Anda di halaman 1dari 115

MODUL LEARNING, DOING BY STUDY CASE

EKONOMI PUBLIK

DISUSUN OLEH:

KELAS A (KELOMPOK 1-7)

MATAKULIAH: EKONOMI PUBLIK


DOSEN: ALZEFIN Y. R. M SINOLUNGAN S.E, M.Si

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


JURUSAN ILMU EKONOMI SEMESTER III
TAHUN 2023

MODUL LEARNING, DOING BY STUDY CASE


EKONOMI PUBLIK

DISUSUN OLEH:

(KELOMPOK 1)

NI KETUT JULIA PATRICIA NIM (22305006)


RACHEL NASRANIA KOHO NIM (22305009)
ROBERTLEE PHILIPONE EMES NIM (22305040)
DEWI JULYTA ENGKA NIM (22305033)

MATAKULIAH: EKONOMI PUBLIK


DOSEN: ALZEFIN Y. R. M SINOLUNGAN S.E, M.Si

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


JURUSAN ILMU EKONOMI SEMESTER III
TAHUN 2023

KATA PENGANTAR
Puji syukur, kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
karunia serta berkat yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan Study and doing by study
case dengan baik meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga berterimakasih
pada Nci Alzefin Y.R.M Sinolungan S.E, M.Si selaku dosen mata kuliah Ekonomi Publik Jurusan
Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Manado yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami harap projek ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan Ilmu Pengetahuan
kita mengenai materi yang kami akan bahas, terutama memgembangkan softskill baik kami maupun
audiens. Kami menyadari bahwa makalah studi kasus ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang saya buat menjadi
lebih baik kedepannya. Mengingat bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga studi kasus ini, dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sedikitnya projek
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi Publik. Demikian makalah studi kasus ini kami buat, mohon maaf apabila ada kesalahan
kata-kata yang berkenan di hati pembaca.

Penulis

Tondano, 05 September 2023


BAGAN MATERI

KONSEP EKONOMI PUBLIK

PENGERTIAN EKONOMI ARTI DAN KOMPONEN LINGKUP DAN PROSES KEGIATAN


PUBLIK SEKTOR PUBLIK EKONOMI PUBLIK

KEGAGALAN PASAR

PERANAN PEMERINTAH DALAM


PEREKONOMIAN
KEGAGALAN PASAR DAN
PERANAN PEMERINTAH DALAM
PEREKONOMIAN
PERANAN PEMERINTAH DALAM
PERDAGANGGAN
INTERNASIONAL

PENYEBAB GAGALNYA PERAN


PEMERINTAH DALAM
PEREKONOMIAN
BARANG DAN JASA PUBLIK

PENENTUAN JUMLAH
PENGERTIAN BARANG DAN
PERSEDIAAN DAN HARGA PELAYANAN PUBLIK
JASA PUBLIK SERTA
BARANG PUBLIK DAN
BARANG DAN JASA PRIVAT
PRIVAT

HARGA PELAYANAN/JASA
PUBLIK

DASAR PENENTUAN HARGA


PELAYANAN

METODE PENENTUAN
HARGA PELAYANAN PUBLIK

BIAYA DAN MANFAAT


SOSIAL BARANG PUBLIK
SEJARAH KEBIJAKAN FISKAL

LINGKUP DAN PENGERTIAN


KEBIJAKAN FISKAL

TAHAPAN DAN ANALISIS


KEBIJAKAN FISKAL
KEBIJAKAN FISKAL

TUJUAN KEBIJAKAN FISKAL

JENIS KEBIJAKAN FISKAL

KEUANGAN NEGARA DAN KEUANGAN


DAERAH ERA OTONOMI DAERAH

KEUANGAN NEGARA KEUANGAN DAERAH


RINGKASAN MATERI

BAB I
KONSEP EKONOMI PUBLIK

1.1 PENGERTIAN EKONOMI PUBLIK


Ilmu ekonomi publik adalah cabang ilmu ekonomi yang menelaah masalah-masalah ekonomi
khalayak ramai (publik/masyarakat, pemerintah/negara), seperti kebijakan subsidi/pajak,
regulasi/deregulasi, nasionalisasi/privatisasi, sistem jaminan sosial, ketahanan pangan, kebijakan
teknologi, pertahanan dan keamanan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Ekonomi publik adalah aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat
(publik),menyangkut masalah normatif, kepatutan, dan kepantasan kebijakan yang dibuat oleh
penyelenggara negara dalam menjalannkan fungsi pemerintah untuk mencapai tujuan berbangsa dan
bernegara.
1.2 ARTI DAN KOMPONEN SEKTOR PUBLIK
Sektor publik adalah sektor ekonomi yang menyediakan berbagai layanan pemerintah kepada
masyarakat umum dengan sumber dana yang berasal dari pajak dan penerimaan negara
lainnya,dimana kegiatannya banyak diatur dengan peraturan atau ketentuan. Dalam ilmu ekonomi,
sektor publik menghasilkan produk jasa berupa pelayanan publik dan produk barang berupa barang
publik. Keberadaan sektor publik merupakan bagian dari pemenuhan hak publik. Teori dan metode
akuntansi digunakan dalam proses penyelenggaraan sektor publik. Komposisi sektor publik berbeda
antarnegara, tetapi umumnya mencakup bidang militer, kepolisian, transportasi umum, pendidikan,
dan kesehatan. Sektor publik umumnya mencakup lembaga pemerintah dan badan usaha milik
negara (BUMN).

Sektor publik mempunyai beberapa komponen, antara lain :


a. Faktor ekonomi, terdiri dari : pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, tingkat inflasi, nilai tukar mata
uang, struktur produksi, infrastruktur, cadangan devisa utang, arus modal dalam negeri, dan bantuan
luar negeri dan pertumbuhan pendapatan perkapita.
b. Faktor politik, terdiri dari : legitimasi pemerintah, hubungan negara dan masyarakat, elit politik
dan masa, tipe rezim yang berkuasa, ideologi negara, jaringan internasional kelembagaan.
c. Faktor kultural, terdiri dari : keragaman suku, bahasa dan budaya, agama, ras, sosiologi
masyarakat, sistem nilai di masyarakat, historis, karakteristik masyarakat, tingkat pendidikan.
d. Demografi, terdiri dari : struktur usia penduduk, pertumbuhan penduduk, migrasi tingkat
kesehatan.

1.3 LINGKUP DAN PROSES KEGIATAN EKONOMI PUBLIK


Lingkup dari bahasan ekonomi publik terdiri atas:
1. analisis dan design kebijakan publik.
2. keuangan negara, khususnya berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),
termasuk dampak pajak dan pengeluaran pemerintah pda kesejahteraan rakyat.
3. Analisis kegagalan pasar dan kegiatan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan publik.
Proses kegiatan ekonomi publik dimulai dari adanya kebutuhan konsumsi barang dan jasa, yang
diikuti oleh timbulnya peluang usaha untuk memproduksi barang jasa tersebut dimasyarakat, secara
terus menerus yang terjadi secara berurutan. Proses kegiatan tersebut, berlangsung melalui berbagai
fungsi (produsen, konsumen dan pasar) dan kelembagaan (pemerintah dan lembaga pengaturan
yang terlibat yang berkaitan satusama lain).

BAB II
KEGAGALAN PASAR DAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN

2.1 KEGAGALAN PASAR


Kegagalan pasar, yaitu kondisi dimana mekanisme pasar tidak berfungsi secara efisien dalam
mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang ada kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan
barang yang dihasilkan menjadi terlalu banyak atau terlalu sedikit, dan padakeadaan yang sangat
ekstrim akan menyebabkan pasar tidak terjadi sehingga barang dan jasa tertentu tidak dihasilkan
oleh pasar tersebut. Esensi timbulnya kegagalan pasar karena masyarakat tidak bertindak secara
kooperatif, sebab perilaku kooperatif inilah yang akan menyebabkan kondisi
Terjadinya kegagalan pasar disebabkan karena beberapa faktor seperti imperfect competition,
barang publik, eksternalitas, dan biaya transaksi. Sehingga pasar tidak mampubekerja secara efisien
dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonominya dimana terdapatkeseimbangan umum yang
semakin baik atau semakin buruk dalam konteks kesejahteraan.(Mansjur, 2005)Dalam hal ini,
terjadinya kegagalan pasar menuntut campur tangan pemerintah dalammenjaga stabilitas
mekanisme pasar. Peran pemerintah dalam perekonomian adalah mengurangi dampak akibat
kegagalan pasar, sehingga alokasi sumber-sumber ekonomidapat tercapai secara efisien.

2.2 PERANAN PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN


Dalam bukunya, Musgrave (1959) telah mengidentifikasi 3 (tiga) jenis fungsi dari pemerintah:
 Fungsi alokasi
 Fungsi distribusi
 Fungsi stabilisasi
Fungsi alokasi terjadi ketika pemerintah turut serta dalam memperbaiki distorsi ekonomi yang
disebabkan oleh kegagalan pasar. Pemerintah bertugas untuk mengadakan kembali distribusi disaat
pasar gagal untuk melakukan tugasnya tersebut. Peran alokasi pemerintah berkaitan dengan
pencapaian efisiensi statis alokasi sumber daya. Pengalokasian sumberdaya ini harus dilakukan
secara merata. Pemerintah harus mengoreksi dan menyediakan barang dan jasa publik yang
mungkin tidak dapat disediakan secara efisien oleh sektor swasta. Pengalokasian sumberdaya
berhubungan dengan teori tentang hak milik. Salah satu teori alokasi yang efisien dikemukakan oleh
Ronald Coase, yang teorinya disebut sebagai “The Coase Theorem”. Teori ini menjelaskan tentang
cara mengalokasikan sumber daya secara efisien melalu pertukaran individual dan jika tak ada
biaya transaksi maka pengalokasian sumberdaya tidak akan bergantung pada keberadaan hak milik
individual. Artinya semakin sedikit biaya transaksi maka memungkinkan untuk semakin efisien
pengalokasiannya.
Fungsi selanjutnya adalah fungsi distribusi. Dalam mempertimbangkan distribusi pendapatan,
pemerintah menggunakan konsep ekuitas dan keadilan. Pendapatan didistribusikan dengan melihat
pada sejarah, hukum warisan, pendidikan, mobilitas sosial, kesempatan ekonomi dan beberapa
faktor-faktor lainnya pada suatu negara. Pemerintah dalam hal ini menggunakan kebijakan fiskal
yang lebih luas cakupannya untuk mengadakan kembali proses distribusi. Pemerintah juga
mendistribusikan kembali pendapatan melalui kebijakan pengeluaran yang telah dikeluarkan
pemerintah. Selain itu, negara juga dapat ikut serta dalam mekanisme pasar melalui pemberian
subsidi, kontrol terhadap harga, dan pengenaan pajak pada barang mewah.
Fungsi yang ketiga adalah fungsi stabilisasi. Fungsi stabilisasi adalah fungsi jangka pendek dari
pemerintah. Stabilisasi sangat penting dalam ekonomi terbuka, yang dapat dilihat sebagai
ketidakseimbangan sistem (Balassa 1982). Oleh karena itu, pemerintah harus membuat kebijakan
untuk memperbaiki kondisi ketidakseimbangan tersebut agar tidak berdampak buruk kedepannya.
Fungsi atau peran pemerintah yang lain adalah fungsi regulasi. Fungsi regulasi adalah fungsi
pemerintah yang terpisah. Sebuah teori regulasi yang terkenal yang merupakan teori yang
dikembangkan oleh Stigler (1971), Posner (1974) dan Peltzman (1976). Teori ini menjelaskan
tentang pandangan bahwa badan regulasi tergabung dalam sebuah kelompok yang berkepentingan,
yang di dalamnya termasuk produsen, konsumen dan kelompok yang memiliki kepentingan umum
seperti pelobi lingkungan. Regulasi diterapkan dalam penanganan kasus pengalokasian sumber daya
yang tidak efisien tapi dapat juga tanpa menggunakan bantuan regulasi dari pemerintah tersebut.

2.3 PERAN PEMERINTAH DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL


Peran Pemerintah dalam perdagangan internasional adalah sebagai fasilitator yang menetapkan
kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan agar suatu negara dapatmemperoleh keunggulan komparatif
dalam sistem perekonomian internasional. Selain itu tujuan dari ditetapkannya kebijakan yakni
meningkatkan keuntungan negara dan setelah itu mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Kebijakan perdagangan internasional terbagi menjadi dua: kebijakan pendukung
dan kebijakan membatasi. Kebijakan mendukung terdiri darisubsidi, pembiayaan ekspor (ekspor
financing) zona perdagangan asing (Foreign trade zone) dan juga agensi khusus pemerintah (Special
Government Agency). Sedangkan kebijakan membatasi yakni berupa tarif (dan non-tarif), kuota,
tarif-kuota, embargo, pemenuhan kebutuhanlokal, penundaan administrasi, dan kontrol mata uang
untuk melindungi dari potensi resiko yang mungkin terjadi dan dialami perusahaan nasional di
pasar global.
2.4 PENYEBAB GAGALNYA PERAN PEMERINTAH DALAM PEREKENOMIAN
Kegagalan pemerintah disebabkan yang pertama karena adanya campur tangan pemerintah yang
kadang-kadang menimbulkan dampak yang tidak diperkirakan terlebih dahulu. Kedua, adanya
kegagalan dalam pelaksanaan program pemerintah, dan yang terakhir adalah perilaku pemegang
kebijakan pemerintah yang bersifat mengejar keuntungan pribadi, juga Pemerintah ketika membuat
kebijakan sering tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Pemerintah
dapat membuat harga sewa pasti dalam kelompok yang berkepentingan dengan memberikan hak
hukum untuk perusahaan tertentu atau penyediaan jasa tertentu. Sebagai contoh, Pemerintah dalam
Ekonomi Pasar dapat memberikan waralaba perusahaan untuk mengoperasikan layanan, atau lisensi
untuk menjual barang-barang tertentu. Selanjutnya, kontrak dapat ditugaskan untuk bisnis tetentu
atau membangun jalan raya atau bisa juga melaksanakan proyek-proyek perumahan.
BAB III
BARANG DAN JASA PUBLIK
3.1 PENGERTIAN BARANG DAN JASA PUBLIK SERTA BARANG DAN JASA PRIVAT
Barang publik adalah barang milik pemerintah yang dibiayai melalui anggaran belanja negara tanpa
melihat siapa yang melaksanakan pekerjaannya. Barang publik adalah barang dan jasa yang
memiliki 2 karakteristik, yaitu non-rivalry dan tidak dapat dikecualikan (Non-Excludable). Yang
termasuk Barang publik adalah pertahanan, taman nasional, ramalan cuaca, dan sebagainya. Non-
rivalry dalam konsumsi menunjukkan bahwa satu orang yang mengkonsumsi suatu barang tidak
mengurangi kegunaan barang tersebut kepada orang lain. Tidak dapat dikecualikan berarti bahwa
tidak mungkin untuk mengecualikan setiap orang untuk mendapatkan manfaat dari barang tersebut
selama barang tersedia. Kedua kondisi ini menyiratkan bahwa pasar tidak akan mampu
menyediakan barang atau jasa secara efisien, karena sistem pasar mengecualikan orang yang tidak
bisa membayar untuk mendapatkan barang yang diinginkan.
Barang privat adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar sehingga menyebabkan
alokasi sumber – sumber ekonomi secara efisien. Dalam mendapatkan barang privat ini diperlukan
persaingan dan pengecualian.

3.2 PENENTUAN JUMLAH PERSEDIAAN HARGA PUBLIK DAN PRIVAT


Faktor dominan yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah dan harga barang pada
sektor privat adalah memaksimalisasi keuntungan yang ingin diperoleh. Pihak yang terlibat dalam
pengambilan keputusan ini adalah jajaran direksi dan komisaris perusahaan.
Penentuan jumlah dan harga barang publik memerlukan suatu proses (termasuk politik yang cukup
panjang). Sebagai contoh: BBM yang harus disediakan oleh pemerintah dan harga jual yang berlaku
bagi masyarakat harus ditetapkan antara pihak pemrintah dan DPR yang merupakan wakil partai
politik indonesia. Penetapan jumlah persediaan dan harga barang publik yang termuat dalam
anggaran belanja negara biasa digunakan untuk mencapai tujuan tertentu guna men9ingkatkan
efisiensi alokasi sumberdaya ekonomi serta keadilan dalam distribusi pendapatan pada sektor publik

3.3 PELAYANAN PUBLIK


Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, instansi milik pemerintah baik BUMD dan
BUMN akan memberikan tarif pelayanan publik yang diwujudkan dalam bentuk Retribusi, pajak
dan pembebanan tarif Jasa langsung kepada masyarakat sebagai konsumen jasa publik. Walau pun
masyarakat telah dibebani dengan pajak yang dapat dipaksakan kepada pemerintah, dan pemerintah
memberikan prestasi kepada masyarkat.
Sementara ada banyak sekali pertimbangan yang dapat diterapkan dalam penetapan harga pada
barang publik. Yaitu:
1. Adanya barang publik dan barang privat
2. Efisiensi ekonomi
3. Prinsip keuntungan
Prinsip dan praktek pembebanan sebagian barang dan jasa yang disediakan pemerintah lebih sesuai
dibiayai dengan pembebanan tarif. Semakin dekat suatu pelayanan terkait dengan barang privat,
semakin sesuai barang tersebut dikenai tarif. namun batasan identifikasi barang privat dan public
kadang sulit dan harus dilakukan dengan dasar tiap pelayanan.
Ahli ekonomi umumnya menganjurkan untuk menggunakan marginal costs pricing, yaitu tarif yang
dipungut seharusnya sama dengan biaya untuk melayani konsumen tambahan (costs of serving the
marginal consumer). Harga tersebut adalah harga yang juga berlaku dalam pasar persaingan untuk
pelayanan tersebut. Marginal costs pricing mengacu pada harga pasar yang paling efisien
(economically efficient price), karena pada tingkat harga tersebut (ceteris paribus) akan
memaksimalkan manfaat ekonomi dan penggunaan sumber daya yang terbaik. Masyarakat akan
memperoleh peningkatan output dari barang atau jasa sampai titik dimana marginal costs sama
dengan harga.

BAB IV
KEBIJAKAN FISKAL
4.1 SEJARAH KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan fiskal adalah konsep pengelolaan ekonomi diperkenalkan oleh John Maynard Keynes,
yang kemudian umum dipakai dunia sejak peristiwa Depresiasi Besar (Great Depression) terjadi
pasca Perang Dunia I tahun 1929. Menurut Keynes, pemerintah suatu negara sebenarnya punya hak
mengatur pengeluaran dan pemasukan sebuah negara dengan menetapkan pajak dan membuat
kebijakan demi ekonomi makro negara.
4.2 LINGKUP DAN PENGERTIAN KEBIJAKAN FISKAL
Pengertian kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah demi menjaga pemasukan
(kebijakan politik, manajemen hutang, kebijakan mengenai perusahaan negara) dan pengeluaran
(kebijakan subsidi, kebijakan pekerjaan umum,kebijakan pengeluaran transfer) negara tetap stabil
sehingga perekonomian negara bisa bertumbuh baik. Lebih spesifik lagi, menurut OJK pengertian
kebijakan fiskal adalah kebijakan tentang perpajakan, penerimaan, utang piutang, dan belanja
pemerintah dengan tujuan ekonomi tertentu.
Penerapan kebijakan fiskal di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, melalui
Indische Comptabiliteitswet tahun 1944. Undang-undang tersebut kemudian diadaptasi pemerintah
guna menyusun kebijakan fiskal di Indonesia mulai Proklamasi sampai tahun 1997 - 2003.
Pasca tahun 2003 hingga saat ini, kebijakan fiskal di Indonesia sudah tidak disadur lagi dari ICW
1944, melainkan berdasarkan pada analisa perekonomian negara dengan berlandaskan pada UUD
1945. Pihak yang memiliki wewenang membuat kebijakan fiskal di Indonesia adalah Kementerian
Keuangan RI bersama-sama dengan Presiden.
Ruang lingkup kebijakan fiskal di indonesia meliputi: Pajak, Pengeluaran belanja negara, dan
Obligasi publik.
4.3 TAHAPAN DAN ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL
1. Masalah kebijakan (Policy Problem)
2. Kebijakan alternatif (Policy Alternatif)
3. Pelaksanaan kebijakan (Policuy action)
4. Hasil kebijakan (Policy Outcomes)
5. Kinerja kebijakan (Policy performences)

4.4 TUJUAN KEBIJAKAN FISKAL


 Meningkatkan PDB (PDB negara dan PDB Perkapita)
 Meningkatkan jumlah sarapan tenaga kerja
 Menjaga stabilitas harga (inflasi)
 Kebijakan fiskal bertujuan untuk mencapai kestabilan kondisi ekonomi dari suatu negara secara
nasional.
 Kebijakan fiskal bertujuan untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara.
 Kebijakan fiskal dapat membantu mendorong laju investasi.

4.5 JENIS KEBIJAKAN FISKAL


1. Dari Segi Teoretis
Dari segi teoretis, jenis kebijakan fiskal di Indonesia terbagi 3, yaitu kebijakan fiskal fungsional,
terencana, dan insidental.
 Kebijakan Fiskal Fungsional
Pengertian kebijakan fiskal fungsional adalah kebijakan yang diambil demi meningkatkan kualitas
ekonomi secara makro, dengan dampak yang baru terlihat dalam jangka panjang. Contoh kebijakan
fiskal fungsional misalnya pemberian beasiswa kuliah, bantuan pendanaan start-up, dan sebagainya.
 Kebijakan Fiskal Disengaja/Terencana
Kebijakan fiskal disengaja adalah kebijakan manipulasi anggaran negara. Fungsi kebijakan fiskal
satu ini adalah untuk menghadapi masalah tertentu, misalnya pandemi dan krisis ekonomi. Contoh
kebijakan fiskal disengaja adalah alokasi APBN bagi sektor kesehatan di masa pandemi dan
relaksasi pajak usaha.
 Kebijakan Fiskal Tak Disengaja/Insidental
Kebijakan fiskal tak disengaja yaitu kebijakan berupa penetapan keputusan/aturan untuk melindung
stabilitas ekonomi sektor non-pemerintah, contohnya penetapan harga eceran tertinggi.
2. Dari Segi Penerapan
Jenis kebijakan fiskal dari segi implementasinya ada 2, yaitu kebijakan fiskal ekspansif dan
kontraktif.
 Kebijakan Fiskal Ekspansif
Pengertian kebijakan fiskal ekspansif adalah kebijakan yang diambil pemerintah saat ekonomi
melemah dengan menaikkan anggaran belanja serta menurunkan atau meniadakan pajak bagi sektor
tertentu. Fungsi kebijakan fiskal ekspansif adalah demi meningkatkan daya beli barang, sehingga
perusahaan tetap bisa melakukan produksi tanpa memecat pekerja.
 Kebijakan Fiskal Kontraktif
Jenis kebijakan fiskal dari segi penerapan berikutnya adalah kebijakan fiskal kontraktif, kebijakan
menurunkan belanja pemerintah dan menaikkan pajak. Fungsi kebijakan fiskal satu ini adalah untuk
mencegah inflasi dan mengurangi rasio gini.

BAB V
KEUANGAN NEGARA DAN KEUANGAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH
5.1 KEUANGAN NEGARA
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksaan hak dan kewajiban tersebut.

ARTI, TUJUAN DAN FUNGSI APBN


Menurut Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, pengelolaan keuangan negara diwujudkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 23C disebutkan bahwa hal-hal lain mengenai keuangan negara
diatur dengan undang-undang.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan rencana keuangan tahunan
Pemerintah Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
APBN merupakan instrumen yang mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka
membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan dengan tujuan mencapai
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan
menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Anggaran memiliki fungsi otorisasi,
perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

PRINSIP, ASAS, LANDASAN HUKUM DAN CARA PENYUSUNAN APBN


Prinsip penyusunan APBN Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga,
yaitu: Intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran. Intensifikasi
penagihan dan pemungutan piutang negara.
 Prinsip anggaran dinamis
 Prinsip anggaran fungsional
 Prinsip anggaran defisit
APBN disusun dengan berdasarkan asas-asas:
1. Kemandirian, yaitu meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri.
2. Penghematan atau peningkatan efesiensi dan produktivitas.
3. Penajaman prioritas pembangunan
4. Menitik beratkan pada asas-asas dan undang-undang negara

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum yang paling tinggi dalam struktur perundang-
undangan di Indonesia. Oleh karena itu pengaturan mengenai keuangan negara selalu didasarkan
pada undang-undang ini, khususnya dalam bab VIII Undang-Undang Dasar 1945 Amendemen IV
pasal 23 mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bunyi pasal 23:
Ayat (1): Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ayat (2): Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh
Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah. ayat (3): “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu”.
Proses penyusunan dan penetapan APBN dapat dikelompokkan dalam dua tahap, yaitu: (1)
pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dan DPR, dari bulan Februari sampai dengan
pertengahan bulan Agustus (2) Pengajuan pembahasan dan penetapan APBN, dari pertengahan
bulan Agustus sampai dengan bulan Desember.

5.2 KEUANGAN DAERAH


Keuangan daerah merupakan uang rakyat yang bersumber dari rakyat dan dipergunakan untuk
kesejahteraan rakyat. Pengelolaan keuangan daerah yang baik sangat penting agar uang negara
dapat dipergunakan dengan efektif dan efisien untuk pembangunan. Salah satu bentuk pengelolaan
keuangan negara yang baik adalah adanya pemberian kewenangan yang seimbang kepada pengelola
keuangan negara/daerah.

KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH


1. pemegang kekuasaan pengelolaan daerah (kepala daerah)
2. koordinator pengelolaan keuangan daerah (sekretaris daerah)
3. pejabat pengelola keuangan daerah (kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD)
4. pejabat pengguna anggaran/pengguna barang daerah
5. pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) SKTD
6. pejabat penatausahaan keuangan (PPK) SKPD
7. bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran

STRUKTUR APBD
Terdiri atas jenis penerimaan daerah dan pengeluaran daerah
1. Jenis penerimaan daerah
a. pendapatan daerah
 Pendapatan asli daerah
Meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
 Dana perimbangan
Meliputi bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
 Lain-lain pendapatan yang sah
2. Jenis pengeluaran daerah
a. Belanja tidak langsung
terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan
sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan pengeluaran tidak terduga.
b. belanja langsung
terdiri atas belanja pegawai langsung, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.
c. Pembiayaan daerah
pembiayaan daerah adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran
yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun
anggaran berikutnya.

TAHAP-TAHAP PENYUSUNAN ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM APBD SERTA


PENENTUAN STRATEGI DAN PRIORITAS APBD
Beberapa tahap yang harus dilalui DPRD dalam menyusun arah kebijakan umum APBD dan
strategi prioritas APBD adalah
1. Melakukan proses scanning lingkungan dan Need Assessment untuk menentukan posisi dan
kebutuhan daerah untuk tahun tersebut.
2. Berdasarkan dokumen hasil Need Assessment dari penjaringan aspirasi masyarakat, DPRD
mempersiapkan Draft arah dan kebijakan umum APBD serta strategi dan prioritas APBD.
4. Penentuan skala prioritas anggaran dalam kondisi sumberdaya terbatas dapat menggunakan dua
metode berikut :
a. metode analisis opertunitaas marginal (AON)
b. metode Priority base Budgeting atau (PBB)
ANALISIS STUDI KASUS PENERAPAN KEBIJAKAN FISKAL (PENGANGGURAN) DI
PROVINSI-PROVINSI YANG ADA DI INDONESIA

Data tingkat pengangguran di tiap provinsi di Indonesia Tahun 2020-2021 (persentase)

Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Provinsi (Persen)


2020 2021
Provinsi
Februar Agustu Tahuna Februar Agustu Tahuna
i s n i s n
ACEH 5.40 6.59 - 6.30 6.30 -
SUMATERA
UTARA 4.71 6.91 - 6.01 6.33 -
SUMATERA
BARAT 5.25 6.88 - 6.67 6.52 -
RIAU 4.92 6.32 - 4.96 4.42 -
JAMBI 4.26 5.13 - 4.76 5.09 -
SUMATERA
SELATAN 3.90 5.51 - 5.17 4.98 -
BENGKULU 3.08 4.07 - 3.72 3.65 -
LAMPUNG 4.26 4.67 - 4.54 4.69 -
KEP. BANGKA
BELITUNG 3.35 5.25 - 5.04 5.03 -
KEP. RIAU 5.98 10.34 - 10.12 9.91 -
DKI JAKARTA 5.15 10.95 - 8.51 8.50 -
JAWA BARAT 7.71 10.46 - 8.92 9.82 -
JAWA TENGAH 4.20 6.48 - 5.96 5.95 -
DI YOGYAKARTA 3.38 4.57 - 4.28 4.56 -
JAWA TIMUR 3.60 5.84 - 5.17 5.74 -
BANTEN 7.99 10.64 - 9.01 8.98 -
BALI 1.25 5.63 - 5.42 5.37 -
NUSA TENGGARA
BARAT 3.04 4.22 - 3.97 3.01 -
NUSA TENGGARA
TIMUR 2.64 4.28 - 3.38 3.77 -
KALIMANTAN
BARAT 4.47 5.81 - 5.73 5.82 -
KALIMANTAN
TENGAH 3.33 4.58 - 4.25 4.53 -
KALIMANTAN
SELATAN 3.67 4.74 - 4.33 4.95 -
KALIMANTAN
TIMUR 6.72 6.87 - 6.81 6.83 -
KALIMANTAN
UTARA 5.71 4.97 - 4.67 4.58 -
SULAWESI UTARA 5.34 7.37 - 7.28 7.06 -
SULAWESI
TENGAH 2.93 3.77 - 3.73 3.75 -
SULAWESI
SELATAN 5.70 6.31 - 5.79 5.72 -
SULAWESI
TENGGARA 3.10 4.58 - 4.22 3.92 -
GORONTALO 3.29 4.28 - 3.41 3.01 -
SULAWESI BARAT 2.39 3.32 - 3.28 3.13 -
MALUKU 6.71 7.57 - 6.73 6.93 -
MALUKU UTARA 4.09 5.15 - 5.06 4.71 -
PAPUA BARAT 6.78 6.80 - 6.18 5.84 -
PAPUA 3.42 4.28 - 3.77 3.33 -
INDONESIA 4.94 7.07 - 6.26 6.49 -

5W+1H
 What : Dampak Penerapan kebijakan Fiskal terhadap tingkat kemiskinan

 Where : 38 Provinsi di indonesia

 When : Pada tahun 2022

 Why
Data diatas menyajikan jumlah tingkat pengangguran di indonesia pada tahun 2020-2021. Dimana
indonesia sedang mengalami masa transisi akibat wabah covid-19, yang menyebabkan penurunan
angka tenaga kerja aktif.
Presiden Jokowi juga mengungkapkan enam hal yang akan menjadi fokus pemerintah dalam
kebijakan fiskal yang disusun. Pertama, adalah melanjutkan upaya pengendalian Covid-19 melalui
serangkaian kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Dengan tetap memprioritaskan aspek kesehatan
sebagai pilar utama dalam mengatasi penyebaran virus berbahaya ini.

Kesehatan menjadi hal yang penting, mengingat melalui aspek inilah, pandemi dapat dihentikan
dalam beberapa waktu ke depan secara optimal.

"Melanjutkan upaya pengendalian Covid-19 dengan tetap memprioritaskan sektor kesehatan," tutur
Kepala Negara.

Kedua, melanjutkan program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan miskin yang
sangat terdampak dari merebaknya pandemi selama 1,5 tahun belakangan ini.

Kebijakan yang diambil pemerintah sudah benar. Pasalnya, masyarakat yang memiliki kategori
tersebut dapat senantiasa dapat bertahan dari dampak buruk merebaknya wabah global Covid-19
yang mendera di berbagai aspek.

Ketiga, memperkuat upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM) unggul di masa pandemi. Hal
ini dilakukan dengan melakukan berbagai kegiatan pelatihan melalui dalam jaringan atau daring
yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait.
Dengan begitu, kualitas SDM dalam negeri akan mampu bersaing dengan SDM dari luar negeri.
"Memperkuat agenda peningkatan SDM yang unggul, berintegritas, dan berdaya saing," kata
Presiden Jokowi.

Keempat, melanjutkan pembangunan infrastruktur pembangunan yang telah ditetapkan oleh


pemerintah dalam beberapa waktu yang lalu. Dan juga meningkatkan adaptasi teknologi yang
dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang terkait dengan hal di atas.

Kelima, penguatan desentralisasi fiskal untuk peningkatan pemerataan kesejahteraan antardaerah.


