Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN

PRAKTIKUM PALEONTOLOGI
ACARA III : FILUM PORIFERA DAN COELENTERATA

OLEH:
IZHAQ SUHARDI
D061231044

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA
2024
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Paleontologi adalah sebuah cabang ilmu geologi yang mempelajari kejadian


di bumi yang terjadi pada masa lampau terutama yang di wakili oleh fosil. Fosil
sendiri merupakan sisa kehidupan purba yang telah terawetkan pada lapisan
lapisan batuan pembentuk kerak bumi yang umumnya merupakan batuan sedimen.
Sisa - sisa kehidupan tersebut merupakan bagian yang keras dari organisme
seperti cangkang, jejak atau cetakan yang telah terisi mineral lain. Pada
penggolongannya fosil di klasifikasikan berdasarkan ciri-ciri tertentu di antaranya
kesamaan ciri fisik, perkembangbiakan, Genetika dan kesamaan lingkungan
hidupnya. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, organisme diklasifikasikan into beberapa
tingkatan, mulai dari yang paling luas hingga yang paling spesifik Tingkatan-
tingkatan tersebut adalah Kingdom, Filum/ Divisi, Kelas, Ordo, Family, Genus,
dan Spesies. Keberagaman dari fosil dengan segala bentuknya ini tentu memiliki
potensi yang sangat besar untuk meninggalkan jejak keberadaaan mereka di bumi.
Dalam pembelajaran mengenai ilmu fosil terdapat istilah filum. Iztilah
filum ini berasal dari bahasa Yunani "phylum" yang berarti "ras" atau "keturunan",
merupakan tingkatan klasifikasi ilmiah yang berada di bawah kingdom dan di atas
kelas. Filum sendiri mengacu pada kategori klasifikasi yang digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengelompokkan fosil berdasarkan kesamaan ciri-ciri
fundamental, seperti struktur tubuh dan fisiologi. Filum terbagi menjadi beberapa
jenis di antaranya Filum Protozoa, Bryozoa, Porifera, Coelenterata, Mollusca,
Brachiopoda, Echinodermata dan Arhropoda.
Oleh karena itu, di adakanlah praktikum paleontologi acara ke-tiga
mengenai fosil filum Porifera dan coelenterata dengan tujuan lebih memperdalam
pengetahuan Praktikkan mengenai proses pembentukan, lingkungan pengendapan,
serta umur geologi dari fosil filum Porifera dan Coelenterata. Laporan ini
merupakan bukti fisik dari praktikum paleontologi pada acara ke - tiga yaitu
Filum Porifera dan Coelenterata yang di lakukan pada selasa 19 Maret 2023.
1.2 Rumusan Masalah

Adapun Rumusan masalah yang di angkat pada kegiatan praktikum acara ke


dua ini yaitu :
1. Apa saja taksonomi yang ada pada fosil?
2. Bagaimana umur dan lingkungan pengendapan fosil?
3. Bagaimana proses pemfosilan yang dialami fosil tersebut?

1.3 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan yang ingin dicapai dari praktikum acara 3 filum
Protozoa dan Bryozoa ini adalah :
1. Praktikan dapat menjelaskan proses pemfosilan filum Porifera dan
Coelenterata
2. Praktikan dapat menjelaskan umur dan lingkungan pengendapan fosil
filum Porifera dan Coelenterata
3. Praktikan dapat mengetahui manfaat dari fosil filum Porifera dan
Coelenterata

1.4 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dari praktikum ini yaitu:


1. Sampel sampel yang ada di laboratorium
2. Taksonomi yang ada pada fosil
3. Umur serta lingkungan pengendapan

1.5 Alat dan Bahan

Adapun alat yang di gunakan pada saat praktikum yaitu :


1. Buku penuntun
2. ATK
3. Lap kasar
4. Lap halus
5. Clipboard
6. Jam tangan.
7. Loupe
8. Lembar kerja praktikum
9. Sampel Fosil.
10. HCl 0,1 M
11. HVS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Paleontologi

Paleontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu "palaios" yang berarti tua
dan "logos" yang berarti ilmu. Jadi, paleontologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang kehidupan di masa lampau melalui fosil. Paleontologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang kehidupan di masa lampau melalui fosil,
termasuk hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme. Paleontologi mempelajari
tentang evolusi kehidupan, sejarah Bumi, dan interaksi antara kehidupan dan
lingkungannya (Richard Fortey, 2008).
Sedangkan menurut Benton, (2015) Paleontologi didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari kehidupan masa lampau berdasarkan studi tentang fosil yang
meneliti semua aspek masa lampau termasuk anatomi, marfologi, klasifikasi,
filogoneni dan evolusi dari mahluk hidup.
Dalam mempelajari ilmu paleontologi, sangat erat kaitannya dengan fosil.
Fosil sendiri merupakan sisa - sisa dari kehidupan organisme yang telah mati lalu
mengalami proses diagenesis terawetkan secara alami dalam kurun waktu
geologi >500.000 tahun (Richard Fortey, 2008).

2.2 Pengertian Fosil

Fosil berasal dari bahasa Latin "fossus" yang berarti "telah digali". Kata ini
merujuk pada proses penggalian fosil yang biasanya ditemukan terkubur dalam
tanah atau batuan. Fosil didefinisikan sebagai sisa-sisa organisme yang telah
diawetkan dalam batuan (Richard Fortey, 2008).
Sedangkan Menurut Retallack, G. J. (2020) Fosil adalah sisa-sisa makhluk
hidup yang telah diawetkan dalam batuan selama jutaan tahun. Fosil dapat berupa
tulang, gigi, cangkang, daun, batang, bahkan jejak kaki. Fosil memberikan
informasi penting tentang kehidupan di masa lampau, termasuk bagaimana spesies
muncul, berevolusi, serta fosil juga berperan sangat penting dalam penentuan
umur dari suatu endapan sedimen.
Fosil merupakan pencerminan dari sifat organisme, lingkungan kehidupan
serta evolusi dari kehidupan purba. Dapat di katakan demikian karna fosil
merupakan sisa organisme yang telah hidup pada zaman dahulu (>500.00 jt tahun).
dimana sisa organisme ini terjebak dalam lumpur atau pasir dan kemudian
jasadnya tertutup oleh endapan material sedimen halus, endapan sedimen ini yang
fosil organisme tersebut (Richard Fortey, 2008).

2.3 Syarat Terbentuknya Fosil

Suatu sisa kehidupan organisme dapat membentuk fosil apabila memenuhi


beberapa syarat - syarat dalam proses pembentukannya. Adapaun syarat - syarat
tersebut adalah :
1. Organisme tersebut mempunyai bagian yang relative keras dan resisten.
2. Segera tertutup material sedimen berbutir halu secara alamiah, sehingga
tidak di mungkingkan ada oksigen yang mampu mengundang keberadaan
bakteri atau mikroorganisme untuk pembususukan.
3. Organisme terhindar dari proses yang merusak sebagai akibat dari gaya
endogen dan eksogen, atau di makan oleh bakteri aerobic atau anaerobic.
4. Dan memiliki umur > 500.000 tahun.
Selain syarat - syarat mutlak pembentukan fosil di atas, terdapat juga faktor
yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses pemfosilan di antaranya yaitu
lingkungan, jenis organisme dan waktu proses fosilisasi. Fosil yang terendapkan
pada lingkungan tenang dan minim oksigen seperti dasar danau atau laut akan
lebih mudah terbentuk menjadi fosil di bandingkan dengan lingkungan yang kaya
akan oksigen. Selain itu waktu juga sangat berpengaruh dalam pembentukan fosil
dimana Semakin lama proses fosilisasi berlangsung, semakin baik pula kualitas
fosil yang dihasilkan (Retallack,G.J.,2020).

