Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar Teori


2.1.1. Beton

Menurut SNI 2847-2019, beton merupakan campuran dari beberapa agregat,


semen, air dan bahan tambah jika dibutuhkan. Beton memiliki kuat tekan yang
tinggi tetapi memiliki kuat tarik yang rendah, sifat ini disebut dengan sifat getas
beton. Beton dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan kuat tekannya.
Pembagian tersebut dijabarkan pada Tabel 2.1 di bawah ini :

Tabel 2.1 Jenis Beton dan Kuat Tekan Beton


Jenis Beton Kuat Tekan (MPa)
Beton sederhana Sampai 10
Beton normal 15 – 30
Beton prategang 30 – 40
Beton kuat tekan tinggi 40 – 80
Beton kuat tekan sangat tinggi >80
Sumber : Tjokrodimuljo, K, 2010

Terdapat 2 jenis notasi pada mutu beton, yaitu notasi fc’ dan K. Notasi tersebut
dibedakan dari penggunaan cetakan pada sampel, notasi fc’ merupakan nilai uji
kuat tekan beton silinder dengan ukuran tinggi yaitu 30 cm dan diameter 15cm.
Sedangkan notasi K merupakan nilai uji kuat tekan kubus dengan ukuraan 15x15
cm.
Dalam pembuatannya, beton memiliki kriteria kinerja perancangan yang berlaku
yaitu beton harus memiliki kuat tekan yang tinggi (minimal sesuai yang
direncanakan), pengerjaannya yang mudah (workability), ketahanan yang lama
(durability), murah dan tahan kehausan (Sujatmiko, 2019).

2.1.2. Bahan-Bahan Penyusun Beton


2.1.2.1. Agregat

5
Menurut SNI 2847-2013, agregat merupakan bahan yang berupa butiran yang
digunakan sebagai perekat dalam pembuatan beton. Agregat dapat menyerupai batu
pecah, kerikil, slag tanur ataupun pasir. Dalam pembuatan beton, agregat dibagi
menjadi 2, yaitu :
1. Agregat Kasar merupakan agregat yang memiliki ukuran sekitar 5- 40 mm yang
tercipta dari proses disintegrasi alami batuan yaitu batu batu pecah ataupun
batuan dari industri.
2. Agregat Halus merupakan agregat yang memiliki ukuran maksimum 5,0 mm
yang berbentuk pasir, baik pasir alam atau olahan.
Menurut ASTM C.33 syarat agregat kasar yang digunakan sebagai campuran
beton adalah sebagai berikut (Anggara, 2017) :
a. Tidak boleh reaktif alkali.
b. Susunan gradasi memenuhi syarat.
c. Kekerasan agregat diuji dengan bejana Los Angeles.
Adapun Syarat agregat halus menurut ASTM C.33 yang digunakan sebagai
campuran beton adalah sebagai berikut :
a. Modulus kehalusan butir antara 2,3 sampai 3,1
b. Kadar lumpur maksimum 5% dan untuk beton abrasi sebesar 3%.
c. Kadar gumpalan tanah liat dan partikel yang mudah dirapihkan maksimum 3%.
d. Kadar zat organik yang ditentukan dengan mencampur agregat halus dengan
natrium sulfat (NaSO4) sebanya 3% dan tidak menghasilkan warna yang lebih
tua dari warna standar.
e. Tidak bersifat reaktif terhadap alkali.
f. Kekekalannya jika diuji dengan natrium sulfat hanya 40% bagian yang hancur,
sedangkan memakai magnesium sulfat maksimum 15% bagian yang hancur.

