Modul Ekonomi Publik Kelas A Semester 3
Modul Ekonomi Publik Kelas A Semester 3
EKONOMI PUBLIK
DISUSUN OLEH:
DISUSUN OLEH:
(KELOMPOK 1)
KATA PENGANTAR
Puji syukur, kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
karunia serta berkat yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan Study and doing by study
case dengan baik meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga berterimakasih
pada Nci Alzefin Y.R.M Sinolungan S.E, M.Si selaku dosen mata kuliah Ekonomi Publik Jurusan
Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Manado yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami harap projek ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan Ilmu Pengetahuan
kita mengenai materi yang kami akan bahas, terutama memgembangkan softskill baik kami maupun
audiens. Kami menyadari bahwa makalah studi kasus ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang saya buat menjadi
lebih baik kedepannya. Mengingat bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga studi kasus ini, dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sedikitnya projek
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi Publik. Demikian makalah studi kasus ini kami buat, mohon maaf apabila ada kesalahan
kata-kata yang berkenan di hati pembaca.
Penulis
KEGAGALAN PASAR
PENENTUAN JUMLAH
PENGERTIAN BARANG DAN
PERSEDIAAN DAN HARGA PELAYANAN PUBLIK
JASA PUBLIK SERTA
BARANG PUBLIK DAN
BARANG DAN JASA PRIVAT
PRIVAT
HARGA PELAYANAN/JASA
PUBLIK
METODE PENENTUAN
HARGA PELAYANAN PUBLIK
BAB I
KONSEP EKONOMI PUBLIK
BAB II
KEGAGALAN PASAR DAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN
BAB IV
KEBIJAKAN FISKAL
4.1 SEJARAH KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan fiskal adalah konsep pengelolaan ekonomi diperkenalkan oleh John Maynard Keynes,
yang kemudian umum dipakai dunia sejak peristiwa Depresiasi Besar (Great Depression) terjadi
pasca Perang Dunia I tahun 1929. Menurut Keynes, pemerintah suatu negara sebenarnya punya hak
mengatur pengeluaran dan pemasukan sebuah negara dengan menetapkan pajak dan membuat
kebijakan demi ekonomi makro negara.
4.2 LINGKUP DAN PENGERTIAN KEBIJAKAN FISKAL
Pengertian kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah demi menjaga pemasukan
(kebijakan politik, manajemen hutang, kebijakan mengenai perusahaan negara) dan pengeluaran
(kebijakan subsidi, kebijakan pekerjaan umum,kebijakan pengeluaran transfer) negara tetap stabil
sehingga perekonomian negara bisa bertumbuh baik. Lebih spesifik lagi, menurut OJK pengertian
kebijakan fiskal adalah kebijakan tentang perpajakan, penerimaan, utang piutang, dan belanja
pemerintah dengan tujuan ekonomi tertentu.
Penerapan kebijakan fiskal di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, melalui
Indische Comptabiliteitswet tahun 1944. Undang-undang tersebut kemudian diadaptasi pemerintah
guna menyusun kebijakan fiskal di Indonesia mulai Proklamasi sampai tahun 1997 - 2003.
Pasca tahun 2003 hingga saat ini, kebijakan fiskal di Indonesia sudah tidak disadur lagi dari ICW
1944, melainkan berdasarkan pada analisa perekonomian negara dengan berlandaskan pada UUD
1945. Pihak yang memiliki wewenang membuat kebijakan fiskal di Indonesia adalah Kementerian
Keuangan RI bersama-sama dengan Presiden.
Ruang lingkup kebijakan fiskal di indonesia meliputi: Pajak, Pengeluaran belanja negara, dan
Obligasi publik.
4.3 TAHAPAN DAN ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL
1. Masalah kebijakan (Policy Problem)
2. Kebijakan alternatif (Policy Alternatif)
3. Pelaksanaan kebijakan (Policuy action)
4. Hasil kebijakan (Policy Outcomes)
5. Kinerja kebijakan (Policy performences)
BAB V
KEUANGAN NEGARA DAN KEUANGAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH
5.1 KEUANGAN NEGARA
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksaan hak dan kewajiban tersebut.
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum yang paling tinggi dalam struktur perundang-
undangan di Indonesia. Oleh karena itu pengaturan mengenai keuangan negara selalu didasarkan
pada undang-undang ini, khususnya dalam bab VIII Undang-Undang Dasar 1945 Amendemen IV
pasal 23 mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bunyi pasal 23:
Ayat (1): Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ayat (2): Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh
Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah. ayat (3): “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu”.
Proses penyusunan dan penetapan APBN dapat dikelompokkan dalam dua tahap, yaitu: (1)
pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dan DPR, dari bulan Februari sampai dengan
pertengahan bulan Agustus (2) Pengajuan pembahasan dan penetapan APBN, dari pertengahan
bulan Agustus sampai dengan bulan Desember.
STRUKTUR APBD
Terdiri atas jenis penerimaan daerah dan pengeluaran daerah
1. Jenis penerimaan daerah
a. pendapatan daerah
Pendapatan asli daerah
Meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
Dana perimbangan
Meliputi bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Lain-lain pendapatan yang sah
2. Jenis pengeluaran daerah
a. Belanja tidak langsung
terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan
sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan pengeluaran tidak terduga.
b. belanja langsung
terdiri atas belanja pegawai langsung, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.
c. Pembiayaan daerah
pembiayaan daerah adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran
yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun
anggaran berikutnya.
5W+1H
What : Dampak Penerapan kebijakan Fiskal terhadap tingkat kemiskinan
Why
Data diatas menyajikan jumlah tingkat pengangguran di indonesia pada tahun 2020-2021. Dimana
indonesia sedang mengalami masa transisi akibat wabah covid-19, yang menyebabkan penurunan
angka tenaga kerja aktif.
Presiden Jokowi juga mengungkapkan enam hal yang akan menjadi fokus pemerintah dalam
kebijakan fiskal yang disusun. Pertama, adalah melanjutkan upaya pengendalian Covid-19 melalui
serangkaian kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Dengan tetap memprioritaskan aspek kesehatan
sebagai pilar utama dalam mengatasi penyebaran virus berbahaya ini.
Kesehatan menjadi hal yang penting, mengingat melalui aspek inilah, pandemi dapat dihentikan
dalam beberapa waktu ke depan secara optimal.
"Melanjutkan upaya pengendalian Covid-19 dengan tetap memprioritaskan sektor kesehatan," tutur
Kepala Negara.
Kedua, melanjutkan program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan miskin yang
sangat terdampak dari merebaknya pandemi selama 1,5 tahun belakangan ini.
Kebijakan yang diambil pemerintah sudah benar. Pasalnya, masyarakat yang memiliki kategori
tersebut dapat senantiasa dapat bertahan dari dampak buruk merebaknya wabah global Covid-19
yang mendera di berbagai aspek.
Ketiga, memperkuat upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM) unggul di masa pandemi. Hal
ini dilakukan dengan melakukan berbagai kegiatan pelatihan melalui dalam jaringan atau daring
yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait.
Dengan begitu, kualitas SDM dalam negeri akan mampu bersaing dengan SDM dari luar negeri.
"Memperkuat agenda peningkatan SDM yang unggul, berintegritas, dan berdaya saing," kata
Presiden Jokowi.
Keenam, melanjutkan reformasi penganggaran dengan berbasis zero based budgeting. Tujuannya,
mendorong sinergi antara pusat dan daerah ketika menyusun berbagai kebijakan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan negara.
Dengan fokus utamanya adalah piroritas berbasis hasil terhadap berbagai ketidakpastian
yang bisa berpotensi terjadi. "Melanjutkan reformasi penganggaran dengan zero-based budgeting
untuk mendorong belanja lebih efisien," kata Presiden Joko Widodo.
Who
Kebijakan Fiskal ini ditetapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
indonesia dalam upaya pengendalian dampak Covid-19 terhadap tingkat pengangguran di
indonesia.
How
Tentu saja, dalam menyusun RAPBN 2022 juga memperhatikan beberapa parameter ekonomi.
Salah satunya adalah keberhasilan negara ini yang bisa mencapai pertumbuhan ekonomi di kuartal
II-2021 sebesar 7,07 persen, tingkat inflasi terkendali di angka 1,52 persen (yoy).
Parameter berikutnya adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 diperkirakan 5,0 persen--5,5
persen. “Indonesia mengambil proyeksi pertumbuhan yang optimistis di kisaran 5,5%.”
Begitu juga nilai rupiah yang di kisaran Rp14.350 per US dolar, suku bunga surat utang negara 10
tahun 6,82 persen, serta Indonesia Crude Price (ICP) USD63 per barel, serta lifting migas sebesar
703.000 barel dan 1.036.000 barel setara minyak per hari.
Dengan parameter itu, pemerintah memerlukan alokasi APBN Tahun 2022 mencapai Rp2,708
triliun. Meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1,938, triliun dan transfer ke daerah mencapai
Rp770,4 triliun. Selain itu, alokasi untuk kesehatan Rp255,3 triliun (porsinya 9,4 persen dari belanja
negara. Begitu juga untuk anggaran perlindungan sosial Rp427,5 triliun, anggaran Pendidikan
Rp541,7 triliun, serta pembangunan infrastruktur Rp384,8 triliun
Berbagai kebijakan belanja negara secara keseluruhan diharapkan dapat mendorong tercapainya
sasaran pembangunan pada 2022, yakni tingkat pengangguran terbuka 5,5 persen--6,3 persen,
tingkat kemiskinan di kisaran 8,5 persen-9,0 persen, rasio gini di kisaran 0,376-,0378, serta indeks
pembangunan manusia di kisaran 73,41-73,46.
Oleh karena itu, pemerintah perlu peningkatan pendapatan negara 2022 Rp1.840,7 triliun,
penerimaan pajak Rp1.506,9 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp333,2 triliun.
"Mobilisasi pendapatan negara dilakukan dalam bentuk optimalisasi penerimaan pajak maupun
reformasi pengelolaan PNBP."
Pada kesempatan yang sama, di rapat paripurna DPR, Senin (16/8/2021), Ketua DPR RI Puan
Maharani pun menerima pengantar RUU tentang APBN tahun 2022 dan nota keuangan dari
Presiden Joko Widodo. Puan pun memberikan sejumlah catatan terkait dengan penyusunan dan
pembahasan RAPBN 2022. Dia mengingatkan, RAPBN 2022 akan disusun di tengah masa
ketidakpastian, lantaran masih dalam masa pandemi Covid-19.
Untuk itu, dia menilai, diperlukan berbagai antisipasi fiskal pada APBN 2022. "DPR RI dan
pemerintah menyadari bahwa RAPBN tahun 2022 akan disusun di tengah situasi ketidakpastian
yang tinggi karena disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Oleh karena itu diperlukan berbagai
antisipasi fiskal pada APBN tahun anggaran 2022," ujarnya.
HTAG
Hambatan kebijakan Fiskal yaitu dalam proses perencanaan anggaran ruang Fiskal yang masih
terbatas, proses penganggaran yang belum optimal, dan persepsi stakeholder yang cenderung masih
belum sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah.
Tantangannya adalah pemerintah perlu peningkatan pendapatan negara 2022 Rp1.840,7 triliun,
penerimaan pajak Rp1.506,9 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp333,2 triliun.
"Mobilisasi pendapatan negara dilakukan dalam bentuk optimalisasi penerimaan pajak maupun
reformasi pengelolaan PNBP."
Ancaman jika kondisi saat itu terus berlanjut tanpa diterapkannya kebijakan fiskal maka akan
terjadi kemerosotan ekonomi di indonesia karena tingginya tingkat pengangguran di indonesia.
Gangguan penerapan kebijakan fiskal yaitu kinerja beberapa pihak dipemerintahan yang belum
maksimal dan masyarakat yang kurang mendukung penerapan kebijakan fiskal.
MODUL
EKONOMI PUBLIK
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
JAINAL YUSTI
MATAKULIAH: EKONOMI PUBLIK
DOSEN: ALZEFIN Y. R. M SINOLUNGAN S.E, M.Si
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN ILMU EKONOMI SEMESTER III
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur, kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
karunia serta berkat yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan MODUL dengan baik
meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga berterimakasih pada Nci Alzefin
Y.R.M Sinolungan S.E, M.Si selaku dosen mata kuliah Ekonomi Publik Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Manado yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.
Kami harap projek ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan Ilmu Pengetahuan
kita mengenai materi yang kami akan bahas, terutama memgembangkan softskill baik kami maupun
audiens. Kami menyadari bahwa makalah studi kasus ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang saya buat menjadi
lebih baik kedepannya. Mengingat bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga studi kasus ini, dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sedikitnya projek
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi Publik. Demikian makalah studi kasus ini kami buat, mohon maaf apabila ada kesalahan
kata-kata yang berkenan di hati pembaca.
Penulis
BAGAN MATERI
PERANAN DISTRIBUSI
FUNGSI PEMERINTAH
PERANAN STABILISASI
KEGAGALAN PEMERINTAH
EFISIENSI KONSUMEN
EFISIENSI PRODUSEN
KRITERIA KOMPENSASI
METODE PENENTUAN
HARGA PELAYANAN PUBLIK
RINGKASAN MATERI
BAB 8
Desentralisasi fiskal tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan otonomi daerah untuk
mengatur keuangan daerah sesuai potensi masing-masing. Penelitian ini menganalisis permasalahan
peraturan perundang- undangan yang mengatur pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam otonomi
daerah dan pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah di Indonesia. Pendekatan
penelitian ini yuridis normatif dengan analisis kualitatif. Kesimpulan penelitian ini bahwa peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di
Indonesia mengalami perkembangan mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah hingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah namun sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
lex specialis mengatur mengenai desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal berperan penting
dalampelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sebagai sarana mempercepat terciptanya
kesejahteraan masyarakat secara mandiri sesuai dengan potensi daerah meskipun masih terdapat
banyak kendala
Desentralisasi dalam konteks harafiah adalah lawan dari kata sentralisasi yang berarti
pemusatan kekuasaan. Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses
pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis (Sidik, 2002). Konsep desentralisasi terdiri
atas desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administrasi (administrative
decentralization), dan desentralisasi fiskal (fiscal decentralization) (Sidik, 2002). Desentralisasi
merupakan peralihan kewenangan dari lingkungan pusat (central government) ke lingkungan
pemerintah daerah (local government) untuk mengatur dan mengurusi daerahnya berdasarkan
kondisi riil yang mengitarinya (Kaloh, 2002). Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Kumorotomo, 2008).
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan
dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan
(fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka
dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah otonom (Sun’an dan Senuk 2017). Desentralisasi fiskal merupakan
konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Sama seperti otonomi daerah,
desentralisasi fiskal pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan potensi daerah, dalam hal
ini adalah dari segi fiskal. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengamanatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi ke dalam provinsi- provinsi kemudian
dibagi lagi ke dalam wilayah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengatur danmelaksanakan sendiri urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya dengan menyesuaikan kemampuan keuangan daerah yang bersangkutan. Otonomi
daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan sesuai dengan kepentingan masyarakat daerah tersebut. Pemberlakuan sistem otonomi
daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang- undang yang
dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah (Kurniawan, 2012). Sejarah otonomi daerah
di Indonesia sudah dimulai pada zaman kemerdekaan. Sejarah ini sempat terhenti saat
diterapkannya sentralisasi pemerintahan pada era orde baru. Kemudian, perjalanan desentralisasi
dilanjutkan seiring dengan berkembangnya era reformasi di Indonesia. Namun, ketidaksiapan
institusi dan masyarakat dalam menghadapi desentralisasi ini mengakibat kan ketidakseimbangan
vertikal dan horizontal (Nurhemi & Suryani, 2015). Menurut Said (2008), terdapat empat perspektif
yang mendasari segi positif dan empat perspektif yang mendasari segi negatif otonomi daerah.
