Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Berdasarkan hakikatnya, Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan taraf


hidup masyarakat luas dalam suatu negara. Pembangunan ekonomi sendiri tidak dapat
dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi akan berdampak
pada semakin tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi di
Indonesia kuat maka segala masalah yang terjadi di Indonesia juga akan cepat teratasi.
Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan jangka Panjang dalam kemampuan
suatu negara untuk menawarkan lebih banyak produk ekonomi kepada rakyatnya (Jhingan,
2013). Dalam tujuannya untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari tahun
sebelumnya dan sekaligus tetap menjaga stabilitasnya harga, maka kebijaksanaan APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) selalu berpedoman kepada prinsip anggaran yang
berimbang dan dinamis. Anggaran yang berimbang dan dinamis adalah anggaran yang dipastikan
akan meningkat dibandingkan dengan anggaran yang diterapkan pada tahun sebelumnya dan
jumlah penerimaannya sekurang-kurangnya sama dengan jumlah pengeluaran selama suatu
periode tertentu.
Perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dunia yang saat
ini masih memperlihatkan ketidakstabilan perdagangan dan penerimaan pendapatan di bidang
ekspor. Pendapatan Indonesia sendiri berasal dari ekspor sektor minyak dan gas (migas) yang
secara langsung bergantung kepada perekonomian dunia yang tidak stabil dan menagkibatkan
pemerintah mengambil upaya untuk mengembangkan sumber penerimaan negara dari luar sektor
migas. Apalagi pada negara berkembang seperti Indonesia, saat ini sedang berada dalam tahap
pembagunan infrastruktur negara. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melakukan peningkatan
penerimaan pendapatan dalam negeri khususnya di luar sektor minyak bumi dan gas yaitu
melalui penerimaan perpajakan sebagai sumber pendapatan utama negara.
Menurut Agoes (2020) Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Penerimaan pendapatan negara dari sektor perpajakan digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara seperti, menyediakan fasilitas Kesehatan,
Pendidikan, infrastruktur dan pelayanan publik lainnya. Kekayaan dan pemasukan masyarakat
akan berkurang karena dilakukan pemungutan pajak oleh negara. Namun, pemungutan pajak
dapat menambah pemasukan negara yang setelah itu di kembalikan kepada masyarakat baik yang
membayar ataupun tidak dalam bentuk manfaat lain. Jadi, pada dasarnya cara kerja pajak adalah
dari rakyat untuk rakyat. Kedudukan pajak sangat berarti untuk kehidupan bernegara, khususnya
didalam pembangunan sebab pajak ialah basis pemasukan negara untuk membiayai seluruh
pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan (Prabowo, 2019).
Untuk mendorong upaya penerimaan dalam negeri dari sektor pajak maka dilakukan
reformasi terhadap berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan perpajakan sebagai bentuk
dari kebijaksanaan pemerintah. Akhirnya, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) demi mewujudkan system perpajakan yang lebih
berkeadilan. Undang-Undang ini telah resmi diundangkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021
pada 29 Oktober 2021 (Online Pajak, 2021). Tujuan utama diundangkannya UU HPP ini adalah
untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi kembali (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2021). Terdapat
enam pembahasan utama pada UU HPP yang mengubah beberapa ketentuan yang telah berlaku
selama ini di UU Perpajakan. Enam pembahasan tersebut yaitu perubahan terkait ketentuan pada
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan
(UU PPh), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(UU PPN dan PPNBM), Undang-Undang Cukai, Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dan
perkenalan pada Pajak Karbon (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2021a).
