Anda di halaman 1dari 12

SUMBER HUKUM ISLAM (IJMA & QIYAS)

Muhammad Furqon (23071009) Adelia Maharani (23071001)


Program Studi Pendidikan Agama Islam universitas Muhammadiyah
kkofurqon@gmail.com
Adeliasutomo5@gmail.com

ABSTRAK
Ijma’ dan qiyas adalah salah satu sumber hukum islam yang memiliki
tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan
Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang
dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukumislam. Namun ada
komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ dan qiyas itu
sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits,
mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri
(Al-Qur’an dan Hadits). Ijma dan qiyas muncul setelah Rasulullah wafat, para
sahabat melakukan. Ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah
yang mereka hadapi. “Khalifah Umar Ibnu Khattab ra, misalnya selalu
mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam
menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia
menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

Kata Kunci : Hukum-hukum Islam,ijma,Qiyas


A. Pengertian Ijma’ dan Qiyas

1. Ijma

Ijma secara bahasa atau lughah memiliki definisi sebagai mengumpulkan


perkara kemudian memberi hukum atas perkara tersebut dan meyakininya..
Sedangkan Ijma menurut istilah memiliki pengertian sebagai kebulatan pendapat
seluruh ahli ijtihad sesudah wafatnya Rasululluah SAW., pada suatu masa atas
sesuatu hukum syara’.

Ijma adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa sepeninggal


Rasulullah SAW., tentang suatu hukum syar’I mengenai suatu peristiwa tertentu.

Ijma menurut para ahli yaitu:

a. Imam Al-Gazali

Ijma merupakan sebuah kesepakatan dari umat Nabi Muhammad SAW..


mengenai suatu perkara atau persoalan yang berhubungan dengan persoalan
agama.
b. Imam Al Subki

Ijma didefinisikan sebagai suatu kesepakatan dari para mujtahid setelah Nabi
Muhammad SAW wafat dan berkenaan dengan segala persoalan yang
berkaitan dengan hukum syara.

c. Ali Abdul Razak

Ijma merupakan kesepakatan dari para mujtahid Islam yang terjadi pada suatu
masa dan atas perkara hukum syara

Jadi ijma merupakan kesepakatan para ahli atau para ulama dalam
menyelesaikan suatu perkara atau persoalan yang berkaitan dengan agama islam.
Sehingga ketika ada masalah yang mengarah ke agama Islam, dan belum ada
ketentuannya di dalam Al Quran maupun Al hadits Maka dicari penyelesaiannya
dengan ijma tadi, setelah didiskusikan oleh para ahli dan para ulama. Selain

menggunakan ijma, perkara Islam juga diselesaikan dengan qiyas yang nanti
dijelaskan di bawah.

2. Qiyas

Qiyas menurut arti bahasa arab ialah penyamaan membandingkan atau


pengukuran, menyamakan sesuatu dengan yang lain. Secara Terminologi (istilah)
Menurut ulama ushul Qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Al-Qur'an dan Hadist dengan cara membandingkannya dengan
sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Imam Syafi'l mendefinisikan qiyas sebagai upaya pencarian (ketetapan


hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah
diinformasikan dalam al-Qur'an dan hadis.

Dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi'i juga berkata, "Qiyas adalah suatu
yang dipecahkan berdasarkan dalil-dalil yang disesuaikan dengan informasi yang
tersirat dalam al-Qur'an atau hadis, karena keduanya adalah kebenaran hakiki
yang wajib dijadikan sumber.

B. Macam-Macam ijma dan Qiyas

1. Macam-macam Ijma'

Ijma' ditinjau dari cara penetapannya ada dua:

a. Ijma' Sharih

Yaitu semua para mujtahid (pejuang islam) mengemukakan pendapat


mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi
keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang
mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya, dan kemudian menyepakati
salah satunya.
b. Ijma' Sukuti (diam)

Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh
para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak
pendapat tersebut secara jelas. Ijma' sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi
beberapa kriteria berikut Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan
adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan
adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak
dikatakanijma sukuti, melainkan ijma sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda
penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma sukuti.

Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk
memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk
mengemukaka hasil pendapatnya.

Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan


ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil dzani (dugaan). Sedangkan permasalahan
yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil tidak qath’1
(pasti), jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang
kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma”.

Contoh ijma sukuti

Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang
diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan ra. Pada masa kekhalifahan beliau.
Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma Beliau tersebut
dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas
prakarsa tersebut.

Selain macam-macam ijma diatas, terdapat pula beberapa macam ijma’


yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang
yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu adalah:

a. Ijma sahabat,

Yaitu ijma yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.


Contoh ijma sahabat

Ijma sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang


imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam menyangkut urusan
agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat Rasulullah..

b. Ijma’ khulafaur rasyidin,

Yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali
bun Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat
orang itu hidup.

Contoh ijma' fi'ly dari Khulafa' Rosyidin

Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya sampai waktu
fajar. Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat.
Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini
disepakati oleh ijma. Ijma ini tergolong ijma' fi'ly dari Khulafa' Rosyidin.

c. Ijma' syaikhan,

yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.

d. Ijma' ahli madinah,

yaitu ijma yang dilakukan oleh ulama ulama madinah. Madzhab Maliki
menjadikan iima ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam.
Menurut pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa ijma mujthahid Madinah
saja sudah merupakan kesimpulan ijma".

e. Ijma' ulama kuffah,

yaitu ijma yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi


menjadikan ijma ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Ijma dipandang tidak sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma
bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah
agama tanpa sandaran adalah tidak sah.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi
kepada:

a. Ijma'qath'i,

yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i (pasti) diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang
lain.

b. ljma Zhanni,

yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu Zhanni (dugaan), masih ada.
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang
dilakukan pada waktu yang lain.

2. Macam-macam Qiyas

Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut


didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya illat yang ada pada asal
dan furu, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Qiyas Awlawi )‫قياس أولوي‬

Yaitu bahwa 'illat yang terdapat pada far'u (cabang) lebih utama daripada
'illat yang terdapat pada ashl (pokok). Misalnya mengqiyaskan hukum haram
memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan "ab" yang terdapat
dalam surat al-Isra' ayat 23.

‫َو َقَض ى َر ُّبَك َأاَّل َتْعُبُدوا ِإاَّل ِإَّياُه َو ِباْلَو اِلَد ْيِن ِإْح َس اًنا ِإَّم ا َيْبُلَغَّن ِع نَدَك اْلِكَبَر‬

‫ َأَح ُدُهَم ا َأْو ِكاَل ُهَم ا َفاَل َتُقل َّلُهَم ا ُأَف َو اَل َتْبَر ُهَم ا َو ُقل َّلُهَم ا َقْو ًال َك ِر يًم ا‬:
Artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. "(QS. Al Isra": 23)

Karena alasan (illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan


memukul dalam hal ini cabang (far'u) lebih menyakiti orang tua sehingga
hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan "ah" pada as hl.

b. Qiyas Musawi ) ‫( قياس مساوي‬

yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada cabang (far'u) sama bobotnya
dengan bobot 'illat yang terdapat pada ashl (pokok). Contohnya keharaman
memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah surah An-nisa: 10.

‫ِإَّن اَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن َأْم َو َل اْلَيَتاَم ى ُظْلًم ا ِإَّنَم ا َيْأُك ُلوَن ِفي ُبُطوِنِه ْم َناًرا‬

‫ َو َسَيْص َلْو َن َسِع يًرا‬.

Artinya: Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka. akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Dari ayat diatas kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan
atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya
harta. tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.

c. Qiyas al-Adna )‫قياس األدنى‬

Yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada furu' (cabang) lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan illat yang terdapat pada ashl (pokok).

Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba
fadhal (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua
bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini, illah hukumnya
adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan
dan ditakar. Namun ada segi yang lain dari illah gandum yang tidak terdapat pada
apel, apa itu? Apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, illah yang ada pada
apel lebih lemah dibandingkan dengan illah yang ada pada gandum yang menjadi
makanan pokok.

Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya illat yang menjadi
landasan hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam:

a. Qiyas Jali.

Yaitu qiyas yang dinyatakan 'illatnya secara tegas dalam Al Quran dan
Sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut, tetapi
berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashi dan
cabang dari segi kesamaan 'illatnya. Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua
orang tua dengan larangan mengucapkan "ah" sebagaimana dalam contoh qiyas
awla di atas. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas jali ini meliputi apa yang disebut
dengan qiyas awla dan qiyas musawi.

b. Qiyas Khafi,

Yaitu qiyas yang illatnya di istinbatkan atau ditarik dari hukum ashl.
Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tajam karena ada
kesamaan illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada
pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan
dengan menggunakan benda tajam.

C. KEDUDUKAN LIMA' DAN QIYAS

1. Kedudukan Ijma'
Kebanyakan ulama' mengetahui bahwa ijma merupakan sumber hukum
yang kuat dalam menetapkan hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam
sumber hukum islam. Kekuatan ijma sebagai sumber hukum islam ditunjukkan
dalam nash Al-Qur'an dan Al-Hadist, diantaranya ialah: QS. An-Nisa: 59.

‫ َيَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا َأِط يُعوا َهَّللا َو َأِط يُعوا الَّرُسوَل َو ُأولى اَألْم ِر ِم نُك ْم‬.

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil
Amri di antara kamu"

Dengan demikian, pada dasarnya ijma dapat dijadikan alternative dalam


menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur'an atau Al-Hadist tidak
ada atau kurang jelas hukumnya.

2. Kedudukan Qiyas

Dalam peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber


hukum) islam yang keempat setelah al-Qur'an, al-hadist, dan ijma. Seperti yang
sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam
Syafi'i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan
qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta
memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan
objek. Mereka berpendapat demikian dengan berpegang kepada

a) Firman Allah SWT:

‫بنصار اال لي أو يا فاعتبروا‬

“Hendaklah kamu mengambil l’tibar (contoh/ibarat/pelajaran). Hai orang-orang


yang berfikiran”. (QS. Al-Hasyr: 2)

Karena i’itibar artinya adalah “Qiyash-Syai’i-bisy-Syai’ (Membanding sesuatu


dengan sesuatu yang lain).
D. PENTINGNYA LIMA’ DAN QIYAS DALAM AGAMA ISLAM

Apabila kita tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an maupun dalam


as- Sunnah, maka kita tinjau apakah para ulama kaum muslimin telah ijma’.
Apabila ternyata demikian, maka ijma mereka kita ambil dan kita laksanakan.

Para ulama bersepakat bahwa yang dijadikan landasan oleh ijma hanyalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara itu untuk qiyas masih terdapat perbedaan
pendapat. Dalam hal ini para fuqaha terbagi menjadi tiga pendapat:

1. Qiyas tidak dapat dijadikan landasan bagi ijma, karena qiyas mempunyai
beberapa segi yang bermacam-macam. Di segi lain kehujjahan qiyas
bukanlah sesuatu yang disepakati, sehingga tidak mungkin qiyas dapat
dijadikan landasan bagi ijma.

2. Qiyas dengan segala bentuknya dapat dijadikan sandaran ijma, karena


qiyas adalah hujjah syar’iyyah yang didasarkan pada dalil-dalil nash.

3. Apabila illat suatu qiyas disebutkan dalam nash atau sudah jelas sehingga
tidak memerlukan pembahasan yang mendalam yang dapat menimbulkan
perbedaan persepsi, maka qiyas dapat dijadikan landasan oleh ijma.
Sebaliknya jika illat suatu qiyas tidak jelas atau tidak disebutkan dalam
nash. Maka qiyas tersebut tidak dapat dijadikan landasan ijma.

E. KESIMPULANNYA

Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik


kesimpulan bahwa ijma dan qiyas adalah suatu dalil syara' yang memiliki tingkat
kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia
merupakan dalil-dalil setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman
dalam menggali hukum- hukum syara".
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma dan qiyas
dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan
kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui
hukumnya.

Adapun dari ijma dan qiyas itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan
sebagai hujjah/ sumber hukum.

Serta dari ijma' dan qiyas itu sendiri terdapat beberapa macam. Dari
beberapa versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama'
mengenai ijma dan qiyas itu sendiri.

F. SARAN

Jadikanlah artikel ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-


sumber Islam (ijma dan qiyas) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat
(masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran
dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan artikel selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.

Drs. Moh. Rifa'i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma'arif 1973.

Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf fimu Usul Fiqih, Pustaka Amani, Jakarta 2003.

Anda mungkin juga menyukai