Empat perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah, yaitu sarana untuk 1) demokratisasi,
2) membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintahan, 3) mendorong stabilitas dan
kesatuan nasional, dan 4) memajukan pembangunan daerah. Empat perspektif yang mendasari segi
negatif otonomi daerah, yaitu 1) menciptakan fragmentasi dan keterpecahbelahan yang tidak
diharapkan, 2) melemahkan kualitas pemerintahan, 3) menciptakan kesenjangan antardaerah yang
lebih besar, dan 4) memungkinkan terjadinya penyimbanganarah demokrasi yang lebih besar.
Pelaksanaan otonomi harus dilaksanakan sesuai dengan konsep otonomi yang dimaknai sebagai
penyerahan urusan Pemerintah Pusat ke daerah, kecuali lima kekuasaan yang dipergunakan untuk
kelangsungan kehidupan bangsa. Namun diluar lima kekuasaan yang dikecualikan harus diserahkan
pada daerah. Dengan mempertimbangkan penyerahan urusan itu sebagai usaha untuk mengurangi
beban dan tuga Pemerintah Pusat. Disamping itu juga, dalamrangka meratakan tanggung jawab.
Sesuai dengan sistem demokrasi, maka tanggung jawab pemerintah dapat dipikul rata oleh seluruh
masyarakat yang diikutsertakan melalui disentralisasi fungsional dan teritorial. Hal ini dapat
menciptakan stabilitas pemerintahan pada umumnya (Makhfudz, 2013). Implementasi Otonomi
Daerah memberi peluang besar bagi daerah untuk meningkatkan kinerja keuangan mereka sendiri.
Daerah memiliki wewenang untuk mengelola dan meningkatkan sumber daya lokal mereka sendiri
(Setiaji & Adi, 2007). Namun, pelaksanaan otonomi daerah yang seringkali dipelintir menjadi
“automoney” telah menyebabkan kebutuhan yang besar bagi daerahuntuk menyusun berbagai
skema keuangan daerah guna membiayai bergesernya berbagai otoritas dari pusat ke daerah
(Tjandra, 2016). Desentralisasi fiskal sejauh ini sudah memberikan dampak positif terhadap
otonomi daerah di Indonesia namun belum diatur secara khusus dalam undang-undang.
Instrumeninstrumen hukum yang ada dalam mengatur desentralisasi fiskal kini berguna untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, membangun kegiatan perekonomian daerah dan menjadi
landasan dalam membuat peraturan perundang- undangan mengenai desentralisasi fiskal di masa
yang akan datang. Kebijakan desentralisasi fiskal memberi kesempatan kepada Pemerintah Daerah
agar dapat memanfaatkan potensi ekonomi daerahnya sendiri untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan. Pemerintah Daerah dapat merumuskan peraturan daerah mengenai desentralisasi
fiskal di daerahnya berdasarkan hal- hal tersebut agar pengambilan keputusan lebih didengarkan
oleh masyarakat karena sesuai dengan karakter dan potensi daerah. Karena itu, hubungan antara
ketimpangan dan tuntutan otonomi kompleks dan bergantung pada karakteristik daerah (Sambanis
& Milanovic, 2014). Pemerintah Daerah juga dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat
untuk pengaturan mengenai desentralisasi fiskal di tingkat yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di samping memberikan dampak positif juga memungkinkan
tindak korupsi karena memberikan peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola
keuntungan potensi daerahnya. Bagi para pelaku korupsi di daerah, selain APBD, anggaran yang
sering menjadi target korupsi adalah anggaran pemekaran daerah (Saputra, 2012). Salah satu kasus
yang baru saja terjadi adalah korupsi APBD oleh 45 orang anggota DPRD Malang terhadap dana
yang digunakan untuk membangun fasilitas umum. Hal ini patut mendapat perhatian bersama dari
pemerintah pusat dan masyarakat karena APBD adalah fundamental dari perekonomian daerah
(Putra, 2018). Peneltian sebelumnya membahas tentang efek kebijakan desentralisasi fiskal sebagai
representasi implementasi kebijakan otonomi daerah berpengaruh secara parabolik (hump-shape
relation) terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dimana pada situasi desentralisasi fiskal masih
rendah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi setelah mencapai titik tertinggi,
pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi negatif (Sumardi. 2014. Siregar, B.
2017). Pradityo (2017) membahas pengaruh desentralisasi fiskal terhadap korupsi di tingkat
pemerintah daerah (provinsi) di Indonesia. Kriteria sosial ekonomi dan demografi bersama dengan
faktor-faktor politik mempengaruhi tingkat otonomi fiskal pemerintah daerah di negara Yunani.
(Psycharis, 2015). Permasalahan penelitian ini membahas bagaimana peraturan perundang-
undangan mengatur pelaksanaan desentralisasi fiskal dalamotonomi daerah dan bagaimana
pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah adalah dasar
pelaksanaan otonomi daerah tertuang di dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18, 18 A dan 18 B. Sistem otonomi daerah tertulis secara
umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Pasal 18 ayat (2)
menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat
(5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.” Dan ayat (6)
Pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Kebijakan
desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk mendorong perekonomian
daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia. Peraturan perundang-
undangan yang pertama kali mendasari desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah adalah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Pada saat itu, dari
evaluasi pelaksanaannya didapatkan hasil bahwa derajat desentralisasi fiskal tinggi dan
ketimpangan daerah besar. Sehingga Desentralisasi fiskal di era reformasi Indonesia pertama kali
dilaksanakan berdasarkan pembaharuan peraturan perundang- undangan yaitu Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dituliskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus
mempertimbangkan kemampuan ekonomi daerah, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk dan luas daerah. Undang-Undang ini juga mengatur bahwa keleluasaan yang
diberikan kepada daerah harus proporsional yang diwujudkan dengan pemanfaatan sumber daya di
daerah secara berkeadilan dan bertanggung jawab. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan
spirit konstitusi dan bertujuan meningkatkan kemandirian daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memperkuat dan mendukung Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan menjamin ketersediaan sumber-sumber fiskal bagi
Pemerintah Daerah dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah yang integral dengan
pemerintahan pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di era Reformasi secara resmi dimulai sejak 1
Januari 2001. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk
mendorongperekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di
Indonesia (Indah, 2011). Proses tersebut diawali dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua regulasi tersebut sudah
mengalami beberapa kali revisi hingga yang terakhir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah serta Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Awalnya, pelaksanaan desentralisasi
fiskal di Indonesia ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Sebagai
konsekuensinya, daerah kemudian menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
serta keagamaan. Setelah tiga dekade Orde Baru, 1967-1998, masyarakat Indonesia sedang dalam
proses transformasi penting menuju era yang lebih demokratis (Setiawan & Hadi, 2007). Fase
kedua pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah ditandai dengan adanya reformasi
dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan paket Undang-Undang keuangan negara yang
berisi tiga peraturan di bidang keuangan negara. Pertama adalah Undang- Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara yang menetapkan bahwa asas-asas umum yang meliputi baik asas-
asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas
universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best
practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalampengelolaan keuangan negara, antara lain
akuntabilitas, berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan negara, pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian
pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Ketiga, Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
yang menyangkut pula keuangan daerah. Dalam fase ketiga, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kemudian digantikan lagi oleh Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang di dalamnya
didapatkan definisi otonomi daerah secara jelas di dalam Pasal 1 angka 6 yaitu hak, wewenang,
dankewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Maka dari uraian di
atas, peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia mengalami
perkembangan. Namun sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara lex
specialis mengatur mengenai desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi,
sebagai salah satu pilihan sistem yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempercepat
terciptanya kesejahteraan masyarakat. Karena otonomi adalah sebagai usaha membagi rata
tanggung jawab pemerintahan pusat. Kemudian beban tanggung jawab dibagi ke pemerintahan
lokal, sampai yang paling bawah (Makhfudz, 2013). Sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang kemudian
masing- masing disempurnakan dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang 33
Tahun 2004, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengelola keuangan daerah secara mandiri.
Dana perimbangan merupakan inti dalam desentralisasi fiskal. Dana Perimbangan adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan bertujuan mengurangi
kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah.
Berdasarkan Pasal 287 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Dana
perimbangan terdiri atas: a) DBH; b) DAU; dan c) DAK. Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan
Nomor 187/Pmk.07/2016, sejak tahun 2016 dana perimbangan diubah menjadi dana transfer umum
(Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum) serta Dana Transfer Khusus (Dana Alokasi Khusus
fisik dan non-fisik) (Badrudin, 2017). Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah khusus untuk
desentralisasi expenditure, yaitu desentralisasi fiskal yang digunakan untuk belanja daerah dan
besarnya ditentukan oleh diskresi masing-masing Pemerintah Daerah. Desentralisasi fiskal di
Indonesia menitikberatkan pada desentralisasi di sisi pengeluaran, sehingga pemberian kewenangan
pungutan perpajakan daerah dan retribusi daerah relatif terbatas, namun kepada daerah diberikan
kewenangan yang luas untuk melakukan pengeluaran sesuai prioritas dan kebutuhan daerah.
BAB 9
PENYUSUNAN ANGGARAN DAERAH BERBASIS KINERJA
Penganggaran berbasis kinerja bukan suatu hal yang baru kita jumpai, komitmen ini sudah lama
diikrarkan, sejak PP 58/2005 dikeluarkan dan diimplementasikan dalam pelaksanaannya dengan
juknisnya melalui Permendagri 13/2006. Bahkan saat penyusunan tesis program pasca sarjana saya
pun mengambil topik tentang implementasi Permendagri 13/2006 tersebut dikaitkan dengan
kesiapan sumber daya manusia nya. Jadi sudah berjalan kurang lebih 9 tahun amanah ini diberikan
oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Namun dalam prakteknya, apakah amanah
tersebut sudah dijalankan (salah satunya untuk melaksanakan penganggaran berbasis kinerja) ?
Apakah Anggaran Berbasis Kinerja ? Anggaran Berbasis Kinerja merupakan metode penganggaran
bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan
manfaat yang dihasilkan. Manfaat tersebut dideskripsikan pada seperangkat tujuan dan sasaran
yang dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. Anggaran Berbasis Kinerja yang efektif
akan mengidentifikasikan keterkaitan antara nilai uang dan hasil, serta dapat menjelaskan
bagaimana keterkaitan tersebut dapat terjadi yang merupakan kunci pengelolaan program secara
efektif. Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai instrumen kebijakan yang
berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk
mencapai sasaran dan tujuan, serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang
dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. Jika terjadi perbedaan antara rencana dan realisasinya,
dapat dilakukan evaluasi sumber-sumber input dan bagaimana keterkaitannya dengan
output/outcome untuk menentukan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program.
Ada instrument yang harus dipenuhi dalam mewujudkan anggaran berbasis kinerja, sebagaimana
diisyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 167
ayat 3, menyebutkan “Belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan
analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Hal yang sama juga diisyaratkan PP 58
Tahun 2005 pasal 39 ayat (2), “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan
berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga dan
standar pelayanan minimal”. Dipertegas lagi dalam Permendagri 13 Tahun 2006, pasal 93 ayat (1)
menyebutkan bahwa penyusunan RKA SKPD berdasarkan prestasi kerja, indikator kinerja, capaian
atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga dan standar pelayanan minimal.
Dari ketiga peraturan perundangan di atas, dapat disimpulkan bahwa 5 (lima) elemen utama/wajib
dalam perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja adalah : 1. Analisis Standar Belanja, 2.
Standar Pelayanan Minimal, 3. Indikator Kinerja, 4. Target Kinerja, 5. Standar Satuan Harga.
Melihat fungsi urgen analisa standar belanja yang dipersyaratkan dalam beberapa peraturan
perundangan diatas, sudah selayaknya Pemerintah Daerah mulai menyusun strategi untuk
mewujudkannya. Karena dengan ASB dapat memberikan kepastian terjaganya hubungan antara
input (dana) dengan output (target kinerja). Ada banyak manfaat yang diperoleh oleh Pemerintah
Daerah dengan mempunyai ASB, diantaranya : 1. Penetapan plafon anggaran menjadi obyektif
(tidak lagi berdasarkan intuisi), 2. Dapat menentukan kewajaran biaya dalam melaksanakan suatu
kegiatan, 3. Meminimalisir terjadinya pengeluaran yang kurang jelas dan sudah pasti menyebabkan
inefisiensi anggaran, 4. Penentuan anggaran berdasarkan pada tolok ukur kinerja yang jelas, 5.
Penentuan besaran alokasi setiap kegiatan menjadi obyektif, 6. Memiliki argument yang kuat jika
“dituduh”melakukan pemborosan oleh auditor eksternal (baca: BPK), 7. Penyusunan anggaran
menjadi lebih tepat waktu.
Ada banyak hal yang mendasari mengapa dari 328 Kabupaten dan 53 Kota di Indonesia, baru
sekitar 34 Kabupaten/Kota/Provinsi yang memiliki ASB. Sebagai catatan, untuk Jawa Timur ada
Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Banyuwangi. Salah satu alasan mengapa belum
seluruh Pemerintah Kabupaten menerapkan ASB dalam penganggaran berbasis kinerja ,
sebagaimana yang dikemukan oleh Prof.Dr. Abdul Halim, M.B.A, Akt, Guru Besar Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam sesi diklat penganggaran
berbasis kinerja beberapa waktu yang lalu, adalah adanya “resist to change”atau penolakan untuk
berubah karena berbagai alasan. Diperlukan komitmen yang kuat dari pengambil kebijakan dari
setiap Pemerintah Daerah dalam menyusun ASB dan tentu saja dalam menjalankan penganggaran
berbasis kinerja dengan tolok ukurnya. Bahkan mungkin diperlukan adanya rewards dan
punishment dari Pemerintah Pusat untuk Pemerintah Daerah yang telah mempunyai ASB.
Sebagaimana rewards berupa pemberian insentif bagi Pemerintah Daerah yang 3 (tiga) kali
berturut-turut meraih opini atas laporan keuangan nya Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan
punishment bagi Pemerintah Daerah yang terlambat dalam penetapan APBD nya dengan
pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU). Jika itu diterapkan, saya yakin akan banyak Pemerintah
Daerah yang segera serius menyusun ASB nya dengan berbagai konsekuensinya. Dengan begitu,
kita tidak perlu lagi mempertanyakan apakah penganggaran kita selama ini telah berbasis kinerja,
atau hanya “berbaju” kinerja?
BAB 10
MOBILISASI PENERIMAAN DAERAH DI ERA DESENTRALISASI FISKAL
Bahl dan Linn (1994) menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal berarti desentralisasi dari
pemerintahan, alokasi pengeluaran dan mobilisasi penerimaan daerah. Bahl juga menyebutkan
bahwa bentuk desentralisasi fiskal sangat bervariasi tergantung tujuan dari perubahan sistem
perintahan ini. Pada satu titik ekstrim tertentu negara cenderung membatasi desentralisasi pada
operasi pemerintahan sehingga pemerintah daerah tidak melakukan pembiayaan dan pengadaan
pelayanan publik. Sedangkan di titik ekstrim lainnya, pemerintah lokal diberikan kekuasaan penuh.
