Anda di halaman 1dari 23

BAB II TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA KONTRAK

A. SEJARAH HUKUM KONTRAK


Pada masa lampau manusia telah mengadakan kontrak dimana kontrak
didasarkan pada moral dan agama serta adat (kebiasaan). Kontrak dengan
didasarkan atas moral yang berasal dari nurani manusia dan agama yang
meliputi eksistensi kontrak (kontrak), maka diharapkan kontrak-kontrak
dapat ditaati dan dilaksanakan oleh mereka yang mengadakan kontrak
sebagaimana mestinya. Namun sekalipun kontrak telah didasarkan atas
moral, agama, dan adat ternyata pemenuhan kewajiban sebagaimana yang
telah diperjanjikan atau disepakati oleh para pihak masih dapat saja terjadi
pengingkaran oleh salah satu pihak. Sebab itu, kontrak sebagai perwujudan
perbuatan dan hubungan hukum perlu diatur oleh hukum.
Pada umumnya negara-negara telah mengatur kontrak pada bidang harta
kekayaan di dalam berbagai peraturan perundang-undangannya. Hal ini
dapat dikemukakan bahwa awal diketahui eksistensi hukum kontrak
sebagaimana diatur dalam Kode Hammurabi. Kode Hammurabi dituliskan
pada batu, yang diketemukan pada tahun 1901 di bawah puing-puing
reruntuhan Kerajaan Babilonia kuno oleh arkeolog Perancis. Dalam kode
Hammurabi itu, telah juga terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang
kontrak. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut jelas bahwa dalam kode
Hamurabi telah diatur mengenai kontrak (kontrak jual-beli), dimana adanya
hukum kontrak jual-beli telah memberikan perlindungan terhadap pihak yang
beretiked baik, sebaliknya memberiikan hukuman bagi mereka yang
beritikad buruk. Hukuman mati hanya akibat dari kontrak jual-beli yang
tidak benar sudah tidak relevan untuk di kenakan pada masa sekarang ini.
Pada waktu Indonesia di dalam penjajahan Belanda, Burgerlijk Wetboek
hanya berlaku untuk:
1. semua orang Belanda;
2. semua orang yang berasal dari Eropa;
3. semua orang Jepang;
4. semua orang dimana negara mereka tunduk kepada hukum keluarga yang
pada pokoknya didasarkan atas asas-asas yang sama dengan negeri Belanda;
5. anak-anak yang sah atau diakui sah yang dilahirkan di Indonesia dan
keturunan-keturunan seterusnya dari orang-orang yang dimaksud pada angka
1 dan 2. Jadi jelas berdasarkan ketentuan Pasal 131 dan 163 IS bahwa
berlakunya Burgerlijk Wetboek tidak didasarkan pada asas territorial,
melainkan berdasarkan asas personal khusus.
Sistematika atau pembagian Burgerlijk Wetboek (Kitab Undangundang
Hukum Perdata) :
 Buku kesatu hukum tentang Orang/Badan Pribadi.
 Buku kedua hukum tentang Benda.
 Buku ketiga hukum tentang Perutangan/Perikatan.
 Buku keempat hukum tentang Pembuktian dan Daluwarsa.

Berdasarkan atas sistematika Burgerlijk Wetboek ini, dapat diketahui bahwa


ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar individu
dibidang harta kekayaan tersebut pada buku ketiga dan kedua (buku kedua
tanpa perihal pewarisan). Dengan kata lain, hukum harta kekayaan meterinya
meliputi hukum benda dan hukum perikatan. Sedangkan yang secara khusus
mengatur tentang ketentuan umum kontrak terdapat pada buku ketiga
Burgerlijk Wetboek.

Pada buku ketiga Burgerlijk Wetboek diatur tentang hal-hal yang


menyangkut kontrak, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus,
yang terdiri atas XIII Bab, Mulai Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864,
sedang khusus ketentuan-ketentuan yang mengatur kontrak yang bersifat
umum, terdiri atas IV Bab, Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456 yaitu :
Bab I. Perikatan Umum (Pasal 1233 s/d 1312 Burgerlijk Wetboek).
Bab II. Perikatan yang lahir dari perjanjian/kontrak :
· Ketentuan Umum (Pasal 1313 s/d 1319 BW)
· Syarat-syarat kontrak (Pasal 1320 s/d 1337 BW)
· Akibat kontrak (Pasal 1338 s/d 1341 BW)
· Penafsiran Kontrak (Pasal 1342 s/d 1351 BW)
Bab III. Perikatan yang dilahirkan dari Undang-undang.
Bab IV. Hapusnya perikatan

B. HUKUM KONTRAK BURGERLIJK WETBOEK SEBAGAI LEGE


LATA
Sampai saat ini, hukum kontrak sebagaimana di dalam Burgerlijk Wetboek
masih berposisi sebagai lege lata atau ius constitutum. Hukum kontrak ini
masih dapat berperan dalam mengatur hubungan atau kegiatan transaksi
barang dan/atau jasa. Berperannya hukum kontrak ini disebabkan karena
ketentuan-ketenuan hukum Burgerlijk Wetboek pada umumnya bersifat yang
mengatur dan terbukanya ketentuan-ketentuan hukumnya untuk diadakan
interpretasi dan/atau konstruksi hukum.
BAB III HUKUM PERIKATAN DAN KONTRAK
A. HUKUM PERIKATAN
1. Istilah dan Pengertian Perikatan.
Kata “verbintenis” berasal dari kepustakaan Belanda sebagaimana yang
tersebut di dalam Burgerlijk Wetboek. Terdapat perbedaan pendapat dari para
ahli hukum (perdata) di dalam menterjemahkan kata verbentenis. Ada ahli
hukum perdata yang menterjemahkan verbintenis dengan “perutangan”, dan
ada ahli hukum perdata yang lain yang menterjemahkan dengan “perikatan”
sebagaimana dikemukakan Subekti, Mariam Darus Badrulzaman dan yang
lainnya.

Verbintenis diterjemahkan dengan perutangan, disebabkan suatu hubungan


hukum perdata di bidang harta kekayaan itu menciptakan para pihak saling
mempunyai utang (secara timbal balik), yakni pihak satu mempunyai utang
kepada pihak kedua, sedang pihak kedua mempunyai utang kepada pihak
pertama. Sedangkan verbintenis diterjemahkan dengan perikatan disebabkan
suatu hubungan hukum perdata itu mengakibatkan para pihak saling terikat
secara timbal balik, yakni pihak satu mengikatkan diri kepada pihak kedua,
sebaliknya pihak kedua mengikatkan diri kepada pihak pertama.

Namun jika diperhatikan istilah perutangan dan istilah perikatan sebagai


suatu hubungan hukum mempunyai kesamaan yakni samasama adanya
pembebanan kewajiban terhadap para pihak yang mengadakan hubungan
hukum (perutangan/perikatan).