Pada enam pembahasan tersebut, UU HPP melakukan reformasi pada UU PPN dengan
tujuan mampu mengkapitalisasi potensi perekonomian Indonesia ke depannya dan juga
meningkatkan keadilan pada sektor perpajakan (Antara News, 2021). Selanjutnya, Direktur
Jenderal Pajak, Suryo Utomo, mengungkapkan tiga perubahan utama pada sektor UU PPN yang
dilansir dari website resmi Kementerian Keuangan yaitu perluasan basis pajak melalui
refocusing pengecualian dan fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN secara bertahap, dan penerapan
PPN final. Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pemungutan pajak terhadap tiap
transaksi/perdagangan jual beli produk/jasa dalam negeri kepada wajib pajak orang pribadi,
badan usaha maupun pemerintah, Pajak ini bersifat tidak langsung, objektif dan non kumulatif
(Yusuf, 2021). Maksudnya, pajak tersebut dibayarkan secara langsung oleh pedagang, melainkan
dibayarkan oleh konsumen (Anggarini, Putri, et al., 2021).
Berdasar UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif
PPN yang sebelumnya memiliki besaran 10% diubah menjadi 11% per tanggal 1 April 2022 dan
12% per tahun 2025 mendatang (Undang-Undang RI, 2021). Kenaikan tarif PPN menjadi 11%
dan 12% di tahun 2025 mendatang tidak berarti bahwa seluruh kategori barang dan/atau jasa
dikenakan pajak. Namun, terdapat beberapa kategori produk yang tidak terkena PPN yaitu
barang kebutuhan pokok untuk khalayak umum, makanan dan minuman yang terdapat di
restoran, hasil tambangdan emas, uang, dan surat berharga (Agustina & Isnaini, 2021). Adapun
kategori jasa yang tidak terkena PPN adalah layanan sosial, kesehatan medis, keuangan,
pengiriman surat denganprangko,luar negeridanketenagakerjaan(Agustina & Isnaini,
2021). Tujuan dinaikkannya tarif PPN ini adalah sebagai upaya penyehatan kembali APBN yang
belanjanya sempat mengalami kenaikan drastis selama pandemi Covid-19 (Putri et al., 2021).
Kelemahan dari kebijakan PPN di Indonesia ialah masih belum netral. Netralitas PPN berarti
dalam pemungutannya tidak memengaruhi keputusan ekonomi dari pelaku bisnis maupun
konsumen (Saptono & Khozen, 2023). Ketika pembeli dapat dipungut PPN di mana pun ia
melakukan transaksi jual beli, baik secara tradisional atau modern maupun secara offline atau
online maka bisa disebut PPN tersebut sudah netral.
Sejauh ini pemberlakuan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai menimbulkan
problematika dari setiap kalangan masyarakat Indonesia. Adanya argumentasi masyarakat bahwa
prinsip dari pajak pertambahan nilai dikenakan hampir ke seluruh jenis wajib pajak tidak
membedakan jenis konsumen dinilai kurang berkeadilan dan merugikan masyarakat menengah
kebawah. Masyarakat juga meragukan apakah dengan adanya kenaikan tarif pajak pertambahan
nilai ini akan memberikan manfaat terhadap kesejahteraan masyarakat dalam pemulihan
ekonomi berskala nasional. Dalam hal ini pemerintah berperan untuk menyelenggarakan
peradilan terhadap keberlangsungan hidup Masyarakat. Dari latar belakang permasalahan diatas,
terdapat rumusan masalah yang akan dibahas. Dalam kondisi seperti ini diperlukan analisis untuk
mencari solusi dari berbagai problem yang akan datang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pengaruh kenaikan tarif pajak pertambahan nilai terhadap pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan dalam keberlangsungan hidup masyarakat. Berdasarkan hal tersebut,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan mengambil judul “Problems of Economic
Growth Due to the Implementation of Increases in Value Added Tax Rates “.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2019), metode
penelitian kualitatif disebut juga metode naturalistik karena dilakukan pada kondisi yang alami.
Pada penelitian ini menampilkan data beserta kalimat yang dijelaskan menurut kategori masing-
masing untuk memperoleh kesimpulan. Peneliti menggunakan metode kualitatif karena hasil dan
pembahasan berbentuk kalimat berupa penjelasan dari berbagai sumber mengenai argumentasi
problematika kenaikan tarif PPN (Verent, 2020). Penelitian ini dilakukan melalui studi
kepustakaan dan wawancara. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan data
kemudian diolah dan pada akhirnya disimpulkan menjadi informasi yang relevan merupakan
pengertian dari studi kepustakaan. Selanjutnya, wawancara dalam penelitian ini melibatkan
berbagai pihak diantaranya yaitu dosen dan mahasiswa selaku pihak akademisi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia diawali dengan adanya insiden
bencana dunia yaitu pandemi covid-19. Dampak yang ditimbulkan dari pandemi covid-19
berimbas tidak hanya pada kesehatan tetapi juga krisis ekonomi. Indonesia terancam akan terjadi
inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya harga barang dan jasa secara berkala. Daya beli
masyarakat menjadi menurun pada masa pandemi dikarenakan semua aktivitas terhenti, hal ini
berarti kesejahteraan masyarakat ikut menurun. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk
menekan inflasi dengan cara mengurangi pengeluaran dan menyeimbangkan anggaran. Akhirnya
pemerintah membuat kebijakan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai. Scenario tersebut
dinilai dapat membantu pembaharuan perekonomian negara Indonesia. Pada tanggal 29 oktober
2021 presiden jokowidodo menetapkan UU HPP yang tertulis didalamnya besaran pajak
pertambahan nilai per tanggal 1 april 2022 sebesar 11%. Pemerintah juga merencanakan tarif
pajak pertambahan nilai sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari
2025. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai
dilakukan secara bertahap dimulai pada tanggal 1 April 2022 sebesar 11% dan 12% pada 1
Januari 2025.
Rencana pengenaan pajak pertambahan nilai di Indonesia didasarkan pada Undang-
Undang No 42 Tahun 2009 mengenai PPN. Dalam peraturan tersebut terdapat barang pakai yang
terdampak kenaikan pajak pertambahan nilai dengan tarif 11%. Diantaranya adalah Pulsa serta
kuota internet, Aset Kripto (investasi ini memiliki banyak peminat justru dikenai pajak PPN serta
PPh atas transaksi perdagangan yang diatur dalam PMK Tahun 2022 No 68 dan berlaku per 1
Mei 2022), Layanan perbankan, Akomodasi perjalanan keagamaan (tidak berlaku untuk aktivitas
ibadahnya), Distribusi LPG nonsubsidi untuk gas elpiji skala 5, 5 Kilogram serta 12 Kilogram,
Layanan finansial digital (seperti layanan pinjaman online), Pembelian mobil bekas (besaran tarif
adalah 1,1 Persen dari harga jual), Barang kebutuhan di supermarket modern, Benda elektronik
(smartphone, Televisi, laptop, dan lainnya). Sedangkan tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas
ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa
kena pajak.
Pajak pertambahan nilai dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi, Badan, dan Pemerintah. Dalam implementasinya, Perorangan atau Badan yang
membayar pajak tidak diwajibkan untuk menyetorkan langsung ke kas negara, tetapi melalui
pihak yang memotong/memungut pajak pertambahan nilai. Karena pajak pertambahan nilai
bersifat objektif, merupakan pajak tidak langsung, dan tidak kumulatif. (Widyastuti, Fadila Dwi,
2020). Penerapan peraturan tersebut meraih respon positif dan negative. Adanya keresahan social
masyarakat yang menganggap bahwa sifat objektif pada pajak pertambahan nilai tersebut tidak
bisa membedakan keadaan subjek sehingga terkesan tidak adil, apalagi bertambah tarif menjadi
11%. Namun, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai 11% mempunyai dampak positif pada
anggaran negara, dimana dengan kenaikan itu membantu memperbaiki anggaran negara yang
sempat tidak stabil dikala pendemi.
Tabel.1
Tahun Total Pendapatan Presentase
2019 531.577,30 milyar rupiah 27,11 %
2020 450.328,06 milyar rupiah 27,33 %
2021 501.780,00 milyar rupiah 28,90 %
2022 687.609,50 milyar rupiah 33,80%
2023 742.264,50 milyar rupiah 45,20%
Sumber : bps.go.id
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) diatas penerimaan
negara dari sektor pajak pertambahan nilai sempat mengalami penurunan pada tahun 2020 yang
hanya sebesar 450.328,06 milyar rupiah dan menyumbang 27,33 persen dari pendapatan negara.
