Bayanullah ingin
membuka akses perdagangan cengkih ke Eropa dan Serrao diyakini oleh Bayanullah dapat
kemudahan. Sultan menjadikan Serrao orang kepercayaan dan penasehat utamanya. Belum dua
tahun sejak Serrao tiba, Sultan memberi hak monopoli niaga cengkih kepada Portugis. Sultan lalu
berpesan bila nanti Serrao kembali ke Portugis, ia harus meyakinkan Raja Don Manuel agar
Beberapa eskader Portugis pun susul menyusul ke Ternate, masing-masing dipimpin oleh
antara lain, Antonio Miranda de Azevedo (1513), Don Tristao de Menezes (1520), dan De
Brito (Januari 1521). Saat de Brito tiba di Ternate Sultan Bayanullah dan Serrao telah wafat. De
Brito diterima dengan baik di istana, sebagai bukti bahwa persahabatan antara Ternate dengan
Portugis tetap ada. Beberapa kesepakatan pun dicapai. Portugis boleh mendirikan benteng di
Gam Lamo, yang diberi nama Benteng Nuestra Seiiora del Rosario, juga diizinkan berdagang
yang berarti telah melepaskan diri dari penjajahan, maka Wilayah Maluku memasuki babak baru
berada dalam wilayah Maluku dan yang menjabat sebagai Gubernur pada saat itu adalah Mr. J.
pemerintahan, khususnya Maluku, usaha Belanda untuk menguasai Indonesia kembali terjadi.
Kedatangan tentara sekutu ke Indonesia ternyata diboncengi oleh tentara Netherlands Indies
bulan Januari 1946, dengan membentuk negara-negara yang bersifat kedaerahan yang akan
Pada saat itu, Kota Ternate berstatus Keresidenan Ternate dengan wilayahnya mencakup
Pulau Ternate, Pulau Hiri, dan Pulau-pulau Batang Dua. Saat itu Distrik Ternate diperintahkan
Berdasarkan Gouvernement Besluit Nomor 3.S. 1946 No. 27 Tanggal 9 April 1946, Residen
Ternate membentuk Kotapraja (Stadsgeemente) Ternate pada tanggal 10 Desember 1946 dengan
dipimpin oleh seorang Wali kota dan untuk pertama kalinya dijabat oleh M.A.M. Soleman yang
merangkap sebagai Ketua Dewan Kota. Kemudian dijabat oleh Dano Umar Saifuddin, Hien
Diao, Jan Abubakar Wasplat. Mayoritas keanggotaan Dewan Kota dipegang oleh pribumi
ditambah 2 orang keturunan Cina dan 1 orang keturunan Belanda. Dewan Kota bertindak sebagai
penasehat.
Kemudian berturut-turut pada tahun 1957 terbentuk DPRD Gotong Royong (DPRD GR)
Maluku Utara dan pada tahun 1958 Kotapraja Ternate dibubarkan dan statusnya diturunkan
menjadi Kecamatan yang dipimpin oleh Jasin Bopeng. Namun status Kotapraja masih
dipertahankan hingga terbit Keputusan Gubernur Maluku tanggal 30 Maret 1965 mengubah
status Kota Temate menjadi Kecamatan. Dilanjutkan dengan hasil survei oleh Departemen
Dalam Negeri dan usulan dari Bupati Maluku Utara tentang pengangkatan status Kota Ternate
menjadi Kota Administratif, maka pada tanggal 11 Maret 1961 Ternate resmi menjadi Kota
Pada saat peningkatan status Kota Administratif Ternate menjadi Kota Madya
Tingkat II Ternate yang diterbitkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1999, maka
pada tanggal 27 April 1999, diresmikan Kotamadya Daerah Tingkat II Ternate dan
mengangkat Drs Syamsir Andili sebagai Wali kota Ternate yang pertama pada era
otonomi daerah. Wali kota dan Wakil Wali kota yang dilantik berdasarkan hasil pemilihan
1. Drs. Syamsir Andili dan Drs. Iskandar M. Djae (masa bhakti 2000-2005)
2. Drs. H. Syamsir Andili dan Drs. H. Amas Dinsie (masa bhakti 2005-2010)
3. Dr. H. Burhan Abdurahman, SH, MM dan Ir. Arifin Djafar, MM (masa bhakti 2010-
2015)