2.4 Tahap Fosilisasi

Fosil adalah jendela ajaib yang membuka gerbang ke masa lampau,


menyimpan kisah tentang kehidupan yang telah punah jutaan tahun silam. Dibalik
keindahan dan nilainya, fosil menyimpan proses panjang dan kompleks yang
disebut fosilisasi. Ada tiga tahap utama dalam pembentukan fosil, yaitu kematian,
peristiwa pre-burial (pra terkubur) dan peristiwa Post-Burial (Pasca terkubur)
(Tim asisten, 2024).

Gambar 1 Tahap Fosilisasi pada organisme

Perjalanan fosilisasi dimulai dengan kematian suatu organisme. Baik


hewan maupun tumbuhan, Penguburan yang cepat oleh sedimen seperti pasir,
lumpur, atau abu vulkanik menjadi kunci awal. Penguburan ini mencegah
pembusukan dan penguraian oleh mikroorganisme, sehingga sisa-sisa organisme
terlestarikan. Seiring waktu, air yang kaya mineral meresap ke dalam sisa-sisa
organisme, menggantikan material organiknya dengan mineral. Proses ajaib ini,
yang disebut permineralisasi, mengubah sisa-sisa organik menjadi batu. Mineral
seperti kalsit, silika, dan pirit menjadi pemeran utama dalam proses ini,
memberikan bentuk dan ketahanan pada fosil. Sedimen yang mengubur fosil tidak
tinggal diam (Grimaldi,D.A.,2024).
Seiring waktu, tekanan dan panas bumi memadatkan sedimen menjadi
batuan sedimen. Fosil yang terperangkap di dalamnya terawetkan dengan aman,
menjadi saksi bisu kehidupan di masa lampau Namun, perjalanan fosil tidak
berhenti di situ. Diagenesis, proses kimiawi yang terus berlangsung, dapat
mengubah fosil lebih lanjut, meningkatkan kualitasnya atau bahkan, dalam
beberapa kasus, merusaknya (Grimaldi,D.A.,2024).
Akhirnya, setelah melalui proses geologis seperti pengangkatan tektonik
atau erosi, batuan yang mengandung fosil kemudian akan terangkat ke permukaan
bumi. Fosil yang sebelumnya tersembunyi di dalam batuan kini terpapar,
memungkinkan para ilmuwan untuk dapat menemukannya dan mempelajari
kisah-kisah yang mereka bawa (Grimaldi,D.A.,2024).
Proses fosilisasi membutuhkan waktu jutaan tahun dan tidak semua
organisme berkesempatan untuk menjadi fosil Faktor-faktor seperti lingkungan,
jenis organisme, dan waktu turut menentukan. Fosil lebih mudah terbentuk di
lingkungan tenang dan minim oksigen, dan organisme dengan kerangka keras
seperti tulang dan gigi memiliki peluang lebih besar untuk mengalami proses
pemfosilan dibandingkan dengan bagian dari organisme yang berjaring lunak
(Grimaldi,D.A.,2024).
Fosil yang berhasil terbentuk memberikan kita sebuah informasi yang
sangat berharga tentang kehidupan di masa lampau, selain itu penemuan fosil juga
menjadi jendela bagi manusia untuk memahami sejarah awal terbentuknya
evolusi dan keragaman hayati di planet kita. Oleh karena itu, fosil menjadi suatu
sumber daya dan peninggalan pra - sejarah yang tak ternilai serta perlu kita jaga
dan lestarikan (Long, J.A., 2020).

2.5 Proses Pemfosilan

Proses pembentukan fosil adalah proses alami yang mengubah sisa-sisa


organisme menjadi batu. Proses ini membutuhkan waktu jutaan tahun dan
melibatkan beberapa tahap seperti penguburan cepat, permineralisasi,
pembentukan batuan sedimen, diagenesis serta proses pengangkatan (Long, J.A.,
2020).
Berdasarkan sifat terubahnya dan bentuk yang terawetkan, maka proses
pemfosilan dapat di bagi menjadi beberapa golongan yaitu fosil tak termineralisasi,
fosil termineralisasi dan fosil jejak (Tim asisten, 2024).

2.5.1 Fosil Tak Termineralisasi

Fosil tak termineralisasi adalah sisa-sisa organisme yang terawetkan tanpa


mengalami proses permineralisasi. Fosil tak termineralisasi ini tidak mengalami
proses permineralisasi sehingga menyebabkan fosil ini akan mudah rapuh dan
rusak jika mengalami proses geologi tertentu (Grimaldi,D.A.,2022).
Adapun golongan - golongan dari fosil tak termineralisasi di bagi menjadi
beberapa jenis yaitu :
1. Fosil yang tidak mengalami perubahan secara keseluruhan, yaitu fosil yang
jarang terjadi dan meruapakan keistimewaan dalam proses pemfosilan.
Misalnya Mammoth di Siberia yang terbekukan dalam endapan es tersier.

Gambar 2 Fosil yang tidak mengalami perubahan secara keseluruhan

2. Fosil yang terubah sebagian, umumnya di jumpai pada batuan Mesozoikum


dan kenozoikum. Contohnya gigi - gigi binatang buas, tulang

Gambar 3 Fosil Fosil yang terubah sebagian

3. Amber, fosil amber merupakan organisme yang terperangkap dalam


getah dari tumbuhan tersebut. Contohnya insekta yang terselubungi getah
damar.

Gambar 4 Fosil yang terperanngkap pada getah damar


2.5.2 Fosil Termineralisasi

Fosil termineralisasi adalah sisa-sisa organisme yang telah mengalami


proses permineralisasi, di mana material organik penyusun fosil secara bertahap
digantikan oleh mineral (Grimaldi,D.A.,2022).
Adapun jenis - jenis dari fosil termineralisasi ini yaitu :
1. Permineralisasi, adalah sebuah proses pemfosilan dimana terjadi
penggantian sebagian atau lebih bagian dari fosil oleh satu jenis mineral
karna dari akibat masuknya mineral tertentu ke dalam rongga - rongga
tulang, cangkang kerang atau material tumbuhan yang menyebabkan
fosil akan lebih berat dari semula dan akan lebih tahan pelapukan.

Gambar 5 Fosil permineralisasi

2. Mineralisasi, Merupakan pergantian keseluruhan, dimana keduanya terjadi


ketika pori-pori fosil terisi oleh mineral kalsit, silica, fosfat,

Gambar 6 Fosil Mineralisasi

3. Replacement, merupakan pergantian total bagian dari fosil dengan mineral


lain, serupa dengan permineralisasi, hanya saja sisa organisme asli telah
terbawa setelah sebelumnya terkubur dalam sedimen kemudian larut oleh
air tanah, sehingga meninggalkan rongga pada batuan yang terisi oleh
material berupa material karbonat, silica dan senyawa besi.

Gambar 7 Fosil Replacement

4. Rekrisralisasi, adalah suatu proses pemfosilan yang umum dimana sisa -


sisa organisme terkena suhu dan tekanan yang lebih tinggi, sehingga
material - material penyusunya berubah ke bentuk yang lebih stabil
Mineral - mineral yang berubah menjadi kristal yaitu kalsit dan silikat.

Gambar 8 Fosil rekristalisasi

5. Distilasi / karbonisasi, Distilasi fosil adalah proses pemisahan komponen-


komponen organik dari fosil. kondisi dimana menguapnya kandungan gas
atau zat lain yang mudah menguap dalam tumbuhan atau hewan karena
tertekannya rangka atau tubuh organisme tersebut dalam sedimentasi
dan dari hasil uapan ini akan meninggalkan residu karbon (C) berupa
lapisan - lapisan tipis dan kumpulan unsur karbon akan menyelimuti
sisa - sisa organisme. Distilasi Fosil akan Memisahkan Zat Berharga dari
Bahan Bakar Kuno serta pemisahan komponen-komponen bahan bakar fosil,
seperti minyak bumi dan batubara.
Gambar 9 Fosil Distilasi

2.5.3 Fosil jejak

Fosil jejak adalah fosil yang terbentuk dari jejak hasil aktivitas organisme
baik binatang maupun tumbuhan.. Contoh yang paling umum adalah fosil jejak
kaki dinosaurus (Tim asisten, 2024).
Menurut Tim asisten, (2024), Fosil jejak adalah jejak kaki, sarang, dan
bekas-bekas aktivitas hewan yang terawetkan dalam batuan. Adapun contoh dari
fosil ini yaitu :
1. Impression, adalah jejak - jejak organisme yang memiliki relief rendah.
Contohnya bekas daun yang jatuh di lumpur, jadi yang tertinggal hanya
jejaknya.