Perikatan merupakan suatu hubungan hukum, yakni suatu hubungan atau


transaksi yang dilakukan oleh subyek hukum yang terjadi di dalam pergaulan
masyarakat yang mendapat kualifikasi hukum. Di dalam hubungan hukum
itu menciptakan kewajiban secara timbal balik bagi pihak-pihak yang
membuat perikatan. Apabila salah satu pihak sudah melaksanakan kewajiban
maka pihak lain juga harus memenuhi kewajibannya. Jika kewajiban yang
membebaninya itu tidak dipenuhi, maka akan terjadi ketidakseimbangan di
dalam perikatan. Sebab itu, untuk mengembalikan pada keadaan yang
seimbang (semula), maka pihak yang sudah memenuhi kewajiban dapat
mengajukan gugatan melalui pengadilan (hakim) terhadap yang belum
memenuhi kewajibannya. Berdasarkan definisi perikatan tersebut dapat
dirumuskan unsurunsur perikatan, sebagai berikut : 1. hubungan hukum; 2.
harta kekayaan; 3. pihak-pihak; 4. prestasi; 5. perantaraan pengadilan
(apabila perlu).

Berbicara prestasi dalam suatu perikatan kita harus mengacu pada Pasal 1234
Burgerlijke Wetboek (yang diterjemahkan Kitab Undangundang Hukum
Perdata selanjutnya disebut BW), “Setiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu”. Berdasarkan ketentuan tersebut konkritnya bahwa 3 (tiga) hal itu
merupakan obyek perikatan.

Untuk melengkapi pengertian verbintenis atau perikatan, perlu dikemukakan


pendapat Fred Ameln, yakni verbintenis dibedakan menjadi 2 (dua):
a. Resulstaatsverbintenis ialah suatu perikatan dimana pihak satu
mengikatkan dirinya kepada pihak lain untuk membuat suatu pekerjaan
tertentu yang menghasilkan suatu hasil yang konkrit.
b. Inspanningsverbintenis ialah suatu perikatan dimana pihak satu
mengikatkan dirinya kepada pihak lain untuk mengusahakan sesuatu dengan
berdaya upaya secara maksimal (Endro Martono, 2003; hal. 12).

2. Sumber Hukum Perikatan.


Pasal 1233 Burgerlijk Wetboek, menyebutkan : “Tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang”. Berdasarkan
atas ketentuan Pasal 1233 Burgerlijk Wetboek tersebut jelas bahwa untuk
dapat diketahui adanya suatu perikatan harus didahului adanya perjanjian di
bidang harta kekayaan yang telah dibuat Hukum Kontrak &
Perkembangannya 33 para pihak atau adanya undang-undang yang
melahirkan perikatan. Jadi perjanjian dan undang-undang merupakan sumber
lahirnya suatu perikatan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dalam bukunya yang berjudul “Aneka
Hukum Bisnis” (1994: 6) bahwa sumber hukum perikatan adalah sebagai
berikut :
a. Perjanjian/Kontrak;
b. Undang-Undang, yang dibedakan:
1) Undang-undang melulu;
2) Undang-undang karena perbuatan orang, yang:
a) halal (menurut hukum):
• Pasal 1354 BW: Mewakili urusan orang lain;
• Pasal 1359 (1) BW : Pembayaran utang tak diwajibkan;
• Pasal 1359 (2) BW : Perikatan wajar.
b) melawan hukum
• Pasal 1365 BW. : Penggantian kerugian karena perbuatan melawan hukum.
c. Jurisprudensi;
d. Hukum Tertulis dan Hukum tidak Tertulis;
e. Ilmu Pengetahuan Hukum.

3. Macam-macam Perikatan.
Secara sederhana perikatan dibedakan menjadi 2 (dua) yakni perikatan yang
sederhana dan perikatan yang tidak sederhana. Dikatakan suatu perikatan
sederhana apabila pihak-pihak dalam perikatan masing-masing satu pihak
saja dan prestasi yang dapat dituntut hanya satu hal saja serta penuntutan
prestasi dapat seketika dilaksanakan. Jadi perikatan sederhana ini disebut
pula dengan perikatan murni. Sedang yang dimaksud perikatan yang tidak
sederhana sudah barang tentu, suatu perikatan yang tidak termasuk dalam
kategori perikatan sederhana, dimana syaratnya lebih banyak. Dan lazim
disebut perikatan saja.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di dalam Burgerlijk Wetboek, perikatan


dibedakan menjadi bermacam-macam, yakni : a. Perikatan untuk memberi
sesuatu; untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu; b. Perikatan
Bersyarat; c. Perikatan Dengan Ketetapan Waktu; Hukum Kontrak &
Perkembangannya 35 d. Perikatan Alternatif atau Manasuka; e. Perikatan
Tanggung-renteng; f. Perikatan Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi; dan g.
Perikatan Dengan Ancaman Hukuman.

a. Perikatan Untuk Memberi Sesuatu, Perikatan Untuk Berbuat


Sesuatu dan Perikatan Untuk Tidak berbuat Sesuatu (Pasal 1234 s/d
Pasal 1242 Burgerlijk Wetboek).
Perikatan untuk berbuat sesuatu pada hakekatnya perwujudan suatu
hubungan hukum dimana dibitur sebagai pihak yang mempunyai kewajiban
untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu sebagaimana yang telah ditentukan
oleh kreditur/berpiutang. Kewajiban debitur/ berutang yang berupa
melakukan pekerjaan tertentu, yakni melakukan perbuatan yang
menghasilkan suatu hasil tertentu sebagaimana yang dikehendaki oleh pihak
krediturnya. Inilah merupakan wujud prestasi yang disebut perikatan untuk
berbuat sesuatu.

Agar jelas, disini diilustrasikan pada kontrak konstruksi (pemborongan


bangunan), yang diadakan Pengguna Jasa Konstruksi dan Penyedia Jasa
Konstruksi (Kontraktor) dimana pihak kedua yakni pihak yang menerima
borongan/ kontraktor dengan disepakatinya kontrak memikul kewajiban
membuat bangunan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam bestek. Berarti
wujud perikatan ini adalah pembuatan bangunan sesuai dengan bestek,
sehingga agar terwujudnya bangunan itu, maka kontraktor melalui pekerja-
pekerjanya melakukan perbuatan untuk menghasilkan suatu hasil yang
konkrit yakni suatu bangunan.

Pasal 1241 Burgerlijk Wetboek menyebutkan: “apabila perikatan tidak


dilaksanakannya maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia
sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang”. Artinya
jika pihak berutang (yang melakukan pekerjaan) telah tidak dapat memenuhi
kewajibannya, maka dapatlah pihak berpiutang (yang memberi pekerjaan)
melaksanakan pekerjaan tersebut dengan pembiayaan oleh pihak berutang.

Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, disebut juga perikatan


negatif, yang mana dalam perikatan, salah satu pihak (debitur) mempunyai
kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, yang sudah ditentukan di dalam
perikatan/kontrak. Misalnya dalam perikatan antara majikan dan buruh,
sengaja dicantumkan klausula agar setelah berakhirnya hubungan kerja, si
buruh dalam jangka waktu tertentu tidak bekerja pada perusahaan yang
menghasilkan atau memproduksi produk-produk yang sama. Klausula ini
lazim disebut “concurrentie beding”, yang menimbulkan kewajiban kepada
si buruh untuk tidak melakukan/berbuat sesuatu, yakni tidak menjadi pekerja
pada perusahaan lain yang sejenis. Atau contoh lain, dalam suatu kontrak
sewamenyewa rumah, dalam klausula kontraknya ditentukan bahwa pihak
penyewa tidak boleh merubah bentuk rumah, kecuali mendapat persetujuan
tertulis dari pihak yang menyewakan.
b. Perikatan Bersyarat.
Perikatan Bersyarat diatur dalam Pasal 1253 sampai dengan Pasal 1267
Burgerlijk Wetboek. Pasal 1253 Burgerlijk Wetboek menyebutkan: “suatu
perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa
yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik
secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu,
maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya
peristiwa tersebut”. Jika mencermati ketentuan ini dapat dikemukakan bahwa
perikatan bersyarat dibedakan menjadi 2 (dua):
• Perikatan bersyarat dengan syarat tangguh (tunda), yakni per-ikatan yang
terjadinya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan
belum tentu akan terjadi atau yang tergantung pada suatu hal yang sudah
terjadi tetapi tidak diketahui oleh kedua belah pihak (Pasal 1263 BW).
Perikatan macam ini terjadi atau lahir apabila suatu “peristiwa” yang
dijadikan syarat itu terjadi. Artinya yang menyebutkan lahirnya kontrak
adalah peristiwa yang dijadikan syarat, sehingga sebelum terpenuhinya
syarat maka kontrak yang ber-sangkutan belumlah mengikat pihak-pihak.

Peristiwa yang dijadikan syarat untuk suatu perikatan, harus:


> tidak bertentangan dengan kesusilaan.
> tidak bertentangan dengan undang-undang
> mungkin dilaksanakan;
> pelaksanaannya tidak tergantung pada kemauan orang yang terikat.
> dikehendaki dan dimaksudkan oleh para pihak.

Pasal 1258 ayat (1) Burgerlijk Wetboek menyebutkan: “jika suatu perikatan
tergantung pada suatu syarat bahwa sesuatu peristiwa akan terjadi di dalam
suatu waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada, apabila waktu
tersebut telah lampau dengan tidak terjadi-nya peristiwa tersebut”. Pasal
1258 ayat (2) Burgerlijk Wetboek menyebutkan : “jika waktu tidak
ditentukan, maka syarat tersebut setiap waktu dapat terpenuhi, dan syarat itu
tidak dianggap tidak ada sebelum ada kepastian bahwa peristiwa tidak akan
terjadi”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, jika suatu perikatan itu
ditentukan waktunya dan selama selama waktu itu berlangsung peristiwa
yang merupakan syarat lahirnya perikatan tidak terjadi, maka syarat tersebut
dianggap tidak ada. Dengan demikian perikatan tidak terjadi pula.

Sebaliknya jika suatu perikatan itu waktunya tidak ditentukan, maka


sewaktu-waktu peristiwa itu terjadi maka lahirlah perikatan, dan jika
peristiwa yang merupakan syarat belum dapat diketahui terjadinya, maka
menunggu kepastian bahwa perikatan pasti tidak terjadi, maka
perikatannyapun tidak terjadi.

Dan syarat dianggap telah terpenuhi, jika si berutang yang terikat oleh-nya,
telah menghalang-halangi terpenuhinya syarat itu (Pasal 1260 BW). Artinya
jika pihak berutang menghalangi adanya syarat yang mengakibatkan lahirnya
perikatan, maka perikatan dianggap lahir berlaku surut pada saat
terpenuhinya syarat tersebut.
Dalam perikatan dengan syarat tangguh dimana obyek perikatan itu berupa
benda, dan benda tersebut musnah bukan karena kesalahan pihak berutang,
maka perikatan itu menjadi gugur (Pasal 1264 ayat (2) BW).

Perikatan bersyarat dengan syarat batal


yakni suatu perikatan menjadi batal bilamana peristiwa yang disyaratkan itu
terjadi dan mengakibatkan segala sesuatu kembali kepada keadaan semula,
seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perikatan. (Pasal 1265 BW). Dalam
perikatan bersyarat dengan syarat batal, syarat tidak menang-guhkan
pemenuhan perikatan, melainkan hanyalah mewajibkan pihak berpiutang,
yang menguasai obyek perikatan untuk mengembalikan apa yang telah
diterimanya (Pasal 1265 ayat (2) BW). Pada perikatan macam ini,
perikatannya itu sendiri sudah ada (dilaksanakan), sedang untuk batalnya
atau berakhirnya perikatan jika “peristiwa” yang dijadikan syarat terjadi atau
terpenuhi. Dengan terpenuhinya syarat, maka perikatan menjadi
batal/berakhir karena atau demi hukum, sehingga mengakibatkan segala
sesuatunya harus dikembalikan ke dalam keadaan pada waktu ditutupnya
perikatan oleh para pihak. Misalnya dalam perikatan sewa-menyewa rumah,
jika syarat yang mengakibatkan batalnya perikatan terpenuhi, maka pihak
penyewa harus mengembalikan/menyerahkan rumah yang disewa kepada
penyewa dalam keadaan sebagaimana perikatan disepakatinya.

Adapun kata “batal”, yang dimaksudkan adalah batal demi hukum (ipso
iure). Berarti yang diserang adalah perbuatan hukumnya sendiri, sehingga
oleh hukum dianggap bahwa perbuatan hukum itu tidak pernah ada atau
dikatakan akibat hukumnya ex tunc.

c. Perikatan Dengan Ketetapan Waktu.


Perikatan ini hanya diatur dalam 4 (empat) pasal, yakni Pasal 1268 sampai
dengan Pasal 1271 Burgerlijk Wetboek.
perikatan dengan ketetapan waktu, merupakan perikatan yang
menangguhkan pelaksanaan perikatan, artinya pelaksanaan perikatan masih
akan datang, baik pelaksanaannya ditentukan pada waktu tertentu (tanggal,
bulan dan tahun tertentu) atapun digantungkan pada peristiwa tertentu sesuai
yang disepakati para pihak. Berarti berlakunya pelaksanaan pada perikatan
ini dapat diketahui secara pasti oleh para pihak.

d. Perikatan Alternatif atau Manasuka.


