Anda di halaman 1dari 24

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan Eksekusi Putusan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana

Eksekusi merupakan proses tahap akhir penyelesaian perkara dalam sistem

peradilan pidana secara terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang dianut

KUHAP. Menurut Van Bemmelen, Hukum Acara Pidana mempunyai 3 fungsi,

mencari dan menemukan kebenaran pemberian putusan oleh Hakim serta pelaksanaan

putusan Hakim. Fungsi mencari dan menemukan kebenaran dilakukan melalui

persidangan di Pengadilan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana yang

berlaku. Berdasarkan hasil persidangan tersebut kemudian hakim memberi putusan

yang selanjutnya putusan mana dilaksanakan oleh Jaksa.

Proses penyelesaian perkara pidana dianggap dan dinilai berhasil dalam

penegakkan hukum apabila eksekusi terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan

tetap tersebut dilaksanakan oleh Jaksa dengan benar sesuai ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

Pelaksanaan putusan pengadilan harus dibedakan dengan pelaksanaan

penetapan pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi ini di dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau disebut

juga sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya

disingkat KUHAP) diatur dalam Bab XIX dari Pasal 270 sampai dengan Pasal 276.
39

Pelaksanaan putusan pengadilan (vonnis) yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap menurut Pasal 270 KUHAP diserahkan kepada Jaksa, sedangkan pelaksanaan

penetapan hakim (beschikking) menurut Pasal 14 KUHAP diserahkan kepada Jaksa

yang bertugas sebagai Penuntut Umum dalam sidang perkara pidana yang

bersangkutan.34

Putusan Pengadilan dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Suatu putusan

pengadilan dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap apabila :

1. Terdakwa maupun penuntut umum telah menerima putusan yang bersangkutan di

tingkat pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau dipemeriksaan tingkat

banding di Pengadilan Tinggi atau ditingkat kasasi di Mahkamah Agung.

2. Tenggang waktu untuk mengajukan Verzet (terhadap Verstek), Banding atau

Kasasi telah lewat tanpa dipergunakan oleh yang berhak.

3. Permohonan Verzet (terhadap Verstek) telah diajukan kemudian pemohon tidak

hadir kembali pada saat hari sidang yang telah ditetapkan.

4. Permohonan Banding atau Kasasi telah diajukan kemudian pemohon mencabut

kembali permohonannya.

5. Terdapat permohonan Grasi yang diajukan tanpa disertai permohonan

penangguhan eksekusi.35

34
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid II, (Semarang : UNDIP, 2008), hlm. 128,
35
Bambang Dwi Baskoro, Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana, (Semarang : UNDIP),
hlm. 115.
40

Lembaga yang berwenang melakukan pelaksanaan terhadap putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap adalah Jaksa, sebagaimana

dinyatakan dalam ketentuan Pasal 270 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :

“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum


tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat
putusan kepadanya.”

Sesuai dengan fungsi dan wewenang jaksa sebagaimana ditentukan undang-

undang. Dalam pasal 1 butir 6 buruf a, ditetapkan antara lain, jaksa adalah pejabat

yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekutan hukum yang tetap. Dengan diperolehnya putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka berakhirlah fungsi penuntutan

dan berakhir pulahlah fungsi penuntut umum.36

Ruang lingkup Pelaksanaan Putusan Pengadilan, meliputi :37

1. Pelaksanaan Putusan Pengadilan mengenai Pidana Pokok, yaitu :

- Pidana mati

- Pidana badan (Penjara/kurungan)

- Pidana denda

2. Pelaksanaan Putusan Pengadilan mengenai Pidana Tambahan, yaitu :

- Pencabutan hak-hak tertentu

- Perampasan barang-barang tertentu

36
Hamrat Hamid dan Harum Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang
Penuntutan dan Eksekusi (Dalam Bentuk Tanya Jawab), (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hlm. 312.
37
Yugo Susandi, et al, “Wewenang Jaksa Sebagai Pelaksana Putusan Eksekutorial Putusan
Pengadilan Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap”, Vol. 4, September 2020, hlm. 254.
41

- Pengumuman putusan hakim

- Pidana tambahan lainnya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan khusus, antara lain berupa uang pengganti yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dasar hukum Pelaksanaan Putusan Pengadilan, meliputi :38