Sehingga, setiap anggaran APBN yang digelontorkan pemerintah dapat membawa dampak positif
bagi seluruh daerah di tanah air.

Keenam, melanjutkan reformasi penganggaran dengan berbasis zero based budgeting. Tujuannya,
mendorong sinergi antara pusat dan daerah ketika menyusun berbagai kebijakan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan negara.
Dengan fokus utamanya adalah piroritas berbasis hasil terhadap berbagai ketidakpastian
yang bisa berpotensi terjadi. "Melanjutkan reformasi penganggaran dengan zero-based budgeting
untuk mendorong belanja lebih efisien," kata Presiden Joko Widodo.
 Who
Kebijakan Fiskal ini ditetapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
indonesia dalam upaya pengendalian dampak Covid-19 terhadap tingkat pengangguran di
indonesia.

 How
Tentu saja, dalam menyusun RAPBN 2022 juga memperhatikan beberapa parameter ekonomi.
Salah satunya adalah keberhasilan negara ini yang bisa mencapai pertumbuhan ekonomi di kuartal
II-2021 sebesar 7,07 persen, tingkat inflasi terkendali di angka 1,52 persen (yoy).

Parameter berikutnya adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 diperkirakan 5,0 persen--5,5
persen. “Indonesia mengambil proyeksi pertumbuhan yang optimistis di kisaran 5,5%.”

Begitu juga nilai rupiah yang di kisaran Rp14.350 per US dolar, suku bunga surat utang negara 10
tahun 6,82 persen, serta Indonesia Crude Price (ICP) USD63 per barel, serta lifting migas sebesar
703.000 barel dan 1.036.000 barel setara minyak per hari.

Dengan parameter itu, pemerintah memerlukan alokasi APBN Tahun 2022 mencapai Rp2,708
triliun. Meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1,938, triliun dan transfer ke daerah mencapai
Rp770,4 triliun. Selain itu, alokasi untuk kesehatan Rp255,3 triliun (porsinya 9,4 persen dari belanja
negara. Begitu juga untuk anggaran perlindungan sosial Rp427,5 triliun, anggaran Pendidikan
Rp541,7 triliun, serta pembangunan infrastruktur Rp384,8 triliun

Berbagai kebijakan belanja negara secara keseluruhan diharapkan dapat mendorong tercapainya
sasaran pembangunan pada 2022, yakni tingkat pengangguran terbuka 5,5 persen--6,3 persen,
tingkat kemiskinan di kisaran 8,5 persen-9,0 persen, rasio gini di kisaran 0,376-,0378, serta indeks
pembangunan manusia di kisaran 73,41-73,46.
Oleh karena itu, pemerintah perlu peningkatan pendapatan negara 2022 Rp1.840,7 triliun,
penerimaan pajak Rp1.506,9 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp333,2 triliun.
"Mobilisasi pendapatan negara dilakukan dalam bentuk optimalisasi penerimaan pajak maupun
reformasi pengelolaan PNBP."

Pada kesempatan yang sama, di rapat paripurna DPR, Senin (16/8/2021), Ketua DPR RI Puan
Maharani pun menerima pengantar RUU tentang APBN tahun 2022 dan nota keuangan dari
Presiden Joko Widodo. Puan pun memberikan sejumlah catatan terkait dengan penyusunan dan
pembahasan RAPBN 2022. Dia mengingatkan, RAPBN 2022 akan disusun di tengah masa
ketidakpastian, lantaran masih dalam masa pandemi Covid-19.

Untuk itu, dia menilai, diperlukan berbagai antisipasi fiskal pada APBN 2022. "DPR RI dan
pemerintah menyadari bahwa RAPBN tahun 2022 akan disusun di tengah situasi ketidakpastian
yang tinggi karena disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Oleh karena itu diperlukan berbagai
antisipasi fiskal pada APBN tahun anggaran 2022," ujarnya.

HTAG
 Hambatan kebijakan Fiskal yaitu dalam proses perencanaan anggaran ruang Fiskal yang masih
terbatas, proses penganggaran yang belum optimal, dan persepsi stakeholder yang cenderung masih
belum sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah.
 Tantangannya adalah pemerintah perlu peningkatan pendapatan negara 2022 Rp1.840,7 triliun,
penerimaan pajak Rp1.506,9 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp333,2 triliun.
"Mobilisasi pendapatan negara dilakukan dalam bentuk optimalisasi penerimaan pajak maupun
reformasi pengelolaan PNBP."
 Ancaman jika kondisi saat itu terus berlanjut tanpa diterapkannya kebijakan fiskal maka akan
terjadi kemerosotan ekonomi di indonesia karena tingginya tingkat pengangguran di indonesia.
 Gangguan penerapan kebijakan fiskal yaitu kinerja beberapa pihak dipemerintahan yang belum
maksimal dan masyarakat yang kurang mendukung penerapan kebijakan fiskal.

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF PENERAPAN KEBIJAKAN FISKAL


 Dampak positif dari kebijakan fiskal ini yaitu meningkatkan pendapatan rumah tangga di
masyarakat sehingga siklus ekonomi berjalan dengan baik.
 Dampak negatif yaitu mengurangi GDP atau Gross Domestic Product Indonesia.

ANALISIS DAN SOLUSI


Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan pusat statistik Indonesia, tingkat pengangguran yang
ada di 38 provinsi Indonesia mengalami penurunan yang signifikan akibat diterapkannya kebijakan
Fiskal. Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa kebijakan Fiskal yang diterapkan oleh
pemerintah ini memberikan pengaruh terhadap tingkat pengangguran secara agregat. Namun
meskipun demikian indonesia masih harus menghadapi penurunan GDP, karena itu masyarakat
harus memiliki kesadaran untuk memenuhi kewajiban membayar pajak dalam usaha untuk
meningkatkan GDP.

Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Provinsi (Persen)


Provinsi 2022 2023
Agustu Agustu
Februari s Tahunan Februari s Tahunan
ACEH 5.97 6.17 - 5.75 - -
SUMATERA UTARA 5.47 6.16 - 5.24 - -
SUMATERA BARAT 6.17 6.28 - 5.90 - -
RIAU 4.40 4.37 - 4.25 - -
JAMBI 4.70 4.59 - 4.50 - -
SUMATERA
SELATAN 4.74 4.63 - 4.53 - -
BENGKULU 3.39 3.59 - 3.21 - -
LAMPUNG 4.31 4.52 - 4.18 - -
KEP. BANGKA
BELITUNG 4.18 4.77 - 3.89 - -
KEP. RIAU 8.02 8.23 - 7.61 - -
DKI JAKARTA 8.00 7.18 - 7.57 - -
JAWA BARAT 8.35 8.31 - 7.89 - -
JAWA TENGAH 5.75 5.57 - 5.24 - -
DI YOGYAKARTA 3.73 4.06 - 3.58 - -
JAWA TIMUR 4.81 5.49 - 4.33 - -
BANTEN 8.53 8.09 - 7.97 - -
BALI 4.84 4.80 - 3.73 - -
NUSA TENGGARA
BARAT 3.92 2.89 - 3.73 - -
NUSA TENGGARA
TIMUR 3.30 3.54 - 3.10 - -
KALIMANTAN
BARAT 4.86 5.11 - 4.52 - -
KALIMANTAN
TENGAH 4.20 4.26 - 3.84 - -
KALIMANTAN
SELATAN 4.20 4.74 - 3.95 - -
KALIMANTAN
TIMUR 6.77 5.71 - 6.37 - -
KALIMANTAN
UTARA 4.62 4.33 - 4.10 - -
SULAWESI UTARA 6.51 6.61 - 6.19 - -
SULAWESI
TENGAH 3.67 3.00 - 3.49 - -
SULAWESI
SELATAN 5.75 4.51 - 5.26 - -
SULAWESI
TENGGARA 3.86 3.36 - 3.66 - -
GORONTALO 3.25 2.58 - 3.07 - -
SULAWESI BARAT 3.11 2.34 - 3.04 - -
MALUKU 6.44 6.88 - 6.08 - -
MALUKU UTARA 4.98 3.98 - 4.60 - -
PAPUA BARAT 5.78 5.37 - 5.53 - -
PAPUA 3.60 2.83 - 3.49 - -
INDONESIA 5.83 5.86 - 5.45 - -

MODUL
EKONOMI PUBLIK

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
JAINAL YUSTI
MATAKULIAH: EKONOMI PUBLIK
DOSEN: ALZEFIN Y. R. M SINOLUNGAN S.E, M.Si
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN ILMU EKONOMI SEMESTER III
TAHUN 2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur, kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
karunia serta berkat yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan MODUL dengan baik
meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga berterimakasih pada Nci Alzefin
Y.R.M Sinolungan S.E, M.Si selaku dosen mata kuliah Ekonomi Publik Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Manado yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.
Kami harap projek ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan Ilmu Pengetahuan
kita mengenai materi yang kami akan bahas, terutama memgembangkan softskill baik kami maupun
audiens. Kami menyadari bahwa makalah studi kasus ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang saya buat menjadi
lebih baik kedepannya. Mengingat bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga studi kasus ini, dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sedikitnya projek
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi Publik. Demikian makalah studi kasus ini kami buat, mohon maaf apabila ada kesalahan
kata-kata yang berkenan di hati pembaca.
Penulis

Tondano, 03 oktober 2023

BAGAN MATERI

MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH DI


ERA DESENTRALISASI FISKAL

PENYUSUNAN ANGGARAN MOBILISASI PENERIMAAN DAERAH


DAERAH BERBASIS KINERJA DI ERA DESENTRALISASI FISKAL

PAJAK PROPERTI DI INDONESIA


ISU PENDAERAAN PBB DAN
BPHTB
PERANAN ALOKASI

PERANAN DISTRIBUSI
FUNGSI PEMERINTAH

PERANAN STABILISASI

KEGAGALAN PEMERINTAH

EFISIENSI KONSUMEN

KONDISI PARETO OPTIMUM


BAGI KONSUMEN
TEORI BARANG SWASTA

EFISIENSI PRODUSEN

KRITERIA KOMPENSASI

METODE PENENTUAN
HARGA PELAYANAN PUBLIK

BIAYA DAN MANFAAT


SOSIAL BARANG PUBLIK

RINGKASAN MATERI

BAB 8

MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH DI ERA DESENTRALISASI FISKAL

Desentralisasi fiskal tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan otonomi daerah untuk
mengatur keuangan daerah sesuai potensi masing-masing. Penelitian ini menganalisis permasalahan
peraturan perundang- undangan yang mengatur pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam otonomi
daerah dan pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah di Indonesia. Pendekatan
penelitian ini yuridis normatif dengan analisis kualitatif. Kesimpulan penelitian ini bahwa peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di
Indonesia mengalami perkembangan mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah hingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah namun sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
lex specialis mengatur mengenai desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal berperan penting
dalampelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sebagai sarana mempercepat terciptanya
kesejahteraan masyarakat secara mandiri sesuai dengan potensi daerah meskipun masih terdapat
banyak kendala
Desentralisasi dalam konteks harafiah adalah lawan dari kata sentralisasi yang berarti
pemusatan kekuasaan. Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses
pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis (Sidik, 2002). Konsep desentralisasi terdiri
atas desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administrasi (administrative
decentralization), dan desentralisasi fiskal (fiscal decentralization) (Sidik, 2002). Desentralisasi
merupakan peralihan kewenangan dari lingkungan pusat (central government) ke lingkungan
pemerintah daerah (local government) untuk mengatur dan mengurusi daerahnya berdasarkan
kondisi riil yang mengitarinya (Kaloh, 2002). Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Kumorotomo, 2008).
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan
dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan
(fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka
dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah otonom (Sun’an dan Senuk 2017). Desentralisasi fiskal merupakan
konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Sama seperti otonomi daerah,
desentralisasi fiskal pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan potensi daerah, dalam hal
ini adalah dari segi fiskal. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengamanatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi ke dalam provinsi- provinsi kemudian
dibagi lagi ke dalam wilayah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengatur danmelaksanakan sendiri urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya dengan menyesuaikan kemampuan keuangan daerah yang bersangkutan. Otonomi
daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan sesuai dengan kepentingan masyarakat daerah tersebut. Pemberlakuan sistem otonomi
daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang- undang yang
dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah (Kurniawan, 2012). Sejarah otonomi daerah
di Indonesia sudah dimulai pada zaman kemerdekaan. Sejarah ini sempat terhenti saat
diterapkannya sentralisasi pemerintahan pada era orde baru. Kemudian, perjalanan desentralisasi
dilanjutkan seiring dengan berkembangnya era reformasi di Indonesia. Namun, ketidaksiapan
institusi dan masyarakat dalam menghadapi desentralisasi ini mengakibat kan ketidakseimbangan
vertikal dan horizontal (Nurhemi & Suryani, 2015). Menurut Said (2008), terdapat empat perspektif
yang mendasari segi positif dan empat perspektif yang mendasari segi negatif otonomi daerah.
Empat perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah, yaitu sarana untuk 1) demokratisasi,
2) membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintahan, 3) mendorong stabilitas dan
kesatuan nasional, dan 4) memajukan pembangunan daerah. Empat perspektif yang mendasari segi
negatif otonomi daerah, yaitu 1) menciptakan fragmentasi dan keterpecahbelahan yang tidak
diharapkan, 2) melemahkan kualitas pemerintahan, 3) menciptakan kesenjangan antardaerah yang
lebih besar, dan 4) memungkinkan terjadinya penyimbanganarah demokrasi yang lebih besar.
Pelaksanaan otonomi harus dilaksanakan sesuai dengan konsep otonomi yang dimaknai sebagai
penyerahan urusan Pemerintah Pusat ke daerah, kecuali lima kekuasaan yang dipergunakan untuk
kelangsungan kehidupan bangsa. Namun diluar lima kekuasaan yang dikecualikan harus diserahkan
pada daerah. Dengan mempertimbangkan penyerahan urusan itu sebagai usaha untuk mengurangi
beban dan tuga Pemerintah Pusat. Disamping itu juga, dalamrangka meratakan tanggung jawab.
Sesuai dengan sistem demokrasi, maka tanggung jawab pemerintah dapat dipikul rata oleh seluruh
masyarakat yang diikutsertakan melalui disentralisasi fungsional dan teritorial. Hal ini dapat
menciptakan stabilitas pemerintahan pada umumnya (Makhfudz, 2013). Implementasi Otonomi
Daerah memberi peluang besar bagi daerah untuk meningkatkan kinerja keuangan mereka sendiri.
Daerah memiliki wewenang untuk mengelola dan meningkatkan sumber daya lokal mereka sendiri
(Setiaji & Adi, 2007). Namun, pelaksanaan otonomi daerah yang seringkali dipelintir menjadi
“automoney” telah menyebabkan kebutuhan yang besar bagi daerahuntuk menyusun berbagai
skema keuangan daerah guna membiayai bergesernya berbagai otoritas dari pusat ke daerah
(Tjandra, 2016). Desentralisasi fiskal sejauh ini sudah memberikan dampak positif terhadap
otonomi daerah di Indonesia namun belum diatur secara khusus dalam undang-undang.
Instrumeninstrumen hukum yang ada dalam mengatur desentralisasi fiskal kini berguna untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, membangun kegiatan perekonomian daerah dan menjadi
landasan dalam membuat peraturan perundang- undangan mengenai desentralisasi fiskal di masa
yang akan datang. Kebijakan desentralisasi fiskal memberi kesempatan kepada Pemerintah Daerah
agar dapat memanfaatkan potensi ekonomi daerahnya sendiri untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan. Pemerintah Daerah dapat merumuskan peraturan daerah mengenai desentralisasi
fiskal di daerahnya berdasarkan hal- hal tersebut agar pengambilan keputusan lebih didengarkan
oleh masyarakat karena sesuai dengan karakter dan potensi daerah. Karena itu, hubungan antara
ketimpangan dan tuntutan otonomi kompleks dan bergantung pada karakteristik daerah (Sambanis
& Milanovic, 2014). Pemerintah Daerah juga dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat
untuk pengaturan mengenai desentralisasi fiskal di tingkat yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di samping memberikan dampak positif juga memungkinkan
tindak korupsi karena memberikan peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola
keuntungan potensi daerahnya. Bagi para pelaku korupsi di daerah, selain APBD, anggaran yang
sering menjadi target korupsi adalah anggaran pemekaran daerah (Saputra, 2012). Salah satu kasus
yang baru saja terjadi adalah korupsi APBD oleh 45 orang anggota DPRD Malang terhadap dana
yang digunakan untuk membangun fasilitas umum. Hal ini patut mendapat perhatian bersama dari
pemerintah pusat dan masyarakat karena APBD adalah fundamental dari perekonomian daerah
(Putra, 2018). Peneltian sebelumnya membahas tentang efek kebijakan desentralisasi fiskal sebagai
representasi implementasi kebijakan otonomi daerah berpengaruh secara parabolik (hump-shape
relation) terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dimana pada situasi desentralisasi fiskal masih
rendah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi setelah mencapai titik tertinggi,
pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi negatif (Sumardi. 2014. Siregar, B.
2017). Pradityo (2017) membahas pengaruh desentralisasi fiskal terhadap korupsi di tingkat
pemerintah daerah (provinsi) di Indonesia. Kriteria sosial ekonomi dan demografi bersama dengan
faktor-faktor politik mempengaruhi tingkat otonomi fiskal pemerintah daerah di negara Yunani.
(Psycharis, 2015). Permasalahan penelitian ini membahas bagaimana peraturan perundang-
undangan mengatur pelaksanaan desentralisasi fiskal dalamotonomi daerah dan bagaimana
pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah adalah dasar
pelaksanaan otonomi daerah tertuang di dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18, 18 A dan 18 B. Sistem otonomi daerah tertulis secara
umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Pasal 18 ayat (2)
menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat
(5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.” Dan ayat (6)
Pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Kebijakan
desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk mendorong perekonomian
daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia. Peraturan perundang-
undangan yang pertama kali mendasari desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah adalah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Pada saat itu, dari
evaluasi pelaksanaannya didapatkan hasil bahwa derajat desentralisasi fiskal tinggi dan
ketimpangan daerah besar. Sehingga Desentralisasi fiskal di era reformasi Indonesia pertama kali
dilaksanakan berdasarkan pembaharuan peraturan perundang- undangan yaitu Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dituliskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus
mempertimbangkan kemampuan ekonomi daerah, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk dan luas daerah. Undang-Undang ini juga mengatur bahwa keleluasaan yang
diberikan kepada daerah harus proporsional yang diwujudkan dengan pemanfaatan sumber daya di
daerah secara berkeadilan dan bertanggung jawab. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan
spirit konstitusi dan bertujuan meningkatkan kemandirian daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memperkuat dan mendukung Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan menjamin ketersediaan sumber-sumber fiskal bagi
Pemerintah Daerah dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah yang integral dengan
pemerintahan pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di era Reformasi secara resmi dimulai sejak 1
Januari 2001. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk
mendorongperekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di
Indonesia (Indah, 2011). Proses tersebut diawali dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua regulasi tersebut sudah
mengalami beberapa kali revisi hingga yang terakhir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah serta Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Awalnya, pelaksanaan desentralisasi
fiskal di Indonesia ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Sebagai
konsekuensinya, daerah kemudian menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
serta keagamaan. Setelah tiga dekade Orde Baru, 1967-1998, masyarakat Indonesia sedang dalam
proses transformasi penting menuju era yang lebih demokratis (Setiawan & Hadi, 2007). Fase
kedua pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah ditandai dengan adanya reformasi
dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan paket Undang-Undang keuangan negara yang
berisi tiga peraturan di bidang keuangan negara. Pertama adalah Undang- Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara yang menetapkan bahwa asas-asas umum yang meliputi baik asas-
asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas
universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best
practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalampengelolaan keuangan negara, antara lain
akuntabilitas, berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan negara, pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian
pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Ketiga, Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
yang menyangkut pula keuangan daerah. Dalam fase ketiga, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kemudian digantikan lagi oleh Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang di dalamnya
didapatkan definisi otonomi daerah secara jelas di dalam Pasal 1 angka 6 yaitu hak, wewenang,
dankewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Maka dari uraian di
atas, peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia mengalami
perkembangan. Namun sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara lex
specialis mengatur mengenai desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi,
sebagai salah satu pilihan sistem yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempercepat
terciptanya kesejahteraan masyarakat. Karena otonomi adalah sebagai usaha membagi rata
tanggung jawab pemerintahan pusat. Kemudian beban tanggung jawab dibagi ke pemerintahan
lokal, sampai yang paling bawah (Makhfudz, 2013). Sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang kemudian
masing- masing disempurnakan dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang 33
Tahun 2004, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengelola keuangan daerah secara mandiri.
Dana perimbangan merupakan inti dalam desentralisasi fiskal. Dana Perimbangan adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan bertujuan mengurangi
kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah.
Berdasarkan Pasal 287 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Dana
perimbangan terdiri atas: a) DBH; b) DAU; dan c) DAK. Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan
Nomor 187/Pmk.07/2016, sejak tahun 2016 dana perimbangan diubah menjadi dana transfer umum
(Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum) serta Dana Transfer Khusus (Dana Alokasi Khusus
fisik dan non-fisik) (Badrudin, 2017). Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah khusus untuk
desentralisasi expenditure, yaitu desentralisasi fiskal yang digunakan untuk belanja daerah dan
besarnya ditentukan oleh diskresi masing-masing Pemerintah Daerah. Desentralisasi fiskal di
Indonesia menitikberatkan pada desentralisasi di sisi pengeluaran, sehingga pemberian kewenangan
pungutan perpajakan daerah dan retribusi daerah relatif terbatas, namun kepada daerah diberikan
kewenangan yang luas untuk melakukan pengeluaran sesuai prioritas dan kebutuhan daerah.

BAB 9
PENYUSUNAN ANGGARAN DAERAH BERBASIS KINERJA

Penganggaran berbasis kinerja bukan suatu hal yang baru kita jumpai, komitmen ini sudah lama
diikrarkan, sejak PP 58/2005 dikeluarkan dan diimplementasikan dalam pelaksanaannya dengan
juknisnya melalui Permendagri 13/2006. Bahkan saat penyusunan tesis program pasca sarjana saya
pun mengambil topik tentang implementasi Permendagri 13/2006 tersebut dikaitkan dengan
kesiapan sumber daya manusia nya. Jadi sudah berjalan kurang lebih 9 tahun amanah ini diberikan
oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Namun dalam prakteknya, apakah amanah
tersebut sudah dijalankan (salah satunya untuk melaksanakan penganggaran berbasis kinerja) ?

Apakah Anggaran Berbasis Kinerja ? Anggaran Berbasis Kinerja merupakan metode penganggaran
bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan
manfaat yang dihasilkan. Manfaat tersebut dideskripsikan pada seperangkat tujuan dan sasaran
yang dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. Anggaran Berbasis Kinerja yang efektif
akan mengidentifikasikan keterkaitan antara nilai uang dan hasil, serta dapat menjelaskan
bagaimana keterkaitan tersebut dapat terjadi yang merupakan kunci pengelolaan program secara
efektif. Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai instrumen kebijakan yang
berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk
mencapai sasaran dan tujuan, serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang
dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. Jika terjadi perbedaan antara rencana dan realisasinya,
dapat dilakukan evaluasi sumber-sumber input dan bagaimana keterkaitannya dengan
output/outcome untuk menentukan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program.

Ada instrument yang harus dipenuhi dalam mewujudkan anggaran berbasis kinerja, sebagaimana
diisyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 167
ayat 3, menyebutkan “Belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan
analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Hal yang sama juga diisyaratkan PP 58
Tahun 2005 pasal 39 ayat (2), “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan
berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga dan
standar pelayanan minimal”. Dipertegas lagi dalam Permendagri 13 Tahun 2006, pasal 93 ayat (1)
menyebutkan bahwa penyusunan RKA SKPD berdasarkan prestasi kerja, indikator kinerja, capaian
atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga dan standar pelayanan minimal.
Dari ketiga peraturan perundangan di atas, dapat disimpulkan bahwa 5 (lima) elemen utama/wajib
dalam perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja adalah : 1. Analisis Standar Belanja, 2.
Standar Pelayanan Minimal, 3. Indikator Kinerja, 4. Target Kinerja, 5. Standar Satuan Harga.

Bagaimana implementasi di seluruh Pemerintah Daerah, apakah sudah melaksanakan/mempunyai 5


(lima) elemen utama tersebut? Hampir semua Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan penganggaran
berbasis kinerja nya, baru mempunyai 4 (empat) instrument, minus analisis standar belanja (ASB).
Sementara keberadaan ASB sendiri (sebenarnya) merupakan harga mati, yang tidak bisa ditawar
lagi oleh Pemerintah Pusat (sekalipun) ataupun Pemerintah Daerah. Karena fungsi ASB sebagai alat
untuk mengukur efektivitas kegiatan, bukan layanan (apa) atau pihak yang dilayani (siapa). Sebagai
instrument penilai terhadap kewajaran beban kerja usulan program atau kegiatan yang dikaitkan
dengan kebijakan anggaran, komponen dan tingkat pelayanan yang akan dicapai, jangka waktu
pelaksanaanya serta kapasitas SKPD untuk melaksanakannya. Tanpa melihat siapa SKPD yang
mengusulkan dan apa nama kegiatannya. Senyampang kegiatannya sama, beban kerjanya sepadan,
maka total anggaran untuk kegiatan tersebut pastilah sama. Semakin besar beban kerjanya, semakin
besar total anggarannya. Anggaran diberikan pada setiap SKPD sesuai dengan rencana anggaran
belanja yang dibuat berdasarkan analisis standar belanjanya, standar satuan harga, bukan dari
plotting anggaran oleh TAPD, seperti praktek yang selama ini masih dilakukan oleh sebagian besar
Pemerintah Daerah, yang justru masih mencerminkan masalah klasik penyusunan anggaran. Yaitu
penetapan program/kegiatan dari hasil copy paste tahun sebelumnya (line item), besaran anggaran
ditetapkan dari penambahan sekian persen dari tahun sebelumnya atau dengan intuisi/kira-kira
(incremental), dan besaran anggaran setiap SKPD masih bersifat subyektif; dipengaruhi oleh nama
kegiatan dan siapa yang mengajukan.

Melihat fungsi urgen analisa standar belanja yang dipersyaratkan dalam beberapa peraturan
perundangan diatas, sudah selayaknya Pemerintah Daerah mulai menyusun strategi untuk
mewujudkannya. Karena dengan ASB dapat memberikan kepastian terjaganya hubungan antara
input (dana) dengan output (target kinerja). Ada banyak manfaat yang diperoleh oleh Pemerintah
Daerah dengan mempunyai ASB, diantaranya : 1. Penetapan plafon anggaran menjadi obyektif
(tidak lagi berdasarkan intuisi), 2. Dapat menentukan kewajaran biaya dalam melaksanakan suatu
kegiatan, 3. Meminimalisir terjadinya pengeluaran yang kurang jelas dan sudah pasti menyebabkan
inefisiensi anggaran, 4. Penentuan anggaran berdasarkan pada tolok ukur kinerja yang jelas, 5.
Penentuan besaran alokasi setiap kegiatan menjadi obyektif, 6. Memiliki argument yang kuat jika
“dituduh”melakukan pemborosan oleh auditor eksternal (baca: BPK), 7. Penyusunan anggaran
menjadi lebih tepat waktu.

Ada banyak hal yang mendasari mengapa dari 328 Kabupaten dan 53 Kota di Indonesia, baru
sekitar 34 Kabupaten/Kota/Provinsi yang memiliki ASB. Sebagai catatan, untuk Jawa Timur ada
Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Banyuwangi. Salah satu alasan mengapa belum
seluruh Pemerintah Kabupaten menerapkan ASB dalam penganggaran berbasis kinerja ,
sebagaimana yang dikemukan oleh Prof.Dr. Abdul Halim, M.B.A, Akt, Guru Besar Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam sesi diklat penganggaran
berbasis kinerja beberapa waktu yang lalu, adalah adanya “resist to change”atau penolakan untuk
berubah karena berbagai alasan. Diperlukan komitmen yang kuat dari pengambil kebijakan dari
setiap Pemerintah Daerah dalam menyusun ASB dan tentu saja dalam menjalankan penganggaran
berbasis kinerja dengan tolok ukurnya. Bahkan mungkin diperlukan adanya rewards dan
punishment dari Pemerintah Pusat untuk Pemerintah Daerah yang telah mempunyai ASB.
Sebagaimana rewards berupa pemberian insentif bagi Pemerintah Daerah yang 3 (tiga) kali
berturut-turut meraih opini atas laporan keuangan nya Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan
punishment bagi Pemerintah Daerah yang terlambat dalam penetapan APBD nya dengan
pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU). Jika itu diterapkan, saya yakin akan banyak Pemerintah
Daerah yang segera serius menyusun ASB nya dengan berbagai konsekuensinya. Dengan begitu,
kita tidak perlu lagi mempertanyakan apakah penganggaran kita selama ini telah berbasis kinerja,
atau hanya “berbaju” kinerja?

BAB 10
MOBILISASI PENERIMAAN DAERAH DI ERA DESENTRALISASI FISKAL

Bahl dan Linn (1994) menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal berarti desentralisasi dari
pemerintahan, alokasi pengeluaran dan mobilisasi penerimaan daerah. Bahl juga menyebutkan
bahwa bentuk desentralisasi fiskal sangat bervariasi tergantung tujuan dari perubahan sistem
perintahan ini. Pada satu titik ekstrim tertentu negara cenderung membatasi desentralisasi pada
operasi pemerintahan sehingga pemerintah daerah tidak melakukan pembiayaan dan pengadaan
pelayanan publik. Sedangkan di titik ekstrim lainnya, pemerintah lokal diberikan kekuasaan penuh.
Banyak ahli ekonomi yang beranggapan bahwa desentralisasi fiskal merupakan kebijakan yang
tepat bagi pertumbuhan regional karena desentralisasi fiskal cenderung memperpendek jarak antara
pemerintah sebagai pengambil keputusan dengan stakeholder-nya. Tiebout (1956) dan Oates (1972)
menyebutkan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah
yang memiliki kontrol geografis paling minimum, karena:
1. Pemerintah lokal lebih mengerti kebutuhan masyarakat
2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga
mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari
masyarakat
3. Persaingan antara daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan
mendorong pemerintah local untuk meningkatkan inovasinya. Ekonom berpendapat desentralisasi
fiskal dapat membawa dampak positif terhadap pertumbuhan regional jika desentralisasi fiskal juga
dibarengi dengan terpenuhinya prasyarat tertentu. Bahl (1999) menyebutkan 12 aturan agar
desentralisasi fiskal dapat memberikan efek positif terhadap masyarakat lokal, yaitu:
(1) Desentralisasi fiskal harus dipandang sebagai sebuah sistem yang komprehensif;
(2) Money follows function;
(3) Pemerintah pusat mempunyai kemampuan kuat dalam mengawasi dan mengevaluasi
desentralisasi;
(4) Satu sistem antar pemerintah tidak memaksakan hubungan yang sama dan sesuai antara
desa dengan kota;
(5) Desentralisasi fiskal membutuhkan kekuatan yang besar bagi pemerintah lokal untuk
mengambil pajak;
(6) Pemerintah pusat harus konsisten dengan desentralisasi fiskal yang telah diterapkannya;
(7) Tetap menjadikan desentralisasi sebagai sesuatu yang dapat dijelaskan dengan relatif
mudah;
(8) Penyusunan sistem transfer antar pemerintah harus sesuai dengan tujuan desentralisasi
fiskal;
(9) Desentralisasi fiskal seharusnya tetap mempertimbangkan ketiga level pemerintahan;
(10) Menetapkan anggaran yang ketat dan berimbang;
(11) Pemerintah harus selalu merencanakan sistem antar pemerintahan karena hal tersebut
akan selalu berubah; dan
(12) Harus ada pihak pengambil keputusan di level lokal maupun nasional yang menyetujui
kebijakan desentralisasi fiskal dan mengerti keuntungan dari kebijakan yang diambil serta implikasi
logis dari kebijakan tersebut. Bahl dan Linn (1994) berupaya merangkum pendapat yang kontra
dengan desentralisasi fiskal (mendukung sentralisasi fiskal), antara lain:
a. Perekonomian negara-negara miskin dan berkembang cenderung kurang terdiversifikasi
sehingga rentan terhadap gejolak harga barang di tingkatan internasional, bencana alam, perang,
resesi dunia, sehingga stabilisasi merupakan isu penting bagi negara-negara ini. Oleh sebab itulah
kebijakan pajak, dan pinjaman ke luar negeri harus dikontrol pemerintah pusat.
b. Isu tentang pembangunan merupakan isu sentral dalam perencanaan perekonomian
negara berkembang. Harus diakui bahwa kapital memegangperanan penting dalam pertumbuhan ini.
Karena keterbatasan jumlah kapital ini, maka kapital yang tersedia harus bisa termanfaatkan secara
optimal dan menghasilkan tingkat return yang optimal. Pemberian hak ke daerah untuk mengelola
pajak-pajak utama akan menyebabkan terjadinya kompetisi sehingga jumlah dana yang dapat
diakumulasi oleh pusat untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara makro akan berkurang.
c. Sentralisasi memberikan akses kepada pemerintah pusat untuk memanfaatkan
sumberdaya yang ada demi manfaat nasional, sedangkan jika akses itu diberikan ke daerah maka
cenderung akan dimanfaatkan untuk kepentingan manfaat lokal daerah yang bersangkutan,
d. Desentralisasi fiskal membuat perbedaan kemakmuran antara daerah yang kaya dengan
daerah yang miskin akan semakin besar. Dengan desentralisasi fiskal, daerah yang kaya sumber
daya alam cenderung memperoleh pendapatan dari pajak lebih besar sehingga menyebabkan
perbedaan taraf hidup dengan daerah yang miskin dan pada akhirnya akan menimbulkan
kecumburuan sosial. Hal ini akan mengganggu stabilitas sosial dan keamanan negara. Lain halnya
jika pengaturan pajak bersifat sentralistik, maka pemerintah pusat cenderung memberikan transfer
untuk menutupi/mengurangi gap tersebut. e. Kemampuan personal dan administratif pemerintah
pusat dalam mengatur keuangan baik dalam bentuk pajak maupun pengeluaran masih relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan kemampuan pemerintah daerah.