Perikatan Alternatif atau manasuka diatur dalam Pasal 1272 Burgerlijk
Wetboek sampai dengan Pasal 1277 Burgerlijk Wetboek.
Jika kita mencermati istilah atau kata pada perikatan ini “alternatif atau
manasuka” sudah menunjukkan bahwa kata tersebut mengandung makna
bahwa pihak berutang (debitur) boleh memilih salah satu dari dua obyek
perikatan yang tersedia untuk diserahkan kepada pihak berpiutang (kreditur)
untuk memenuhi perikatannya. Jadi yang diserahkan hanya salah satu saja
dari barang obyek perikatan. Sebab itu, pada umumnya nilai atau harga
barang, antara barang yang satu dengan harga barang yang lain adalah
dianggap sama. Artinya nilai/harga barang yang satu dengan yang lain tidak
mungkin sama persis. Contoh seekor burung perkutut dinilai harga-nya sama
dengan sebuah mobil sedan Toyota terbaru.

e. Perikatan Tanggung Renteng/Tanggung Menanggung.


Perikatan tanggung renteng, juga disebut perikatan tanggung menanggung.
Perikatan macam ini diatur dalam Pasal 1278 Burgerlijk Wetboek sampai
dengan Pasal 1295 Burgerlijk Wetboek.

Ketentuan Pasal 1278 Burgerlijk Wetboek menyebutkan: “suatu perikatan


tanggung-menggung atau tanggung renteng terjadi antara beberapa orang
berpiutang, jika di dalam persetujuan secara tegas kepada masing-masing
diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang sedang pembayaran
yang dilakukan kepada salah satu membebaskan orang yang berutang
meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi diantara
beberapa orang berpiutang tadi”. Dalam perikatan macam ini, pihak
beriputang (kreditur) terdiri lebih dari satu orang, sebab itu perikatan ini
disebut perikatan tanggung renteng/tanggung menanggung aktif. Sekalipun
utang debitur menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi, tetapi masing-
masing berpiutang mempunyai hak menuntut untuk seluruh utang kepada
berutang, sehingga pembayaran yang dilakukan oleh berutang kepada salah
satu berpiutang yang dipilih, menyebabkan berakhirnya utang piutang antara
pihak berpiutang dan pihak berutang. Namun dalam perikatan macam ini
pihak berutang dapat memilih kepada pihak berpiutang yang satu atau yang
lain utang yang bersangkutan dibayar.

f. Perikatan Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi.


Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi-bagi diatur dalam Pasal
1296 Burgerlijk Wetboek sampai dengan Pasal 1303 Burgerlijk Wetboek.
Dalam Pasal 1296 Burgerlijk Wetboek menyebutkan: “suatu perikatan dapat
dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan tersebut mengenai
suatu barang yang penyerahannya, atau suatu perbuatan yang
pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi, baik secara
nyata-nyata maupun secara perhitungan”. Berarti suatu perikatan dapat
dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi hanya untuk perikatan dimana
wujud prestasinya berupa untuk memberii sesuatu atau untuk berbuat
sesuatu. Dan dalam wujud prestasi dari perikatan itu secara nyata-nyata dan
atau perhitungan dapat dibagibagi atau tidak.

g. Perikatan Dengan Ancaman Hukuman.


Perikatan dengan ancaman hukuman diatur dalam Pasal 1304 sampai dengan
Pasal 1312 Burgerlijk Wetboek.

Dalam Pasal 1304 Burgerlijk Wetboek menyebutkan: “ancaman hukuman


adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk jaminan
pelaksanaan perikatan diwajibkan melakukan sesuatu mana-kala perikatan
itu tidak dipenuhi”. Berarti ancaman hukuman merupakan ketentuan hukum
atau klausula dalam perjanjian yang membebani suatu pembayaran tertentu
apabila salah satu pihak (debitur) tidak memenuhi perikatan. Sedang yang
dimaksud dengan beban pembayaran tertentu itu berupa denda yang
dikenakan pada pihak yang wanprestasi.

Jika mengadakan pembedaan-pembedaan macam-macam perikatan baik


sebagaimana tersebut di atas maupun yang belum dikemukakan, maka
perikatan dibedakan berdasarkan isi prestasi, subyeks-ubyeknya dan awal
mulai dan berakhirnya (Asser’s, 1991: 85), sebagai berikut :
a. Berdasarkan isi prestasinya, perikatan dibedakan menjadi
 Perikatan positif dan negatif;
 Perikatan tidak tetap dan yang tetap;
 Perikatan alternatif (manasuka);
 Perikatan fakultatif;
 Perikatan generic (semacam) dan sejenis.
 Perikatan dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.
b. Berdasarkan subyek-subyeknya, perikatan dibendakan menjadi:
 Perikatan tanggung-menanggung
 Perikatan pokok dan tambahan.
c. Berdasarkan awal mulai dan akhir berlakunya, perikatan dibedakan
menjadi:
 Perikatan ketetapan waktu;
 Perikatan bersyarat.

Perikatan disebut positif apabila dalam perikatan itu prestasinya merupakan


perbuatan-perbuatan positif (seperti wujud prestasinya memberii sesuatu atau
untuk berbuat sesuatu), sedang perikatan disebut negatif apabila dalam
perikatan itu prestasinya merupakan perbuatan-perbuatan negatif (seperti
wujud prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu, yakni perbuatan tidak
melakukan sesuatu).

Perikatan disebut yang tidak tetap manakala dalam perikatan itu pemenuhan
kewajiban atau prestasinya hanya diperlukan suatu perbuatan atau waktu
yang sedikit saja telah tercapai tujuannya dan berakhir perikatan tersebut.
Misal jual beli rokok satu bungkus. Sedang yang dimasksud perikatan tetap
adalah perikatan-perikatan yang mewajibkan pemenuhan prestasi-prestasi
yang tetap, dan sebab itu bermaksud selama waktu tertentu. Misal perjanjian
kredit bank.

Perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang mempunyai obyek hanya


satu prestasi, namun yang mana pihak berutang memiliki kewenangan untuk
mengganti obyek prestasi dengan prestasi yang lain yang telah ditunjuk,
misalnya berutang mempunyai kewajiban menyerahkan barang tertentu,
tetapi barang tertentu tersebut dapat diganti dengan barang televisi ukuran
dan merk telah ditentukan dan ditunjuk.

Perikatan generik merupakan perikatan yang obyeknya ditentukan hanya


menurut macamnya. Misalnya menyerahkan 1 ton gandum. Sedang perikatan
sejenis merupakan perikatan dimana obyeknya ditentukan berdasarkan sifat
pribadi (jenisnya). Misal menyerahkan sebuah rumah atau kendaraan
bermotor.

