Anda di halaman 1dari 18

A.

ASAL MULA KOTA TERNATE


Sebuah kapal besar pada suatu hari dilanda topan patah tiangnya dan pecah kapal itu,
kemudian tenggelam bersama penumpang dan awak kapalnya.Salah seorang diantara
penumpang kapal yang selamat karena menggunakan sebuah sampan kecil berhasil mencapai
pantai pulau Gapi.
Dalam keadaan lapar dan letih, ia turun dari sampannya menuju ke darat untuk mencari
penduduk pulau tersebut minta pertolongan, namun lapar dan keletihan semakin bertambah
dan tidak juga bertemu penduduk pulau itu. Untung baginya di pulau Gapi terdapat banyak
buah-buahan yang hanya makanan satwa. Dengan buah-buahan yang ada ia sempat
menghilangkan lapar dan dahaganya. Orang tersebut adalah seorang pedagang dan penyiar
agam Islam, Jafar Sidik namanya berasal dari negeri Persia. Sesudah ia terhindar dari lapar
dan dahaga, berbaringlah ia dibawah pohon yang rindang. Beberapa jam kemudian tibul
pikirannya untuk mendirikan sebuah gubuk bagi tempat perlindungan dari panas dan hujan. Ia
bangkit mengumpulkan bahan-bahan di sekitar tempat itu guna membangun sebuah gubuk,
lalu dibangunnya gubuk itu cukup untuk tempat perlindungannya.
Beberapa hari lamanya ia menjadi penghuni pulau Gapi. Pada suatu petang terlihat
olehnya arakan awan di atas lereng gunung berwarna-warni kemilauan. Dari iringan awan itu
perlahan-lahan turun menuju sebuah telaga terletak di kaki gunung. Telaga itu bernama
Laguna.
Dengan tak tahan hati ia mengikuti arak-arakan awan yang turun itu, hingga sampailah ia
ke tepi telaga. Dari balik semak belukar di tepi telaga ia mengintai tempat turunnya kemilau
awan tersebut. Ternyata tampak olehnya bidadari-bidadari sedang turun mandi di
telaga.Dilihatnya bidadari-bidadari itu masing-masing meninggalkan sayapnya dan
meletakkannya di tepi telaga, lalu mereka pun melompat ke dalam air dan berenang-
renang.Timbul niatnya mencuri satu dari sayap bidadari itu. Maka dengan perlahan-lahan ia
merangkak menuju tempat terletak sayap-sayap itu. Diambilnya satu diantara sayap itu,
kemudian dibawa pergi dan disimpannya di tempat yang tidak mudah ditemui orang.
Jafar Sidik kembali memperhatikan bidadari-bidadari itu sedang berkemas untuk
memasang kembali sayap pada tubuh mereka dan terbang kembali ke khayangan bertemu
orang tua mereka. Hanya satu di antara bidadari itu tidak menemukan sayapnya.Ia mondar-
mandir mencari ke seluruh tepi telaga namun tak juga ditemukan sayapnya. Dengan hati yang
iba penuh kesal ia mereatap di tepi telaga itu. Tiba-tiba saja Jafar Sidik muncul di
sampingnya.Bidadari itu terkejut hendak melarikan diri, tetapi Jafar Sidik sempat menangkap
pergelangan tangannya. Dengan susah payah Jafar Sidik berusaha membujuknya dan akhirnya
keduanya bersepakat untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Menjelang beberapa tahun kemudian keduanya dikaruniai tiga orang putra. Putra-putra itu
diberi nama masing-masing Buka, Darajat dan Sahadat, sedang ibu mereka bernama Nursafa.
Nursafa bersama suami bertahun-tahun hidup dalam kerukunan tetapi kadang kala ia
terkenang juga pada kedua orang tua dan saudara-saudaranya di khayangan.
Pada suatu hari Jafar Sidik pergi mencari ikan di laut dari malam sampai siang hari.
Nursafa sebagaimana biasa ia memandikan ketiga anaknya kemudian memberi makan dan
menidurkan. Dengan tidak menduga ia melihat bayangan sayapnya di dalam air tempat mandi
anaknya. Beberapa menit diperhatikan bayangan dalam baskom itu kemudian mengangkat
muka memandang kea tap rumah, Nampak tersisip sayapnya di sela atap. Betapa besar
sukacita Nursafa, ia segera berkemas kembali karena semua anak sudah tidur. Cepat-cepat
diambilnya sayapnya dan dipasang pada tubuhnya lalu ia terbang ke khayangan. Sekembalinya
Jafar Sidik, ia tidak dapat menemukan istrinya. Dilihatnya anak-anaknya sedang tidur, sayap
istrinya yang disembunyikan sudah tidak ada.Ia segera tahu bahwa istrinya telah kemali ke
khayangan.
Berhari-hari Jafar Sidik berjalan masuk ke dalam hutan mencari jalan ke khayangan
namun tidak ditemukan. Pada suatu hari ia sangat letih setelah berjalan beberapa hari tanpa
istirahat. Ia berhenti di bawah pohon yang rindang untuk melepaskan keletihannya.
Disandarkannya punggungnya pada pokok pohon itu dan tertidurlah ia disitu. Dalam keadaan
tertidur tiba-tiba ia mendengar namanya dipanggil, ia segera terjaga dan mencari-cari suara
yang memanggilnya, ternyata yang dilihatnya adalah seekor burung garuda. Burung garuda itu
bertanya padanya tentang kesusahan yang menimpa dirinya.Diceritakan semuanya kepada
burung itu.Mendengar cerita Jafar Sidik, burung itu menyatakan kesediannya untuk
membantunya. Betapa senang hatinya mendengar bantuan yang akan diterimanya. Burung
garuda itupun terbang turun dari dahan pohon dan menyuruh Jafar Sidik naik ke punggungnya
lalu dibawa terbang ke khayangan. Setiba Jafar Sidik menghadap raja khayangan, ia
menyerahkan diri serta memohon ampun dan minta belas kasihan raja khayangan agar
dipertemukan dengan istrinya. Raja khayangan menerima permohonan Jafar Sidik, tetapi
apabila raja menampilkan ketujuh putrinya, ia harus menunjuk dengan tepat istrinya. Ketika
ditampilkannya ketujuh putrinya, mereka semua berparas sama, tetapi setelah seekor lalat
hinggap di dahi salah seorang bidadari segera ia mengetahui itulah istrinya. Oleh raja
khayangan, keduanya dinikahkan di sana. Setahun kemudian keduanya dikaruniai seorang
putra yang diberi nama Cico Bunga.
Pada waktu Cico Bunga berusia dua puluh tahun, kakeknya raja Khayangan
menginginkan agar cucunya turun ke bumi untuk memimpin rakyat negeri Gapi yang makmur
dengan cengkih tetapi mereka hidup dalam permusuhan sehingga negeri itu tidak maju dan
berkembang seperti negeri-negeri Duko, Tuanane dan Seki. Maka diperintahkannya cucunya
untuk turun ke negeri Gapi dengan dibekali semua perlengkapn yang ia kehendaki. Disamping
semua yang diberikan guna dibawa ke bumi, tak lupa kakeknya memberikan petunjuk sebagai
pedoman baginya dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu dengan caratara no ate yang
artinya turun kau memikat dan menarik semua rakyat, dimanapun mereka berada supaya
dating ke negeri Gapi bersama-sama membangun negeri itu. Pesan kakeknya diikutinya
setelah ia tiba di negeri Gapi. Dilaksanakannyalah yang pertama yaitu memikat semua rakyat
yang ada, kemudian menarik rakyat dari negeri yang jauh dating mendiami dan membangun
negeri Gapi. Maka berdatanganlah rakyat dari negeri-negeri yang jauh ke negeri Gapi.
Penduduk pun bertambah semakin banyak yang terdiri dari berbagai suku dan bangsa yang
diterima dengan baik dan diberi tempat untuk tinggal di negeri itu. Guna mengatur negeri dan
penduduknya, maka dibentuklah suatu struktur pemerintahan dimana Cico Bunga
sebagai kolano dengan bawahannya adalah para menteri. Kemudian dibentuklah juga dewan
perwakilan rakyat marga dan klan yaitu sembilan orang wakil dari marga dan klan yang
disebut soa sio dan Sembilan orang wkil wilayah yang disebut sangaji.
Soa sio dan sangaji terdiri atas delapan belas anggota dewan yang disebut bobato
nyagimoi satufkange, atau dewan delapan belas. Dewan delapan belas ini mempunyai tugas
menyusun dan membentuk hukum adat. Selain dewan delapan belas, ada juga satu dewan
tertinggi yang terediri atas anggota-anggota dewan delapan belas ditambah dua belas anggota
dari klan yang bertugas sebagai angkatan laut yang disebut heku dan dua belas anggota klan
yang bertugas sebagai angkatan darat yang disebut cim. Dewan ini disebut kolano dan
memberikan keputusan untuk menyatakan perang. Dalam pembentukan organisasi kekuasaan
itu mereka berpedoman pada dasar-dasar kehidupan masyarakat yang ada yaitu;
1. Adat se atorang
2. Istiadat se kabasarang
3. Galib se lukudi
4. Ngale se cara
5. Sere se duniru
6. Cing se cingari
Dengan dibentuk organisasi kenegaraan yang berbentuk kerajaan, Cico Bunga telah
berhasil melaksanakan amanat kakeknya yaitu tara no ate yang kemudian menjadi Ternate
sehingga diebutlah kerajaan yang dibentuknya dengan Kerajaan Ternate.
B. SEJARAH KOTA TERNATE

Sejarah kota ini bermula dengan adanya Kesultanan Ternate yang berdiri sekitar abad ke-13

di Pulau Ternate, yang menjadikan kawasan kota ini sebagai pusat pemerintahannya. Kornelis

Matelief de Jonge pada tahun 1607 membangun sebuah benteng pada kawasan kota ini, yang

dinamakan Fort Oranje dan sebelumnya bernama Malayu. Berikut ini adalah pembagian

masa atau periode sebelum Kolonialisme sampai pada Kemerdekaan.

1. Periuode Sebelum Kolonialisme

Sejarah awal mula kerajaan atau kesultanan Ternate sebagian besarnya bersumber dari

legenda dan hikayat. Salah satu hikayat yang terkenal luas dan banyak dijadikan rujukan

ialah Sejarah Ternate yang ditulis oleh Naidah, yang diterjemahkan oleh P Van der Crab,

Residen Ternate 1863-1864 dan diterbitkan pada tahun 1878. Sumber lainnya ialah catatan-

catatan yang ditulis oleh Rijali, seorang ulama Maluku asal Hitu yang dihimpun oleh

Francois Valentijn dalam bukunya Ound en Neeuw Oost Indie.

Asal usul komunitas atau penduduk Ternate disebutkan oleh sumber-sumber tersebut,

berasal dari Pulau Halmahera yang melakukan eksodus atau migrasi besar-besaran ke

beberapa pulau kecil di bagian barat Pulau Halmahera termasuk ke Ternate, disebabkan

terjadinya pergolakan dan konflik politik di Jailolo (Gilolo), di Pulau Halmahera pada tahun

1250.

Para migran pertama yang mendarat dan bermukim di Ternate tahun 1250 adalah

komunitas Tobona yang dipimpin oleh Momole Guna. Momole adalah sebutan kepada

pemimpin atau kepala marga, klan atau komunitas. Pada tahun 1254 migran kedua tiba dan

bermukim di Foramadiyahi yang dipimpin oleh Mole Matiti. Menyusul kemudian migran

ketiga yang bermukim di Sampala yang dipimpin oleh Momole Ciko/Siko, kedua

permukiman komunitas terakhir ini dibangun tidak jauh dari pantai. Sampala bahkan terletak

di tepi pantai. Dalam sumber sejarah lain menyebutkan terdapat 4 (empat) komunitas atau
klan awal di Ternate, yakni masing-masing: Komunitas atau Klan Tobona, yang mendiami

kawasan lereng Gamalama bagian Selatan (kini Kelurahan Foramadiyahi): Tubo yang

mendiami kawasan lereng Gamalama bagian Utara; Tabanga, yang mendiami kawasan

pesisir Utara Pulau Ternate, dan Komunitas atau Klan Toboleu, yang mendiami kawasan

pesisir Timur Pulau Ternate. Komunitas atau klan awal inilah yang pertama-tama

mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari beberapa belahan dunia untuk

mencari cengke dan rempah lainnya.

Seiring waktu, penduduk pun kian bertambah dan semakin heterogen dengan

bermukimnya pedagang Arab, Cina, Jawa, dan Melayu. aktivitas perdagangan kian ramai.

Ancaman pun sering datang dari para perompak. Pada tahun 1257, Momole Guna, pemimpin

Klan Tobona memprakarsai musyawarah untuk membentuk komunitas yang lebih kuat dan

mengangkat seorang pemimpin sebagai Kolano atau Raja. Hasil musyawarah menetapkan

Momole Ciko, pimpinana Klan Sampala sebagai Kolano Ternate pertama dengan gelar Baab

Mansyur Malamo (1257-1272). Pusat Kerajaan ditetapkan di Sampala. Kawasan ibu kota

terletak di pantai Barat Pulau Ternate. Peristiwa ini disebut sebagai Tara No Ate yang

artinya Turun dan Merangkul. Tara No Ate adalah cikal bakal penyebutan nama Ternate.

Sementara ibu kota kerajaan di Sampala kemudian disebut Gam Lamo yang

artinya kampung atau perkampungan besar. Gam Lamo adalah cikal bakal penyebutan

nama Gamalama.

Sejak era itu, Kerajaan Ternate berperan penting di kawasan Maluku Utara sampai abad

ke-17. Dalam catatan sejarah Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi,

adalah salah satu kerajaan tertua dan sangat berpengaruh di nusantara. Setelah Mansyur

Malamo (1257-1272), Kolano Ternate dijabat oleh Kaiicil Jamin (1272-1284). Kaiicil adalah

sebutan untuk seorang Pangeran, atau putra Kolano. Setelah Kaiicil Jamin, Kolano Ternate

dijabat oleh Kaiicil Siale (1284-1298). Pada masa Kaiicil Siale, ibu kota kerajaan

dipindahkan dari Sampala ke Foramadiyahi. Setelah itu, Siale digantikan secara berturut-turut

oleh Kaiicil Kamalu (298-1304) dan Kaiicil Ngara Malamo (1304-1317). Di bawah
kepemimpinan Kaiicil Ngara Malamo, Ternate memulai ekspansi teritorialnya. Kaiicil Ngara

Malamo adalah peletak dasar politik ekspansi Kerajaan Ternate. Politik ekspansi inilah yang

mengantarkan Ternate menjadi Kerajaan paling besar, paling kuat dan paling berpengaruh

dalam jajaran kerajaan-kerajaan Maluku pada masa-masa selanjutnya, terutama dari akhir

abad ke-14 hingga awal abad ke-16. Namun, memasuki akhir abad ke-16 (pasca Sultan

Babullah w. 1583 M), pamor Ternate sebagai kerajaan paling tangguh mulai merosot.

Kaiicil Ngara Malamo diganti oleh Patsyaranga Malamo (1317-1322), kemudian Sida

Arif Malamo (1322-1331). Di masa Kolano Sida Arif Malamo, Ternate telah ramai didatangi

oleh pedagang mancanegara seperti pedagang dari Cina, Arab dan Gujarat, juga pedagang

dari nusantara seperti Jawa, Malaka, dan Makassar.

Ternate di bawah Kolano Sida Arif Malamo berkembang menjadi bandar perdagangan

terbesar dan utama di Maluku. Aktivitas perdagangan antar bangsa kala itu berpusat di

Pelabuhan Talangame atau sekarang dikenal dengan nama Pelabuhan Bastiong. Ternate pun

telah memiliki pasar dengan fasilitas yang memadai, tempat bertemunya pedagang lokal,

pedagang mancanegara dan pedagang nusantara.

Armada-armada perdagangan antar bangsa datang ke pelabuhan ini terutama mencari

rempah, komoditas penting dalam perdagangan pasar Internasional saat itu yang

menempatkan gugusan kepulauan ini menjadi ajang lalu lintas niaga yang sibuk. Pesatnya

perdagangan rempah-rempah para Raja Maluku pun saling bersaing memantapkan posisinya

masing-masing sehingga tidak jarang menimbulkan konflik di antara mereka. Kolano Sida

Arif Malamo pun mengambil prakarsa mengadakan pertemuan raja-raja se-Maluku untuk

membentuk persekutuan bersama yang dikenal dengan Persekutuan Moti (Motir Verbond),

atau juga dikenal sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Kerajaan Maluku).

Musyawarah persekutuan itu melahirkan keputusan antara lain penyeragaman bentuk-

bentuk kelembagaan kerajaan-kerajaan di Maluku dan penentuan peringkat kerajaan peserta

musyawarah. Jailolo ditetapkan sebagai kerajaan yang menempati peringkat pertama dalam

senioritas, menyusul Ternate, Tidore dan bacan. disepakati pula pembagian peran masing-
masing kerajaan. Raja Ternate berperan sebgai Alam Makolano, penjaga dan penjamin

stabilitas perdagangan dan urusan keduniaan. Raja Bacan berperan sebagai Dehe Makolano,

penjaga perbatasan. Raja Tidore berperan sebagai Kie Makolano, penjaga dan penjamin

keamanan dalam negeri. Raja Jailolo berperan sebagai Jiko Makolano, penjaga serangan dan

ancaman dari luar.

Manfaat persekutuan ini adalah sejak 1322 Maluku mengalami masa aman dan damai.

Berhasil meredam sementara waktu ambisi, permusuhan dan ekspansi para anggota

persekutuan. Rakyat Maluku menikmati suasana aman dan damai selama kurang lebih 20

tahun. Tetapi perdamaian yang ditegakkan dengan susah payah itu sirna ketika Kolano Tulu

Lamo naik tahta sebagai Kolano Ternate (1334-1347). Ia secara sepihak membatalkan hasil

persekutuan Moti dan menyatakan hasil persekutuan tersebut tidak lagi mengikat bagi

Ternate. Tulu Lamo menempatkan Ternate pada peringkat teratas sebagai yang tertua.

Keputusan itu mendapat reaksi keras dari ketiga kerajaan lainnya. Ia juga menyerang makian,

bandar niaga rempah terbesar kedua di Maluku setelah Ternate. Ternate setelah

kepemimpinan Kolano Tulu Lamo terus menyerah beberapa daerah sekitarnya. Sula diserbu

oleh Kolano Ngolo Macahaya (1350-1375), menyusul Jailolo diserang oleh Kolano

Marhum (1465-1486). Kemudian berbagai penaklukan dilakukan Ternate atas Maluku

Tengah, Seram Barat dan Buru.

Naiknya Kolano Zainal Abidin (1468-1500) menandai berakhirnya era kerajaan dan

berganti ke era kesultanan. Gelar Kolano atau Raja berubah menjadi Sultan. Sultan Zainal

Abidin memproklamirkan Islam sebagai agama resmi Kesultanan Ternate, dan pembentukan

lembaga Jolebe, lembaga baru dalam struktur kesultanan yang membantu sultan dalam

urusan-urusan keagamaan Islam. Struktur baru Kesultanan Ternate ini memengaruhi

kerajaan-kerajaan lain di Maluku. Struktur tersebut segera diadopsi

oleh Tidore, Bacan dan Jailolo.

Sultan Zainal Abidin diganti oleh Sultan Bayan Sirrullah (1500-1522), kemudian diganti

oleh Sultan Hidayat alias Deyalo. Pengangkatan Sultan Hidayat yang usianya belum akil
baligh, sehingga ibunya Boki Rainha Nukila diangkat sebagai Mangkubumi

dan Taruwese diangkat sebagai wakil Sultan (1529-1530). Kemudian berturut-turut

digantikan oleh Sultan Abuhayat alias Boheyat (1530-1532), Sultan Tabariji (1532-

1535), Sultan Khairun Jamil (1535-1570), kemudian Sultan Baabullah Datu Syah (1570-

1583).

Ternate di masa Sultan Baabullah mencapai penaklukan yang spektakuler. Wilayah

Kesultanan ternate membentang dari Mindanao di Utara sampai Bima di Selatan dan dari

Makassar di Barat sampai Banda di Timur. Karena itu, Baabullah, Sultan Ternate terbesar ini

dikenal sebagai penguasa atas 72 pulau yang seluruhnya berpenghuni.

Di masa pemerintahan Sultan Baabullah, Ternate tampil sebagai kesultanan paling

berpengaruh dalam politik maupun militer di kawasan Timur Nusantara. Baabullah menurut

sebuah sumber, mampu mengerahkan 90.700 tentara bila diperlukan. Kontributor terbesar - di

atas 10.000 - pasukan ini adalah dari Veranullah dan Ambon (15.000 tentara), Teluk Tomini

(12.000 tentara), Batu Cina dan sekitarnya termasuk Halmahera Utara (10.000 tentara),

Gorontalo dan Limboto (10.000 tentara) serta Yafera (10.000 tentara). Penyumbang pasukan

tersedikit adalah dari Moti dan Hiri, masing-masing 300 tentara.

Keberhasilan Sultan Baabullah tidak terlepas dari kecakapan sejumlah panglima dan

komandan tentara, seperti Kapita Laut Kapalaya dan Rubohongi. Kapalaya adalah

penakluk pantai timur Sulawesi, khususnya Buton, dan Rubohongi adalah penakluk Maluku

Tengah. Enam tahun setelah bertahta, Baabullah telah menguasai pulau-pulau di Ambon,

Hoamoal di Pulau Seram, Buru, Manipa, Ambalau, Kelang dan Buano. Empat tahun setelah

itu, ia juga menguasai desa-desa sepanjang pantai timur Sulawesi, Banggai, Tobongku,

Buton, Tiboro, dan Pangasani. Setelah itu giliran Makassar dan Selayar datang ke Ternate.

Tahun kedatangannya merupakan awal dari monopoli rempah-rempah Kompeni di Ternate.


2. Periode Kolonialisme Bangsa Eropa

Orang Portugis pertama yang tiba di Ternate pada awal 1512 adalah Fransico

Serrao beserta awak kapalnya sebagai bagian dari ekspedisi d'Alburquerque menaklukkan

Malaka pada 1511. Sultan Bayan Sirullah alias Bayanullah (1500-1522) mengirim utusan

dengan sembilan juanga yang dipimpin oleh saudaranya sendiri, Kaicil Vaidua, menjemput

Serrao dan awak kapalnya dari Nusa Tellu di Hitu Barat ke Ternate. Sultan Bayanullah ingin

membuka akses perdagangan cengkih ke Eropa dan Serrao diyakini oleh Bayanullah dapat

mendukung keinginan tersebut.

Di awal kehadirannya, Portugis diperlakukan dengan balk dan mendapat banyak

kemudahan. Sultan menjadikan Serrao orang kepercayaan dan penasehat utamanya. Belum dua

tahun sejak Serrao tiba, Sultan memberi hak monopoli niaga cengkih kepada Portugis. Sultan lalu

berpesan bila nanti Serrao kembali ke Portugis, ia harus meyakinkan Raja Don Manuel agar

segera mendirikan benteng Portugis di Ternate.

Beberapa eskader Portugis pun susul menyusul ke Ternate, masing-masing dipimpin oleh

antara lain, Antonio Miranda de Azevedo (1513), Don Tristao de Menezes (1520), dan De

Brito (Januari 1521). Saat de Brito tiba di Ternate Sultan Bayanullah dan Serrao telah wafat. De

Brito diterima dengan baik di istana, sebagai bukti bahwa persahabatan antara Ternate dengan

Portugis tetap ada. Beberapa kesepakatan pun dicapai. Portugis boleh mendirikan benteng di

Gam Lamo, yang diberi nama Benteng Nuestra Seiiora del Rosario, juga diizinkan berdagang

dan membangun gudang penyimpanan barang dagangannya.

3. Periode Kemerdekaan Republik Indonesia


Pada saat Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia

yang berarti telah melepaskan diri dari penjajahan, maka Wilayah Maluku memasuki babak baru

dalam kehidupan pemerintahan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Ternate

berada dalam wilayah Maluku dan yang menjabat sebagai Gubernur pada saat itu adalah Mr. J.

Latuharhary. Namun, sebelum pemerintah melakukan penataan struktur maupun organisasi

pemerintahan, khususnya Maluku, usaha Belanda untuk menguasai Indonesia kembali terjadi.

Kedatangan tentara sekutu ke Indonesia ternyata diboncengi oleh tentara Netherlands Indies

Civil Administration (NICA). Pemerintah kolonial Belanda mengukuhkan kekuasaannya pada

bulan Januari 1946, dengan membentuk negara-negara yang bersifat kedaerahan yang akan

menjadi negara bagian dari Negara Indonesia Serikat.

Pada saat itu, Kota Ternate berstatus Keresidenan Ternate dengan wilayahnya mencakup

Pulau Ternate, Pulau Hiri, dan Pulau-pulau Batang Dua. Saat itu Distrik Ternate diperintahkan

oleh 3 (tiga) Residen secara bergiliran, yaitu:

1. Residen Iskandar Muhammad Djabir Syah (Sultan Ternate) 1945-1951

2. Residen Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) 1951-1957

3. Residen Dede Muchsin Usman Syah (Sultan Bacan) 1957-1958.

Berdasarkan Gouvernement Besluit Nomor 3.S. 1946 No. 27 Tanggal 9 April 1946, Residen

Ternate membentuk Kotapraja (Stadsgeemente) Ternate pada tanggal 10 Desember 1946 dengan

Dewan Kotapraja (Gementeraact) yang beranggotakan 10 (sepuluh) orang. Kotapraja Ternate

dipimpin oleh seorang Wali kota dan untuk pertama kalinya dijabat oleh M.A.M. Soleman yang

merangkap sebagai Ketua Dewan Kota. Kemudian dijabat oleh Dano Umar Saifuddin, Hien

Diao, Jan Abubakar Wasplat. Mayoritas keanggotaan Dewan Kota dipegang oleh pribumi

ditambah 2 orang keturunan Cina dan 1 orang keturunan Belanda. Dewan Kota bertindak sebagai

penasehat.