BAB 11
PAJAK PROPERTI DI INDONESIA ISU PENDAERAAN PBB DAN BPHTB

Pada tanggal 15 September 2009, pemerintah telah mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara resmi telah berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
Kehadiran UU PDRD tersebut akan menggantikan UU yang lama yaitu UU No. 18 Tahun 1997
tentang PDRD. Bagian Keenam Belas UU No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (saya singkat menjadi PBB P2). Sedangkan Bagian Ketujuh
Belas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010,
Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB P2 dan
BPHTB. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diatur oleh menteri keuangan
bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182).

Mengapa PBB P2 dan BPHTB Dialihkan?

Sebagaimana telah diketahui bahwa UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan UU NO. 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000
adalah tergolong sebagai pajak pusat. Walaupun sebagai pajak pusat, tetapi penerimaan pajak
tersebut, secara mayoritas, diserahkan kembali kepada daerah kabupaten/kota. Cara seperti ini lebih
disukai oleh banyak pemerintah kabupaten/kota. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk
memungut pajak tersebut, tetapi hanya menerima bagi hasilnya saja. Singkat kata, mereka tidak
ingin menerima pengalihan ini. Jika demikian halnya, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa
pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBB P2 dan BPHTB?

Jawabnya adalah, adanya beberapa kenyataan bahwa:

1. Kebanyakan negara maju menyerahkan urusan pajak properti (jika di Indonesia adalah PBB)
menjadi urusan pemerintah daerah;
2. Migas (minyak bumi dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber
pendapatan bagi APBN (anggaran dan pendapatan belanja negara), mengingat Indonesia
tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, tetapi sebaliknya sebagai suatu negara
yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber utama pendapatan bagi APBN bergeser
dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati
posisi strategis dalam APBN. Sebagai gambarannya adalah penerimaan APBNP 2010
adalah Rp 992-an Triliun yang mana penerimaan pajak adalah Rp 743-an Triliun;
3. Dari penerimaan pajak sebesar Rp 743-an Triliun tersebut, maka penerimaan PBB (seluruh
sektor) adalah Rp 26-an Triliun dan BPHTB Rp 7-an Triliun. Namun demikian, hampir
seluruh penerimaan PBB dan BPHTB tersebut diserahkan kepada pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Landasan hukumnya adalah PMK No.
34/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, artinya bahwa, memang sejak awal penerimaan PBB dan
BPHTB sudah menjadi bagian dari pemerintah daerah. Hal yang sama berlaku juga untuk
BPHTB, dasar hukumnya adalah PMK No. 32/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang
Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan
dialihkannya PBB P2 (yang penuh dengan permasalahannya karena berjuta-juta jumlah
objek pajaknya) menjadi pajak daerah, maka Ditjen Pajak akan lebih berkonsentrasi dalam
pemenuhan target penerimaan pajak pusat.

PBB (Pajak Bumi Versus Hak Atas Tanah)

Pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan
bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia (Pasal 1 UU PBB).

Bumi, menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 1
ayat (4) disebutkan bahwa pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi
dibawahnya serta yang berada dibawah air. Dalam Ayat (5) disebutkan juga bahwa pengertian
air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.

Penggunaan istilah “bumi” pada pajak “bumi” dan bangunan berakibat pada siapa saja yang
menjadi subjek pajak. Artinya, PBB dikenakan secara umum pada orang atau badan yang secara
nyata a). Mempunyai suatu hakatas bumi, dan/atau; b). “Memperoleh manfaat” atas bumi,
dan/atau; c). “Memiliki”; d)”Menguasai”, dan/atau; e) Memperoleh manfaat atas bangunan.

Seandainya, istilah “bumi” diganti menjadi “hak atas tanah”, sehingga PBB berganti menjadi
Pajak “Hak atas Tanah” dan Bangunan (PHTB), maka PBB dikenakan hanya kepada objek yang
bersertifikat tanah saja, seperti sertifikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak pengelolaan dan hak milik satuan rumah susun.

BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah Versus Bumi)

Penggunaan istilah “hak atas tanah” pada BPHTB berakibat pada jenis perolehan. Artinya, BPHTB
dikenakan secara khusus pada orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah
(penyusun sebutsertifikat tanah).

Seandainya, istilah hak atas tanah diganti menjadi “bumi”, sehingga BPHTB berganti menjadi Bea
Perolehan “Bumi” dan Bangunan (BPBB), maka BPBB dikenakan secara luas kepada orang
pribadi atau badan yang memperoleh bumi, artinya bisa saja a). “Mempunyai suatu hak” atas bumi,
b). “Memperoleh manfaat” atas bumi, c). “Memiliki bumi ataupun”d) “Menguasai bumi”.

Lebih tepatnya, pengertian tanah adalah mengarah kepada jenis hak yang meliputi hak atas tanah,
hak atas air dan hak ruang angkasa. Disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (disebut dengan UU PA) Pasal 4 ayat

(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam “hak atas permukaan bumi”, yang disebut “tanah”, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum.
(2) “Hak-hak atas tanah” yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.

(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-
hak atas air dan ruang angkasa.

BAB 1

FUNGSI PEMERINTAH

1.1 PERANAN ALOKASI

. Peran Alokasi adalah peran pemerintah untuk menghasilkan dan mengusahakan agar
pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara optimal.
1.2 PERANAN DISTRIBUSI

Peran Distribusi adalah peran pemerintah untuk mengusahakan agar distribusi pendapatan ditengah
masyarakat menjadi merataguna dan mensejahterakan masyarakat.

1.3 PERANAN STABILITASI

Peran Stabilisasi adalah peran pemerintah untuk meningkatkan kesempatan kerja serta stabilitas
harga barang-barang kebutuhan ekonomi yang mantap dan tingkat pertumbuhan yang memadai.

1.4 KEGAGALAN PEMERINTAH

Ada banyak permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini seperti tingkat kemiskinan yang masih
tinggi, literasi digital yang masih rendah, kasus kekerasan dan fanatisme kelompok atau golongan
intoleran, tingkat stunting yang masih tinggi serta berbagai permasalahan yang dapat menghambat
kemajuan bangsa.

BAB 2

TEORI BARANG SWASTA


2.1 EFISIENSI KONSUMEN

Barang-barang swasta, yaitu. barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar dapat
menyebutkan alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisian. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenal efsiensi alokasi sumber-sumber ekonomi dalam perekonomian yang menggunakan sistem
pasar tanpa adanya campur tangan pemerintah. Dalam pembahasan ini analisi dibagi menjadi dua,
yaitu efisiensi konsumen dan efisiensi produsen. Jadi kita anggap bahwa masyarakat dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu golongan konsumen dan golongan produsen.

Dalam perekonomian yang meggunakan sistem pasar, harga barang dan jasa, upah dan sebagainya
ditentukan oleh permitiman dan penawaran. Dalam sistem perekonomian pasar yang sempurna,
harga-harga merupakan data, yang berarti tidak ada satu pihak pun, baik produsen maupun
konsumen secara sendiri-sendiri dapat mempengaruhi harga. Hal ini disebabkan oleh karena dalam
sistem pasar persaingan sempurna, seorang pengusaha ataupun pembeli hanya merupakan sebagia
yang sangat kecil sehigga peranannya menjadi tidak berarti. Bagi seorang konsumen, permintaan
akan suatu barang hanya merupakan sebagian kecil dibandingkan dengan permintaan seluruh
konsumen, sehingga la tidak dapat mempengaruhi tingkat harga suatu barang dengan merubah
permintaannya akan barang tersebut, walaupun konsumen secara berkelompok dapat mempengaruhi
tingkat harga. Dalam analisa efisiensi konsumen, ada beberapa asumsi yang digunakan untuk
mempermudah analisis, yaitu:

1. Dalam masyakat hanya ada 2 orang konsumen, A dan B.


2. Hanya ada dua barang swasta yang bersedia, makanan dan pakaian
3. Distribusi pendapatan sudah tertentu
Setiap konsumen, dalam menentukan berapa jumlah barang yang diminta sanggat dipengaruhi oleh
harga barang-barang tersebut dan tingakat pendapatan.

2.2 KONDISI PARETO OPTIMUM BAGI KONSUMEN

TUGAS
“EKONOMI SEKTOR PUBLIK”
1. KONDISI PARETO OPTIMUM BAGI KONSUMEN
Pareto optimality adalah sebuah konsep populer dalam menangani
permasalahan tersebut. Sesuai namanya, konsep ini dikemukakan oleh Vilfredo
Federico Damaso Pareto dalam bukunya yang terkenal Manual of Political
Economy yang ditulis dalam bahasa Perancis tahun 1896, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1906. Dengan demikian, secara historis,
buku ini merupakan referensi pertama dalam menentukan optimalitas dari sebuah
permasalahan optimasi multi-tujua
P a r e t o e f i s i e n s i a t a u o p t i m a l i t a s P a r e t o a d a l a h k o n s e p d i b i d a n g
e k o n o m i . Sesuai n a m a n y a , k o n s e p i n i d i k e m u k a k a n o l e h Vilfredo Federico Damaso
Paretodalam bukunya yang terkenalManual of Political Economyyang ditulis dalam bahasa
Perancis tahun 1896, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1906. Vilfredo
Federico Damaso Pareto, adalah seorang sosiolog, ekonom dan filsuf Italia
. Pareto optimal didefinisikan sebagai sebuah kondisi di mana sudah tidak mungkin lagi
mengubah alokasi sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi
(better off) tanpa mengorbankan pelaku ekonomi yang lain (worse off).
Kondisi pareto terjadi ketika semua pelaku ekonomi dalam kondisi kesejahteraan yang
optimum.
Secara umum, efisiensi Pareto tidak hanya membutuhkan pengorganisasian produk
secara efisien tetapi juga pendistribusian produksi secara efisien kepada semua pemakai.
Secara formal, pengalokasian sumber-sumber daya yang tidak hanya menentukan apa yang
harus diproduksi dari sumber-sumber daya yang tersedia tapi juga bagaimana produksi
tersebut didistribusikan kepada pemakai. Efisiensi pareto terjadi apabila memenuhi beberapa
syarat berikut: tidak ada alokasi lain y a n g l a y a k d i m a n a t i d a k a d a s a t u p u n i n d i v i d u
m e n j a d i l e b i h b u r u k k e a d a a n n y a setidaknya satu individu menjadi lebih baik keadaannya
dibandingkan pada saat alokasi pertama (secara ekuivalen, tidak mungkin untuk membuat
seseorang menjadi lebih baik keadaannya tanpa membuat seorang lainnya lebih buruk.
Pareto improvement adalah perubahan pada alokasi yang dapat membuat seseorang
menjadi lebih baik tanpa membuat orang lain menjadi lebih buruk. Keadaan dimana
pareto improvement sudah tidak mungkin dilakukan lagi adalah sebuah alokasi yang
efisien.
Dalam konteks kaitannya dengan penyediaan barang publik oleh pemerintah, maka yang
menjadi tujuan akhir adalah meningkatkan kondisi pareto (pareto improvement) yang belum
efisien.
Para ekonom percaya bahwa peningkatan pareto (pareto improvement) menjadi tujuan
sehingga setiap kebijakan pemerintah harus ditempatkan dalam tujuan
u n t u k meningkatkan pareto yang disebut sebagai prinsip pareto (pareto principle).

Contohnya, ketika pemerintah membangun jembatan, mereka berharap masyarakat yang


menggunakan jembatan tersebut dapat membayar sejumlah tarif yang ditentukan untuk
menutup biaya konstruksi dan perawatan dari biaya jembatan tersebut. Kondisi tersebut
menggambarkan kondisi peningkatan pareto yaitu perubahan di mana seseorang menjadi lebih
baik dan pelaku ekonomi lainnya pun tidak dirugikan.

Kondisi dasar untuk memenuhi optimalisasi pareto dalam perekonomian yang sederhana dimana
hanya ada dua barang yang diproduksi (X dan Y) dan hanya ada dua konsumen (A dan B)
1.Distribusi optimal barang-barang diantara konsumen Diasusmsikan semua barang telah
terdistribusi. Distribusi optimal juga bisa dikatakan terjadi pertukaran yang saling
menguntungkan. Pertukaran yang saling menguntungkan terjadi ketika tingkat substitusi marginal
dua barang adalah samauntuk setiap konsumen. Adapun pertukarang yang
menguntungkan tersebut adalah sebagai berikut: konsumen yang menilai barang X
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai barang Y, maka dia dapat menjual sebagian
barang Y kepada konsumen yang menilai barang Y relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
barang X. 2.Alokasi maksimal dari masukan-masukan dalam penggunaan produksi Terdapat dua
masukan (i dan j) dalam memproduksi barang X dan Y. Alokasi maksimal dari masukan-
masukan terpenuhi apabila rasio produk fisik marginal dari i dan j adalah sama dalam
produksi setiap barang. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengambil
keuntungan dari pengalokasian kembali masukan-masukannya diantara penggunaan yang
bersaing. Sebaliknya, jika rasio tidak sama, maka diilustrasikan sebagai berikut: masukan i
secara relatif lebih efisien dalam memproduksi barang X (dan karenanya, masukan j secara
relatif kurang efisien dalam memproduksi barang X). Hal ini akan memungkinkan
masyarakat untuk memperluas produksi suatu barang pada suatu tingkat
penggunaan sumber daya yang konstan. 3.Jumlah output (barang) optimal Output optimal
terpenuhi apabila rasio biaya marginal terhadap kegunaan marginal harus sama
untuk setiap barang. Apabila rassio tersebut tidak sama, maka masyarakat akan
mengambil manfaat dengan memproduksi lebih banyak barang yang menghasilkan kegunaan
marginal yang lebih tinggi
. Apa bi l a ketiga syarat ini terpenuhi (distribusi optimal barang-barang dia nt a ra
konsumen, alokasi maksimaldari masukan-masukan dalam penggunaan produksi, output
optimal) maka sangat mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan satu individu
tanpa mengurangi kesejahteraan individu lainnya pada saat yang sama.
Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa optimalitas pareto hanya menunjukkan
pengalokasian optimal dari sumber-sumber daya untuk suatu pola konsumsi tertentu yang
mencermikan yang saat ini terjadi. Namun apabila pola konsumsi berubah, maka akan membawa
pada suatu optimalitas pareto yang berbeda

TUGAS
“EKONOMI SEKTOR PUBLIK”
1. KONDISI PARETO OPTIMUM BAGI KONSUMEN
Pareto optimality adalah sebuah konsep populer dalam menangani
permasalahan tersebut. Sesuai namanya, konsep ini dikemukakan oleh Vilfredo
Federico Damaso Pareto dalam bukunya yang terkenal Manual of Political
Economy yang ditulis dalam bahasa Perancis tahun 1896, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1906. Dengan demikian, secara historis,
buku ini merupakan referensi pertama dalam menentukan optimalitas dari sebuah
permasalahan optimasi multi-tujuan

2.3 EFISIENSI PRODUSEN

Bahwa perubahan alokasi penggunaan faktor produksi tanah dan tenaga kerja di antara kedua
produsen dapat menyebabkan kenaikan produksi pakaian sedangkan produksi makanan tidak
mengalami perubahan. Sebaliknya perubahan kombinasi penggunaan tanah dan tenaga kerja dapat
pula menyebabkan kenaikan produksi makanan sedangkan produksi pakaian tidak mengalami
perubahan. Perpindahan dari D ke titik F dan G merupakan titik terjauh yang dapat dicapai oleh
masing-masing produsen tanpa merugikan produsen yang lain, oleh karena itu maka titik F dan G
disebut titik PARETO EFISIENSI. Hal yang sama pada titik-titik selain D. Apabila kita hubungkan
semua titik pareto, kita dapatkan kurva kontrak O x Oy. Pada titik D jumlah tenaga kerja yang
digunakan sebanyak OxB1 dan tanah yang digunakan sebanyak O xT1 untuk menghasilkan pakaian
sebanyak KPSx1. Pada titik D, produsen makanan menggunak tenaga kerja sebanyak B 1BT dan tanah
sebanyak T1TT untuk menghasilkan makanan sebanyak KPSy1. Titik D bukan merupakan titik
optimum karena dengan merubah alokasi faktor di antara kedua produsen maka jumlah barang yang
dihasilkan dapat ditingkatkan, D ke F produksi pakaian bertambah, D ke G produksi bertambah.
Titik-titik F dan G merupakan titik pareto efisiensi. O xOy merupakan kurva kontrak dimana terdapat
kurva pareto.
Setiap titik pada kurva kontrak terjadi persinggungan antara KPS x dan KPSy yang berarti setiap
produsen harus membayar upah tenaga kerja dan sewa tanah yang sama. Titik-titik pada kurva
kontrak dapat diterjemahkan ke dalam suatu kurva kemungkinan produksi ( KKP= PRODUCTION
POSSIBILITY CURVE ).

2.4 KRITERIA KOMPENSASI

Kriteria pemberian kompensasi atau faktor yang mempengaruhi kompensasi adalah beberapa aspek
di bawah ini.

1. Sistem kompensasi

Sistem kompensasi adalah keseluruhan kerangka yang digunakan untuk menentukan besaran
kompensasi pekerja. Biasanya pertimbangan pemberian kompensasi adalah waktu kerja dan
prestasi.

2. Harga pekerjaan

Harga pekerjaan dalam penentuan kompensasi adalah hal yang paling krusial karena tingkat
kesulitan pekerjaan menentukan berapa besaran gajinya. Nah, perusahaan berusaha mengakomodasi
tingkat kesulitan tersebut dan memberikan balas jasa yang sesuai.

3. Standar hidup

Standar hidup dalam kompensasi adalah hal yang biasanya ditinjau dari Upah Minimum Regional
(UMR) serta disesuaikan dengan tingkat kesulitan kerjanya.

4. Tingkat kompensasi pada perusahaan lain

Selain memberikan cukup imbalan, perusahaan juga harus memperhatikan faktor yang
mempengaruhi kompensasi dari sisi kompetitor dari bidang terkait. Jangan sampai tingkat
kompensasi yang diberikan lebih rendah dari kompetitor.

5. Kapasitas perusahaan

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, tidak lantas perusahaan menghiraukan


kapasitasnya dalam memberikan kompensasi. Kapasitas perusahaan dalam memberikan kompensasi
adalah aspek yang dipengaruhi oleh pemasukan serta skala perusahaan.

6. UU yang berlaku

Sejalan dengan tujuan kompensasi, undang-undang yang mengatur mengenai tenaga kerja harus
diperhatikan agar langkah perusahaan tidak berlainan dengan undang-undang.

Tips memberikan kompensasi

Beberapa tips berikut ini layak dipertimbangkan terutama bila kamu bertanggungjawab atas
pemberian kompensasi pekerja.

 Sesuaikan dengan kapasitas keuangan perusahaan, sehingga perusahaan tidak akan


mengalami kerugian saat berusaha mengapresiasi karyawan.
 Besaran kompensasi yang cukup juga perlu diperhatikan. Agar tahu berapa standar
kompensasi suatu bidang pekerjaan, diperlukan riset terlebih dulu.
 Menaati peraturan yang mengatur sistem kompensasi agar pemberian kompensasi tidak
menyalahi prosedur.
 Pastikan lingkungan kerja mendukung karyawan untuk mengembangkan diri. Jika dirasa
kurang, berikan fasilitas sebagai salah satu bentuk kompensasi.
 Evaluasi kinerja karyawan secara berkala agar kompensasi kerja sejalan dengan
produktivitas karyawan.

ANALISIS STUDI KASUS MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH DI ERA


DESENTRALISASI FISKAL
Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Kabupaten Purworejo, pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Purworejo, sumber pembiayaan dari
pendapatan daerah yang berasal dari pemerintah pusat maupun provinsi masih mendominasi
pembiayaan pembangunan Kabupaten Purworejo. APBD Kabupaten Purworejo tahun 2008, 2009
dan 2010 menunjukkan bahwa rata-rata 90,26 % pendapatan daerah berasal dari pemerintah pusat,
sedangkan PAD Kabupaten Purworejo rata-rata hanya mencapai 9,74 %. Selanjutnya rata-rata
kontribusi PAD terhadap pendapatan adalah 7,93 % dan kontribusi PAD terhadap belanja hanya
mencapai rata-rata 7,92 %. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa PAD Kabupaten Purworejo
belum menjadi sumber penerimaan utama pembiayaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan
serta belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan yang dominan dalam pengeluaran
pemerintah daerah khususnya belanja rutin daerah. Padahal dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi fiskal dituntut kemandirian dari pemerintah daerah.

Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan


Regional di Era Desentralisasi Fiskal (Studi Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur Periode
2008-2012)

Salah satu bentuk pembangunan di Jawa Timur, dalam rangka pemenuhan di lingkungan badan
pemberdayaan masyarakat Provinsi Jawa Timur yang bersumber dari APBD Provinsi pada tahun
2011 mencapai 46,71 triliun rupiah, yang terbagi menjadi dua jenis pengeluaran, yaitu belanja
aparatur dan belanja publik. Program Pengembangan Lembaga Ekonomi Pedesaan mencapai 48,87
persen dari total pengeluaran belanja publik di tahun 2011. Sedangkan belanja aparatur mencapai
24,81 persen dari total APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2011. Anggaran tersebut diharapkan dapat
meningkatkan pembangunan secara merata di kabupaten/kota Jawa Timur, dimana setiap kabupaten
dan kota di Jawa Timur memiliki potensi, demografi dan karakteristik yang berbeda-beda. Dengan
berlakunya kebijakan desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan
kewenangan yang semakin luas kepada daerah untuk memberdayakan diri terutama berkaitan
dengan pengelolaan potensi dan sumber pendanaan yang dimiliki. Dari aspek demografi, jumlah
penduduk Jawa Timur adalah yang kedua terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat. Pada tahun
2010, jumlah penduduk Jawa Timur adalah sebesar 37,477 juta jiwa atau 16 persen dari total jumlah
penduduk Indonesia. Dengan demikian, perkembangan ekonomi dan kependudukan yang terjadi di
Jawa Timur akan berpengaruh terhadap konstelasi perekonomian nasional. Sebagai kontributor
kedua terbesar bagi perekonomian Indonesia, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur sejak
tahun 2005 selalu lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2010, ekonomi
Jawa Timur tumbuh sebesar 6,7 persen yang merupakan angka tertinggi di Jawa dan lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian, jumlah penduduk miskin
di Jawa Timur masih yang paling besar di Jawa karena memang populasi penduduk Jawa Timur
yang sangat besar. Pertumbuhan yang tinggi terpusat di perkotaan seperti Kota Surabaya dan
sekitarnya (Sidoarjo dan Gresik), serta Kota Malang dan Kabupaten Malang. Kota-kota tersebut
merupakan pusat aktivitas ekonomi di Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 50 persen terhadap
total ekonomi Jawa Timur pada tahun 2010. Penerapan desentralisasi fiskal pada dasarnya memiliki
tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah. Dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang merata untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat harus diimbangi dengan pemerataan di setiap daerah. Pertumbuhan
ekonomi yang cepat yang tidak diimbangi dengan pemerataan, akan menimbulkan ketimpangan
regional. Ketimpangan regional ini terlihat dari adanya wilayah yang maju dangan wilayah yang
kurang maju atau terbelakang. Hal ini dikarenakan tidak memperhatikan apakah pertumbuhan
tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau perubahan struktur
ekonomi. Sementara pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat memunculkan beberapa fenomena
dalam penerapannya, yaitu dengan penerimaan yang didapat disuatu daerah dan belanja daerah
yang dikeluarkan setiap kabupaten/kota di Jawa Timur yang tidak sesuai juga akan menimbulkan
ketimpangan wilayah, dimana hal itu disesuaikan dengan sektor yang dimiliki disetiap
kabupaten/kota Jawa Timur. Sesuai dengan perhitungan menggunakan Indeks Williamson tahun
2008-2012 diketahui bahwa di Provinsi Jawa Timur ketimpangan dengan skala tinggi terjadi di
kabupaten/kota yang memiliki aktivitas perekonomian tinggi, dimana menjadi center dari segala
kegiatan perekonomian. Dari hasil perhitungan menggunakan Indeks Williamson terlihat di Kota
Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Jember.
Sedangkan daerah yang memiliki skala rendah ialah daerah yang memiliki kegiatan perekonomian
atau produksi daerahnya masih rendah, hal ini terlihat seperti di Kabupaten Pacitan, Kabupaten
Tulungagung, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Bondowoso yang memiliki
nilai skala Indeks Williamson rendah. Ini juga didukung pendapat Nurhuda et al (2011) yang
menyatakan bahwa terlihat pada PDRB kabupaten dan kota Provinsi Jawa Timur yang sangat
berbeda, ada beberapa kab/kota yang tingkat perkembangan PDRB relatif cukup tinggi dan cukup
rendah, contohnya Kota Surabaya, Kota Kediri, Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten
Gresik yang mempunyai PDRB yang tinggi. Sedangkan untuk wilayah kabupaten seperti Kabupaten
Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Bondowoso memiliki
PDRB yang rendah. Menurut Purbadharmaja Ida Bagus Putu, 2010 menyebutkan bahwa dalam
pasca pemberlakuan desentralisasi adalah melebarnya ketimpangan tingkat kemajuan
pembangunan, kesejahteraan, dan kemandirian keuangan antar daerah, sementara dalam hal transfer
subsidi yang bersifat blok, bagi kebanyakan daerah tidak mencukupi walaupun daerah memiliki
keleluasaan mengelola dana, sedangkan subsidi yang bersifat spesifik mengakibatkan daerah tidak
memiliki keleluasaan dalam mengelola dana. Tujuan desentralisasi fiskal adalah tercapainya
kemandirian fiskal daerah, pengelolaan anggaran daerah yang baik, pertumbuhan ekonomi
meningkat, mengurangi disparitas pendapatan antar daerah, terselenggaranya tata kelola
pemerintahan yang baik, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

PENUTUP
RANGKUMAN

Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan
kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat. Peningkatan
kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam menghasilkan
pendapatan asli daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan penghasilan
asli daerah tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Didalam asas desentralisasi, seiring
dengan diserahkannya kewenangan daerah, pemerintah pusat harus menyerahkan pembiayaan,
personalia dan perlengkapan (3P) sebagai syarat mutlak. Dengan kata lain, desentralisasi selalu
dimaknai sebagai distribusi sumber daya dari pusat kepada daerah. Menurut UU Republik Indonesia
nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, pendapatan daerah adalah semua hak daerah
yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan. Pendapatan daerah berasal dari penerimaan dana perimbangan pusat dan daerah, juga
berasal dari daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Jika
dibandingkan dengan sektor bisnis 2 sumber pendapataan pemerintah daerah relatif terprediksi dan
lebih stabil sebab pendapatan tersebut diatur oleh undang-undang dan peraturan daerah yang
bersifat mengikat dan dapat dipaksakan. Menurut Mahmudi (2010) perubahan sistem penganggaran
berupa penggunaan anggaran berbasis kinerja berimplikasi pada perubahan kelembagaan
pengelolaan keuangan daerah. Penataan ulang kelembagaan pengelolaan keuangan daerah itu bukan
saja untuk menyesuaikan sistem anggaran yang baru, tetapi juga dimaksudkan untuk mendukung
tercapainya tujuan desentralisasi fiskal. Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan
daerah tersebut antara lain: Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari sistem
sentralisasi pada bagian keuangan sekretariat daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-
masing satuan kerja. Dan digabungkannya fungsi pemungutan pendapatan daerah yang dilakukan
oleh dinas pendapatan daerah dengan fungsi pengendalian belanja yang dilakukan oleh biro/bagian
keuangan dalam satu lembaga yaitu badan pengelolan keuangan daerah (BPKD). Dalam suatu
sistem pengelolaan keuangan daerah di era otonomi daerah yaitu terkait dengan pengelolaan APBD
(Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah) perlu ditetapkan standar atau acuan kapan suatu daerah
dikatakan mandiri, efektif dan efisien dan akuntanbel. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran
kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan keuangan pada
tahun anggaran selanjutnya. Bastian (2006:274) mendefinisikan kinerja sebagai gambaran
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, 3
tujuan, visi organisasi. Secara umum kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam
periode tertentu. Jadi dalam mengukur keberhasilan/kegagalan suatu organisasi, seluruh aktivitas
organisasi tersebut harus dapat dicatat dan diukur. Ini juga berlaku untuk pemerintahan daerah yang
bertindak sebagai sebuah organisasi untuk mengukur output apakah sudah bermanfaat.