2.1.2.2. Semen Portland

Menurut SNI 2049:2015, semen Portland terbentuk dari kalsium silikat dan
bahan tambahan berupa kristal senyawa sulfat serta tambahan bahan lainnya yang
digiling dan akan membentuk semen hidrolis. Menurut (Tjokrodimuljo, K, 2007)
komposisi utama dari semen Portland dapat dilihat dalam Tabel 2.2 dibawah ini :

6
Tabel 2.2 Komposisi Utama Semen Portland
Senyawa Persentase (%)
Batu Kapur (CaO) 60 – 65
Pasir Silikat (SiO2) 17 – 25
Alumina (Al2O3) 3–8
Besi Oksida (Fe2O3) 0,5 – 6
Magnesia (MgO) 0,5 – 4
Sulfur (SO3) 1-2
Sumber : Tjokrodimuljo, K, 2007

Menurut SNI 15-2049-2015 semen Portland terbagi menjadi 5 jenis, yaitu


sebagai berikut :
a. Jenis I, yaitu semen yang tidak memerlukan persyaratan khusus untuk
penggunaan umum.
b. Jenis II, yaitu semen yang memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan hidrasi
sedang dalam penggunaannya.
c. Jenis III, yaitu semen yang menuntut persyaratan kekuatan awal yang tinggi
setelah terjadinya pengikatan dalam penggunaannya.
d. Jenis IV, yaitu semen yang menuntut kalor hidrasi yang rendah dalam
penggunaannya.
e. Jenis V, yaitu semen yang memerlukan ketahanan tinggi terhadap sulfat dalam
penggunaannya.

2.1.2.3. Air

Menurut (Tjokrodimuljo, 1996), air memenuhi syarat untuk bahan pencampur


beton. Kekuatan beton bisa mencapai 90% jika menggunakan air suling. Air yang
tidak berwarna, tidak berbau dan layak untuk diminum dapat digunakan sebagai
bahan untuk pembuatan beton yang berguna untuk membasahi agregat serta
memberikan kemudahan dalam pembuatan beton. (Anggara, 2017).

7
2.1.2.4. Abu Sekam Padi

Limbah sekam padi yang digiling dan dibakar akan menghasilkan abu sekam
padi. Hasil pembakaran tersebut digunakan untuk pupuk tanaman. (Drs. Djaka
Suhirkam, 2012). Pada temperature 600-900 °C, dibakarnya sekam padi yang akan
menghasilkan 16-25% abu yang di dalamnya terkandung silika sekitar 87-97%.
Abu sekam padi termasuk material yang bersifat pozzolan yang memiliki senyawa
yang bersifat seperti semen. Material pozzolan adalah material yang memiliki
kandungan silika yang dapat bereaksi secara kimiawi dengan Ca(OH) 2. Partikel
hasil penumbukan abu sekam padi akan mempengaruhi kuat tekan serta
kemampuan beton (Mahmud, 2010). Perlakuan panas pada saat sekam padi dibakar
mengakibatkan berubahnya struktur yang mempengaruhi kehalusan butiran serta
tingkatann aktivitas yang berada di abu sekam padi tersebut. Adapun komposisi
kimia abu sekam padi dijabarkan pada Tabel sebagai berikut :

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Abu Sekam Padi


Komponen Jumlah (dalam % berat kering)
SiO2 86,90 – 97,30
K2O 0,58 – 2,50
Na2O 0,01 – 1,75
CaO 0,20 – 1,50
MgO 0,12 – 1,96
Fe2O3 0,01 – 0,54
P2O5 0,20 – 2,85
SO3 0,10 – 1,13
Cl 0,01 – 0,42
Sumber : Wahyuni, 2015

2.1.3. Perencanaan Campuran Beton (Mix Design)


Dalam menentukan jumlah kebutuhan untuk bahan-bahan yang akan digunakan
dalam pembuatan beton, maka dibuatnya perencanaan campuran beton sesuai
dengan SNI 7656 tahun 2012 untuk pembuatan beton. (Pratama, 2018). Pembuatan

8
Mix Design ini mengacu pada (SNI 7656-2012) tentang Tata Cara Pemilihan
Campuran Untuk Beton Normal, Beton Berat dan Beton Massa. Adapun langkah-
langkah dalam perencanaan campuran beton adalah sebagai berikut :
Langkah 1 – Pemilihan Slump
Tabel 2.4 Nilai Slump yang Dianjurkan Untuk Berbagai Pekerjaan Konstruksi
Slump (mm)
Tipe Konstruksi
Maksimum Minimum
Pondasi beton bertulang (dinding dan pondasi
75 25
telapak)
Pondasi telapak tanpa tulangan, pondasi tiang
75 25
pancang, dinding bawah tanah
Balok dan dinding bertulang 100 25
Kolom Bangunan 100 25
Perkerasan dan pelat lantai 75 25
Beton massa 50 25
Sumber : SNI 7656-2012

