Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

Sebagai Tugas Dokter Internship RSU Royal Prima

DISUSUN OLEH :
dr. Indriana Mukhtar

PENDAMPING :
Dr. dr. Ali Napiah Nasution, MKT, MKM, Sp. KKLP

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSU ROYAL PRIMA
MEDAN SUMATERA UTARA
2023 - 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tentang Appendisitis
Akut. Terima Kasih kepada Dr. dr. Ali Napiah Nasution, MKT, MKM, Sp.
KKLP, yang telah membimbing penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini juga disusun dengan maksimal atas bantuan berbagai pihak.
Oleh sebab itu, penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan laporan kasus ini.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat
memperbaiki laporan kasus ini.

Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus tentang Appendisitis ini
dapat memberikan manfaat maupun menambah pengetahuan bagi pembaca.

Medan , 9 April 2024

dr. Indriana Mukhtar


BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan suatu peradangan pada apendiks yang disebabkan


oleh infeksi bakteri. Penyebab tersering yang dapat meyebabkan obstruksi
apendiks adalah feses yang stagnan atau feses yang keras (fekalit) selain itu
disertai dengan kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan
berserat seperti buah- buahan maupun sayuran. Apendisitis sering terjadi pada
anak-anak maupun dewasa, insiden terbanyak terdapat pada laki-laki usia 10-14
tahun berkisar 27,6% kasus per 10.000, sedangkan pada perempuan 15-19 tahun
sekitar 20,5% kasus per 10.000 dan insiden terendah pada bayi.1
Apendisitis merupakan kegawatdaruratan yang paling sering ditemukan dalam
ilmu bedah. Sebanyak 7% penduduk di negara maju terdiagnosis dan di Amerika
Serikat sebanyak 200.000 penduduk menjalani apendektomi dalam setahun.
Keluhan utama yang dirasakan penderita ketika datang ke pelayanan kesehatan
adalah nyeri perut pada kanan bawah. Tidak jarang pasien datang dengan keluhan
nyeri seluruh perut dan akhirnya terdiagnosis dengan apendisitis perforata, yaitu
apendisitis stadium akhir dimana didapatkan nanah pada rongga perut. Dari data
yang didapatkan sebanyak 80% pasien terdiagnosis apendisitis akut saat operasi,
sedangkan sekitar 15-20% insideni apendisitis perforasi ditemukan saat operasi. 2

Angka kematian yang tiambul akibat apendisitis akut sekitar 0,2-0,8%


sedangkan angka kematian akibat perforasi sekitar 10-15%. (5) Perlunya
penegakan diagnosis dan penanganan lebih awal apendisitis agar mengurangi
tingat morbiditas dan mortilitas.
BAB II

LAPORAN KASUS

Nama : AF
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 16 tahun
No.RM : 298189
Tanggal Lahir : 16 April 2007

I.ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyeri hebat pada perut bagian kanan bawah sejak 2 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSU Royal Prima Medan pada tanggal 31 Maret 2024
pada pukul 19.25 WIB dengan keluhan nyeri perut bawah sejak 3 hari SMRS dan
semakin memberat beberapa jam sebelum masuk IGD. Nyeri awalnya dirasakan di
perut kanan bawah, kemudian berpindah ke perut kiri bawah, lalu ke ulu hati. Nyeri
dirasakan pasien seperti tertusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri
dirasakan pasien memberat apabila pasien bangun dari tidur, dan pada saat pasien
batuk dan sedikit membaik pada saat pasien beristirahat. Nyeri yang dirasakan
pasien dengan VAS 7 . Pasien mengeluhkan adanya demam 2 hari SMRS namun
sekarang sudah tidak demam. Pasien mengeluhkan mual dan muntah dengan
frekuensi 2 x, masing-masing sebanyak sekitar 50 cc. Tidak ada keluhan terkait
BAB dan BAK hingga saat ini. Pasien sudah minum obat Omeprazole dan
Paracetamol, namun keluhan tidak membaik.
Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan serupa sebelumnya belum pernah dirasakan pasien. Pasien memiliki.


Tidak ada riwayat alergi pada pasien, baik alergi obat, maupun makanan tertentu.
Riwayat hipertensi dan diabetes disangkal. Penggunaan obat dalam jangka panjang
disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat diabetes dan hipertensi pada keluarga disangkal. Riwayat keganasan


pada keluarga disangkal.

Riwayat Personal Sosial

Pasien tidak merokok, riwayat konsumsi alkohol disangkal. Pola makan pasien
sering konsumsi makanan instant, pedas dan asam. Pasien jarang berolahraga.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Lemah

Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6

Tanda Vital

- Tekanan Darah : 109/71 mmHg


- Pernafasan : 21 x/menit
- Nadi : 117 x/menit
- Suhu : 37.2 oC
- SpO2 : 99% room air

Status Generalis

- Kepala : Normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil bulat isokor
- Hidung : Septum deviasi (-), hipertrofi konka (-), sekret (-)
- Telinga : Normotia, sekret (-), serumen (-/-), liang telinga lapang
- Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
- Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
- Thorax
a. Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung tidak melebar, kesan
normal
Auskultasi : S1-S2 tunggal regular, murmur (-),
gallop (-)
b. Paru-Paru Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris
Palpasi : Stem fremitus simetris
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-
- Abdomen Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) 8 x/menit
Palpasi : Defans muskular lokal, nyeri tekan
Mc Burney Point (+), nyeri lepas
tekan McBurney Point (+), Rovsing
Sign (+), Psoas sign (+), Obturator
sign (+), hepar dan limpa sulit
dievaluasi

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil (1 November 2023) Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,7 12.5-14.5 g/dl
Hematokrit 38% 40-52 %
Eritrosit 4.59 juta/ul 4.3 – 6.0 juta/μL
Leukosit 12.20 5000-10.000 /μL
Trombosit 321 150.000-440.000 /μL
MCV 81.2 80-100 fL
MCH 27.4 26-34 pg
MCHC 34.1 32-36 g/dL
HITUNG JENIS
Basofil 0.6 0-1
Eusinofil 13.1 1-3
Neutrofil 58.2 50-70
Limfosit 24.2 20-40
Monosit 3.9 2-8
KOAGULASI
Protombin Time (PT)
- Kontrol 15.7 detik
- Pasien 12.4 10,2 – 12,2 detik
APTT
- Kontrol 30.5 detik
- Pasien 36.2 29,0-40,2 detik
FUNGSI HATI
SGOT 14 <40
SGPT 17 <41
KIMIA KLINIK
Ureum 18.2 16.6 – 48.5 mg/dL
Kreatinin 0.68 0,67 – 1,17mg/dL
Natrium 143.5 135 – 147 mmol/L
Kalium 3.37 3,5 – 5,0 mmol/L
Klorida 107 95 – 105 mmol/L
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 102 70-140

Alvarado Score
Temuan Poin Pasien
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1
Demam 1
Leukositosis ≥10 x 109 /L 2
Shift to the left of neutrophils 1
Total 10 7
Interpretasi : score 7-8 : have a high likehood of appendicitis

IV. RESUME
Pasien An. AF 16 tahun datang ke IGD RSU Royal Prima Medan dengan
keluhan nyeri perut bawah sejak 2 hari SMRS. Nyeri awalnya dirasakan di perut
kanan bawah, kemudian berpindah ke perut kiri bawah, lalu ke ulu hati. Nyeri
dirasakan pasien seperti tertusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri
dirasakan pasien memberat apabila pasien bangun dari tidur, dan pada saat pasien
batuk dan sedikit membaik pada saat pasien beristirahat. Nyeri yang dirasakan
pasien dengan VAS 7 . Pasien mengeluhkan adanya demam 2 hari SMRS namun
sekarang sudah tidak demam. Pasien mengeluhkan mual dan muntah dengan
frekuensi 2 x, masing-masing sebanyak sekitar 50 cc. Tidak ada keluhan terkait
BAB dan BAK hingga saat ini. Pasien sudah minum obat Omeprazole dan
Paracetamol, namun keluhan tidak membaik.