TUGAS
“EKONOMI SEKTOR
PUBLIK”
1. KONDISI PARETO
OPTIMUM BAGI
KONSUMEN
Pareto optimality adalah
sebuah konsep populer dalam
menangani
permasalahan tersebut. Sesuai
namanya, konsep ini
dikemukakan oleh Vilfredo
Federico Damaso Pareto
dalam bukunya yang terkenal
Manual of Political
Economy yang ditulis dalam
bahasa Perancis tahun 1896,
yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris tahun 1906. Dengan
demikian, secara historis,
buku ini merupakan referensi
pertama dalam menentukan
optimalitas dari sebuah
permasalahan optimasi multi-
tujuan
LEARNING AND DOING BY STUDYCASE

Dosen Pengampuh :
Alzefin Y.R.M. Sinolungan SE.,MSI

Disusun Oleh :
Desika Natasia Bukawera 22305024
Eclesia Meggy Keles 22305015
Cindy Julia Pobela 22305040

EKONOMI PUBLIK
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
2023

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada TUHAN Yang Maha Esa karena atas rahmatnya kepada
kami, sehingga kami boleh menyelesaikan makalah dengan begitu baik adanya. Tak lupa juga kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen Matakuliah Ekonomi Publik, Alzefin Y.R.M.
Sinolungan SE.,MSI yang telah memberikan kami tugas makalah ini, sehingga kami dapat
mempelajari lebih dalam lagi mengenai “Ekonomi Publik”.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat demi menunjang wawasan dan pengetahuan
kami khususnya tentang “Ekonomi Publik”. Kami sadar, bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna maka dari itu kami mohon kritik dan saran yang membangun bagi para pembaca.
Demikian makalah ini kami buat, dan Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan
pada hati pembaca.
BAGAN MATERI

Penerimaan pemerintah B
(Pemerintah Pusat dan daerah) AB 6

Penerimaan Penerimaan pemerintah


pemerintah pusat

Penerimaan pemerintah
daerah provinsi dan
kabupaten/kota

Analisis potensi Pemataan potensi


penerimaan / pendapatan pendapatan dengan analisis
daerah tipologi klassen

Penghitungan potensi
pendapatan basis mikro

Penerimaan B
pemerintah : pajak dan AB 7
retribusi daerah

Sejarah Faktor penentu


perkembangan pajak penerimaan perpajakan

Pengertian Kebijakan
dan prinsip pengampunan pajak
pengenaan pajak ( Tax amnesty)
Pajak Tolak ukur
langsung dan pajak
kinerja penerimaan
tidak langsung Jenis pajak
perpajakan suatu negara
daerah
Tarif pajak
Dasar
Pajak daerah pengenaan pajak
Pengaruh dan tarif pajak
pengenaan pajak daerah
terhadap perilaku
Distribusi daerah Bagi hasil
Penerimaan B
pembiayaan : Pinjaman / AB 8
Obligasi negara dan
daeerah
Prinsip
Pinjaman negara Pinjaman Daerah
umum pinjaman

Surat Berharga Strategi


( surat utang negara / Obligasi Daerah
Pembiayaan SUN

Surat Kegiatan yang dapat


berharga Syariah dibiayai obligasi daerah

Obligasi ritel Prosedur penerbitaan


indonesi ORI obligasi daerah

Dasar hukum tentang


penerbitan obligasi daerah

Obligasi Syariah
Pelaporan ,Evaluasi,
( Sukuk )
Publikasi,Informasi dan
sangksi

Prospek dan kendala


oblligasi daerah sebagai
alternative pembiayaan

Penerimaan B
Desa : Dana Desa AB 9

Desa dan Dana Penggunaan


Desa Dana Desa

Regulasi Keuangan desa


Pengeluaran B
pemerintah ( pemerintah AB 10
pusat dan pemrintah
daerah )

Dasar teori Pengaruh


perkembangan pengeluaran pemerintah
pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian

Prinsip Prinsip
pokok pengeluaran Pengeluaran /
pemerintah belanja negara

Penyebab
Pengeluaran /
peningkatan pengeluaran
belanja pemerintah daerah
pemerintah

Manajemen
belanja daerah
RINGKASAN MATERI

BAB 6
PENERIMAAN PEMERINTAH ( PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
6.1 Penerimaan Pemerintah
Penerimaan atau pendapatan negara adalah semua penerimaan kas umum (kas pemerintah
pusat ) atau kas daerah ( kas pemerintah daerah) dari berbagai sumber yang sah, yang menambah
equitas dana dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat
daerah.
1. Pajak, suatu pungutan yang dilakukan pemerintah (pusat/daerah)terhadap wajib pajak tertentu
berdasarkan undang undang ( yang dapat dipaksakan).
2. Retribusi, pungutan yang dilakukan oleh pemerintah ( pusat/daerah),berdasarkan undang
undang ( regulasi tertentu)kepada masyarakat dengan memberikan imbalan jasa secara
langsung.
3. Keungan Perusahaan Negara, bagian utama yang diperoleh perusahaan negara (BUMN/BUMD)
karena adanya penyertaan modal yang ditanamkan oleh pemerintah didalam perusahaan
tersebuut.
4. Denda dan Sita, pemerintah memungut denda dan sita kepada masyarakat tertentu apabila
masyarakat (individu/kelompok/organisasi)tersebut diketahui telah melakukan pelanggran suatu
ketentuan yang telah diatur oleh pemerintahan.
5. Pencetakan Uang, sifat kekuasaan dan berfungsi sebagai penyelenggaraan negara,maka
pemerintahan mempunyai hak untuk menvetak uang.
6. Pinjaman, Penerimaan bagi negara yang walaupun pada akhirnya akan menjadi bahan karena
harus dibayar kembali dalam jumlah yang lebih besar (pokok pinjaman dimbah bunga).
7. Sumbangan,Hadiah dan Hibah, penerimaan yang bersal dari
masyarakat(perorangan,kelompok,organisasi,perusahaan dalam negri atau negara lain dan
masyarakat internasional).
8. Penyelengaraan Undian Berhadiah, oleh pemerintah (pusat/daerah) dengan menunjuk Lembaga
pelaksanaan tertentu merupakan sumber penerimaan yang diperkirakan dapat diterima secara
rutin.
Penerimaan Pemerintah Pusat
Penerimaan atau pendapatan pemerintah terdiri atas
1. Pendapatan Negara dan Hibah
a. Penerimaan perpajakan : Pajak dalam Negeri
 Pajak penghasilan ( Migas dan Non Migas)
 Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah.
 Penerimaan pajak bumi dan bangunan ( PBB)
 Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB )
 Cukai
 Pajak lainnya
Pajak Perdagangan Internasional
 Bea masuk
 Pajak ekspor
b. Penerimaan Negara Bukan Pajak ( PNBP)
 Penerimaan sumber daya alam ( SDA)
 Bagian Laba BUMN ( Badan Usaha Milik Negara)
 PNBP Lainnya.
2. Penerimaan Pembiayaan
 Pinjaman sektor perbankan
 Privatisasi BUMN
 Penjualan asse
 Penjualan obligasi pemerintahan
 Pinjaman luar negeri
Penerimaan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten Kota
1. Pendapatan asli daerah
 Pajak daerah
 Retribusi daerah
 Bagian laba BUMD dan investasi lainnya
 PAD lain lain
2. Pendapatan dana perimbangan
 Pendapatan bagian daerah dari PBB dan BPHTB
 Pendapatan daerah dari pajak penghasilan
 Pendapatan bagian daerah dari sumber daya alam ( SDA)
 Dana alokasi umum ( DAU)
 Dana alokasi khusus ( DAK)
3. Lain lain pendapatan yang sah
 Pendapatan hibah
 Pendapatan dana darurat
 lain lain pendapatan
4. Penerimaan pembiayaan
 Sisa lebih perhitungan anggaran
 Penjualan asset daerah yang dipisahkan
 Penjualan investasi lainnya.
 Pinjaman luar negeri
 Pinjaman dari pemerintah pusat
 Pinjaman dari daerah otonom lainnya
 Pinjaman dari BUMN/BUMD
 Pinjaman dari bank/Lembaga keuangan
 Pinjaman dalam negeri lainnya
6.2 Analisis potensi penerimaan/pendapatan daerah
Untuk mendapatkan atau memperoleh diperlukan upaya upaya tertentu, misalkan untuk
potensi sumber daya alam tambang perlu adanya eksplorasi dan eksploitasi,untuk potensi pajak
peril dilakukan upaya pajak ( tax effort ). Potensi pendapatan satu daerah dengan daerah yang lain
berbeda-beda disebabkan oleh faktor demografi, ekonomi, sosiologi, budaya, geomorfologi, dan
lingkungan yang berbeda-beda.
1. Memiliki potensi dan kemampuan mengelola yang tinggi
2. Memiliki potensi yang tinggi tetapi kemampuan mengelolanya rrend.
3. Memiliki potensi yang rendah tetapi memiliki kemampuan mengelola yang tinggi
4. Memiliki potensi yang rendah dan kemampuan mengelola rendah.
Pemetaan potensi pendapatan dengan analisis tipologi klasson
Sumber sumber utama pada pendapatan suatu daerah secara umum dapat dilihat pada data
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dapat dirinci ke masing-masing lapangan
usaha. Untuk memetakan potensi daerah secara sektoral (lapangan usaha) yang didasarkan pada
data PDRB, maka dapat digunakan analisis Tipologi Klassen.
 Sektor/lapangan usaha unggulan (prima)
 Sektor/lapangan usaha potensial
 Sektor/lapangan usaha berkembang
 Sektor/lapangan usaha terbelakang
Sektor/lapangan usaha unggulan (prima) adalah sektor yang.paling dominan kontribusinya
terhadap perekonomian daerah. Suatu lapangan usaha dikategorikan ke dalam lapangan usaha
unggulan/ prima apabila lapangan usaha tersebut pertumbuhannya tinggi dan kontribusinya
terhadap PDRB besar, sedangkan sektor/lapangan usaha potensial adalah lapangan usaha yang juga
memberikan kontribusi tinggi bagi perekonomian daerah tetapi pertumbuhan lapangan usaha
tersebut lambat dan cenderung menurun.
Perhitungan potensi pendapatan basis mikro
Untuk mengetahui besarnya potensi rill pendapatan yang dimiliki oleh suatu pemerintahan
daerah, diperlukan identifikasi dan perhitungan potensi dengan basis mikro. Penghitungan potensi
pendapatan basis mikro dilakukan dengan cara menghitung potensi pendapatan untuk masing
masing objek pendapatan.
BAB 7
PENERIMAAN PEMERRINTAH PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
7.1 Sejarah perkembangan pajak
Eksistensi pajak sebagai pungutan telah ada sejak zaman Romawi. Pada awal Republik
Roma (509-27 SM) dikenal beberapa jenis pungutan seperti censor, questor, dan beberapa jenis
pungutan lain. Pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada warga tertentu yang disebut
publican. Pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun 167 M, pajak langsung (pajak
atas kepala-head tax) yang dipungut disebut dengan tributum. Sesudah abad ke-2, penguasa Roma
mengandalkan pajak tidak langsung yang disebut vegtigalia seperti portoria, yakni pungutan atas
penggunaan pelabuhan. Di zaman Julius Caesar dikenal centesima rerum venalium, yaknisejenis
pajak penjualan dengan tarif 1% dari omzet penjualan.
7.2 Pengertian, Prinsip dan Fungsi Pengenaan Pajak
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang tertuang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran uenurut
mardiasmo (2004 ; 149 ), Pemerintah daerah sebaiknya tidak menambah pungutan yang bersifat
pajak (menambah jenis pajak baru ).
1. Pungutan retribusi langsung berhubungan dengan masyarakat penggunaan layan publik
2. Investor akan lebih bergairah melakukan investasi didaerah apabila terdapat kemudahan sistem
perpajakan didaerah.
Terdapat prinsip-prinsip pengenaan pajak yang perlu diperhatikan yang disampaikan oleh
Adam Smith
1. Prinsip kesamaan/keadilan (equity), Beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan relatif
dari wajib pajak, sehingga menimbulkan kehilangan kepuasan pada tingkat yang sama.
2. Prinsip kepastian, Pajak yang baik harus tegas, jelas dan pasti, sehingga mudah dimengerti.
3. Prinsip kecocokan/kelayakan (convenience), Pajak hendaknya tidak terlalu menekan wajib
pajak, sehingga seminimal mungkin menimbulkan rasa ketidaksenangan wajib pajak untuk
membayar pajak.
4. Prinsip ekonomi, Pajak hendaknya meminimalisasi kerugian, dalam arti jangan sampai biaya
pemungutannya lebih tinggi daripada penerimaannya.
5. Benefit approach, Pengenaan pajak yang didasarkan pada keuntungan/manfaat yang diperoleh
wajib pajak dari negara. Semakin tinggi keuntungan/ manfaat yang diperoleh, semakin tinggi
pajak yang harus dibayar.
6. Ability to pay approach, Pengenaan pajak yang disesuaikan dengan daya pikul wajib pajak.
Wajib pajak yang mempunyai daya pikul yang sama akan dikenai beban pajak yang sama
(horizontal equity) sementara wajib pajak yang mempunyai daya pikul yang berbeda dikenai
beban pajak yang berbeda ( vertical equity ).
7. Equal sacrifice, Pengenaan pajak yang didasarkan pada beban riil (real burden), yaitu besarnya
kepuasan yang hilang sebagai akibat dari pengenaan pajak. Prinsip ini dibedakan menjadi tiga
hal, yaitu: pertama, kesamaan pengorbanan secara absolut (equal absolute sacrifice) yang tolok
ukurnya adalah kesamaan kehilangan kepuasan absolut, kedua, kesamaan pengorbanan secara
proporsional (equal proportional sacrifice) yang tolok ukurnya adalah kesamaan kehilangan
kepuasan secara proporsional (proportional utility); ketiga, kesamaan pengorbanan secara
marginal (equal marginal sacrifice) yang tolok ukurnya kesamaan kehilangan kepuasan
marginal (marginal utility).
Devas (1989) menetapkan kelayakan suatu pajak.
1. Hasil/perolehan pajak (tax yield), meliputi:
a. Hasil pajak cukup besar. Pajak yang memberikan hasil yang kecil justru akan menimbulkan
inefisiensi dan menciptakan perlawanan pajak (tax payer resistance),
b. Hasilnya lebih pasti dan dapat diprediksi. Hasil pajak hendaknya relatif stabil, tidak
berfluktuasi dari tahun ke tahun agar mudah dalam melakukan perencanaan belanja.
c. Elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan kenaikan pendapatan.
d. Perbandingan antara biaya pungut (collection cost) dengan hasil pajak (tax yield) kecil.
2. Keadilan (equity):
a. Dasar pengenaan pajak (tax base) dan kewajiban wajib pajak harus jelas tidak bersifat
arbitrer.
b. Horizontal equity; pajak yang dilakukan harus menciptakan keadilan horizontal, yaitu
mereka yang kondisi ekonominya sama memiliki beban pajak yang sama.
c. Vertical equity: beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat untuk
membayar, yang kaya harus membayar pajak lebih tinggi daripada yang miskin.
d. Benefit principle; mereka yang menikmati fasilitas publik secara lebih baik harus membayar
pajak lebih tinggi.
3. Daya guna ekonomi (economic efficiency/economic neutrality); pajak hendaknya mendorong
penggunaan sumber daya secara produktif dan tidak mengganggu perekonomian. Sistem
perpajakan hendaknya memberikan netralitas ekonomi, sehingga mengurangi distorsi ekonomi.
4. Kemampuan melaksanakan (ability to implement):
a. Adanya political acceptability untuk menerapkan pajak.
b. Terdapat dukungan kapasitas administrasi dan skill aparat pajak yang memadai.
5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (suitabilty as a local revenue source):
a. Harus jelas pemerintah daerah mana yang harus menerima pajak. Sebagai contoh, pajak
penghasilan seharusnya dibayarkan kepada pemerintah daerah tempat di mana orang
tersebut bekerja atau tempat tinggal wajib pajak.
b. Kedudukan objek pajak jelas agar pajak tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan
objek pajak dari satu daerah ke daerah lain.
6. Pengaruh tempat (lokasi) terhadap beban pajak (location responses to taxation). Jika jenis pajak
atau tarif pajak berbeda-beda untuk tiap daerah, maka pembayar pajak cenderung berusaha
untuk mengurangi beban pajak (misalnya memindahkan kantor pusat). Idealnya, pajak daerah
dapat meminimalkan distorsi yang menyebabkan masyarakat dan pelaku bisnis meninggalkan
suatu daerah.
7. Masalah keadilan antarwilayah (the problem of inter-regional equity). Beberapa pemerintah
daerah memiliki potensi pajak daerah yang lebih besar dari yang lainnya. Pajak daerah
hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antardaerah dari segi potensi masing-
masing daerah.
a. Pajak sebagai penerimaan negara atau fungsi penerimaan ( Budgetair )
Pajak dikenakan dengan tujuan untuk mengumpulkan penerimaan dalam rangka
membiayai kegiatan pemerintahan. Apabila pungutan pajak ditingkatkan maka penerimaan
negera pun negara meningkat, sehingga negara dapat berbuat lebih banyak untuk
kepentingan masyarakat.
b. Pemerataan pendapatan masyarakat (fungsi distribusi)
Pajak adalah salah satu alat untuk dapat mendistribusikan pendapatan dengan cara
memungut pajak yang lebih besar bagi warga negara yang berpendapatan tinggi dan
memungut pajak yang rendah bagi warga negara yang berpendapatan kecil atau bersifat
progresif tajam.
c. Stabilitas ekonomi atau fungsi pengaturan (regulator)
Inflasi bagi negara yang sedang berkembang, antara lain diakibatkan oleh
meningkatnya defisit anggaran pemerintah. Peningkatan defisit domestik ini terutama
bersumber pada meningkatnya pengeluaran domestik sesuai dengan kebutuhan
pembangunan, sementara penerimaan domestik masih lemah. Oleh karena itu, harus
dijadikan perhatian pemerintah adalah peningkatan penerimaan domestik melalui
peningkatan penerimaan pajak.
d. Realokasi sumber-sumber
Pajak dapat merupakan instrumen pemerintah untuk mengatur sumber-sumber alam
yang dinilai kurang menguntungkan bagi masyarakat banyak. Contoh, sebidang tanah yang
mestinya untuk daerah persawahan, dipergunakan untuk bangunan. Dalam kasus seperti ini,
apabila pemerintah tetap menghendaki tanah yang bersangkutan penggunaannya untuk
persawahan, maka apabila dipergunakan untuk bangunan dapat dipungut pajak yang tinggi.

7.3 Pajak langsung dan pajak tidak langsung


a. Pajak langsung
Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan berdasarkan atas surat ketetapan pajak
dan pengenaannya dilakukan secara berkala misalnya tiap tahun dikenakan.
b. Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pemungutan yang tidak dilakukan
berdasarkan atas surat ketetapan pajak dan pengenaannya tidak dilakukan secara berkala.
Kebaikan dari pajak tidak langsung
a. Untuk anggaran penerimaan negara, hasilnya lebih stabil jika dibandingkan dengan hasil
dari pemungutan pajak langsung.
b. Orang-orang yang penghasilannya kecil dan sukar untuk dikenai pajak pendapatan, dapat
diikutsertakan dalam pengumpulan dana yang dikehendaki oleh pemerintah.
c. Biaya pemungutannya rendah.
d. Teknik pemungutannya sederhana sehingga tidak menyulitkan administrasi pajak.
e. Pajak-pajak tidak langsung sesuai dengan maksud dan tujuannya sebagai salah satu alat
pengatur dapat dikendalikan oleh pemerintah dengan cepat dan relatif mudah.
Kekurangan dari pajak tidak langsung
1. Kurang memenuhi rasa keadilan karena tarifnya pada dasarnya adalah regresif dan tidak
progresif. Orang-orang yang penghasilannya rendah dikenakan pembayaran pajak yang sama
besarnya dengan mereka yang penghasilannya tinggi.
2. Sebagai pajak konsumen kadang-kadang tidak dapat dijalankan secara baik dalam arti bahwa
yang memikul beban pajak adalah bukan destinaris (mereka yang menurut undang-undang pajak
dimaksudkan sebagai pemikul beban pajak).
3. Sebagai alat untuk mendorong peningkatan produksi, pajak tidak langsung tidak atau sukar
dapat dirasakan pengaruhnya secara langsung oleh sektor-sektor produksi yang bersangkutan.
7.4 Tarif Pajak
1 Tarif pajak ( Lump sum ), Sistem pajak secara perorangan.
2 Tarif Pajak ( Advalorem ), Sistem ini dikenakan pajak sebesar presentase tertentu dari objek
pajaknya
3. Tarif pajak ( spesifik ), Sistem pajak ini biasanya diberlakukan untuk pajak tidak langsung
seperti cukai, pajak penjualan, dll.

7.5 Pengaruh pengenaan pajak terhadap perilaku ekonomi


1. Pajak Perseorangan
PPh antara lain dikenakan atas pendapatan dari upah/gaji, dividen, bunga, obligasi, dan
bunga deposito. Dampak pengenaan PPh sebagai berikut:
a. Terhadap upah/gaji akan memengaruhi semangat kerja.
b. Terhadap bunga obligasi akan menurunkan semangat untuk membagikan dividen,
c. Terhadap dividen akan menurunkan semangat untuk membagikan dividen,
d. Terhadap bunga deposito akan menurunkan semangat untuk menabung.
2. Pajak Penjualan/Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax) Efek pengenaan pajak penjualan
adalah menaikkan harga yang harus dibayar oleh konsumen dan/atau menurunkan harga yang
diterima oleh produsen.

7.6 Faktor penentu penerimaan perpajakan


1. Pertumnuhan ekonomi, merupakan persentase kenaikan PDB dalam nilai riil tahun tertentu
dibanding tahun sebelumnya, berpengaruh positif terhadap penerimaan perpajakan, khususnya
melalui meningkatnya pendapatan masyarakat dan tingkat konsumsi.
2. Tingkat Inflasi, tingkat inflasi yang tidak terlalu tinggi berpengaruh positif terhadap penerimaan
perpajakan melalui naiknya nilai nominal dari pendapatan masyarakat dan konsumsi.
3. Nilai tukar rupiah, Nilai tukar rupiah mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap penerimaan
perpajakan. Penerimaan tertentu dalam valuta asing, semakin lemah nilai tukar rupiah akan
meningkatkan penerimaan pajak yang bersangkutan, atau sebaliknya.
4. Harga minyak internasional, Disisi penerimaan perpajakan, perubahan harga minyak
internasional berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak dari sektor pertambangan,
khususnya PPh, PPN dan PBB.
5. Produksi minyak mentah Indonesia, Faktor ini mempunyai pengaruh positif terhadap
penerimaan perpajakan dan sektor migas, khususnya PPh, PPn dan PBB.
6. Tingkat suku bunga, Secara langsung, perubahan tingkat suku bunga akan berpengaruh positif
terhadap penerimaan PPh dari bunga deposito. Namun, tingginya tingkat bunga bisa berefek
negatif terhadap ekonomi secara keseluruhan dan akhirnya bisa berpengaruh negatif terhadap
penerimaan pajak jenis lain.

7.7 Kebijakan pengampuanan pajak ( Tax Amnesty)


Pengampunan pajak adalah kebijakan pemerintah dibidang perpajakan yang memberikan
penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu
bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi wajib pajak yang
tidak patuh menjadi wajib pajak patuh.
Tujuan dari Tax amnesty berdasarkan undang undang 11 tahun 2016
1. Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta,
2. Mendorong reformasi perpajakan menuju perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan
basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi.
3. Meningkatkan penerimaan pajak,

7.8 Tolok ukur kinerja penerimaan perpajakan suatu negara


Untuk mengukur kinerja pemungutan pajak di suatu pajak negara, tolok ukur yang
digunakan antara lain adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestic bruto dan
perbandiangan antara penerimaan pajak yang berhasil dipungut dengan potensi yang tersedia.
7.9 Pajak daerah
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah
tampa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan
pembangunan daerah.
Kriteria pajak daerah selain yang ditetapkan UU bagi kabupaten/kota :
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi
2. Objek pajak terletak di wilayah daerah kabupaten/ kota yang nersangkutan dan mempunyai
mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah kabupaten kotan yang
bersangkutan.
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi atau objek pajak pusat
5. Potensinya memadai
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negative
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat
8. Menjaga kelestarian lingkungan
Jenis pajak daerah
4 tujuan strategi dan kebijakan yang diterapkan untuk meningkatkan penerimaan daerah dari
pajak
1. Memperbaiki kewenangan pemungutan strategi yang dilakukan adalah menetapkan jenis
pemungutan daerah.
2. Pengutan local taxing power. Strategi yang dilakukan adalah memperluas biasis pungutan dan
diskresi penetapan tarif.
3. Meningkatkan efektivitas pengawasan dengan melakukan strategi mengubah sistem pengawasan
pajak yang selama ini diterapkan.
4. Memperbaiki sistem pengelolaan. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kualitas hasil pajak
daerah
Dasar pengenaan pajak dan tarif pajak daerah
Dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor dihitung sebagai perkalian dari dua unsur
pokok, yakni:
 Nilai jual kendaraan bermotor
 Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan
akibat penggunaan kendaraan bermotor
Bagi hasil pajak daerah
Bagi hasil pajak Provinsi kepada daerah Kabupaten/Kota
 Hasil penerimaan pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air dan bea balik nama
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air diserahkan kepada daerah kabupaten/ kota di
provinsi yang bersangkutan paling sedikit 30%.
 Hasil penerimaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan diserahkan kepada daerah kabupaten/kota
di provinsi yang bersangkutan paling sedikit 70%.
 Penggunaan bagian daerah kabupaten/kota ditetapkan sepenuhnya oleh daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
Bagi hasil pajak kabupaten kepada desa
 Hasil penerimaan pajak kabupaten diperuntukkan paling sedikit 10% bagi desa di wilayah
kabupaten yang bersangkutan
 Bagian desa ini ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten dengan memperhatikan aspek
pemerataan dan potensi antar-desa
 Penggunaan bagian desa ditetapkan sepenuhnya oleh desa yang bersangkutan
7.10 Retribusi daerah
Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
1. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atau jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan. Jenis-jenis retribusi umum adalah:
a. Retribusi pelayanan kesehatan
b. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan
c. Retribusi penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta catatan sipil
d. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat
e. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum
f. Retribusi pelayanan pasar
g. Retribusi pengujian kendaraan bermotor
h. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran
i. Retribusi penggantian biaya cetak peta yang dibuat oleh pemerintah daerah
j. Retribusi pengujian kapal perikanan
2. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan
menganut prinsip komersil, meliputi: pertama, pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan
kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; kedua, pelayanan oleh pemerintah
daerah sepanjang belum memadai disediakan oleh pihak swasta. Jenis-jenis retribusi jasa usaha
adalah sebagai berikut:
a. Retribusi pemakaian kekayaan daerah
b. Retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan
c. Retribusi tempat pelelangan
d. Retribusi terminal
e. Retribusi tempat khusus parkir
f. Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/vila milik daerah
g. Retribusi penyedotan kakus
h. Retribusi rumah potong hewan
i. Retribusi pelayanan pelabuhan kapal
j. Retribusi tempat rekreasi dan olahraga
k. Retribusi penyerberangan di atas air
l. Retribusi pengelolaan limbah cair
3. Retribusi penjualan produksi usaha daerah Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas
kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau
badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas
kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis-jenis
retribusi perizinan tertentu adalah sebagai berikut:
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB
b. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol
c. Retribusi izin gangguan
BAB 8
PENERIMAAN PEMBIAYAAN PINJAMAN/OBLIGASI NEGARA DAN DAERAH
8.1 Pinjaman Negara
Pinjaman luar negeri timbul karena suatu negara itu mengalami kekurangan kapital karena
sumber-sumber dananya di dalam negeri tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan. Peranan
pinjaman negara dalam pembangunan ekonomi semakin meningkat apabila penerimaan negara yang
berasal dari sumber-sumber lain terlalu kecil untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran atau karena
terlalu kecilnya dana tabungan yang tersedia untuk investasi.
Berikut adalah barang primer memberikan penerimaan devisa yang rendah:
1. Rendahnya elastisitas permintaan,
2. Ketidak pastian harga,
3. Memburuknya nilai tukar,
4. Penggunaan barang sintetis dan barang substitusi,
5. Peraturan tarif dan kuota,
Utang luar negeri/pinjaman Indonesia yang berasal dari sumber resmi terdir dari pinjaman
bilateral dan multilateral.
1. Pinjaman bilateral, Setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun dalam bentuk
barang dan jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang berasal dari
pemerintahan suatu negara melalui suatu negara atau badan keuangan yang dibentuk oleh
pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksan pemberiman pinjaman yang harus
dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
2. Pinjama Multilateral, Setiap penerimaan negara, baik dalam bentuk devisa maupun dalam
bentuk barang dan jasa yang diperoleh dari pemberian pinjaman luar negeri yang berasal dari
lembaga keungan internasional maupun regional dan biasanya indonesia merupakan anggota
dari Lembaga keuangan tersebut.
Berdasarkan jenis pinjaman luar negeri dapat dikelompak sebagai berikut:
1. Pinjaman lunak (soft loan), Pinjaman yang dapat berasal dari Lembaga multilateral maupun
negara bilateral yang dananya berasal dari iuran anggota untuk multilateral atau dari anggota
negara yang bersangkutan untuk bilateral dan ditujukan untuk meningkatkan pembangunan.
2. Fasilitas kreit ekspor, Pinjaman yang diberikan negara negara pengekspor dengan jaminan
tertentu dari pemerintah nya dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor negara yang
bersangkutan baik berupa buyers credit maupun suppliers credit.
3. Pinjaman komersial, Pinjaman yang bersumber dari bank/Lembaga keungan dengan persyaratan
yang berlaku dipasar uang internasional pada umumnya.
Perbedaan pinjaman komersil dan fasilitas kredit ekspor
 Fasilitas kredit ekspor adalah pinjaman bergaransi,
 Pinjaman komersil tidak ada jaminan

Pinjaman campuran Merupakan campuran antara pinjaman lunak dan pinjaman kredit
ekspor dan grant ( protocol ) atau campuran antara pinjaman lunak dengan pinjaman komersial.
Pinjaman luar negeri merupakan salah satu pos pembiayaan yang didapatkan oleh negara untuk
menutupi pos pembelanjaan negara, namun terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah
sebelum melakukan transaksi utang, di antaranya adalah:
 Meningkatkan penerimaan negara.
 Seleksi proyek yang akan diberi utang
 Manajemen utang yang tepat.
 Kurangi kebocoran.
Pemanfaatan utang luar negeri pemerintah untuk membiayai belanja negara sedemikian rupa
sehingga dapat mendukung kegiatan ekonomi, terutama kegiatan kegiatan yang produktif sehingga
pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi
 Adanya transfer negatif (negatif net transfer). Transfer negatif ini terjadi akibat penarikan
utang luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek lebih kecil dibandingkan
dengan pembayaran kembali utang luar negeri berikut bunganya.
 Tingginya rasio pembayaran utang terhadap belanja negara. Menunjukkan seberapa besar
opportunity cost anggaran yang harus dikorbankan agar pemerintah dapat membayar
kembali utang luar negeri. Semakin besar opportunity cost yang harus dikorbankan, semakin
besar pula tekanan bagi kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan.
 Tingginys biaya biaya atas utang.Merupakan agregiasi dari tingkat bunga yang harus
dibayar dan sejumlah biaya yang harus ditanggung pemerintah atas utang luar negeri.
Dengan memperhitungkan seluruh biaya utang ini setidaknya akan didapatkan gambaran
bahwa utang laur negeri lebih mahal dari sekedar tingkat bunga utang yang harus dibayar.
 Alokasi dari dana yang didapat dari utang luar negeri seringkalli kurang efektif. Utang luar
negeri seyogianya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi.
8.2 Sejarah Surang Utang Negara ( SUN/Obligasi)
Ketika Perang Dunia I pecah, dana yang dimiliki pemerintah Amerika Serikat (AS) tidak
seperti saat ini. Kenyataannya jumlah dana ynag tersedia saat itu tidak mampu menutup semua
biaya perang yag diperlukan. Menghadapi situasi ini, pemerintah AS memanfaatkan kendalinya atas
uang rakyat. Pemerintah AS menaikkan pajak warganya untuk mencukupi kekurangan biaya
perang. Namun, kenaikan pajak tak bisa dilakukan secara terus-menerus. Tiga tahun setelah Perang
Dunia 1 selesai, tepatnya pada tahun 1997, pemerintah AS menemukan cara yang lebih mudah
sekaligus menjadi solusi alternatif untuk menutupi hutang negara sekaligus untuk menyokong
pertumbuhan ekonomi AS di tahun berikutnya. Solusi alternatif ini berupa Surat Utang Negara
SUN) yang disebut dengan "Liberty Bond" atau obligasi Liberty. Inilah yang mengawali sejarah
utang negara masa kini.
Setelah perang usai, Departemen Keuangan AS tidak mampu membiayai Obligasi Liberty
yang telah dibeli oleh masyarakat. Untuk mengatasinya, pemerintah AS mengeluarkan obligasi
baru. Hingga saat ini, penerbitan obligasi terus berlangsung dan jumlahnya makin besar untuk
mengembalikan utang lama dan mendanai pengeluaran pemerintah mendatang. Bukan hanya
Amerika Serikat saja yang menerbitkan SUN, namun hampir semua negara di dunia sekarang
merilis obligasinya masing-masing termasuk Jepang, Inggris, Indonesia, dan negara lainnya. Di
Indonesia, SUN yang diterbitkan oleh pemerintah terdiri atas empat (4) jenis dan memiliki tujuan
dan spesifikasi yang berbeda-beda, yaitu:
a. Obligasi rekap
b. Surat utang negara
c. Obligasi ritel Indonesia
d. Surat berharga Syariah nasional
8.3 Surat Berharga ( Surat Utang Negara/SUN )
Penerbitan SUN, sebagaimana diatur dalam undang undang nomor 24 tahun 2002 tentang
surat utang negara, dapat dilakukan untuk 3 tujuan ;
1. Membiayai defisit anggaran
2. Menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidak sesuaian arus kas penerimaan dan
pengeluaran.
3. Mengelola portopolia utang negara.
Penerbitan surat berharga untuk setiap tahun anggaran perlu ditetapkan dalam nilai bersih
(neto) tambahan utang mengingat dalam pengelolaan surat berharga diperlukan suatu tingkat
fleksibilitas bagi pemerintah, terutama untuk menentukan volume penerbitan, pembelian kembali,
terutama untuk menentukan volume penerbitan, pembelian kembali, dan penukaran SUN yang
besarnya sangat bergantung pada dinamika pasar SUN, agar dapat dicapai kombinasi biaya dan
risiko yang optimal.
1. Komposisi nilai tukar dan tenor atau kelompok maturity dari instrumen yang akan
diterbitkan
2. Komposisi dari nilai tukar dan struktur maturity dari utang yang saat ini outstanding
3. Komposisi portofolio yang ideal yang hendak dicapai hingga kurun waktu tertentu
4. dengan mempertimbangkan trade off antarbiaya dan risiko.
Strategi Pembiayaan SUN
Strategi penerbitan dan pengelolaan portofolio SUN, baik dalam rupiah maupun valuta
asing, tidak dapat dilepaskan dari kondisi portofolio utang secara keseluruhan..
Surat Berharga Syariah Nesional (SBSN)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
memberikan landasan hukum kepada pemerintah untuk dapat melakukan:
1. Transaksi pengadaan pembiayaan dan pengelolaan portofolio berbasis Syariah
2. Menggunakan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset dari transaksi
3. Mendirikan perusahaan penerbit sebagai SPV (Special Purpose Vehicle) yang menjalankan
fungsi sebagai wali amanat.
Obligasi Ritel Indonesia (ORI)
ORI adalah obligasi negara yang dijual kedapa individu atau perseorangan warga negara
Indonesia melalui agen penjual dengan volume minimum yang telah ditentukan.

Manfaat atau keuntungan investasi pada ORI antara lain;


1. Aman dan terjamin
2. Memberikan keuntungan yang menarik
3. Prosedur pembelian dan penjualan yang mudah dan transparan
4. Dapat diperdagangkan dipasar sekunder sesuai dengan harga pasar
5. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam
pembangunan nasional
6. Pembayaran kupon dan pokok dilakukan tepat waktu dan secara online ke dalam rekening
tabungan investor
Prosedur investasi pada ORI antara lain adalah
1. Investasi di pasar perdana, dengan cara: membuka rekening tabungan di salah satu bank
umum dan rekening surat berharga di salah satu subregistry.
2. Investasi di pasar sekunder, dengan cara: pembelian ORI yang dilakukan dengan mekanisme
bursa harus melalui perusahaan efek.
8.4 Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah
uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan
anggaran pendapatan dan belanja daerah dan untuk menutup kekurangan kas yang digunakan untuk
membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenagan daerah berdasarkan peraturan
perundang undangan.
Prinsip Umum Pinjaman Daerah
Pemerintah daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.
Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi
karena kegiatan transaksi obligasi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal. Kegiatan transaksi adalah kegiatan dalam rangka penawaran umum, transaksi di bursa efek,
transaksi di luar bursa efek, hibah, hadiah, dan kegiatan transaksi lainnya yang menimbulkan
pengalihan kepemilikan obligasi daerah.
Jenis jenis pinjaman daerah
1. Pinjaman jangka pendek, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau
sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang
meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun
anggaran yang bersangkutan.
2. Pinjaman jangka menengah, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu
tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa
masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan.
3. Pinjaman jangka panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu
tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok
pinjaman, bunga dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai
dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.

8.5 0bligasi Daerah


Obligasi daerah adalah obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, salah satu unit
organisasi di lingkungan pemerintah daerah, Badan Otoritas Daerah, Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), atau pihak lain (swasta) yang didukung atau disponsori dan/atau dijamin oleh pemerintah
daerah. Dalam hal ini obligasi tidak harus diterbitkan oleh pemerintah daerah, tetapi dapat juga
diterbitkan oleh BUMD seperti perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atau Bank Pembangunan
Daerah, atau kantor-kantor dinas yang ada di daerah, seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Pariwisata, dan sebagainya.
Kegiatan Yang Dapat Dibiayai Obligasi Daerah
Kegiatan pemerintah daerah yang dapat dibiayai dengan obligasi daerah, di antaranya
Kuncoro, 2012)
1. Pelayanan air minum
2. Penanganan limbah dan persampahan
3. Transportasi
4. Rumah sakit
5. Pasar tradisional
6. Tempat perbelanjaan
7. Pusat hiburan
8. Wilayah wisata dan pelestarian alam
9. Terminal dan subterminal
10. Perumahan dan rumah susun
Prosedur Penerbitan Obligasi Derah
Rencana penerbitan obligasi daerah disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dengan memperhatikan ketentuan mengenai pengendalian
dan kehati- hatian fiskal dengan memperhatikan keadaan perekonomian dan batas kumulatif
pinjaman pemerintah dan pemerintah daerah.
Dasar Hukum Tentang Penerbitan Obligasi Daerah
Peraturan mengenai obligasi daerah dapat ditemukan dalam sejumlah regulasi berikut:
1. KU No.8/1995 tentang Pasar Modal, Khususnya Pasal 1 ayat (5), menyatakan bahwa "obligasi
merupakan salah satu jenis efek." Selanjutnya, Pasal 70 ayat (2) menyebutkan bahwa
"penawaran efek yang jatuh temponya lebih dari satu tahun dapat dikecualikan dari penawaran
umum."
2. UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Khususnya Pasai 169 ayat (2), "pemerintah
daerah dengan persetujuan DPR dapat menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai investasi
yang menghasilkan penerimaan daerah."
3. UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah Bab VII Bagian Ketujuh. Pasal 51 ayat (3) menyatakan bahwa "pinjaman daerah yang
bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa obligasi daerah
diterbitkan melalui pasar modal." Pasal 57 (obligasi daerah) ayat (1) menyebutkan bahwa
"daerah dapat menerbitkan obligasi daerah dalam mata uang rupiah di pasar modal domestik."
4. PP No.54/2005 tentang Pinjaman Daerah.
5. PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
6. Peraturan Menteri Keuangan No. 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan,
Pertanggungjawaban dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.
7. Paket peraturan ketua BAPEPAM dan LK terkait penawaran umum obligasi daerah, yang terdiri
atas: Peraturan No. VIII. G.14, G.15, G.16 serta Peraturan No. IX. C.12, C.13, C.14.
8. Keputusan direksi PT Bursa Efek Surabaya No. SK-010/Dir/ BES/V/2007 tentang Peraturan
Pencatatan Obligasi Daerah.
Pelaporan, Evaluasi, Publikasi Informasi dan Sanksi
Kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan penerbitan,
penggunaan dana dan pembayaran kupon dan/ atau pokok obligasi daerah kepada Menteri
Keuangan. Laporan ini wajib disampaikan secara berkala setiap triwulan, paling lambat satu bulan
setelah berakhirnya periode triwulan yang bersangkutan. Menteri Keuangan c.q Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas:
a. Penerbitan obligasi daerah
b. Penggunaan dana obligasi daerah
c. Kinerja pelaksanaan kegiatan
d. Realisasi pembayaran kupon dan/atau pokok obligasi.
Prespek dan Kinerja Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Daerah
Sesungguhnya obligasi daerah dapat menjadi alternatif sumber pembiayaan jangka panjang
yang menarik. Dengan disokong kondisi pasar modal yang sekarang semakin berkembang. Kondisi
perekonomian yang relatif baik dan stabil, pendapatan per kapita masyarakat yang juga semakin
meningkat.
Peluang usaha dan keuntungan antara lain sebagai berikut (Halim 2007) :
1. Emiten(Pemda) dapat menghimpun dana
2. Instrumen baru memberikan pilihan investasi bagi masyarakat investor
3. Bagi lembaga dan profesi penunjang dan pelaku pasar modal dengan melihat lahan baru
yang memberikan konstribusi masing-masing profesi
4. Pemerintah daerah dengan profesi yang dimiliki dapat memilih proyek apa atau infrastruktur
mana
8.6 Obligasi Syariah (Sukuk)
Berdasarkan fatwa dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Sukuk
(obligasi syariah) didefinisikan sebagai suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan perusahaan (emiten) kepada pemegang obligasi syariah. Pada prinsipnya
pemerintah daerah juga dapat mengeluarkan Sukuk untuk membiayai pembangunan infrastruktur
daerah yang menghasilkan ppendapata
BAB 9
PENERIMAAN DESA DANA DESA (DD)

9.1 Dana Desa


Dana desa merupakan salah satu basis dan sumber kegiatan dalam penyelenggaraan
pemerintah dan pembanguna. Pemerintah telah mengatur penyelenggaraan pemerintah Desa sejak
tahun 1979, yaitu melalui UU No.t tahun 1979 tentang pemerintah desa.
9.2 Regulasi Penentuan Jumlah Dana Desa
Dana Desa adalah satu dari tujuh sumber pendapatan Keuangan Desa. Berdasarkan UU No.
6/2014 tentang Desa, besarnya Dana Desa yang berasal dari APBN ditentukan 10% dari dan diluar
Dana transfer daerah (on top) secara bertahap, yang dihitung berdasarkan jumlah desa dan
diakolasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat
kesulitan geografis
9.3 Penggunaan Dana Desa
Prinsip penggunaan Dana Desa yaitu untuk mendanai pelaksanaan kewenangan berdasarkan
hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang diatur dan diurus oleh desa. Peraturan
menteri Desa No.21 tahun 2015 mengatur agar Desa memprioritaskan pelaksanaan program dan
kegiatan berskala lokal Desa bidang pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
9.4 Keuangan Desa Dan struktur APBD desa
Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan Desa yang dapat dinilai dengan uang.
Oleh karena itu, kepala Desa mempunyai kewenangan :
1. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa
2. Mengangkat pelaksanaan teknis pengelola Keuangan Desa
3. Mengangkat bendahara Desa
4. Menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan Desa
5. Menyetujui pengeluaran atau kegiatan yang ditetapkan dalam APBDesa
6. Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDesa
7. Melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan Desa
UU No.32/2004 telah mendorong proses demokratisasi ditingkat Desa. BPD menjadi aktor
baru bagi pendorong demokrasi, yang mengurangi dominasi "penguasa tunggal" Kepala Desa
BAB 10
PENGELUARAN PEMERINTAH ( PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH
DAERAH
10.1 Dasar Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Peranan pemerintah dapat tercermin dari semakin besarnya pengeluaran pemerintah dalam
proporsinya terhadap pendapatan nasional. Semakin besar dan banyaknya kegiatan pemerintah,
semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan.
GNP menyebabkan penerimaan pemerintah semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran
pemerintah semakin membesar". Dalam keadaan normal dari tahun ke tahun, pengeluaran
pemerintah dalam persentase terhadap GNP atau GDP naik sebagaimana ditunjukan.
10.2 Prinsip-prinsip Pokok Pengeluaran Dalam Pemerintah
Pemerintah dalam melaksanakan tugas atau fungsinya, menggunakan sember-sumber daya
ekonomi yang dimiliki dan/atau dikuasai hendaknya menggunakan atau berpedoman pada prinsip-
prinsip pokok tertentu atau asas sebagai berikut:
1. Asas Moralita
Moralitas adalah kumpulan nilai-nilai yang didukung dan dijunjung oleh masyarakat
atau suatu bangsa.
2. Asas Nasionalisasi
Dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintah yang salah satu asas yang menjadi
dasar tugas dan pelaksanaannya serta yang harus dilayani adalah masyarakat dan bangsa
sebagai keseluruhan.
3. Asas Kerakyatan (Demokrasi)
Rakyat dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu: pertama; Rakyat sebagai sumber
dan pemilik kedaulatan merupakan pedoman asas bagi pemerintah dan melaksanakan
tugasnya.
4. Asas Rasionalitas
Asas ini mengharuskan bahwa segalah tindakan pemerintah yang konkret berupa
tindakan pejabat-pejabat pemerintah hendaknya didasarkan pada penggunaan akal sehat
yang jernih. Tindakan nasional mengharuskan orang untuk selalu memperhatikan efisiensi
dan efektivitas. Mendasarkan diri pada asas rasionalitas berarti harus mengindahkan prinsip-
prinsip logika.
5. Asas Fungsionalitas
Suatu lembaga kenegaraan ataupun seorang pejabat dalam melaksanakan tugas dan
jabatan hendaknya berdasarkan pada fungsi ataupun kedudukannya. Unsur-unsur pembagian
kekuasaan dan pembagian tugas, deskripsi tugas hendaknya selalu dijadikan landasan
tempat berpijak.
6. Asas Perkembangan
Manusia sebagai makhluk biologis, makhluk sosial, dan makhluk berbudaya selalu
membutuhkan perkembangan dan/atau kemajuan secarah kualitatif maupun secarah
kuantitatif.
7. Asas Keseimbangan dan Keadilan
Keseimbangan adalah hubungan antara beberapa variabel dalam proporsi yang tepat.
Segala sesuatu dapat dilihat dari segi pikiran, perasaan dan kemauan mempunyai banyak
macam ragamnya misalnya pengeluaran pemerintah dalam bidang pertahanan dan keamanan
disertai untuk tugas kesejahteraan dan pendidikan, semuanya membutuhkan hubungan
secara proporsional dan tepat. sedangkan keadilan merupakan keseimbangan hubungan
antara hak dan kewajiban, antara pemenuhan kebutuhan kolektif dengan kebutuhan
indivudual antara makhluk biologis dan makhluk sosial dan sebagainya.
Penyebab Peningkatan Pengeluaran Pemerintah
Peningkatan pengeluaran pemerintah menunjukan bahwa terjadi peningkatan dalam kegiatan
pemerintah,
Pendapatan yang lain menyebutkan bahwa perkembangan pengeluaran pemerintah dapat
dijelaskan dengan beberapa faktor berikut:
1. Perubahan permintaan akan barang public
2. Perubahan dari aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik dan juga perubahan
dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi
3. Perubahan kualitas barang public
4. Perubahan harga-harga faktor produksi
10.3 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap perekonomian
1. Produksi, Pengeluaran pemerintah secarah langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi
sektor produksi. Pengeluaran pemerintah juga dapa di katakan sebagai faktor produksi lainnya
disamping faktor-faktor produksi lainnya berupa alam, modal tenaga kerja dan manajemen
karena pengeluaran pemerintah dapat menunjang tersedianya faktor-faktor produksi tersebut.
2. Distribusi, Pengeluaran pemerintah secarah langsung atau tidak langsung akan berpengaruh
terhadap distribusi barang dan jasa contohnya subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk
barang-barang dan jasa-jadi untuk mempermudah masyarakat yang berdaya beli rendah menjadi
mudah untuk memperoleh barang dan jasa tertentu.
3. Konsumsi, Secarah langsung atau tidak langsung pengeluaran pemerintah dapat mengubah atau
memperbaiki pola dan tingkat konsumsi masyarakat terhadap barang-barang dan jasa-jasa yang
disediakan langsung oleh pemerintah maupun melalui mekanisme pasar.
4. Keseimbangan Perekonomian, Kebijakan fiskal pemerintah dapat memperbaiki dan memelihara
keseimbangan perekonomian dan meningkatkan pendapatan nasionalnya melalui target
peningkatan PDB.
10.4 Pengeluaran/Belanja Negara
1. Belanja pegawai
Dinegara- Nagara berkembang dan yang sudah maju anggaran untuk pembayaran gaji
pegawai mempunyai andil yang cukup besar pada pengeluaran pemerintah oleh karena itu
kebijakan dan gaji pegawai mempunyai dampak yang signifikan terhadap anggaran suatu
negara.
2. Operasi dan Pemeliharaan
Pengeluaran untuk operasi dan pemeliharaan (operation and manitenance/O&M)
memberikan gambaran yang penting bagi kesinambungan proyek dan kegiatan pada tingkat
yang diinginkan. Operasi-operasi biasanya berhubungan dengan prosedur dan kegiatan yang ada
dalam pemberian pelayanan kepada publik, sedangkan pemeliharaan-pemeliharaan berkaitan
dengan kegiatan- kegiatan yang membantu menjaga infrastruktur yang ada selalu berada dalam
kondisi yang dimanfaatkan. Pengeluaran untuk operasi secara umum dapat dialokasikan pada
pengeluaran rutin/ belanja aparatur pemerintah (untuk kegiatan yang secara periodik dilakukan)
dan pengeluaran pembangunan/belanja pelayanan publik (untuk rehabilitasi).
3. Subsidi
Subsidi komoditas diberikan sebagai hasil kebijakan publik ketika harga yang dibayar
oleh konsumen lebih rendah atau harga yang diterima oleh produsen meningkat di atas tingkat
harga pada saat tidak ada kebijakan.
Terdapat dua alasan yang mendasari pemberian subsidi untuk komoditas, yakni:
a. Distribusi pendapatan; subsidi untuk komoditas merupakan instrumen kedua terbaik (second
best instrument) di mana perpajakan dan sistem transfer bukan suatu konsep yang dapat
dipraktikkan dalam pendistribusian kembali.
b. Mengatasi kegagalan pasar (market failure); menggambarkan situasi di mana tingkat
produksi atau konsumsi suatu barang atau jasa tidak tepat tanpa campur tangan pemerintah.
Di samping itu, pemberian subsidi akan berpengaruh pada beberapa faktor, antara lain: (1)
pengalokasian, (2) pendistribusian kembali, serta (3) fiskal dan perdagangan perdagangan.
Pembayaran Bunga Utang
4. Pengeluaran untuk pembayaran bunga utang berkaitan dengan tingkat bunga pasar serta
berhubungan tidak langsung dengan tingkat inflasi. Melalui dampaknya pada pengeluaran untuk
pembayaran bunga utang, inflasi akan memengaruhi defisit anggaran serta keseimbangan posisi
fiskal pemerintah.
5. Investasi Pemerintah (Pengeluaran Pembangunan/Belanja Modal) Sedikitnya ada tiga persoalan
mendasar yang perlu mendapat perhatian terkait dengan investasi pemerintah:
a. Bagaimana proyek-proyek dari investasi pemerintah tersebut dinilai (appraised).
b. Apakah keseluruhan program dari investasi pemerintah tersebut konsisten atau sesuai
dengan kondisi ekonomi makro dan kapasitas kelembagaan yang dimiliki.
c. Bagaimana masalah-masalah yang dihadapi dalam menyiapkan program investasi
pemerintah tersebut dapat diatasi
10.5.Pengeluaran/Belanja Pemerintah Daerah
Pengeluaran daerah (belanja daerah) dirinci menurut organisasi, fungsi, kelompok dan jenis
belanja.
1. Belanja daerah menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran seperti
Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan lembaga.
2. Fungsi belanja misalnya pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi
3. Bagian belanja misalnya belanja aparatur daerah dan belanja
4. Kelompok belanja misalnya belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan,
belanja modal/pembangunan
5. Jenis belanja misalnya belanja pegawai/personalia, belanja barang dan jasa, belanja
perjalanan dinas, dan belanja pemeliharaan
10.6 Manajemen Belanja Daerah
Terdapat beberapa prinsip manajemen belanja daerah yang perlu diperhatikan, yaitu
(Mahmudi, 2010):
1. Perencanaan Belanja Daerah
a. Adanya koherensi antara perencanaan belanja dalam APBDdengan dokumen
perencanaan daerah
b. Adanya Standar Satuan Harga (SSH) yang merupakan standar biaya per unit input
Adanya Analisis Standar Belanja (ASB) untuk menentukan
c. kewajaran belanja suatu program atau kegiatan
d. Adanya Harga Perkiraan Sendiri (owner estimate) untuk menentukan kewajaran belanja
modal yang pengadaannya ditenderkan
e. Rendahnya tingkat senjangan anggaran belanja (budgetary slack) adalah adanya selisih
antara anggaran belanja yang diajukan dengan kebutuhan belanja yang sesungguhnya
diperlukan.
2. Pengendalian Belanja Daerah
Penggunaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja memberikan implikasi
bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan efisiensi dalam pengeluaran daerah. Kegagalan
pemda dalam program efisiensi pengeluaran daerah di masa lalu disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
a. Pengeluaran belum berorientasi pada kinerja dan kepentingan publik.
b. Pengeluaran daerah yang dilakukan berorientasi jangka pendek
c. Pemerintah daerah bersifat reaktif, tidak proaktif untuk mengeliminasi sumber
pemborosan keuangan daerah
Tidak adanya pengetahuan yang memadai mengenai sifat biaya Pengendalian pengeluaran
daerah dapat dilakukan melalui perencanaan dan pengendalian aktivitas, yaitu dengan cara:
a. Pemilihan aktivitas. Strategi yang berbeda memerlukan aktivitas yang berbeda
b. Pengurangan aktivitas. Pengurangan biaya dapat dicapai dengan mengurangi waktu dan
sumber daya yang digunakan.
c. Penghilangan aktivitas dan fungsi yang tidak menambah nilai bagi kesejahteraan
masyarakat dan justru membebani masyarakat.
3. Akuntabilitas Belanja Daerah
Belanja daerah harus memenuhi akuntabilitas publik, yaitu setiap belanja harus dapat
dipertanggungjawabkan dan dilaporkan kepada publik baik langsung maupun melalui DPRD.
Akuntabilitas publik atas belanja daerah setidaknya meliputi:
a. Akuntabilitas Hukum; artinya setiap belanja daerah harus ada dasar hukumnya, yaitu
Perda APBD dan Peraturan Daerah tentang Penjabaran APBD.
b. Akuntabilitas Finansial; setiap rupiah yang dibelanjakan harus dapat
dipertanggungjawabkan dan dilaporkan dalam laporan keuangan pemerintah daerah.
c. Akuntabilitas Program; program yang dibiayai dengan APBD harus dapat
dipertanggungjawabkan melalui laporan kinerja program.
PENUTUPAN

Kesimpulan
Berdasarkan perspektif obyektif PDRB merupakan salah satu indikator ekonomi yang dapt
menggambarkan perekonomian disuatu wilayah. PDRB digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
ekonomi dari tahun ke tahun dan dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi
suatu negara.
Saran
Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari tulisan maupun
bahasan yang kami sajikan, oleh karena itu mohon di berikan sarannya agar kami bisa membuat
makalah lebih baik lagi, dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua, dan menjadi
wawasan kita dalam memahami PDRB dalam pertumbuhan ekonomi.
LEARNING, DOING BY STUDY CASE
EKONOMI PUBLIK

DISUSUN OLEH:

(KELOMPOK 7)
VERENIA PANDOH (22305027)
OMEGA TUMENGKOL(2230539)
YEHESKIEL WAROUW(22305031)

MATAKULIAH: EKONOMI PUBLIK


DOSEN: ALZEFIN Y. R. M SINOLUNGAN S.E, M.Si

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS JURUSAN


ILMU EKONOMI SEMESTER III
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur, kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
karunia serta berkat yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan Study and doing by study
case dengan baik meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga berterimakasih
pada Nci Alzefin Y.R.M Sinolungan S.E, M.Si selaku dosen mata kuliah Ekonomi Publik Jurusan
Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Manado yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami harap projek ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan Ilmu Pengetahuan
kita mengenai materi yang kami akan bahas, terutama memgembangkan softskill baik kami maupun
audiens. Kami menyadari bahwa makalah studi kasus ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang saya buat menjadi
lebih baik kedepannya. Mengingat bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga studi kasus ini, dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sedikitnya projek
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi Publik. Demikian makalah studi kasus ini kami buat, mohon maaf apabila ada kesalahan
kata-kata yang berkenan di hati pembaca.

Penulis

Tondano, 26 September 2023

BAGAN TABEL
Arti penting APBD penyusunan APBD
berbasis kinerja berbasis kinerja

Tujuan perpajakan daerah dan


desentralisasi penerimaan

Kriteria evaluasi dan prinsip


prinsip penetapan pajak

Prinsip prinsip penetapan


Mobilisasi Penerimaan Daerah penerimaan daerah yang baik
Diera Desentralisasi Fiskal

Penerimaan prinsip korespondensi


dan manfaat pada struktur penerimaan
lokal

Undang undang tentang pajak dan pungutan


daerah
Langkah strategis meningkatkan penerimaan
daerah
Administrasi pajak
properti

Pajak properti di Indonesia


isu pendaerahan PBB dan BPHTB

Pendaerahan PBB

Tinjauan Konsep kebijakan


tentang perencanaan dan anggaran
daerah

Perencanaan
pembangunan daerah
menurut UU
PENYAJIAN MATERI

BAB 1
PENYUSUNAN ANGGARAN DAERAH BERBASIS KINERJA
Sebagai konsekuensi implementasi otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk
mampu mengelola keuangannya mulai perencanaan sampai dengan realisasi dan
pertanggungjawabannya, termasuk di dalamnya pengamanan atas aset pemerintah daerah yang
dibiayai dengan anggaran pemerintah secara efektif dan efisien. Sesuai dengan peraturan yang
berlaku, pemerintah daerah sudah harus dapat menjalankan sistem yang baru ini sejak tahun 2002,
di mana untuk laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah pada tahun 2002 sudah harus dapat
menyajikan laporan keuangan yang berisi neraca, laporan realisasi anggaran (laporan perhitungan
APBD), laporan arus kas (laporan aliran kas), dan catatan atas laporan keuangan (nota perhitungan
APBD).
Berbagai masalah yang dapat muncul cksternal dan menjadi beban daerah dalam rangka
memenuhi aturan dimaksud dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Belum adanya pedoman dan petunjuk yang teruji yang digunakan oleh seluruh pemerintah
daerah. Di sisi lain, adanya keanekaragaman pedoman dan petunjuk yang membingungkan
pemerintah daerah.
2. Tidak adanya pemberian sistem pelatihan dengan komitmen dari institusi/entitas yang
berkompeten dan teruji, menyangkut asistensi penyusunan anggaran, penatausahaan, dan
pelaporan keuangan yang sesuai dengan perubahan manajemen keuangan daerah yang
dimaksud secara komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan.
3. Kesiapan sumber daya pemerintah daerah dalam waktu dekat 4) Kompleksitas metode
dokumentasi yang harus dilakukan dalam rangka melaksanakan prosedur keuangan dan
penyusunan laporan keuangan.

1.1 ARTI PENTING APBD BERBASIS KINERJA


Penganggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistematis menunjukkan alokasi
sumber daya manusia, material dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem
penganggaran pemerintah dikembangkan untuk:
1. Melayani berbagai tujuan antara lain sebagai pengendalian keuangan, rencana manajemen,
prioritas dari penggunaan dana, dan pertang- gungjawaban kepada publik.
2. Sebagai alat pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah tersebut.
3. Sebagai suatu metode penganggaran bagi manajemen untuk
mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat
yang dihasilkan. Manfaat tersebut dideskripsikan pada seperangkat sasaran dan dituangkan
dalam target kinerja pada setiap unit kerja
4. Penganggaran berbasis kinerja yang efektif akan mengidentifikasikan keterkaitan antara
nilai uang dan hasil, serta dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan tersebut dapat terjadi.

1.2 PERANGKAT PENYUSUNAN APBD BERBASIS KINERJA


Untuk mengidentifikasikan keterkaitan antara biaya yang dituangkan dalam kegiatan dengan
manfaat yang dihasilkan diperlukan perangkat- perangkat sebagai berikut :

1. Rencana Strategik (Renstra)


Rencana strategik merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai
selama kurun waktu satu tahun sampai dengan lima tahun secara sistematis dan berkesinambungan
dengan memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau yang mungkin timbul. Oleh
karenanya, renstra merupakan analisis untuk pengambilan keputusan strategik tentang masa depan
organisasi dalam rangka memposisikan dirinya (positioning) pada masa yang akan datang.
2. Rencana Kinerja (Renja)
Perencanaan kinerja merupakan proses penetapan kegiatan tahunan, indikator kinerja beserta
target-targetnya berdasarkan program, kebijakan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam renstra
daerah Hasil proses ini berupa rencana kinerja tahunan. Dokumen rencana kinerja berisikan
informasi mengenai:
 Sasaran yang ingin dicapai pada periode bersangkutan.
 Indikator kinerja sasaran dan target program.
 Kegiatan serta kelompok indikator kinerja dan targetnya.
 Keterangan yang antara lain menjelaskan keterkaitan antara kegiatan dengan sasaran,
kebijakan, dan programnya.

3. Arah dan Kebijakan Umum APBD


Renstrada maupun renja disusun berdasarkan pertimbangan kondisi sosial ekonomi di
daerah, jumlah dan pertumbuhan penduduk, jumlah angkatan kerja, tingkat pertumbuhan ekonomi,
perkembangan investasi selama satu sampai lima tahun pada suatu saat tertentu. Selain itu masalah
yang timbul di masyarakat yang menjadi current strategic issues perlu diakomodasi. Untuk
mengatasi hal tersebut pemerintah daerah bersama-sama DPRD menentukan arah dan kebijakan
umum yang memuat arah kebijakan berupa pelayanan apa yang diberikan, serta tujuan yang akan
dicapai dari kebijakan yang sudah dirumuskan. Arah dan kebijakan umum ini disusun berdasarkan:
 Rencana strategik daerah.
 Arahan, mandat, dan pembinaan pemerintah pusat/pemerintah atasan
 Data historik
 Aspirasi Masyarakat

4. Strategi dan Prioritas APBD


Keterbatasan sumber daya dan muculnya berbagai permasalahan menyebabkan perlunya
prioritas dan strategi untuk tetap dapat mencapai arah dan kebijakan umum APBD. Strategi
merupakan suatu pendekatan, metode, atau teknik pemanfaatan sumber daya (manusia, dana,
teknologi) yang tersedia serta lingkungannya untuk mencapai suatu target kinerja. Prioritas
merupakan suatu upaya mengutamakan sesuatu daripada yang lain, dalam hal ini berkaitan dengan
penentuan skala atau peringtkat program atau kegiatan yang harus dilakukan lebih dahulu dibanding
program atau kegiatan yang lain.
Indikator Kinerja
Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat
pencapaian suatu kegiatan yang ditetapkan. Penetapan indikator kinerja merupakan bagian penting
dalam penyusunan APBD berbasis kinerja. Oleh karena itu, aktivitas dan pengeluaran biaya
dilaksanakan pada setiap unit kerja (perangkat pemerintah daerah), maka indikator kinerja yang
dimaksud akan menggambarkan kinerja pelaksanaan suatu kegiatan, program, dan kebijaksanaan
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi unit kerja tersebut.
Penetapan Target Kinerja
Penetapan target kinerja dimaksudkan untuk mengetahui target (sasaran kuantitatif) dari
pelaksanaan kegiatan/program sebagai implementasi dari kebijakan yang telah ditetapkan
pemerintah daerah dan perangkat pemerintah daerah dengan rencana strategik yang telah
dirumuskan. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam penetapan target kinerja:
 Memilih dasar penetapan sebagai justifikasi penganggaran yang
diprioritaskan pada setiap fungsi/bidang pemerintahan.
 Memperhatikan tingkat pelayanan minimum yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
terhadap suatu kegiatan tertentu.
 Memperhatikan kelanjutan setiap program, tingkat inflasi, dan target kinerja.
 Ketersediaan sumber daya dalam kegiatan tersebut, seperti dana, sumber daya manusia,
sarana, prasarana pengembangan teknolog dan lain sebagainya
 Kendala yang mungkin dihadapi dimasa depan.

5. Struktur APBD
Output utama dari sistem ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang telah disusun dengan pendekatan kinerja. Berdasarkan UU Keuangan Negara No. 17 tahun
2003, struktur APBD terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja. dan pembiayaan.
Selanjutnya, rincian struktur APBD dapat disajikan sebagai berikut:
A.Pendapatan
 Pendapatan Asli Daerah
 Pendapatan Dana Perimbangan
 Pendapatan Bagi Hasil
 Lain-Lain Pendapatan yang Sah

B. Belanja
 Belanja Operasi
 Belanja Pegawai
 Belanja Barang dan Jasa
 Belanja Pemeliharaan
 Belanja Perjalanan Dinas
 Belanja Pinjaman
 Belanja Subsidi

C. Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan


D. Dana Cadangan
E. Pembiayaan

6. Elemen Pengeluaran Daerah


Pengeluaran daerah (belanja daerah) dirinci menurut organisasi, fungsi, kelompok, dan jenis
belanja yang akan dijelaskan sebagai berikut:
 Belanja daerah menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran, seperti
sekretariat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah lainnya.
 Belanja daerah menurut fungsi belanja, misalnya pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi
lainnya.
 Belanja daerah menurut kelompok belanja, misalnya belanja administrasi umum, belanja
operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/pembangunan.
 Belanja daerah menurut jenis belanja, misalnya belanja pegawai/ personalia, belanja barang
dan jasa, belanja perjalanan dinas, dan belanja pemeliharaan.