Banyak ahli ekonomi yang beranggapan bahwa desentralisasi fiskal merupakan kebijakan yang
tepat bagi pertumbuhan regional karena desentralisasi fiskal cenderung memperpendek jarak antara
pemerintah sebagai pengambil keputusan dengan stakeholder-nya. Tiebout (1956) dan Oates (1972)
menyebutkan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah
yang memiliki kontrol geografis paling minimum, karena:
1. Pemerintah lokal lebih mengerti kebutuhan masyarakat
2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga
mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari
masyarakat
3. Persaingan antara daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan
mendorong pemerintah local untuk meningkatkan inovasinya. Ekonom berpendapat desentralisasi
fiskal dapat membawa dampak positif terhadap pertumbuhan regional jika desentralisasi fiskal juga
dibarengi dengan terpenuhinya prasyarat tertentu. Bahl (1999) menyebutkan 12 aturan agar
desentralisasi fiskal dapat memberikan efek positif terhadap masyarakat lokal, yaitu:
(1) Desentralisasi fiskal harus dipandang sebagai sebuah sistem yang komprehensif;
(2) Money follows function;
(3) Pemerintah pusat mempunyai kemampuan kuat dalam mengawasi dan mengevaluasi
desentralisasi;
(4) Satu sistem antar pemerintah tidak memaksakan hubungan yang sama dan sesuai antara
desa dengan kota;
(5) Desentralisasi fiskal membutuhkan kekuatan yang besar bagi pemerintah lokal untuk
mengambil pajak;
(6) Pemerintah pusat harus konsisten dengan desentralisasi fiskal yang telah diterapkannya;
(7) Tetap menjadikan desentralisasi sebagai sesuatu yang dapat dijelaskan dengan relatif
mudah;
(8) Penyusunan sistem transfer antar pemerintah harus sesuai dengan tujuan desentralisasi
fiskal;
(9) Desentralisasi fiskal seharusnya tetap mempertimbangkan ketiga level pemerintahan;
(10) Menetapkan anggaran yang ketat dan berimbang;
(11) Pemerintah harus selalu merencanakan sistem antar pemerintahan karena hal tersebut
akan selalu berubah; dan
(12) Harus ada pihak pengambil keputusan di level lokal maupun nasional yang menyetujui
kebijakan desentralisasi fiskal dan mengerti keuntungan dari kebijakan yang diambil serta implikasi
logis dari kebijakan tersebut. Bahl dan Linn (1994) berupaya merangkum pendapat yang kontra
dengan desentralisasi fiskal (mendukung sentralisasi fiskal), antara lain:
a. Perekonomian negara-negara miskin dan berkembang cenderung kurang terdiversifikasi
sehingga rentan terhadap gejolak harga barang di tingkatan internasional, bencana alam, perang,
resesi dunia, sehingga stabilisasi merupakan isu penting bagi negara-negara ini. Oleh sebab itulah
kebijakan pajak, dan pinjaman ke luar negeri harus dikontrol pemerintah pusat.
b. Isu tentang pembangunan merupakan isu sentral dalam perencanaan perekonomian
negara berkembang. Harus diakui bahwa kapital memegangperanan penting dalam pertumbuhan ini.
Karena keterbatasan jumlah kapital ini, maka kapital yang tersedia harus bisa termanfaatkan secara
optimal dan menghasilkan tingkat return yang optimal. Pemberian hak ke daerah untuk mengelola
pajak-pajak utama akan menyebabkan terjadinya kompetisi sehingga jumlah dana yang dapat
diakumulasi oleh pusat untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara makro akan berkurang.
c. Sentralisasi memberikan akses kepada pemerintah pusat untuk memanfaatkan
sumberdaya yang ada demi manfaat nasional, sedangkan jika akses itu diberikan ke daerah maka
cenderung akan dimanfaatkan untuk kepentingan manfaat lokal daerah yang bersangkutan,
d. Desentralisasi fiskal membuat perbedaan kemakmuran antara daerah yang kaya dengan
daerah yang miskin akan semakin besar. Dengan desentralisasi fiskal, daerah yang kaya sumber
daya alam cenderung memperoleh pendapatan dari pajak lebih besar sehingga menyebabkan
perbedaan taraf hidup dengan daerah yang miskin dan pada akhirnya akan menimbulkan
kecumburuan sosial. Hal ini akan mengganggu stabilitas sosial dan keamanan negara. Lain halnya
jika pengaturan pajak bersifat sentralistik, maka pemerintah pusat cenderung memberikan transfer
untuk menutupi/mengurangi gap tersebut. e. Kemampuan personal dan administratif pemerintah
pusat dalam mengatur keuangan baik dalam bentuk pajak maupun pengeluaran masih relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan kemampuan pemerintah daerah.
BAB 11
PAJAK PROPERTI DI INDONESIA ISU PENDAERAAN PBB DAN BPHTB
Pada tanggal 15 September 2009, pemerintah telah mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara resmi telah berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
Kehadiran UU PDRD tersebut akan menggantikan UU yang lama yaitu UU No. 18 Tahun 1997
tentang PDRD. Bagian Keenam Belas UU No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (saya singkat menjadi PBB P2). Sedangkan Bagian Ketujuh
Belas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010,
Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB P2 dan
BPHTB. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diatur oleh menteri keuangan
bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182).
Sebagaimana telah diketahui bahwa UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan UU NO. 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000
adalah tergolong sebagai pajak pusat. Walaupun sebagai pajak pusat, tetapi penerimaan pajak
tersebut, secara mayoritas, diserahkan kembali kepada daerah kabupaten/kota. Cara seperti ini lebih
disukai oleh banyak pemerintah kabupaten/kota. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk
memungut pajak tersebut, tetapi hanya menerima bagi hasilnya saja. Singkat kata, mereka tidak
ingin menerima pengalihan ini. Jika demikian halnya, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa
pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBB P2 dan BPHTB?
1. Kebanyakan negara maju menyerahkan urusan pajak properti (jika di Indonesia adalah PBB)
menjadi urusan pemerintah daerah;
2. Migas (minyak bumi dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber
pendapatan bagi APBN (anggaran dan pendapatan belanja negara), mengingat Indonesia
tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, tetapi sebaliknya sebagai suatu negara
yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber utama pendapatan bagi APBN bergeser
dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati
posisi strategis dalam APBN. Sebagai gambarannya adalah penerimaan APBNP 2010
adalah Rp 992-an Triliun yang mana penerimaan pajak adalah Rp 743-an Triliun;
3. Dari penerimaan pajak sebesar Rp 743-an Triliun tersebut, maka penerimaan PBB (seluruh
sektor) adalah Rp 26-an Triliun dan BPHTB Rp 7-an Triliun. Namun demikian, hampir
seluruh penerimaan PBB dan BPHTB tersebut diserahkan kepada pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Landasan hukumnya adalah PMK No.
34/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, artinya bahwa, memang sejak awal penerimaan PBB dan
BPHTB sudah menjadi bagian dari pemerintah daerah. Hal yang sama berlaku juga untuk
BPHTB, dasar hukumnya adalah PMK No. 32/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang
Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan
dialihkannya PBB P2 (yang penuh dengan permasalahannya karena berjuta-juta jumlah
objek pajaknya) menjadi pajak daerah, maka Ditjen Pajak akan lebih berkonsentrasi dalam
pemenuhan target penerimaan pajak pusat.
Pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan
bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia (Pasal 1 UU PBB).
Bumi, menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 1
ayat (4) disebutkan bahwa pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi
dibawahnya serta yang berada dibawah air. Dalam Ayat (5) disebutkan juga bahwa pengertian
air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
Penggunaan istilah “bumi” pada pajak “bumi” dan bangunan berakibat pada siapa saja yang
menjadi subjek pajak. Artinya, PBB dikenakan secara umum pada orang atau badan yang secara
nyata a). Mempunyai suatu hakatas bumi, dan/atau; b). “Memperoleh manfaat” atas bumi,
dan/atau; c). “Memiliki”; d)”Menguasai”, dan/atau; e) Memperoleh manfaat atas bangunan.
Seandainya, istilah “bumi” diganti menjadi “hak atas tanah”, sehingga PBB berganti menjadi
Pajak “Hak atas Tanah” dan Bangunan (PHTB), maka PBB dikenakan hanya kepada objek yang
bersertifikat tanah saja, seperti sertifikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak pengelolaan dan hak milik satuan rumah susun.
Penggunaan istilah “hak atas tanah” pada BPHTB berakibat pada jenis perolehan. Artinya, BPHTB
dikenakan secara khusus pada orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah
(penyusun sebutsertifikat tanah).
Seandainya, istilah hak atas tanah diganti menjadi “bumi”, sehingga BPHTB berganti menjadi Bea
Perolehan “Bumi” dan Bangunan (BPBB), maka BPBB dikenakan secara luas kepada orang
pribadi atau badan yang memperoleh bumi, artinya bisa saja a). “Mempunyai suatu hak” atas bumi,
b). “Memperoleh manfaat” atas bumi, c). “Memiliki bumi ataupun”d) “Menguasai bumi”.
Lebih tepatnya, pengertian tanah adalah mengarah kepada jenis hak yang meliputi hak atas tanah,
hak atas air dan hak ruang angkasa. Disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (disebut dengan UU PA) Pasal 4 ayat
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam “hak atas permukaan bumi”, yang disebut “tanah”, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum.
(2) “Hak-hak atas tanah” yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.
(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-
hak atas air dan ruang angkasa.
BAB 1
FUNGSI PEMERINTAH
. Peran Alokasi adalah peran pemerintah untuk menghasilkan dan mengusahakan agar
pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara optimal.
1.2 PERANAN DISTRIBUSI
Peran Distribusi adalah peran pemerintah untuk mengusahakan agar distribusi pendapatan ditengah
masyarakat menjadi merataguna dan mensejahterakan masyarakat.
Peran Stabilisasi adalah peran pemerintah untuk meningkatkan kesempatan kerja serta stabilitas
harga barang-barang kebutuhan ekonomi yang mantap dan tingkat pertumbuhan yang memadai.
Ada banyak permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini seperti tingkat kemiskinan yang masih
tinggi, literasi digital yang masih rendah, kasus kekerasan dan fanatisme kelompok atau golongan
intoleran, tingkat stunting yang masih tinggi serta berbagai permasalahan yang dapat menghambat
kemajuan bangsa.
BAB 2
Barang-barang swasta, yaitu. barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar dapat
menyebutkan alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisian. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenal efsiensi alokasi sumber-sumber ekonomi dalam perekonomian yang menggunakan sistem
pasar tanpa adanya campur tangan pemerintah. Dalam pembahasan ini analisi dibagi menjadi dua,
yaitu efisiensi konsumen dan efisiensi produsen. Jadi kita anggap bahwa masyarakat dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu golongan konsumen dan golongan produsen.
Dalam perekonomian yang meggunakan sistem pasar, harga barang dan jasa, upah dan sebagainya
ditentukan oleh permitiman dan penawaran. Dalam sistem perekonomian pasar yang sempurna,
harga-harga merupakan data, yang berarti tidak ada satu pihak pun, baik produsen maupun
konsumen secara sendiri-sendiri dapat mempengaruhi harga. Hal ini disebabkan oleh karena dalam
sistem pasar persaingan sempurna, seorang pengusaha ataupun pembeli hanya merupakan sebagia
yang sangat kecil sehigga peranannya menjadi tidak berarti. Bagi seorang konsumen, permintaan
akan suatu barang hanya merupakan sebagian kecil dibandingkan dengan permintaan seluruh
konsumen, sehingga la tidak dapat mempengaruhi tingkat harga suatu barang dengan merubah
permintaannya akan barang tersebut, walaupun konsumen secara berkelompok dapat mempengaruhi
tingkat harga. Dalam analisa efisiensi konsumen, ada beberapa asumsi yang digunakan untuk
mempermudah analisis, yaitu:
TUGAS
“EKONOMI SEKTOR PUBLIK”
1. KONDISI PARETO OPTIMUM BAGI KONSUMEN
Pareto optimality adalah sebuah konsep populer dalam menangani
permasalahan tersebut. Sesuai namanya, konsep ini dikemukakan oleh Vilfredo
Federico Damaso Pareto dalam bukunya yang terkenal Manual of Political
Economy yang ditulis dalam bahasa Perancis tahun 1896, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1906. Dengan demikian, secara historis,
buku ini merupakan referensi pertama dalam menentukan optimalitas dari sebuah
permasalahan optimasi multi-tujua
P a r e t o e f i s i e n s i a t a u o p t i m a l i t a s P a r e t o a d a l a h k o n s e p d i b i d a n g
e k o n o m i . Sesuai n a m a n y a , k o n s e p i n i d i k e m u k a k a n o l e h Vilfredo Federico Damaso
Paretodalam bukunya yang terkenalManual of Political Economyyang ditulis dalam bahasa
Perancis tahun 1896, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1906. Vilfredo
Federico Damaso Pareto, adalah seorang sosiolog, ekonom dan filsuf Italia
. Pareto optimal didefinisikan sebagai sebuah kondisi di mana sudah tidak mungkin lagi
mengubah alokasi sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi
(better off) tanpa mengorbankan pelaku ekonomi yang lain (worse off).
Kondisi pareto terjadi ketika semua pelaku ekonomi dalam kondisi kesejahteraan yang
optimum.
Secara umum, efisiensi Pareto tidak hanya membutuhkan pengorganisasian produk
secara efisien tetapi juga pendistribusian produksi secara efisien kepada semua pemakai.
Secara formal, pengalokasian sumber-sumber daya yang tidak hanya menentukan apa yang
harus diproduksi dari sumber-sumber daya yang tersedia tapi juga bagaimana produksi
tersebut didistribusikan kepada pemakai. Efisiensi pareto terjadi apabila memenuhi beberapa
syarat berikut: tidak ada alokasi lain y a n g l a y a k d i m a n a t i d a k a d a s a t u p u n i n d i v i d u
m e n j a d i l e b i h b u r u k k e a d a a n n y a setidaknya satu individu menjadi lebih baik keadaannya
dibandingkan pada saat alokasi pertama (secara ekuivalen, tidak mungkin untuk membuat
seseorang menjadi lebih baik keadaannya tanpa membuat seorang lainnya lebih buruk.
Pareto improvement adalah perubahan pada alokasi yang dapat membuat seseorang
menjadi lebih baik tanpa membuat orang lain menjadi lebih buruk. Keadaan dimana
pareto improvement sudah tidak mungkin dilakukan lagi adalah sebuah alokasi yang
efisien.
Dalam konteks kaitannya dengan penyediaan barang publik oleh pemerintah, maka yang
menjadi tujuan akhir adalah meningkatkan kondisi pareto (pareto improvement) yang belum
efisien.
Para ekonom percaya bahwa peningkatan pareto (pareto improvement) menjadi tujuan
sehingga setiap kebijakan pemerintah harus ditempatkan dalam tujuan
u n t u k meningkatkan pareto yang disebut sebagai prinsip pareto (pareto principle).