V. DIAGNOSIS
Apendisitis Akut

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Infeksi Saluran Kemih
2. Kolesistitis
3. Kolelithiasis

VII. PLANNING DIAGNOSIS


1. USG Abdomen

VIII. TATALAKSANA
1. Non-medikamentosa : Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit
pasien dan rencana tatalaksana. - Inform Concern tindakan
pembedahan Appendictomy
2. Medikamentosa
a. Pre-operasi
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ketorolac 30 mg / 12j iv
- Inj. Ceftriaxone 1gr / 12j iv
b. Post-operasi
- IVFD RL 20gtt/i + Paracetamol drip 1gr iv
- Inj. Asam Tranexamat 500 mg /12j iv
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8j iv
- Inj. Ceftriaxone 1gr / 12j iv
- Inj. Ranitidin 50 mg / 8j iv
- Inj Ondansentron 8 mg / 12j
c. Tindakan
- Appendectomy

IX. Prognosis

Ad vitam : bonam

Ad functionam : bonam

X. FOLLOW UP

31/03/2024
S Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah hebat , dialami 3 hari
SMR, os mengira awalnya hanya sakit lambung dan sudah meminum
omeprazole tetapi keluhan tidak membaik bahkan semakin nyeri hilang
timbul.
O - Sens: Composmentis, GCS E4V5M6
- Tanda Vital
- TD: 116/76 mmHg
- HR: 92 x/m
- RR : 20 x/m
- T: 36.9 oC
- SpO2: 98% room air
A Kolik Abdomen ec Susp Apendisitis Akut

P - IVFD RL 20gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr /12j iv
- Inj. Ranitidin 50 mg/ 12j iv
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8j iv
- Inj. Ondansentron 8 mg / 8j iv
- Monitoring KU dan TTV/ 8j
- Cek lab DL, Ur/Cr, SGOT/SGPT, CT/BT
- Rencana USG cito untuk penegakan diagnosis apendisitis akut

01/04/2024
S Pasien tidak demam, nyeri perut masih ada meskipun sudah berkurang, dan os
masih mengalami mual dan muntah . gangguan rasa tidak nyaman . usg (+)
Mulai puasa pukul 04.00
O Sens: Composmentis, GCS E4V5M6
Tanda Vital
- TD: 112/69 mmHg
- HR: 87 x/m
- RR : 20 x/m
- T: 37.5 oC
- SpO2: 99% room air
A Appendisitis Akut (USG terkonfirmasi ukuran > 0,79 cm)

P - Appendictomy cito dijadwalkan pukul 12.00 dengan DPJP dr.


Khaidirman, Sp.B dan anastesi oleh dr. Esther, Sp. An
- Lanjutkan pemberian terapi post OP :
• IVFD RL 20gtt/i + Paracetamol drip 1gr iv
• Inj. Ceftriaxone 1gr/ 1j iv
• Inj. Asam Tranexamat 500 mg/ 12j iv
• Inj. Ketorolac 1gr /8j iv
• Inj. Ranitidin 50 mg/ 8j iv
• Inj Ondansentron 8 mg / 8j iv
• Cek peristaltik usus 4-6 jam setelah operasi, hasil (+), flatus (+)
• Makan dan minum perlahan dengan diet lunak
02/04/2024

S Nyeri pada bekas operasi, sulit untuk bergerak, mual (+), muntah (-), demam
(-), lemas (+)

O Sens: Composmentis, GCS E4V5M6


Tanda Vital
- TD: 110/70 mmHg
- HR: 82 x/m
- RR : 20 x/m
- T: 36.5 oC
- SpO2: 98% room air
A Apendisitis Akut Post Apendictomy Day 1

P - IVFD RL 20gtt/i + Paracetamol drip 1 gr iv


- Inj. Ceftriaxone 1gr/ 12j iv
- Inj. Asam Tranexamat 500 mg/ 12j iv
- Inj. Ketorolac 1gr /8j iv
- Inj. Ranitidin 50 mg/ 8j iv
- Inj Ondansentron 8 mg / 8j iv

03/04/2024

S Rasa tidak nyaman pada perut, mual (+), muntah (-), lemas (+)
O Sens: Composmentis, GCS E4V5M6
Tanda Vital
- TD: 118/76 mmHg
- HR: 78 x/m
- RR : 20 x/m
- T: 36.6 oC
- SpO2: 98% room air
A Apendisitis Akut Post Apendictomy Day 2

P - IVFD RL 20gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr/ 12j iv
- Inj. Ketorolac 1gr /8j iv
- Inj. Ranitidin 50 mg/ 8j iv
- Inj Ondansentron 8 mg / 8j iv
04/04/2024
S Nyeri hilang timbul pada luka bekas operasi, mual (-), muntah (-), lemas (-),
demam (-)

O Sens: Composmentis, GCS E4V5M6


Tanda Vital
- TD: 121/76 mmHg
- HR: 74 x/m
- RR : 20 x/m
- T: 36.7 oC
- SpO2: 99% room air
A Apendisitis Akut Post Apendictomy Day 3

P - IVFD RL 20gtt/i
- Inj. Ketorolac 1gr / 8j IV
- Inj. Ceftriaxone 1gr / 12j IV
- Inj. Ranitidine 1 Amp / 8j IV
- Inj. Ondansentron 1 Amp/ 8j IV

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi

Rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm; namun, dapat bervariasi


antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 dan 8 mm, sedangkan
diameter luminal antara 1 dan 3 mm.

Gambar 1. Anatomi Abdomen

Apendiks mendapat vaskularisasi dari appendicular branch dari ileocolic artery.


Arteri ini berasal dari belakang ileum terminal, memasuki mesoapendiks dekat dengan
basis apendiks. Drainase limfatik dari apendiks mengalir ke kelenjar getah bening
(KGB) yang berada sepanjang ileocolic artery. Inervasi apendiks berasal dari elemen
simpatis oleh pleksus mesenterik superior (T10-L1) dan aferen dari elemen
parasimpatis oleh nervus vagus.

Gambar 2. Anatomi Appendix


Secara histologis, apendiks dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu lapisan luar serosa,
merupakan ekstensi dari peritoneum; lapisan muskularis, yang tidak well defined dan
bisa tidak ada pada lokasi tertentu; dan lapisan submukosa dan mukosa. Agregrat
limfoid terjadi pada lapisan submukosa dan dapat menyebar hingga muskularis
mukosa. Saluran limfatik terlihat jelas pada daerah agregat limfoid ini. Mukosanya
mirip dengan kolon, kecuali densitas dari folikel limfoidnya. Kriptusnya berukuran
dan berbentuk ireguler, kontras dengan kriptus kolon yang tampak lebih seragam.
Kompleks neuroendokrin terbentuk oleh sel ganglion, sel Schwann, serat neural, dan
sel neurosekretorik yang terletak tepat di bawah kriptus.