Gambar 10 Fsosil impression

2. Mold, adalah cetakan negative dari bagian keras organisme


yang terbentuk ketika organisme mati jatuh menekan sedimen di dasar laut,
kemudian bagian yang jatuhh (keras) membentuk cetakan sedimen.
Gambar 11 Fosil Mold

3. Cast, adalah sebuah fosil cetakan dari jejak oleh material asing yang terjadi
apabila rongga antar tapak dan ruangan terisi zat lain dari luar, sedang
fosilnya sendiri telah lenyap.

Gambar 12 Fosil Cast

4. Kaprolit,adalah sebuah fosil yang terbentuk dari kotoran binatang yang


terfosilkan dengan komposisi phosphatik.

Gambar 13 Fosil kaprolit

5. Gastrolit, adalah fosil yang dahulu tertelan oleh hewan.


Gambar 14 Fosil Gastrolit

6. Trail,adalah sebuah fosil yang terbentuk dari jejak ekor binatang yang
terfosilkan.

Gambar 15 Fosil Trail

7. Track, adalah fosil yang terbentuk dari jejak kuku binatang dan hewanyang
terfosilkan.

Gambar 16 Fosil Track

8. Foot print,adalah sebuah fosil yang berbentuk jejak kaki hewan yang
terfosilkan.
9. Burrow, Borring, Tubes adalah sebuah lubang - lubang yang berbentuk
seperti lubang bor ataupun pipa yang merupakan tempat tinggal mahluk
hidup yang telah memfosil.Burrow adalah lubang yang di buat oleh
organisme untuk mencari mangsa / makan dan hidup. Borring adalah
lubang yang di gunakan untuk menyimpan makanan. Sedangkan Tube
adalah sebuah lubang hasil aktivitas organisme yang berbentuk pipa
ataupun tabung.

2.6 Sistem Taksonomi Fosil

Taksonomi adalah ilmu yang mempelajari tentang klasifikasi dan penamaan


makhluk hidup. Taksonomi modern berawal dari Carolus Linnaeus, ia
mengembangkan sistem klasifikasi binomial. Taksonomi fosil adalah ilmu yang
mempelajari klasifikasi dan penamaan fosil berdasarkan ciri-ciri morfologinya.
Klasifikasi fosil penting untuk memahami sejarah evolusi kehidupan di Bumi,
hubungan kekerabatan antar spesies, dan paleoekologi. Perkembangan taksonomi
fosil terus berlanjut dengan penemuan fosil baru dan teknologi yang lebih canggih,
seperti CT scan dan analisis DNA, memungkinkan para ilmuwan untuk
mempelajari fosil dengan lebih detail dan mendapatkan informasi baru tentang
hubungan kekerabatan antar spesies (Carrano, M. T., & Gaudin, T. J., 2013).
Menurut Taylor, E. L., Taylor, T. N., & Krings, M. (2018) Sistem
klasifikasi fosil mengikuti sistem klasifikasi biologi yang digunakan untuk
makhluk hidup. Sistem ini didasarkan pada beberapa tingkatan yaitu :
1. Kingdom: Membagi fosil menjadi hewan, tumbuhan, jamur, dan bakteri.
2. Filum: Membagi hewan berdasarkan struktur tubuh dan embriologinya.
3. Kelas: Membagi filum menjadi kelompok yang lebih kecil berdasarkan ciri-
ciri yang lebih spesifik.
4. Ordo: Membagi kelas menjadi kelompok yang lebih kecil berdasarkan ciri-
ciri yang lebih detail.
5. Famili: Membagi ordo menjadi kelompok yang lebih kecil berdasarkan
kesamaan dalam ciri-ciri genetik.
6. Genus: Membagi famili menjadi kelompok yang lebih kecil berdasarkan
kesamaan dalam ciri-ciri morfologi.
7. Spesies: Tingkatan terkecil, membagi genus menjadi kelompok individu
yang memiliki kesamaan dalam ciri-ciri genetik dan morfologi.
2.7 Definisi Hewan Invertebrata

Invertebrata atau Avertebrata adalah sebuah istilah yang diungkapkan oleh


Chevalier de Lamarck dimana "invertebrata" berasal dari bahasa Latin, yaitu "in-"
yang berarti "tidak" dan "vertebra" yang berarti "tulang belakang". Dari penggalan
kata tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa invertebrata merujuk pada hewan
yang tidak memiliki tulang belakang (Chevalier de Lamarck, 1812).
Berdasarkan simetris tubuhnya hewan invertebrata dibagi menjadi dua jenis
yaitu Simetri radial, yaitu hewan invertebrata berbentuk silindris atau membulat,
contohnya ubur-ubur, bulu babi serta Simetri bilateral, yaitu hewan invertebrata
yang berbentuk panjang dan bila dipotong menghasilkan dua bagian yang sama
yang terdiri dari kepala dan ekor. Contoh dari simetri bikateral ini yaitu semua
jeni platyhenminthes, nemathelminthes, annelida, dan sebagian besar dari insekta
dan mentimun laut (Chevalier de Lamarck, 1812).
Menurut (Moh. Imam Bahrul U, 2023) Dalam pengklasifikasiannya hewan
invertebrata di klasifikasikan berdasarkan pada kesamaan struktur tubuh,
embriologi, fisiologi, serta genentika. Klasifikasi yang umum digunakan saat ini
untuk membagi hewan invertebrata terbagi menjadi 8 filum utama yaitu : filum
Porifera, filum Coelenterata, filum Platyhelminte, filum Nemathelminthes, filum
Annelida, filum Molusca, filum Arthropoda dan filum Echinodermata.

2.8 Filum Porifera

2.8.1 Definisi Filum Porifera

Porifera berasal dari kata porus berarti pori dan ferre berarti mengandung,
sehingga secara umum porifera dapat disebut hewan yang berpori-pori, Ciri-ciri
dari hewan dari filum ini yaitu memiliki tubuh yang berpori, berbentuk seperti
piala atau botol, simetri bilateral, memiliki tipe saluran air askon, sikon dan
leukon (Moh. Imam Bahrul U, 2023).
Filum porifera berkembang biak secara aseksual maupun seksual,
Reproduksi secra aseksual dilakukan dengan pembentukan kuncup dari dinding
tubunhya ke arah luar. Kuncup yang terbentuk akan tumbuh menjadi porifera baru
atau dapat pula tetap melekat membentuk suatu koloni. Pembentukan kuncup ini
terjadi apabila berada pada keadaan kering atau keadaan dingin. Reproduksi
porifera secara seksual, yaitu dengan pembentukan arkeosit yang mengandung
sperma dan ovum. Jika terjadi penyatuan sperma dan ovum yang berada di
mesoglea, maka akan terbentuk zigot. Zigot ini akan berkembang menjadi larva
bersilia, kemudian berenang meninggalkan induknya dan akan menempel pada
suatu dasar dan hidup sebagai individu baru (Moh. Imam Bahrul U, 2023).

Gambar 17 Proses perkembangbiakan filum Porifera

2.8.2 Ciri - Ciri Filum porifera

Menurut Barnes, R. D. (1987) Ciri-ciri Utama dari filum porifera ini yaitu :
1. Tubuh Berpori: Tubuh porifera tersusun atas pori-pori kecil (ostia) yang
berfungsi sebagai tempat masuknya air. Air yang masuk dialirkan ke dalam
rongga tubuh (spongocoel) dan keluar melalui lubang besar (oskulum).
2. Sel Berflagel: Sel khusus (koanosit) di spongocoel memiliki flagel untuk
mendorong air dan menangkap makanan.
3. Tanpa Jaringan dan Organ Sejati: Sel-sel porifera belum terdiferensiasi
menjadi jaringan dan organ. Sel-sel ini bekerja mandiri untuk fungsi vital
seperti pencernaan, respirasi, dan ekskresi.
4. Reproduksi Seksual dan Aseksual: Porifera bereproduksi aseksual (tunas,
gemmula, fragmentasi) dan seksual (pelepasan sperma dan ovum).

2.8.3 Habitat Filum Porifera

Filum porifera, atau spons, umumnya hidup di laut dan air tawar. Di laut,
mereka ditemukan dari zona intertidal dangkal hingga laut dalam, dengan
keanekaragaman tertinggi di terumbu karang. Di air tawar, spons hidup di danau,
sungai, dan mata air. Faktor yang memengaruhi habitat spons antara lain makanan,
substrat, cahaya, suhu, dan salinitas. Spons laut menyukai arus air kuat dan
menempel pada bebatuan, terumbu karang, atau kayu terendam. Spons air tawar
lebih kecil dan menempel pada bebatuan atau tanaman air. Spons tidak selalu
membutuhkan cahaya, dan beberapa bersimbiosis dengan ganggang fotosintetik.
Spons beradaptasi dengan kisaran suhu dan salinitas tertentu serta menyukai
perairan tropis (Rützler, K., 2002).

2.9 Filum Coelenterara

2.9.1 Definisi Filum Coelenterata

Coelenterata adalah hewan invertebrata yang mempunyai rongga dengan


bentuk tubuh seperti tabung dan mulut yang dikelilingi oleh tentakel. Pada saat
berenang, mulut coelenterata menghadap ke dasar laut. Tubuh Coelenterata
(hewan berongga) adalah terdiri atas jaringan luar (eksoderm) dan jaringan dalam
(endoderm) serta sistem otot yang membujur dan menyilang (mesoglea). Istilah
Coelenterata berasal dari bahasa Yunani dari kata Coeles yang berarti rongga dan
interon yang berarti usus. Fungsi rongga tubuh pada Coelenterata adalah sebagai
alat pencernaan (gastrovaskuler) (Sri Maya dan Nurhidayah, 2020).
Filum porifera, memiliki dua cara berkembang biak: aseksual dan seksual.
Reproduksi aseksual terjadi melalui tunas, fragmentasi, dan gemmula. Tunas dan
fragmentasi menghasilkan individu baru dari tubuh spons induk, sedangkan
gemmula adalah kapsul yang berisi sel-sel tahan banting yang dapat berkecambah
di kemudian hari. Reproduksi seksual terjadi dengan pelepasan sperma dan sel
telur, yang kemudian dibuahi dan berkembang menjadi larva yang berenang bebas.

2.9.2 Ciri - Ciri Filum Coelenterata

Menurut (Sri Maya dan Nurhidayah, 2020) Coelenterata memiliki ciri khas
dengan karasteristik seluruh hewan coelenterata. Ciri-ciri coelenterata secara
umum yaitu :
1. Multiseluler, dan radial simetris (memotong bidang melalui pusat
menciptakan segmen identik, mereka memiliki bagian atas dan bawah tapi
tidak ada sisi).
2. Merupakan hewan invertebrata.
3. Memiliki bentuk seperti tabung.
4. Dikelilingi tentakel di sekitar mulut.
5. Lapisan tubuh coelenterata terdri dari jaringan luar (eksoderm), jaringan
dalam (endoderm), serta sistem otot yang membujur dan menyilang
(mesoglea).
6. Memiliki knidoblast, yaitu sel eksoderm yang berisi racun yang berduri
disebut dengan nematocyt.
7. Hidup di air tawar, air laut, secara solider (melekat pada dasar perairan) dan
berkoloni.
8. Sistem pencernaan coelenterata: di eksoderm terdapat tentakel berbentuk
gelembung disebut Hipnotoxin yang memiliki kait-kait dari benang. Jika
menangkap mangsa, tentakel menarik makanan ke arah mulut
dan mendorongnya ke dalam rongga tubuh. Makanan dicerna oleh enzim
yang akan beredar ke seluruh rongga tubuh dan kemudian diserap oleh
endoderm.
9. Sistem pencernaan coelenterata disebut dengan Gastrovaskuler. Sistem
pernapasan adalah sistem saraf difus (baur).
10. Coelenterata memiliki alat gerak yang berupa tentakel.

2.9.3 Habitat Filum Coelenterata

Filum Coelenterata, atau hewan berongga, memiliki habitat yang beragam,


meliputi laut dan air tawar. Mayoritas spesiesnya hidup di laut, seperti ubur-ubur,
anemon laut, dan karang, yang menempati berbagai zona, mulai dari intertidal
hingga laut dalam. Faktor-faktor seperti makanan, substrat, cahaya, suhu, dan
salinitas menentukan habitat ideal mereka. Di air tawar, spesies seperti Hydra dan
Chlorohydra hidup di danau, sungai, dan kolam yang kaya akan makanan dan
memiliki suhu stabil. Habitat coelenterata memainkan peran penting dalam
menjaga keseimbangan ekosistem laut dan air tawar, dengan karang membangun
terumbu karang dan coelenterata lainnya berperan dalam rantai makanan dan
mengendalikan populasi plankton (Sri Maya dan Nurhidayah, 2020).

2.10 Klasifikasi Filum Porifera

Menurut (Sri Maya dan Nurhidayah, 2020) filum Porifera memiliki 4 klas
yang di bedakan berdasarkan alat geraknya yaitu :
1. Klas Calcarea, Spon ini memiliki kerangka spikula dari zat kapur yang
tidak terdeferensiasi menjadi megaskleres dan mikoskleres. Bentuk spons
ini barvariasi dari bentuk yang menyerupai vas dengan simetri radial hingga
bentuk-bentuk koloni.

Gambar 18 Klas Calcarea

2. Klas Hexactinellida, Hexactinelida merupakan porifera yang tersebar luas


pada semua lautan. Habitat utama dari porifera ini ada pada lautan dalam.
Ciri yang membedakan kelas ini dari kelas lain adalah kerangkanya yang
disusun oleh spikula silikat. Kerangka spons pada kelas hexantinellida tidak
memiliki jaringan spongin.

Gambar 2.19 Klas Hexactinellida


3. Klas Demospongia, Kelas Demospongia memiliki kerangka berupa empat
spikula silica atau dari serabut spongin atau keduanya. Beberapa bentuk
tidak memiliki rangka. Tipe saluran ar yang berada pada spons ini berupa
leuconoid. Porifera yang masuk dalam kelompok Demospongia memiliki
penyebaran yang luas memiliki habitat di air tawar.

Gambar 20 Klas Demospongia

4. Klas Sclerospongea, Spons ini tersusun dari kalsium karbonat dan silika,
ternasuk dalam tipe spons koral.

Gambar 21 Klas Sclerospongea

2.11 Klasifikasi Filum Coelenterata

Menurut (Sri Maya dan Nurhidayah, 2020) filum Coelenterata memiliki 3


klas yang di bedakan berdasarkan alat geraknya yaitu :
1. Klas Hydrozoa, Hydrozoa berasal dari bahasa yunani, dari kata hydro yang
berarti air, dan zoon yang berarti hewan. Hydrozoa merupakan hewan yang
sebagian besar hidup di laut dan terdapat sebagian dari spesiesnya hidup di
air tawar Hydrzoa hidup sebagai polip, medusa, atau keduanya,
Gastrodermis Hydrozoa tidak mengandung nematosista.