Setoran pajak pertambahan nilai pada tahun 2020 kepada kas negara menurun senilai
81.249,24 miliyar rupiah dibandingkan tahun 2019. Hal tersebut disebabkan karena adanya
pandemi covid-19 sehingga konsumsi masyarakat dan penerimaan negara ikut menurun. Setelah
adanya kebijakan pemerintah atas kenaikan tarif, pendapatan negara semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Terbukti pada tahun 2023 penerimaan pajak mencapai angka 742.262,50 milyar
rupiah. Hal ini berarti bahwa upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara
dianggap berhasil. Tidak semata-mata puas sampai tarif 11% saja, Kementrian keuangan melalui
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tahun 2025, tarif pajak pertambahan nilai akan dinaikkan
menjadi 12%.
Grafik 1

Series 1
14
12
10
8
6
4
2
0
na ia ja am ra nd os ia ar te am
li pi es bo tn pu la La ys nm Le
s
al
Fi do
n m ie g a ai al
a
ya r ss
In Ka V S in Th M M m
o ru
Ti a
eiD
un
Br

Series 1
Sumber : databoks.go.id

Berdasarkan data yang dihimpun PricewaterhouseCoopers (PwC) periode 2023-2024


memperlihatkan bahwa Filipina berada pada Tingkat tertinggi tarif PPN sebesar 12%. Negara
Indonesia dengan tarif 11%, Kamboja dan Vietnam mempunyai tarif 10%. Selanjutnya, Negara
Singapura menetapkan tarif pajak barang dan pelayanan sebesar 9%. Kemudian, dengan tarif
PPN 7% diterapkan oleh negara Thailand dan Laos. Negara Malaysia memberikan tarif 6%
terhadap pajak. Selain itu, terdapat pajak penjualan di negara Malaysia dengan tarif 10%.
Berbeda dengan negara Myanmar, negara tersebut mengesahkan pajak komersial sebesar 5% dan
tidak memungut PPN. Timor Leste masuk ke dalam ASEAN pada tanggal 11 November 2022,
dan diketahui tarif pajak penjualan impor sebesar 2,5%. Terakhir adalah negara Brunei
Darussalam, dari hasil analisis tidak terdapat PPN, tetapi terdapat pajak badan sebesar 18,5%.
Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa Indonesia termasuk ke dalam negara
yang menggunakan tarif PPN tertinggi di wilayah ASEAN. Indonesia berada pada peringkat ke
dua dengan selisih 1% lebih rendah dibandingkan Filipina. Jika pemerintah tetap menerapkan
tarif PPN sebesar 12%, maka Indonesia dan Filipina menjadi negara dengan tarif PPN terbesar di
ASEAN disertai asumsi bahwa negara lain tidak menaikkan tarif PPN (Revo M, 2024).
Mengurangi defisit APBN merupakan alasan pemerintah menaikkan tarif PPN dan berharap
dapat memberikan kepastian mengenai kebijakan fiscal ke depan.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) merupakan Lembaga
Independent yang fokus pada isu-isu kebijakan pajak di Indonesia, memberikan pendapat bahwa
mereka setuju dengan kebijakan kenaikan tarif PPN di Indonesia. Menurut Fajry Akbar menaksir
kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak
pertambahan nilai. Ia juga memprediksi kenaikan PPN tersebut akan memberi tambahan 80
triliun rupiah ke kas negara. (“Menakar Dampak Kenaikan“, 2024). Apalagi tahun depan
diperkirakan akan terjadi inflasi, harga barang dan jasa akan naik sehingga PPN juga meningkat.
Dengan mempertimbangkan berbagai hal termasuk membandingkan tarif PPN di negara lain,
kebijakan tarif PPN 12% siap dilaksanakan.