II. Fisiologi
Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial
tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ imunologik
yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, khususnya
imunoglobulin A. Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya
penyakit manusia, telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara apendektomi dan
timbulnya kolitis ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi.
Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial
tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ imunologik
yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, khususnya
imunoglobulin A. Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya
penyakit manusia, telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara apendektomi dan
timbulnya kolitis ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi. Namun,
asosiasi ini hanya ditemukan pada pasien yang diterapi apendektomi untuk
apendisitis sebelum usia 20.
Asosiasi antara Crohn’s disease dan apendektomi lebih kurang jelas. Walaupun
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa apendektomi meningkatkan resiko
timbulnya Crohn’s disease, penelitian lebih baru dengan teliti menilai waktu
apendektomi berhubungan dengan onset Crohn’s disease membuktikan tidak adanya
hubungan. Sebuah meta-analisis baru menunjukkan resiko signifikan Crohn’s
disease tidak lama setelah apendisitis. Resiko ini selanjutnya memudar,
menunjukkan adanya hubungan diagnostik (salah mengidentifikasi Crohn’s disease
sebagai apendisitis) daripada hubungan fisiologis antara apendektomi dan Crohn’s
disease.
Apendiks dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk rekolonisasi
kolon dengan bakteri sehat. Satu penelitian retrospektif membuktikan bahwa
apendektomi sebelumnya mungkin memiliki hubungan terbalik dengan infeksi
Clostridium difficile berulang. Namun, pada penelitian retrospektif lain, apendektomi
sebelumnya tidak mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile. Peran apendiks
dalam merekolonisasi kolon tetap dicari kejelasannya.

III. Epidemiologi
Resiko seumur hidup timbulnya apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan
6,7% untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga.
Jumlah apendektomi untuk apendisitis telah menurun sejak 1950an pada sebagian
besar negara. Di Amerika, mencapai jumlah insiden terendah menjadi 15 per 10.000
penduduk pada tahun 1990an. Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi apendisitis
non-perforasi. Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahwa peningkatan
penggunaan pencitraan diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih tinggi dari
apendisitis ringan yang mungkin tidak terdeteksi.

IV. Etiologi dan Patogenesis


Etiologi dan patogenesis dari apendisitis tidak sepenuhnya dimengerti.
Obstruksi lumen karena fecaliths atau hipertrofi dari jaringan limfoid disarankan
sebagai faktor etiologik utama dari apendisitis akut. Frekuensi obstruksi meningkat
seiring dengan keparahan proses imflamatorik. Fecaliths dan calculi ditemukan pada
40% kasus apendisitis akut simpel, pada 65% kasus apendisitis gangrenosa tanpa
ruptur dan pada hampir 90% gangrenosa dengan ruptur.
Dahulu diyakini bahwa terdapat tahapan kejadian yang dapat diprediksi yang
pada akhirnya berujung ruptur apendiks. Obstruksi proksimal pada lumen apendiks
menyebaban closed-loop obstruction, dan sekresi normal yang terus- menerus oleh
mukosa apendiks menyebabkan distensi. Distensi apendiks menstimulasi ujung saraf
dari visceral afferent stretch fibers, menyebabkan nyeri tidak jelas, tumpul,
menyebar pada regio umbilikus atau bagian bawah epigastrium. Distensi akan
bertambah dengan sekresi mukosa terus-menerus dan multiplikasi cepat dari bakteri
yang tinggal di apendiks. Hal ini menyebabkan refleks mual dan muntah, dan nyeri
viseral bertambah. Seiring dengan bertambahnya tekanan pada organ, melebihi
tekanan vena. Kapiler dan vena teroklusi tetapi aliran arteri tetap berlanjut,
menyebabkan pembengkakan dan kongesti vaskular. Lalu proses inflamasi
mengikutsertakan serosa apendiks, selanjutnya peritoneum parietalis. Hal ini
menggambarkan karakteristik gejala perpindahan nyeri ke kuadran kanan bawah.
Mukosa apendiks rentan terhadap gangguan perfusi, sehingga integritasnya
terganggu di awal proses, memberi peluang invasi bakteri. Daerah dengan perfusi
yang paling sedikit yang paling terpengaruh: infark elipsoidal berkembang pada
batas antimesenterik. Dengan berkembangnya distensi, invasi bakterial, gangguan
perfusi, dan infarksi, perforasi terjadi, biasanya pada batas antimesenterik tepat
setelah titik obstruksi. Tahapan ini tidak bisa dihindari, namun pada beberapa
episode apendisitis akut dapat sembuh dengan sendirinya.

V. Mikrobiologi
Apendisitis dapat terjadi menimbulkan sekelompok gejala secara bersamaan,
menyarankan asalnya infeksi. Namun, asosiasinya dengan bakteri kontagius dan
virus telah ditemukan dalam sebagian kecil pasien apendisitis. Flora normal pada
apendiks yang meradang berbeda dengan pada apendiks normal. Sekitar 60% aspirat
dari apendiks yang meradang memiliki anaerob, dibandingkan dengan 25% aspirat
dari apendiks normal.
Sampel jaringan dari dinding apendiks yang meradang (bukan aspirat luminal)
secara visual semua menumbuhkan spesies Escherichia coli dan Bacteroides pada
kultur. Fusobacterium nucleatum/necrophorum, yang tidak ditemukan pada flora
normal caecum, telah diidentifikasi pada 62% apendiks yang meradang. Sebagai
tambahan untuk spesies biasa lainnya (Peptostreptococcus, Pseudomonas,
Bacteroides splanchicus, Bacteroides intermedius, Lactobacillus), bacillus anaerob
gram negatif yang sebelumnya tidak dilaporkan telah ditemukan. Pasien apendisitis
dengan gangren atau perforasi tampaknya memiliki lebih banyak invasi jaringan oleh
Bacteroides.