Gambar 22 Klas Hydrozoa

2. Klas Scyphozoa, Scyphozoa merupakan hewan yang hidup di laut dan


sebagai ubur-ubur sejati dengan bentuk seperti payung dengan ukuran

Gambar 23 Klas Scyphozoa

3. Klas Anthzoa, Anthozoa merupakan hewan laut yang memiliki bentuk mirip
bunga.

Gambar 24 Klas Scyphozoa


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Praktikum

Dalam praktikum ini metode, yang digunakan adalah metode kualitatif,


berupa pendeksripsian sampel. Dimana dilakukan secara berkelompok dengan
mengisi lembar kerja praktikum masing-masing dengan sampel fosil yang
berbeda-beda. Pada diagram alir dimulai dengan pendahuluan, yang kemudian
tahap kedua analisis data yaitu pemberian tugas pendahuluan, dan kemudian
praktikum serta pembuatan laporan.

3.2 Tahapan Praktikum

3.2.1 Studi Pendahuluan

Pada tahap studi pendahuluan praktikkan pertama-tama akan di berikan


studi literatur terkait dengan materi yang akan di praktikumkan, selain itu pada
tahap studi literatur ini praktikkan juga akan di berikan sebuah tugas pendahuluan
sebagai sebuah syarat agar praktikkan dapat mengikuti kegiatan praktikum.

3.2.2 Tahapan Praktikum

Pada tahap praktikum ini kegiatan pertama yang dilakukan adalah


praktikkan melakukan responsi untuk mengetahui pemahaman praktikkan
terhadap materi yang akan di praktikumkan. Setelah melakukan responsi
praktikkan akan melakukan deskripsi terhadap sampel yang di praktikumkan,
praktikkan mendeskripsikan delapan buah sampel pada lembar kerja praktikum

3.2.3 Analisis Data

Pada tahapan ini praktikkan akan melakukan asistensi dengan asisten


praktikum untuk mengecek kevalidtan data serta melakukan perbaikan terhadap
isi lembar kerja praktikum yang di kurang tepat.
3.2.4 Penyusunan Laporan

Setelah memperoleh analisis data yang benar berdasarkan hasil asistensi


dari asisten, tahap selanjutnya yaitu di lakukan pembuatan laporan oleh
praktikkan sesuai dengan data yang telah di peroleh pada saat praktikum. Laporan
ini nantinya akan di asistensikan kembali dengan asisten guna untuk memperbaiki
kesalahan yang terdapat pada laporan tersebut.

3.2.5 Laporan

Setelah melalui tahap asistensi dan laporan telah di setujui oleh asisten.
Maka tahap selanjutnya yaitu praktikkan akan mengumpulkan laporan sesuai
dengan waktu yang telah di tentukan.

Tabel 1 Diagram alir

1. Studi literatur
Studi pendahuluan
2. Tugas

` 1. Respon
Praktikum
2. Deskripsi sampel
3. sketsa

1. Asistensi
Analisis data
2. Perbaikan Lkp

Penyusunan laporan 1. Pembuatan


laporan

Laporan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Adapun hasil yang didapatkan dari praktikum ini adalah:

Tabel 2 Data hasil praktikum

No. Lingkungan
No. Filum Spesies Umur
Peraga Pengendapan
Pachyteichi sma Jura Atas
1. 1645 Porifera Laut Dangkal
lopas Q. (± 160-141)
Jura atas
2. 1654 Coelenterata Montlivaltia sp. Laut Dangkal
(± 160-141)

Cyathopyllum Devon
3. 395 Coelenterata tengah Laut Dangkal
dinantus GOLDF. (± 395-370)
Thecosmilia Jura atas
4. 1525 Porifera Laut Dangkal
annularis FLEM. (± 160-141)
Prosphingites slossi
Trias Bawah
5. 1444 Porifera KUMMEL & Laut Dangkal
(± 230-225)
STEELE
Hyalotragos Jura atas
6. 1643 Porifera Laut Dangkal
Rugosum (± 160-141)
Zaphrentis phyrgia Devon
7. 811 Coelenterata tengah Laut Dangkal
RAR & CLIFF. (± 395-370)

8. 847 Porifera Cyclolites ellipticus Kapur atas Laut Dangkal


(±100-65)
Devon
9. 818 Coelenterata Cyclolites ellipticus tengah Laut Dangkal
(± 395-370)
Cnemidiastrumrimulo Jura atas
10. 751 Porifera Laut Dangkal
sum GOLDF. (± 160-141
(Sumber : Izhaq Suhardi)
Berdasarkan tabel 4.2 di dapatkan sampel fosil yang memiliki rentang
umur yan jauh dari sampel fosil lainnya yaitu sampel fosil porifera terdapat dua
sampel yaitu Prosphingites slossi KUMMEL & STEELE berumur Trias Bawah (±
230-225 juta tahun yang lalu) dan Cyclolites ellipticus Kapur atas (±100-65
jutatahun yang lalu). Sedangkan pada sampel Coelenterata memiliki satu sampel
dengan umur yang berbeda yaitu Montlivaltia sp. Jura atas (± 160-141juta tahun
yang lalu). Hal ini di sebabkan karna adanya proses geologi berupa lipatan
ataupun patahan yang dapat menyebabkan penempatan ulang batuan yang
memiliki keterdapatan fosil, sehingga lapisan yang semula lebih tua, dapat berada
di atas lapisan yang lebih muda ataupun sebaliknya.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Fosil Peraga 1645

(1)

(2)

Gambar 25 Fosil peraga 1645 ; (1) Osculum, (2) Holdfest

Sampel fosil dengan nomor peraga 1645 termasuk dalam Filum Porifera,
Kelas Hexactinellida, Ordo Lychniscosa, Famili Pachyteichismanidae, Genus
Pachyteichisma, Spesies Pachyteichisma Iopas Q.
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah konikal. Saat dilakukan uji HCL, sampel bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur jura atas dengan rentang umur ±
160-141 juta tahun lalu
Proses pemfosilan diawali ketika organisme mati kemudian mengalami
proses transportasi ke daerah cekungan oleh media geologi berupa air dan angin.
Pada proses ini akan menyisakan bagian tubuh yang resisten saja. Bersamaan
proses ini terjadi leaching (pencucian) dan kemudian terendapkan di laut dangkal.
Material-material tersebut selanjutnya akan mengalami proses litifkasi atau
pembatuan. Kemudian akibat dari gaya endogen berupa air dan angin membuat
lapisan sedimen tererosi sehingga fosil yang berada pada lapisan tersingkap naik
ke permukaan. Proses ini terjadi selama jura atas dengan rentang umur ± 160-141
juta tahun lalu.
Fosil Pachyteichisma Iopas Q juga dapat digunakan sebagai fosil
penunjuk dalam stratigrafi, yaitu untuk membantu menentukan umur relatif suatu
formasi batuan dan mengkorelasikan formasi batuan di lokasi yang berbeda. Fosil
ini juga berperan dalam rekonstruksi kedalaman laut masa lalu) dan iklim masa
lalu karena hewan ini hanya dapat hidup dalam kondisi tertentu.