Pemerintah berpandangan bahwa melalui kenaikan tarif PPN, diharapkan akan
meningkatkan potensi penerimaan negara yang pada akhirnya dapat menunjang pembangunan
dan mendorong pemulihan ekonomi. Namun, selain keuntungan negara pasti ada dampak buruk
terhadap perekonomian. Kenaikan PPN sudah pasti disertai dengan adanya inflasi. Meskipun
kenaikan tarif PPN hanya 1%, namun dampaknya mempengaruhi hampir ke semua harga produk
dan beberapa aktivitas jasa. Menimbang dari kenaikan tarif lama sebesar 11%, Kepala BPS
memperkirakan inflasi akan terus meningkat di bulan April 2022 (Kontan, 2022). Melalui hasil
temuan diketahui bahwa ada kenaikan inflasi sebesar 0.3% sampai 0,5%, ini akan terus berlanjut
sampai tahun 2023.
Akibat kenaikan tarif PPN berdampak pada perlambatan permbuhan ekonomi akibat
penurunan daya beli masyarakat. Masyarakat akan mengeluh ketika membeli barang atau
menggunakan jasa karena adanya penambahan beban pajak yang harus dibayarkan. Hal ini dapat
mengakibatkan Tingkat konsumsi rumah tangga melemah apalagi di masyarakat kalangan
menengah kebawah. Pada dasarnya, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 51% terhadap
produk domestic bruto. INDEF juga memperhitungkan bahwa kenaikan tarif PPN 1% akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 0,02% (CNBC, 2022).
Berkaca pada tahun 2023 konsumsi rumah tangga memang tumbuh 4,82 persen. Namun,
pertumbuhan ini masih rendah dibandingkan dengan rata-rata tahun 2011-2019 yang berada di
atas 5 persen (BPS, 2023). Saat ini, kondisi ekonomi di Indonesia mengalami ketidakstabilan.
Terutama harga-harga kebutuhan pokok yang naik secara terus-menerus. Kenaikan tarif PPN
12% tersebut justru akan semakin memperburuk konsumsi rumah tangga jika tidak diiringi
dengan kenaikan upah minimum. Dengan demikian, pemerintah perlu membuat kebijakan sosial
untuk mengimbangi potensi penurunan daya beli masyarakat (Theodora, 2024).
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, menurut salah seorang akademisi
Politeknik Negeri Madiun (PNM), berpendapat bahwa untuk tarif, sebaiknya tetap menggunakan
tarif PPN 11% agar tidak memberatkan masyarakat. Rata-rata penghasilan masyarakat Indonesia
masih dibawah Upah Minimum sehingga sangat menyulitkan. Misalnya, pada zaman modern ini
semua orang membutuhkan internet yang digunakan untuk Pendidikan, bekerja, dan lainnya. Jika
tarif PPN dinaikkan menjadi 12%, otomatis harga kuota internet juga bertambah mahal dan
masyarakat khususnya di desa tidak mampu untuk membeli. Jika pemerintah ingin menaikkan
tarif PPN, perlu untuk memikirkan kebutuhan rakyat dari masing-masing harga barang yang
terdampak. Seperti, pemberian wifi gratis yang menyeluruh sampai ke pelosok desa.
Selanjutnya, Tanggapan mahasiswa dari Politeknik Negeri Madiun yaitu setuju bahwa
kebijakan kenaikan tarif PPN akan meningkatkan penerimaan negara. Anggaran negara yang
meningkat dapat memenuhi kebutuhan fasilitas umum. Untuk dapat membicarakan kenaikan
tarif diperlukan data yang memadai serta survei untuk beberapa tahun ke depan. Hal ini
diharapkan agar tarif pajak di negara Indonesia tidak lagi berubah-ubah. Saran untuk pemerintah
agar menaikkan tarif PPN ketika kondisi perekonomian di masyarakat sudah berjalan secara
normal dan tingkat inflasi rendah. Karena dapat mengurangi efek negatif pajak berlebih, seperti
melambatnya laju ekonomi.