VI. Manifestasi Klinis

A. Gejala
Apendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar umbilikus
yang nantinya terlokalisasi pada kuadran kanan bawah (sensitivitas 81%,
spesifisitas 53%). Walaupun nyeri kuadran kanan bawah adalah salah satu tanda
paling sensitif dari apendisitis, nyeri pada lokasi atipikal atau nyeri minimal sering
menjadi presentasi awal. Variasi lokasi anatomis dari apendiks dapat berperan
dalam membedakan perbedaan presentasi dari fase somatis nyeri.
Apendisitis juga memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal seperti
mual (sensitivitas 58%, spesifisitas 45%) dan anoreksia (sensitivitas 68%,
spesifisitas 36%). Gejala gastrointestinal yang timbul sebelum timbulnya nyeri
menyarankan etiologi yang berbeda seperti gastroenteritis. Banyak pasien
mengeluhkan sensasi obstipasi sebelum gejala nyeri timbul dan merasa bahwa
defekasi dapat meredakan gejala nyeri abdomen. Diare dapat terjadi berhubungan
dengan perforasi, terutama pada anak-anak.
B. Tanda
Awalnya, tanda vital dapat berubah secara minimal. Suhu tubuh dan nadi
dapat normal atau sedikit meningkat. Perubahan yang lebih besar
mengindikasikan terjadinya komplikasi atau diagnosa lain perlu dipertimbangkan.
Penemuan fisik ditentukan dari ada tidaknya iritasi peritoneum dan dipengaruhi
oleh ruptur tidaknya organ saat pertama kali diperiksa. Pasien apendisitis biasanya
bergerak perlahan dan lebih memilih berbaring telentang karena iritasi
peritoneum.
Pada palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan maksimal pada atau sekitar
titik McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan adanya resisten muskular
(guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih jelas dibandingkan dengan sisi sinistra.
Saat tekanan dari tangan pemeriksa dilepaskan secara mendadak, pasien
merasakan nyeri mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound
tenderness). Nyeri tekan tidak langsung (Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak
langsung (nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah dipalpasi)
adalah bukti kuat terjadinya iritasi peritoneum. Nyeri lepas dirasa sangat tajam
dan tidak nyaman bagi pasien. Sehingga disarankan untuk memulai memeriksa
nyeri lepas tidak langsung dan nyeri ketok langsung terlebih dahulu.
Variasi anatomis pada apendiks yang meradang berujung pada deviasi
penemuan fisik yang umum. Dengan apendiks retrocecal, penemuan pada
abdomen bisa menjadi kurang jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada pinggang
(flank). Saat apendiks tergantung di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa
sama sekali tidak ditemukan, dan diagnosa apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri
rektal sisi kanan dikatakan dapat membantu dalam situasi ini, tetapi nilai
diagnostiknya rendah.
Nyeri pada ekstensi dari kaki kanan (psoas sign) mengindikasikan adanya
fokus iritasi pada bagian proksimal dari muskulus psoas (menunjukkan apendiks
retrosekal). Peregangan muskulus obturator internus melalui rotasi internal dari
paha terfleksi (obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot (menunjukkan
apendiks pelvis). Peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk disebu Dunphy
sign.
C. Pemeriksaan Laboratorium
Apendisitis berasosiasi dengan respon inflamasi yang berhubungan erat
dengan keparahan penyakitnya. Sehingga pemeriksaan laboratorium adalah
bagian penting dari diagnosa. Leukositosis ringan sering timbul pada pasien
dengan apendisitis akut tanpa komplikasi dan biasanya dibarengi dengan
polymorphonuclear prominence. Jarang ditemukan leukosit >18.000 sel/mm3 pada
apendisitis tanpa komplikasi. Jumlah melebihi level ini meningkatkan
kemungkinan dari apendiks yang perforasi dengan atau tanpa abses. Peningkatan
konsentrasi C-reactive protein (CRP) adalah indikator kuat apendisitis, terutama
apendisitis dengan komplikasi.
Leukosit bisa rendah karena lymphophenia atau reaksi septik, tetapi dalam
situasi ini, proporsi neutrofil umumnya sangat tinggi. Maka seluruh variabel
inflamasi harus dilihat secara bersamaan. Kemungkinan kecil adalah apendiks jika
leukosit, proporsi neutrofil dan CRP dalam batas normal. Respon inflamasi pada
apendisitis akut adalah proses dinamis. Awalnya, respon inflamasi bisa lemah.
Elevasi CRP, pada umumnya, dapat terjadi penundaan hingga 12 jam. Respon
inflamasi yang berkurang dapat mengindikasikan resolusi spontan. Urinalisis
dapat berguna untuk menyingkirkan saluran kencing sebagai sumber infeksi;
namun, leukosit atau eritrosit dapat ditemukan dari iritasi ureter atau buli.
Bakteriuria umumya tidak tampak.
D. Skoring Klinis
Diagnosis klinis apendisitis akut merupakan estimasi subjektif dari
kemungkian apendisitis berdasarkan beberapa variabel yang secara individual
diskriminator lemah; namun, digunakan secara bersamaan, memiliki nilai prediksi
yang tinggi. Proses ini dapat dibuat menjadi lebih objektif dengan penggunaan
sistem skoring klinis, berdasarkan variabel yang terbukti dapat membedakan dan
diberi bobot yang sesuai. Skor Alvarado merupakan sistem penilaian yang paling
tersebar luas. Khususnya berguna untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis dan
memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.

Gambar 3. Alvarado score

E. Pemeriksaan Pencitraan
Foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya fecalith dan feses di dalam
cecum berhubungan dengan apendisitis tetapi jarang membantu mendiagnosa
apendisitis akut, namun dapat berguna dalam menyingkirkan patologi lain.
Radiografi thoraks dapat membantu menyingkirkan nyeri alih dari lobus kanan
bawah paru. Jika apendiks terisi barium enema, kecil kemungkinan apendisitis;
namun pemeriksaan ini tidak diindikasikan pada keadaan akut.
Ultrasonografi (USG) dan computed tomography (CT) scan adalah
pencitraan yang paling sering digunakan pada pasien dengan nyeri abdomen,
terutama pada evaluasi kemungkinan apendisitis. Meta-analisis multipel telah
dilakukan untuk membandingkan kedua modalitas. Rata-rata, CT-scan lebih
sensitif dan spesifik dibandingkan dengan USG dalam mendiagnosa apendisitis.
Graded compression USG tidak mahal, dapat dapat dilakukan dengan cepat,
tidak membutuhkan medium kontras dan dapat digunakan pada pasien hamil.
Apendiks diidentifikasi sebagai bowel loop buntu non-peristaltik berasal dari
cecum. Dengan kompresi maksimal, diameter apendiks diukur dengan arah
anterior-posterior. Penebalan dinding apendiks dan adanya cairan periappendiceal
kemungkinan besar menyarankan apendisitis. Apendiks yang mudah dikompresi
berdiameter <5 mm menyingkirkan diagnosa apendisitis. Struktur lumen yang
tidak dapat dikompresi (lesi target) dapat menjadi gambaran terjadinya
apendisitis. Diagnosis sonografis apendisitis akut telah dilaporkan memiliki
sensitivitas 55-95% dan spesifisitas 85-98%. USG juga efektif pada anak-anak
dan perempuan hamil, walaupun aplikasinya terbatas pada akhir kehamilan. USG
memiliki limitasi, terutama pada hasil yang operator-dependent.
Dengan CT-scan resolusi tinggi, apendiks yang meradang tampak terdilatasi
(>5 mm) dan dindingnya menebal. Sering ditemukan tanda-tanda inflamasi, yaitu
periappendicial fat stranding, penebalan mesoapendiks, periappendiceal
phlegmon, dan cairan bebas. Fecaliths sering terlihat; namun keberadaannya
bukan patognomonik apendisitis. CT-scan juga baik digunakan untuk
mengidentifikasi proses inflamasi lainnya yang mirip apendisitis. Beberapa teknik
CT telah digunakan, termasuk CT-scan fokus dan non-fokus dan CT-scan kontras
dan non-kontras. Secara mengejutkan, semua teknik ini memiliki akurasi
diagnostik yang identik : sensitivitas 92-97%, spesifisitas 84-85% dan akurasi 90-
98%. Penambahan penggunaan kontras rektal tidak memperbaik hasil CT-scan.
Jika dibandingkan potensial kegunaan CT-scan, terdapat kerugian yang
signifikan. CTscan mahal, memaparkan pasien pada radiasi signifikan dan
memiliki limitasi pada kehamilan. Alergi pada iodin atau kontras melimitasi
pemberian kontras pada beberapa pasien, dan beberapa tidak bisa mentolerir
konsumsi oral kontras luminal. Jika dibandingkan dengan peningkatan
penggunaan USG dan CT-scan, peluang kesalahan diagnosa apendisitis tetap
konstan (15%). Persentase kesalahan diagnosa apendisitis secara signifikan lebih
tinggi pada perempuan dibanding laki-laki (22% dibanding 9,3%).

VII. Diagnosa Banding


Diagnosa banding apendisitis akut secara esensial adalah diagnosis akut
abdomen. Gambaran klinis identik dapat disebabkan oleh banyak proses akut di
dalam rongga peritoneum yang menghasilkan kelainan fisiologis sama seperti
apendisitis akut. Akurasi diagnosis pre-operatif seharunys lebih tinggi dari 85%. Jika
kurang dari itu, akan sering terjadi operasi yang tidak diperlukan dan diperlukan
diagnosa banding preoperatif yang lebih teliti.
Penemuan umum pada kasus diagnosa pre-operatif apendisitis yang salah–
bersama-sama terjadi pada lebih dari 75% kasus– dalam urutan menurun dalam
frekuensi adalah adenitis mesenterik akut, tidak ada kondisi patologis organik, pelvic
inflammatory disease (PID) akut, kista ovarium terpuntir atau ruptur folikel graaf,
dan gastroenteritis akut. Diagnosa banding apendisitis akut bergantung pada 4 faktor
mayor: lokasi anatomis dari apendiks yang meradang, tahapan dari proses (tanpa
atau dengan komplikasi), usia, dan jenis kelamin pasien.

VIII. Penatalaksanaan
A. Awal
1) Apendisitis Tanpa Komplikasi
Pada pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi, tatalaksana
operatif menjadi standar sejak McBurney melaporkan pengalamannya.
Konsep tatalaksana non-operatif untuk apendisitis tanpa komplikasi
berkembang dari observasi terhadap dua hal. Pertama, pasien berada dalam
lingkungan dimana tatalaksana operatif tidak tersedia (misalnya kapal
selam, ekspedisi ke daerah terpencil), tatalaksana dengan antibiotik saja
telah dibuktikan efektif. Kedua, banyak pasien dengan tanda dan gejala
konsisten dengan apendisitis yang tidak mencari pertolongan medis
terkadang megalami resolusi spontan.
Beberapa penelitian observatif dan controlled trials telah dilaporkan
hasil dari tatalaksana non-operatif dibanding operatif pada kasus yang
diduga apendisitis tanpa komplikasi. Secara keseluruhan, telah dilaporkan
9% kegagalan jangka pendek (<30 hari) dengan tatalaksana non-operatif.
Pada pasien yang gagal ditatalaksana secara non-operatif, hampir
setengahnya mengalami apendisitis dengan komplikasi (perforasi atau
gangren). Setelah 1 bulan, sekitar 1% pasien menjalani apendektomi, dan
13% pasien yang awalnya berhasil ditatalaksana non- operatif mengalami
apendisitis berulang, 18% peluang mengalami apendisitis dengan
komplikasi. Tindak lanjut dilakukan tidak lebih dari 1 tahun pada semua
penelitian. Sebagai tambahan sepertiga pasien menolak atau mundur dari
tatalaksana non-operatif.
Sebagai perbandingan, apendektomi operatif menunjukkan angka
kemunduran relatif lebih rendah (2%), proporsi apendisitis dengan
komplikasi lebih rendah (25%), proporsi kecil apendiks normal (5%), dan
kemungkinan kecil infeksi superfisial pada lokasi operasi (3,7%) serta abses
intra-abdomen (1,3%).
Hasil penelitian ini harus dilihat dengan hati-hati mengingat tidak
jelasnya seleksi pasien, manejemen diagnostik yang tidak lengkap pada
pasien yang tidak dioperasi, gold standard yang tidak jelas untuk pasien
yang dioperasi, dan tingginya kemungkinan beralih antara pilihan
tatalaksana. Konsekuensi dalam hal penggunaan kasur rumah sakit, lama
opname, morbiditas dari tatalaksana operatif yang ditunda setelah kegagalan
tatalaksana non-operatif, diagnosa tertunda untuk pasien dengan kanker
apendiks atau cecum, dan meningkatnya resiko resistensi terhadap antibiotik
masih perlu diteliti lebih lanjut. Sehingga, tatalaksana operatif kasus yang
diduga apendisistis tanpa komplikasi tetap menjadi standar perawatan.
Sebagian sub-grup dengan apendisitis dengan komplikasi dapat membaik
dengan tatalaksana non-operatif. Pasien yang memilih tatalaksana
nonoperatif harus dikonseling dengan baik berkaitan dengan resiko
kegagalan tatalaksana dan apendisitis berulang.
- Apendektomi Darurat dibanding Segera
Secara tradisional, apendisitis dianggap sebagai kedaruratan bedah.
Setelah terdiagnosa, pasien akan langsung dibawa ke kamar operasi untuk
tatalaksana operatif. Namun, penundaan dalam diagnosa, terbatasnya akses
pada ruang operasi dan tatalaksana non-operatif menjadi tantangan
keyakinan bahwa apendisitis adalah kedaruratan bedah.
Tiga penelitian retrospektif telah mengevaluasi peran pembedahan
darurat atau segera dalam apendisitis tanpa komplikasi; grup yang darurat
memiliki waktu untuk sampai ke ruang operasi <12 jam, dimana grup yang
segera memiliki waktu 12-24 jam. Tidak ada peningkatan apendisitis
dengan komplikasi yang secara statistik berarti pada grup segera dibanding
grup darurat. Begitu pula halnya dengan peluang terjadinya infeksi pada
lokasi operasi, abses intra-abdomen, konversi menjadi luka terbuka, atau
waktu operasi tidak menunjukan perbedaan antara kedua grup. Walau lama
opname lebih lama pada grup segera, secara statistik dan klinis tidak
berbeda pada grup darurat. Hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk
perawatan operatif segera dibanding darurat termasuk pemeriksaan klinis,
waktu datang dari onset gejala dan durasi penundaan pembedahan. Pasien
dengan tanda klinis perforasi, waktu datang lebih dari 48 jam setelah onset
gejala dan penundaan tatalaksana definitif leih dari 12 jam berada di luar
ruang lingkup penelitian ini.
Operasi darurat dibanding segera untuk apendisitis tanpa komplikasi
bergantung pada institusi dan ahli bedah. Institusi tanpa kamar operasi dan
staf yang langsung tersedia dapat mempertimbangkan apendektomi segera
dibanding darurat.
2) Apendisitis dengan Komplikasi
Apendisitis dengan komplikasi secara tipikal merujuk pada apendisitis
dengan perforasi yang biasanya berkaitan dengan abses atau phlegmon. Angka
insidensi tahunan apendisitis dengan perforasi sekitar 2 dalam 10.000 orang
dan memiliki variasi rendah terhadap waktu, letak geografis dan usia. Proporsi
apendisitis dengan perforasi, umumnya sekitar 25%, sering digunakan sebagai
indikator kualitas perawatan. Perbedaan dalam proporsi hampir seutuhnya