4. Drs. Idrus Assagaf Pejabat Wali kota (masa bhakti 2015-2016).
Melalui Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pemekaran
Kelurahan dan Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 6 dan 7 Tahun 2007 tentang
Kecamatan baru, yaitu Kecamatan Pulau Batang Dua dan Kecamatan Ternate Tengah,
Bastiong Karance, Mangga Dua Utara, Jati Perumnas, Tobona, Ngade, Sangaji Utara,
Hingga saat ini Perangkat Daerah Kota Ternate terdiri dari 17 Dinas, 9 Badan, 4
Kantor, 8 Bagian pada Sekretariat Daerah, serta Inspektorat dan Sekretariat DPRD. Kota
dan mempunyai 77 kelurahan yang siap melaksanakan tugas dan fungsi di bidang
Kota Ternate adalah sebuah kota kecil di provinsi Maluku Utara dengan luas
pulau yang dapat dikelilingi hanya dengan kurang dari dua jam menggunakan sepeda
motor. Keberadaan Ternate bermula dari berdirinya kesultanan Ternate pada sekitar
abad ke-13 yang juga menjadikan kota ini sebagai pusat pemerintahannya. Kesultanan
Ternate berdiri dengan mendapat banyak pengaruh Islam dari para pedagang Arab
dan mengusung pemerintahan syariat Islam yang kemudian menjadi sebuah kekuatan
salah satu kerajaan Islam tertua di Indonesia yang masih berdiri hingga masa sekarang
ini.
salah satu daerah di Indonesia yang sangat ingin diketahui orang terkait kondisi sosial
keputusan yang diperuntukan demi pembangunan dan kemajuan Kota Ternate tidak
lantas mudah dan berjalan dengan baik. Karena dalam menerapkan kebijakan,
pemerintah Kota Ternate harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak kesultanan
terlebih lagi terkait dengan kebijakan yang mengandung unsur kebudayaan. Misalnya
sesuatu yang cukup dirasa ada dan berbeda dari sebelumnya, berbeda ke arah yang
positif dan lebih baik dari sebelumnya. Inti pembangunan bukan hanya terjadinya
perubahan struktur fisik atau material, melainkan juga menyangkut perubahan sikap
masyarakat (Jamaludin, 2016). Maka dari itu, untuk mencapai tujuan dari
pembangunan kedua stakeholder yakni pihak pemerintah kota dan pihak kesultanan
pemerataan pada suatu daerah tanpa menghilangkan satu hal dan lainnya.
Makna pembangunan tidak dapat dipisahkan baik dari suatu daerah maupun
masyarakat yang mendiami daerah tersebut. Daerah yang dikatakan bergerak ke arah
kemajuan tidak luput dari masyarakatnya yang bergerak maju begitupun sebaliknya,
pembangunan daerah yang didiaminya (Jamaludin, 2016). Demikian pula yang terjadi
dampak buruk yang akan terjadi apabila modernisasi tidak berjalan seimbang dengan
penanaman nilai-nilai lokal di kalangan muda Ternate. Ternate saat ini banyak banyak
prosesnya yakni menghargai local knowledge atau kearifan lokal, dan dapat
Pembangunan masyarakat tentu tidak lepas dari peran tokoh masyarakat adat
didalamnya, karena merupakan daerah kesultanan maka tidak heran jika masyarakat
adat sangatlah penting dalam mengkontrol pertumbuhan juga perubahan yang dialami
Ternate. Tokoh masyarakat ialah seseorang yang disegani dan dihormati secara luas
oleh masyarakat dan dapat menjadi faktor yang menyatukan suatu bangsa-negara
(Surbakti, 1992). Tokoh masyarakat adat menurut Kepala Seksi Dinas Kebudayaan
bidang Adat Seatorang Kota Ternate, Rustam A Gani (wawancara, 23 Juli 2019) ialah
individu yang mengetahui sejarah dan culture yang ada di Ternate sejak awal
yang masih dijaga hingga sekarang, yang dibawahi langsung oleh kadaton (keraton
kesultanan Ternate).
Indonesia yang memiliki pancasila sebagai dasar negara, kesultanan Ternate juga
memiliki kearifan lokal non-material (nilai, norma) yang menjadi dasar dari Ternate,
yakni: Adat se atorang (adat bersendikan aturan), adat se kabasarang (hal-hal yang
ngare, sere de duniru, bobaso se rasai, car a se ngale, loa se bannar, duka se cinta,
baso se hormat, bari (gotong royong). Berdasarkan nilai-nilai tersebut, yang dapat
disebut dengan kearifan lokal tersebut yang menjadi acuan masyarakat dalam
berbasis kearifal lokal. Nilai-nilai tersebut, dirasa sangat penting untuk disertai dalam
karena kearifan lokal merupakan ciri khas Ternate yang membedakan Kota Ternate
dari kota budaya lainnya. Rene Char, penyair dan penulis kenamaan dari Prancis,
menyatakan bahwa kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa wasiat,
Ignas Kleden menjelaskan setiap pembaruan suatu budaya, pada mulanya kebudayaan
adalah “nasib”, baru kemudian kita menanggungnya sebagai tugas (Sutrisno, 2008).
Kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai basis dalam membangun Kota Ternate,
antara lain Adat se atorang, Galib se lakudi, Sere de duniru, Cara se ngare, Bobaso se
historikal yang dapat dilihat prosesnya dengan kasat mata, namun dapat dikatakan
bahwa masyarakat Ternate terbangun karena adanya hasil dari pembangunan tersebut.
Kearifan lokal Ternate yang sangat bedasar pada agama Islam dan berpotensi sebagai
dasar untuk pembentukan karakter daerah yang kuat. Potensi ini disamping
merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya, juga
merupakan
kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang
perlu dilestarikan (Sakka, 2018). Nilai-nilai kultural diyakini akan menjadi pedoman
bersifat non-material (nilai-nilai dan norma) atau biasa disebut dengan kearifan lokal
yang kemudian menjadi pijakan dalam bertindak, tidak dapat dipungkiri bahwasanya
kekayaan kearifan lokal yang menjadi pedoman dan dianut oleh masyarakat setiap
kali mengambil keputusan yang dimiliki oleh Ternate menjadi daya tarik tersendiri
oleh Ternate sekaligus menjadikan Ternate sebagai salah satu indikator dari
tidak masalah jika masyarakat Ternate dapat menyaring budaya yang masuk dan
menyesuaikan dengan budaya yang telah dianut masyarakat Ternate sejak lama.
Modernisasi bukanlah hal baru yang menyentuh masyarakat Ternate, seperti halnya
pesat dalam kesehariannya, baik dalam trend fashion hingga pada dialeg sehari-hari.
Hal tersebut yang perlu deskripsikan dan dianalisis guna mencegah hal yang
yang sudah menjadi kebiasaan atau telah dilakukan secara terus-menerus, yang
didalamnya terdapat nilai-nilai untuk dijadikan basis pijakan dalam mengatur perilaku
individu atau kelompok masyarakat. Demikian pula halnya adat se atorang yang
dilakukan oleh masyarakat Ternate sebagai jaminan kepastian hukum adat guna
Galib se lakudi ialah ketetapan dan ketentuan Allah yang berlaku bagi
manusia di semua aspek kehidupan, posisi manusia tidak memiliki kewenangan dan
sebagaimana Islam maupun Kristen, seperti sholat, puasa, haji kebaktian di gereja
Sere se Duniru adalah tatacara dan aturan main yang ditetapkan Tuhan untuk
dan hunungan sosial, sebab jika manusia menyimpang dari aturan maka akan
menghadirkan disharmonisasi dan bahkan konflik sosial. Contoh kongkrit dari tata
cara atau aturan yang sering keluar dari aturan ilahi atau sere se duniru ialah perilaku
politik pada tataran politik praktis, para politisi sering mengalami konfli terkait
perebutan kekuasaan (Sakka, 2018). Secara harfiah cing se cingare berarti berbuat
sesuatu agar perbuatannya itu dapat dilihat ataupun diperhatikan oleh orang lain.
Suatu perbuatan jika dilakukan dan bersentuhan dengan suatu masalah, maka akan
menarik perhatian orang untuk melihat dan memperhatikan. Reaksi yang timbul dari
perlakuan tersebut merupakan pengawasan dari berbagai pihak. Maka, makna yang
terkandung dalam nilai yang satu ini ialah diawasi atau pengawasan (Sakka, 2018).
Cara se ngale merupakan jalan Ilahi yang harus ditempuh manusia di dunia.
yaitu perintah yang harus ditaati dan larangan yang harus dijauhi. Jika diandaikan
Cara se ngale adalah ibarat ilmu dengan metodologinya, semakin tepat metode yang
digunakan untuk mengkaji dan menganalisa suatu masalah, maka akan semakin tepat
hasil yang diperoleh. Namun sebaliknya metode yang digunakan keliru maka
muaranyapun akan keliru. Bobaso se rasai adalah salah satu pengetahuan yang
dianugerahkan Tuhan agar manusia dapat saling membina hubungan sosial dengan
rukun dan harmonis, saling menjaga kehormatan diri, dan saling menjaga perasaan
menyalahkan orang lain. Kearifan lokal ini, memperingatkan manusia bahwa di dalam
kebetulan berbeda agama. Apabila interaksi sosial dibangun berdasarkan sikap saling
menghargai dipastikan akan tercipta keharmonisan dan kerukunan, sebagai
agar secara bersama-sama membangun harkat dan martabat manusia yang beragama
(Sakka, 2018). Dengan terdapatnya nilai-nilai kearifal lokal Ternate tentu tidak lepas
berpegang teguh pada nilai-nilai kearifan lokal yang masih terjaga. Hal ini menjadi
kajian menarik untuk diteliti, terlebih lagi cakupan makna pembangunan yang bukan
masyarakat yang berbasis kearifan lokal atau community development based on local
knowledge.