Kondisi dasar untuk memenuhi optimalisasi pareto dalam perekonomian yang sederhana dimana
hanya ada dua barang yang diproduksi (X dan Y) dan hanya ada dua konsumen (A dan B)
1.Distribusi optimal barang-barang diantara konsumen Diasusmsikan semua barang telah
terdistribusi. Distribusi optimal juga bisa dikatakan terjadi pertukaran yang saling
menguntungkan. Pertukaran yang saling menguntungkan terjadi ketika tingkat substitusi marginal
dua barang adalah samauntuk setiap konsumen. Adapun pertukarang yang
menguntungkan tersebut adalah sebagai berikut: konsumen yang menilai barang X
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai barang Y, maka dia dapat menjual sebagian
barang Y kepada konsumen yang menilai barang Y relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
barang X. 2.Alokasi maksimal dari masukan-masukan dalam penggunaan produksi Terdapat dua
masukan (i dan j) dalam memproduksi barang X dan Y. Alokasi maksimal dari masukan-
masukan terpenuhi apabila rasio produk fisik marginal dari i dan j adalah sama dalam
produksi setiap barang. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengambil
keuntungan dari pengalokasian kembali masukan-masukannya diantara penggunaan yang
bersaing. Sebaliknya, jika rasio tidak sama, maka diilustrasikan sebagai berikut: masukan i
secara relatif lebih efisien dalam memproduksi barang X (dan karenanya, masukan j secara
relatif kurang efisien dalam memproduksi barang X). Hal ini akan memungkinkan
masyarakat untuk memperluas produksi suatu barang pada suatu tingkat
penggunaan sumber daya yang konstan. 3.Jumlah output (barang) optimal Output optimal
terpenuhi apabila rasio biaya marginal terhadap kegunaan marginal harus sama
untuk setiap barang. Apabila rassio tersebut tidak sama, maka masyarakat akan
mengambil manfaat dengan memproduksi lebih banyak barang yang menghasilkan kegunaan
marginal yang lebih tinggi
. Apa bi l a ketiga syarat ini terpenuhi (distribusi optimal barang-barang dia nt a ra
konsumen, alokasi maksimaldari masukan-masukan dalam penggunaan produksi, output
optimal) maka sangat mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan satu individu
tanpa mengurangi kesejahteraan individu lainnya pada saat yang sama.
Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa optimalitas pareto hanya menunjukkan
pengalokasian optimal dari sumber-sumber daya untuk suatu pola konsumsi tertentu yang
mencermikan yang saat ini terjadi. Namun apabila pola konsumsi berubah, maka akan membawa
pada suatu optimalitas pareto yang berbeda
TUGAS
“EKONOMI SEKTOR PUBLIK”
1. KONDISI PARETO OPTIMUM BAGI KONSUMEN
Pareto optimality adalah sebuah konsep populer dalam menangani
permasalahan tersebut. Sesuai namanya, konsep ini dikemukakan oleh Vilfredo
Federico Damaso Pareto dalam bukunya yang terkenal Manual of Political
Economy yang ditulis dalam bahasa Perancis tahun 1896, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1906. Dengan demikian, secara historis,
buku ini merupakan referensi pertama dalam menentukan optimalitas dari sebuah
permasalahan optimasi multi-tujuan
Bahwa perubahan alokasi penggunaan faktor produksi tanah dan tenaga kerja di antara kedua
produsen dapat menyebabkan kenaikan produksi pakaian sedangkan produksi makanan tidak
mengalami perubahan. Sebaliknya perubahan kombinasi penggunaan tanah dan tenaga kerja dapat
pula menyebabkan kenaikan produksi makanan sedangkan produksi pakaian tidak mengalami
perubahan. Perpindahan dari D ke titik F dan G merupakan titik terjauh yang dapat dicapai oleh
masing-masing produsen tanpa merugikan produsen yang lain, oleh karena itu maka titik F dan G
disebut titik PARETO EFISIENSI. Hal yang sama pada titik-titik selain D. Apabila kita hubungkan
semua titik pareto, kita dapatkan kurva kontrak O x Oy. Pada titik D jumlah tenaga kerja yang
digunakan sebanyak OxB1 dan tanah yang digunakan sebanyak O xT1 untuk menghasilkan pakaian
sebanyak KPSx1. Pada titik D, produsen makanan menggunak tenaga kerja sebanyak B 1BT dan tanah
sebanyak T1TT untuk menghasilkan makanan sebanyak KPSy1. Titik D bukan merupakan titik
optimum karena dengan merubah alokasi faktor di antara kedua produsen maka jumlah barang yang
dihasilkan dapat ditingkatkan, D ke F produksi pakaian bertambah, D ke G produksi bertambah.
Titik-titik F dan G merupakan titik pareto efisiensi. O xOy merupakan kurva kontrak dimana terdapat
kurva pareto.
Setiap titik pada kurva kontrak terjadi persinggungan antara KPS x dan KPSy yang berarti setiap
produsen harus membayar upah tenaga kerja dan sewa tanah yang sama. Titik-titik pada kurva
kontrak dapat diterjemahkan ke dalam suatu kurva kemungkinan produksi ( KKP= PRODUCTION
POSSIBILITY CURVE ).
Kriteria pemberian kompensasi atau faktor yang mempengaruhi kompensasi adalah beberapa aspek
di bawah ini.
1. Sistem kompensasi
Sistem kompensasi adalah keseluruhan kerangka yang digunakan untuk menentukan besaran
kompensasi pekerja. Biasanya pertimbangan pemberian kompensasi adalah waktu kerja dan
prestasi.
2. Harga pekerjaan
Harga pekerjaan dalam penentuan kompensasi adalah hal yang paling krusial karena tingkat
kesulitan pekerjaan menentukan berapa besaran gajinya. Nah, perusahaan berusaha mengakomodasi
tingkat kesulitan tersebut dan memberikan balas jasa yang sesuai.
3. Standar hidup
Standar hidup dalam kompensasi adalah hal yang biasanya ditinjau dari Upah Minimum Regional
(UMR) serta disesuaikan dengan tingkat kesulitan kerjanya.
Selain memberikan cukup imbalan, perusahaan juga harus memperhatikan faktor yang
mempengaruhi kompensasi dari sisi kompetitor dari bidang terkait. Jangan sampai tingkat
kompensasi yang diberikan lebih rendah dari kompetitor.
5. Kapasitas perusahaan
6. UU yang berlaku
Sejalan dengan tujuan kompensasi, undang-undang yang mengatur mengenai tenaga kerja harus
diperhatikan agar langkah perusahaan tidak berlainan dengan undang-undang.
Beberapa tips berikut ini layak dipertimbangkan terutama bila kamu bertanggungjawab atas
pemberian kompensasi pekerja.
Salah satu bentuk pembangunan di Jawa Timur, dalam rangka pemenuhan di lingkungan badan
pemberdayaan masyarakat Provinsi Jawa Timur yang bersumber dari APBD Provinsi pada tahun
2011 mencapai 46,71 triliun rupiah, yang terbagi menjadi dua jenis pengeluaran, yaitu belanja
aparatur dan belanja publik. Program Pengembangan Lembaga Ekonomi Pedesaan mencapai 48,87
persen dari total pengeluaran belanja publik di tahun 2011. Sedangkan belanja aparatur mencapai
24,81 persen dari total APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2011. Anggaran tersebut diharapkan dapat
meningkatkan pembangunan secara merata di kabupaten/kota Jawa Timur, dimana setiap kabupaten
dan kota di Jawa Timur memiliki potensi, demografi dan karakteristik yang berbeda-beda. Dengan
berlakunya kebijakan desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan
kewenangan yang semakin luas kepada daerah untuk memberdayakan diri terutama berkaitan
dengan pengelolaan potensi dan sumber pendanaan yang dimiliki. Dari aspek demografi, jumlah
penduduk Jawa Timur adalah yang kedua terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat. Pada tahun
2010, jumlah penduduk Jawa Timur adalah sebesar 37,477 juta jiwa atau 16 persen dari total jumlah
penduduk Indonesia. Dengan demikian, perkembangan ekonomi dan kependudukan yang terjadi di
Jawa Timur akan berpengaruh terhadap konstelasi perekonomian nasional. Sebagai kontributor
kedua terbesar bagi perekonomian Indonesia, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur sejak
tahun 2005 selalu lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2010, ekonomi
Jawa Timur tumbuh sebesar 6,7 persen yang merupakan angka tertinggi di Jawa dan lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian, jumlah penduduk miskin
di Jawa Timur masih yang paling besar di Jawa karena memang populasi penduduk Jawa Timur
yang sangat besar. Pertumbuhan yang tinggi terpusat di perkotaan seperti Kota Surabaya dan
sekitarnya (Sidoarjo dan Gresik), serta Kota Malang dan Kabupaten Malang. Kota-kota tersebut
merupakan pusat aktivitas ekonomi di Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 50 persen terhadap
total ekonomi Jawa Timur pada tahun 2010. Penerapan desentralisasi fiskal pada dasarnya memiliki
tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah. Dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang merata untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat harus diimbangi dengan pemerataan di setiap daerah. Pertumbuhan
ekonomi yang cepat yang tidak diimbangi dengan pemerataan, akan menimbulkan ketimpangan
regional. Ketimpangan regional ini terlihat dari adanya wilayah yang maju dangan wilayah yang
kurang maju atau terbelakang. Hal ini dikarenakan tidak memperhatikan apakah pertumbuhan
tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau perubahan struktur
ekonomi. Sementara pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat memunculkan beberapa fenomena
dalam penerapannya, yaitu dengan penerimaan yang didapat disuatu daerah dan belanja daerah
yang dikeluarkan setiap kabupaten/kota di Jawa Timur yang tidak sesuai juga akan menimbulkan
ketimpangan wilayah, dimana hal itu disesuaikan dengan sektor yang dimiliki disetiap
kabupaten/kota Jawa Timur. Sesuai dengan perhitungan menggunakan Indeks Williamson tahun
2008-2012 diketahui bahwa di Provinsi Jawa Timur ketimpangan dengan skala tinggi terjadi di
kabupaten/kota yang memiliki aktivitas perekonomian tinggi, dimana menjadi center dari segala
kegiatan perekonomian. Dari hasil perhitungan menggunakan Indeks Williamson terlihat di Kota
Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Jember.
Sedangkan daerah yang memiliki skala rendah ialah daerah yang memiliki kegiatan perekonomian
atau produksi daerahnya masih rendah, hal ini terlihat seperti di Kabupaten Pacitan, Kabupaten
Tulungagung, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Bondowoso yang memiliki
nilai skala Indeks Williamson rendah. Ini juga didukung pendapat Nurhuda et al (2011) yang
menyatakan bahwa terlihat pada PDRB kabupaten dan kota Provinsi Jawa Timur yang sangat
berbeda, ada beberapa kab/kota yang tingkat perkembangan PDRB relatif cukup tinggi dan cukup
rendah, contohnya Kota Surabaya, Kota Kediri, Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten
Gresik yang mempunyai PDRB yang tinggi. Sedangkan untuk wilayah kabupaten seperti Kabupaten
Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Bondowoso memiliki
PDRB yang rendah. Menurut Purbadharmaja Ida Bagus Putu, 2010 menyebutkan bahwa dalam
pasca pemberlakuan desentralisasi adalah melebarnya ketimpangan tingkat kemajuan
pembangunan, kesejahteraan, dan kemandirian keuangan antar daerah, sementara dalam hal transfer
subsidi yang bersifat blok, bagi kebanyakan daerah tidak mencukupi walaupun daerah memiliki
keleluasaan mengelola dana, sedangkan subsidi yang bersifat spesifik mengakibatkan daerah tidak
memiliki keleluasaan dalam mengelola dana. Tujuan desentralisasi fiskal adalah tercapainya
kemandirian fiskal daerah, pengelolaan anggaran daerah yang baik, pertumbuhan ekonomi
meningkat, mengurangi disparitas pendapatan antar daerah, terselenggaranya tata kelola
pemerintahan yang baik, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
PENUTUP
RANGKUMAN
Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan
kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat. Peningkatan
kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam menghasilkan
pendapatan asli daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan penghasilan
asli daerah tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Didalam asas desentralisasi, seiring
dengan diserahkannya kewenangan daerah, pemerintah pusat harus menyerahkan pembiayaan,
personalia dan perlengkapan (3P) sebagai syarat mutlak. Dengan kata lain, desentralisasi selalu
dimaknai sebagai distribusi sumber daya dari pusat kepada daerah. Menurut UU Republik Indonesia
nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, pendapatan daerah adalah semua hak daerah
yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan. Pendapatan daerah berasal dari penerimaan dana perimbangan pusat dan daerah, juga
berasal dari daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Jika
dibandingkan dengan sektor bisnis 2 sumber pendapataan pemerintah daerah relatif terprediksi dan
lebih stabil sebab pendapatan tersebut diatur oleh undang-undang dan peraturan daerah yang
bersifat mengikat dan dapat dipaksakan. Menurut Mahmudi (2010) perubahan sistem penganggaran
berupa penggunaan anggaran berbasis kinerja berimplikasi pada perubahan kelembagaan
pengelolaan keuangan daerah. Penataan ulang kelembagaan pengelolaan keuangan daerah itu bukan
saja untuk menyesuaikan sistem anggaran yang baru, tetapi juga dimaksudkan untuk mendukung
tercapainya tujuan desentralisasi fiskal. Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan
daerah tersebut antara lain: Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari sistem
sentralisasi pada bagian keuangan sekretariat daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-
masing satuan kerja. Dan digabungkannya fungsi pemungutan pendapatan daerah yang dilakukan
oleh dinas pendapatan daerah dengan fungsi pengendalian belanja yang dilakukan oleh biro/bagian
keuangan dalam satu lembaga yaitu badan pengelolan keuangan daerah (BPKD). Dalam suatu
sistem pengelolaan keuangan daerah di era otonomi daerah yaitu terkait dengan pengelolaan APBD
(Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah) perlu ditetapkan standar atau acuan kapan suatu daerah
dikatakan mandiri, efektif dan efisien dan akuntanbel. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran
kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan keuangan pada
tahun anggaran selanjutnya. Bastian (2006:274) mendefinisikan kinerja sebagai gambaran
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, 3
tujuan, visi organisasi. Secara umum kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam
periode tertentu. Jadi dalam mengukur keberhasilan/kegagalan suatu organisasi, seluruh aktivitas
organisasi tersebut harus dapat dicatat dan diukur. Ini juga berlaku untuk pemerintahan daerah yang
bertindak sebagai sebuah organisasi untuk mengukur output apakah sudah bermanfaat.
TUGAS
“EKONOMI SEKTOR
PUBLIK”
1. KONDISI PARETO
OPTIMUM BAGI
KONSUMEN
Pareto optimality adalah
sebuah konsep populer dalam
menangani
permasalahan tersebut. Sesuai
namanya, konsep ini
dikemukakan oleh Vilfredo
Federico Damaso Pareto
dalam bukunya yang terkenal
Manual of Political
Economy yang ditulis dalam
bahasa Perancis tahun 1896,
yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris tahun 1906. Dengan
demikian, secara historis,
buku ini merupakan referensi
pertama dalam menentukan
optimalitas dari sebuah
permasalahan optimasi multi-
tujuan
LEARNING AND DOING BY STUDYCASE
Dosen Pengampuh :
Alzefin Y.R.M. Sinolungan SE.,MSI
Disusun Oleh :
Desika Natasia Bukawera 22305024
Eclesia Meggy Keles 22305015
Cindy Julia Pobela 22305040
EKONOMI PUBLIK
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada TUHAN Yang Maha Esa karena atas rahmatnya kepada
kami, sehingga kami boleh menyelesaikan makalah dengan begitu baik adanya. Tak lupa juga kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen Matakuliah Ekonomi Publik, Alzefin Y.R.M.
Sinolungan SE.,MSI yang telah memberikan kami tugas makalah ini, sehingga kami dapat
mempelajari lebih dalam lagi mengenai “Ekonomi Publik”.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat demi menunjang wawasan dan pengetahuan
kami khususnya tentang “Ekonomi Publik”. Kami sadar, bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna maka dari itu kami mohon kritik dan saran yang membangun bagi para pembaca.
Demikian makalah ini kami buat, dan Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan
pada hati pembaca.