berkaitan dengan perbedaan insidensi apendisitis dengan perforasi. Proporsi
rendah perforasi dapat menjadi konsekuensi dari angka deteksi yang lebih
tinggi dan tatalaksana apendisitis awal atau mereda.
Anak-anak dengan usia di bawah 5 tahun dan pasien dengan usia di atas
65 tahun memiliki angka perforasi tertinggi (45% dan 51%). Proporsi
perforasi meningkat dengan bertambahnya durasi gejala. Namun, tidak ada
hubungan antara penundaan di dalam RS dengan perforasi. Ini menunjukkan
bahwa sebagian besar perforasi terjadi di awal, sebelum pasien sampai di RS.
Ruptur harus dicurigai dengan adanya peritonitis generalisata dan respon
inflamasi kuat. Pada banyak kasus, ruptur tertampung dan pasien
memperlihatkan peritonitis lokal. Pada 2-6% kasus, terdapat massa yang dapat
dipalpasi pada pemeriksaan fisik. Hal ini dapat mempresentasikan phlegmon
yang berisikan anyaman lengkung usus yang menempel pada sekitar apendiks
yang meradang atau abses periappendiceal. Pasien datang dengan massa telah
mengalami gejala lebih lama, biasanya 5-7 hari. Membedakan apendisitis akut
tanpa komplikasi dengan apendisitis akur dengan perforasi berdasarkan
penemuan klinis sering kali sulit, tetapi penting untuk membuat perbedaan
karena tatalaksannya berbeda. CT- scan dapat berguna dalam menegakkan
diagnosa dan menentukan terapi.
B. Tatalaksana Operatif Dibanding Non-operatif
Pasien dengan tanda-tanda sepsis dan peritonitis generalisata harus segera
dibawa ke kamar operasi bersamaan dengan resusitasi. Teknik pembedahan
bergantung pada tingkat kenyamanan ahli bedah; namun, open appendectomy
melalui insisi garis tengah bagian bawah kemungkinan harus untuk mengobati
kasus komplikasi ini.
Pada pasien dengan apendisitis dengan komplikasi dan abses tertampung
atau phlegmon tetapi peritonitis terlokalisasi (nyeri fokal kuadran kanan bawah),
pilihan terapi menjadi lebih rumit. Sering kali, pasien ini memerlukan prosedur
yang menantang dengan resiko tinggi timbulnya abses intra-abdomen pasca-
operasi. Pilihannya termasuk tatalaksana operatif dibanding tatalaksana
konservatif (antibiotik, istirahat usus, cairan, dan kemungkinan drainase per
kutan).
Belum ada prospective randomized controlled studies yang membandingkan
tatalaksana operatif dengan konservatif untuk apendisitis dengan komplikasi pada
orang dewasa; semua penelitian adalah retrospective cohort studies. Dua meta-
analisis telah dilakukan. Pada analisis tahun 2007 oleh Andersson dan Petzold dari
61 kasus tentang hal ini, mereka menegaskan bahwa tatalaksana awal non-operatif
memberikan hasil yang lebih baik. Tatalaksana non- operatif termasuk cairan
intravena, meminimalisir stimulasi gastrointestinal, antibiotik parenteral, dan
drainasi per kutan jika dirasa sesuai. Morbiditas tatalaksana operatif segera adalah
36,5%, sedangkan 11% untuk tatalaksana konservatif. Dari pasien yang menjalani
tatalaksana konservatif, 7,6% gagal dan menjalani tatalaksana operatif. Subgrup
ini memiliki peluang rata-rata komplikasi sebesar 13,5%. Peluang berulang 7,4%,
yang tidak mengharuskan apendektomi interval.
Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana konservatif lebi dipilih
dibanding operasi awal pada apendisitis dengan komplikasi. Simillis dan
koleganya mengadakan meta-analisis pada 17 penelitian. Mereka menegaskan
bahwa tatalaksana konservatif berkaitan dengan angka rata- rata komplikasi, abses
intra-abdomen, obstruksi usus, dan operasi ulang yang lebih rendah. Pengarang
menyimpulkan bahwa tatalaksana konservatif lebih dipilih dibanding operasi awal
pada apendisitis dengan komplikasi.
Pada literatur pediatrik, terdapat dua prospective randomized controlled
trials membuktikan bahwa intervensi operatif awal memiliki hasil yang sebanding
atau lebih dibanding tatalaksana konservatif, tetapi penelitian ini juga
mengikutsertakan apendektomi interval untuk semua pasien dalam perhitungan
mereka. St. Peter dan koleganya membuktikan bahwa 20% pasien gagal
tatalaksana konservatif. Intervensi operatif awal memiliki hasil yang sebanding
dengan apendektomi interval. Selain itu, Blakely dan koleganya menegaskan
bahwa apendektomi interval, dibanding apendektomi awal, memiliki insidensi
kejadian lanjutan yang lebih tinggi (50% dibanding 30%), abses intra-abdomen
(37% dibanding 19%), obstruksi usus halus (10,4% dibanding 0%), dan kembali
masuk RS (31% dibanding 8%). Sebagai tambahan, Blakely dan koleganya
menegaskan bahwa 9% dari grup yang ditatalaksana konservatif mengalami
apendisitis berulang. Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana pembedahan
segera lebih baik dibanding tatalaksana konservatif dengan apendektomi interval.
C. Apendektomi Interval setelah Tatalaksana Non-operatif
Apendektomi interval didefinisikan sebagai melakukan apendektomi setelah
tatalaksana non-operatif awal berhasil pada pasien yang sudah tanpa gejala.
Argumen utama melawan apendektomi interval adalah banyak pasien
ditatalaksana konservatif tidak pernah mengalami gejala apendisitis, dan bagi
yang umumnya mengalami gejala dapat ditatalaksana tanpa morbiditas tambahan.
Argumen utama yang mendukung apendisitis interval adalah untuk mencegah
timbulnya apendisitis di kemudian hari atau mengidentifikasi penyakit lain,
seperti keganasan apendiks.
Hanya ada satu prospective randomized controlled trial kecil (n=40) yang
menginvestigasi subjek ini. Pada literaturnya banyak terdapat small case series
dan retorspective cohort studies; tidak ada meta-analisis yang mengevaluasi
subjek ini. Dari 1434 pasien yang diduga apendisitis dengan komplikasi dan telah
berhasil ditatalaksana konservatif, 8,8% mengalami apendisitis berulang dengan
rata-rata follow up selama 35 bulan. Insidensi apendisitis dengan komplikasi
diikuti oleh kekambuhan rendah (2,4%). Keganasan ditemui pada 1,3% kasus
dimana patologi dilaporkan. Banyak pasien tereksklusi dari penelitian karena
gejala menetap, infeksi menetap, atau temuan keganasan pada kolonoskopi
skrining.
Selain itu, dari 344 pasien yang diduga apendisitis dengan komplikasi, telah
berhasil ditatalaksana konservatif, dan kemudian menjalani apendektomi interval,
komplikasi pembedahan terjadi pada 9,4% pasien. Sebagian besar pasien
menjalani apendektomi interval 2-4 bulan setelah gejala akut. Walau perincian
operatif dan patologis tidak dilaporkan seragam pada pasien ini, banyak yang
berlanjut mengalami tanda apendisitis atau abses pada waktu apendektomi
interval; 3,6% pasien memiliki keganasan dimana patologi dilaporkan.
Peran apendektomi interval setelah keberhasilan tatalaksana konservatif
apendisitis dengan komplikasi tidaklah jelas. Close clinical follow-up, pencarian
menyeluruh riwayat gejala menetap, dan kolonoskopi skrining (saat usia pantas)
sebaiknya digunakan untuk membantu mengarahkan diskusi dengan pasien
mengenai peranan apendektomi interval setelah tatalaksana konsertatif apendisitis
dengan komplikasi.
D. Operatif Apendictomy
Pada umumnya pasien pada posisi terlentang dan dalam anastesi umum.
Seluruh abdomen telah disiapkan dan ditutup kain apabila insisi yang lebih besar
dibutuhkan. Untuk apendisitis awal tanpa perforasi, insisi kuadran kanan bawah
pada titik McBurney (sepertiga jarak dari spina iliaca anterior superior ke
umbilikus) umumnya digunakan. Insisi McBurney (oblique) atau Rocky-Davis
(transversal) pada kuadran kanan bawah dibuat. Jika diduga apendisitis perforasi
atau diagnosa masih diragukan, dipertimbangkan untuk laparotomi garis tengah
bawah. Walau telah dilaporkan bahwa posisi apendiks dapat berubah dengan
kehamilan, penelitian prospektif telah membuktikan bahwa kehamilan tidak
merubah proporsi pasien dengan appendiceal base dalam 2 cm dari titik
McBurney.
Setelah memasuki abdomen, pasien seharusnya diposisikan dalam posisi
sedikit Trendelenburg dengan rotasi kasur ke kiri pasien. Jika apendiks sulit
diidentifikasi, lokasi cecum harus diidentifikasi. Menelusuri taenia libera (taenia
anterior), yang paling terlihat dari 3 taeniae coli, pada distal dasar apendiks dapat
diidentifikasi.
Apendiks sering memiliki penempelan pada dinding lateral atau pelvis yang
dapat dibebaskan dengan diseksi. Membelah mesenterium apendiks terlebih
dahulu dapat memperjelas eksposur dasar apendiks. Appendiceal stump dapat
ditangani dengan ligasi sederhana atau dengan ligasi dan inversi. Selama stump
terlihat jelas dan dasar cecum tidak dilibatkan dalam proses inflamasi, stump dapat
dengan aman diligasi. Obliterasi mukosa dengan electrocautery dengan tujuan
menghindari timbulnya mucocele direkomendasikan oleh beberapa ahli bedah;
namun, tidak ada data yang mengevaluasi resiko atau manfaat manuver
pembedahan ini. Inversi stump dengan lipatan dari cecum juga telah
dideskripsikan.
Pemasangan surgical drains baik untuk apendisitis tanpa dan dengan
komplikasi, dipraktekkan oleh banyak ahli bedah, tidak didukung oleh penelitian
klinis. Nanah di abdomen harus diaspirasi, tetapi irigasi pada apendisitis dengan
komplikasi tidak dirokemdasikan. Kulit juga dapat langsung ditutup pada pasien
dengan apendisitis perforasi.
Jika apendisitis tidak ditemukan, pencarian metodis harus dilakukan untuk
diagnosa alternatif. Cecum dan mesenterium harus diinspeksi. Usus halus harus
dievaluasi dengan cara retrogade dimulai dari katup ileocecal. Keterlibatan
Crohn’s disease atau Meckel’s diverticulum harus menjadi prioritas utama. Pada
pasien perempuan, organ reproduksi harus diinspeksi dengan teliti. Jika ditemukan
cairan purulen atau bilious, asalnya harus diidentifikasi. Sebagai contoh,
Valentino’s appendicitis, atau ulkus duodenal bergejala seperti apendisitis, harus
disingkirkan. Ekstensi medial insisi (Fowler-Weir) atau ekstensi superios dari
insisi lateral pantas dilakukan jika evaluasi lebih lanjut dari abdomen bawah atau
kolon kanan diperlukan. Laparoskopi selektif melalui insisi kuadran kanan bawah
juga telah dideskripsikan. Jika patologi abdomen atas ditemukan, insisi garis
tengah harus dilakukan.
E. Apendektomi Laparoskopik
Apendektomi laparoskopik yang pertama kali dilaporkan dilakukan pada
tahun 1983 oleh Semm; namun, pendekatan laparoskopik tidak digunakan secara
luas hingga nanti, setelah keberhasilan kolesistektomi laparoskopik. Ini mungkin
karena inisisi kecil sudah umum digunakan dengan open appendectomy.
Apendektomi laparoskopik dilakukan dalam anastesi umum. Oro- atau
nasograstric tube dan kateter urin dipasang. Pasien dalam posisi terlentang
dengan lengan kiri terlipat dan diikat pada meja operasi. Baik ahli bedah dan
asisten harus berdiri di sisi kiri pasien menghadap ke apendiks. Layar laparoskopi
diposisikan pada sisi kanan pasien atau pada kaki kasur. Apendektomi
laparoskopik standar umumnya menggunakan tiga saluran. Umumnya, saluran 10
atau 12 mm dipasang pada umbilikus, sedangkan saluran 5 mm dipasang pada
supra-pubik dan kuadran kiri bawah. Pasien seharusnya dalam posisi
Trendelenburg dan dimiringkan ke kiri.
Apendiks harus diidentifikasi sama halnya dengan pembedahan terbuka
dengan menyusuri taenia libera/coli ke dasar apendiks. Melalui saluran supra-
pubik, apendiks dipegang dengan mantap dan dielevasikan ke arah jam 10.
“Appendiceal critical view” seharusnya didapatkan dengan taenia libera pada arah
jam 3, ileum terminal pada arah jam 6 dan apendiks yang ditarik pada arah jam 10
untuk identifikasi dasar apendiks. Melalui saluran infra-umbilikus, mesenterium
harus diseksi secara perlahan dari dasar apendiks dan dibuat jendela. Umumnya
dasar apendiks di-staple setelah stapling mesenterium. Selain itu, mesenterium
dapat dibagi dengan energy device atau clipped dan dasar apendiks ditahan
dengan Endoloop. Stump harus diperiksa dengan seksama untuk memastikan
hemostasis, transeksi komplit, dan memastikan tidak ada stump tertinggal.
Apendiks diambil melalui lubang infra-umbilikus dengan retrieval bag.

IX. Perawatan Post-operatif dan Komplikasi

Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan


dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Pasien dibaringkan dalam posisi
Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Setelah apendektomi tanpa
komplikasi, peluang komplikasinya rendah, dan kebanyakan pasien dapat dengan cepat
memulai diet dan dipulangkan pada hari yang sama atau sehari setelahnya. Terapi
antibiotik post-operatif tidak diperlukan.
Di sisi lain, apendektomi dengan komplikasi, peluang komplikasinya meningkat
dibanding apendisitis tanpa komplikasi. Pasien harus melanjutkan antibiotik spektrum
luas selama 4-7 hari. Ileus post-operatif dapat terjadi, maka diet harus dimulai dalam
evaluasi klinis harian. Pasien ini memiliki resiko meningkat terjadinya infeksi pada
lokasi pembedahan. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa
dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien diberikan minum,
makanan saring, makanan lunak, dan makanan biasa.
1. Infeksi Lokasi Pembedahan
Pada pasien dengan infeksi lokasi pembedahan insisional (superfisial atau
profunda), dilakukan penanganan berupa pembukaan insisi dan mengambil kultur.
Setelah apendektomi laparoskopik, ekstraksi lokasi saluran adalah tempat yang
paling sering terjadi infeksi lokasi pembedahan. Pasien dengan selulitis dapat
memulai antibiotik. Organisme yang dikultur pada umumnya flora usus,
dibandingkan dengan flora kulit.
Pasien dengan abses intra-abdomen post-operatif dapat bergejala dengan cara
yang bervariasi. Walaupun demam, leukositosis dan nyeri abdomen adalah gejala
yang paling sering, pasien dengan ileus, obstruksi usus, diare, dan tenesmus dapat
juga menderita abses intra-abdomen. Abses kecil dapat diterapi hanya dengan
antibiotik; namun abses yang lebih besar memerlukan drainase. Pada umumnya,
drainase per kutan dengan panduan CTscan atau USG efektif. Untuk abses yang
tidak merespon terhadap drainase per kutan, drainase abses laparoskopik bisa
menjadi pilihan.
2. Stump Appendicitis
Apendektomi inkomplit menunjukkan kegagalan pengambilan seluruh
apendiks pada prosedur awal. Sebuah review literatur menunjukkan hanya 60
laporan dari fenomena ini. Kemungkinan, apendektomi inkomplit sedikit
dilaporkan, dan prevalensi nyatanya jauh lebih tinggi. Dilaporkan sebagai “stump
appendicitis”, pasien umumnya datang dengan gejala berulang apendisitis kurang
lebih 9 tahun setelah pembedahan awal. Tidak ada perbedaan dalam pembedahan
awal antara laparoskopik dan prosedur terbuka. Namun terdapat lebih banyak
apendektomi dengan komplikasi pada pembedahan awal. Pasien dengan stump
appendicitis lebih memungkinkan untuk mengalami apendisitis dengan komplikasi,
menjalani prosedur terbuka dan colectomy.
Kunci untuk menghindari stump appendicitis adalah pencegahan. Penggunaan
“appendiceal critical view” (apendiks diletakkan pada arah jam 10, taenia
coli/libera pada jam 3 dan ileum terminal pada jam 6) dan identifikasi apakah taenia
coli bersatu atau menghilang adalah hal penting untuk identifikasi dan ligasi dasar
apendiks saat pembedahan awal. Stump yang tersisa harus tidak lebih panjang dari
0,5 cm, dikatakan stump appendicitis jika ≥0,5 cm pada literatur. Pada pasien yang
telah menjalani apendektomi sebelumnya, indeks kecurigaan yang rendah penting
untuk mencegah penundaan diagnosa dan komplikasi. Apendektomi sebelumnya
tidak seharusnya menjadi kriteria mutlak menyingkirkan apendisitis akut.
X. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat
serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan
disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka
ini berkisar 0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di
atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosa apendisitis akut pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, didapatkan
keluhan utama berupa nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS. Awalnya nyeri
dirasakan di ulu hati menggambarkan gejala akibat distensi apendiks yang menstimulasi
ujung saraf dari afferent stretch fiber. Lalu nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah
menggambarkan peradangan yang telah menyebar ke peritoneum parietalis. Nyeri yang
dialami pasien berupa nyeri akibat iritasi peritoneum sehingga memburuk saat bergerak
atau batuk (Dunphy sign) dan membaik saat diam.
Pasien juga mengeluhkan adanya gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah
setelah gejala nyeri muncul, hal ini sering dijumpai pada apendisitis akibat multiplikasi
bakteri yang cepat di dalam apendiks. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya
demam yang menggambarkan adanya infeksi yang terjadi. Untuk menyingkirkan
kecurigaan terhadap keganasa, pada anamnesis dipastikan pasien tidak mengeluhkan
adanya pola BAB yang berubah ataupun adanya penurunan berat badan drastis dalam
beberapa bulan terakhir. Selain itu pasien juga menyangkal adanya riwayat penyakit
lainnya yg diidap pasien ataupun keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan
hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37,8 oC dan VAS 7/10. Suhu
tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam Alvarado
Score, sedangkan VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut pasien. Berdasarkan
pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada abdomen melalui palpasi berupa :
nyeri tekan dan nyeri lepas titik McBurney, Rovsing sign, dan defans muskular lokal.
Penemuan ini mendukung adanya iritasi peritoneum parietalis lokal yang diduga akibat
peradangan apendiks. Selain itu, didapatkan skor 7 pada Alvarado score, yang
diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor ≥7). Alvarado score
sangatlah berguna untuk menyingkirkan diagnosa apendisitis dan memilah pasien untuk
manajemen diagnostik lanjutan.
Temuan Poin Pasien
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1
Demam ≥36,3oC 1 1
Leukositosis ≥10 x 109 /L 2 0
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 7

Selanjutnya, disarankan untuk dilakukan USG Abdomen. USG dilakukan dengan


pertimbangan pemeriksaannya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak
membutuhkan kontras, dan tidak memaparkan pasien dengan radiasi. Berdasarkan
diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien direncanakan untuk dioperasi open
appendectomy cito. Tindakan ini menjadi pilihan karena apendisitis akut termasuk dalam
kegawatdaruratan dalam bidang bedah.
Operasi cito menjadi pilihan untuk mencegah progresi penyakit yang nantinya
dapat menyebabkan kerusakan dan komplikasi yang lebih berat. Selain itu, dengan
berkembangnya apendisitis akut dan terjadi perforasi maka peritonitis akan terjadi dan
akan mempersulit penanganan pasien serta meningkatkan mortalitas. Sebagai tatalaksana
awal pasien dipasangkan IV line untuk memudahkan akses memasukkan obat dan
rehidrasi. Pasien diberikan cairan (IVFD RL 500 20 gtt/i), analgesik (Injeksi Ketorolac
30 mg/ 8j IV) dan antibiotik (Injeksi Ceftriaxone 1 g/ 12j IV), serta prokinetik
(Ondansetron 8 mg/12j iv) selagi mempersiapkan operasi. Lalu open appendectomy
dilakukan dalam anastesi umum.

DAFTAR PUSTAKA
1. Towsend, C M, et al. Sabiston textbook of suirgery the biological basis of modern
surgical practice Ed 20th. Philadelphia; Elsevier. 2018

2. Soybel D. Appendix. In: Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, et al. Surgery Basic
Science and Clinical Evidence. 2ndEd. New York: Springer. 2008.

3. Mark W J, et al. Appendicitis. Accessed on

4. [https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/]. NCBI. 2020.

5. Humes DJ, Simpson J. Clinical Presentation of Acute Appendicitis:Clinical Signs—


Laboratory Findings—Clinical Scores, Alvarado Score and Derivate Scores. In 2011.

6. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. Shwartz’s Principles of Surgery.
9thEd. USA: McGrawHill Companies. 2010.

7. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Editors. Skandalakis’ Surgical
Anatomy. USA: McGrawHill. 2004.

8. Russell RCG, Williams NS, Bulstrode CJK. Editors. Bailey and Love’s Short
Practice of Surgery. 24thEd. London: Arnold. 2004.

Anda mungkin juga menyukai