4. Hapusnya Perikatan.
Menurut Pasal 1381 Burgerlijk Wetboek bahwa perikatan-perikatan hapus,
karena:
 Pembayaran;
 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/ penitipan;
 Pembaharuan utang;
 Perjumpaan utang atau kompensasi;
 Percampuran utang;
 Pembebasan utangnya;
 Musnahnya barang yang terutang;
 Kebatalan atau pembatalan;
 Berlakunya syarat batal;
 Lewatnya waktu.

B. HUKUM KONTRAK
1. Istilah dan Pengertian Kontrak.
Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dipergunakan istilah “overeenkomst”
berasal dari bahasa Belanda, akarnya berasal dari bahasa Latin yakni
“contractus”. Diterjemahkan dalam bahasa (hukum) Indonesia yakni
“perjanjian” atau “kontrak”

Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat dikatakan bahwa istilah kontrak


sebagai manifestasi untuk menuangkan maksud pihak-pihak dalam berbagai
hubungan hukum, yakni apabila perjanjian:
 Berbentuk tertulis;
 Dalam kegiatan bisnis;
 Ruang lingkup transnasional;
 Bersifat bilateral.

Jadi istilah “kontrak” mempunyai ruang lingkup lebih sempit karena dibatasi
oleh bentuk (tertulis), kegiatan bisnis, teritorial dan sifat (bilateral). Adanya
batasan itu, membawa konsekwensi yuridis, misalnya sekalipun hubungan
hukum itu di bidang harta kekayaan tetapi jika tidak dibuat secara tertulis
maka tidak dapat disebut kontrak, juga jika terjadi perjanjian leasing dengan
obyek kendaraan bermotor atau rumah yang diadakan di Indonesia dan yang
dilakukan oleh subyek hukum Indonesia, maka tidak dapat disebut sebagai
kontrak, melainkan perjanjian. Batasan tersebut terlampau luas sehingga
mempersempit area kontrak. Sebab itu, kategori teritorial atau ruang lingkup
yang bersifat internasional perlu ditambah teritorial dalam negeri juga. Jadi
kontrak dapat dipergunakan untuk hubungan atau transaksi yang bersifat
internasional ataupun nasional.

Menurut Sudikno Mertokusumo (1990: 6-7), perjanjian (kontrak) adalah


perbuatan hukum antara dua orang atau lebih yang mengikatkan diri
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan
menurut Abdulkadir Muhammad, Perjanjian (1989: 78), kontrak adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disusun unsur-unsur pengertian


kontrak, sebagai berikut :
 Perbuatan hukum;
 Berbentuk tertulis;
 Dua orang/pihak atau lebih;
 Saling mengikatkan diri;
 Kata sepakat;
 Melaksanakan suatu hal (harta kekayaan);
 Akibat hukum;
 Alat bukti.
2. Fungsi Dan Tujuan Kontrak.
Kontrak merupakan sarana untuk menuangkan dan merealisasi maksud para
pihak pada waktu mengadakan hubungan hukum di bidang harta kekayaan.
Hubungan hukum mana dapat diwujudkan melalui dokumen, baik dalam
bentuk tulisan atau rekaman dan sebagainya. Ditinjau dari substansinya,
salah satu isi kontrak mengatur tentang hak dan kewajiban (tanggung jawab)
para pihak, dan ketentuanketentuan yang mengatur perihal tersebut
mempunyai konsekwensi yurisdis. Sebab itu, kepastian hukum atas kontrak
senantiasa menjadi tujuan bagi mereka.

kontrak berfungsi sebagai alat bukti telah terjadi kontrak. Lebih daripada itu,
dengan kontrak itu dapat dibuktikan salah satu pihak telah memenuhi
kewajibannya. Misal dalam kontrak sewamenyewa rumah dimana pihak
yang menyewakan menyerahkan sebuah rumah kepada penyewa.

Sebagaimana diketahui bahwa kontrak eksistensinya dimaksudkan untuk


memberikan perlindungan secara seimbang dan adil kepada mereka yang
membuat kontrak. Hal tersdebut sesuai dengan pendapat Peter Mahmud
Marzuki (2005: 1) bahwa fungsi kontrak dalam bisnis untuk mengamankan
transaksi. Maka dari itu, dalam merumuskan kontrak harus sangat teliti dan
hati-hati, jangan sampai kontrak yang telah dirumuskan dikemudian hari
menim-bulkan masalah, maka kemampuan merumuskan ketentuan-ketentuan
dalam kontrak menjadi sangat dominan. Sehingga apabila terjadi sengketa
hukum di pengadilan, maka ketentuan-ketentuan hukum yang dituangkan di
dalam kontrak yang dipergunakan dasar oleh hakim untuk memutus dan
mengadili sengketa tersebut. Dengan kata lain kontrak berfungsi sebagai
sumber hukum. Menurut P.S. Atiyah, kontrak memiliki 3 (tiga) tujuan, yakni:
a. Janji yang telah diberikan harus dilaksanakan dan memberikan
perlindungan terhadap suatu harapan yang pantas;
b. Agar tidak terjadi suatu penambahan kekayaan yang tidak halal;
c. Agar dihindarinya suatu kerugian (Johannes Ibrahim, 2004: 32).

Tujuan kontrak meliputi kepastian hukum, memberikan kemanfaatan dan


keadilan karena tidak dapat dilepaskan kontrak merupakan perwujudan
hukum, khususnya bagi mereka yang terikat pada kontrak.