BAGAN MATERI
Penerimaan pemerintah B
(Pemerintah Pusat dan daerah) AB 6
Penerimaan pemerintah
daerah provinsi dan
kabupaten/kota
Penghitungan potensi
pendapatan basis mikro
Penerimaan B
pemerintah : pajak dan AB 7
retribusi daerah
Pengertian Kebijakan
dan prinsip pengampunan pajak
pengenaan pajak ( Tax amnesty)
Pajak Tolak ukur
langsung dan pajak
kinerja penerimaan
tidak langsung Jenis pajak
perpajakan suatu negara
daerah
Tarif pajak
Dasar
Pajak daerah pengenaan pajak
Pengaruh dan tarif pajak
pengenaan pajak daerah
terhadap perilaku
Distribusi daerah Bagi hasil
Penerimaan B
pembiayaan : Pinjaman / AB 8
Obligasi negara dan
daeerah
Prinsip
Pinjaman negara Pinjaman Daerah
umum pinjaman
Obligasi Syariah
Pelaporan ,Evaluasi,
( Sukuk )
Publikasi,Informasi dan
sangksi
Penerimaan B
Desa : Dana Desa AB 9
Prinsip Prinsip
pokok pengeluaran Pengeluaran /
pemerintah belanja negara
Penyebab
Pengeluaran /
peningkatan pengeluaran
belanja pemerintah daerah
pemerintah
Manajemen
belanja daerah
RINGKASAN MATERI
BAB 6
PENERIMAAN PEMERINTAH ( PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
6.1 Penerimaan Pemerintah
Penerimaan atau pendapatan negara adalah semua penerimaan kas umum (kas pemerintah
pusat ) atau kas daerah ( kas pemerintah daerah) dari berbagai sumber yang sah, yang menambah
equitas dana dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat
daerah.
1. Pajak, suatu pungutan yang dilakukan pemerintah (pusat/daerah)terhadap wajib pajak tertentu
berdasarkan undang undang ( yang dapat dipaksakan).
2. Retribusi, pungutan yang dilakukan oleh pemerintah ( pusat/daerah),berdasarkan undang
undang ( regulasi tertentu)kepada masyarakat dengan memberikan imbalan jasa secara
langsung.
3. Keungan Perusahaan Negara, bagian utama yang diperoleh perusahaan negara (BUMN/BUMD)
karena adanya penyertaan modal yang ditanamkan oleh pemerintah didalam perusahaan
tersebuut.
4. Denda dan Sita, pemerintah memungut denda dan sita kepada masyarakat tertentu apabila
masyarakat (individu/kelompok/organisasi)tersebut diketahui telah melakukan pelanggran suatu
ketentuan yang telah diatur oleh pemerintahan.
5. Pencetakan Uang, sifat kekuasaan dan berfungsi sebagai penyelenggaraan negara,maka
pemerintahan mempunyai hak untuk menvetak uang.
6. Pinjaman, Penerimaan bagi negara yang walaupun pada akhirnya akan menjadi bahan karena
harus dibayar kembali dalam jumlah yang lebih besar (pokok pinjaman dimbah bunga).
7. Sumbangan,Hadiah dan Hibah, penerimaan yang bersal dari
masyarakat(perorangan,kelompok,organisasi,perusahaan dalam negri atau negara lain dan
masyarakat internasional).
8. Penyelengaraan Undian Berhadiah, oleh pemerintah (pusat/daerah) dengan menunjuk Lembaga
pelaksanaan tertentu merupakan sumber penerimaan yang diperkirakan dapat diterima secara
rutin.
Penerimaan Pemerintah Pusat
Penerimaan atau pendapatan pemerintah terdiri atas
1. Pendapatan Negara dan Hibah
a. Penerimaan perpajakan : Pajak dalam Negeri
Pajak penghasilan ( Migas dan Non Migas)
Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah.
Penerimaan pajak bumi dan bangunan ( PBB)
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB )
Cukai
Pajak lainnya
Pajak Perdagangan Internasional
Bea masuk
Pajak ekspor
b. Penerimaan Negara Bukan Pajak ( PNBP)
Penerimaan sumber daya alam ( SDA)
Bagian Laba BUMN ( Badan Usaha Milik Negara)
PNBP Lainnya.
2. Penerimaan Pembiayaan
Pinjaman sektor perbankan
Privatisasi BUMN
Penjualan asse
Penjualan obligasi pemerintahan
Pinjaman luar negeri
Penerimaan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten Kota
1. Pendapatan asli daerah
Pajak daerah
Retribusi daerah
Bagian laba BUMD dan investasi lainnya
PAD lain lain
2. Pendapatan dana perimbangan
Pendapatan bagian daerah dari PBB dan BPHTB
Pendapatan daerah dari pajak penghasilan
Pendapatan bagian daerah dari sumber daya alam ( SDA)
Dana alokasi umum ( DAU)
Dana alokasi khusus ( DAK)
3. Lain lain pendapatan yang sah
Pendapatan hibah
Pendapatan dana darurat
lain lain pendapatan
4. Penerimaan pembiayaan
Sisa lebih perhitungan anggaran
Penjualan asset daerah yang dipisahkan
Penjualan investasi lainnya.
Pinjaman luar negeri
Pinjaman dari pemerintah pusat
Pinjaman dari daerah otonom lainnya
Pinjaman dari BUMN/BUMD
Pinjaman dari bank/Lembaga keuangan
Pinjaman dalam negeri lainnya
6.2 Analisis potensi penerimaan/pendapatan daerah
Untuk mendapatkan atau memperoleh diperlukan upaya upaya tertentu, misalkan untuk
potensi sumber daya alam tambang perlu adanya eksplorasi dan eksploitasi,untuk potensi pajak
peril dilakukan upaya pajak ( tax effort ). Potensi pendapatan satu daerah dengan daerah yang lain
berbeda-beda disebabkan oleh faktor demografi, ekonomi, sosiologi, budaya, geomorfologi, dan
lingkungan yang berbeda-beda.
1. Memiliki potensi dan kemampuan mengelola yang tinggi
2. Memiliki potensi yang tinggi tetapi kemampuan mengelolanya rrend.
3. Memiliki potensi yang rendah tetapi memiliki kemampuan mengelola yang tinggi
4. Memiliki potensi yang rendah dan kemampuan mengelola rendah.
Pemetaan potensi pendapatan dengan analisis tipologi klasson
Sumber sumber utama pada pendapatan suatu daerah secara umum dapat dilihat pada data
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dapat dirinci ke masing-masing lapangan
usaha. Untuk memetakan potensi daerah secara sektoral (lapangan usaha) yang didasarkan pada
data PDRB, maka dapat digunakan analisis Tipologi Klassen.
Sektor/lapangan usaha unggulan (prima)
Sektor/lapangan usaha potensial
Sektor/lapangan usaha berkembang
Sektor/lapangan usaha terbelakang
Sektor/lapangan usaha unggulan (prima) adalah sektor yang.paling dominan kontribusinya
terhadap perekonomian daerah. Suatu lapangan usaha dikategorikan ke dalam lapangan usaha
unggulan/ prima apabila lapangan usaha tersebut pertumbuhannya tinggi dan kontribusinya
terhadap PDRB besar, sedangkan sektor/lapangan usaha potensial adalah lapangan usaha yang juga
memberikan kontribusi tinggi bagi perekonomian daerah tetapi pertumbuhan lapangan usaha
tersebut lambat dan cenderung menurun.
Perhitungan potensi pendapatan basis mikro
Untuk mengetahui besarnya potensi rill pendapatan yang dimiliki oleh suatu pemerintahan
daerah, diperlukan identifikasi dan perhitungan potensi dengan basis mikro. Penghitungan potensi
pendapatan basis mikro dilakukan dengan cara menghitung potensi pendapatan untuk masing
masing objek pendapatan.
BAB 7
PENERIMAAN PEMERRINTAH PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
7.1 Sejarah perkembangan pajak
Eksistensi pajak sebagai pungutan telah ada sejak zaman Romawi. Pada awal Republik
Roma (509-27 SM) dikenal beberapa jenis pungutan seperti censor, questor, dan beberapa jenis
pungutan lain. Pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada warga tertentu yang disebut
publican. Pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun 167 M, pajak langsung (pajak
atas kepala-head tax) yang dipungut disebut dengan tributum. Sesudah abad ke-2, penguasa Roma
mengandalkan pajak tidak langsung yang disebut vegtigalia seperti portoria, yakni pungutan atas
penggunaan pelabuhan. Di zaman Julius Caesar dikenal centesima rerum venalium, yaknisejenis
pajak penjualan dengan tarif 1% dari omzet penjualan.
7.2 Pengertian, Prinsip dan Fungsi Pengenaan Pajak
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang tertuang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran uenurut
mardiasmo (2004 ; 149 ), Pemerintah daerah sebaiknya tidak menambah pungutan yang bersifat
pajak (menambah jenis pajak baru ).
1. Pungutan retribusi langsung berhubungan dengan masyarakat penggunaan layan publik
2. Investor akan lebih bergairah melakukan investasi didaerah apabila terdapat kemudahan sistem
perpajakan didaerah.
Terdapat prinsip-prinsip pengenaan pajak yang perlu diperhatikan yang disampaikan oleh
Adam Smith
1. Prinsip kesamaan/keadilan (equity), Beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan relatif
dari wajib pajak, sehingga menimbulkan kehilangan kepuasan pada tingkat yang sama.
2. Prinsip kepastian, Pajak yang baik harus tegas, jelas dan pasti, sehingga mudah dimengerti.
3. Prinsip kecocokan/kelayakan (convenience), Pajak hendaknya tidak terlalu menekan wajib
pajak, sehingga seminimal mungkin menimbulkan rasa ketidaksenangan wajib pajak untuk
membayar pajak.
4. Prinsip ekonomi, Pajak hendaknya meminimalisasi kerugian, dalam arti jangan sampai biaya
pemungutannya lebih tinggi daripada penerimaannya.
5. Benefit approach, Pengenaan pajak yang didasarkan pada keuntungan/manfaat yang diperoleh
wajib pajak dari negara. Semakin tinggi keuntungan/ manfaat yang diperoleh, semakin tinggi
pajak yang harus dibayar.
6. Ability to pay approach, Pengenaan pajak yang disesuaikan dengan daya pikul wajib pajak.
Wajib pajak yang mempunyai daya pikul yang sama akan dikenai beban pajak yang sama
(horizontal equity) sementara wajib pajak yang mempunyai daya pikul yang berbeda dikenai
beban pajak yang berbeda ( vertical equity ).
7. Equal sacrifice, Pengenaan pajak yang didasarkan pada beban riil (real burden), yaitu besarnya
kepuasan yang hilang sebagai akibat dari pengenaan pajak. Prinsip ini dibedakan menjadi tiga
hal, yaitu: pertama, kesamaan pengorbanan secara absolut (equal absolute sacrifice) yang tolok
ukurnya adalah kesamaan kehilangan kepuasan absolut, kedua, kesamaan pengorbanan secara
proporsional (equal proportional sacrifice) yang tolok ukurnya adalah kesamaan kehilangan
kepuasan secara proporsional (proportional utility); ketiga, kesamaan pengorbanan secara
marginal (equal marginal sacrifice) yang tolok ukurnya kesamaan kehilangan kepuasan
marginal (marginal utility).
Devas (1989) menetapkan kelayakan suatu pajak.
1. Hasil/perolehan pajak (tax yield), meliputi:
a. Hasil pajak cukup besar. Pajak yang memberikan hasil yang kecil justru akan menimbulkan
inefisiensi dan menciptakan perlawanan pajak (tax payer resistance),
b. Hasilnya lebih pasti dan dapat diprediksi. Hasil pajak hendaknya relatif stabil, tidak
berfluktuasi dari tahun ke tahun agar mudah dalam melakukan perencanaan belanja.
c. Elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan kenaikan pendapatan.
d. Perbandingan antara biaya pungut (collection cost) dengan hasil pajak (tax yield) kecil.
2. Keadilan (equity):
a. Dasar pengenaan pajak (tax base) dan kewajiban wajib pajak harus jelas tidak bersifat
arbitrer.
b. Horizontal equity; pajak yang dilakukan harus menciptakan keadilan horizontal, yaitu
mereka yang kondisi ekonominya sama memiliki beban pajak yang sama.
c. Vertical equity: beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat untuk
membayar, yang kaya harus membayar pajak lebih tinggi daripada yang miskin.
d. Benefit principle; mereka yang menikmati fasilitas publik secara lebih baik harus membayar
pajak lebih tinggi.
3. Daya guna ekonomi (economic efficiency/economic neutrality); pajak hendaknya mendorong
penggunaan sumber daya secara produktif dan tidak mengganggu perekonomian. Sistem
perpajakan hendaknya memberikan netralitas ekonomi, sehingga mengurangi distorsi ekonomi.
4. Kemampuan melaksanakan (ability to implement):
a. Adanya political acceptability untuk menerapkan pajak.
b. Terdapat dukungan kapasitas administrasi dan skill aparat pajak yang memadai.
5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (suitabilty as a local revenue source):
a. Harus jelas pemerintah daerah mana yang harus menerima pajak. Sebagai contoh, pajak
penghasilan seharusnya dibayarkan kepada pemerintah daerah tempat di mana orang
tersebut bekerja atau tempat tinggal wajib pajak.
b. Kedudukan objek pajak jelas agar pajak tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan
objek pajak dari satu daerah ke daerah lain.
6. Pengaruh tempat (lokasi) terhadap beban pajak (location responses to taxation). Jika jenis pajak
atau tarif pajak berbeda-beda untuk tiap daerah, maka pembayar pajak cenderung berusaha
untuk mengurangi beban pajak (misalnya memindahkan kantor pusat). Idealnya, pajak daerah
dapat meminimalkan distorsi yang menyebabkan masyarakat dan pelaku bisnis meninggalkan
suatu daerah.
7. Masalah keadilan antarwilayah (the problem of inter-regional equity). Beberapa pemerintah
daerah memiliki potensi pajak daerah yang lebih besar dari yang lainnya. Pajak daerah
hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antardaerah dari segi potensi masing-
masing daerah.
a. Pajak sebagai penerimaan negara atau fungsi penerimaan ( Budgetair )
Pajak dikenakan dengan tujuan untuk mengumpulkan penerimaan dalam rangka
membiayai kegiatan pemerintahan. Apabila pungutan pajak ditingkatkan maka penerimaan
negera pun negara meningkat, sehingga negara dapat berbuat lebih banyak untuk
kepentingan masyarakat.
b. Pemerataan pendapatan masyarakat (fungsi distribusi)
Pajak adalah salah satu alat untuk dapat mendistribusikan pendapatan dengan cara
memungut pajak yang lebih besar bagi warga negara yang berpendapatan tinggi dan
memungut pajak yang rendah bagi warga negara yang berpendapatan kecil atau bersifat
progresif tajam.
c. Stabilitas ekonomi atau fungsi pengaturan (regulator)
Inflasi bagi negara yang sedang berkembang, antara lain diakibatkan oleh
meningkatnya defisit anggaran pemerintah. Peningkatan defisit domestik ini terutama
bersumber pada meningkatnya pengeluaran domestik sesuai dengan kebutuhan
pembangunan, sementara penerimaan domestik masih lemah. Oleh karena itu, harus
dijadikan perhatian pemerintah adalah peningkatan penerimaan domestik melalui
peningkatan penerimaan pajak.
d. Realokasi sumber-sumber
Pajak dapat merupakan instrumen pemerintah untuk mengatur sumber-sumber alam
yang dinilai kurang menguntungkan bagi masyarakat banyak. Contoh, sebidang tanah yang
mestinya untuk daerah persawahan, dipergunakan untuk bangunan. Dalam kasus seperti ini,
apabila pemerintah tetap menghendaki tanah yang bersangkutan penggunaannya untuk
persawahan, maka apabila dipergunakan untuk bangunan dapat dipungut pajak yang tinggi.
Pinjaman campuran Merupakan campuran antara pinjaman lunak dan pinjaman kredit
ekspor dan grant ( protocol ) atau campuran antara pinjaman lunak dengan pinjaman komersial.
Pinjaman luar negeri merupakan salah satu pos pembiayaan yang didapatkan oleh negara untuk
menutupi pos pembelanjaan negara, namun terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah
sebelum melakukan transaksi utang, di antaranya adalah:
Meningkatkan penerimaan negara.
Seleksi proyek yang akan diberi utang
Manajemen utang yang tepat.
Kurangi kebocoran.
Pemanfaatan utang luar negeri pemerintah untuk membiayai belanja negara sedemikian rupa
sehingga dapat mendukung kegiatan ekonomi, terutama kegiatan kegiatan yang produktif sehingga
pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi
Adanya transfer negatif (negatif net transfer). Transfer negatif ini terjadi akibat penarikan
utang luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek lebih kecil dibandingkan
dengan pembayaran kembali utang luar negeri berikut bunganya.
Tingginya rasio pembayaran utang terhadap belanja negara. Menunjukkan seberapa besar
opportunity cost anggaran yang harus dikorbankan agar pemerintah dapat membayar
kembali utang luar negeri. Semakin besar opportunity cost yang harus dikorbankan, semakin
besar pula tekanan bagi kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan.
Tingginys biaya biaya atas utang.Merupakan agregiasi dari tingkat bunga yang harus
dibayar dan sejumlah biaya yang harus ditanggung pemerintah atas utang luar negeri.
Dengan memperhitungkan seluruh biaya utang ini setidaknya akan didapatkan gambaran
bahwa utang laur negeri lebih mahal dari sekedar tingkat bunga utang yang harus dibayar.
Alokasi dari dana yang didapat dari utang luar negeri seringkalli kurang efektif. Utang luar
negeri seyogianya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi.
8.2 Sejarah Surang Utang Negara ( SUN/Obligasi)
Ketika Perang Dunia I pecah, dana yang dimiliki pemerintah Amerika Serikat (AS) tidak
seperti saat ini. Kenyataannya jumlah dana ynag tersedia saat itu tidak mampu menutup semua
biaya perang yag diperlukan. Menghadapi situasi ini, pemerintah AS memanfaatkan kendalinya atas
uang rakyat. Pemerintah AS menaikkan pajak warganya untuk mencukupi kekurangan biaya
perang. Namun, kenaikan pajak tak bisa dilakukan secara terus-menerus. Tiga tahun setelah Perang
Dunia 1 selesai, tepatnya pada tahun 1997, pemerintah AS menemukan cara yang lebih mudah
sekaligus menjadi solusi alternatif untuk menutupi hutang negara sekaligus untuk menyokong
pertumbuhan ekonomi AS di tahun berikutnya. Solusi alternatif ini berupa Surat Utang Negara
SUN) yang disebut dengan "Liberty Bond" atau obligasi Liberty. Inilah yang mengawali sejarah
utang negara masa kini.
Setelah perang usai, Departemen Keuangan AS tidak mampu membiayai Obligasi Liberty
yang telah dibeli oleh masyarakat. Untuk mengatasinya, pemerintah AS mengeluarkan obligasi
baru. Hingga saat ini, penerbitan obligasi terus berlangsung dan jumlahnya makin besar untuk
mengembalikan utang lama dan mendanai pengeluaran pemerintah mendatang. Bukan hanya
Amerika Serikat saja yang menerbitkan SUN, namun hampir semua negara di dunia sekarang
merilis obligasinya masing-masing termasuk Jepang, Inggris, Indonesia, dan negara lainnya. Di
Indonesia, SUN yang diterbitkan oleh pemerintah terdiri atas empat (4) jenis dan memiliki tujuan
dan spesifikasi yang berbeda-beda, yaitu:
a. Obligasi rekap
b. Surat utang negara
c. Obligasi ritel Indonesia
d. Surat berharga Syariah nasional
8.3 Surat Berharga ( Surat Utang Negara/SUN )
Penerbitan SUN, sebagaimana diatur dalam undang undang nomor 24 tahun 2002 tentang
surat utang negara, dapat dilakukan untuk 3 tujuan ;
1. Membiayai defisit anggaran
2. Menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidak sesuaian arus kas penerimaan dan
pengeluaran.
3. Mengelola portopolia utang negara.
Penerbitan surat berharga untuk setiap tahun anggaran perlu ditetapkan dalam nilai bersih
(neto) tambahan utang mengingat dalam pengelolaan surat berharga diperlukan suatu tingkat
fleksibilitas bagi pemerintah, terutama untuk menentukan volume penerbitan, pembelian kembali,
terutama untuk menentukan volume penerbitan, pembelian kembali, dan penukaran SUN yang
besarnya sangat bergantung pada dinamika pasar SUN, agar dapat dicapai kombinasi biaya dan
risiko yang optimal.
1. Komposisi nilai tukar dan tenor atau kelompok maturity dari instrumen yang akan
diterbitkan
2. Komposisi dari nilai tukar dan struktur maturity dari utang yang saat ini outstanding
3. Komposisi portofolio yang ideal yang hendak dicapai hingga kurun waktu tertentu
4. dengan mempertimbangkan trade off antarbiaya dan risiko.
Strategi Pembiayaan SUN
Strategi penerbitan dan pengelolaan portofolio SUN, baik dalam rupiah maupun valuta
asing, tidak dapat dilepaskan dari kondisi portofolio utang secara keseluruhan..
Surat Berharga Syariah Nesional (SBSN)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
memberikan landasan hukum kepada pemerintah untuk dapat melakukan:
1. Transaksi pengadaan pembiayaan dan pengelolaan portofolio berbasis Syariah
2. Menggunakan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset dari transaksi
3. Mendirikan perusahaan penerbit sebagai SPV (Special Purpose Vehicle) yang menjalankan
fungsi sebagai wali amanat.
Obligasi Ritel Indonesia (ORI)
ORI adalah obligasi negara yang dijual kedapa individu atau perseorangan warga negara
Indonesia melalui agen penjual dengan volume minimum yang telah ditentukan.
Kesimpulan
Berdasarkan perspektif obyektif PDRB merupakan salah satu indikator ekonomi yang dapt
menggambarkan perekonomian disuatu wilayah. PDRB digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
ekonomi dari tahun ke tahun dan dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi
suatu negara.
Saran
Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari tulisan maupun
bahasan yang kami sajikan, oleh karena itu mohon di berikan sarannya agar kami bisa membuat
makalah lebih baik lagi, dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua, dan menjadi
wawasan kita dalam memahami PDRB dalam pertumbuhan ekonomi.
LEARNING, DOING BY STUDY CASE
EKONOMI PUBLIK
DISUSUN OLEH:
(KELOMPOK 7)
VERENIA PANDOH (22305027)
OMEGA TUMENGKOL(2230539)
YEHESKIEL WAROUW(22305031)
Puji syukur, kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
karunia serta berkat yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan Study and doing by study
case dengan baik meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga berterimakasih
pada Nci Alzefin Y.R.M Sinolungan S.E, M.Si selaku dosen mata kuliah Ekonomi Publik Jurusan
Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Manado yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami harap projek ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan Ilmu Pengetahuan
kita mengenai materi yang kami akan bahas, terutama memgembangkan softskill baik kami maupun
audiens. Kami menyadari bahwa makalah studi kasus ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang saya buat menjadi
lebih baik kedepannya. Mengingat bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga studi kasus ini, dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sedikitnya projek
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi Publik. Demikian makalah studi kasus ini kami buat, mohon maaf apabila ada kesalahan
kata-kata yang berkenan di hati pembaca.
Penulis
BAGAN TABEL
Arti penting APBD penyusunan APBD
berbasis kinerja berbasis kinerja
Pendaerahan PBB
Perencanaan
pembangunan daerah
menurut UU
PENYAJIAN MATERI
BAB 1
PENYUSUNAN ANGGARAN DAERAH BERBASIS KINERJA
Sebagai konsekuensi implementasi otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk
mampu mengelola keuangannya mulai perencanaan sampai dengan realisasi dan
pertanggungjawabannya, termasuk di dalamnya pengamanan atas aset pemerintah daerah yang
dibiayai dengan anggaran pemerintah secara efektif dan efisien. Sesuai dengan peraturan yang
berlaku, pemerintah daerah sudah harus dapat menjalankan sistem yang baru ini sejak tahun 2002,
di mana untuk laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah pada tahun 2002 sudah harus dapat
menyajikan laporan keuangan yang berisi neraca, laporan realisasi anggaran (laporan perhitungan
APBD), laporan arus kas (laporan aliran kas), dan catatan atas laporan keuangan (nota perhitungan
APBD).
Berbagai masalah yang dapat muncul cksternal dan menjadi beban daerah dalam rangka
memenuhi aturan dimaksud dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Belum adanya pedoman dan petunjuk yang teruji yang digunakan oleh seluruh pemerintah
daerah. Di sisi lain, adanya keanekaragaman pedoman dan petunjuk yang membingungkan
pemerintah daerah.
2. Tidak adanya pemberian sistem pelatihan dengan komitmen dari institusi/entitas yang
berkompeten dan teruji, menyangkut asistensi penyusunan anggaran, penatausahaan, dan
pelaporan keuangan yang sesuai dengan perubahan manajemen keuangan daerah yang
dimaksud secara komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan.
3. Kesiapan sumber daya pemerintah daerah dalam waktu dekat 4) Kompleksitas metode
dokumentasi yang harus dilakukan dalam rangka melaksanakan prosedur keuangan dan
penyusunan laporan keuangan.
5. Struktur APBD
Output utama dari sistem ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang telah disusun dengan pendekatan kinerja. Berdasarkan UU Keuangan Negara No. 17 tahun
2003, struktur APBD terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja. dan pembiayaan.
Selanjutnya, rincian struktur APBD dapat disajikan sebagai berikut:
A.Pendapatan
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Dana Perimbangan
Pendapatan Bagi Hasil
Lain-Lain Pendapatan yang Sah
B. Belanja
Belanja Operasi
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan Jasa
Belanja Pemeliharaan
Belanja Perjalanan Dinas
Belanja Pinjaman
Belanja Subsidi
BAB 2
MOBILISASI PENERIMAAN DAERAH DIERA DESENTRALISASI
FISKAL
Transformasi tata pemerintahan dari sentralistik menuju desentralistik harus diikuti oleh
transformasi di sektor fiskal.
Salah satu elemen penting dari tiap sistem pemerintahan daerah di era desentralisasi fiskal
adalah kemampuan daerah untuk mengenakan pajak (taxing power) kepada penduduk lokal untuk
membiayai penyediaan layanan publik lokal. Pemerintahan daerah seringkali menempatkan
proporsi pajak daerah dan pungutan-pungutan dalam pos total penerimaan anggaran sebagai
indikator utama dari derajat otonomi lokal yang dijalani. Semakin tinggi kekuatan pengenaan pajak,
semakin tingg proporsi pendapatan asli daerah terhadap total anggaran, di samping itu daerah
tersebut menjadi lebih otonom. Saat ini banyak pemerintah daerah memiliki kesamaan pandangan
tentang hal ini.
Terkait dengan keuangan daerah ini pemerintah daerah tidak memiliki ing power yang besar
seperti halnya pemerintah provinsi dan pusat. Bahl (1999a) menyatakan bahwa salah satu aturan
dalam implementasi desentralisasi fiskal (implementation rules) adalah harus memperbesar
kewenangan pajak (taxing power) dan peningkatan penerimaan daerah. Sebagai perbandingan,
pemimpin-pemimpin daerah (local executive) di Filipina dan Amerika Serikat dipilih langsung oleh
pemilih lokal dan tap orang tahu dan menyadari bahwa setiap ada penambahan pelayanan daerah
(public service) harus dibayar dari penerimaan daerah bahkan masyarakat juga tahu untuk apa
pengeluaran digunakan oleh pemerintah daerah.
PAD/ PR KABUPATEN/
APBD OVINSI KOTA
<10 3 151
10 -
19.99 4 82
20 -
29.99 11 38
30 -
39.99 6 13
40 -
49.99 2 7
e' 50 3 1
27 292
Bahkan yang lebih ironis adalah kontribusi PAD dalam penerimaan daerah di
kabupaten/kota di Indonesia jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusi PAD dalam
penerimaan daerah di tingkat provinsi. Keadaan ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat
karena otonomi daerah menurut UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 tang telah digantikan oleh
UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 justru bertumpu pada pemerintah kabupaten dan
kota, bukan di level provinsi (lihat Tabel 10.2). Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada tahun 2001
kontribusi PAD untuk kabupaten/kota di Indonesia kurang dari 5% sementara dana perimbangan
mencapai 75,5%. Tetapi untuk daerah provinsi kontribusi PAD rata-rata 32,23%.
Kriteria yang dapat dijadikan petunjuk untuk penetapan sumber penerimaan pada tingkat
pemerintahan yang berbeda mencerminkan peran ganda dari pajak. Pertama, pajak dimaksudkan
untuk memenuhi pengeluaran pemerintah sehingga penerimaan dari pajak dapat dialokasikan pada
penyediaan barang dan jasa publik. Kedua, pajak dapat juga digunakan sebagai instrumen untuk
meraih realisasi tujuan kebijakan pemerintah, sehingga pengenaannya mengarah pada tindakan dan
hasil seperti yang diharapkan oleh pemerintah.
Sebelum beralih ke diskusi yang lebih terperinci tentang kriteria dan penetapan penerimaan,
marilah dilihat cakupan luas dari wilayah fungsi pemerintah, yang mana pajak dapat sebagai tujuan
maupun sebagai akhir. seperti yang telah dijelaskan di atas. Musgrave (1959) berpendapat bahwa
tujuan ekonomi pada sektor publik adalah, pertama, memastikan lingkungan ekonomi yang stabil
(pasar dapat berjalan dengan baik). kedua, menuju distribusi pendapatan yang lebih merata, dan
ketiga, memastikan alokasi yang lebih efisien atas sumber daya dalam konteks menghindari
kegagalan pasar. Sementara itu, secara umum lingkup ilmu pengetahuan mengarah pada
desentralisasi dan kekuatan pasar mengarah pada sentralisasi. Ada beberapa area pasar mengalami
kegagalan (Hayek 1945), kegagalan pasar ini disebabkan oleh beberapa faktor , termasuk
keberadaan monopoli alami (natural monopoly) dan struktur pasar yang tidak kompetitif (fasilitas
publik daerah), konsumsi gratis masyarakat atas barang publik yang tidak bisa dihindari (misal:
penerangan jalan). dan adanya efek perputaran (spillover) dari eksternalitas (misal: vaksinasi).
Menurut prinsip-prinsip ekonomi, keputusan kebijakan untuk stabilisasi ckonomi dan distribusi
pendapatan akan lebih baik bila diserahkan kepada pemerintah pusat, sementara yang terkait dengan
efisiensi alokatif (bagaimana sebaiknya menggunakan sumber daya yang tersedia untuk
menyediakan barang dan jasa) dapat diserahkan pada pemerintah daerah. Sebaliknya, jika
keputusan stabilisasi ekonomi dan distribusi pendapatan diserahkan kepada pemerintah daerah,
konflik dan insentif yang salah dapat terjadi, serta kebijakan tidak dapat diterapkan secara efektif
dan kontinyu.
Karena perpajakan tidak hanya dimaksudkan sebagai aktivitas pemerintah namun juga
memiliki dampak kepada wilayah yang menjadi perhatian pemerintah seperti yang telah dijelaskan.
