Berbicara prestasi dalam suatu perikatan kita harus mengacu pada Pasal 1234
Burgerlijke Wetboek (yang diterjemahkan Kitab Undangundang Hukum
Perdata selanjutnya disebut BW), “Setiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu”. Berdasarkan ketentuan tersebut konkritnya bahwa 3 (tiga) hal itu
merupakan obyek perikatan.
3. Macam-macam Perikatan.
Secara sederhana perikatan dibedakan menjadi 2 (dua) yakni perikatan yang
sederhana dan perikatan yang tidak sederhana. Dikatakan suatu perikatan
sederhana apabila pihak-pihak dalam perikatan masing-masing satu pihak
saja dan prestasi yang dapat dituntut hanya satu hal saja serta penuntutan
prestasi dapat seketika dilaksanakan. Jadi perikatan sederhana ini disebut
pula dengan perikatan murni. Sedang yang dimaksud perikatan yang tidak
sederhana sudah barang tentu, suatu perikatan yang tidak termasuk dalam
kategori perikatan sederhana, dimana syaratnya lebih banyak. Dan lazim
disebut perikatan saja.
Pasal 1258 ayat (1) Burgerlijk Wetboek menyebutkan: “jika suatu perikatan
tergantung pada suatu syarat bahwa sesuatu peristiwa akan terjadi di dalam
suatu waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada, apabila waktu
tersebut telah lampau dengan tidak terjadi-nya peristiwa tersebut”. Pasal
1258 ayat (2) Burgerlijk Wetboek menyebutkan : “jika waktu tidak
ditentukan, maka syarat tersebut setiap waktu dapat terpenuhi, dan syarat itu
tidak dianggap tidak ada sebelum ada kepastian bahwa peristiwa tidak akan
terjadi”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, jika suatu perikatan itu
ditentukan waktunya dan selama selama waktu itu berlangsung peristiwa
yang merupakan syarat lahirnya perikatan tidak terjadi, maka syarat tersebut
dianggap tidak ada. Dengan demikian perikatan tidak terjadi pula.
Dan syarat dianggap telah terpenuhi, jika si berutang yang terikat oleh-nya,
telah menghalang-halangi terpenuhinya syarat itu (Pasal 1260 BW). Artinya
jika pihak berutang menghalangi adanya syarat yang mengakibatkan lahirnya
perikatan, maka perikatan dianggap lahir berlaku surut pada saat
terpenuhinya syarat tersebut.
Dalam perikatan dengan syarat tangguh dimana obyek perikatan itu berupa
benda, dan benda tersebut musnah bukan karena kesalahan pihak berutang,
maka perikatan itu menjadi gugur (Pasal 1264 ayat (2) BW).
Adapun kata “batal”, yang dimaksudkan adalah batal demi hukum (ipso
iure). Berarti yang diserang adalah perbuatan hukumnya sendiri, sehingga
oleh hukum dianggap bahwa perbuatan hukum itu tidak pernah ada atau
dikatakan akibat hukumnya ex tunc.
Perikatan disebut yang tidak tetap manakala dalam perikatan itu pemenuhan
kewajiban atau prestasinya hanya diperlukan suatu perbuatan atau waktu
yang sedikit saja telah tercapai tujuannya dan berakhir perikatan tersebut.
Misal jual beli rokok satu bungkus. Sedang yang dimasksud perikatan tetap
adalah perikatan-perikatan yang mewajibkan pemenuhan prestasi-prestasi
yang tetap, dan sebab itu bermaksud selama waktu tertentu. Misal perjanjian
kredit bank.
4. Hapusnya Perikatan.
Menurut Pasal 1381 Burgerlijk Wetboek bahwa perikatan-perikatan hapus,
karena:
Pembayaran;
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/ penitipan;
Pembaharuan utang;
Perjumpaan utang atau kompensasi;
Percampuran utang;
Pembebasan utangnya;
Musnahnya barang yang terutang;
Kebatalan atau pembatalan;
Berlakunya syarat batal;
Lewatnya waktu.