1. Dasar hukum Pelaksanaan Putusan Pengadilan, antara lain :

a. Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP

b. Pasal 270 sampai dengan pasal 276 KUHAP.Ketentuan-ketentuan dalam

KUHAP bersifat umum, sehingga dalam pelaksanaannya masih harus

disesuaikan dengan ketentuan acara khusus dari berbagai perundang-

undangan lain. (lex spesialis derogate legi generali)

c. Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan RI.

d. Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman : Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam perkara pidana

dilakukan oleh Jaksa.

e. Undang-undang Nomor 2/PNPS/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan

Umum dan Militer.

38
Ibid.
42

f. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-036/A/JA/09/2011,

tanggal 21 September 2011, Pasal 48 tentang SOP Pidum.

Dalam penjelasannya menyatakan bahwa dalam melaksanakan putusan

pengadilan dan penetapan hakim, Kejaksaan memperhatikan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa

mengenyampingkan ketegasan dan bertindak.

2. Dasar hukum pelaksanaan tiap jenis putusan pengadilan sebagai berikut :

2.1 Ketentuan pelaksanaan putusan Pengadilan pidan badan

a. Pasal 12 s/d pasal 14 KUHP tentang pidana penjara

b. Pasal 14a s/d 14f KUHP tentang pidana bersyarat.

c. Pasal 18 s/d pasal 23 KUHP tentang pidana kurungan.

d. Pasal 271, pasal 272, pasal 276 KUHAP.

e. Undang-undang Nomor 2/PNPS/Tahun 1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan

Peradilan Umum dan Militer.

f. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana diubah

dengan UU Nomor 5 Tahun 2010.

g. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-235/ E/3/1994

tanggal 4 Maret 1994 perihal eksekusi putusan pengadilan.

h. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor : B-128/E/3/1996

tanggal 8 Maret 1996 perihal tugas dan tanggung jawab Jaksa selaku

eksekutor putusan Pengadilan.


43

i. Instruksi Jaksa Agung Rl Nomor: INS-006/JA/4/1995 tanggal 24 April

1995 tentang petunjuk pelaksanaan penanganan perkara pidana umum.

j. Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-518/A/JA/11/2001 tanggal 1

Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor :

KEP-132/11/1944 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

2.2 Ketentuan yang mengatur pelaksanaan putusan pengadilan mengenai denda

dan biaya perkara, antara lain :

a. Pasal 30, pasal 31 ayat (3) KUHP tentang Denda.

b. Pasal 273 ayat (1) dan (2) KUHAP tentang Denda.

c. Pasal 222, pasal 275 KUHAP tentang Biaya Perkara.

d. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana

diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2010.

e. Surat Edaran Jaksa AgungRI Nomor: SE-008/JA/7/1981 tanggal 23 Juli

1981 tentang Ongkos Perkara.

f. Surat Edaran Jaksa Agung

g. RI Nomor: SE-O09/JA/9/1983 tanggal 12 September 1983 tentang

Tata Cara Penanganan Uang Denda dan Biara Perkara.

h. Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-006/JA/4/1995 tanggal 24

April 1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Perkara Tindak

Pidana Umum.

i. Keputusan Jaksa Agung Rl Nomor: KEP-518/A/JA/11/2001 tanggal

1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Rl


44

Nomor: KEP-132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak

Pidana.

2.3 Ketentuan yang mengatur tetang barang bukti

a. Pasal 46 ayat (2) KUHAP

b. Pasal 194 KUHAP dan pasal 273 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP.

c. Surat Edaran Jaksa Agung Rl Nomor : SE-011/JA/10/1983 tanggal 26

Oktober 1983 tentang Penyelesaian Barang Rampasan Khusus Senjata

Api, Mesin dan Bahan Peledak.

d. Keputusan Jaksa Agung RINomor: KEP-089/JA/08/1988 tanggal 5

Agustus 1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan.

e. Surat Edaran Jaksa Agung Rl Nomor: SE-003/B/B.5/08/1988

tanggal 6 Agustus 1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan.

f. Surat Edaran Jaksa Agung Rl Nomor: SE-001/B/B 5/02/1993 tanggal

2 Februari 1993 tentang Perubahan atas Surat Edaran Nomor :

SE-05/B/B.5/8/1988 tanggal 6 Agustus 1988.

g. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-

235/E/3/1994 tanggal 4 Maret 1994 perihal Eksekusi Putusan Pengadilan.