-Kriteria cfisiensi ekonomi secara umum lebih penting untuk menilai pajak
nasional dari pada pajak daerah. Ada dua alasan untuk hal ini, pertama, bisanya
pemerintah pusatlah yang secara umum bertanggung jawab atas keseluruhan
pengelolaan (makro) ekonomi dan menggunakannya untuk memengaruhi perilaku
ekonomi. Kedua, skala pajak daerah biasanya tidak cukup untuk membuat perubahan
yang signifikan atas pilihan-pilihan masyarakat. Akan tetapi, harus diperhatikan juga
apakah pengenaan suatu pajak daerah dapat membawa dampak signifikar (baik
ataupun buruk) terhadap perilaku perekonomian daerah.
Kesesuaian sebagai Penerimaan Daerah
Penyelenggaraan administrasi pajak oleh otoritas daerah dapat menimbulkan
pertanyaan tentang kelayakannya. Beberapa terkait dengan kemampuan
administratif, sedangkan yang lainnya dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama,
kejelasan kepada otoritas mana pajak akan dikenakan. Kedua, dana ini terkait dengan
yang pertama, adalah apakah waktu yang tepat untuk memulai mengumpulkan pajak
adalah juga pada lokasi yang pajaknya dibayar secara efektif. Ketiga, terkait dengan
kelayakan atas perbedaan daerah dalam tingkat pajak dan kaidah-kaidah penilaian.
Idealnya otoritas daerah harus memiliki kelonggaran untuk menentukan tingkat
pajaknya, menentukan berapa tingkat kenaikan pajak dan kenaikan jasa publik yang
dihasilkan. Keempat, pajak lokal pada tingkatan yang maksimal harus mengikuti
"prinsip kemaslahatan" dari perpajakan, efisiensi ekonomi meningkat saat ada
hubungan antara apa yang dibayarkan masyarakat melalui pajak dan hasil yang
diterima oleh masyarakat melalui penyediaan jasa-jasa publik. Hal ini berarti
pemerintah daerah harus memanfaatkan retribusinya jika memang layak.
2.3 PRINSIP PRINSIP PENETAPAN PENERIMAAN DAERAG YANG
BAIK
Pemerintahan daerah sangat dianjurkan untuk melakukan aktivitas dkonomi dengan lebih
efisien dalam memanfaatkan sumber daya publik Selain itu perlu juga memilih sumber penerimaan
yang dapat menghasilkan manfaat bagi penduduk dari pengeluaran pemerintah Bird, 1999). Contoh
yang paling umum dari sumber penerimaan yang memenuhi prinsip manfaat ini adalah pungutan
untuk pelayanan khusus yang disediakan oleh pemerintah daerah (seperti biaya pembuatan SIM.
dan sebagainya) dan barang/jasa yang disediakan oleh perusahaan publik (retribusi fasilitas,
museum dan sebagainya). Selain dapat menghasilkan penerimaan bagi pemerintah daerah, retribusi
juga memiliki nilai konomi yang baik dalam menyediakan informasi permintaan bagi penyedia
barang/layanan sektor publik. Hal ini setidaknya dapat menyebabkan masyarakat akan menilai
barang/jasa tersebut paling tidak dari biaya penyediaannya. Jika mungkin dilakukan dengan cara
yang disien, maka pemerintah daerah hendaknya bergantung pada retribusi untuk meningkatkan
penerimaan bagi penyediaan jasa publik.
Tidak seperti retribusi yang dibayarkan berdasarkan kebebasan konsumen untuk memilih,
manfaat pajak tidak dapat secara langsung diterima oleh taxpayer. Ada keterkaitan umum dan
khusus antara jumlah pajak dan manfaat yang diterima atas jasa yang disediakan pemerintah.
Sebagai contoh, ukuran dan nilai properti tempat tinggal terkait crat dengan manfaat yang diterima
wajib pajak dari perbaikan jalan lokasi properti tersebut berada. Manfaat umum dari pajak dapat
digambarkan dengan pungutan yang ditarik kendaraan bermotor, dan bahan bakarnya, yang
penerimaannya dapat digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan yang juga akan dapat
memberikan manfaat pada pengguna jalan. Selain itu pajak properti juga merupakan pajak yang
baik untuk membiayai barang publik kolektif.
Selain netralitas, terkait distribusi pendapatan dan fluktuasi ekonomi dan kesesuaian dengan
prinsip manfaat, teori keuangan, dan kebijakan publik menjelaskan karakteristik lain mengenai
pajak pemerintah daerah. Beberapa dari karakteristik ini hanyalah sebagai konsekuansi dari prinsip
yang dinyatakan di atas.
Korespondensi pajak daerah harus memiliki keterkaitan antara yurisdiksi pajak dipungut dan
di wilayah tempat manfaat diterima atas jasa publik yang dibiayai oleh sumber penerimaan tersebut.
Maka dari itu, basis pajak harus dapat dengan mudah diidentifikasi olch otoritas daerah. Kesesuaian
dengan prinsip korespondensi ini memberikan insentif kepada pemerintah daerah untuk membiayai
jumlah optimal barang publik (marginal cost sama dengan marginal benefit).
Netralitas geografis pajak yang diserahkan tanggung jawabnya pada pemerintah daerah
untuk mengelolanya harus tidak mengganggu bisnis internal dan tidak mendistorsi aktivitas
ekonomi. Oleh sebab itu, pemerintah daerah seharusnya tidak memungut pajak penjualan terkait
produksi atau pajak penghasilan yang terkait sumber kecuali telah ditetapkan bahwa manfaat akan
diterima oleh sektor usaha (bisnis) dan para penglaju.
Visibilitas pajak daerah harus diterima dengan jelas oleh penduduk daerah. Penduduk daerah
harus sadar akan kewajiban mereka untuk membayar pajak, berapa jumlahnya, dan untuk apa. Ini
membuat penduduk daerah dapat melakukan evaluasi efisiensi atas pelayanan pemerintah daerah
dari berapa nilai yang didapat oleh penduduk atas apa yang sudah mereka bayarkan.
Otonomi fiskal pemerintah daerah yang tidak memiliki kontrol atas (paling tidak tarifnya)
satu atau lebih sumber penerimaan yang signifikan, tidak akan pernah benar-benar menikmati
otonomi fiskal. Mereka tidak akan responsif terhadap permintaan konstituennya (pemilihnya)
sebagaimana mereka juga tidak dapat melakukan ekspansi saat ada permintaan yang tinggi akan
pelayanan publik dan melakukan pengurangan apabila terjadi sebaliknya. Pemerintah daerah juga
tidak mempunyai fleksibilitas atas penyesuaian fiskal akibat adanya kenaikan biaya.
Administrasi pajak daerah beberapa pos penerimaan akan lebih baik
bila dikelola pada level daerah (seperti pajak properti), sementara itu juga memiliki
kelemahan untuk mengoleksi pajak yang lainnya (contohnya pajak laba atas perusahaan).
Pemerintah daerah harusnya bertugas untuk menarik pajak di mana mereka memiliki kekuatan dan
informasi untuk melakukannya. Sebagai contoh, secara umum dikatakan bahwa pada kasus pajak
properti, administrasi pajak yang lebih terdesentralisasi akan memiliki informasi tentang wilayah
daerah dan kemampuan untuk menerapkan prosedur yang sesuai dengan kondisi daerah sehingga
akan efektif jika dilakukan peningkatan pajak.
fiskal vertikal keseimbangan ini akan tercapai jika ada korespondensi luas antara tanggung
jawab pengeluaran yang ditugaskan pada tiap level pemerintah dan sumber fiskal yang tersedia di
tiap level pemerintah untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Keseimbangan fiskal horizontal
keseimbangan ini mengacu pada keseimbangan kebutuhan fiskal dan sumber daya di antara unit
pemerintah yang berbeda pada level pemerintahan yang sama. Meskipun keseimbangan fiskal dapat
dicapai melalui transfer antarpemerintah (equalization grants), pembagian penerimaan harus dapat
dipahami sebagai akibat dari disparitas fiskal. Oleh sebab itu, penerimaan daerah yang baik akan
memiliki basis pajak yang adil yang tersebar merata pada tiap yurisdiksi (wilayah).
Perluasan basis penerimaan daerah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mendorong penerimaan adalah perluasan basis penerimaan daerah. Ada empat hal yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mencapai tujuan ini:
Mengidentifikasi pembayar pajak dan tarif baru besarnya pajak yang dibayarkan dan
membawa mereka ke dalam jaring pajak
Meningkatkan basis data objek pajak.
Meningkatkan penilaian (misal penilaian ulang atas objek pajak).
Menghitung kapasitas penerimaan secara lebih rasional untuk tiap
Pengendalian penghindaran pajak. Untuk mengurangi kebocoran pajak akibat
penghindaran pajak, pemerintah daerah dapat melakukan beberapa langkah berikut:
Melakukan audit insidental sebagai pelengkap prosedur penilaian sendiri.
Meningkatkan proses kontrol untuk mengurangi kebocoran
Menerapkan sanksi yang ketat dan berat bagi yang tidak mematuhi-nya
Meningkatkan disiplin administratif staf-staf keuangan yang juga punya andil dalam
kebocoran penerimaan daerah.
Meningkatkan usaha untuk mengaitkan pembayaran pajak dengan jasa-jasa yang
disediakan oleh pemerintah daerah.
Hanya ada beberapa cara langkah saja yang sudah diimplementasikan di tingkat da rah
Kebanyakan pemerintah daerah masih hanya menggunakan "strategi klasik seperti perluasan basis
penerimaan daerah dengan memper baharui database objek. Kebijakan lain terutama kontrol dan
perencanaan jarang sekali digunakan. Di masa yang akan datang, pengelolaan penerimaan daerah
membutuhkan usaha-usaha yang memaksimumkan potensi pengumpulan pajak yang dimiliki oleh
pemerintah daerah. Hal ini tidak diragukan lagi, akan membutuhkan pembangunan kapasitas
(capacity building) di tingkat daerah, dengan menyediakan berbagai pelatihan untuk tiap strategi
perpajakan di atas.
BAB 3
PAJAK PROPERTI DI INDONESIA : ISU PENDAERAHAN PBB DAN
BPHTB
Salah satu masalah yang dihadapi daerah dalam rangka otonomi adalah rendahnya
penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan kecilnya PAD, maka sumber penerimaan
utama sebagian besar daerah, kabupaten/kota (KK), di Indonesia adalah dana perimbangan yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Sayangnya tidak semua KK kaya sumber daya alam (SDA).
Hanya KK yang kaya potensi SDA akan menikmati kenaikan bagi hasil SDA secara signifikan.
Untuk KK lainnya, penerimaan andalan akan bersumber pada bagi hasil pajak, khususnya Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Dana
Alokasi Umum (DAU). Meskipun pembagian DAU dirumuskan sedemikian rupa namun alokasi
DAU sepenuhnya kewenangan pusat. KK tidak dimungkinkan untuk melakukan intervensi terhadap
alokasi DAU. Hal ini berbeda dengan PBB dan BPHTB. Untuk kedua jenis pajak ini, KK
dimungkinkan untuk melakukan intervensi kebijakan untuk meningkatkan penerimaannya.
Meskipun PBB dan BPHTB berbeda, kedua jenis pajak ini memiliki hubungan yang erat
terutama melalui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).Pengelolaan PBB di dunia ini dapat dikelompokan
dalam tiga model. Pertama adalah model sentralistik seperti yang antara lain dilakukan oleh
Indonesia, Perancis, Swedia, dan Chili. Model,kedua adalah PBB sebagai pungutan lokal seperti
yang dilakukan antara lain di Amerika Serikat, banglades, dan Papua Nugini. Model ketiga adalah
model yang memadukan kedua model di atas seperti yang diterapkan antara lain di Malaysia,
Argentina, Inggris dan Pakistan (Boadway dkk, 1994, dan Sidik, 1995).
Dari berbagai variasi pengelolaan PBB di dunia, di Indonesia memunculkan wacana
mengenai pendaerahan PBB dan BPHTB. Namun demikian, untuk mewujudkan wacana tersebut
ada beberapa faktor yang dipertimbangkan, diantaranya:
Biaya koleksi pajak. Selama ini, setelah dikurangi biaya koleksi, hampir semua penerimaan
PBB dan BPHTB diterima oleh daerah provinsi dan KK. Biaya koleksi "ditanggung" oleh
pemerintah pusat. Pendaerahan PBB dan BPHTB menyisakan biaya koleksi untuk
didaerahkan.
Dengan mendaerahkan PBB dan BPHTB juga berarti mendaerahkan pegawai. Padahal
masalah besar yang dihadapi KK dalam masa penerapan otonomi sekarang ini adalah
membengkaknya jumlah pegawai dan beban belanjanya karena pemindahan pegawai pusat
ke daerah. Untuk KK yang kaya, karena SDA dan atau manusia, beban tambahan hanya
akan menyebabkan inefisiensi tanpa mengganggu kebutuhan keuangan. Sebaliknya untuk
daerah yang terbatas keuangannya, persoalan penambahan pegawai mempersulit
pengalokasian anggaran yang dikhawatirkan akan berdampak pada pengurangan kualitas
dan kuantitas layanan publiknya.
Pendaerahan PBB dan BPHTB juga akan diikuti pendaerahan perangkat lunak dan keras.
Aspek penting dalam hal ini adalah basis data PBB yang merupakan satu-satunya basis data
kekayaan yang dimiliki individu Indonesia yang lengkap. Pendaerahan basis pajak tersebut
dimungkinkan dapat merusak basis data yang secara nasional strategis.
Pendaerahan PBB dan BPHTB dapat meningkatkan lebarnya kesenjangan pendapatan antar
daerah karena hilangnya unsur sumbangan dan distribusi pendapatan antar daerah.
BAB 4
TNJAUAN PERENCANAAN DAN ANGGARAN DAERAH
Perencanaan pembangunan daerah secara khusus diatur dalam UU No. 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang berisi tentang tahapan perencanaan
mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pemerintah Jangka Menengah
(RPJM daerah). Renstra Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja
SKPD). Meskipun demikian, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mengatur
kembali sistem perencanaan pembangunan daerah yang telah diatur dalam UU No. 25 tahun
2004 sebelumnya, sekaligus mengatur pula proses penganggaran. Walaupun UU No. 32 tahun
2004 tidak mengatur sedetail UU SPPN khususnya perencanaan dan proses penganggaran
dalam UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004, namun pengaturan kembali ini
menimbulkan kerancuan terhadap penafsirannya.Sementara UU No.17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
mengatur perencanaan daerah,namun hanya terbatas pada perencanaan tahunan yang meliputi
Rencana Kerja Pemerintah Daerah(RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerntah Daerah
(Renja SKPD),disamping mengatur penyudanan APBD.
Banyak pihak yang mensinyalir UU No. 25 tahun 2004 lahir lebih karena mempertahankan
eksistensi Bappenas. Kekhawatiran yang muncul adalah Bappenas dilikuidasi oleh lahirnya UU No.
17 tahun 2003 yang salah satunya memperkuat peran Departemen Keuangan. Terlepas dari hal ini,
perlu dilihat bagaimana sistem perencanaan menurut UU No. 25 tahun 2004 dan melihat
permasalahan-permasalahan yang mungkin muncul dalam implementasinya.
Dari undang-undang yang digunakannya. Multi-intepretasi dari perbandingan alur tersebut
adalah sebagai berikut:
Pada UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004, Renja SKPD disusun berdasarkan
prestasi kerja, sementara UU No. 25 tahun 2004 dan UU No. 32 tahun 2004 tidak
memerintahkan hal ini. UU No. 32 tahun 2004, menyatakan RKA SKPD yang disusun
berdasarkan prestasi kerja. Terjadi kerancuan Renja SKPD dan RKPD 2. Pada UU No 25
tahun 2004, Renja SKPD berpedoman pada Renstra SKPD dan mengacu pada RKPD.
pada UU No. 32 tahun Renja SKPD dirumuskan dari Renstra SKPD. tanpa memerintahkan
mengacu kepada RKPD. Sedangkan pada UU No. 33 tahun 2004, menyatakan Renja SKPD
penjabaran dari RKPD tanpa berpedoman pada Renstra SKPD.
Pada UU No. 32 tahun 2004, KDH menetapkan prioritas dan plafon. Sementara pada UU
No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004. prioritas dan plafon dibahas bersama DPRD
dan pemerintah daerah.
Pada UU No. 32 tahun 2004, prioritas dan plafon yang telah ditetapkan kepala daerah
dijadikan dasar penyusunan RKA SKPD.
Sedangkan UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004,
prioritas dan plafon sementara yang dibahas DPRD dengan Pemda
yang dijadikan acuan penyusunan RKA SKPD.
Pada UU No. 32 tahun 2004 RKA SKPD disampaikan kepada PPKD (Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah) sebagai dasar penyusunan RAPBD. Sedangkan UU No. 17 tahun 2003
dan UU No. 33 tahun 2004 RKA SKPD disampaikan ke DPRD untuk dibahas, hasilnya
disampaikan ke PPKD.
Pada UU No. 17 tahun 2003, hak DPRD untuk mengajukan usul yang mengakibatkan
perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dan antisipasinya jika RAPBD tidak
disetujui. Sedangkan pada UU No. 33 tahunh 2004 dan UU No. 32 tahun 2004 tidak
memerintah- kan hal ini.
1. Pajak Kendaraan Bermotor Motor Vehicle Tax 74 027 205 76 658 718 103,55 76 629 703 83 927 497 110,04
2. Bea Balik Nama ( B B N ) Fee for Conversion of Vehicle Ownership 186 345 468 202 302 466 108,56 212 240 885 175 784 490 82,82
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor PBB - KB/ Motor Vehicle Fuel Tax 110 101 114 123 462 831 112,14 123 702 033 119 835 722 96,87
4. Pengolahan air permukaan Air Bawah Tanah Underground/Surface Water Processing 1 975 271 2 269 633 114,90 1 975 271 1 977 765 100,13
5. Tunggakan Pajak Tax Arrears 3 214 747 3 376 928 105,04 3 311 189 6 429 679 194,18
6. Denda Pajak Tax Penalties 738 835 263 168 35,62 738 835 2 830 938 383,16
7. Pajak Rokok Cigarett e Tax - - - 50 000 000 69 498 747 139,00
Jumlah 376 402 639 408 333 744 108,48 468 237 916 460 284 902 101,73
(Prov.Sulawesi Tenggara)
5W + 1H
HTAG
Hambatan penerimaan pajak daerah yaitu Kurangnya kesadaran warga negara akan
kewajiban membayar pajak, bahkan sebagian orang, memilih pajak dirasa sebagai suatu
pemaksaan bagi warga negara dan juga Berbagai pungutan resmi dan tidak resmi, baik di
pusat maupun di daerah, yang membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk
menaikkan penerimaan pajak.
Tantangan dalam penerimaan pajak daerah adalah Cara pembayaran dan pelaporan pajak,
Masalah ekstensifikasi pajak daerah: Penerimaan pajak daerah masih relatif rendah karena
masih banyak daerah yang belum mampu melakukan ekstensifikasi pajak daerah dan juga
Dampak pandemi Covid-19: Pandemi Covid-19 menambah tantangan bagi tercapainya
target penerimaan negara, terutama pajak daerah. Pembatasan aktivitas sosial demi
mencegah penularan semakin meluas dan perekonomian yang melambat pun menjadi
penyebab tambahan tantangan ini. Terlebih lagi, sejumlah insentif yang dikeluarkan
pemerintah untuk menghadapi pandemi pun berupa insentif perpajakan yang berarti
mengurangi potensi penerimaan. Di luar fakta ada banyak usaha dan transaksi yang terkena
pajak sudah berkurang baik dari jumlah maupun frekuensi kegiatan
ancaman pemerintah jika tidak membayar pajak yaitu Sanksi administrasi contohnya denda,
bunga, dan kenaikan pajak terhadap wajib pajak yang melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban administrasi
Gangguan penerimaan pajak dapat disebabkan oleh Harga komoditas yang melemah dan
Perlambatan ekonomi global juga dapat menunjukkan adanya gangguan dari sisi penerimaan
pajak
EKONOMI PUBLIK
Disusun Oleh:
Syukur Utama Zega (22305020)
Michael Rionaldo Lelet (22305011)
Maldini Tangkilsan (22305049)
Puji syukur, kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
karunia serta berkat yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan Study and doing by
study case dengan baik meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga
berterimakasih pada Nci Alzefin Y.R.M Sinolungan S.E, M.Si selaku dosen mata kuliah
Ekonomi Publik Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri
Manado yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami harap projek ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan Ilmu
Pengetahuan kita mengenai materi yang kami akan bahas, terutama memgembangkan softskill
baik kami maupun audiens. Kami menyadari bahwa makalah studi kasus ini jauh dari kata
sempurna, oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang saya buat menjadi lebih baik kedepannya. Mengingat bahwa tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga studi kasus ini, dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sedikitnya
projek makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami dan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ekonomi Publik. Demikian makalah studi kasus ini kami buat, mohon maaf apabila ada
kesalahan kata-kata yang berkenan di hati pembaca.
Penyusun
BAGAN MATERI
RINGKASAN MATERI
Dari tabel tersebut dilihat bahwa Kevin, Utin, dan Surya harus membayar Rp 30,00 untuk
membangun suatu proyek, sedangkan hanya Kevin dan Utin yang menerima manfaat neto
yang positif sehingga mereka menyutujui pembangunan proyek tersebut. Sebaliknya, Surya
karena menerima manfaat neto yang negatif tidak menyutujui pembangunan proyek, tetapi
karena hanya dia sendiri yang tidak setuju maka proyek tersebut akan dilaksanakan. Proyek
tersebut hanya memberikan manfaat sebesar Rp 30.00, sehingga proyek tersebut secara total
tidaklah efisien. Orang yang setuju menerima manfaat bersih sebesar 6 sedangkan manfaat
neto bagi yang tidak setuju sebesar -8, sehingga yang memperoleh manfaat tidak dapat
memberikan kompesasi bagi yang kalah sehingga kondisi pareto optimum tidak tercapai.
Karena proyek tersebut disetujui oleh dua orang dan tidak disetujui oleh satu orang saja,
maka proyek tersebut akan dilaksanakan dan Surya terpaksa membayar dan menikmati
proyek tersebut
BAB VI : EKSTERNALITAS
1.1 Defenisi Eskternalitas
Dalam mata kuliah toon ekonomi kita pernah mungkin mendengar sesekali istilah
"ekstemalitus". Sebenarnya apa definisi dari eksternalitas itu? Eksternalitas digambarkan
sebagai efek yang dirasakan oleh seseorang yang ditimbulkan oleh tindakan orang lain.
Dalam berbagai literature bacaan ada beberapa definisi eksternalitas dan klasifikasi dari
berbagai jenis eksternalitas Definisi eksternalitas secara implisit membedakan antara dua
kategori yaitu eksternalitas dalam hal hubungan laba dan eksternalitas konsumsi setiap kali
tingkat utilitas terpengaruh
Eksternalitas hadir setiap kali kesejahteraan (utilitas atau keuntungan) beberapa agen
ekonomi yang secara langsung dipengaruhi oleh tindakan agen lain baik konsumen ataupun
produsen di dalam perekonomian. Contohnya eksternalitus ada jika produktivitas perikanan
dipengaruhi oleh kilang minyak yang berada di hulu sungai yang mencemari air sungai
sehingga produktivitas perikanan menjadi turun. Eksternalitas juga menyatakan hubungan
antara agen ekonomi yang terletak diluar sistem harga ekonomi. Tingkat ekstemalitas yang
dihasilkan tidak dikontrol secara langsung oleh harga, sehingga standar efisiensi pads
keseimbangan pasar tidak dapat diterapkan. Contoh sehari-hari termasuk polusi pabrik yang
merugikan perikanan lokal dan in hati yang dirasakan saat tetangga bangga menampilkan
mobil barunya Eksternalitas tersebut tidak dikendalikan secara langsung oleh harga. Namun
konsumen atau suatu perusahaanlah yang dapat secara langsung dipengaruhi oleh tindakan
dari agen lain dalam perekonomian, yaitu, mungkin ada efek eksternal dari tindakan
konsumen lain atau perusahaan
Eksternalitas juga dapat didefinisikan sebagai hiaya ekonomi atau manfaat yang
merupakan produk sampingan dari kegiatan ekonomi tetapi yang dialokasikan di luar sistem
pasar. Ini berarti baliwa pembuat eksternalitas tidak memiliki insentif untuk
mempertimbangkan biaya eksternal atau manfaat yang dilusikan. Hal ini sama persis dengan
definisi yang diberikan sebelumnya, halwa ekstemulitas adalah biaya ekonomi atas manfaat
yang merupakan produk sampingan dari kegiatan ekonomi tetapi yang dialokasikan di luar
sistem pasar
5W 1H
Eksternalitas adalah konsep dalam ekonomi yang merujuk pada efek samping dari suatu kegiatan
ekonomi yang memengaruhi pihak ketiga yang tidak terlibat dalam transaksi tersebut.
What (Apa):
o Eksternalitas adalah efek samping dari tindakan ekonomi atau kegiatan yang
tidak tercermin dalam harga pasar atau transaksi yang terkait dengan kegiatan
tersebut.
o Ini bisa berupa efek positif (eksternalitas positif) atau efek negatif (eksternalitas
negatif) yang mempengaruhi pihak ketiga yang tidak terlibat dalam kegiatan
tersebut.
Why (Mengapa):
o Eksternalitas muncul ketika pasar tidak memperhitungkan semua biaya atau manfaat
yang terkait dengan suatu tindakan atau kegiatan.
o Ini penting dalam analisis ekonomi karena dapat mengarah pada alokasi sumber daya
yang tidak efisien dan dapat merugikan masyarakat.
Who (Siapa):
o Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus eksternalitas meliputi pihak yang melakukan
kegiatan (penghasil eksternalitas), pihak yang terkena dampaknya (pihak ketiga), dan
pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengatur dan mengendalikan
eksternalitas.
When (Kapan):
o Eksternalitas dapat terjadi dalam berbagai konteks dan sektor ekonomi, termasuk
lingkungan (polusi), produksi (kebisingan), konsumsi (merokok), dan lainnya.
o Pengenalan dan penanganan eksternalitas seringkali menjadi perhatian saat
peraturan dan kebijakan diperbarui atau diubah.
Where (Dimana):
o Eksternalitas dapat terjadi di berbagai tempat, baik di lingkungan perkotaan maupun
pedesaan, serta di negara maju maupun berkembang.
o Efek samping dapat terjadi di tingkat lokal, regional, nasional, atau bahkan global
tergantung pada sifat kegiatan yang menghasilkan eksternalitas.
How (Bagaimana):
o Untuk mengatasi eksternalitas negatif, pemerintah dapat menerapkan berbagai
instrumen kebijakan, seperti pajak polusi, peraturan lingkungan, dan subsidi untuk
teknologi bersih.
o Analisis eksternalitas juga dapat digunakan untuk memahami implikasi ekonomi dari
tindakan atau kebijakan tertentu dan memutuskan apakah tindakan korektif
diperlukan.
penelitian ini untuk penghitungan hanya didapat dari manfaat langsung dan sifatnya
terbatas, karena tingkat kesulitan menilainya secara ekonomi
1.2 Tujuan Teknik “Analisis Biaya & Manfaat”
Analisis Biaya/Manfaat atau CBA merupakan salah satu teknik penilaian risiko yang
membantu penggunanya untuk memilih atau memutuskan opsi perlakuan mana yang perlu
diambil untuk suatu risiko Teknik ini akan menimbang sisi manfaat dan sisi biaya dari setiap
perlakuan risiko Dari sisi manfaat, organisasi dapat memperoleh manfaat yang paling
menguntungkan, sedangkan dari sisi biaya, organisasi dapat mencapai tingkat efisiensi
tertentu.
Dalam prosesnya, analisis biaya/manfaat akan mempertimbangkan tingkat efisiensi
biaya dan tingkat manfaat yang dapat diperoleh dari setiap perlakuan yang tersedia. Semakin
efisien biaya yang dikeluarkan dan semakin tinggi manfaat yang diperoleh dari sebuah
perlakuan risiko, maka semakin besar kecenderungan perlakuan tersebut dipilih.
Identifikasi Proyek atau Kebijakan: Identifikasikan proyek atau kebijakan yang akan
dievaluasi. Pastikan tujuan dari proyek atau kebijakan tersebut jelas.
Identifikasi Biaya: Identifikasikan semua biaya yang terkait dengan pelaksanaan
proyek atau kebijakan. Biaya ini bisa mencakup biaya awal, biaya operasional, biaya
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Pastikan bahwa semua biaya yang relevan telah
dicatat.
Identifikasi Manfaat: Identifikasikan semua manfaat yang diharapkan dari proyek
atau kebijakan tersebut. Manfaat ini bisa berupa manfaat finansial, sosial, atau
lingkungan. Manfaat juga harus diukur dalam unit yang sama dengan biaya
(misalnya, dalam mata uang).
Estimasi Nilai Moneter: Estimasi manfaat yang tidak memiliki nilai moneter. Ini bisa
menjadi tugas yang sulit, tetapi seringkali diperlukan dalam CBA. Anda dapat
menggunakan berbagai metode seperti survei, analisis statistik, atau kajian literatur
untuk mengestimasi nilai moneter dari manfaat yang sulit diukur secara langsung.
Waktu: Tentukan periode waktu selama proyek atau kebijakan akan dievaluasi. Ini
dapat berupa periode tahunan atau lebih lama, tergantung pada sifat proyek atau
kebijakan.
Diskon Manfaat: Karena nilai uang di masa depan lebih rendah daripada nilai
uang saat ini, manfaat di masa depan harus didiskon ke nilai saat ini
menggunakan tingkat diskonto yang sesuai.
Perhitungan Net Present Value (NPV): Hitung nilai sekarang bersih (NPV)
dengan mengurangkan total biaya dari total manfaat yang didiskon. NPV
positif menunjukkan bahwa proyek atau kebijakan diharapkan menghasilkan
keuntungan, sementara NPV negatif menunjukkan bahwa proyek tersebut
tidak layak secara finansial.
Analisis Sensitivitas: Lakukan analisis sensitivitas untuk mengidentifikasi
faktor- faktor yang dapat memengaruhi hasil CBA. Ini dapat membantu dalam
memahami risiko dan ketidakpastian dalam proyek atau kebijakan.
Pengambilan Keputusan: Dengan menggunakan hasil analisis biaya dan
manfaat, buatlah keputusan tentang apakah proyek atau kebijakan tersebut
harus dilanjutkan, dimodifikasi, atau dibatalkan.
Pelaporan: Presentasikan hasil analisis biaya dan manfaat dengan jelas dan
transparan kepada semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
Analisis biaya dan manfaat adalah alat yang sangat berguna dalam pengambilan
keputusan bisnis, pemerintah, dan organisasi lainnya karena membantu
mengidentifikasi dan mengukur secara kuantitatif dampak finansial dan non-finansial
dari suatu tindakan atau proyek. Namun, penting untuk diingat bahwa CBA memiliki
keterbatasan, terutama dalam mengukur manfaat yang sulit diukur secara monetaris dan
dalam menghadapi ketidakpastian. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan bersama
dengan analisis lainnya dan pertimbangan kualitatif dalam pengambilan keputusan.