B. HUKUM KONTRAK
1. Istilah dan Pengertian Kontrak.
Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dipergunakan istilah “overeenkomst”
berasal dari bahasa Belanda, akarnya berasal dari bahasa Latin yakni
“contractus”. Diterjemahkan dalam bahasa (hukum) Indonesia yakni
“perjanjian” atau “kontrak”
Jadi istilah “kontrak” mempunyai ruang lingkup lebih sempit karena dibatasi
oleh bentuk (tertulis), kegiatan bisnis, teritorial dan sifat (bilateral). Adanya
batasan itu, membawa konsekwensi yuridis, misalnya sekalipun hubungan
hukum itu di bidang harta kekayaan tetapi jika tidak dibuat secara tertulis
maka tidak dapat disebut kontrak, juga jika terjadi perjanjian leasing dengan
obyek kendaraan bermotor atau rumah yang diadakan di Indonesia dan yang
dilakukan oleh subyek hukum Indonesia, maka tidak dapat disebut sebagai
kontrak, melainkan perjanjian. Batasan tersebut terlampau luas sehingga
mempersempit area kontrak. Sebab itu, kategori teritorial atau ruang lingkup
yang bersifat internasional perlu ditambah teritorial dalam negeri juga. Jadi
kontrak dapat dipergunakan untuk hubungan atau transaksi yang bersifat
internasional ataupun nasional.
kontrak berfungsi sebagai alat bukti telah terjadi kontrak. Lebih daripada itu,
dengan kontrak itu dapat dibuktikan salah satu pihak telah memenuhi
kewajibannya. Misal dalam kontrak sewamenyewa rumah dimana pihak
yang menyewakan menyerahkan sebuah rumah kepada penyewa.
4. Syarat-syarat Kontrak.
Suatu kontrak agar sah dan berlaku sebagai undang-undang harus memenuhi
syarat-syarat. Pasal 1320 BW menyebutkan: “untuk sahnya kontrak
diperlukan empat syarat : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b.
Kecakapan untuk membuat kontrak; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab
yang halal. Ketentuan tentang syarat sahnya kontrak sebagaimana tersebut
dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, dibedakan menjadi dua, yaitu syarat
subyektif (butir a dan b), dimana syarat tersebut berkaitan dengan subyek-
subyek yang membuat kontrak, yakni tentang kesepakatan dan kecakapan
untuk membuat kontrak. Dan syarat obyektif (butir c dan/atau d), karena
berkaitan dengan obyek suatu kontrak.
Perbedaan syarat dalam membuat kontrak ini penting untuk diketahui, karena
jika suatu kontrak tidak dipenuhi oleh masing-masing syarat akan berakibat
hukum yang berbeda pula. Dalam hal syarat subyektif (butir a dan/atau b),
baik tentang kesepakatan dan/atau kecakapan tersebut tidak dipenuhi di
dalam membuat suatu kontrak, maka kontrak dapat dimintakan pembatalan.
Kata “dapat” mengandung makna boleh meminta dibatalkan kontrak yang
bersangkutan atau jika yang tidak memenuhi syarat subyektif berdiam diri,
berarti pihak yang tidak memenuhi syarat subyektif tersebut tidak minta
pembatalan kontrak maka kontrak dianggap sah berlaku sebagai undang-
undang dan mengikat pihak-pihak yang membuatnya. Dalam hal syarat
obyektif tidak terpenuhi (butir c dan/atau d) akibat hukumnya kontrak batal
demi hukum. Artinya sejak semula dianggap tidak pernah lahir suatu
kontrak. Dengan demikian tujuan pihakpihak mengadakan kontrak telah
gagal, sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar untuk saling
menuntut secara hukum perdata di pengadilan. Hal ini dalam bahasa Inggris
disebut null and void