Dari tabel di atas, ditetapkan Slump untuk kolom bangunan adalah 25 – 100 mm
berdasarkan SNI 7656-2012.
Langkah 2 – Pemilihan Ukuran Besar Butir Agregat Maksimum
Ukuran nominal agregat kasar maksimum dengan gradasi yang baik memiliki
rongga udara yang lebih sedikit dibandingkan dengan agregat berukuran lebih kecil.
Dengan demikian, beton dengan agregat berukuran lebih besar membutuhkan lebih
sedikit adukan mortar per satuan isi beton.
Ukuran agregat maksimum harus diperoleh secara eknomi dan menurut dimensi
komponen struktur atau konstruksinya. Ukuran nominal agregat maksimum tidak
boleh melebihi dari :
a. 1/5 dari ukuran terkecil dimensi antara dinding-dinding cetakan atau bekisting
b. 1/3 tebalnya pelat lantai
c. 3/4 jarak minimum antar masing – masing batang tulangan, berkas-berkas
tulangan, atau tendon tulangan pra-tegang (pretensioning strands).
Langkah 3 – Perkiraan Air Pencampur dan Kandungan Udara
Banyaknya air untuk tiap satuan isi beton yang dibutuhkan agar menghasilkan
slump tertentu tergantung pada :

9
a. Ukuran nominal maksimum, bentuk partikel dan gradasi agregat;
b. Temperatur beton;
c. Perkiraan kadar udara, dan;
d. Penggunaan bahan tambahan kimia.
Slump tidak terlalu dipengaruhi oleh jumlah semen atau bahan bersifat semen
lainnya dalam tingkat pemakaian yang normal, penggunaan sedikit bahan tambahan
mineral yang halus dapat mengurangi kebutuhan air, perkiraan kebutuhan air untuk
beberapa ukuran agregat dan target slump yang diinginkan lihat Tabel 2.4
Perbedaan dalam kebutuhan air tidak selalu ditunjukkan dalam kekuatan
mengingat adanya faktor-faktor penyimpangan lainnya yang juga terlibat. Agregat
kasar yang bundar dan bersudut, keduanya bermutu baik dan memiliki gradasi yang
sama, dapat diharapkan menghasilkan beton dengan kekuatan tekan yang kira-kira
sama untuk jumlah semen yang sama, sekalipun ada perbedaan dalam rasio air-
semen atau rasio air-(semen+pozolanik) yang dihasilkan dari kebutuhan air
pencampur yang berbeda.
Bentuk partikel agregat tidak selalu merupakan indikator, baik lebih tinggi atau
lebih rendah dari kekuatan rencana.

Tabel 2.5 Perkiraan kebutuhan air pencampur dan kadar udara untuk berbagai
slump dan ukuran nominal agregat maksimum batu pecah
Air (kg/m3) untuk ukuran nominal agregat maksimum batu pecah
Slump
9,5 12,7 19 25 37,5 50 75 150
(mm)
Beton tanpa tambahan udara
25-50 207 199 190 179 166 154 130 113
75-100 228 216 205 193 181 169 145 124
150-175 243 228 216 202 190 178 160 -
>175 - - - - - - - -
Banyaknya
udara dalam 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0,3 0,2
beton (%)
Beton dengan tambahan udara
25-50 181 175 168 160 160 142 122 107
75-100 202 193 184 175 165 157 133 119
150-175 216 205 197 184 174 166 154 -
>175 - - - - - - - -

10
Jumlah kadar udara yang disarankan untuk tingkat pemaparan sebagai
berikut:
Ringan (%) 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0
Sedang (%) 6,0 5,5 5,0 4,5 4,5 4,0 3,5 3,0
Berat (%) 7,5 7,0 6,0 6,0 5,5 5,0 4,5 4,0
Sumber: SNI 7657-2012