3. Asas-asas Fundamental Kontrak.


Ketentuan-ketentuan tentang kontrak di dalam Burgerlijk Wetboek
(KUHPerdata) menganut sistem terbuka (open sistem), artinya memberikan
kebebasan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yakni pihak-pihak yang
mengadakan kontrak untuk mengatur secara sendiri kontraknya, sekaligus
dapat mengadakan improvisasi kontrak dengan menyesuaikan perkembangan
dinamika dalam kegiatan di bidang ekonomi dan perdagangan serta bisnis.
Bahkan pihak-pihak dapat menyampingkan sebagian ketentuan-ketentuan
atau seluruh ketentuan yang terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek. Sistem
terbuka sebagaimana dianut oleh Burgerlijk Wetboek sekalipun umurnya
sudah lebih satu abad, namun sistem tersebut masih relevan untuk
dipergunakan dalam hukum kontrak, sebab sistem tersebut akan selalu dapat
mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
a. Asas Konsensualisme.
Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti sepakat.
Artinya suatu kontrak telah terjadi atau lahir pada detik tercapainya kata
sepakat dari pihak-pihak. Mengenai “sepakat” dalam kontrak dimaksudkan
adanya kata sepakat pihak-pihak mengenai hal-hal pokok, misalnya dalam
kontrak jual beli sepakat tentang barang dan harga barang; dalam kontrak
sewa-menyewa sepakat tentang harga sewa dan barang yang disewa, dan
sebagainya.
b. Asas Kekuatan Mengikat.
Asas kekuatan mengikat berkaitan dengan akibat hukum suatu kontrak.
Sedang akibat hukum kontrak pada dasarnya terjadi karena adanya hubungan
hukum perdata (bisnis), yakni dalam bentuk hak (hak) dan kewajiban
(kewajiban) daripada pihak-pihak .
Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek, menyebutkan: “semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Berdasarkan ketentuan ini dapat dipandang sebagai suatu
syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat), dimana suatu
kontrak yang dibuat secara sah (sesuai dengan Pasal 1320 Burgerlijk
Wetboek) mengikat pihak-pihak sebagaimana undang-undang dan kontrak
hanya mengikat atau berlaku bagi pihak-pihak dalam kontrak. Dengan
demikian kontrak tersebut tidak mengikat kepada pihak ketiga, kecuali
diperjanjikan atau ditentukan oleh suatu aturan hukum.
c. Asas Kebebasan Berkontrak.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek yang meng-andung asas
kebebasan berkontrak merupakan perwujudan “optional law” artinya pihak-
pihak yang mengadakan kontrak mempunyai kebebasan untuk memilih,
yakni menyebutkan sendiri ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang
mereka ingin sendiri sepakati di dalam suatu kontrak dan dapat
menyampingkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Buku III
Burgerlijke Wetboek tersebut. Dengan demikian, jika orang mempunyai
kebebasan memilih untuk membuat kontrak jenis apapun dan apapun isinya,
maka berdasarkan asas kebebasan berkontrak itu juga tidak ada halangan
atau larangan untuk membuat kontrak yang mengandung syarat yang isinya
membatasi atau menghapuskan tanggung jawab salah satu pihak berkontrak
(eksonerasi/eksemsi).

4. Syarat-syarat Kontrak.
Suatu kontrak agar sah dan berlaku sebagai undang-undang harus memenuhi
syarat-syarat. Pasal 1320 BW menyebutkan: “untuk sahnya kontrak
diperlukan empat syarat : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b.
Kecakapan untuk membuat kontrak; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab
yang halal. Ketentuan tentang syarat sahnya kontrak sebagaimana tersebut
dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, dibedakan menjadi dua, yaitu syarat
subyektif (butir a dan b), dimana syarat tersebut berkaitan dengan subyek-
subyek yang membuat kontrak, yakni tentang kesepakatan dan kecakapan
untuk membuat kontrak. Dan syarat obyektif (butir c dan/atau d), karena
berkaitan dengan obyek suatu kontrak.

Perbedaan syarat dalam membuat kontrak ini penting untuk diketahui, karena
jika suatu kontrak tidak dipenuhi oleh masing-masing syarat akan berakibat
hukum yang berbeda pula. Dalam hal syarat subyektif (butir a dan/atau b),
baik tentang kesepakatan dan/atau kecakapan tersebut tidak dipenuhi di
dalam membuat suatu kontrak, maka kontrak dapat dimintakan pembatalan.
Kata “dapat” mengandung makna boleh meminta dibatalkan kontrak yang
bersangkutan atau jika yang tidak memenuhi syarat subyektif berdiam diri,
berarti pihak yang tidak memenuhi syarat subyektif tersebut tidak minta
pembatalan kontrak maka kontrak dianggap sah berlaku sebagai undang-
undang dan mengikat pihak-pihak yang membuatnya. Dalam hal syarat
obyektif tidak terpenuhi (butir c dan/atau d) akibat hukumnya kontrak batal
demi hukum. Artinya sejak semula dianggap tidak pernah lahir suatu
kontrak. Dengan demikian tujuan pihakpihak mengadakan kontrak telah
gagal, sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar untuk saling
menuntut secara hukum perdata di pengadilan. Hal ini dalam bahasa Inggris
disebut null and void

Pasal 1329 Burgerlijk Wetboek menyebutkan: “setiap orang adalah cakap


untuk membuat kontrak, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak
cakap”. Berarti setiap orang pada prinsipnya dapat mengadakan kontrak,
kecuali jika orang itu tidak cakap. Ketidak cakap seseorang ditentukan oleh
Pasal 1330 Burgerlijk Wetboek juncto Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana orang-
orang tidak cakap untuk membuat kontrak : a. Orang-orang yang belum
dewasa; b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; c. Mereka yang
karena undang-undang atau penetapan hakim dinyata-kan tidak mempunyai
kecakapan bertindak.

5. Subyek dalam Berkontrak.


Subyek dalam berkontrak adalah pihak-pihak yang mengadakan atau
membuat serta terikat pada kontrak (asas kepribadian). Namun jika kita
berbicara ketentuanketentuan tersebut di atas berarti ada tiga golongan yang
tersangkut dalam berkontrak, yakni: a. Pihak-pihak yang mengadakan
kontrak itu sendiri; b. Para ahli waris mereka dan mereka yang memperoleh
hak dari padanya baik berdasarkan alas hak umum maupun alas hak khusus;
c. Pihak ketiga

6. Tahapan dalam Kontrak


Menurut van Dunne, bahwa kontrak diadakan atau dibuat melalui 3 (tiga)
tahap (Sudikno Mertokusumo, 1, 1990: 7), yakni : a. tahap pra kontraktual;
b. tahap kontraktual; dan c. tahap post kontraktual.
 Tahap pra kontraktual merupakan perbuatan pen-dahuluan dalam
hubungan hukum di bidang harta kekayaan (bisnis) melaku-kan
perbuatan penawaran (offerte, aanbod) dan penerimaan (acceptance).
Pada tahap ini pihak-pihak yang mengadakan kontrak melakukan
bargaining untuk dapat dicapainya kesepakatan hal-hal yang relevan
atau pokok dengan kontrak. Pada tahapan ini, memang untuk kontrak
kategori tertentu dan nilai ekonomisnya relatif kecil, perbuatan
pendahuluan kontrak tidak memerlu-kan waktu yang panjang dan
berpikir yang mendalam. Namun untuk kontrak, misalnya kontrak
konstruksi (pemborongan bangunan) yang mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi dan pihak yang memborongkan adalah
pemerintah, maka tahap pra kontraktual memerlukan waktu.
 Tahap Kontraktual. Apabila tahap pra kontraktual telah dilalui atau
terjadi, maka terjadi-lah kata sepakat atau persesuaian kehendak yang
menimbulkan kontraktual yang melahirkan hubungan hukum dan
sekaligus menimbulkan perikatan, yang mana terjadi keterikatan
pihak-pihak dalam berkontrak. Tahap kontraktual sebagai perwujudan
tercapainya kata sepakat, dimana bentuk kontrak itu bisa tidak tertulis
dan tertulis. Untuk suatu kontrak yang tertulis dapat berbentuk akte
dibawah tangan atau akte otentik, maka untuk tercapainya kata
sepakat kontrak yang dilakukan secara tidak tertulis cukup ditandai
dengan “ucapan” akseptasi/penerimaan dari masing-masing pihak.
 Pada tahap post kontraktual adalah tahap pelaksanaan kontrak, yakni
merupakan tahapan kontrak dimana masing-masing pihak memenuhi
kewajiban perdatanya atau memenuhi prestasinya.

BAB IV PRESTASI DAN TIDAK TERPENUHINYA PRESTASI


A. WUJUD PRESTASI DALAM KONTRAK
Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang satu.
Sedangkan kontra prestasi adalah pemenuhan kewajiban oleh pihak yang
lain dalam suatu kontrak.

Berkaitan dengan hubungan utang-piutang tersebut, pihak berutang atau


debitur, terdapat 2 (dua) unsur, yakni : 1. Schuld ialah utang (prestasi)
yang harus dipenuhi debitur; 2. Haftung ialah harta kekayaan pihak
berutang yang harus dipertanggungjawabkan untuk pelunasan utangnya.
Pemenuhan prestasi dalam suatu kontrak pada hakekatnya pemenuhan
perikatan. Pasal 1234 BW menyebutkan macam prestasi, yakni : 1.
memberikan/menyerahkan sesuatu; 2. untuk berbuat sesuatu; dan 3.
untuk tidak berbuat sesuatu.
 Pengertian memberikan atau menyerahkan sesuatu adalah
memberikan/menyerahkan kekuasaan nyata atas sesuatu
kebendaan pihak berutang kepada pihak berpiutang.
 Prestasi untuk berbuat sesuatu diartikan sebagai melakukan suatu
pekerjaan tertentu yang menghasilkan suatu hasil yang konkrit
sebagaimana yang telah ditentukan dalam kontrak.
 Prestasi untuk tidak berbuat sesuatu diartikan sebagai prestasi
yang berwujud untuk tidak melakukan suatu perbuatan tertentu
sebagaimana yang telah ditentukan di dalam kontrak.

B. TIDAK TERPENUHINYA PRESTASI


Dalam kontrak ada kemungkinan salah satu pihak yang membuat
kontrak tidak memenuhi prestasi, sehingga dapat mengakibatkan
kontrak yang telah dibuat dan dilaksanakan menjadi berakhir.
Ketidak mungkinan memenuhi prestasi dikarenakan 2 (dua) hal,
yakni :
1. Wanprestasi. Istilah “wanprestasi” berasal dari kepustakaan
Belanda, yang artinya prestasi buruk, maksudnya tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditentukan di dalam kontrak. Wanprestasi
dapat disebut alpa, lalai, ingkar janji atau cidera janji, yang
merupakan suatu kesalahan pihak berutang, baik disengaja atau
tidak disengaja.
Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang
berutang dapat dibedakan di dalam 4 (empat) hal (Subekti, 1987;
hal 45), yakni : 1. tidak melakukan prestasi sama sekali; 2.
melakukan prestasi tetapi buruk/jelek; 3. melaksanakan prestasi
tetapi terlambat; 4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.
Adapun tujuan somasi pihak berpiutang adalah untuk menetapkan
jangka waktu bagi pihak berutang untuk melakukan prestasinya
dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian. Dan wanprestasi
baru timbul jika jangka waktu yang layak dan patut yang
ditentukan dalam sommasi telah lampau.
Apabila dalam suatu kontrak pihak berutang telah dinyatakan atau
terjadi wanprestasi, maka pada umumnya sanksi atau hukuman
sebagai akibat wanprestasi, sebagai berikut : a. Membayar ganti
rugi; b. Pembatalan atau pemecahan perjanjian; c. Peralihan
resiko; d. Membayar biaya perkara.
2. Overmacht (Keadaan Memaksa)
Keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya
prestasi oleh pihak berutang karena terjadi suatu peristiwa bukan
karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau
tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat kontrak
(Abdulkadir Muhammad, 1982: 27). Keadaan memaksa dapat
terjadi karena kebakaran (dari konsleting listrik), bencana alam
seperti badai, banjir atau gempa dan sebagainya atau karena
perang.

BAB V PEMBATASAN KONTRAK


A. Kebebasan Berkontrak vs Keseimbangan
itikad baik dalam hukum Romawi mengacu kepada 3 (tiga) bentuk perilaku
para pihak dalam kontrak (Ridwan Khairandy, 2004: 132) :  Para pihak
harus memegang teguh janji atau perkatannya;  Para pihak tidak boleh
mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah
satu pihak;  Para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai
orang terhormat dan jujur walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas
diperjanjikan.
Dalam hukum kontrak, itikad baik mempunyai 3 (tiga) fungsi (Ridwan
Khairandy, 2004: 216) , yakni :
a. Semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik;
b. Fungsi menambah, yakni Hakim dapat menambah isi perjanjian dan
menambah kata-kata peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perjanjian tersebut.
c. Fungsi membatasi dan meniadakan, yakni hakim dapat
mengesampingkan isi perjanjian atau peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan perjanjian jika terjadi perubahan keadaan.
Perubahan keadaan mana mengakibatkan pelaksanaan apa yang terdapat
dalam suatu perjanjian atau peraturan perundang-undangan menjadi
tidak adil lagi.

BAB VI PEMBEDAAN MACAM-MACAM KONTRAK


A. KONTRAK OBLIGATOIR DAN KEBENDAAN
1. Kontrak Obligatoir Kontrak obligatoir adalah kontrak atau perjanjian yang
diadakan antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk memenuhi
kewajiban yang telah disepakati. Artinya pihak-pihak telah sepakat atas suatu
kontrak yang diadakan, menimbulkan akibat bahwa masing-masing pihak
baru dalam taraf dibebani pemenuhan kewajiban.
2. Kontrak kebendaan adalah suatu kontrak atau perjanjian yang berakibat
terjadinya peralihan atau perpindahan hak kebendaan (milik) atas obyek
kontrak dari pihak satu kepada pihak yang lain. Ada yang berpendapat bahwa
kontrak kebendaan bertujuan untuk menimbulkan, mengubah atau
menghapuskan hak kebendaan (J. Satrio, 1992: 48).
B. KONTRAK UNILATERAL DAN BILATERAL
1. Kontrak Unilateral
Kontrak unilateral atau sepihak adalah suatu kontrak dimana hanya
memberikan kewajiban kepada satu pihak dan memberiikan hak kepada
pihak lainnya. Kontrak unilateral ini juga disebut perjanjian sepihak, yang
mana pihak yang sudah memberiikan sesuatu (memenuhi kewajiban) tidak
akan mendapat sesuatu dari pihak lain, sedangkan pihak lain yang telah
menerima sesuatu (hak) tidak dibebani kewajiban atau prestasi apapun.
Adapun contoh kontrak unilateral :  Hibah atau pemberian;  Kontrak
pinjam pakai cuma-cuma.