4.2.2 Fosil Peraga 1654

(3)
(1)
(2)
(4)

(5)

Gambar 26 Fosil peraga 1654 ; (1) oral disk,(2) oral opening, (3) Calix
(4) Holdfast, (5) Enteron

Sampel fosil dengan nomor peraga 1645 termasuk dalam Filum


Coelenterata, Kelas Anthozoa, Ordo Stauriida, Famili Montlivaltianidae, Genus
Montlivaltia, Spesies Montlivaltia sp.
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah konikal. Saat dilakukan uji HCL, sampel bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur devon tengah dengan rentang
umur ± 160-141 juta tahun lalu
Proses pemfosilan dimulai ketika organisme ini mati kemudian
tertransportasi ke cekungan laut dangkal. Bagian tubuh yang tidak resisten pada
organisme tersebut akan rusak karena pembusukan dan menyisahkan bagian yang
resisten. Bersamaan proses ini terjadi leaching kemudian terendapkan. Lalu
bagian tubuh fosil terisi oleh mineral kalsit melalui rongga tubuh fosil
(permineralisasi). Proses ini terjadi selama devon tengah (±370-360 juta tahun
lalu). Kemudian fosil tersingkap naik ke permukaan akibat gaya endogen.
Fosil ini berguna dalam memberikan memberikan pengetahuan tentang
evolusi kehidupan laut, lingkungan laut purba, dan perubahan lingkungan
sepanjang sejarah geologis. Selain itu, fosil ini juga berperan dalam studi
hubungan bersimbiosis dengan organisme lain dan dapat memberikan informasi
yang berguna untuk konservasi karang serta potensi pengembangan obat-obatan
baru

4.2.3 Fosil Peraga 395

(3)
(4) (1)
(5)

(2)

Gambar 27 Fosil peraga 395 ; (1) Oral opening, (2) Oral disk, (3) Calix
(4) Enteron, (5) Holdfest

Sampel fosil dengan nomor peraga 1645 termasuk dalam Filum


Coelenterata, Kelas Anthozoa, Ordo Stauriida, Famili Cyathopyllumidae, Genus
Cyathopyllum, Spesies Cyathopyllum dinantus GOLDF.
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah konikal. Saat dilakukan uji HCL, sampel bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur jura atas dengan rentang umur ±
160-141 juta tahun lalu.
Proses pemfosilan dimulai ketika organisme ini mati kemudian
tertransportasi ke cekungan laut dangkal. Bagian tubuh yang tidak resisten pada
organisme tersebut akan rusak karena pembusukan dan menyisahkan bagian yang
resisten. Bersamaan proses ini terjadi leaching kemudian terendapkan. Lalu
bagian tubuh fosil terisi oleh mineral kalsit melalui rongga tubuh fosil
(permineralisasi). Proses ini terjadi selama devon tengah (±370-360 juta tahun
lalu). Kemudian fosil tersingkap naik ke permukaan akibat gaya endogen.
Fosil Cyathopyllum dinantus dapat digunakan sebagai fosil penunjuk (fosil
panduan) dalam stratigrafi, yaitu untuk membantu menentukan umur relatif suatu
formasi batuan dan mengkorelasikan formasi batuan di lokasi yang berbeda.
Keberadaan fosil ini juga dapat memberikan informasi tentang lingkungan
pengendapan pada masa tersebut, seperti kedalaman laut, suhu air, dan kondisi
lingkungan lainnya. Fosil ini juga berperan dalam rekonstruksi paleobatimetri
(kedalaman laut masa lalu) dan paleoklimatologi (iklim masa lalu) karena hewan
ini hanya dapat hidup dalam kondisi tertentu.

4.2.4 Fosil Peraga 1525

(2)
(3)
(1)
(4
4)

Gambar 28 Fosil peraga 1645 ; (1) osculum, (2) Spongecoel


(3) Ostium, (4) Holdfest

Sampel fosil dengan nomor peraga 1645 termasuk dalam Filum Porifera,
Kelas Hexactinellida, Ordo Lychniscosa, Famili Pachyteichismanidae, Genus
Pachyteichisma, Spesies Pachyteichisma Iopas Q.
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah konikal. Saat dilakukan uji HCL, sampel bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur jura atas dengan rentang umur ±
160-141 juta tahun lalu
Proses pemfosilan diawali ketika organisme mati kemudian mengalami
proses transportasi ke daerah cekungan oleh media geologi berupa air dan angin.
Pada proses ini akan menyisakan bagian tubuh yang resisten saja. Bersamaan
proses ini terjadi leaching (pencucian) dan kemudian terendapkan di laut dangkal.
Material-material tersebut selanjutnya akan mengalami proses litifkasi atau
pembatuan. Kemudian akibat dari gaya endogen berupa air dan angin membuat
lapisan sedimen tererosi sehingga fosil yang berada pada lapisan tersingkap naik
ke permukaan. Proses ini terjadi selama jura atas dengan rentang umur ± 160-141
juta tahun lalu.
Fosil Pachyteichisma Iopas Q juga dapat digunakan sebagai fosil
penunjukdalam stratigrafi, yaitu untuk membantu menentukan umur relatif suatu
formasi batuan dan mengkorelasikan formasi batuan di lokasi yang berbeda. Fosil
ini juga berperan dalam rekonstruksi kedalaman laut masa lalu) dan iklim masa
lalu karena hewan ini hanya dapat hidup dalam kondisi tertentu.

4.2.5 Fosil Peraga 1444

(1)
(2)

(3) (4)

Gambar 29 Fosil peraga 1444 ; (1) Osculum, (2) Spongecoel,


(3) Ostium, (4) Holdfest

Sampel fosil dengan nomor peraga 1444 termasuk dalam Filum Porifera,
Kelas Cephalopoda, Ordo Ceratitida, Famili Prosphingites Slossinidae, Genus
Prosphingites Slossi dan Spesies Prosphingites Slossi KUMMEL & STEELE.
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi karena terdapat
sebagian mineral karbonat yang mengisi rongga pada fosil, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah tabular. Saat ditetesi HCL, sampel ini bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur trias bawah dengan rentang
umur ± 230-225 juta tahun lalu.
Proses pemfosilan diawali ketika organisme mati kemudian mengalami
proses transportasi ke daerah cekungan oleh media geologi berupa air dan angin.
Pada proses ini akan menyisakan bagian tubuh yang resisten saja. Bersamaan
proses ini terjadi leaching (pencucian) dan kemudian terendapkan di laut dangkal.
Material-material tersebut selanjutnya akan mengalami proses litifkasi atau
pembatuan. Kemudian akibat dari gaya endogen berupa air dan angin membuat
lapisan sedimen tererosi sehingga fosil yang berada pada lapisan tersingkap naik
ke permukaan. Proses ini terjadi selama trias bawah ± 230-225 juta tahun lalu.
Sebagai penentu umur batuan, karena fosil ini merupakan fosil petunjuk
(index fossil) yang membantu untuk menentukan umur relatif batuan yang
mengandungnya. Memberikan informasi tentang lingkungan pengendapan pada
masa hidupnya. Misalnya, bentuk cabang dari fosil ini menunjukkan bahwa dia
hidup di lingkungan laut dangkal. memberikan informasi tentang persebaran
organisme pada masa lalu dan kondisi iklim serta geografis pada waktu itu.

4.2.6 Fosil Peraga 1643

(1)
(4)

(2)
(3)
Gambar 30 Fosil peraga 1643 ; (1) Osculum, (2) Spongecoel,
(3) Ostium, (4) Holdfast
Sampel fosil dengan nomor peraga 1643 termasuk dalam Filum Porifera,
Kelas Demospongea, Ordo Spirosclerophorida, Famili Hyalotragosidae, Genus
Hyalotragos dan Spesies Hyalotragos Rugosum
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah konikal. Saat dilakukan uji HCL, sampel bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur jura atas dengan rentang umur ±
160-141 juta tahun lalu.
Organisme mati kemudian mengalami proses transpotasi oleh agen
transportasi. Bagian tubuh yang tidak resisten akan melebur dan hanya meyisakan
bagian yang resisten saja. Bersamaan proses ini terjadi leaching dan kemudian
terendapkan. Berdasarkan komposisi kimianya dapat dianalisis bahwa lingkungan
pengendapan fosil ini adalah pada laut dangkal, dimana laut dangkal sebagai
wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit mulai melarut pada kedalaman
sekitar 600 meter dan pada kedalaman sekitar 2000 meter merupakan zona dimana
aragonit tidak terbentuk lagi atau dikenal sebagai Aragonite Compensation Depth
(ACD). Bagian tubuh fosil yang berongga terisi oleh mineral kalsit
(permineralisasi) proses ini terjadi selama jura atas dengan rentang umur ± 160-
141 juta tahun lalu. Kemudian akibat dari tenaga endogen membuat fosil
tersingkap dipermukaan.
Fosil Hyalotragos rugosum memberikan informasi berharga tentang
kehidupan di masa lalu. Dengan mempelajari karakteristik dan morfologi fosil ini,
para ilmuwan dapat mengetahui evolusi makhluk hidup, memahami perubahan
iklim dan lingkungan secara temporal. Selain itu, dapat digunakan sebagai
petunjuk dalam eksplorasi sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi karena
keberadaannya dapat memberikan informasi tentang formasi batuan dan kondisi
lingkungan pada masa itu.
4.2.7 Fosil Peraga 811