Beton yang dibuat adalah beton tanpa tambahan udara, karena strukturnya tidak
akan terkena pemaparan tingkat berat. Banyaknya air pencampur untuk beton tanpa
tambahan udara ditentukan berdasarkan nilai slump dan ukuran agregat maksimum.
Langkah 4 – Pemilihan Rasio Air-Semen atau Rasio Air-Bahan Bersifat
Semen

Tabel 2.6 Hubungan antara rasio air-semen (w/c) atau rasio air-bahan bersifat
semen (w/(c+p)) dan kekuatan beton
Rasio air-semen (berat)
Kekuatan beton umur 28
Beton tanpa tambahan Beton dengan tambahan
hari (MPa)
udara udara
40 0,42 -
35 0,47 0,39
30 0,54 0,45
25 0,61 0,52
20 0,69 0,60
15 0,79 0,70
Sumber: SNI 7657-2012
Untuk menentukan rasio air-semen, tentukan jenis beton dan seberapa kuat beton
tersebut.
Langkah 5 – Perhitungan Kadar Semen
Kebutuhan semen adalah sama dengan perkiraan kadar air pencampur (Langkah
3) dibagi dengan Rasio Air-Semen (Langkah 4). Namun demikian, bila
persyaratannya memasukkan pembatasan pemakaian semen minimum secara
terpisah selain dari persyaratan kekuatan dan keawetan, campuran haruslah
didasarkan pada kriteria apapun yang mengarah pada pemakaian semen yang lebih
banyak.
Langkah 6 – Perkiraan Persentase Agregat Kasar
Agregat dengan ukuran nominal maksimum dan gradasi yang sama akan
menghasilkan beton dengan sifat pengerjaan yang memuaskan apabila sejumlah
tertentu volume agregat (kondisi kering oven) dipakai untuk tiap satuan volume

11
beton. Volume agregat kasar per satuan volume beton dapat dilihat pada Tabel 2.6
dibawah ini.

Tabel 2.7 Volume Agregat Kasar Per Satuan Volume Beton


Volume agregat kasar kering oven* per satuan
Ukuran nominal
volume beton untuk berbagai modulus kehalusan
agregat maksimum
dari agregat halus
(mm)
2,40 2,60 2,80 3,00
9,5 0,50 0,48 0,46 0,44
12,5 0,59 0,57 0,55 0,53
19 0,66 0,64 0,62 0,60
25 0,71 0,69 0,67 0,65
37,5 0,75 0,73 0,71 0,69
50 0,78 0,76 0,74 0,72
75 0,82 0,80 0,78 0,76
150 0,87 0,85 0,82 0,81
Sumber: SNI 7657-2012
Volume agregat kasar berdasarkan tabel di atas, ditentukan dengan ukuran
agregat dengan modulus kehalusan (FM) agregat halus.
Langkah 7 – Perkiraan Kadar Agregat
Setelah diketahuinya langkah 6, seluruh kebutuhan bahan dari penyusunan beton
sudah dapat diperkirakan, kecuali agregat halus. Pada Tabel 2.7 dapat digunakan
untuk perkiraan awal.

Tabel 2.8 Perkiraan Awal Berat Beton Segar

Perkiraan awal berat beton, kg/m3


Ukuran nominal
maksimum agregat
(mm) Beton tanpa Beton dengan
tambahan udara tambahan udara

9,5 2280 2200


12,5 2310 2230
19 2345 2275
25 2380 2290
37,5 2410 2350
50 2445 2345
75 2490 2405
150 2530 2435
Sumber: SNI 7657- 2012

12
Untuk mendapatkan volume agregat halus yang disyaratkan, satuan volume
beton dikurangi jumlah seluruh volume dari bahan-bahan yang diketahui, yaitu air,
udara, bahan yang bersifat semen dan agregat kasar. Volume beton adalah sama
dengan berat beton dibagi densitas bahan.
Langkah 8 – Perkiraan Material Percetakan
Setelah semua kebutuhan bahan penyusun beton diketahui dalam 1 m³, maka
dapar dihitung kebutuhan untuk setiap cetakan. Perhitungan tersebut dapat
dilakukan dengan cara mengalikan semua kebutuhan dengan volume cetakan.