2. Kontrak Bilateral Kontrak bilateral atau timbal-balik adalah suatu kontrak


atau perjanjian yang menimbulkan kewajiban (dan karenanya hak juga)
kepada pihak-pihak yang mengadakan kontrak secara timbal-balik. Dalam
suatu kontrak macam ini yang dipergunakan sebagai ukuran adalah
kewajiban (kewajiban) yang membebani pihak-pihak yang berkontrak.

C. KONTRAK DENGAN CUMA-CUMA DAN ATAS BEBAN


1. Kontrak Dengan Cuma-Cuma
Definisi atau pengertian Kontrak dengan cuma-cuma tersebut pada Pasal
1314 ayat (2) Burgerlijk Wetboek, yang menyebutkan: “suatu perjanjian
dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri”.
1. Kontrak Atas Beban
Definisi atau pengertian Kontrak atas beban tersebut pada Pasal 1314 ayat
(3) Burgerlijk Wetboek, menyebutkan: “suatu perjanjian atas beban
adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.”

D. KONTRAK NOMINAAT DAN INNOMINAAT


1. Kontrak Nominaat Istilah kontrak nominaat lazimnya disebut kontrak
bernama atau perjanjian bernama/khusus adalah suatu kontrak atau
perjanjian yang mem-punyai nama sendiri. Maksudnya kontrak-kontrak atau
perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk
undang-undang (Burgerlijk Wetboek), berdasarkan tipe yang paling banyak
terjadi sehari-hari.
2. Kontrak Innominaat Istilah kontrak innominaat lazim disebut kontrak atau
perjanjian tidak bernama (umum) adalah kontrak-kontrak atau perjanjian-
perjanjian yang tidak diatur dalam BW, tetapi tumbuh dalam berkembang
dalam masyarakat.

E. KONTRAK KONSENSUIL DAN RIIL


1. Kontrak Konsensuil Yang dimaksud dengan kontrak konsensuil adalah
suatu kontrak atau perjanjian dimana adanya kata sepakat (persetujuan
kehendak) dari para pihak saja sudah cukup untuk timbul atau lahirnya suatu
kontrak. Jelasnya menurut kontrak macam ini, suatu kontrak lahir pada detik
tercapainya kata sepakat atau consensus mengenai hal (hal) pokok dari
kontrak yang bersangkutan. Jadi kata sepakat itulah yang menyebabkan
lahirnya kontrak, dan dari kata sepakat itu pula kontrak itu yang secara
yuridis mengakibatkan pihak-pihak yang membuat kontrak terikat terhadap
kontrak untuk mentaati dan melaksanakan isi kontrak.
2. Kontrak riil. Yang dimaksud dengan kontrak atau perjanjian riil adalah
suatu kontrak atau perjanjian yang baru lahir atau terjadi apabila obyek
kontrak yang menjadi pokok kontrak telah diserahkan. Dalam kontrak
macam ini lahir atau terjadinya kontrak bukan ditentu-kan semata-mata oleh
kata sepakat mengenai hal pokok dari kontrak tersebut, melainkan yang
utama ditentukan penyerahan secara pisik barang obyek kontrak dari pihak
yang satu kepada pihak yang lain. Oleh sebab itu, sekalipun kata sepakat itu
telah dicapai oleh pihak-pihak yang berkontrak, namun jika obyek kontrak
tidak diserahkan, maka kontrak itu belum terjadi atau lahir. Sebagai contoh
kontrak utang-piutang.

F. MACAM KONTRAK YANG LAIN


1. Kontrak Liberatoir
Kotrak Liberatoir adalah suatu kontrak atau perjanjian dimana tidak
membebani kewajiban (kewajiban) pihak-pihak, melainkan membebaskan
pihak-pihak dari kewajiban yang ada. Kontrak atau perjanjian macam ini
dapat dikemukakan sebagai ke-balikan dari kontrak obligatoir, yakni
membebaskan kewajiban, maka kontrak ini dipandang sebagai pembebasan
suatu utang. Dan pembebasan suatu kewajiban itu sebagai keistimewaan
dalam kontrak tersebut.
2. Kontrak Pembuktian
Kontrak Pembuktian adalah suatu kontrak atau perjanjian, dimana ketentuan
di dalam kontrak menyebutkan pembuktian atau alat bukti yang berlaku
untuk pihak-pihak yang berkontrak.
3. Kontrak Untung-untungan Ketentuan Pasal 1774 Burgerlijk Wetboek,
menyebutkan: “suatu kontrak untung-untungan adalah suatu perbuatan yang
hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi
sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu”.
4. Kontrak Formal Dalam hukum kontrak sebagaimana ditentukan dalam
Burgerlijk Wetboek, tidak ditentukan secara tegas dan bersifat imperatif
bahwa apa-bila membuat kontrak harus dalam bentuk tertentu (bentuk
tertulis). Dengan kata lain, bahwa pada umumnya kontrak berbentuk lisan
(tidak tertulis). Sebab itu, jika suatu kontrak yang dibuat oleh pihakpihak itu
dalam bentuk tertulis, justru sebagai perkecualian. Dengan demikian yang
dimaksud kontrak formal adalah suatu kontrak atau perjanjian dimana
kontrak yang dibuat oleh pihak-pihak tersebut karena undang-undang atau
peraturan lain harus dibuat dalam bentuk tertulis.
5. Kontrak Publik Kontrak Publik (Publiekrechtelijk) adalah suatu kontrak
atau perjanjian, dimana sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum
publik, karena salah satu pihaknya penguasa (pemerintah).

BAB VII KONTRAK BAKU


A. ISTILAH DAN PENGERTIAN KONTRAK BAKU
Menurut Hondius, kontrak (perjanjian) baku adalah konsep janji-janji tertulis
disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam
sejumlah tidak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.
Sutan Remy Sjahdeini (1993: 66), mengemukakan bahwa kontrak baku
adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan
untuk pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai
peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.

BAB VIII KONTRAK ELEKTRONIK


A. ISTILAH DAN PENGERTIAN KONTRAK ELEKTRONIK
Istilah kontrak elektronik baru muncul beberapa tahun terakhir ada yang
menyebut Web Contract, Transaksi Dagang Elektronik dan E-Commerce.
Tetapi sebelumnya muncul dalam berbagai bentuk, seperti Teknologi
Electronic Data Interchange (EDI) dan Electronic Funds Transfer (EFT), dan
penggunaan credit cards, automated teller machines juga merupakan bentuk
dari e-commerce. Dan permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang
keperdataan karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui
sistem elektronik (elektronik commerce, yang selanjutnya disebut e-
commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa E-Commerce adalah kegiatan-
kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur
(manufactures), service providers, dan pedagang perantara (intermediaries)
dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (komputer networks),
yakni internet (Sutan Remy Sjahdeini, 2001: 333).

Anda mungkin juga menyukai