Kemudian berturut-turut pada tahun 1957 terbentuk DPRD Gotong Royong (DPRD GR)

Maluku Utara dan pada tahun 1958 Kotapraja Ternate dibubarkan dan statusnya diturunkan

menjadi Kecamatan yang dipimpin oleh Jasin Bopeng. Namun status Kotapraja masih
dipertahankan hingga terbit Keputusan Gubernur Maluku tanggal 30 Maret 1965 mengubah

status Kota Temate menjadi Kecamatan. Dilanjutkan dengan hasil survei oleh Departemen

Dalam Negeri dan usulan dari Bupati Maluku Utara tentang pengangkatan status Kota Ternate

menjadi Kota Administratif, maka pada tanggal 11 Maret 1961 Ternate resmi menjadi Kota

Administratif. Jabatan Wali kota Administratif sampai tahun 1999 yaitu:

1. Drs. H. Thaib Armayin periode 1962-1985 dan 1987-1991


2. Drs. H. Muhammad Hasan periode 1991-1995
3. Drs. H. Syamsir Andili, periode 1995-1999.

Pada saat peningkatan status Kota Administratif Ternate menjadi Kota Madya

Tingkat II Ternate yang diterbitkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1999, maka

pada tanggal 27 April 1999, diresmikan Kotamadya Daerah Tingkat II Ternate dan

mengangkat Drs Syamsir Andili sebagai Wali kota Ternate yang pertama pada era

otonomi daerah. Wali kota dan Wakil Wali kota yang dilantik berdasarkan hasil pemilihan

umum hingga tahun 2021.

1. Drs. Syamsir Andili dan Drs. Iskandar M. Djae (masa bhakti 2000-2005)
2. Drs. H. Syamsir Andili dan Drs. H. Amas Dinsie (masa bhakti 2005-2010)
3. Dr. H. Burhan Abdurahman, SH, MM dan Ir. Arifin Djafar, MM (masa bhakti 2010-
2015)
4. Drs. Idrus Assagaf Pejabat Wali kota (masa bhakti 2015-2016).

Melalui Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pemekaran

Kelurahan dan Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 6 dan 7 Tahun 2007 tentang

pembentukan Kecamatan, maka pada tanggal 8 November 2007, diresmikan 2 (dua)

Kecamatan baru, yaitu Kecamatan Pulau Batang Dua dan Kecamatan Ternate Tengah,

serta 11 Kelurahan Pemekaran, yaitu Kelurahan Tanah Tinggi Barat Salahuddin,

Bastiong Karance, Mangga Dua Utara, Jati Perumnas, Tobona, Ngade, Sangaji Utara,

Akehuda, Tuba dan Dorpedu.

Hingga saat ini Perangkat Daerah Kota Ternate terdiri dari 17 Dinas, 9 Badan, 4

Kantor, 8 Bagian pada Sekretariat Daerah, serta Inspektorat dan Sekretariat DPRD. Kota

Ternate mempunyai 7 (tujuh) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ternate Utara,


Ternate Ternate Selatan, Pulau Ternate, Hiri, Moti, dan Kecamatan Pulau Batang dua,

dan mempunyai 77 kelurahan yang siap melaksanakan tugas dan fungsi di bidang

Pemerintahan, Pembangunan dan Pelayanan Kemasyarakatan.

C. ADAT ISTIADAT KOTA TERNATE

Kota Ternate adalah sebuah kota kecil di provinsi Maluku Utara dengan luas

pulau yang dapat dikelilingi hanya dengan kurang dari dua jam menggunakan sepeda

motor. Keberadaan Ternate bermula dari berdirinya kesultanan Ternate pada sekitar

abad ke-13 yang juga menjadikan kota ini sebagai pusat pemerintahannya. Kesultanan

Ternate berdiri dengan mendapat banyak pengaruh Islam dari para pedagang Arab

dan mengusung pemerintahan syariat Islam yang kemudian menjadi sebuah kekuatan

kerajaan besar di timur Nusantara. Bahkan, daerah kekuasaan kesultanan Ternate

mencapai wilayah kepualauan Marshall di Filipina. Kesultanan Ternate merupakan

salah satu kerajaan Islam tertua di Indonesia yang masih berdiri hingga masa sekarang

ini.

Dikenal sebagai kota budaya, Ternate masih mempertahankan sistem

kesultanan dan juga menerapkan sistem pemerintahan membuat Ternate menjadi

salah satu daerah di Indonesia yang sangat ingin diketahui orang terkait kondisi sosial

masyarakat Ternate. Memiliki dua pemegang kebijakan membuat keputusan-

keputusan yang diperuntukan demi pembangunan dan kemajuan Kota Ternate tidak

lantas mudah dan berjalan dengan baik. Karena dalam menerapkan kebijakan,

pemerintah Kota Ternate harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak kesultanan

terlebih lagi terkait dengan kebijakan yang mengandung unsur kebudayaan. Misalnya

pembangunan yang melibatkan unsur budaya di dalamnya.


Pembangunan pada dasarnya tidak hanya persoalan fisik melainkan juga pada

sesuatu yang cukup dirasa ada dan berbeda dari sebelumnya, berbeda ke arah yang

positif dan lebih baik dari sebelumnya. Inti pembangunan bukan hanya terjadinya

perubahan struktur fisik atau material, melainkan juga menyangkut perubahan sikap

masyarakat (Jamaludin, 2016). Maka dari itu, untuk mencapai tujuan dari

pembangunan kedua stakeholder yakni pihak pemerintah kota dan pihak kesultanan

harus berjalan berdampingan dalam memperhatikan kesejahteraan sosial, dan

pemerataan pada suatu daerah tanpa menghilangkan satu hal dan lainnya.

Makna pembangunan tidak dapat dipisahkan baik dari suatu daerah maupun

masyarakat yang mendiami daerah tersebut. Daerah yang dikatakan bergerak ke arah

kemajuan tidak luput dari masyarakatnya yang bergerak maju begitupun sebaliknya,

masyarakat yang termodernisasi pasti akan mempengaruhi perkembangan

pembangunan daerah yang didiaminya (Jamaludin, 2016). Demikian pula yang terjadi

di Ternate, modernisasi hadir dan membuat pemerhati masyarakat cemas akan

dampak buruk yang akan terjadi apabila modernisasi tidak berjalan seimbang dengan

penanaman nilai-nilai lokal di kalangan muda Ternate. Ternate saat ini banyak banyak

dijumpai pemuda-pemudi yang bertingkah dan berpenampilan modern tetapi kurang

bahkan tidak memahami budaya setempat, akibatnya banyak

permasalahanpermasalahan soal yang terjadi.

Pembangunan masyarakat memiliki sebuah komponen esensial dari setiap

prosesnya yakni menghargai local knowledge atau kearifan lokal, dan dapat

dirangkum dengan frasa ‘masyarakat paling tahu’. Di atas segalanya, anggota

masyarakat memiliki pengalaman dari masyarakat tersebut, tentang kebutuhan dan

masalahmasalahnya, kekuatan dan kelebihannya, dan ciri khasnya (Tesoriero, 2008).

Pembangunan masyarakat tentu tidak lepas dari peran tokoh masyarakat adat
didalamnya, karena merupakan daerah kesultanan maka tidak heran jika masyarakat

adat sangatlah penting dalam mengkontrol pertumbuhan juga perubahan yang dialami

Ternate. Tokoh masyarakat ialah seseorang yang disegani dan dihormati secara luas

oleh masyarakat dan dapat menjadi faktor yang menyatukan suatu bangsa-negara

(Surbakti, 1992). Tokoh masyarakat adat menurut Kepala Seksi Dinas Kebudayaan

bidang Adat Seatorang Kota Ternate, Rustam A Gani (wawancara, 23 Juli 2019) ialah

individu yang mengetahui sejarah dan culture yang ada di Ternate sejak awal

berdirinya kekuasaan di Kota Ternate. Ternate sangat identik dengan adat-istiadat

yang masih dijaga hingga sekarang, yang dibawahi langsung oleh kadaton (keraton

kesultanan Ternate).

Rustam A Gani (wawancara, 23 Juli 2019) menyatakan bahwa layaknya

Indonesia yang memiliki pancasila sebagai dasar negara, kesultanan Ternate juga

memiliki kearifan lokal non-material (nilai, norma) yang menjadi dasar dari Ternate,

yakni: Adat se atorang (adat bersendikan aturan), adat se kabasarang (hal-hal yang

menyangkut dengan kabasarang yang terdapat di Ternate), galib se lakudi, cing se

ngare, sere de duniru, bobaso se rasai, car a se ngale, loa se bannar, duka se cinta,

baso se hormat, bari (gotong royong). Berdasarkan nilai-nilai tersebut, yang dapat

disebut dengan kearifan lokal tersebut yang menjadi acuan masyarakat dalam

bertindak juga menjadi komponen dalam terlaksananya pembangunan masyarakat

berbasis kearifal lokal. Nilai-nilai tersebut, dirasa sangat penting untuk disertai dalam

keseharian masyarakat, sebagaimana dengan pengertian kearifan lokal adalah

berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat

yang menjadi pedoman hidup mereka (Aprianto, 2008).

Kearifan lokal tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat Ternate

karena kearifan lokal merupakan ciri khas Ternate yang membedakan Kota Ternate
dari kota budaya lainnya. Rene Char, penyair dan penulis kenamaan dari Prancis,

menyatakan bahwa kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa wasiat,

Ignas Kleden menjelaskan setiap pembaruan suatu budaya, pada mulanya kebudayaan

adalah “nasib”, baru kemudian kita menanggungnya sebagai tugas (Sutrisno, 2008).

Kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai basis dalam membangun Kota Ternate,

antara lain Adat se atorang, Galib se lakudi, Sere de duniru, Cara se ngare, Bobaso se

rasai, Loa se bannar dan Baso se hormat (Sakka, 2018).

Pembangunan masyarakat berbasis kearifan lokal bukanlah suatu proses

historikal yang dapat dilihat prosesnya dengan kasat mata, namun dapat dikatakan

bahwa masyarakat Ternate terbangun karena adanya hasil dari pembangunan tersebut.

Kearifan lokal Ternate yang sangat bedasar pada agama Islam dan berpotensi sebagai

dasar untuk pembentukan karakter daerah yang kuat. Potensi ini disamping

merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya, juga

merupakan

kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang

perlu dilestarikan (Sakka, 2018). Nilai-nilai kultural diyakini akan menjadi pedoman

masyarakat Ternate yang multikultural, mereka menciptakan kebudayaan yang

bersifat non-material (nilai-nilai dan norma) atau biasa disebut dengan kearifan lokal

yang kemudian menjadi pijakan dalam bertindak, tidak dapat dipungkiri bahwasanya

kekayaan kearifan lokal yang menjadi pedoman dan dianut oleh masyarakat setiap

kali mengambil keputusan yang dimiliki oleh Ternate menjadi daya tarik tersendiri

oleh Ternate sekaligus menjadikan Ternate sebagai salah satu indikator dari

pembangunan masyarakat berbasis kearifan lokal Kota Ternate.