Akademisi di PNM juga berpendapat bahwa kenaikan PPN menjadi 12% kurang efektif
dilakukan. Walaupun kenaikan PPN ini tidak berpengaruh terhadap barang kebutuhan pokok
karena dibebaskan dari PPN, tetapi berpengaruh terhadap kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Perlu diketahui bahwa penelitian yang dilakukan oleh, Tarmizi (2023) menyatakan bahwa
peningkatan PPN menurunkan konsumsi masyarakat. Sehingga terjadi penurunan permintaan
produksi barang-barang. Akibatnya, produksi barang domestic yang dilakukan oleh produsen
juga menurun dan secara tidak langsung juga menurunkan investasi pembentukan modal bagi
perusahaan. Harga barang yang terkena tarif PPN 12% juga cenderung menurunkan ekspor dan
meningkatkan impor. Dengan harga domestik yang lebih mahal karena terkena PPN 12%, maka
masyarakat cenderung memilih barang impor yang lebih murah.
Selain itu, salah seorang mahasiswa Politeknik Negeri Madiun berpendapat bahwa
Kenaikan PPN 12% dalam konteks ketidakstabilan ekonomi dan gejolak inflasi dapat menjadi
keputusan yang sensitif. Meskipun peningkatan PPN dapat menjadi sumber pendapatan
tambahan bagi pemerintah, risikonya adalah potensi penurunan daya beli masyarakat. Jadi,
pemerintah harus mempertimbangkan pengaruh kenaikan PPN terhadap perekonomian dan
kesejahteraan rakyat, karena tentu saja kenaikan PPN dapat mempengaruhi biaya produksi, biaya
pengangkutan, dan biaya pengiriman, yang akan terus meningkatkan harga barang dan jasa yang
kena pajak.
Melanjutkan dari hal diatas, kenaikan PPN juga berdampak pada Perusahaan. Daya beli
yang menurun berdampak pada belanja dan penjualan yang ikut melemah, dan pada akhirnya
kinerja keuangan perusahaan ikut terdampak. Hal ini dapat berpotensi pada berkurangnya
penyerapan tenaga kerja, sehingga menambah angka pengangguran. Sebelumnya, negara
Amerika Serika melakukan upaya penurunan deficit anggaran sebesar 2% terhadap Pendapatan
Domestik Bruto melalui peningkatan tarif ppn. Dari analisis kebijakan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa berdampak pada hilangnya 850.000 pekerjaan di masa awal periode
kebijakan kenaikan PPN diberlakukan. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan
pengurangan belanja negara dan justru mengalami peningkatan lapangan pekerjaan sebesar
250.000. Dapat disimpulkan, peningkatan tarif pajak menimbulkan dampak lebih buruk daripada
pengurangan defisit anggaran negara melalui efisiensi belanja.
Berdasarkan wawancara, keempat narasumber setuju bahwa penerapan kenaikan tarif
PPN akan berdampak pada peningkatan penerimaan negara, tetapi juga berpengaruh pada
masyarakat. Pada dasarnya, kenaikan tarif PPN di Indonesia memang akan menimbulkan
keuntungan dan kerugian. Ada pihak yang setuju dengan kenaikan tarif PPN, Ada juga pihak
yang berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN di Indonesia ini masih perlu kajian lebih mendalam.
Tepat atau tidaknya kenaikan PPN ini akan bergantung dari penggunaan anggaran yang akan
didapatkan dari kenaikan tarif PPN.
Pemerintah diharapkan terus mengendalikan kenaikan harga komoditas , mengelola
energi dan cadangan pangan, serta melakukan berbagai strategi untuk mengendalikan konsumsi
masyarakat. Selain itu, pemerintah harus menjaga Kesehatan APBN, kestabilan ekonomi, dan
kesejahteraan rakyat dengan memastikan belanja negara digunakan secara tepat. Anggaran dapat
dipergunakan untuk belanja sosial yang terkait langsung dengan upaya peningkatan
kesejahteraan dan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, saat ini program pemulihan ekonomi
harus tetap menjadi prioritas utama seperti program peningkatan ketahanan dan penciptaan kerja.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan sebelumnya. Dapat
disimpulkan bahwa pada tahun 2020, laju pertumbuhan perekonomian negara Indonesia pada
masa pandemi Covid-19 mengalami penurunan yang signifikan jika dibandingkan dengan
periode yang sama pada tahun 2019. Terjadinya inflasi sudah tidak bisa dihindari lagi. Oleh
karena itu, pemerintah berupaya untuk menekan inflasi dengan cara membuat kebijakan
menaikkan tarif pajak pertambahan nilai. Pada tanggal 29 oktober 2021 presiden jokowidodo
menetapkan UU HPP yang tertulis didalamnya besaran pajak pertambahan nilai per tanggal 1
april 2022 sebesar 11%.
Berdasarkan data yang dihimpun PricewaterhouseCoopers (PwC). Indonesia berada pada
peringkat ke dua terbesar di ASEAN dengan tarif 11%, berbeda tarif 1% dibawah dibawah
Filipina. Pemerintah Indonesia berencana menaikkan pajak menjadi 12% pada 1 januari tahun
2025 untuk mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia dan mengurangi defisit APBN
akibat pandemi Covid-19. Jika rencana tersebut terealisasi, maka Indonesia akan berada pada
urutan pertama yang menetapkan tarif PPN terbesar di ASEAN Bersama dengan filipina. Upaya
pemerintah tersebut meraih respon positif dan negative dari masyarakat.
Respon positif berasal dari CITA, pengamat pajak Indonesia. Lembaga tersebut setuju
dengan kebijakan kenaikan tarif PPN di Indonesia. Alasannya, melalui kebijakan kenaikan PPN
diprediksi akan memberikan tambahan 80 triliun rupiah ke kas negara. Perkiraan terjadinya
inflasi tahun depan akan membuat harga barang dan jasa naik, sehingga pendapatan pajak dari
PPN juga meningkat. Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) mendukung penuh upaya
pemerintah, kenaikan PPN dilakukan selambatnya pada januari 2025
Peningkatan tarif PPN tentunya tidak dapat dilihat dari satu sisi peningkatan penerimaan
pajak saja, namun juga perlu memperhitungkan resiko yang akan terjadi dimasa depan. Penulis
telah mewawancarai 4 narasumber untuk dimintai pendapat mengenai rencana pemerintah dalam
menaikkan tarif PPN pada tahun 2025. Beberapa pihak berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN
sebenarnya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi akibat penurunan daya beli masyarakat.
Mereka juga memperkirakan dampak yang akan terjadi pada masyarakat dan bagi Perusahaan.
Dampak pertama akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Kenaikan PPN
mengakibatkan inflasi sehingga mengakibatkan tingkat konsumsi rumah tangga melemah.
Khususnya daya beli masyarakat kalangan menengah kebawah akan menurun karena rata-rata
penghasilan masyarakat Indonesia masih dibawah Upah Minimum.
Kedua, Perusahaan di Indonesia juga ikut terkena dampaknya. Daya beli yang menurun
menyebabkan produksi barang domestic yang dilakukan oleh produsen ikut menurun. Jika hal
tersebut terjadi, secara tidak langsung akan menurunkan investasi pembentukan modal bagi
perusahaan. Hal ini juga dapat berpotensi pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja, sehingga
menambah angka pengangguran di Indonesia.
Berdasarkan perkiraan dampak yang akan terjadi, sebaiknya pemerintah Indonesia
melakukan kajian lebih mendalam mengenai kenaikan tarif PPN. Pemerintah perlu menjaga
kesehatan APBN, kestabilan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat dengan memastikan belanja
negara digunakan secara tepat. Tepat atau tidaknya kenaikan PPN ini akan bergantung dari
penggunaan anggaran yang akan didapatkan dari kenaikan tarif PPN. Anggaran dapat
dipergunakan untuk belanja sosial yang terkait langsung dengan upaya peningkatan
kesejahteraan dan daya beli masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai