Anda di halaman 1dari 7

Nama : Hanna Marchyanti Andrianto

NIM : 04011282328065
Kelas : Gamma 2023
Kelompok Tutorial : G2
Topik : Laporan Belajar Mandiri Tutorial Skenario B Blok 7

GEJALA BUANG AIR KECIL SEDIKIT (OLIGURIA)

A. Definisi Oliguria
Terjadinya pengurangan dalam produksi urin disebut dengan oliguria. Menurut
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO), oliguria didefinisikan sebagai
volume urine < 0,5 ml/kg/jam selama 6 jam. Oliguria sering ditemukan pada pasien yang
mengalami kondisi kritis. Hal ini bisa menjadi respons alami terhadap kekurangan volume
cairan atau hipovolemia (mencerminkan fungsi normal glomerulus dan tubulus) atau dapat
disebabkan oleh penurunan fungsi filtrasi glomerulus atau kerusakan pada tubulus, yang
merupakan indikasi dari cedera ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI). Oliguria juga
dapat diakibatkan oleh hiperuremia di mana terdapat jumlah urea melebihi batas normal di
dalam darah. Kadar normal urea dalam darah adalah sekitar 5-20 mg/dL atau 1,8-7,1 mmol
urea per liter. Urea yang merupakan hasil metabolisme protein mengakibatkan peningkatan
reabsorbsi air sehingga air yang dikeluarkan melalui urin juga berkurang.

B. Mekanisme Buang Air Kecil Sedikit


Diet protein tinggi yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang dapat memiliki
dampak yang signifikan pada keseimbangan nitrogen dalam tubuh. Saat protein dikonsumsi,
ia akan dipecah menjadi asam amino, yang kemudian akan dipecah lebih lanjut dalam proses
katabolisme. Proses katabolisme asam amino melibatkan beberapa tahapan, di antaranya
adalah transaminasi, deaminasi oksidatif, dan siklus urea.
Dalam transaminasi, nitrogen dipindahkan dan glutamat terbentuk. Pada deaminasi
oksidatif, amonia dihasilkan untuk mengeluarkan nitrogen dari tubuh. Tahap terakhir, siklus
urea, mengubah nitrogen menjadi urea, yang kemudian diekskresikan melalui ginjal.
Peningkatan asupan protein dapat menyebabkan peningkatan kadar urea dalam darah,
yang dikenal sebagai hiperuremia. Kadar normal urea dalam darah berkisar antara 5-20
mg/dL atau 1,8-7,1 mmol urea/liter. Peningkatan kadar urea dapat mempengaruhi osmolalitas
plasma, yaitu konsentrasi partikel zat terlarut dalam plasma.
Peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang sekresi Anti Diuretic Hormone
(ADH) oleh kelenjar hipofisis posterior. Osmoreseptor di hipotalamus mendeteksi pergeseran
osmolalitas plasma dan merespons dengan mengirim sinyal ke hipofisis posterior untuk
meningkatkan produksi ADH.
ADH berfungsi meningkatkan reabsorbsi air di tubulus kontortus distalis dan tubulus
kolektivus ginjal. Hal ini memungkinkan penyerapan kembali cairan dari urin, sehingga
volume urin yang diproduksi berkurang. Akibatnya, urin yang dihasilkan menjadi lebih pekat
dan volume buang air kecil (BAK) berkurang.

C. Faktor yang Memengaruhi Buang Air Kecil Sedikit


1. Diet dan asupan makanan
2. Respon keinginan awal untuk berkemih
3. Gaya hidup
4. Stress psikologis
5. Tingkat aktivitas
6. Kondisi penyakit tertentu
7. Kehamilan

D. Hormon yang Memengaruhi Buang Air Kecil Sedikit


1. Anti Diuretic Hormone (ADH) atau Vasopresin
Anti Diuretic Hormone (ADH) atau dikenal juga dengan vasopresin adalah
hormon yang diproduksi oleh hipofisis posterior. ADH bekerja di tubulus kontortus
distalis dan tubulus kolektivus ginjal untuk meningkatkan reabsorpsi air sehingga urin
yang dihasilkan lebih terkonsentrasi. Ketika kadar ADH tinggi, ginjal akan menyerap
lebih banyak air kembali ke dalam sirkulasi darah, menghasilkan urin yang lebih
terkonsentrasi dan memperkecil volume urin yang dihasilkan. Sebaliknya, kadar ADH
yang rendah akan menyebabkan ginjal mengekskresikan lebih banyak air ke dalam
urin, menghasilkan urin yang lebih encer dan meningkatkan volume urin.
2. Aldosteron
Aldosteron adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal.
Aldosteron bekerja di tubulus distal dan tubulus kolektif ginjal untuk meningkatkan
reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium. Ketika kadar aldosteron tinggi, ginjal akan
menyerap lebih banyak natrium kembali ke dalam sirkulasi darah. Hal ini
menghasilkan urin yang lebih terkonsentrasi dan mengurangi volume urin yang
dihasilkan. Sebaliknya, kadar aldosteron yang rendah akan menyebabkan lebih sedikit
natrium yang diserap kembali dan lebih banyak kalium yang diekskresikan dalam
urin, yang dapat menghasilkan urin yang lebih encer dan meningkatkan volume urin.
Namun, hormon aldosteron memiliki dampak yang kurang signifikan terhadap
osmolalitas plasma.

E. Pengaruh Pengurangan Asupan Protein terhadap Volume Urin


Pengurangan asupan protein dapat menurunkan laju metabolisme protein dalam
tubuh. Akibatnya, urea yang merupakan produk metabolisme dihasilkan dan disekresikan ke
darah dalam jumlah yang lebih sedikit. Berkurangnya urea dalam darah ini memiliki dampak
pada penurunan osmolalitas intravaskuler. Perubahan ini akan dideteksi oleh osmoreseptor di
hipotalamus dan terjadi penurunan sekresi hormon ADH oleh hipofisis posterior. Akibatnya,
permeabilitas tubulus kontortus distalis dan tubulus kolektivus menjadi berkurang dan
reabsorbsi air juga mengalami penurunan. Cairan ekstravaskuler menjadi lebih banyak dan
akibatnya, urin yang diproduksi menjadi lebih encer dan dan volumenya meningkat.

F. Jawaban Analisis Masalah Terkait


1.K. Apa pengaruh durasi perubahan pola makan Kim Soo Hyun terhadap gejala buang air
kecil yang sedikit?
Jawab: Diet tinggi protein yang dilakukan selama satu bulan secara konsisten dapat
mengurangi volume urin yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan oleh osmolalitas plasma
yang mengalami pergeseran dalam waktu yang lama akibat tingginya urea dalam
darah sehingga dapat mengganggu keseimbangan cairan dalam tubuh. Akibatnya,
volume urin yang dihasilkan menjadi sedikit karena terjadi peningkatan sekresi ADH.

2.A. Apa saja faktor yang dapat menyebabkan BAK sedikit?


Jawab : Diet dan asupan makanan, respon keinginan awal untuk berkemih, gaya
hidup. Stress psikologis, tingkat aktivitas, kondisi penyakit tertentu, dan kehamilan.

2.B. Apa pengaruh pola makan Kim Soo Hyun terhadap gejala BAK sedikit?
Jawab: Pada diet tinggi protein, asupan protein berlebihan meningkatkan produksi
urea. Kadar urea yang tinggi meningkatkan osmolalitas plasma, merangsang
pelepasan hormon ADH. Hormon ini meningkatkan reabsorpsi air oleh ginjal,
membuat urin lebih pekat dan volumenya sedikit.
2.C. Pada tn. Kim soo hyun, apa yang menyebabkan BAK sedikit?
Jawab: BAK sedikit disebabkan oleh diet protein tinggi yang dilakukan selama satu
bulan terakhir.
2.E. Apa saja hormon yang memengaruhi BAK sedikit?
Jawab: ADH atau vasopresin dan aldosteron

2.G. Apa pengaruh metabolisme protein terhadap BAK sedikit?


Jawab: Metabolisme protein, khususnya katabolisme asam amino akan memecah
gugus amino menjadi urea. Dalam kadar yang tinggi dalam darah, urea dapat
meningkatkan osmolalitas plasma, merangsang pelepasan hormon ADH,
meningkatkan reabsorpsi air, dan menyebabkan urin menjadi pekat serta terjadi
penurunan volume urin.

3.D. Apa pengaruh pengurangan asupan protein dengan volume urin?


Jawab: Mengurangi asupan protein dapat mengurangi produksi urea di tubuh yang
berdampak pada osmolalitas darah dapat mengurangi pelepasan hormon ADH,
sehingga ginjal mereabsorpsi lebih sedikit air. Hal ini membuat urin lebih encer dan
meningkatkan volumenya.

G. Sintesis
Peningkatan asupan protein dapat meningkatkan metabolisme protein dalam tubuh
dan berperan penting pada gejala oliguria. Menurut Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO), oliguria didefinisikan sebagai volume urine < 0,5 ml/kg/jam selama 6
jam. Oliguria dapat diakibatkan oleh hiperuremia di mana terdapat jumlah urea melebihi
batas normal di dalam darah. Urea yang merupakan hasil metabolisme protein mengakibatkan
peningkatan reabsorbsi air sehingga air yang dikeluarkan melalui urin juga berkurang dan
terjadi gejala buang air kecil sedikit.
Diet protein tinggi dalam jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan kadar urea
dalam darah secara konsisten. Protein akan dipecah menjadi asam amino dan selanjutnya
asam amino akan dikatabolisme. Asam amino secara umum dipecah berdasarkan strukturnya,
yakni struktur rangka karbon dan gugus amino. Struktur rangka karbon asam amino akan
dikatabolisme menjadi zat-zat antara untuk biosintesis karbohidrat dan lipid. Sedangkan
gugus amino (nitrogen) pada asam amino akan dikatabolisme melalui 3 tahapan yakni
transaminasi, deaminasi oksidatif, dan siklus urea. Pada transaminasi, terjadi perpindahan
nitrogen dan terbentuk glutamat. Selanjutnya, pada deaminasi oksidatif akan terjadi
pembentukan amonia untuk mengeluarkan nitrogen dari tubuh. Terakhir pada siklus urea,
terbentuk urea sebagai produk akhir utama katabolisme nitrogen pada manusia. Sehingga,
peningkatan intake protein dapat berakibat pada peningkatan kadar urea dalam darah dan
mengganggu keseimbangan nitrogen tubuh.
Tingginya kadar urea dalam darah dapat mengakibatkan pergeseran osmolalitas
plasma. Peningkatan kadar urea dalam darah dikenal dengan istilah hiperuremia. Hiperuremia
didefinisikan dengan jumlah urea yang melebihi batas normal di dalam darah. Kadar normal
urea dalam darah adalah sekitar 5-20 mg/dL atau 1,8-7,1 mmol urea/liter. Tingginya kadar
urea yang terdapat dalam darah akan meningkatkan partikel zat terlarut dalam plasma
(peningkatan osmolalitas plasma).
Peningkatan osmolalitas plasma akan meningkatkan sekresi Anti Diuretic Hormone
(ADH). Pergeseran osmolalitas plasma akan dideteksi oleh osmoreseptor yang ada di
hipothalamus. Hipothalamus selanjutnya akan mengirimkan sinyal ke kelenjar hipofisis
posterior sebagai respon dari stimulus berupa osmolalitas plasma yang meningkat. Akibatnya,
hipofisis posterior mensekresikan sejumlah besar ADH untuk menjaga osmolalitas plasma
tetap normal.
ADH meningkatkan reabsorbsi air pada proses urinasi. Kerja hormon ADH adalah
meningkatkan permeabilitas tubulus kontortus distalis dan tubulus kolektivus. Meningkatnya
permeabilitas tubulus kontortus distalis dan tubulus kolektivus akan memungkinkan
terjadinya peningkatan perpindahan cairan secara osmosis. Cairan yang berpindah dari
ekstravaskuler (tubulus kontortus distalis dan tubulus kolektivus) menuju intravaskuler atau
disebut dengan reabsorbsi air akan meningkat.
Peningkatan reabsorbsi air oleh ADH mengakibatkan volume urin yang diproduksi
menurun. Air yang menjadi pelarut urea akan direabsorbsi dalam jumlah yang lebih besar,
mengakibatkan urin yang dihasilkan menjadi lebih terkonsentrasi oleh urea (pekat) dan
terjadi penurunan volume urin yang diproduksi. Penuruan volume urin ini menyebabkan
buang air kecil (BAK) yang lebih sedikit.
Terdapat faktor lain yang memengaruhi volume urin yang diproduksi, seperti hormon
aldosteron. Hormon aldosteron merangsang penyerapan kembali natrium dari urin ke dalam
darah dan secara bersamaan meningkatkan pengeluaran kalium dalam urin. Dengan
meningkatkan penyerapan natrium, aldosteron memengaruhi reabsorbsi air dan akhirnya
menghasilkan produksi urin yang terkonsentrasi dengan volume yang sedikit. Namun,
aldosteron memberi efek yang kurang signifikan pada osmolalitas plasma. Selain hormon
aldosteron, juga terdapat faktor seperti diet dan asupan makanan, respon keinginan awal
untuk berkemih, gaya hidup, stress psikologis, tingkat aktivitas, kondisi penyakit tertentu,
serta kehamilan.
Peningkatan asupan protein akan berakibat pada penurunan volume urin yang
diproduksi. Terapi berupa pengurangan asupan protein, dapat meningkatkan volume urin
yang diproduksi. Hal ini disebabkan oleh kadar urea dalam darah yang merupakan produk
akhir katabolisme asam amino juga mengalami penurunan. Osmolalitas plasma akan kembali
turun, diikuti pelepasan hormon ADH yang menurun, reabsorbsi air oleh tubulus kontortus
distalis dan tubulus kolektivus yang juga menurun, hingga akhirnya membuat urin yang
diproduksi lebih encer dan volumenya meningkat. Hal ini akan meningkatkan kembali jumlah
buang air kecil (BAK).
DAFTAR PUSTAKA

Dine, A. (2012). Renal Physiology Anatomy and Physiology. USA: Addison Weisley. 78-90
Edmund, l. (2010). Kidney Function Tests. Clinical Chemistry and Molecular Diagnosis. 4th
ed. USA: Elsevier. 797-831
Hall E, J. (2016). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 13th ed. US: Saunders
Johnson, E. C., et al. (2016). Hormonal and Thirst Modulated Maintenance of Fluid Balance
in Young Women with Different Levels of Habitual Fluid
Consumption. Nutrients, 8(5), 302. https://doi.org/10.3390/nu8050302
Narasaki, Y. et al. (2021). Dietary Protein Intake, Kidney Function, and Survival in a
Nationally Representative Cohort. The American journal of clinical nutrition, 114(1),
303–313. https://doi.org/10.1093/ajcn/nqab011
Ostermann, M., Shaw, A.D. & Joannidis, M. (2023). Management of oliguria. Intensive Care
Med, 2023(49), 103–106. https://doi.org/10.1007/s00134-022-06909-5
Rodwell, V.W., Bender, D.A., Manurung, L.R. (2020). Biokimia Harper Edisi 31. Jakarta:
EGC
Sherwood, L. (2016). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC
Verdiansah. (2016). Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Patologi Klinik. Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bandung. CKD-237;43(2):148-50
Walker, H.K., et al. (1990). BUN and Creatinine. Clinical Methods: The History, Physical,
and Laboratory Examinations. 3rd Edition. 874-878

Anda mungkin juga menyukai