2.4 Ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan mengenai

pembayaran uang pengganti, antara lain :

a. Pasal 34 sub c Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


45

b. Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang RI Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

c. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 4 Tahun 1983 tanggal 7

Juli 1983 tentang Eksekusi Terhadap Hukuman Tambahan Pembayaran

Uang Pengganti.

d. Surat Edaran Jaksa Agung Rl Nomor : SE-004/JA/8/1983 tanggal 5

Agustus 1988 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang

Pengganti.

Jenis dan Karakteristik pelaksanaan putusan pengadilan, meliputi :39

1. Jenis-jenis putusan pengadilan di antaranya :

a. Putusan pengadilan yang berupa pemidanaan

Putusan pengadilan pemidanaan adalah putusan yang dikeluarkan berdasarkan

pemeriksaan di persidangan pengadilan, majelis hakim berpendapat bahwa

terdakwa terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah telah melakukan

tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan

pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 193 ayat (1) KUHAP.

b. Putusan pengadilan yang berupa pembebasan dari segala dakwaan

(vrijspraak)

Putusan pengadilan berupa pembebasan adalah putusan yang dikeluarkan

berdasarkan pemeriksaan di persidangan pengadilan, majelis hakim

39
Ibid, hlm. 257.
46

berpendapat bahwa terdakwa tidak terbukti secara syah dan meyakinkan

bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka

pengadilan membebaskan dari segala dakwaan sebagaimana ditentukan dalam

asal 191 ayat (1) KUHAP.

c. Putusan pengadilan yang berupa lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag

van rechts vervolging)

Putusan pengadilan berupa lepas dari segala tuntutan adalah putusan yang

dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan di persidangan pengadilan, majelis

hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara syah dan meyakinkan

bersalah telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya tetapi

perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana maka pengadilan

menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan pidana sebagaimana

ditentukan dalam pasal 191 ayat (2) KUHAP atau terdakwa tidak dapat

dipertanggungjawabkan karena adanya alasan pemaaf maupun alasan

pembenar.

2. Karakteristik putusan pengadilan :

a. Putusan Pengadilan yang Telah Berketuatan Hukum Tetap

Secara teori dan praktik suatu putusan pengadilan dapat dieksekusi apabila

putusan telah berkekuatan hukum tetap. Pengertian putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap adalah apabila terdakwa maupun penuntut umum

telah menerima putusan atau jika upaya hukum tidak digunakan oleh pihak

yang berhak sehingga masa tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum
47

terlewati atau upaya hukum telah diajukan oleh pihak berhak tetapi kemudian

upaya hukum yang telah diajukan kemudian dicabut atau putusan Mahkamah

Agung dalam pemeriksaan untuk kasasi.

Sesuai ketentuan pasal 270 KUHAP panitera pengadilan mengirimkan

salinan putusan pengadilan untuk dilaksanakan oleh Jaksa. KUHAP tidak

mengatur dalam jangka waktu berapa lama panitera mengirimkan salinan

putusan kepada Jaksa. Mahkamah Agung memberikan batas jangka waktu

pengiriman, ialah dalam surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 21 Tahun

1983 tanggal 8 Desember 1983, panitera diwajibkan mengirimkan salinan

putusan kepada Jaksa paling lambat 1 minggu untuk perkara APB dan paling

lambat 14 hari untuk perkara APS. Dalam hal putusan Mahkamah Agung

karena telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jaksa dapat mengeksekusi

cukup dengan petikan putusan, tanpa menunggu salinan keputusan.

b. Putusan Pengadilan Yang Belum Berkekuatan Hukum Tetap

Pada prinsipnya suatu putusan Pengadilan yang belum berkekuatan hukum

tetap, karena terdakwa dan ataupun Jaksa Penuntut Umum tidak menerima

putusan Eksekusi 14 Pengadilan dengan mengajukan upaya hukum, maka

putusan Pengadilan tersebut belum dapat dilaksanakan (dieksekusi) oleh Jaksa

(Pasal 270 KUHAP).


48

B. Kewenangan Eksekusi Putusan Menurut Undang-Undang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sebagai institusi terakhir dalam penegakan hukum, tidak lain adalah jajaran

peradilan, Lembaga peradilan, tercakup dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman.

Menurut pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan

Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang

berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari empat lingkungan peradilan dan Mahkamah

Konstitusi tersebut, yang menjadi titik sentral dalam artian selalu menarik perhatian

warga masyarakat luas, baik pihak pencari keadilan maupun para pakar, dan pecinta

keadilan, tidak lain di lingkungan peradilan umum.

Pelaksanaan putusan peradilan di lingkungan peradilan umum, yang

memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara pidana dan perdata masih sering

diwarnai berbagai kendala, serta diragukan, ada yang bertentangan dengan keadilan

dan supremasi hukum. Khusus dalam pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara

pidana, diatur dalam pasal 270 s/d 276 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana. Secara hukum, pelaksana putusan tersebut dilakukan oleh

penegak hukum, yakni jaksa yang berada di bawah naungan lembaga Kejaksaan

Republik Indonesia.

Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia pada saat ini ialah

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Menurut ketentuan dalam


49

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan, menyebutkan bahwa Kejaksaan

Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan

Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.40

Jaksa itu sendiri merupakan pejabat fungsional yang diberi kewenangan oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain

berdasarkan undang-undang. Peran yang demikian menuntut seorang jaksa tidak

hanya menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga disiplin hukum perdata dan tata

usaha negara. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum positif yang bersifat

umum (lex generalis) tetapi juga yang bersifat khusus (lex specialis).41

Ruang lingkup pelaksanaan putusan pengadilan meliputi:

1. Pelaksanaan putusan pengadilan mengenai pidana pokok (pidana mati, pidana

badan penjara/kurungan, serta pidana denda);

2. Pelaksanaan putusan pengadilan mengenai pidana tambahan, meliputi pencabutan

hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan

hakim, serta pidana tambahan lainnya yang diatur dalam ketentuan perundang-

undangan khusus, antara lain berupa uang pengganti yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo

40
Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif
Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 127,
41
Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, (Jakarta :
Pustaka Yustisia, 2010), hlm. 39.
50

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Aparatur penegak hukum memegang posisi strategis dan dominan dalam

penegakan hukum. Baik dalam tindakan preventif sampai dengan repretif sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penegak hukum merupakan

pengawal dan pelaksanaan terdepan dalam mengeksekusi putusan pengadilan.

Reformasi dibidang peradilan, khususnya untuk tindak pidana korupsi

didorong oleh perkembangan perkara korupsi di Indonesia yang semakin meluas dan

meningkat serta melibatkan seluruh unsur penyelenggara negara (eksekutif, legislatif

dan yudikatif). Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dan menjadi dasar

pemikiran lahirnya Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan perlunya dibentuk Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang

selanjutnya disebut undang-undang KPK. KPK itu sendiri adalah lembaga negara

yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh

kekuasaan manapun dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap

upaya pemberantasan korupsi.

Hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009,

membuktikan bahwa korupsi bukan sekedar tindak pidana yang biasa. Modus dan

pembuktiannya kompleks. Pelakunya pun adalah orang-orang yang menjadi aktor


51

kekuasaan (politis oligarkis) dan juga para pengusaha. KPK harus menjadi landasan

yang kuat secara subtantif maupun implementatif sehingga merupakan salah satu

institusi yang mampu mengemban misi penegak hukum. Dalam mengemban misi

tersebut, KPK mendapat tugas dan wewenang yang cukup luas dengan menganut

prinsip-prinsip : kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum,

dan proposionalitas.

KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaan terhadap

instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan

pelayanan publik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika mendasarkan pada

Peraturan KPK No. 01 Tahun 2015 memiliki kewenangan untuk melaksanakan

putusan pengadilan. Kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan diberikan

kepada Deputi Penindakan sebagaimana ditentukan pada Pasal 12 ayat (3) huruf d.