Adanya nilai-nilai lokal yang terdapat di Ternate sangat memerlukan peran

tokoh masyarakat adat guna memonitoring proses pembangunan masyarakat dan


mencegah masyarakat Ternate dari dampak negatif modernisasi, yang sebenarnya

tidak masalah jika masyarakat Ternate dapat menyaring budaya yang masuk dan

menyesuaikan dengan budaya yang telah dianut masyarakat Ternate sejak lama.

Modernisasi bukanlah hal baru yang menyentuh masyarakat Ternate, seperti halnya

daerah-daerah di Indonesia lainnya, Ternate juga mengalami modernisasi yang sangat

pesat dalam kesehariannya, baik dalam trend fashion hingga pada dialeg sehari-hari.

Hal tersebut yang perlu deskripsikan dan dianalisis guna mencegah hal yang

ditakutkan yakni muncul masalah hilangnya kearifan lokal Ternate.

Adat Se Atorang dapat dimaknai sebagai perilaku atau perbuatan manusia

yang sudah menjadi kebiasaan atau telah dilakukan secara terus-menerus, yang

didalamnya terdapat nilai-nilai untuk dijadikan basis pijakan dalam mengatur perilaku

individu atau kelompok masyarakat. Demikian pula halnya adat se atorang yang

merupakan produk hukum yang sebelumnya berulanh-ulang serta berkelanjutan

dilakukan oleh masyarakat Ternate sebagai jaminan kepastian hukum adat guna

terpeliharanya keseimbangan dan harmoni.

Galib se lakudi ialah ketetapan dan ketentuan Allah yang berlaku bagi

manusia di semua aspek kehidupan, posisi manusia tidak memiliki kewenangan dan

kemampuan untuk merubahnya. Dan kebebasan sesunggunya hanyalah milik Tuhan

dan karena kehendakNya manusia mampu menjalankan kebebasan relatif yang

diberikan Tuhan. Galib se lakudi menjangkau seluruh sendi kehidupan manusia

sebagaimana Islam maupun Kristen, seperti sholat, puasa, haji kebaktian di gereja

pada hari Sabtu dan Minggu (Sakka, 2018).

Sere se Duniru adalah tatacara dan aturan main yang ditetapkan Tuhan untuk

semua manusia dan diwajibkan untuk diimplementasikan dalam membangun interaksi

dan hunungan sosial, sebab jika manusia menyimpang dari aturan maka akan
menghadirkan disharmonisasi dan bahkan konflik sosial. Contoh kongkrit dari tata

cara atau aturan yang sering keluar dari aturan ilahi atau sere se duniru ialah perilaku

politik pada tataran politik praktis, para politisi sering mengalami konfli terkait

perebutan kekuasaan (Sakka, 2018). Secara harfiah cing se cingare berarti berbuat

sesuatu agar perbuatannya itu dapat dilihat ataupun diperhatikan oleh orang lain.

Suatu perbuatan jika dilakukan dan bersentuhan dengan suatu masalah, maka akan

menarik perhatian orang untuk melihat dan memperhatikan. Reaksi yang timbul dari

perlakuan tersebut merupakan pengawasan dari berbagai pihak. Maka, makna yang

terkandung dalam nilai yang satu ini ialah diawasi atau pengawasan (Sakka, 2018).

Cara se ngale merupakan jalan Ilahi yang harus ditempuh manusia di dunia.

yaitu perintah yang harus ditaati dan larangan yang harus dijauhi. Jika diandaikan

Cara se ngale adalah ibarat ilmu dengan metodologinya, semakin tepat metode yang

digunakan untuk mengkaji dan menganalisa suatu masalah, maka akan semakin tepat

hasil yang diperoleh. Namun sebaliknya metode yang digunakan keliru maka

muaranyapun akan keliru. Bobaso se rasai adalah salah satu pengetahuan yang

dianugerahkan Tuhan agar manusia dapat saling membina hubungan sosial dengan

rukun dan harmonis, saling menjaga kehormatan diri, dan saling menjaga perasaan

masing-masing. Dengan bobasose rasai maka manusia terhindar dari tindakan

menyalahkan orang lain. Kearifan lokal ini, memperingatkan manusia bahwa di dalam

pergaulan hidup hendaknya manusia senantiasa menjaga kata-katanya, karena mulut

(kata) bisa mendatangkan bencana (Sakka, 2018).

Ekspresi yang berbentuk sapaan yang memuat makna penghormatan terhadap

sesama manusia dinamakan dengan baso se hormat, yang dimaksudkan untuk

terbangunnya keharmonisan dan kerukunan dalam pergaulan dengan orang yang

kebetulan berbeda agama. Apabila interaksi sosial dibangun berdasarkan sikap saling
menghargai dipastikan akan tercipta keharmonisan dan kerukunan, sebagai

implementasi dari diciptakannya manusia berbangsa-bangsa agar saling mengenal

agar secara bersama-sama membangun harkat dan martabat manusia yang beragama

(Sakka, 2018). Dengan terdapatnya nilai-nilai kearifal lokal Ternate tentu tidak lepas

dari peran tokoh masyarakat adat dalam mengimplementasikan dalam keseharian

mereka sebagai bentuk melestarikan juga membangun masyarakat yang tetap

berpegang teguh pada nilai-nilai kearifan lokal yang masih terjaga. Hal ini menjadi

kajian menarik untuk diteliti, terlebih lagi cakupan makna pembangunan yang bukan

hanya berdasar pada pembangunan infrastruktur melainkan dalam pembangungan

masyarakat yang berbasis kearifan lokal atau community development based on local

knowledge.

Anda mungkin juga menyukai