(5)
(3)

(4)

(2)
(1)
Gambar 31 Fosil peraga 811 ; (1) Oral Opening, (2) Oral disk,
(4) Calix, (4) Enteron, (5) Holdfast

Sampel fosil dengan nomor peraga 811 termasuk dalam Filum Coelenterata,
Kelas Anthozoa, Ordo Rugosa, Famili Zaphrentisidae, Genus Zaphrentis Phyrgia,
Spesies Zaphrentis Phyrgia Rar & Cliff.
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah konikal. Saat dilakukan uji HCL, sampel bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur devon tengah dengan rentang
umur ± 370-360 juta tahun lalu.
Organisme mati kemudian mengalami proses transpotasi oleh agen
transportasi. Bagian tubuh yang tidak resisten akan melebur dan hanya meyisakan
bagian yang resisten saja. Bersamaan proses ini terjadi leaching dan kemudian
terendapkan. Berdasarkan komposisi kimianya dapat dianalisis bahwa lingkungan
pengendapan fosil ini adalah pada laut dangkal, dimana laut dangkal sebagai
wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit mulai melarut pada kedalaman
sekitar 600 meter dan pada kedalaman sekitar 2000 meter merupakan zona dimana
aragonit tidak terbentuk lagi atau dikenal sebagai Aragonite Compensation Depth
(ACD). Bagian tubuh yang berongga terisi oleh mineral kalsit atau aragonit
(permineralisasi) proses ini terjadi selama devon tengah dengan rentang umur ±
370-360 juta tahun lalu.. Kemudian akibat dari tenaga endogen membuat fosil
tersingkap di permukaan.
Fosil Zaphrentis phrygia memberikan informasi penting tentang kehidupan
laut pada masa Paleozoikum. Dengan mempelajari karakteristik dan morfologi
fosil ini, para ahli dapat memperoleh pengetahuan tentang evolusi terumbu karang
dan lingkungan laut pada masa itu. Fosil ini juga membantu merekonstruksi
kondisi laut di masa lalu, seperti suhu, kedalaman, dan komposisi kimia air laut.
Selain itu, keberadaan fosil Zaphrentis phrygia dapat digunakan sebagai penunjuk
dalam eksplorasi sumber daya alam.

4.2.8 Fosil Peraga 847

(3) (4)

(1)
(2)

Gambar 32 Fosil peraga 847 ; (1) Osculum, (2) Spongecoel,


(3) Ostium, (4) Holdfast

Sampel fosil dengan nomor peraga 847 termasuk dalam Filum Porifera,
Kelas Hexactinellida, Ordo Scleractinia, Famili Cyclolitesidae, Genus Cyclolites,
Spesies Cyclolites Ellipticus.
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah konikal. Saat dilakukan uji HCL, sampel bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur kapur atas dengan rentang umur
± 100 juta tahun yang lalu.
Organisme mati kemudian mengalami proses transportasi oleh agen
transportasi. Bagian tubuh yang tidak resisten akan melebur dan hanya
menyisakan bagian yang resisten saja. Bersamaan proses ini terjadi leaching dan
kemudian terendapkan. Berdasarkan komposisi kimianya dapat dianalisis bahwa
lingkungan pengendapan fosil ini adalah pada laut dangkal, dimana laut dangkal
sebagai wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit mulai melarut pada
kedalaman sekitar 600 meter dan pada kedalaman sekitar 2000 meter merupakan
zona dimana aragonit tidak terbentuk lagi atau dikenal sebagai Aragonite
Compensation Depth (ACD). Bagian tubuh fosil yang berongga terisi oleh
mineral kalsit atau aragonite (permineralisasi) proses ini terjadi selama laut
dangkal umur kapur atas dengan rentang umur ± 100 juta tahun yang lalu.
Kemudian akibat dari tenaga endogen membuat fosil tersingkap di permukaan.
kehadiran fosil ini dalam jumlah besar mengindikasikan bahwa batuan
karbonat Fosil ini merupakan petunjuk bahwa formasi batuan terendapkan dalam
lingkungan laut dangkal atau terumbu karang. Selain itu, fosil Cyclolites ellipticus
juga dapat digunakan sebagai fosil panduan (fosil penunjuk) dalam stratigrafi,
yaitu untuk membantu menentukan umur relatif suatu formasi batuan dan
mengkorelasikan formasi batuan di lokasi yang berbeda. Fosil ini juga berperan
dalam rekonstruksi paleobatimetri (kedalaman laut masa lalu) dan
paleoklimatologi (iklim masa lalu) karena jenis hewan ini hanya dapat hidup
dalam kondisi tertentu. Dengan demikian, fosil Cyclolites ellipticus memberikan
informasi penting dalam mempelajari sejarah Bumi dan proses-proses geologi
yang terjadi di masa lalu.

4.2.9 Fosil Peraga 818

(2) (1)

(3)

(4) (5)
Gambar 33 Fosil peraga 818 ; (1) Oral opening, (2) Oral disk
(3) Calix, (4) Enteron, (5) Holdfest
Sampel fosil dengan nomor peraga 818 termasuk dalam Filum Coelenterata,
Kelas Rhynchonellata, Ordo Spiriferida, Famili Spinocyrtianidae, Genus
Spinocyrtia dan Spesies Spinocyrtia Granulosa.
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah konikal. Saat dilakukan uji HCL, sampel bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur devon tengah dengan rentang
umur ± 370-360 juta tahun lalu.
Organisme mati kemudian mengalami proses transportasi oleh agen
transportasi. Bagian tubuh yang tidak resisten akan melebur dan hanya
menyisakan bagian yang resisten saja. Bersamaan proses ini terjadi leaching dan
kemudian terendapkan. Berdasarkan komposisi kimianya dapat dianalisis bahwa
lingkungan pengendapan fosil ini adalah pada laut dangkal, dimana laut dangkal
sebagai wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit mulai melarut pada
kedalaman sekitar 600 meter dan pada kedalaman sekitar 2000 meter merupakan
zona dimana aragonit tidak terbentuk lagi atau dikenal sebagai Aragonite
Compensation Depth (ACD). Bagian tubuh fosil yang berongga terisi oleh
mineral kalsit atau aragonit (permineralisasi) proses ini terjadi selama devon
tengah ± 370-360 juta tahun lalu. Kemudian akibat dari tenaga endogen membuat
fosil tersingkap dipermukaan.
Fosil Spinocyrtia granulosa dapat digunakan sebagai fosil penunjuk (fosil
panduan) dalam stratigrafi, yaitu untuk membantu menentukan umur relatif suatu
formasi batuan dan mengkorelasikan formasi batuan di lokasi yang berbeda.
Keberadaan fosil ini juga dapat memberikan informasi tentang lingkungan
pengendapan pada masa tersebut, seperti kedalaman laut, suhu air, dan kondisi
lingkungan lainnya. Fosil ini juga berperan dalam rekonstruksi paleobatimetri
(kedalaman laut masa lalu) dan paleoklimatologi (iklim masa lalu) karena hewan
ini hanya dapat hidup dalam kondisi tertentu. Selain itu, fosil Spinocyrtia
granulosa dapat digunakan sebagai petunjuk dalam eksplorasi sumber daya alam
seperti minyak dan gas bumi karena sering ditemukan dalam formasi batuan yang
mengandung hidrokarbon. Dengan demikian, fosil ini memberikan informasi
penting dalam mempelajari sejarah Bumi dan proses geologi yang terjadi.
4.2.10 Fosil Peraga 751