Mendasarkan pada ketentuan tersebut, fungsi pelaksanaan putusan pengadilan

dilakukan oleh deputi bidang penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi, lebih

spesifik kewenangan tersebut berada pada Direktorat Penuntutan, sebagaimana

ditentukan pada Pasal 15 ayat (2) Peraturan KPK No. 1 Tahun 2015. Meskipun

demikian, ketentuan ini tidak sinkron dengan kewenangan KPK yang dinyatakan

pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK yang memberikan


52

kewenangan penuntutan dan lainnya tanpa kewenangan melaksanakan putusan

pengadilan.42

Di dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi diatur tentang hukum acara yang dalam beberapa hal berbeda dengan

hukum acara umum. Dalam undang-undang dinyatakan bahwa pemeriksaan di sidang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang

berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini (Pasal 25). Perkara tindak

pidana korupsi diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 hari kerja terhitung sejak tanggal

perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 29). Mengenai

batasan waktu diatur dalam Pasal 30 hingga Pasal 32. Juga dapat dilihat ketentuan

dalam Undang-undang KPK, di dalam upaya penanggulangan korupsi, Komisi

Pemberantasan Korupsi didukung dengan ketentuan yang bersifat strategis antara lain

: perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik,

wewenang untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara

negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara.

Mengenai hukum acara dalam memproses perkara tindak pidana korupsi secara lebih

luas diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999.43

42
Akbar Muhammad Taufik, “Kewenangan Eksekusi Penuntut Umum Komisi
Pemberantasan Korupsi”, vol. 1, Juli 2019, hlm. 136.
43
Ibid, hlm. 129-130.
53

Khusus mengenai alat bukti, menurut undang-undang ini, alat bukti petunjuk

mengalami perluasan, yaitu di samping yang diperoleh dari keterangan saksi, surat,

dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi

yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik

atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik

(electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksmili,

dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu

sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun

yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,

foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.44

Kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan barulah dapat

dilaksanakan setelah undang-undang KPK direvisi menjadi Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002, tugas tersebut tertuang dalam Pasal 6 huruf f :

“Tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

C. Pertentangan Norma Dalam Pelaksanakan Putusan Perkara Tindak Pidana

Korupsi

Dalam negara hukum, wewenang pemerintah berasal dari peraturan

perundangan yang berlaku. Secara teoritik, kewenangan yang berasal dari peraturan
44
Ibid,
54

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan

mandat. Mengenai hal ini H. D van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan

sebagai berikut :45

1. Attributie : toekenning van een bestuur bevoigheid door een wetgever aan een

bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh

pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).

2. Delegatie : overdracht van een bevoigheid van het ene bestuursorgaan aan een

ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).

3. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door

een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintah mengizinkan kewenangannya

dijalankan oleh organ lain atas namanya).

Eksekusi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia masuk dalam tahap-

tahap penegakan hukum pidana, semua tahap tersebut meliputi: tahap formulasi,

tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap eksekusi yaitu tahap penegakan atau

pelaksanaan hukum pidana secara kongkrit oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana.

Berdasarkan undang-undang yang berlaku, Jaksa pada institusi Kejaksaan

Republik Indonesia diberi tugas dan wewenang sebagai pelaksana putusan

pengadilan, dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan

harus memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan

perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam


45
Ridwan, Hukum Administrasi, (Yogyakarta : UII Press, 2002), hlm. 72.
55

bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga

melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan

putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk

selanjutnya dijual lelang.

Pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum

tetap harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat, baik aparatur penegak hukumnya

yaitu jaksa maupun terpidana. Makna eksekusi yaitu pihak yang telah divonis mau

tidak mau menerima secara sukarela dan menaatinya, sehingga putusan tersebut dapat

dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.46

Pelaksanaan eksekusi dilakukan oleh jaksa sebagaimana telah diatur dalam

Pasal 270 KUHAP. Sebelum pelaksanaan eksekusi, panitera harus mengirimkan

salinan putusan kepada kejaksaan. Apabila salinan belum diterima oleh kejaksaan,

maka terpidana belum bisa di eksekusi.