2.1.4. Perawatan Beton

Langkah utama setelah dilakukannya pembuatan serta percetakan beton adalah


perawatan beton. Perawatan beton dilakukan untuk menghindari gangguan saat
proses hidrasi dan memperbaiki mutu beton sehingga kuat tekan yang dihasilkan
akan tinggi (Mulyono, 2005).

2.1.4.1. Perawatan Uap Panas

Adanya daya ikat semen dan agregat maka dilakukannya perawatan uap panas
dengan temperature yang tinggi, sehingga hidrasi yang cepat dapat dicegah dan
juga meningkatkan kuat tekan beton dan tidak adanya pori-pori pada beton
(Pratama, 2018).
Pemberian perawatan dan suhu pada penguapan panas berlangsung selama 5-7
jam. Tahapan pemberian uap panas menurut (Rommel, 2011) adalah 2 jam untuk
waktu awal dalam penguapan, 0,5 jam digunakan untuk peningkatan suhu agar
mencapai ke suhu yang diinginkan, 2 jam selanjutnya untuk pemberian uap secara
konstan sesuai dengan suhu yang diinginkan dan 0,5 jam untuk pendinginan atau
penurunan suhu. Sehingga total untuk penguapan panas yaitu selama 5 jam.
Sedangkan untuk total 7 jam, dilakukannya penambahan waktu pada suhu yang
konstan.

13
2.1.5. Durabilitas Beton

Di dunia konstruksi, durabilitas beton menjadi syarat yang utama dalam


pembuatan beton. Beton harus memiliki ketahanan di lingkungan konstruksi seperti
konstruksi pantai dan tahan dari bahan-bahan kimia. Dapat disimpulkan, durabilitas
beton adalah daya tahan beton untuk mempertahankan kualitas, ketahanan, bentuk
dan kemampuan beton di berbagai lingkungan. (Oktaria, 2013).
.
2.1.5.1. Beton di Air Laut

Kandungan garam air laut yang dapat menggerogoti keawetan serta kekuaran
beton tersebut yaitu sebesar 3,5% memiliki sifat yang agresif terhadap bahan
konstruksi lain, salah satunya adalah beton. Kandungan tersebut terdiri dari klorida,
kalsium, magnesium, potasium, natrium, sulfat dan bikarbonat. Kandungan garam
ini menyebabkan hilangnya kekuatan, sebagian massa dan mempercepat proses
pelapukan beton (Wadu, 2014).

2.1.6. Kuat Tekan Beton

Kuat tekan beton dapat didefinisikan sebagai mutu beton dalam suatu struktur
dan sifat utama yang harus dimiliki beton. Semakin tinggi tingkat kekuatan struktur,
maka semakin tinggi pula mutu beton yang dihasilkan (Mulyono, 2003). Pada SNI
1974-2011 tentang Cara Uji Kuat Tekan Beton dengan Benda Uji Silinder terdapat
perhitungan kuat tekan beton. Adapun rumusnya sebagai berikut :
Rumus Kuat tekan beton :
𝑃
fc’ = ……………………………………………………………….…………………2.1
𝐴

Dimana :
fc’ = Kuat tekan beton, dinyatakan dalam (MPa atau N/mm²)
P = Gaya tekan aksial, dinyatakan dalam Newton (N)
A = Luas penampang benda uji, dinyatakan dalam (mm²)

14
2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian terdahulu tentang beton abu
sekam padi sebagai subtitusi semen menggunakan perawatan uap panas dan juga
penelitian tentang beton yang berada di lingkungan air laut. Berikut penelitian yang
dimaksud sebagai berikut :
Dina Heldita Tahun 2018 membuat penelitian dengan judul “Pengaruh
Penambahan Abu Sekam Padi Terhadap Kuat Tekan Beton”. Penelitian ini
menggunakan benda uji berbentuk silinder dengan persentase abu sekam padi
sebanyak 2,5%, 5%, 7,5% dan 10% yang berasal dari Desa Berangas. Kesimpulan
dari penelitian (Dina Heldita, 2018) ini adalah sebagai berikut :
1. Kuat tekan beton tanpa menggunakan campuran abu sekam padi tercapai pada
umur 28 hari.
2. Beton dengan menggunakan campuran abu sekam padi sebesar 2,5%, 5%,
7,5% dan 10% pada umur beton 14 hari kuat tekannya tidak mencapai target.
Sedangkan pada umur 28 hari mencapai target. Dapat disimpulkan, kuat tekan
beton tersebut dihasilkan dari adanya campuran abu sekam padi.
Erwin Rommel Tahun 2011, membuat penelitian dengan judul “Pengaruh
Pemberian Perawatan Steam Curing Terhadap Kekuatan dan Durabilitas Beton
Dengan Semen Pozzolan”. Pada penelitian ini menggunakan semen tipe 1 dan
semen pozzolan (PCC) dengan mutu beton K350 dan K700. Penelitian ini
dilakukan perawatan beton menggunakan uap panas dengan suhu 70 selama 5 jam
dan 7 jam. Pengujian tekan dengan cetakan kubus 15x15x15 cm dilakukan pasca-
steam setelah umur beton 7 hari, 14 hari, 21 hari dan 28 hari (tanpa perendaman).
Penelitian (Erwin Rommel, 2011) ini menyatakan bahwa :
1. Dengan memberikan perawatan uap panas, gangguan proses hidrasi semen
sangat mempengaruhi proses pengerasan sampai beton berumur 28 hari.
2. Kuat tekan beton lebih tinggi menggunakan semen tipe 1 dibandingkan dengan
menggunakan tipe pozzolan.
Masdar Helmi, Ratna Widyawati, Laksmi Irianti dan Mufidah A. Annisa Tahun
2019 membuat penelitian yang berjudul “Sifat Mekanik Beton Reaktif yang
Menggunakan Abu Sekam Padi sebagai Pengganti Sebagian Semen dan Perlakuan

15
Perawatan Panas (Heat Curing)”. Penelitian ini menggunakan abu sekam padi yang
berasal dari pembakaran sekam lokal, microsilica dan juga semen tipe 1 yang lolos
saringan No. 2,4 mm. Superplasticizer dan air yang berkualitas baik untuk
diminum. Untuk cetakan betonnya menggunakan mould baja beralat dan perawatan
beton yang digunakan menggunakan uap panas, air panas berupa kotak bahan kayu
dilapisi alumunium di bagian dalamnya yang berukuran 10x20x30 cm yang
dihubungkan dengan sumber uap air panas. Penelitian ini menggunakan Universal
Testing Machine (UTM) untuk uji tekan dan dilakukannya uji lentur. Penelitian ini
menyatakan bahwa semakin tinggi persentase abu sekam padi dalam campuran
beton reaktif maka kelecakan adukan semakin menurun, kuat tekan cenderung
meningkat sejalan dengan peningkatan persentase abu sekam padi yaitu sebanyak
30%, abu sekam padi berpotensi menggantikan semen sampai dengan 30% karena
menghasilkan kuat tekan yang sama dengan komposisi 100% (Masdar Helmi. Ratna
Widyawati. Laksmi Irianti. Mufidah A. Annisa, 2019).
Elia Hunggurami Tahun 2014 membuat penelitian dengan judul “Pengaruh
Masa Perawatan (Curing) Menggunakan Air Laut Terhadap Kuat Tekan dan
Absorpsi Beton”. Penelitian (Elia Hunggurami, 2014) ini dilakukan untuk
menentukan nilai kuat tekan beton yang berada di lingkungan air laut dengan durasi
7 hari, 14 hari dan 28 hari pada mutu beton 20 Mpa, 25 Mpa dan 30 Mpa. Kuat
tekan beton yang mengalami curing di air laut selama 7 hari lebih tinggi
dibandingkan beton yang mengalami curing air tawar. Sedangkan beton yang
mengalami curing air laut pada 14 hari dan 28 hari, kuat tekannya lebih rendah.

16

Anda mungkin juga menyukai