(3)
(1)

(2) (4)
Gambar 34 Fosil peraga 751 ; (1) Osculum, (2) Spongecoel
(3) Ostium, (4) Holdfast

Sampel fosil dengan nomor peraga 751 termasuk dalam Filum Porifera,
Kelas Demospongiae, Ordo Spiroscelerophorida, Famili Cnemidiastrumidae ,
Genus Cnemidiastrum dan Spesies Cnemidiastrumrimulosum GOLDF.
Sampel fosil ini terbentuk dari proses permineralisasi, dengan bentuk
fosilnya sendiri adalah konikal. Saat dilakukan uji HCL, sampel bereaksi sehingga
diketahui bahwa komposisi kimianya adalah karbonatan dan terendapkan di
lingkungan laut dangkal. Fosil ini memiliki umur jura atas dengan rentang umur ±
160-141 juta tahun lalu.
Organisme mati kemudian mengalami proses transpotasi oleh agen
transportasi. Bagian tubuh yang tidak resisten akan melebur dan hanya meyisakan
bagian yang resisten saja. Bersamaan proses ini terjadi leaching dan kemudian
terendapkan. Berdasarkan komposisi kimianya dapat dianalisis bahwa lingkungan
pengendapan fosil ini adalah pada laut dangkal, dimana laut dangkal sebagai
wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit mulai melarut pada kedalaman
sekitar 600 meter dan pada kedalaman sekitar 2000 meter merupakan zona dimana
aragonit tidak terbentuk lagi atau dikenal sebagai Aragonite Compensation Depth
(ACD). Bagian tubuh fosil yang berongga terisi oleh mineral kalsit atau aragonit
(permineralisasi) proses ini terjadi selama jura atas dengan rentang umur ± 160-
141 juta tahun lalu. Kemudian akibat dari tenaga endogen membuat fosil
tersingkap dipermukaan.
Fosil ini merupakan petunjuk bahwa formasi batuan tersebut terendapkan
dalam lingkungan laut dangkal atau terumbu karang. Selain itu, fosil
Cnemidiostrum rimulosum GOLDF juga dapat digunakan sebagai fosil penunjuk
(fosil panduan) dalam stratigrafi, yaitu untuk membantu menentukan umur relatif
suatu formasi batuan dan mengkorelasikan formasi batuan di lokasi yang berbeda.
Fosil ini juga berperan dalam rekonstruksi paleobatimetri (kedalaman laut masa
lalu) dan paleoklimatologi (iklim masa lalu) karena hewan ini hanya dapat hidup
dalam kondisi tertentu. Dengan demikian, fosil Cnemidiostrum rimulosum
GOLDF memberikan informasi penting dalam mempelajari sejarah Bumi dan
proses-proses geologi yang terjadi di masa lalu.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan


sebagai berikut :
1. Pada kesepuluh sampel didapatkan hanya satu jenis proses pemfosilan yaitu
permineralisasi pada sampel Thecosmilia annuaris FLEM, Prosphingites
slossi KUMEL & STEELE, Hyalotragos rugosum (MSTR.), Cyclolites
ellipticus LAM, Cnemidiastrum rimulosum GOLDF, Montlivaltia sp,
Cyathophyllum dinanthus GOLDF, Zaphrentia phrygia RAF & CLIFF,
Spiorgyrtia granulosa, dan Nerita (Trachynerita) depress STOPP.
2. Pada kesepuluh sampel didapatkan umur yang bervariasi tetapi memiliki
lingkungan pengendapan yang sama yaitu laut dangkal seperti pada sampel
Montlivaltia sp, Thecosmilia annuaris FLEM , dan Cnemidiastrum
rimulosum GOLDF memiliki umur yaitu Jura Atas. Kemudian pada sampel
Cyathophyllum dinanthus GOLDF, Zaphrentia phrygia RAF & CLIFF,
dan Spiorgyrtia granulosa memiliki umur Devon Tengah. Serta pada
sampel Prosphingites slossi KUMEL & STEELE, Cyclolites ellipticus
LAM, dan Nerita (Trachynerita) depress STOPP secara berurutan memiliki
umur Trias Bawah, Kapur Atas dan Trias Tengah.
3. Pada kesepuluh sampel didapatkan beberapa manfaat salah satunya yaitu
sebagai petunjuk tentang kondisi lingkungan di masa lampau, seperti suhu
air, kedalaman laut, dan salinitas yang membantu dalam merekonstruksi
perubahan lingkungan geologis dan iklim di masa lalu dan membantu para
geolog dalam menentukan usia dan hubungan relatif antara lapisan-lapisan
batuan di lapangan. Dan juga fosil ini memberikan wawasan penting
tentang evolusi kehidupan laut, khususnya evolusi karang dan organisme-
organisme laut lainnya.
5.2 Saran

5.2.1 Saran Untuk Laboratorium

1. Sebaiknya Laboratorium dilengkapi dengan tanda peringatan bahaya untuk


alat di laboratorium
2. Sebaiknya Laboratorium Ac tidak terlalu dingin.
3. Sebaiknya Laboratorium kursinya lebih di sesuaikan

5.2.2 Saran Untuk Asisten

1. Pertahankan keramahan dan kebaikan di dalam laboratorium terhadap


praktikan
2. Pertahankan kesabaran dalam menghadapi praktikan dengan watak yang
berbeda-beda.
3. Tetap pertahankan metode penyaluran materi yang baik dengan komp
DAFTAR PUSTAKA

Barnes, R. D. (1987). Invertebrate Zoology. Edisi kelima. Saunders College


Publishing. Philadelphia.
Benton, M. J. (2015). Paleontology (9th ed.). John Wiley & Sons.
Cavalier-Smith, T. (2018). Kingdom protozoa and its 18 phyla. Microbiological
Reviews, 82(2), 329-373.
Carrano, M. T., & Gaudin, T. J. (2013). New insights into the anatomy and
evolution of sauropod dinosaurs. Annual Review of Earth and Planetary
Sciences, 41(1), 369-406.
Fortey, Richard. (2008). Paleontologi: Evolusi Kehidupan di Bumi. Jakarta:
Erlangga.
Grimaldi, D. A. (2024). Paleontologi: Pengantar Modern. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Long, J. A. (2020). Fosilisasi dan Paleontologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Lamarck, J. B. (1812). Recherches sur l'organisation des corps vivants Paris :
Deterville
Maya Sri dan Nurhidayah (2020). Invertebrata dan Vertebrata. Bandung :
Erlangga
Retallack, G. J. (2020). Soils and Sedimentary Environments: An Introduction.
Cambridge University Press
Rützler, K. (2002). Sponges of the Caribbean Sea. Washington, D.C.:
Smithsonian Institution Press.
Sylvia Mader, Biologi: Evolusi, keanekaragaman dan lingkungan, (Kuala Lumpur:
Kucica, 1995), him 58
Tim asisten. (2024). Penuntun paleontologi.,Gowa : Departemen Teknik Geologi
Universitas Hasanuddin
Taylor, E. L., Taylor, T. N., & Krings, M. (2018). Paleobotany: The biology and
evolution of fossil plants (4th ed.). Academic Press
Ulum Bahrul Imam M (2018). Sma Invertebrata. Malang : Buku Saku
Zikri, K. (2018). Geologi Umum. Padang: Geografi UNP.

Anda mungkin juga menyukai