Terdapat perbedaan dalam pelaksanaan putusan pengadilan terhadap terpidana

yang sebelumnya dilakukan penahanan dengan terpidana yang sebelumnya tidak

dilakukan penahanan. Apabila terpidana sebelumnya dilakukan penahanan, maka

pelaksanaan putusan pengadilan terhadap terpidana dilakukan dengan cara melakukan

penahanan lanjutan sesuai dengan berapa tahun pidana penjara yang dijatuhkan

dikurangi berapa lama terpidana tersebut sebelumnya dilakukan penahanan. Namun,

pelaksaan putusan pengadilan akan berbeda dan mendapatkan perlakuan yang lebih

46
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 14
56

spesifik apabila terpidana sebelumnya tidak dilakukan penahanan, pihak Kejaksaan

akan memanggil terpidana untuk hadir ke Kejaksaan terlebih dahulu.

Saat terpidana sudah berada di tangan Kejaksaan jaksa akan membuat Berita

Acara Pelaksanaan Putusan (BA8) dan selanjutnya terpidana dibawa ke Lembaga

Permasyarakatan dengan dilampirkan surat-surat sebagai berikut:

1. Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

2. Surat perintah pelaksanaan putusan (P-48);

3. Berita acara pelaksanaan putusan (BA-8); serta

4. Surat perintah penahanan beserta berita acara penahanan, apabila terpidana

dilakukan penahanan sebelumnya.

Sama hal di atas, kewenangan untuk melakukan penuntutan dan pelakasanaan

putusan pengadilan dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap

tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan Pasal 6 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penuntutan

dan pelaksanaan putusan pengadilan terhadap tindak pidana korupsi lebih diperluas

lagi dengan tugas supervisi pada Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap instansi

yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini didasarkan

pada tugas Komsis Pemberatansan Korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6

undang-undang Komsi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi

dalam melaksanakan wewenangnya untuk mengambil ahli penuntutan dan


57

melaksanakan putusan pengadilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang

dilakukan oleh pihak Kejaksaan, dengan alasan bahwa proses penanganan tindak

pidana korupsi berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabakan, penanganan tindak pidanan korupsi mengandung unsur

korupsi, hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif atau keadaan lain yang menurut

pertimbangan Kejaksaan penganganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan

secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kewenangan dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap yang melekat pada institusi Kejaksaan dan Komisi

Pemberantasan Korupsi terhadap tindak pidana korupsi menyisakan pertentangan

norma hukum.

Pertentangan norma antara kewenangan jaksa sebagai pelaksana putusan

dengan KPK sebagai pelaksana putusan dalam kasus tindak pidana korupsi, itu terjadi

pertentangan yang sangat jelas atau substantif, karena di dalam KUHAP (UU No. 8

Tahun 1981) ditambah juga dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang

Kejaksaan, tersurat secara jelas bahwa kewenangan jaksa adalah sebagai penuntut

umum dan juga sebagai pelaksana putusan.

Semua aturan undang-undang hukum materil yang dibentuk pemerintah dalam

prodak undang-undang, pasti akan mengacu hukum acara kepada induknya yaitu

hukum acara pidana (KUHAP). Dengan demikian, maka semua aturan tentang hukum

acaran pidana atau hukum formil, semua itu berdasarkan aturan-aturan yang ada
58

dalam KUHAP sebagai induk, kecuali diatur secara khusus dalam undang-undang

tersebut, kalau tidak diatur secara khusus atau secara spesifik, maka kembali kepada

KUHAP sebagai induknya. Dalam sejarah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

yang kemudian telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.

Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut terhadap KPK itu sangat

luas dan juga bertentangan dengan KUHAP sebagai induknya, tetapi syaratnya kalau

dalam undang-undang di luar hukum formil, secara spesifik yang berbeda dengan

KUHAP, maka tetap menggunakan undang-undang yang lex specialis atau undang-

undang yang bersifat khusus. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi

sumber kewenangan untuk KPK. Kewenangan-kewenangan tersebut juga diatur di

dalam KUHAP, maka terjadilah pertentangan.

Pertentangannya yaitu, tentang KPK sebagai penyidik tindak pidana korupsi,

KPK juga bisa menjadi penuntut umum, dan sebagai pelaksana putusan pengadilan.