BAB 2
MOBILISASI PENERIMAAN DAERAH DIERA DESENTRALISASI
FISKAL
Transformasi tata pemerintahan dari sentralistik menuju desentralistik harus diikuti oleh
transformasi di sektor fiskal.
Salah satu elemen penting dari tiap sistem pemerintahan daerah di era desentralisasi fiskal
adalah kemampuan daerah untuk mengenakan pajak (taxing power) kepada penduduk lokal untuk
membiayai penyediaan layanan publik lokal. Pemerintahan daerah seringkali menempatkan
proporsi pajak daerah dan pungutan-pungutan dalam pos total penerimaan anggaran sebagai
indikator utama dari derajat otonomi lokal yang dijalani. Semakin tinggi kekuatan pengenaan pajak,
semakin tingg proporsi pendapatan asli daerah terhadap total anggaran, di samping itu daerah
tersebut menjadi lebih otonom. Saat ini banyak pemerintah daerah memiliki kesamaan pandangan
tentang hal ini.
Terkait dengan keuangan daerah ini pemerintah daerah tidak memiliki ing power yang besar
seperti halnya pemerintah provinsi dan pusat. Bahl (1999a) menyatakan bahwa salah satu aturan
dalam implementasi desentralisasi fiskal (implementation rules) adalah harus memperbesar
kewenangan pajak (taxing power) dan peningkatan penerimaan daerah. Sebagai perbandingan,
pemimpin-pemimpin daerah (local executive) di Filipina dan Amerika Serikat dipilih langsung oleh
pemilih lokal dan tap orang tahu dan menyadari bahwa setiap ada penambahan pelayanan daerah
(public service) harus dibayar dari penerimaan daerah bahkan masyarakat juga tahu untuk apa
pengeluaran digunakan oleh pemerintah daerah.

Rasio Pendapatan Asli Daerah Terhadap Anggaran Daerah (PAD/ APBD)


Rata-Rata Tahun 1999

PAD/ PR KABUPATEN/
APBD OVINSI KOTA
<10 3 151
10 -
19.99 4 82
20 -
29.99 11 38
30 -
39.99 6 13
40 -
49.99 2 7
e' 50 3 1
27 292

Sumber ; departemen keuangan

Bahkan yang lebih ironis adalah kontribusi PAD dalam penerimaan daerah di
kabupaten/kota di Indonesia jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusi PAD dalam
penerimaan daerah di tingkat provinsi. Keadaan ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat
karena otonomi daerah menurut UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 tang telah digantikan oleh
UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 justru bertumpu pada pemerintah kabupaten dan
kota, bukan di level provinsi (lihat Tabel 10.2). Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada tahun 2001
kontribusi PAD untuk kabupaten/kota di Indonesia kurang dari 5% sementara dana perimbangan
mencapai 75,5%. Tetapi untuk daerah provinsi kontribusi PAD rata-rata 32,23%.

Komposisi Penerimaan Daerah di Indonesia: 1999-2001


100, 100, 100,0
provinsi 00 01 2
37,2 32,3 332,2
PAD 2 0 3
Dana Bagi 18,6 15,9
Hasil 6 4 25,89
44,1 51,7
DAU/DAK 2 6 41,88
Kabupaten/ 100, 100, 100,0
kota 00 00 0
10,3
PAD 1 9,04 4,99
Dana Bagi 12,3 11,3
Hasil 9 1 22,43
77,3 79,6
DAU/DAK 0 5 72,58

Sementara, kontribusi penerimaan daerah di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-


negara berkembang di dunia masih menempati posisi yang rendah karena rata-rata untuk negara
berkembang sebesar 9%. Sedangkan kontribusi penerimaan untuk negara-negara transisi rata-rata
sebesar 17% dan untuk negara-negara maju rata-rata sesebsar 19%.

2.1 TUJUAN PERPAJAKAN DAERAH DAN DESENTRALISASI


PENERIMAAN
Penetapan pajak dalam sistem desentralisasi fiskal terkait dengan tiga isu utama. Pertama,
pada tingkat mana pemerintah dapat diberi kewenangan untuk memperkenalkan pajak baru atau
perubahan dalam strukturnya dalam konteks definisi basis pajak dan penentuan tingkat pajaknya.
Kedua, bagaimana penerimaan dari pajak yang berbeda akan dibagi pada tingkat pemerintahan yang
berbeda pula. Ketiga, pemerintah mana yang akan bertanggung jawab atas administrasi dan
penggalakan pajak yang berbeda. Kali ini akan fokus pada peningkatan
peran pemerintah daerah dengan kebijakan memperkenalkan sumber pajak sendiri dan
instrumen-instrumen penerimaan lainnya, termasuk menentukan tingkat pajak (tax rate) dan basis
pajak (tax base). Tentu saja penetapan penerimaan bukan satu-satunya isu, hal ini harus dilihat
sebagai elemen yang harus berinteraksi dan cocok dengan elemen lain dalam sebuah sistem
desentralisasi fiskal dan lebih umum lagi desain keseluruhan sistem fiskal dalam satu negara.

Kriteria yang dapat dijadikan petunjuk untuk penetapan sumber penerimaan pada tingkat
pemerintahan yang berbeda mencerminkan peran ganda dari pajak. Pertama, pajak dimaksudkan
untuk memenuhi pengeluaran pemerintah sehingga penerimaan dari pajak dapat dialokasikan pada
penyediaan barang dan jasa publik. Kedua, pajak dapat juga digunakan sebagai instrumen untuk
meraih realisasi tujuan kebijakan pemerintah, sehingga pengenaannya mengarah pada tindakan dan
hasil seperti yang diharapkan oleh pemerintah.
Sebelum beralih ke diskusi yang lebih terperinci tentang kriteria dan penetapan penerimaan,
marilah dilihat cakupan luas dari wilayah fungsi pemerintah, yang mana pajak dapat sebagai tujuan
maupun sebagai akhir. seperti yang telah dijelaskan di atas. Musgrave (1959) berpendapat bahwa
tujuan ekonomi pada sektor publik adalah, pertama, memastikan lingkungan ekonomi yang stabil
(pasar dapat berjalan dengan baik). kedua, menuju distribusi pendapatan yang lebih merata, dan
ketiga, memastikan alokasi yang lebih efisien atas sumber daya dalam konteks menghindari
kegagalan pasar. Sementara itu, secara umum lingkup ilmu pengetahuan mengarah pada
desentralisasi dan kekuatan pasar mengarah pada sentralisasi. Ada beberapa area pasar mengalami
kegagalan (Hayek 1945), kegagalan pasar ini disebabkan oleh beberapa faktor , termasuk
keberadaan monopoli alami (natural monopoly) dan struktur pasar yang tidak kompetitif (fasilitas
publik daerah), konsumsi gratis masyarakat atas barang publik yang tidak bisa dihindari (misal:
penerangan jalan). dan adanya efek perputaran (spillover) dari eksternalitas (misal: vaksinasi).
Menurut prinsip-prinsip ekonomi, keputusan kebijakan untuk stabilisasi ckonomi dan distribusi
pendapatan akan lebih baik bila diserahkan kepada pemerintah pusat, sementara yang terkait dengan
efisiensi alokatif (bagaimana sebaiknya menggunakan sumber daya yang tersedia untuk
menyediakan barang dan jasa) dapat diserahkan pada pemerintah daerah. Sebaliknya, jika
keputusan stabilisasi ekonomi dan distribusi pendapatan diserahkan kepada pemerintah daerah,
konflik dan insentif yang salah dapat terjadi, serta kebijakan tidak dapat diterapkan secara efektif
dan kontinyu.
Karena perpajakan tidak hanya dimaksudkan sebagai aktivitas pemerintah namun juga
memiliki dampak kepada wilayah yang menjadi perhatian pemerintah seperti yang telah dijelaskan.

2.2 KRITERIA EVALUASI DAN PRINSIP PRINSIP PENETAPAN


PAJAK
Beberapa kriteria diperlukan untuk menilai potensi dan kinerja pajak. Hal ini terkait dengan
enam hal, yaitu
 Kecukupan dan Elastisitas
Syarat pertama dan yang paling umum bagi sumber penerimaan adalah
kecukupan untuk menutup biaya penyelenggaraan jasa publik yang dibiayai dengan
itu. Akan tetapi biaya penyelenggaraan jasa publik tidak tetap sifatnya. Biasanya
biaya tersebut meningkat karena beberapa alasan, seperti inflasi, pertambahan
penduduk (terutama di daerah perkotaan), dan meningkatnya standar hidup yang
menyebabkan permintaan atas penyelenggaraan jasa publik dengan standard yang
lebih baik. Dalam rencana pembangunan nasional juga diharapkan agar ada
peningkatan penyelenggaraan jasa-jasa publik baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas. Maka dari itu sumber-sumber penerimaan diharapkan memiliki semacam
"elastisitas" dalam arti punya kapasitas untuk meng- hasilkan tambahan pendapatan.
Hal ini diharapkan agar penerimaan mampu merespon peningkatan permintaan atas
pengeluaran publik ini. Selain itu, basis pajak harus dapat tumbuh secara otomatis
saat ada kenaikan harga, populasi dan keseluruhan kinerja ekonomi.
 Keadilan (equity)
Syarat kedua adalah keadilan, bahwa beban pemeliharaan pengeluaran publik
harus ditanggung oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai proporsi tingkat kekayaan
masing-masing. Dengan standar ini, perpajakan akan lebih baik jika penerapannya
dilakukan secara progresif, dalam arti misalnya, persentase pengenaan pajak
pendapatan seseorang akan naik sesuai dengan tingkat pendapatannya. Pengenaan
pajak proporsional juga masih dapat ditolerir, dalam arti pengenaan persentase pajak
konstan (tetap) untuk setiap tingkat pendapatan (misalnya sama-sama 10%).
Pengenaan pajak akan menjadi buruk jika diterapkan secara regresif, yaitu
pengenaan persentase pajak semakin berkurang jika ada peningkatan tingkat
pendapatan.
Dalam konteks perpajakan daerah, pertanyaan atas keadilan ini harus dilihat
dari tiga dimensi. Pertama, pengenaan pajak harus sesuai dengan kondisi pendapatan
seseorang yang berbeda-beda (keadilan "vertikal"). Kedua, harus disesuaikan juga
dengan sumber pendapatannya. Seorang yang menerima gaji sebaiknya tidak
membayar lebih dari seseorang yang memiliki pendapatan identik yang berasal dari
bisnis hasil pertanian (keadilan “horizontal"). Ketiga, pengenaan pajak harus adil
sesuai dengan daerah geografisnya. Jangan sampai seseorang membayar pajak lebih
mahal hanya karena hanya tinggal di daerah yang berbeda (sebagaimana yang terjadi
pada kota-kota di daerah perbatasan), kecuali orang tersebut merasakan perbedaan
atas penyediaan jasa- jasa publik di mana dia tinggal.
 Kapasitas Administratif (administrative capacity)
Sumber-sumber pendapatan akan bermacam-macam tergantungdari sisi
ketrampilan, integritas, maupun kemampuan adminis trasinya. Sumber-sumber ini
nilainya juga bervariasi tergantung dari waktu dan uang yang digunakan untuk
mengumpulkannya, dibandingkan dengan apa yang dihasilkannya. Di banyak negara
berkembang mayoritas penduduk, terutama di kota-kota besar, memiliki pekerjaan
sendiri atau bekerja pada bisnis kecil "sektor informal" dengan pendapatan yang
tidak tetap. Biaya administrasi untuk menilai dan mengumpulkan pajak penghasilan
dari warga ini sangat besar, meskipun jumlah per kapita dikumpulkan masih rendah.
Di sisi lain, jumlah penerimaan yang cukup besar dapat ditarik melalui pungutan
pada sektor peminyakan dengan biaya administrasi yang sangat kecil. Pada
perekonomian semacam ini, ada bias besar yang terjadi pada kemudahan
administratif terhadap ketergantungan atas peneri maan tidak langsung (yang bisa
diambil dari transaksi komersial sektor formal malalui perusahaan manufaktur besar,
importir, distributor, dan sebagainya). Namun ini tidak selalu terjadi asalkan melalui
pertimbangan keadilan distributif atas beban
pajak.
 Revenue Buoyancy
Secara keseluruhan, penerimaan harus berubah drastis tergantung proporsi
atas basis ekonomi. Ini bukan berarti pemerintah daerah mengikuti fluktuasi
ekonomi jangka pendek. Dibandingkan dengan perkembangan ekonomi yang
menyebabkan wajib pajak meminta jangkauan dan kualitas penyediaan jasa publik
dari pemerintah, tren ini harus dicocokkan dengan meningkatkan penerimaan dari
sistem pajak yang diterapkan pada perekonomian yang sedang tumbuh.
 Keberterimaan Politik
Pajak itu tidak populer, akan tetapi ada beberapa pajak yang jauh kurang
populer dibandingkan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan kemauan politik yang
kuat untuk memungut jenis pajak ini, yaitu untuk menentukan kewajiban pajaknya
dan melakukan penilaian, untuk melakukan pemungutan, dan pengenaan saksi bagi
mereka yang menunggak.Terkadang politik terlalu sensitif pada permasalahan nilai-
nilai sosial (seperti: apakah pungutan perlu dikenakan pada tanah atau air), atau pada
kepentingan-kepentingan golongan (pemilik tanah, pegawai negeri, pedagang,
militer dan sebagainya). Secara umum, pajak biasanya lebih tidak sensitif secara
politis jika tidak dikenakan secara langsung (atau secara sembunyi-sembunyi), dan
tidak melibatkan terlalu banyak keputusan-keputusan politik, seperti keputusan
parlemen untuk menaikkan pajak.
 Efisiensi Ekonomi (Efficiency)
Perpajakan pada dasarnya memiliki dua tujuan, yaitu untuk menyediakan
dana bagi pengadaan jasa-jasa publik dan untuk mempengaruhi perilaku ekonomi.
Pajak berdampak pada biaya keputusan individu. Sebagai contoh, pajak properti
berdampak pada profitabilitas bangunan dan penyewaan rumah, pajak penjualan
berdampak pada biaya membeli sebuah baju, pajak hiburan berdampak pada biaya
untuk pergi ke bioskop. Oleh karena itu, pajak harus dinilai juga dalam konteks
dampaknya terhadap keputusan-keputusan para pembayar pajak, terhadap
kecenderungan untuk bekerja, konsumsi, menabung, dan menanamkan modal.

-Kriteria cfisiensi ekonomi secara umum lebih penting untuk menilai pajak
nasional dari pada pajak daerah. Ada dua alasan untuk hal ini, pertama, bisanya
pemerintah pusatlah yang secara umum bertanggung jawab atas keseluruhan
pengelolaan (makro) ekonomi dan menggunakannya untuk memengaruhi perilaku
ekonomi. Kedua, skala pajak daerah biasanya tidak cukup untuk membuat perubahan
yang signifikan atas pilihan-pilihan masyarakat. Akan tetapi, harus diperhatikan juga
apakah pengenaan suatu pajak daerah dapat membawa dampak signifikar (baik
ataupun buruk) terhadap perilaku perekonomian daerah.
 Kesesuaian sebagai Penerimaan Daerah
Penyelenggaraan administrasi pajak oleh otoritas daerah dapat menimbulkan
pertanyaan tentang kelayakannya. Beberapa terkait dengan kemampuan
administratif, sedangkan yang lainnya dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama,
kejelasan kepada otoritas mana pajak akan dikenakan. Kedua, dana ini terkait dengan
yang pertama, adalah apakah waktu yang tepat untuk memulai mengumpulkan pajak
adalah juga pada lokasi yang pajaknya dibayar secara efektif. Ketiga, terkait dengan
kelayakan atas perbedaan daerah dalam tingkat pajak dan kaidah-kaidah penilaian.
Idealnya otoritas daerah harus memiliki kelonggaran untuk menentukan tingkat
pajaknya, menentukan berapa tingkat kenaikan pajak dan kenaikan jasa publik yang
dihasilkan. Keempat, pajak lokal pada tingkatan yang maksimal harus mengikuti
"prinsip kemaslahatan" dari perpajakan, efisiensi ekonomi meningkat saat ada
hubungan antara apa yang dibayarkan masyarakat melalui pajak dan hasil yang
diterima oleh masyarakat melalui penyediaan jasa-jasa publik. Hal ini berarti
pemerintah daerah harus memanfaatkan retribusinya jika memang layak.
2.3 PRINSIP PRINSIP PENETAPAN PENERIMAAN DAERAG YANG
BAIK
Pemerintahan daerah sangat dianjurkan untuk melakukan aktivitas dkonomi dengan lebih
efisien dalam memanfaatkan sumber daya publik Selain itu perlu juga memilih sumber penerimaan
yang dapat menghasilkan manfaat bagi penduduk dari pengeluaran pemerintah Bird, 1999). Contoh
yang paling umum dari sumber penerimaan yang memenuhi prinsip manfaat ini adalah pungutan
untuk pelayanan khusus yang disediakan oleh pemerintah daerah (seperti biaya pembuatan SIM.
dan sebagainya) dan barang/jasa yang disediakan oleh perusahaan publik (retribusi fasilitas,
museum dan sebagainya). Selain dapat menghasilkan penerimaan bagi pemerintah daerah, retribusi
juga memiliki nilai konomi yang baik dalam menyediakan informasi permintaan bagi penyedia
barang/layanan sektor publik. Hal ini setidaknya dapat menyebabkan masyarakat akan menilai
barang/jasa tersebut paling tidak dari biaya penyediaannya. Jika mungkin dilakukan dengan cara
yang disien, maka pemerintah daerah hendaknya bergantung pada retribusi untuk meningkatkan
penerimaan bagi penyediaan jasa publik.

Tidak seperti retribusi yang dibayarkan berdasarkan kebebasan konsumen untuk memilih,
manfaat pajak tidak dapat secara langsung diterima oleh taxpayer. Ada keterkaitan umum dan
khusus antara jumlah pajak dan manfaat yang diterima atas jasa yang disediakan pemerintah.
Sebagai contoh, ukuran dan nilai properti tempat tinggal terkait crat dengan manfaat yang diterima
wajib pajak dari perbaikan jalan lokasi properti tersebut berada. Manfaat umum dari pajak dapat
digambarkan dengan pungutan yang ditarik kendaraan bermotor, dan bahan bakarnya, yang
penerimaannya dapat digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan yang juga akan dapat
memberikan manfaat pada pengguna jalan. Selain itu pajak properti juga merupakan pajak yang
baik untuk membiayai barang publik kolektif.
Selain netralitas, terkait distribusi pendapatan dan fluktuasi ekonomi dan kesesuaian dengan
prinsip manfaat, teori keuangan, dan kebijakan publik menjelaskan karakteristik lain mengenai
pajak pemerintah daerah. Beberapa dari karakteristik ini hanyalah sebagai konsekuansi dari prinsip
yang dinyatakan di atas.

Korespondensi pajak daerah harus memiliki keterkaitan antara yurisdiksi pajak dipungut dan
di wilayah tempat manfaat diterima atas jasa publik yang dibiayai oleh sumber penerimaan tersebut.
Maka dari itu, basis pajak harus dapat dengan mudah diidentifikasi olch otoritas daerah. Kesesuaian
dengan prinsip korespondensi ini memberikan insentif kepada pemerintah daerah untuk membiayai
jumlah optimal barang publik (marginal cost sama dengan marginal benefit).
Netralitas geografis pajak yang diserahkan tanggung jawabnya pada pemerintah daerah
untuk mengelolanya harus tidak mengganggu bisnis internal dan tidak mendistorsi aktivitas
ekonomi. Oleh sebab itu, pemerintah daerah seharusnya tidak memungut pajak penjualan terkait
produksi atau pajak penghasilan yang terkait sumber kecuali telah ditetapkan bahwa manfaat akan
diterima oleh sektor usaha (bisnis) dan para penglaju.
Visibilitas pajak daerah harus diterima dengan jelas oleh penduduk daerah. Penduduk daerah
harus sadar akan kewajiban mereka untuk membayar pajak, berapa jumlahnya, dan untuk apa. Ini
membuat penduduk daerah dapat melakukan evaluasi efisiensi atas pelayanan pemerintah daerah
dari berapa nilai yang didapat oleh penduduk atas apa yang sudah mereka bayarkan.
Otonomi fiskal pemerintah daerah yang tidak memiliki kontrol atas (paling tidak tarifnya)
satu atau lebih sumber penerimaan yang signifikan, tidak akan pernah benar-benar menikmati
otonomi fiskal. Mereka tidak akan responsif terhadap permintaan konstituennya (pemilihnya)
sebagaimana mereka juga tidak dapat melakukan ekspansi saat ada permintaan yang tinggi akan
pelayanan publik dan melakukan pengurangan apabila terjadi sebaliknya. Pemerintah daerah juga
tidak mempunyai fleksibilitas atas penyesuaian fiskal akibat adanya kenaikan biaya.
Administrasi pajak daerah beberapa pos penerimaan akan lebih baik
bila dikelola pada level daerah (seperti pajak properti), sementara itu juga memiliki
kelemahan untuk mengoleksi pajak yang lainnya (contohnya pajak laba atas perusahaan).
Pemerintah daerah harusnya bertugas untuk menarik pajak di mana mereka memiliki kekuatan dan
informasi untuk melakukannya. Sebagai contoh, secara umum dikatakan bahwa pada kasus pajak
properti, administrasi pajak yang lebih terdesentralisasi akan memiliki informasi tentang wilayah
daerah dan kemampuan untuk menerapkan prosedur yang sesuai dengan kondisi daerah sehingga
akan efektif jika dilakukan peningkatan pajak.
fiskal vertikal keseimbangan ini akan tercapai jika ada korespondensi luas antara tanggung
jawab pengeluaran yang ditugaskan pada tiap level pemerintah dan sumber fiskal yang tersedia di
tiap level pemerintah untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Keseimbangan fiskal horizontal
keseimbangan ini mengacu pada keseimbangan kebutuhan fiskal dan sumber daya di antara unit
pemerintah yang berbeda pada level pemerintahan yang sama. Meskipun keseimbangan fiskal dapat
dicapai melalui transfer antarpemerintah (equalization grants), pembagian penerimaan harus dapat
dipahami sebagai akibat dari disparitas fiskal. Oleh sebab itu, penerimaan daerah yang baik akan
memiliki basis pajak yang adil yang tersebar merata pada tiap yurisdiksi (wilayah).

"Ekspor pajak" adalah situasi di mana beban pajak


yang dikenakan oleh satu pemerintah daerah berasal dari
penduduk dari wilayah lain yang tidak merasakan manfaat
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam dari
penarikan pajak tersebut.

Contoh dari pajak yang dickspor' dalam jumlah besar termasuk


pajak daerah atas produksi, di mana produk yang dihasilkan
dikonsumsi atau dimanfaatkan di luar wilayah yurisdiksi pajak
tersebut dikenakan. Kasusnya biasanya pada pajak atas produksi
alcohol atau sumber mineral daerah. Pada kasus ini, meskipun
penerimaan dikumpulkan di daerah produksi dilakukan, beban pajak
biasanya dialihkan (kebanyakan) pada konsumen melalui harga
produk yang lebih tinggi. Dampaknya, banyak beban pajak yang
dipindahkan ke luar daerah, dan dibayar oleh konsumen di luar daerah.
2.4 PENERAPAN PRINSIP KORESPONDENSI DAN MANFAAT
PADA STRUKTUR PENERIMAAN LOKAL
Tema yang konsisten dibahas pada beberapa diskusi tentang penyerahan penerimaan pada
tingkat lokal adalah mekanisme pembiayaan yang cocok bagi penyediaan pelayanan publik, yang
ditentukan oleh alasan mengapa sektor publik menyediakan barang pada urutan yang pertama. Pada
prinsipnya, mekanisme pembiayaan publik yang baik akan membawa kemungkinan yang terdekat
pada korespondensi antara manfaat yang diterima oleh pengguna layanan dan biaya penyediaannya.
Jika penduduk menerima semua manfaat dari layanan yang disediakan bagi mereka oleh pemerintah
daerah (sebagai contoh, konsumsi listrik, atau akses ke kolam renang umum) maka mereka perlu
dikenai pungutan berdasarkan biaya penyediaan layanan tersebut. Sebelumnya telah diidentifikasi
prinsip-prinsip, bahwa wajib pajak yang menerima manfaat dari pelayanan publik harus membayar
pajak secara kasar tergantung dari besarnya manfaat yang diterimanya sebagai "prinsip manfaat".
Akan tetapi ada empat kasus di mana keterkaitan antara biaya penyediaan pelayanan dengan
manfaat yang diterima oleh penduduk sangat lemah bahkan tidak ada. Sebagai contoh: spillover
(ekstemalitas). barang publik, program redistributif, dan proyek pengembangan modal Untuk tujuan
studi ini, cukup dikatakan bahwa pada tiap kasus tersebut. semakin lemah korespondensi antara
manfaat yang diterima oleh penduduk individual dan biaya penyediaan jasa, semakin rendah
kesempatan untuk mengikuti "prinsip manfaat untuk membayar biaya- biaya penyediaan jasa. Tabel
10.4 menunjukkan bahwa sumber pembiayaan yang paling cocok tergantung dari asal pengeluaran
pemerintah daerah.

2.5 UNDANG UNDANG TENTANG PAJAK DAN PUNGUTAN DAERAH


Sejarah telah mencatat bahwa di Indonesia telah menerapkan berbagai undang-undang yang
mengatur maslah perpajakan. Secara umum sejarah perpajakan di Indonesia dapat dibedakan atas
tiga periode, yaitu
1 Periode sebelum implementasi UU No. 18 tahun 1997
2. Periode selama penerapan UU No. 18 tahun 1997.
3. Periode selama penerapan UU No. 34 tahun 2000

PERIODE SEBELUM UNDANG-UNDANG NO. 18 TAHUN 1997


Berdasarkan pada periode sebelum Undang-Undang No. 18 tahun 1997, pajak-pajak daerah
dapat dikategorikan dalam pajak provinsi dan pajak daerah. Berikut adalah daftar pajak
Pemerintah Daerah sebelum UU No. 18/1997 (Departemen Keuangan dan Departemen Dalam
Negeri)
Provinsi;
 Pajak kendaraan
 Pajak transfer kendaraan
 Pajak rumah tangga
 Pajak pajak provinsi lainnya
Daerah:
 Pajak hotel/restoran
 Pajak periklanan
 Pajak hiburan
 Pajak penerangan jalan
 Pajak orang asing
 Pajak tambahan atas rumah tangga
 Pajak memancing di perairan kawasan
 Pajak jalan
 Pajak penjagalan
 Pajak anjing
 Pajak penjuala kembang api
 Pajak penjualan alkohol
 Pajak kendaraan non motor
 Pajak monumen kuburan mewah
 Pajak tempat tinggal sementara
 Pajak mesin ketangkasan
 Pajak radio
 Pajak penyediaan air minum
 Pajak pendaftran bisnis
 Izin tinggal sementara
 Pajak kepemilikan sementara
 Pajak rumah kecil
 Pajak tempat penyimpanan di tempat umum
 Pajak usaha
 Pajak kapal
 Pajak pelabuhan
 Pajak pembuatan garam
 Pajak pengangkutan garam dari daerah
 Pajak peternakan babi
 Pajak pemindahan sarang burng
 Pajak pemindahan telur penyu
 Pajak tempaat penyimpanan tembakau
 Pajak tempat pelelangan ikan
 Pajak pajak lainnya.
Sebelum UU No. 18/1997, ada sekitar 40 jenis pajak regional/dacrah dan 180 jenis
pungutan. Namun banyak di antaranya dinilai tidak efisien dan kadang menciptakan distorsi-distorsi
pada perekonomian. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia memutuskan untuk membuat sistem
perpajakan yang lebih efisien dengan menghapuskan sebagian pajak- pajak tersebut. UU No. 18
membatasi pajak lokal hingga hanya 9 jenis sedangkan pungutan sampai tinggal 30 jenis. Selama
tahun 2000, pajak provinsi, lokal/daerah dan pungutan-pungutan diatur dengan undang- undang ini.
PERIODE UNDANG-UNDANG NO. 18/1997
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pada periode sebelum Undang-undang No. 18
Tahun 1997 terdapat cukup banyak jenis pajak daerah yang justru menimbulkan incfisiensi dalam
perekonomian. Oleh karena itu pemerintah melakukan reformasi disektor perpajakan tersebut
dengan mengeluarkan Undang-undang perpajakan baru yaitu Undang -Undang No. 18/1997.
Hal-hal yang terdapat dalam Undang-Undang No. 18/1997 adalah sebagai berikut :
 Penghapusan beberapa pajak dan pungutan – pungutan
 Penyesuaian tarif
 Pengurangan sebagian basis pajak
 Pengenalan pada pembagian penerimaan atas pajak bahan bahan kendaraan bermotor dan
pajak transfer tanah dan bangunan

UNDANG UNDANG NO.34 TAHUN 2000


Dalam Undang-Undang No. 34 ada 11 pajak daerah, namun pemerintah daerah masih
diperbolehkan untuk mendesain dan mengenakan pajak pajak maupun pungutan-pungutan baru.
Alasannya adalah, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan pilihan sumber penerimaan
pemerintah. Akan tetapi sangat sulit untuk mengidentifikasi tambahan pajak dan pungutan yang
sesuai dan dapat memenuhi kriteria yang tercantum dalam undang-undang (yang berdasarkan atas
prinsip-prinsip yang diterima secara luas). Itu sebabnya ada kecenderungan bahwa banyak
pemerintah daerah yang menerapkan kembali pajak lama yang telah dihapus oleh UU No. 18/1997.
atau membuat pajak daerah baru (potensial namun "bermasalah"). Kriteria untuk pajak baru yang
dapat diperkenalkan oleh pemerintah daerah dijelaskan oleh UU No. 34/2000 artikel 2, sub artikel
4, sebagai berikut:
 Hakekat pungutan terseut adalah pajak dan bukan pungutan pungutan liar.
 Objek pajak harus tinggal di daerah tersebut dengan mobilitas yang rendah dan dengan
populasi berbasis tempat tinggal.
 Basis dan objek pajak harus mengikuti nilai-nilai sosial (tidak memiliki konflik dengan
kepentingan publik).
 Objek pajak lokal harus tidak overlap dengan pihak yang sudah dikenai oleh pemerintah
pusat atau provinsi.
 Potensi pajak harus signifikan (mencukupi
 Pajak jangan sampai menyebabkan distorsi pada perekonomian.
 Keadilan dan kemampuan untuk membayar pajak harus menjadi perhatian dalam
kebijakan perpajakan.
 Pertimbangan lingkungan harus menjadi prioritas (keberlangsungan lingkungan harus
dijaga).
Meskipun kriteria dinilai standar dari perspektif teori pajak, namun implementasinya
akan cukup sulit. Hanya ada sedikit pemahaman dari pegawai daerah atas norma ini, dan
akhirnya mereka cenderung untuk membuat aturan perpajakan yang bertentangan dengan
kriteria dasar ini. Di sisi lain, staf Departemen Keuangan telah ditugaskan untuk
mengevaluasi aturan penerimaan pemerintah yang hanya menggunakan sedikit norma di atas
untuk mencegah adanya kemungkinan pajak baru yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

2.6 LANGKAH STRATEGIS MENINGKATKAN PENERIMAAN


DAERAH
Berhasil tidaknya suatu daerah dalam perolehan penerimaan daerah tergantung pada
pengelolaan penerimaan daerah di suatu wilayah. Pada dasarnya ada lima kategori besar kebijakan
pajak yang dapat diterapkan oleh pemerintah daerah. Kategori tersebut termasuk perluasan basis
penerimaan daerah, pengendalian atas penghindaran pajak (tax evasion). peningkatan persyaratan
penarikan pajak, peningkatan efisiensi administrasi pajak, dan perencanaan.

Perluasan basis penerimaan daerah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mendorong penerimaan adalah perluasan basis penerimaan daerah. Ada empat hal yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mencapai tujuan ini:
 Mengidentifikasi pembayar pajak dan tarif baru besarnya pajak yang dibayarkan dan
membawa mereka ke dalam jaring pajak
 Meningkatkan basis data objek pajak.
 Meningkatkan penilaian (misal penilaian ulang atas objek pajak).
 Menghitung kapasitas penerimaan secara lebih rasional untuk tiap
Pengendalian penghindaran pajak. Untuk mengurangi kebocoran pajak akibat
penghindaran pajak, pemerintah daerah dapat melakukan beberapa langkah berikut:
 Melakukan audit insidental sebagai pelengkap prosedur penilaian sendiri.
 Meningkatkan proses kontrol untuk mengurangi kebocoran
 Menerapkan sanksi yang ketat dan berat bagi yang tidak mematuhi-nya
 Meningkatkan disiplin administratif staf-staf keuangan yang juga punya andil dalam
kebocoran penerimaan daerah.
 Meningkatkan usaha untuk mengaitkan pembayaran pajak dengan jasa-jasa yang
disediakan oleh pemerintah daerah.

Peningkatan efisiensi administrasi pajak. Peningkatan kinerja penerimaan sangat bergantung


kepada kemampuan otoritas lokal untuk memini- mumkan biaya memperoleh penerimaan tersebut.
Ada empat kemung- kinan langkah yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan
efisiensi administratif:
 Memperbaharui prosedur administrasi pajak melalui penyeder- hanaan administrasi.
 Meningkatkan usaha untuk menghitung efisiensi pengumpulan tiap jenis penerimaan
 Peningkatan usaha pengurangan biaya pengumpulan.
 Mengambil langkah-langkah untuk menghilangkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan
penerimaan menjadi tidak optimal.
Perencanaan. Seringkali ditemui antara Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah), Bappeda
(Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) dan bagian keuangan pemerintah daerah tidak
bekerjasama dengan baik untuk memperbaharui sistem perencanaan pendapatan yang sudah ada.
Dengan melihat krisis ekonomi pada tahun 1997, akan lebih baik bagi mereka untuk bekerjasama
dalam memastikan strategi perencanaan pendapatan. Dengan tidak adanya perencanaan yang
terkoordinasi dan sistematis, akan sulit untuk mengharapkan kenaikan penerimaan daerah.

Hanya ada beberapa cara langkah saja yang sudah diimplementasikan di tingkat da rah
Kebanyakan pemerintah daerah masih hanya menggunakan "strategi klasik seperti perluasan basis
penerimaan daerah dengan memper baharui database objek. Kebijakan lain terutama kontrol dan
perencanaan jarang sekali digunakan. Di masa yang akan datang, pengelolaan penerimaan daerah
membutuhkan usaha-usaha yang memaksimumkan potensi pengumpulan pajak yang dimiliki oleh
pemerintah daerah. Hal ini tidak diragukan lagi, akan membutuhkan pembangunan kapasitas
(capacity building) di tingkat daerah, dengan menyediakan berbagai pelatihan untuk tiap strategi
perpajakan di atas.

BAB 3
PAJAK PROPERTI DI INDONESIA : ISU PENDAERAHAN PBB DAN
BPHTB
Salah satu masalah yang dihadapi daerah dalam rangka otonomi adalah rendahnya
penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan kecilnya PAD, maka sumber penerimaan
utama sebagian besar daerah, kabupaten/kota (KK), di Indonesia adalah dana perimbangan yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Sayangnya tidak semua KK kaya sumber daya alam (SDA).
Hanya KK yang kaya potensi SDA akan menikmati kenaikan bagi hasil SDA secara signifikan.
Untuk KK lainnya, penerimaan andalan akan bersumber pada bagi hasil pajak, khususnya Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Dana
Alokasi Umum (DAU). Meskipun pembagian DAU dirumuskan sedemikian rupa namun alokasi
DAU sepenuhnya kewenangan pusat. KK tidak dimungkinkan untuk melakukan intervensi terhadap
alokasi DAU. Hal ini berbeda dengan PBB dan BPHTB. Untuk kedua jenis pajak ini, KK
dimungkinkan untuk melakukan intervensi kebijakan untuk meningkatkan penerimaannya.
Meskipun PBB dan BPHTB berbeda, kedua jenis pajak ini memiliki hubungan yang erat
terutama melalui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).Pengelolaan PBB di dunia ini dapat dikelompokan
dalam tiga model. Pertama adalah model sentralistik seperti yang antara lain dilakukan oleh
Indonesia, Perancis, Swedia, dan Chili. Model,kedua adalah PBB sebagai pungutan lokal seperti
yang dilakukan antara lain di Amerika Serikat, banglades, dan Papua Nugini. Model ketiga adalah
model yang memadukan kedua model di atas seperti yang diterapkan antara lain di Malaysia,
Argentina, Inggris dan Pakistan (Boadway dkk, 1994, dan Sidik, 1995).
Dari berbagai variasi pengelolaan PBB di dunia, di Indonesia memunculkan wacana
mengenai pendaerahan PBB dan BPHTB. Namun demikian, untuk mewujudkan wacana tersebut
ada beberapa faktor yang dipertimbangkan, diantaranya:
 Biaya koleksi pajak. Selama ini, setelah dikurangi biaya koleksi, hampir semua penerimaan
PBB dan BPHTB diterima oleh daerah provinsi dan KK. Biaya koleksi "ditanggung" oleh
pemerintah pusat. Pendaerahan PBB dan BPHTB menyisakan biaya koleksi untuk
didaerahkan.
 Dengan mendaerahkan PBB dan BPHTB juga berarti mendaerahkan pegawai. Padahal
masalah besar yang dihadapi KK dalam masa penerapan otonomi sekarang ini adalah
membengkaknya jumlah pegawai dan beban belanjanya karena pemindahan pegawai pusat
ke daerah. Untuk KK yang kaya, karena SDA dan atau manusia, beban tambahan hanya
akan menyebabkan inefisiensi tanpa mengganggu kebutuhan keuangan. Sebaliknya untuk
daerah yang terbatas keuangannya, persoalan penambahan pegawai mempersulit
pengalokasian anggaran yang dikhawatirkan akan berdampak pada pengurangan kualitas
dan kuantitas layanan publiknya.
 Pendaerahan PBB dan BPHTB juga akan diikuti pendaerahan perangkat lunak dan keras.
Aspek penting dalam hal ini adalah basis data PBB yang merupakan satu-satunya basis data
kekayaan yang dimiliki individu Indonesia yang lengkap. Pendaerahan basis pajak tersebut
dimungkinkan dapat merusak basis data yang secara nasional strategis.
 Pendaerahan PBB dan BPHTB dapat meningkatkan lebarnya kesenjangan pendapatan antar
daerah karena hilangnya unsur sumbangan dan distribusi pendapatan antar daerah.

3.1 ADMINISTRASI PAJAK PROPERTI


dalam rangka penyempurnaan sistem administrasi pajak tersebut merupakan satu paket yang
meliputi: (1) identifikasi objek, subjek pajak, dan pembentukan basis data; (2) penilaian properti;
(3) penetapan besarnya pajak; (4) penyampaian tagihan pajak kepada wajib pajak; (5) penerimaan,
penagihan, dan penegakan hukum. Usaha penyempurnaan astem administrasi pajak properti yang
hanya menitikberatkan pada alah satu aspek tanpa memperhatikan keempat aspek lainnya
dalamsistem administrasi perpajakan properti tidak akan memberikan hasil yang memadai,
khususnya properti. Dilihat dari aspek administrasi perpajakan seperti telah disebutkan di muka,
terdapat berbagai bentuk pengelolaan pajak properti, khususnya ditinjau dari aspek administrasi
perpajakan. Memang belum ada satupun yang ideal karena umumnya sangat tergantung pada
kondisi dan situasi masing-masing negara. Misalnya saja, ada negara yang menerapkan pajak
properti merupakan pajak daerah, tetapi tidak seluruh fungsi administrasi pengelolaan pajak tersebut
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Fungsi penilaian (termasuk di dalamnya pendataan) dan
penetapan tarif pada umumnya dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah negara bagian
(untuk negara federal), sedangkan fungsi administrasi yang lain, seperti pemungutan, law enforce
pada dasarnya dianggap sebagai tugas bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Permasalahan pokok dalam sistem administrasi pajak properti di berbagai negara termasuk
Indonesia pada umumnya menyangkut permasalahan pengumpulan data objek pajak dan subjek
pajak, ketepatan hasil penilaian properti (valuation accuracy), penghitungan besarnya pajak yang
terutang, penyampaian surat pemberitahuan pajak yang terutang (tax biling), pemungutan pajak, dan
penegakan hukum (law enforcement) Kelima permasalahan tersebut idealnya harus dapat
diselesaikan secara simultan.
Fakta di negara sedang berkembang (developing countries) menunjukkan bahwa land
mapping, land administration, land registration, dan land valuation belum selesai dilaksanakan,
sehingga objek PBB yang immobile tersebut sulit untuk diadministrasikan dan belum tentu cocok
untuk pajak daerah. Di Indonesia, baru 20 juta persil yang disertifikatkan, padahal harusnya lebih
dari 83,5 juta. Oleh karena itu, land valuation-nya belum sempurna dilaksanakan (Direktorat PBB
dan BPHTB, 2002). Lebih lanjut, beberapa ahli berpendapat bahwa sistem yang ada saat ini masih
dapat dipertahankan, dan merubah PBB dan BPHTB sepenuhnya menjadi pajak daerah, termasuk
penilaiannya, hanyalah layak untuk jangka panjang.

3.2 PENDAERAHAN PBB


Untuk daerah yang memiliki potensi PBB dan BPHTB besar dimungkinkan akan menerima
pendae- rahan PBB dan BPHTB. Sebaliknya, untuk KK yang kurang berpotensi pendacrahan PBB
dan BPHTB justru akan menjadi beban lebih dari beban yang sudah ada. Wacana yang
menunjukkan bahwa PBB adalah pajak daerah, perlu dikaji secara hati-hati dan mendalam. Dilihat
dari aspek pengelolaan administrasi dan wewenang perumusan kebijakannya, ternyata antara negara
satu dengan yang lain sangat beragam. Sebelum melakukan pendaerahan PBB, perlu dilakukan
assessment kemauan dan kemampuan daerah dalam "menerima" pendaerahan PBB dan BPHTB.
Assessment dapat dilakukan dengan menganalisis :
 Kemauan penerima, Seseorang akan memutuskan untuk rela menerima atau menolak sebuah
kebijakan selalu ditentukan oleh tingkat kesejahteraannya sebelum dan sesudah penerimaan
atau penolakan kebijakan tersebut.
Kondisi ini dijelaskan oleh dua konsep dalam ekonomi, yaitu compensating variation
(CV) dan equivalent variation (EV). CV mengukur berapa harus dibayar kepada seseorang
agar seseorang tersebut tak acuh, indifferen, terhadap perubahan, misalnya harga. Sementara
EV mengukur nilai maksimum yang seseorang mau bayarkan untuk menghindari atau
membatalkan suatu kebijakan, misalnya kenaikan harga.
 Kemampuan menerima, Kemampuan menerima pelimpahan PBB dan BPHTB ditunjukkan
oleh kapasitas KK di bidang: (1) personalia, (2) infrastruktur, (3) sistem dan prosedur, dan
(4) potensi kedua pajak tersebut. Tiga aspek yang pertama berkaitan dengan biaya koleksi,
sementara aspek yang keempat adalah penerimaan pajak. Secara prinsipil, ada dua kondisi
yang menyebabkan KK mampu menerima pelimpahan PBB dan BPHTB. Pertama, KK akan
mampu menerima pelimpahan, jika dan hanya jika selisih biaya ketiga aspek yang pertama
dapat ditutup sepenuhnya dengan penerimaan pajaknya. Dengan kata lain, potensi
penerimaan PBB dan BPHTB lebih besar dari biaya koleksinya. Faktor kedua adalah
penerimaan PBB bersih harus lebih besar dari 74,8 persen' dan untuk BPHTB harus lebih
besar dari 48 persen. Hal ini disebabkan karena selama ini daerah menerima PBB dan
BPHTB sebesar itu. Assessment harus mengamati variabel-variabel yang dapat memberi
indikasi keinginan daerah untuk menerima pendaerahan PBB dan kemampuan, serta
kapasitas daerah dalam pengelolaan PBB dan BPHTB. Variabel tersebut meliputi variabel
personel, beban personel, perangkat lunak dan keras, dan potensi PBB dan BPHTB.

BAB 4
TNJAUAN PERENCANAAN DAN ANGGARAN DAERAH
Perencanaan pembangunan daerah secara khusus diatur dalam UU No. 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang berisi tentang tahapan perencanaan
mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pemerintah Jangka Menengah
(RPJM daerah). Renstra Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja
SKPD). Meskipun demikian, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mengatur
kembali sistem perencanaan pembangunan daerah yang telah diatur dalam UU No. 25 tahun
2004 sebelumnya, sekaligus mengatur pula proses penganggaran. Walaupun UU No. 32 tahun
2004 tidak mengatur sedetail UU SPPN khususnya perencanaan dan proses penganggaran
dalam UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004, namun pengaturan kembali ini
menimbulkan kerancuan terhadap penafsirannya.Sementara UU No.17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
mengatur perencanaan daerah,namun hanya terbatas pada perencanaan tahunan yang meliputi
Rencana Kerja Pemerintah Daerah(RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerntah Daerah
(Renja SKPD),disamping mengatur penyudanan APBD.

Banyak pihak yang mensinyalir UU No. 25 tahun 2004 lahir lebih karena mempertahankan
eksistensi Bappenas. Kekhawatiran yang muncul adalah Bappenas dilikuidasi oleh lahirnya UU No.
17 tahun 2003 yang salah satunya memperkuat peran Departemen Keuangan. Terlepas dari hal ini,
perlu dilihat bagaimana sistem perencanaan menurut UU No. 25 tahun 2004 dan melihat
permasalahan-permasalahan yang mungkin muncul dalam implementasinya.
Dari undang-undang yang digunakannya. Multi-intepretasi dari perbandingan alur tersebut
adalah sebagai berikut:
 Pada UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004, Renja SKPD disusun berdasarkan
prestasi kerja, sementara UU No. 25 tahun 2004 dan UU No. 32 tahun 2004 tidak
memerintahkan hal ini. UU No. 32 tahun 2004, menyatakan RKA SKPD yang disusun
berdasarkan prestasi kerja. Terjadi kerancuan Renja SKPD dan RKPD 2. Pada UU No 25
tahun 2004, Renja SKPD berpedoman pada Renstra SKPD dan mengacu pada RKPD.
 pada UU No. 32 tahun Renja SKPD dirumuskan dari Renstra SKPD. tanpa memerintahkan
mengacu kepada RKPD. Sedangkan pada UU No. 33 tahun 2004, menyatakan Renja SKPD
penjabaran dari RKPD tanpa berpedoman pada Renstra SKPD.
 Pada UU No. 32 tahun 2004, KDH menetapkan prioritas dan plafon. Sementara pada UU
No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004. prioritas dan plafon dibahas bersama DPRD
dan pemerintah daerah.
 Pada UU No. 32 tahun 2004, prioritas dan plafon yang telah ditetapkan kepala daerah
dijadikan dasar penyusunan RKA SKPD.
 Sedangkan UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 33 tahun 2004,
prioritas dan plafon sementara yang dibahas DPRD dengan Pemda
yang dijadikan acuan penyusunan RKA SKPD.
 Pada UU No. 32 tahun 2004 RKA SKPD disampaikan kepada PPKD (Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah) sebagai dasar penyusunan RAPBD. Sedangkan UU No. 17 tahun 2003
dan UU No. 33 tahun 2004 RKA SKPD disampaikan ke DPRD untuk dibahas, hasilnya
disampaikan ke PPKD.
 Pada UU No. 17 tahun 2003, hak DPRD untuk mengajukan usul yang mengakibatkan
perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dan antisipasinya jika RAPBD tidak
disetujui. Sedangkan pada UU No. 33 tahunh 2004 dan UU No. 32 tahun 2004 tidak
memerintah- kan hal ini.

Dari permasalahan perundang-undangan di atas, yang menjadi korban pertama dari


kebijakan ini adalah pemerintah daerah yang akan mengalami kegamangan aturan yang akan
dijadikan acuan dalam perencanaan dan pengganggaran. Akibatnya, dapat terjadi inefisiensi dan
efektivitas dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah serta pada saat implementasi
pembangunan. Bahkan, korupsi di daerah akan tetap merajalela, seperti pengalaman yang lalu
akibat ketidakjelasan acuan pengaturan keuangan DPRD ketika PP 110 dibatalkan, serta
menjebloskan anggota DPRD ke penjara di berbagai daerah. Lebih parah, dapat terjadi stagnasi
perencanaan dan pengganggaran di daerah yang berakibat pada mandegnya pembangunan di
daerah, dan akhirnya rakyat pula yang menjadi korban yang paling dirugikan.

ANALISIS STUDI KASUS( salah satu contoh )


Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Pendapatan Daerah, 2013 - 2014

Tahun Anggaran 2013 Tahun Anggaran 2014

Jenis Pajak Realisasi Realisasi


Target (000 Rp) Target (000 Rp)
Nilai (000 Rp) % Nilai (000 Rp) %

1. Pajak Kendaraan Bermotor Motor Vehicle Tax 74 027 205 76 658 718 103,55 76 629 703 83 927 497 110,04
2. Bea Balik Nama ( B B N ) Fee for Conversion of Vehicle Ownership 186 345 468 202 302 466 108,56 212 240 885 175 784 490 82,82
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor PBB - KB/ Motor Vehicle Fuel Tax 110 101 114 123 462 831 112,14 123 702 033 119 835 722 96,87
4. Pengolahan air permukaan Air Bawah Tanah Underground/Surface Water Processing 1 975 271 2 269 633 114,90 1 975 271 1 977 765 100,13
5. Tunggakan Pajak Tax Arrears 3 214 747 3 376 928 105,04 3 311 189 6 429 679 194,18
6. Denda Pajak Tax Penalties 738 835 263 168 35,62 738 835 2 830 938 383,16
7. Pajak Rokok Cigarett e Tax - - - 50 000 000 69 498 747 139,00

Jumlah 376 402 639 408 333 744 108,48 468 237 916 460 284 902 101,73

(Prov.Sulawesi Tenggara)

5W + 1H

 What : Mobilisasi Penerimaan pajak Daerah


 Where : 38 provinsi ( sulawesi tenggara)
 When : 2013 – 2014
 Why :
Mobilisasi penerimaan pajak daerah diperlukan karena beberapa alasan, seperti:
- Meningkatkan pendapatan : Pajak dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan
daerah yang penting. Mobilisasi pajak dapat meningkatkan penerimaan daerah dan
membantu daerah untuk menggali sumber keuangannya sendiri
- Memperbaiki administrasi : Perbaikan sistem administrasi pajak daerah yang diperlukan
agar pajak dapat dikelola dengan lebih efektif dan efisien
- Penguatan kewenangan pemerintah daerah : Revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diperlukan untuk memperkuat
kewenangan pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pajak
- Mendorong partisipasi masyarakat : Mobilisasi pajak juga dapat meningkatkan
kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Partisipasi masyarakat dalam menjalankan
kewajibannya akan sulit ditingkatkan jika tidak ada transparansi
- Transparansi : Keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pajak daerah
dapat meningkatkan kualitas partisipasi dan keterbukaan dalam pengelolaan
pemerintahan
Secara keseluruhan, mobilisasi pajak penerimaan daerah diperlukan untuk
meningkatkan penerimaan daerah, memperkuat kewenangan pemerintah daerah,
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak, dan meningkatkan kualitas partisipasi
dan keterbukaan dalam pengelolaan pemerintahan.
 Who : Penerimaan pajak daerah ini ditetapkan oleh pemerintah agar bisa membiayai
pengeluaran pengeluaran daerah dan juga mencapai tujuan tertentu dalam hal sosial
ekonomi
 How : Mobilisasi pajak daerah dapat memberikan dampak positif terhadap aspek sosial
dan ekonomi suatu daerah. beberapa cara agar peningkatan pendapatan pajak daerah
dapat memberikan manfaat bagi suatu daerah:
- Mendanai layanan publik : Pajak daerah dapat digunakan untuk mendanai
layanan publik seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Hal ini
dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk dan menarik bisnis ke daerah
tersebut
- Mendanai layanan publik : Pajak daerah dapat digunakan untuk mendanai
layanan publik seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Hal ini
dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk dan menarik bisnis ke daerah
tersebut
- Mengurangi kesenjangan : Pajak daerah dapat digunakan untuk mendanai
program kesejahteraan sosial yang membantu mengurangi kesenjangan dan
memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan
Untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah, dapat dilakukan strategi seperti intensifikasi
dan ekstensifikasi upaya pemungutan pajak, revaluasi tarif pajak, dan kemitraan dengan pihak
swasta.
Selain itu, peningkatan kualitas pelayanan pemerintah dan peningkatan transparansi
pemungutan pajak dapat membantu meningkatkan kepatuhan dan partisipasi wajib pajak.

HTAG
 Hambatan penerimaan pajak daerah yaitu Kurangnya kesadaran warga negara akan
kewajiban membayar pajak, bahkan sebagian orang, memilih pajak dirasa sebagai suatu
pemaksaan bagi warga negara dan juga Berbagai pungutan resmi dan tidak resmi, baik di
pusat maupun di daerah, yang membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk
menaikkan penerimaan pajak.
 Tantangan dalam penerimaan pajak daerah adalah Cara pembayaran dan pelaporan pajak,
Masalah ekstensifikasi pajak daerah: Penerimaan pajak daerah masih relatif rendah karena
masih banyak daerah yang belum mampu melakukan ekstensifikasi pajak daerah dan juga
Dampak pandemi Covid-19: Pandemi Covid-19 menambah tantangan bagi tercapainya
target penerimaan negara, terutama pajak daerah. Pembatasan aktivitas sosial demi
mencegah penularan semakin meluas dan perekonomian yang melambat pun menjadi
penyebab tambahan tantangan ini. Terlebih lagi, sejumlah insentif yang dikeluarkan
pemerintah untuk menghadapi pandemi pun berupa insentif perpajakan yang berarti
mengurangi potensi penerimaan. Di luar fakta ada banyak usaha dan transaksi yang terkena
pajak sudah berkurang baik dari jumlah maupun frekuensi kegiatan
 ancaman pemerintah jika tidak membayar pajak yaitu Sanksi administrasi contohnya denda,
bunga, dan kenaikan pajak terhadap wajib pajak yang melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban administrasi
 Gangguan penerimaan pajak dapat disebabkan oleh Harga komoditas yang melemah dan
Perlambatan ekonomi global juga dapat menunjukkan adanya gangguan dari sisi penerimaan
pajak

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF PENERAPAN KEBIJAKAN FISKAL


 Dampak Positif dalam penerimaan pajak yaitu Meningkatkan masukan negara dari
sektor pajak, Membantu memperbaiki kondisi perekonomian serta mengurangi
kemiskinan dan ketimpangan sosial
 dampak negatifnya yaitu praktik penyelundupan pajak mengakibatkan beban pajak yang
harus dipikul oleh wajib pajak yang jujur dan membayar pajak lebih berat dan
penerimaan pajak yang rendah dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara

ANALISIS DAN SOLUSI


analisis dan solusi yang diperlukan dalam kasus penerimaan pajak daerah ini yaitu
meningkatkan sosialisasi dan pelayanan,pelayanan yang baik dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi daerah dalam hal ini juga harus dilakukan
secara terus menerus agar mencapai target penerimaan pajak daerah yang optimal.
LEARNING AND DOING BY STUDYCASE

EKONOMI PUBLIK

Dosen Pengampu : Alzefin Y. R. M. Sinolungan, S.E, M.Si

Disusun Oleh:
Syukur Utama Zega (22305020)
Michael Rionaldo Lelet (22305011)
Maldini Tangkilsan (22305049)

UNIVERITAS NEGERI MANADO


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ILMU EKONOMI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur, kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
karunia serta berkat yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan Study and doing by
study case dengan baik meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga
berterimakasih pada Nci Alzefin Y.R.M Sinolungan S.E, M.Si selaku dosen mata kuliah
Ekonomi Publik Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri
Manado yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami harap projek ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan Ilmu
Pengetahuan kita mengenai materi yang kami akan bahas, terutama memgembangkan softskill
baik kami maupun audiens. Kami menyadari bahwa makalah studi kasus ini jauh dari kata
sempurna, oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang saya buat menjadi lebih baik kedepannya. Mengingat bahwa tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga studi kasus ini, dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sedikitnya
projek makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami dan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ekonomi Publik. Demikian makalah studi kasus ini kami buat, mohon maaf apabila ada
kesalahan kata-kata yang berkenan di hati pembaca.

Tondano, 02 September 2023

Penyusun
BAGAN MATERI
RINGKASAN MATERI

BAB III : KEGAGALAN PASAR DAN CAMPUR TANGAN PEMERINTAH

1.1 Konsep Pasar


Menurut bahasa pasar bisa diartikan sebagai "mercatus" yang artinya berdagang atau
sebagai tempat berdagang Sementara itu, menurut istilah pasar adalah suatu tempat atau
proses interaksi antara penjual dan pembeli suatu barang atau jasa. Menurut banyak ahli,
disimpulkan bahwa pasar memiliki dua arti dari sisi klasik dan modern. Menurut makna
klasik, pasar adalah pertemuan tempat bagi penjual dan pembeli untuk melakukan rangkaian
kegiatan pertukaran, baik barang maupun jasa. Sedangkan menurut modern Artinya, pasar
adalah media yang mengakomodasi proses pasokan dan permintaan barang dan jasa
(Indrayani, 2018).
Secara garis besar, pasar adalah yang utama faktor keberlangsungan kegiatan
ekonomi. Pada dasarnya pasar memiliki tiga fungsi, yaitu: fungsi distribusi, pembentukan
harga fungsi dan fungsi promosi

1. Pasar berperan dalam distribusi


Pasar dalam fungsi ini bertugas memfasilitasi interaksi atau media distribusi
antara produsen dan konsumen. Dengan ini fungsi, pihak yang terlibat dalam distribusi
ini aktivitas dapat berinteraksi dengan mudah dalam aktivitas menawarkan barang dan
jasa yang ditawarkan oleh produsen ke konsumen.
2. Pasar sebagai Pembentuk Harga
Pasar adalah tempat dimana pembeli dan penjual bertemu. Di pasar, penjual
dapat menawarkan barang mereka kepada pembeli. Dan, pembeli yang mau
membutuhkan barang atau jasa dapat menawar harga secara langsung kepada penjual.
Setelah terjadi tawar menawar antara kedua belah pihak dan harga telah disepakati atas,
harga terbentuk.
3. Pasar sebagai Alat Promosi
Pasar dikatakan sebagai sarana promosi, artinya pasar adalah tempat untuk
memperkenalkan, memasarkan, dan menginformasikan suatu produk atau layanan tentang
informasi, manfaat, dan keunggulan produk yang ditawarkan oleh produsen. Promosi
yang dilakukan oleh produsen bertujuan untuk menarik minat pembeli pada barang atau
jasa dipromosikan. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan promosi yaitu dengan
memasang spanduk, mendistribusikan brosur, melakukan iklan di media sosial, dan lain
sebagainya (Setiawan, 2011)

1.2 Tujuan Campur Tangan Pemerintah


Yang dimaksud dengan kegagalan pasar adalah ketidakmampuan dari suatu perekonomian
pasar untuk berfungsi secara efisien dan menimbulkan keteguhan dan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan dari mekanisme pasar seperti yang telah diterangkan
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari campur tangan pemerintah adalah untuk:
 Menjamin agar kesamaan hak untuk setiap individu tetap wujud dan penindasan dapat
dihindarkan.
 Menjaga agar perekonomian dapat tumbuh dan mengalami perkembangan yang teratur
dan stabil.
 Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan besar dapat
mempengaruhi psar agar mereka tidak menjalankan praktek-praktek monopoli yang
merugikan.
 Menyediakan barang bersama yaitu barang-barang seperti jalan raya, polisi dan tentara
yang penggunaannya dilakukan secara kolektif oleh masyarakat untuk mempertinggi
kesejahteraan sosial masyarakat.
 Mengawasi agar eksternalitas kegiatan ekonomi yang merugikan masyarakat dihindari
atau dikurangi masalahnya

1.3 Bentuk-Bentuk Campur Tangan Pemerintah


1. Membuat Peraturan-peraturan:
Tujuan pokok dari peraturan pemerintah adalah agar kegiatan-kegiatan ekonomi
dijalankan secara wajar dan tidak merugikan khalayak ramai. Contohnya peraturan
mengenai syarat kerja pada para pekerja di sektor industri adalah dibuat untuk menjamin
dalam pemberian gaji, upah dan tunjangan lain yang wajar dan tidak menindas. Contoh
lain peraturan mengenai lokasi pengembangan perusahaan yang bertujuan agar industri
tidak dikembangkan secara sembarangan, sehingga kegiatan industri ini tidak
mengganggu masyarakat sekitar dan menghindari pencemaran udara. Peraturan dibuat
oleh pemerintah meliputi berbagai aspek kegiatan ekonomi, bukan saja terbatas pada
kegiatan dan pendirian industri tetapi juga kegiatan ekspor impor, perbaikan lalu lintas,
pengembangan perusahaan dan aspek kegiatan ekonomi lainnya.
2. Menjalankan Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kebijakan Fiskal adalah Strategi dan langkah-langkah pemerintah dalam pengeluarannya
dan dalam sistem dan cara-cara pengumpulan pajak. Kebijakan Moneter adalah langkah-
langkah pemerintah untuk mempengaruhi situasi keuangan dalam perekonomian, yaitu
mempengaruhi suku bunga, operasi bank-bank dan mengatur jumlah uang yang beredar,
Kedua kebijakan ini sangat penting dalam mengatur kegiatan ekonomi. Perekonomian
selalu menghadapi masalah inflasi dan pengangguran, kebijakan ini merupakan tindakan
untuk mengatasi kenaikan harga dan kekurangan pekerjaan.
3. Melakukan Kegiatan Ekonomi Secara Langsung Dalam kegiatan ekonomi terdapat
perbedaan nyata antara keuntungan yang dinikmati oleh orang yang melakukannya
(keuntungan pribadi) dan keuntungan yang diperoleh masyarakat secara menyeluruh
(keuntungan sosial). Adakalanya seseorang memperoleh keuntungan yang besar dalam
kegiatan ekonomi yang dijalankan tetapi masyarakat mengalami kerugian. Contohnya
adalah kegiatan pendidikan. Pendidikan memberi kemungkinan untung yang besar
apabila sepenuhnya dijalankan oelh pihak swasta, sedang pada masyarakat merupakan
kerugian karena biaya yang besar dalam memperoleh pendidikan. Tindakan masyarakat
menyediakan pendidikan kepada sebagian besar anak-anak yang memerlukan dapat
menghindari pengeluaran yang sangat besar untuk pendidikan.

BAB IV : TEORI BARANG PUBLIK


1.1 Defenisi Barang Publik
1. Barang Publik Murni
Dalam ilmu ekonomi,barang publik adalah barang yang memiliki sifat non-rival
dan non-eksklusif. Barang publik merupakan barang-barang yang tidak dapat dibatasi
siapa penggunanya dan sebisa mungkin bahkan seseorang tidak perlu mengeluarkan
biaya untuk mendapatkannya. Barang publik adalah barang yang apa bila dikonsumsi
oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut.
Barang publik memiliki sifat non-rival dan non-eksklusif.
Barang publik hampir sama dengan barang kolektif. Bedanya, barang publik
adalah untuk masyarakat secara umum (keseluruhan), sementara barang kolektif dimiliki
oleh satubagian dari masyarakat (satu komunitas yang lebih kecil) dan hanya berhak
digunakan secara umum oleh komunitas tersebut.Contoh: jalan raya merupakan barang
publik, kebanyakan pengguna jalan tidak akan mengurangi manfaat dari jalan tersebut,
semua orang dapat menikmati dan manfaat dari jalan raya (noneksklusif); dan jalan raya
dapat digunakan pada waktu bersamaan. Istilah barang publik sering digunakan pada
barang yang non-eksklusif dan barang non-rival. Hal ini berarti bahwa tidak mungkin
bisa mencegah seseorang untuk tidak mengonsumsi barang publik. Danudara juga dapat
dimasukkan sebagai contoh barang publik karena secara umum tidak mungkin mencegah
seseorang untuk tidak menghirup udara. Barang-barang yang demikian itu sering disebut
sebagai barang publik murni.
2. Barang Publik Murni dan Penghambat
Ada beberapa barang yang tidak bersifat konsumsi bersama. Dua orang tidak
dapatmengkonsumsi roti secara bersama-sama. Manfaat dan kepuasan memakan roti
tidaktersediabagi kedua orang tersebut. Ketika mengkonsumsi barang yang tidak
dapatdikomsumsi oleh orang lain, komsumsi dua orang tersebut dapat disebut sebagai
rival.Non-eksklusifitas terjadi ketika anda tidak membayar penjual roti, maka anda tidak
dapatmengkonsumsi roti tersebut.Timbul masalah-masalah yang mengelilinginya :
a. pemanfaatan barang publik cenderung berlebihan
b. barang publik tidak memiliki harga. Hal ini disebabkan antara lain
sulitnyamenentukan standar harga maupun karena barang publik yang tidak
diperdagangkan.
c. Tidak adanya keuntungan membuat orang-orang tidak mau (kalaupun ada
sangatsedikit jumlahnya) untuk menyediakannya ataupun melestarikannya
Disinilahpemerintah berperan dengan cara menarik pajak dari masyarakat dan
danapengumpulan pajak tersebut digunakan untuk menyediakan barang publik.
d. Utilitas yang diperoleh setiap rumah tangga dari barang publik murni adalah
fungsipeningkatan tingkat persediaan dan fungsi penurunan penggunaannya

1.2 Teori Barang Publik


a. Toeri Pigou
Pigou berpendapat bahwa barang publik harus disediakan sampai suatu tingkat
dimanakepuasan marginal akan barang publik sama dengan ketidakpuasan marginal akan
pajak yangdipungut untuk membiayai program pemerintah (menyediakan barang
publik)Kelemahan analisa dari Pigou didasarkan pada ketidakpuasan marginal
masyarakat dalammembayar pajakdan rasa kepuasan marginal akan barang publik,
sedangkan kepuasan danketidakpuasan adalah sesuatu yang tidak dapat diukur secara
kuantitatif karena siaftnyaordinal.
b. Teori Bowen
Bowen mengemukakan teori yang didasarkan pada teori harga sama halnya
padapenentuan harga pada barang swasta.Bowen mendefinisikan barang publik sebagai
barang dimana pengecualian tidak dapatditentukan. Jadi sekali suatu barang publik sudah
tersedia maka tidak ada seorang pun yangdapat dikecualikan dari manfaat barang
tersebut.Kelemahan teori ini adalah karena Bowen menggunakan permintaan permintaan
danpenawaran. Yang menjadi masalah adalah karena pada barang publik tidak ada
prinsippengecualian sehingga masyarakat tidak mau mengemukakan kesenangan mereka
akanbarang tersebut sehingga permintaan kurva permintaan menjadi tidak ada.
c. Teori Erick Lindahl
Teori Lindahl mirip dengan yang dikemukakan oleh Bowen, hanya saja
pembayaranmasing-masing konsumen tidak dalam bentuk harga absolut akan tetpi
berupa presentase dari total biaya penyediaan barang publik. Analisa Lindahl didasarkan
pada analisa kurvaindifferen dengan anggaran tetap yang terabatas (fixed budget
costrains).Kelemahan teori Lindahl adalah karena teori ini hanya membahas mengenai
barangpublik tanpa membahas mengenai penyediaan barang swasta yang dihasilkan oleh
sektorswasta. Selain itu kelemahan utamanya adalah penggunaan kurva indifferen. Sifat
barangpublik tidak dapat dikecualikan menyebabkan tidak ada seorang individu juga
yang bersediamenunjukan prefrensinya terhadap barang publik.kritikan lainya ialah teori
ini hanya melihatpenyediaan barang publik saja tanpa memperhitungkan jumlah barang
swasta yangseharusnya diproduksi agar masyarakat mencapai kesejahteraan optimal.
d. Teori Samuelson
Samuelson menyatakan bahwa adanya barang yang mempunyai dua karakteristik,
yaitu :non-exclusionary dan non-rivarly, tidaklah berarti bahwa perekonomian tidak dapat
mencapaikondisi pareto optimal atau tingkat kesejahteraan masyarakat
optimal.Kelemahan :
o Hasil analisis sangat tergantung pada tingkat kesejahteraan individu mana yang
dipilih, dan tingkat kesejahteraan mana yang mula-mula di pilih.
o Samuelson menunjukkan tercapainya kondisi Pareto optimal akan tetapi kita
tidaktahu apakah menunjukkan perbaikan atau penurunan kesejahteraan
seluruhmasyarakat.
o Kelemahan yang terbesar adalah pada anggapan bahwa konsumen secara terus
terangmengemukakan kesukaan mereka terhadap barang publik dan kesukaan
mereka inilahyang menjadi dasar pengenaan biaya untuk menghasilkan barang
publik. Yangmenjadi persoalan dalam penentuan jumlah barang publik yang akan
disediakan olehpemerintah adalah bagaimana pemerintah memungut pembayaran
dari konsumenbarang publik.
o Barang publik yang dibahas adalah barang yang mempunyai sifat kebersamaan,
yaitubarang publik yang dipakai oleh konsumen dalam jumlah yang sama.
e. Teori Anggaran
Teori ini didasarkan pada suatu analisa di mana setiap orang membayar atas
penggunaanbarang -barang publik dengan jumlah yang sama, yaitu sesuai dengan
BAB V : TEORI PEMUNGUTAN SUARA
1.1 Pengertian Pemungutan Suara
Merupakan alternatif dalam menentukan kesukaan dan ketidaksukaan
masyarakat akan barang publik termasuk pembiayaan akan barang publik. Pemungutan suara
dilakukan karena sistem harga tidak dapat dipakai untuk menunjukan kesukaan masyarakat
akan barang publik. Dalam contoh, jika dalam masyarakat hanya ada dua orang konsumen
atau dalam masyarakat kecil pencerminan kesukaan dapat dilakukan dengan proses negosiasi
atau tawar menawar, tetapi proses negosiasi tidak dapat dilakukan dalam masyarakat yang
besar. Oleh karena itu dalam masyarakat demokratis kesukaan-kesukaan masyarakat dan
kesediaan mereka untuk membiayai barang publik harus dilakukan dengan cara pemungutan
suara. Namun, dalam negara yang mempunyai sistem pemerintahan diktator, penguasalah
yang memutuskan barang dan jasa publik apa dan berapa jumlah yang akan disediakan dan
bagaimana cara pembiayaaan barang publik tersebut. Oleh karena itu hasil dari pemungutan
sunra tergantung dari dua faktor berikut ini:
1. Distribusi suara di antara para pemilih
2. Cara penentuan hasil pemungutan suara

1.2 Inefisiensi dan Keterpaksaan


Dalam pemungutan suara dengan sistem mayoritas sederhana terdapat
kemungkinan suatau proyek yang dilaksanakan merupakan proyek yang tidak efisien dan
beberapa orang dipaksa untuk menerima proyek tersebut walaupun mereka memperoleh
manfaat yang sangat kecil dari proyek tersebut sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:
Pemilih Biaya Manfaat Manfaat Neto Setuju/Tidak
Kevin 10 15 5 Setuju
Utin 10 11 1 setuju
Surya 10 2 -8 Tidak
30 28 -2

Dari tabel tersebut dilihat bahwa Kevin, Utin, dan Surya harus membayar Rp 30,00 untuk
membangun suatu proyek, sedangkan hanya Kevin dan Utin yang menerima manfaat neto
yang positif sehingga mereka menyutujui pembangunan proyek tersebut. Sebaliknya, Surya
karena menerima manfaat neto yang negatif tidak menyutujui pembangunan proyek, tetapi
karena hanya dia sendiri yang tidak setuju maka proyek tersebut akan dilaksanakan. Proyek
tersebut hanya memberikan manfaat sebesar Rp 30.00, sehingga proyek tersebut secara total
tidaklah efisien. Orang yang setuju menerima manfaat bersih sebesar 6 sedangkan manfaat
neto bagi yang tidak setuju sebesar -8, sehingga yang memperoleh manfaat tidak dapat
memberikan kompesasi bagi yang kalah sehingga kondisi pareto optimum tidak tercapai.
Karena proyek tersebut disetujui oleh dua orang dan tidak disetujui oleh satu orang saja,
maka proyek tersebut akan dilaksanakan dan Surya terpaksa membayar dan menikmati
proyek tersebut

1.3 Teori Pemungutan Suara


1. Berdasarkan Suara bulat (Aklamasi)
Cara pemungutan suara dengan suara bulat 100% orang setuju akan diadakannya suatu
proyek atau pengambilan keputusan di parlemen merupakan cara yang paling baik. Hal
tersebut dikarenakan dapat melindungi minoritas dalam suatu masyarakat. Namun cara
ini sangat sulit untuk mencapai suatu keputusan, terutama apabila :
a. Jumlah pemungutan suara besar sekali
b. Apabila ada satu orang tidak setuju maka pengambilan keputusan tidak dapat tercapai
c. Seseorang dapat memblok dalam pengambilan pengambilan keputusan
2. Berdasarkan suara terbanyak
Berdasarkan cara ini, keputusan diambil apabila jumlah orang yg setuju lebih besar
daripada jumlah orang yg tidak setuju. Keputusan diambil bila suara setuju adalah 50
persen plus satu [(n/2)+1] atau dua per tiga suara [(2/3)n) menyatakan setuju.
3. Arrow Paradoks
Sistem pemungutan suara dengan cara mayoritas sederhana sepertinya akan dengan
mudah mencapai keputusan. Tetapi Arrow berhasil menunjukkan adanya masalah yang
timbul dengan system ini apabila pemungutan suara diadakan untuk menentukan pilihan
atas tiga kegiatan atau lebih. Arrow menyebutkan ada 5 syarat yang harus dipenuhi agar
pemilihan suara dapat mencapai hasil yang efisien, yaitu

 hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat yang sebenarnya. a. Pilihan harus


dilaksanakan secara konsisten. Misalnya ada 3 pilihan X, Y dan Z. Maksud dari syarat
yang pertama ini adalah apabila X lebih disukai dari Y: dan Y lebih disukai dari Z
maka X harus lebih disukai dari Z
 Pilihan alternative (yang kedua) tidak boleh ditekuk dengan berubahnya urut- urutan
pilihan yang disukai. Misalnya ada 5 jenis pilihan dengan urul-urutan dari yang
disukai sampai yang paling tidak disukai sebagai berikut: X, Y, Z, W. N. Di sini X
adalah yang paling disukai dan N adalah yang paling tidak disukai. Ranking dari
pilihan haruslah tidak berubah apabila urut-urutan diubah menjadi Y, X. Z W. N oleh
karena X tetap berada di atas Z, W, dan N
 c. Urat-urutan pilihan tidak boleh berubah apabila satu (atau lebih) pilihan
alternative dihilangkan.
 Pemilih harus menentukan pilihannya dengan bebas
 Penentuan pilihan tidak boleh dilaksanakan secara dictatorial

4. Berdasarkan pilihan titik (Point Voting)


Cara pemilihan suara mayoritas memberikan nilai yang sama untuk setiap jenis pilihan
dan setiap pemilihan hanya menyatakan preferensi mereka berdasarkan rangking proyek
yang paling disukai sampai proyek yang tidak disukai. Dalam pemungutan suara
berdasarkan pilihan titik, maka setiap pemilih akan dapat memenangkan proyek yang
disukainya dengan menggunakan strategi. Pemungutan suara berdasarkan pilihan titik
(point voting) merupakan cara untuk mengatasi kelemahan dengan cara memberikan
angka tertentu kepada setiappemilih yang dapatmengalokasikannya pada setiapjenis
proyek berdasarkan kesukaannya.angka tersebut mencerminkan kesukaan pemilih pada
suatu proyek misalnya setiappemilih diberikan nilai 100 yang dapat dialokasikan
padaketiga jenis proyek jadi pemilih yang tidak suka akan memberi nilai nol pada proyek
trsebut dan akan mengalokasi semua nilainya untukproyek yang sangat disukainya.
5. Berdasarkan pilihan ganda (Plurality Voting)
Pemungutan suara berdasarkan pilihan ganda dilakukan dengan memberikan angka
berdasarkan urutan kesukaan.untukproyek yang paling disukai diberi angka 1 dan
semakin tidak disukai suatu proyek, nilai yang diberikan pada proyek tesebut semakin
besar. Misalnya ada 3 proyek J.D, dan Pmaka maksimum angka untuk proyek yang
paling tidak disukaradalah 3.proyek yang mendapat nilai terkecil adalah proyek yang
menang sedangkan proyek yang mendapat nilai terbesar adalah proyek yang kalah.
Dalam cara ini, pemilih akan memberikan urutan kesukaan terhadap pilihan mereka.
Urutan yang terendah merupaka pilihan yang paling disukai, begitu pula sebaliknya.
Pilihan yang unggul adalah polisi karena mendapatkan urutan nilai terendah.
6. Sistem Demokrasi Perwakilan
Teori Demokrasi Perwakilan yaitu adanya tujuan untuk memikirkan kepentingan diri
masing-masing individu menyebabkan proyek-proyek pemerintah yang dilaksanakan
adalah proyek-proyek yang di inginkan oleh rakyat walaupun mereka tidak secara
langsung mengadakan pemilihan suara tetapi melalui wakil-wakil mereka. Biasanya
jarang pemilihan proyek dilakukan secara langsung melibatkan seluruh masyarakat tapi
pemungutan suara melalui wakil rakyat. Pertama kali yang menyelidi model perwakilan
adalah Joseph Schumpeter dan dikembangkan oleh Anthony Downs. Model ini berasumsi
bahwa masyarakat dan wakil rakyat bertindak rasional didasarkan kepentingan pribadi
masing2. Kepentingan wakil rakyat adalah mempertahan kan kedudukannya de ngan
demikian mereka menyuarakan kehendak masyarakat yang diwakili nya sehingga
nantinya rakyat akan memilihnya kembali pada pemilu yad. Rakyat menginginkan
memaksimumkan manfaat proyek dan meminimalkan biaya pembayaran pajak.

1.4 Koalisi dalam Pemungutan Suara


Banyak proyek pemerintah yang dilakukan tidak sendiri2 tapi dalan satu paket
terdiri beberapa proyek. Pemilih yang terdiri dari 3 wakil rakyat memilih Proyek A B C D
yang terdiri 2 paket Paket 1 proyek A.B. paket 2 Proyek C.D. Tiap pemilih diberi angka 100
yang dibagi dalam 2 proyek dalm satu paket Misalnya Individu I sisanya untuk menilai
proyek A 1 maka proyek B 99 dan untuk paket 2 Proyek C 51 sisanya proyek D 49.

1.5 Pertukaran suara atau logrolling


Merupakan suatu cara bagi pemilih untuk melakukan kolusi diantara para
pemilih yang kalah dengan cara memberikan suara agar mereka sama sama memperoleh
keuntungan dengan cara memberikan nilai lebih banyak kepada proyeck yang disukai oleh
pemilih lain apabila pemilih tersebut memberikan nilai yan lebih besar kepada proyek yang
disukai. Contoh, dalam 2 kasus, individu I kalah pada proyek B yang sangat disukainya,
sedangkan individu III kalah pada proyek D yang sangat disukainya. Dalam hal ini, individu
I dan III dapat melakukan LOGROLLING, yaitu individu I akan memberikan nilai yang
besar pada proyek D apabila individu III bersedia memberikan nilai yang lebih besar kepada
proyek A. Kedua individu itu akan puas karena proyek yang mereka sukai akan unggul.

BAB VI : EKSTERNALITAS
1.1 Defenisi Eskternalitas
Dalam mata kuliah toon ekonomi kita pernah mungkin mendengar sesekali istilah
"ekstemalitus". Sebenarnya apa definisi dari eksternalitas itu? Eksternalitas digambarkan
sebagai efek yang dirasakan oleh seseorang yang ditimbulkan oleh tindakan orang lain.
Dalam berbagai literature bacaan ada beberapa definisi eksternalitas dan klasifikasi dari
berbagai jenis eksternalitas Definisi eksternalitas secara implisit membedakan antara dua
kategori yaitu eksternalitas dalam hal hubungan laba dan eksternalitas konsumsi setiap kali
tingkat utilitas terpengaruh
Eksternalitas hadir setiap kali kesejahteraan (utilitas atau keuntungan) beberapa agen
ekonomi yang secara langsung dipengaruhi oleh tindakan agen lain baik konsumen ataupun
produsen di dalam perekonomian. Contohnya eksternalitus ada jika produktivitas perikanan
dipengaruhi oleh kilang minyak yang berada di hulu sungai yang mencemari air sungai
sehingga produktivitas perikanan menjadi turun. Eksternalitas juga menyatakan hubungan
antara agen ekonomi yang terletak diluar sistem harga ekonomi. Tingkat ekstemalitas yang
dihasilkan tidak dikontrol secara langsung oleh harga, sehingga standar efisiensi pads
keseimbangan pasar tidak dapat diterapkan. Contoh sehari-hari termasuk polusi pabrik yang
merugikan perikanan lokal dan in hati yang dirasakan saat tetangga bangga menampilkan
mobil barunya Eksternalitas tersebut tidak dikendalikan secara langsung oleh harga. Namun
konsumen atau suatu perusahaanlah yang dapat secara langsung dipengaruhi oleh tindakan
dari agen lain dalam perekonomian, yaitu, mungkin ada efek eksternal dari tindakan
konsumen lain atau perusahaan
Eksternalitas juga dapat didefinisikan sebagai hiaya ekonomi atau manfaat yang
merupakan produk sampingan dari kegiatan ekonomi tetapi yang dialokasikan di luar sistem
pasar. Ini berarti baliwa pembuat eksternalitas tidak memiliki insentif untuk
mempertimbangkan biaya eksternal atau manfaat yang dilusikan. Hal ini sama persis dengan
definisi yang diberikan sebelumnya, halwa ekstemulitas adalah biaya ekonomi atas manfaat
yang merupakan produk sampingan dari kegiatan ekonomi tetapi yang dialokasikan di luar
sistem pasar

1.2 Jenis-Jenis Eksternalitas


Efisiensi alokasi sumber daya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan
kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan individu pelaku
ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) buik terhadap
mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat
interaksi ekonomi berikut ini (Pearce dan Nash, 1991, Bohm, 1991):

1. Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain


Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain
jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubalsam atau penggeseran fungsi
produksi dari produsen lain. Dampok atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi
biaya pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up costs) olch
produsen hilir (downstream producers) yang menghadapi pencemaran air (water polution)
yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream producers). Hal ini terjadi ketika produsen
hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya. Dampak kategori ini bisa
dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini. Suatu proses produksi (misalnya
perusahaan pulp) menghasilkan limbah-residu-produk sisa yang beracun dan masuk ke
aliran sungai, danau, atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya
merugikan produsen lain yakni parn penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini, kegiatan
produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan) atau
nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu kegiatan produksi terhadap produksi
komoditi lain.
2. Dampak Produsen Terhadap Konsumen
Suatu produsen dikatakan mempunyai ektemal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya
merubah atau menggeser fungsi utilitas rumahtangga (konsumen). Dampak atau efek
samping yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau
polusi. Kategori ini meliputi polusi suatu (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam
(amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit (polusi udara)
serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyamanan konsumen atau masyarakat
luas Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan-produsen) yang menghasilkan limbah
(wasteproducts) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang
memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk Sebagai contoh,
kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan
adanya polusi udara
3. Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain
Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseoning atau
kelompok tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas konsumen yang lain.
Komumen seorang individu bisa dipengurahi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan
produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain. Dampak atan efek dari
kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya,
bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari
tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya
4. Dampak Konsumen Terhadap Produsen
 Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu
fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Dampak jenis ini
misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya
sehingga menganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan
(nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih. Lebih jauh Baumol dan
Outes (1975) menjelaskan tentang konsep eksternalitas dalam dua pengertian yang
berbeda:
 Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal
yang mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu
dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.
 Eksternalitas yang tidak habis (an adeplatable externality) adalah suatu efek eksternal
yang mempunyai ciri harang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa
dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya
konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang
lainnya. Dari dua konsep eksternalitas ini, ekstemulitas jenis kedua merupakan masalah
pelik dalam ekonomi lingkungan Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang
publik seperti polusi udara, uit, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang
tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak
tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.

1.3 Faktor-Faktor Penyebab Eksternalitas


Eksternalitas adalah kerugian atau keuntungan yang diderita atau dinikmati pelaku
ekonomi karena tindakan pelaku ekonomi lain yang tidak tercermin dalam harga pasar.
Sedangkan efisiensi pasar adalah suatu keadaan apabila suatu pasar sudah dapat
mengalokasikan seluruh sumber-sumber daya yang pada umumnya secara efisien.
Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-
prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan.
Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidak efisienan timbul karena salah
satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi.
Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidak sempurnaan pasar, kegagalan
pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsure hak pemilikan atau pengusahaan
sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua factor ini tidak ditangani dengan
baik, maka eksternalitas dan ketidak efisienan ini tidak bias dihindari.
Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan
terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Bagaimana mekanisme timbulnya
eksternalitas dan ketidak efisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya factor
diatas diuraikan satu per satu berikut ini.
 Pertama. Keberadaan Barang Publik Haring publik (public goods) adalah barang yang
apabilai konsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan
barang tersebut. Selanjutnya. barang public sempurna (pure public good) didefinisikan
sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap
seluruh anggota masyarakat.
 Kedua, Keberadaan sumber daya bersama-SDB (common resources) atau akses terbuka
terhadap sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik
diatas Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik,
tidak ekskludabel, Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin
memanfaatkannya, dan Cuma-Cuma Namun tidak seperti borang publik, sumber daya
milik bersama memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan
mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan
sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa
banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas
terjadi pada kasus SDB ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang
dikenal dengan istilah Tragedi Barang Umum (the Tragedy of the Commons).
 Ketiga, Ketidak Sempurnaan Pasar Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu
partisipan didalam suatu tukar menukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu
mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bias terjadi pada pasar yang tidak
sempuna (Imperfect Market) seperti pada kasus monopoli (penjualtunggal)
 Keempat, Kegagalan Pemerintah Sumber ketidak efisienan atau eksternalitas tidak saja
diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government
failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan karena kepentingan pemerintah
sendiri atau kelompok tertentu mencari keuntungan (rent secking) melalui proses politik.
(interest groups) yang tidakmendorongefisiensi. Kelompok

1.4 Dampak Ekternalitas beserta Contohnya


Eksternalitas merupakan dampak yang tidak dapat dipilih atau ditolak oleh pihak
ketiga karena kejadiannya diluar kontrol pihak tersebut, oleh karena itu, banyak anggapan
bahwa eksternalitas bersifat mengikan, Merugikan disini bukan hanya merugikan pihak
ketiga yang dipengaruhi oleh eksternalitas, namun ternyata juga dapat merugikan perusahaan
yang menyebabkan eksternalitas tersebut Eksternalitas memiliki dampak yang bersifat
negatif ataupun positif.
Eksternalius negatif adalah aktivitas ckomumi yang menyebabkan dampak negatif
pada pihak ketiga. Dampak in dapat muncul saat tahap pundaka distribuatu kaum duci na
produk Polusi, salah satu contoh dampak kegiatan produksi dan distribusi dianggap sebagai
eksternalitas karena dampak yang diberikan bukan terhadap pelaku polusi, tetapi kepada
masyarakat sekitarnya Rata-rata eksternalita negatif berhubungan dengan dampak lingkungan
dari kegiatan ekonomi Eksternalitas negatif umumnya dibagi menjadi dua sisi, yaitu dari segi
produksi dan dari segi konsumsi. Sedangkan Eksternalitas positif adalah aktivitas ekonomi
yang menyebabkan dampak positif pada pihak ketiga. Sama seperti ekstemaldus negatif,
dampak yang terjadi saat tahap produksi, distribusi, atau konsumsi dari saatu produk/jasa.
Ekstemalitas positif dapat dilihat pula dari dua sisi, produksi dan konsumsi Secara unan,
terdapat 5 jenis eksternalitas, yaitu negatif, positif, inframarginal, teknologi, dan posisional

5W 1H
Eksternalitas adalah konsep dalam ekonomi yang merujuk pada efek samping dari suatu kegiatan
ekonomi yang memengaruhi pihak ketiga yang tidak terlibat dalam transaksi tersebut.

 What (Apa):
o Eksternalitas adalah efek samping dari tindakan ekonomi atau kegiatan yang
tidak tercermin dalam harga pasar atau transaksi yang terkait dengan kegiatan
tersebut.
o Ini bisa berupa efek positif (eksternalitas positif) atau efek negatif (eksternalitas
negatif) yang mempengaruhi pihak ketiga yang tidak terlibat dalam kegiatan
tersebut.

 Why (Mengapa):
o Eksternalitas muncul ketika pasar tidak memperhitungkan semua biaya atau manfaat
yang terkait dengan suatu tindakan atau kegiatan.
o Ini penting dalam analisis ekonomi karena dapat mengarah pada alokasi sumber daya
yang tidak efisien dan dapat merugikan masyarakat.

 Who (Siapa):
o Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus eksternalitas meliputi pihak yang melakukan
kegiatan (penghasil eksternalitas), pihak yang terkena dampaknya (pihak ketiga), dan
pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengatur dan mengendalikan
eksternalitas.

 When (Kapan):
o Eksternalitas dapat terjadi dalam berbagai konteks dan sektor ekonomi, termasuk
lingkungan (polusi), produksi (kebisingan), konsumsi (merokok), dan lainnya.
o Pengenalan dan penanganan eksternalitas seringkali menjadi perhatian saat
peraturan dan kebijakan diperbarui atau diubah.

 Where (Dimana):
o Eksternalitas dapat terjadi di berbagai tempat, baik di lingkungan perkotaan maupun
pedesaan, serta di negara maju maupun berkembang.
o Efek samping dapat terjadi di tingkat lokal, regional, nasional, atau bahkan global
tergantung pada sifat kegiatan yang menghasilkan eksternalitas.
 How (Bagaimana):
o Untuk mengatasi eksternalitas negatif, pemerintah dapat menerapkan berbagai
instrumen kebijakan, seperti pajak polusi, peraturan lingkungan, dan subsidi untuk
teknologi bersih.
o Analisis eksternalitas juga dapat digunakan untuk memahami implikasi ekonomi dari
tindakan atau kebijakan tertentu dan memutuskan apakah tindakan korektif
diperlukan.

BAB VII : ANALISI BIAYA DAN MANFAAT


1.1 Pengertian Biaya dan Manfaat
Menurut Kadariah (1999) tentang biaya(cost) dan manfaat benefit):
1. Biaya (Cost)
Biaya dalam proyek digolongkan menjadi empat macam, yaitu:
 Biaya Persiapan
Biaya persiapan adalah biaya yang dikeluarkan sebelum proyek yang bersangkutan
benar- benar dilaksanakan, misalnya biaya studi kelayakan pada lahan yang akan
digunakan untuk proyek termasuk di dalamnya studi kelayakan pada daerah dan
masyarakat sekitarnya dan biaya untuk mempersiapakan lahan yang akan digunakan.
 Biaya Investasi atau Modal
Biaya investasi biasanya didapat dari pinjaman suatu badan atau lembaga keuangan
baik. dari dalam negeri atau luar negeri. Yang termasuk biaya investasi adalah biaya
tanah. biaya pembangunan termasuk instalasi, biaya perabotan, biaya peralatan
(modal kerja),
 Biaya Operasional
Biaya operasional masih dapat dibagi lagi menjadi biaya gaji untuk karyawan, biaya
listrik, air dan telekomunikasi, biaya habis pakai, biaya kebersihan, dan sebagainya
 Biaya Pemeliharaan dan Perbaikan
Pada awal umur proyek biaya ini belum muncul tetapi setelah memasuki usia tertentu.
biasanya pada bangunan mulai terjadi kerusakan- kerusakan yang memerlukan
perbaikan Tentu saja terjadinya kerusakan kerusakan tersebut waktunya tidak menentu,
sehingga jenis biaya ini sering dijadikan satu dengan biaya operasional. Selain itu,
masih ada lagi biaya yang mencerminkan true values tetapi sulit dihitung dengan uang
seperti pencemaran udara, air, suara, rusaknya/tidak produktifnya lagi lahan, dan
sebagainya.
2. Manfaat (Benefit)
Manfaat yang akan terjadi pada suatu proyek dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
 Manfaat Langsung
Manfaat langsung dapat berupa peningkatan output secara kualitatif dan kuantitatif
akibat penggunaan alat-alat produksi yang lebih canggih, keterampilan yang lebih baik
dan sebagainya.
 Manfaat Tidak Langsung
Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang muncul di luar proyek, namun sebagai
dampak adanya proyek. Manfaat ini dapat berupa meningkatnya pendapatan
masyarakat disekitar lokasi proyek. (sulit diukur).
 Manfaat Terkait
Manfaat terkait yaitu keuntungan-keuntungan yang sulit dinyatakan dengan sejumlah
uang, namun benar-benar dapat dirasakan, seperti keamanan dan kenyamanan. Dalam

penelitian ini untuk penghitungan hanya didapat dari manfaat langsung dan sifatnya
terbatas, karena tingkat kesulitan menilainya secara ekonomi
1.2 Tujuan Teknik “Analisis Biaya & Manfaat”
Analisis Biaya/Manfaat atau CBA merupakan salah satu teknik penilaian risiko yang
membantu penggunanya untuk memilih atau memutuskan opsi perlakuan mana yang perlu
diambil untuk suatu risiko Teknik ini akan menimbang sisi manfaat dan sisi biaya dari setiap
perlakuan risiko Dari sisi manfaat, organisasi dapat memperoleh manfaat yang paling
menguntungkan, sedangkan dari sisi biaya, organisasi dapat mencapai tingkat efisiensi
tertentu.
Dalam prosesnya, analisis biaya/manfaat akan mempertimbangkan tingkat efisiensi
biaya dan tingkat manfaat yang dapat diperoleh dari setiap perlakuan yang tersedia. Semakin
efisien biaya yang dikeluarkan dan semakin tinggi manfaat yang diperoleh dari sebuah
perlakuan risiko, maka semakin besar kecenderungan perlakuan tersebut dipilih.

1.3 Metode Analisis Biaya dan Manfaat


Analisis biaya dan manfaat (Cost-Benefit Analysis, CBA) adalah sebuah metode
yang digunakan untuk mengevaluasi proyek, kebijakan, atau tindakan dengan
membandingkan semua biaya yang terlibat dengan manfaat yang diharapkan dari tindakan
tersebut. Tujuan utama dari analisis biaya dan manfaat adalah untuk membantu pengambilan
keputusan dengan memberikan informasi yang jelas tentang apakah suatu proyek atau
kebijakan layak dilakukan berdasarkan perbandingan antara biaya dan manfaatnya. Berikut
ini adalah langkah-langkah umum dalam melakukan analisis biaya dan manfaat:

 Identifikasi Proyek atau Kebijakan: Identifikasikan proyek atau kebijakan yang akan
dievaluasi. Pastikan tujuan dari proyek atau kebijakan tersebut jelas.
 Identifikasi Biaya: Identifikasikan semua biaya yang terkait dengan pelaksanaan
proyek atau kebijakan. Biaya ini bisa mencakup biaya awal, biaya operasional, biaya
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Pastikan bahwa semua biaya yang relevan telah
dicatat.
 Identifikasi Manfaat: Identifikasikan semua manfaat yang diharapkan dari proyek
atau kebijakan tersebut. Manfaat ini bisa berupa manfaat finansial, sosial, atau
lingkungan. Manfaat juga harus diukur dalam unit yang sama dengan biaya
(misalnya, dalam mata uang).
 Estimasi Nilai Moneter: Estimasi manfaat yang tidak memiliki nilai moneter. Ini bisa
menjadi tugas yang sulit, tetapi seringkali diperlukan dalam CBA. Anda dapat
menggunakan berbagai metode seperti survei, analisis statistik, atau kajian literatur
untuk mengestimasi nilai moneter dari manfaat yang sulit diukur secara langsung.
 Waktu: Tentukan periode waktu selama proyek atau kebijakan akan dievaluasi. Ini
dapat berupa periode tahunan atau lebih lama, tergantung pada sifat proyek atau
kebijakan.
 Diskon Manfaat: Karena nilai uang di masa depan lebih rendah daripada nilai
uang saat ini, manfaat di masa depan harus didiskon ke nilai saat ini
menggunakan tingkat diskonto yang sesuai.
 Perhitungan Net Present Value (NPV): Hitung nilai sekarang bersih (NPV)
dengan mengurangkan total biaya dari total manfaat yang didiskon. NPV
positif menunjukkan bahwa proyek atau kebijakan diharapkan menghasilkan
keuntungan, sementara NPV negatif menunjukkan bahwa proyek tersebut
tidak layak secara finansial.
 Analisis Sensitivitas: Lakukan analisis sensitivitas untuk mengidentifikasi
faktor- faktor yang dapat memengaruhi hasil CBA. Ini dapat membantu dalam
memahami risiko dan ketidakpastian dalam proyek atau kebijakan.
 Pengambilan Keputusan: Dengan menggunakan hasil analisis biaya dan
manfaat, buatlah keputusan tentang apakah proyek atau kebijakan tersebut
harus dilanjutkan, dimodifikasi, atau dibatalkan.
 Pelaporan: Presentasikan hasil analisis biaya dan manfaat dengan jelas dan
transparan kepada semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan.

Analisis biaya dan manfaat adalah alat yang sangat berguna dalam pengambilan
keputusan bisnis, pemerintah, dan organisasi lainnya karena membantu
mengidentifikasi dan mengukur secara kuantitatif dampak finansial dan non-finansial
dari suatu tindakan atau proyek. Namun, penting untuk diingat bahwa CBA memiliki
keterbatasan, terutama dalam mengukur manfaat yang sulit diukur secara monetaris dan
dalam menghadapi ketidakpastian. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan bersama
dengan analisis lainnya dan pertimbangan kualitatif dalam pengambilan keputusan.

Anda mungkin juga menyukai