Maka dari itu, KPK disebut sebagai lembaga superbody / lembaga ekslusif. Karena

lembaga itu dibentuk bertentangan dengan KUHAP, tapi sudah dibentuk dalam suatu

prodak undang-undang, sehingga dia bersifat lex specialis (sudah berlaku khusus)

yang mengesampingkan ketentuan umum yang ada dalam KUHAP. Di dalam

undang-undang KPK, tidak diatur secara jelas kewenangan KPK sebagai pelaksana

putusan, dengan demikian harus kembali kepada KUHAP sebagai induk. Maka

dengan sendirinya kalau dalam undang-undang KPK tidak memiliki kewenangan

sebagai pelaksana putusan / eksekutor. Berarti jaksa berwenang disitu, namun dalam

pelaksanaanya. KPK sebagai pelaksana putusan, bukan merupakan prodak yang


59

sifatnya undang-undang, tapi sifatnya seperti aturan pelaksana, yang jika diuji

materil, maka undang-undang lebih tinggi dari pada aturan pelaksana itu (SOP).

Dengan demikian munculah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, dalam UU itu

diberi kewenangan untuk menjembatani kelemahan dari Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002.

Mengacu juga pada sumber kewenangannya, yang mana dalam teori

wewenang terdapat 3 (tiga) sumber kewenangan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Dalam konteks demikian, kewenangan eksekusi oleh Kejaksaan dan Komisi

Pemberantasan Korupsi harus ditelaah dari tiga sumber kewenangan tersebut.

Berdasarkan kewenangan atributif, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan

Korupsi untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

berdasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk kewenangan delegasi,

Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan organ pemerintah yang bersifat

independen, mandiri, dan bebas dari pengaruh organ pemerintah lainnya, dan hanya

berkedudukan di Ibukota Negara Indonesia, berarti tidak terdapat kewenangan

delegasi yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sedangkan delegasi

selama ini dilakukan di Kejaksaan, yang mana Jaksa Agung mendelegasikan

kewenangannya kepada Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, dan bermuara pada

Jaksa Fungsional. Yang terakhir mengenai kewenangan mandat, substansinya adalah

perintah untuk melaksanakan. Dengan demikian mandat didasarkan pada suatu

perintah dari jabatan yang lebih tinggi kepada jabatan yang lebih rendah. Surat

perintah pelaksanaan putusan pengadilan yang diberikan oleh pimpinan Komisi


60

Pemberantasan Korupsi kepada Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, mendasarkan

pada kewenangan yang bersifat mandat, surat perintah tersebut demikian

menghendaki adanya kewenangan melaksanakan putusan pengadilan dimiliki oleh

pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tapi tidak memiliki kewenangan

melaksanakan putusan pengadilan sekalipun diatur dalam undang-undang Komisi

Pemberantasan Korupsi, karena dominus litis kewenangan tersebut berada pada Jaksa

pada institusi Kejaksaan.

Maka dari itu, bukanlah kewenangan dari pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi melainkan kewenangan dari Jaksa Agung pada Kejaksaan. Juga penyebutan

istilah Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan istilah yang salah. Hal

ini karena berdasarkan KUHAP, jaksa pada institusi kejaksaan memiliki wewenang

untuk melaksanakan putusan pengadilan, sedangkan terminologi penuntutan

dimaksudkan untuk penuntut umum. Maka dari itu, praktik hukum yang selama ini

terjadi, dimana penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan

putusan pengadilan dengan mengatasnamakan dirinya sebagai jaksa pada Komisi

Pemberantasan Korupsi adalah suatu kesalahan praktik hukum yang fatal. Selain itu

pula, surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh

pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah surat perintah yang tidak sah dan

diluar aturan hukum yang ada.47

47
Taufik, Op. Cit., hlm. 137.
61

Pelaksanaan putusan pengadilan seharusnya dilakukan oleh jaksa yang

memang bernaung dan tunduk pada undang-undang Kejaksaan. Pasal 39 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi menyebutkan,

“penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai Komisi

Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan

kejaksaan selama menjadi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.”

Mengacu pada pasal tersebut, lebih jelas lagi bahwa pegawai Komisi

Pemberantasan Korupsi yang asalnya dari Polri maupun Kejaksaan hanya terikat pada

kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidaklah kewenangan Polri dan

Kejaksaan melekat padanya. Oleh sebab itulah sudah seharusnya dilakukan perbaikan

pada sistem hukum penyelesaian tindak pidana korupsi.48

48
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai